Keduanya telah sampai tepat di depan rumah yang Olin yakini adalah milik Rangga.
Rumah yang tak terlalu besar, juga tak terlalu kecil, bisa dibilang sederhana.
“Sebentar, gue ke dalem dulu.” ujar Rangga.
“Opal belum dateng juga?” tanya Olin yang membuat langkah Rangga tertahan.
“Belum ada kabar, paling nanti kalo udah deket ngabarin.” jelas Rangga seraya mengecek ponselnya itu.
Olin mengangguk dan kembali memainkan ponselnya, Rangga pun meninggalkan nya sendirian di ruang tamu.
Walaupun hanya ada Olin disini, tetap saja suasana canggung begitu memenuhi ruangan yang ia singgahi
oh Tuhann, aku benci atmosfir ini
Olin mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan, manik matanya menangkap beberapa bingkai foto di sebelahnya.
“Ini rangga pas kecil?” dirinya bergumam dengan sedikit terkekeh.
Olin masih setia melihat foto yang berada di sebelahnya, foto masa kecil yang ia yakini itu adalah Rangga.
Tubuh mungil, kepala yang kecil, rambut sebahu, serta gigi kelinci milik Rangga terpampang jelas disana.
Sampai akhirnya ia sedikit terkejut karna ada sebuah tangan memeluk kakinya
Perlahan Olin melirik ke arah bawah, mencari tahu siapa pelaku yang memeluk kakinya secara tiba-tiba.
“Kaka!”
“Eh?”
Anak kecil?
Anak kecil dari mana ini?!
Apakah hujan anak kecil?!
Bodoh, mana ada.
Segera Olin menggendong gadis kecil yang ia perkirakan berumur 3 atau 4 tahun itu di atas pangkuan Olin.
Kedua tangannya ia layangkan ke udara, berusaha menangkup Olin di hadapannya.
“Kaakaa~”
Olin sedikit tersenyum menahan gemas, “kamu namanya siapa??”
“Gee... Gea..” ujarnya seraya mengerjapkan kedua bola matanya
“Kaka siapa?” tanya nya sedikit kesusahan, mungkin ia baru belajar berbicara.
“Aku? Aku Olin.”
“Linlin?” seru Gea dengan wajah polos
Olin tertawa gemas, Linlin? Nama yang lucu, pikirnya.
“Iyaa, aku Linlin.”
“Linlin!” pekik Gea kegirangan.
Olin tak kuat menahan gemas dan mencubit pelan pipi gembil nya itu, astagaa, anak siapa sih ini??
Olin sibuk bergurau dengan Gea di sofa, tanpa ia sadari bahwa Rangga sudah kembali dari kamarnya sedari tadi.
Namun Rangga tak langsung menghampiri perempuan itu, ia memilih bersandar pada tembok dan memperhatikan interaksi Olin dengan adiknya.
“Kamu anak nya siapa?” tanya Olin seraya membelai halus rambut Gea di hadapannya
“Anak papah mamah” jawab Gea enteng
“Ya.. iya sih...”
Rangga terkekeh melihatnya, pertanyaan bodoh macam apa itu?
Di sisi lain, Rangga juga menyadari perubahan sikap Olin yang menjadi lebih hangat dari biasanya, apakah karna ia berinteraksi dengan anak kecil?
Masa gue kudu jadi bocil dulu biar dia kaga jutek terus batin Rangga
Perlahan Rangga menunjukkan dirinya, melangkah mendekat ke arah Olin dan Gea.
“Ya anak mamah papah lah, masa anak lo?”
Olin sedikit terkejut dengan kehadiran Rangga di sebelahnya, namun ia memilih kembali bermain dengan Gea, tak peduli dengan kehadiran Rangga.
“Gege gamau main sama abang?”
Gea melirik sebentar ke arah Rangga kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Olin.
“Gak mau, mau sama kaka Linlin.” tolaknya.
Rangga terbelalak mendengar jawaban adiknya barusan, ini pertama kalinya Gea menolak dirinya dan memilih orang lain.
Dan juga, hal langka bagi Rangga melihat Gea akrab dengan orang lain selain keluarganya, padahal ini pertemuan pertama mereka, tapi kenapa?
