hiirei

inoari

[ #inoari, ditulis untuk #marchmellow day 3: tending one's wound] [berawal dari bocah setting ke adult, non-canon, pov kedua daiki, angst mungkin yh, isinya ngomongin luka, ini kayaknya ooc dan tijel banget soalnya udah lama gak nulis mereka hue, bahasa indonesia]

disclaimer: saya hanya punya idenya, tidak ada profit selain kesenangan yang didapatkan.


Read more...

[#inoari dan #yabunoo, ditulis dari sudut pandang pertama daichan, bahasa indonesia. berdasarkan seri netflix, you.]

Kau punya sesuatu yang aku cari.

Kau punya sesuatu yang lain, tersembunyi dalam senyumanmu, dalam caramu memandang keluar jendela, dalam langkahmu yang tak pasti. Kau menyia-nyiakannya pada orang yang bahkan tidak lagi memandangmu sama seperti yang kau kira beberapa tahun lalu.

Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.

Kita hanya butuh waktu.

Kau belum mengenalku. Pernah satu-dua kali pandanganmu jatuh padaku, tapi secepat mungkin kau beralih. Karena aku bukan sosok yang kau cari dalam kerumunan tempat ini. Bukan juga sepasang mata lainnya yang ada di sini sebab dia tidak pernah lagi datang untuk melihatmu.

Aku suka caramu memainkan piano. Mungkin tidak sebagus pemain-pemain klasik atau mereka yang memenangkan hadiah perlombaan dunia, tapi kau punya suara yang berbeda dalam memainkan nada. Kau akan terlihat lebih tenang dari biasanya, fokusmu hanya pada balok-balok di hadapanmu, membiarkan mereka mengisi ruangan dengan alunan yang kau hapal malam sebelumnya.

Sesekali, kau akan meringis pelan ketika tidak sengaja menyentuh nada yang salah. Tidak ada yang menyadarinya, tentu, karena orang lain sibuk berbicara satu sama lain atau atensi terfokus pada gawai mereka.

Tenang saja. Aku menyadarinya, walau tidak akan memberikan reaksi apa-apa agar kau tidak merasa buruk. Aku menyadarinya, tapi kau tidak perlu tahu.

Pada malam-malam tertentu, dia akan menjemputmu setelah membuatmu duduk berjam-jam di pojok ruangan. Setelah bermain piano untuk pukul delapan, kau akan duduk di sana, berkutat dengan ponselmu. Pemilik kafe akan mengantarkanmu kue dan teh sebagai temanmu menunggu.

Aku selalu berpikir itulah kesempatanku. Untuk tidak sengaja menghampirimu, pura-pura tidak tahu kebiasaanmu menunggu dia, mengajakmu berbincang sebentar untuk menghilangkan kerut wajahmu.

Karena kau seharusnya tidak perlu menunggu sendirian. Kau bisa saja pulang tanpa dia. Apartemen kalian tidak jauh dari sini.

Tapi tanpa alasan untuk menjemputmu, dia tidak akan melihatmu sama sekali, kan?

Kau dan aku sama-sama tahu. Dia bukan lagi lelaki yang sama pada saat kau jatuh cinta padanya. Kau dan aku sama-sama tahu. Dia hanya ada karena kau mati-matian mengikatnya.

Tapi kau tidak perlu khawatir akan hal itu denganku. Kau tidak perlu membuat alasan kosong hanya untuk membuatku tetap bersamamu. Aku akan ada untukmu, selalu.

Sayangnya, bukan sekarang. Bukan pada malam ini. Bukan juga pada esok ketika langkahmu masih tertuju pada apartemenmu dan dia.

Tidak apa-apa.

Kita hanya butuh waktu.

[#inoari dan #hikaru sebagai teman curhat, fluff semoga, bahasa indonesia nyantai.]

“Jadi,” Hikaru melirik Inoo dari ujung matanya, “kamu mau dia pindah?”

“Bukan gitu.”

Mengangguk pelan, Hikaru menaruh gelasnya di atas meja. Sebenarnya, kopi di gelasnya itu terlalu panas untuknya. Tapi tidak apa, dia suka lidah yang sedikit terbakar. Bukan karena dia tidak bisa bergerak dari tempatnya untuk menambah air untuk kopinya. Tentu bukan karena kepala Inoo yang bersandar pada bahunya.

“Jadi, kau mau bagaimana?”

Ketika mendapat panggilan tak terjawab dari Inoo dan pesan singkat yang menyuruhnya untuk datang, Hikaru kira ada masalah darurat yang terjadi. Suatu waktu, Inoo pernah melakukan hal yang sama. Masalahnya tidak darurat, hanya saja waktu itu Inoo habis mabuk dan kangen Hikaru, katanya.

Walau sudah tahu tidak ada situasi yang benar-benar darurat ketika berhadapan dengan Inoo, Hikaru tetap datang. Nantinya dia akan protes juga. Inoo pasti punya teman lain untuk dijahili atau disuruh-suruh. Dia pasti akan membawa-bawa nama Takaki ke dalam percakapan, mengingatkan bahwa hubungan Inoo dan Takaki lebih dekat dan lebih cocok untuk masalah seperti ini. Lalu Hikaru akan mengingatkan lagi bahwa Inoo sudah punya Daiki sebagai pasangan hidup yang dapat direcoki.

Namun tetap saja, Hikaru akan datang. Dia juga yang memilih untuk ikut tinggal di apartemen yang sama dengan Inoo. Tempatnya hanya berjarak tiga pintu. Dia tidak punya alasan lain untuk menolak panggilan Inoo, kecuali di hari-hari dia memang bekerja.