“Hahaha, kasian kagak dianggep.” ledek Olin dan mendapatkan tatapan sinis dari Rangga.
Ponsel Rangga berdering nyaring di sakunya dan menampilkan nama “Opal” di layar ponselnya
“Halo, kenapa pal?”
Olin sibuk bermain dengan Gea, namun ia masih bisa mendengar obrolan Rangga di sebelahnya.
“Lo gabisa?”
Mendengar ucapan Rangga barusan, Olin menoleh kepadanya dengan alis yang menyatu.
“Kenapa?”
”....”
“Kenapa gak ngabarin sih Pall??”
”.....”
“Hm, oke.” akhir dari Rangga dan mematikan ponselnya.
“Kenapa?” tanya Olin.
Rangga menghela nafasnya pelan dan melihat perempuan di sebelahnya itu
“Opal gak bisa kesini, ada acara mendadak katanya.”
Olin berdecak pelan, berarti sama aja ini gue berdua doang sama ni orang... batin nya
“Yaudah, langsung aja nanti keburu sore”
Saat hendak berdiri, Gea menarik Olin untuk duduk kembali, menahannya untuk tak pergi kemana pun
Melihat itu, baik Rangga maupun Olin melihat Gea dengan tatapan bertanya-tanya, kenapa anak ini?
“Ka Linlin jangan kemana-mana...” lirih Gea.
Olin menampilkan senyum tipisnya lalu menyetarakan tubuhnya dengan Gea.
“Aku mau belajar dulu sebentar, ya?”
Bukannya mengiyakan, Gea malah semakin merengek bahkan cairan bening sudah memenuhi pelupuk matanya.
“Gimana nih Ga?”
Rangga berpikir sejenak, kalau Gea sudah merajuk kaya gini pasti sangat amat susah membujuknya.
“Yaudah, biar gue yang kerjain.”
“Lo sendiri dong?”
Rangga mengangguk, “Gea kalo udah ngerengek gini bakal lama, dari pada makin kejer lo temenin aja.”
Olin beralih melihat Gea di dalam gendongannya, mau tak mau bukan?
Untung saja tugas kelompok kali ini hanya membuat mind map dan tentunya Rangga masih bisa menanganinya sendiri.
“Cupp cupp, udah jangan nangiss, aku kan disini gak kemana-mana.” ujar Olin seraya membelai lembut pucuk kepala Gea di rengkuhan nya.
Olin pun sama heran nya dengan Rangga, tidak biasanya anak kecil mendekati dirinya lebih dulu, bahkan biasanya, anak kecil begitu takut dengan Olin.
Tapi Gea, dia berbeda.
“Eh? Tidur?”
“Tidur ya?” tanya Rangga
Olin mengangguk mengiyakan.
“Pindahin aja di sebelah lo, Lin. Gea berat, nanti lo pegel”
Olin memindahkan kepala Gea untuk bertumpu pada pahanya, mengusap wajahnya pelan dan memperhatikan setiap inci wajah dari gadis mungil yang tertidur itu.
“Cantik”
Satu kata yang keluar dari mulut Olin tanpa disengaja.
Rangga menarik sudut bibirnya mendengar penuturan Olin barusan.
“Lo suka anak kecil ya Lin?”
Olin mengangguk antusias “suka”
“Suka banget”
“Ini pertama kalinya anak kecil gak nangis pas ngeliat gue” tukas Olin.
Mendengar itu, Rangga menghentikan aktivitas menulisnya dan menoleh ke arah Olin di hadapannya
“Gue gak tau kenapa setiap anak kecil yang ketemu sama gue selalu nangis.”
“Padahal gak gue apa-apain.”
“Mungkin karna gue beda kali ya?”
“Beda?”
Olin mengangguk singkat, “iya, beda.”
“Yah... Pokoknya pas gue udah gede nanti dan punya anak, gue mau ngasih anak gue kasih sayang yang sesungguhnya.”
“Biar anak gue gak beda dari yang lain.” jelas Olin yang masih setia memandang Gea dibawahnya
Tentu saja Rangga tidak bodoh, ia tahu ke arah mana pembicaraan ini
“Ya kalo lo mau jadi ibu yang baik, jadi anak yang bener dulu”
“Jangan telattt mulu telat” gurau Rangga mencairkan suasana
Olin memicingkan matanya sinis kepada Rangga, dasar perusak suasana.
Sebenarnya, Rangga sedikit penasaran dengan Olin setelah perempuan itu menjelaskan panjang lebar perihal anak kecil padanya, tapi ia memilih untuk diam, menurutnya itu hal sensitif yang mungkin tak perlu ia tahu.
“Nih, udah.”
“Gue sisain buat lo, nanti kerjain aja dirumah.”
“Kenapa gak disini aja?” tanya Olin.
“Liat jam berapa sekarang, udah jam 5.”
“Nanti lo dicariin, udah mau ujan juga.” jelas Rangga.
“Opal ngapain?”
“Dia nanti yang gantiin duit bahan-bahan”
Olin mengangguk dan memasukan beberapa perlengkapan nya kedalam tas dengan hati-hati, takut Gea terusik dan bangun nantinya.
Rangga yang melihat Olin sedikit kesusahan pun berinisiatif mengambil Gea dari pangkuan Olin.
Namun sialnya, tepat saat Olin ingin beranjak berdiri bersamaan dengan Rangga yang muncul di hadapannya
Pandangan keduanya bertemu dengan jarak yang benar-benar tipis.
HEH?!
Olin memalingkan wajahnya yang tersipu malu, begitupun dengan Rangga.
“G-gue tadi mau ngambil Gea”
“Gak tau kalo lo mau berdiri”
“Maaf”
Olin hanya membalas dengan dehaman dan mengangguk, jujur saja, jantungnya kembali berdegup tak karuan sama seperti hari itu, bahkan lebih parah.
“Inhale, exhalee”
Olin menarik dan menghembuskan nafasnya secara perlahan lalu kembali bersikap seperti biasa, iya, ia tidak boleh kelihatan aneh dari biasanya.
“Nanti titip salam buat Gea ya, Ga.”
“Iya.”
“Btw, Lin.”
Olin berhenti melangkah dan menatap Rangga di belakangnya
“Ini”
Rangga mengeluarkan satu kertas polariod milik Olin dari sakunya
Olin membelalakan matanya kaget dan langsung mengambil kertas polaroid miliknya di tangan Rangga
“Kok bisa ada di lo?!” tanya Olin tak santai
“Yee, jangan ngomel dulu”
“Pas gue lagi periksa tas lo, fotonya jatoh, yaudah gue amanin” jelas Rangga
Olin menghembuskan nafasnya lega, setidaknya ia mendapatkan kembali foto miliknya setelah lama hilang dari beberapa hari yang lalu.
“Jadi impas kan?”
Olin menyatukan kedua alisnya, “impas apa?”
“Lo nyimpen foto gue”
“Gue juga nyimpen foto lo” ujar Rangga seraya menunjukkan barisan gigi nya itu dan mendapatkan tatapan tak suka dari Olin
Lebih tepat nya sih tatapan malu.
“Kan itu bukan gue, Ella yang masukin!” protes Olin tak terima
“Tapi sama aja kan?”
“Beda.”
“Sama.”
Olin memutar bola matanya malas, “Terserah lah Ga, terserah.”
Olin tak mempedulikan Rangga yang terkekeh karna menggodanya barusan, “dasar cowo sinting“
“Helm lo gak gitu makenya”
“Gapapa, emang udah biasa gini”
Rangga menghentikan pergerakan tangan Olin dan mengubah posisi kepala perempuan itu untuk menghadapnya.
“Siall mau apa lagi sihh?!”
Rangga melayangkan tangan nya ke udara dan meraih kunci helm milik Olin di hadapannya
cklek
“Di kunci Lin, percuma lo pake tapi gak di kunci tuh buat apa?”
Olin mengerjapkan kedua bola matanya kaget, sialan, lagi-lagi Rangga membuat dirinya tak karuan, gila.
“LO SINTING RANGGA, LO SINTING”
Dengan terburu-buru, Olin menyalakan motornya dan melaju kencang tanpa sepatah kata meninggalkan Rangga yang memanggil namanya di belakang sana
Iya, ia tidak mau Rangga melihat wajahnya yang bersemu untuk kedua kalinya, waktu itu saja sudah cukup memalukan baginya, toh berlama-lama disana yang ada dia bisa beneran gila!