“Itu dia, gak tahu,” jawab Inoo, menghela napas panjang. “Dia ada di mana-mana. Pas aku bangun, aku mau tidur, aku pergi kerja, aku di rumah. Semuanya ada dia.”

“Sekarang dia gak ada,” timpal Hikaru sambil tersenyum miring, tapi cepat-cepat dia hapus karena Inoo sedang serius.

Belum lama ini, Daiki tinggal bersama Inoo di apartemen yang sama. Tidak benar-benar pindah sebab Daiki masih menyimpan mayoritas barangnya di apartemen miliknya sendiri. Barang Daiki banyak, begitu juga barang Inoo. Jadi mereka rasa memang perlu dua apartemen.

Sudah lama keduanya bersama. Kalau disuruh mengingat-ingat, rasanya Hikaru sebal sendiri karena mereka suka tebar afeksi. Tidak lebih menyebalkan ketika Inoo memamerkan kedekatannya dengan Takaki, sih, tapi tetap saja dia sebal.

Pada awal-awal Daiki mulai tinggal bersama Inoo, tidak ada masalah yang muncul. Kelihatannya, mereka baik-baik saja. Baik Takaki maupun Hikaru tidak menerima keluhan dari Inoo atau Daiki. Yamada juga bilang kalau Daiki justru lebih cerah semenjak tinggal bersama.

Namun semua itu buyar ketika hari ini Hikaru disuruh datang dan mendengarkan celotehan Inoo sepanjang dua jam penuh.

“Ini yang kamu mau, bukan?” Hikaru bertanya kembali, memecahkan keheningan karena rasanya dia mengantuk perlahan. Ditambah dengan helaian rambut Inoo yang sesekali mengusap pipinya, dia tidak yakin bisa terjaga.

Inoo tidak langsung menjawab. Hikaru tidak memaksanya untuk memberi jawaban. Lucu sebenarnya, karena dalam momen seperti ini, Inoo terlihat seperti anak kecil dari mata Hikaru. Bukan anak kecil yang jahil atau banyak canda, tapi anak kecil yang bingung dan bertanya pada orang dewasa untuk jawaban. Terlebih, mereka berdua lebih sering melempar ejekan pada satu sama lain. Rasanya aneh, tapi tidak berarti dia tidak suka.

“Iya,” Inoo akhirnya menjawab, “mungkin.”

“Aku tahu aku tidak selalu sepenuhnya mendukung kalian karena kalian suka menyebalkan,” Hikaru menyandarkan kepalanya pada kepala Inoo, “tapi, Inoo-chan, ini adalah bagian 'bahagia selamanya' yang ada di dongeng.”

“Hah?” Inoo menarik kepalanya dan menatap Hikaru dengan sedikit sebal. Tidak lucu sekali kalau Hikaru bercanda di saat dia sedang mode serius.

“Bagian 'bahagia selamanya', bagian kedua tokoh utama akhirnya bersama,” Hikaru merenggangkan lengannya sedikit, terasa pegal juga ternyata, “pada bagian itu, keduanya terus bersama. Pasangan mereka pasti selalu mengisi hari-hari mereka. Jadi, ya, tidak aneh Dai-chan selalu ada di setiap tempat.”

Tidak salah juga. Pada dongeng, hampir semuanya di akhiri dengan 'bahagia selamanya'. Namun apa yang terjadi setelahnya? Apa yang kedua pasangan itu lakukan ketika mereka sudah melewati semua rintangan dan dapat bersama?

Inoo tertawa pelan. Menatap Hikaru dengan senyum lebar.

Tidak salah dia memanggil Hikaru untuk datang.

[#inoari, non-idol au, angst, bahasa indonesia]

“Menurutmu, mengapa orang mati lebih banyak menerima bunga?”

Pertanyaan itu dilontarkan pada suatu siang, di hari Minggu sore yang tenang. Inoo memindahkan saluran televisi berkali-kali, mencoba mencari acara yang layak ditonton, hanya melirik ketika mendengar lelaki di sampingnya membuka suara.

Dari sudut matanya, dia melihat Daiki ikut memandang televisi. Ponsel dalam genggaman, tapi layar tidak menyala seperti beberapa menit lalu.

“Entahlah.”

Jawaban Inoo singkat, tidak terlalu memberikan pertanyaan itu banyak ruang dalam pikirannya. Dari waktu ke waktu mengenal Daiki, dia tahu kapan harus menjawab serius dan tidak. Perasaannya sedikit mengganjal untuk kali ini, tapi dia meyakinkan diri bahwa ini hanya pertanyaan jahil sebab Daiki melihat suatu kutipan aneh di media sosial.

“Menurutmu bagaimana?” Daiki menanyakan lagi, tidak puas dengan jawaban yang tak hampir setengah serius.

Inoo terdiam. Daiki menunggu jawaban. Tapi dia tak kunjung menanggapi. Tidak pula menoleh sepenuhnya untuk menatap Daiki atau memberikan respons lain.

“Menurutku karena mereka kesepian,” jawab Daiki, “mungkin bunga-bunga itu bisa menemani mereka.”

“Atau karena tak ada kata-kata yang dapat kau sampaikan pada orang mati. Jadi, kau memberinya dalam lambang bunga. Lucu, ya, kalau orang mati itu tidak tahu arti bunga, nanti pesannya justru tidak sampai.”

“Atau mungkin karena orang-orang baru menghargai seseorang ketika mereka sudah tiada.” Daiki menatap Inoo, mengabaikan televisi yang memutar acara talkshow dipenuhi tawa dan canda. “Mungkin karena bunga itu tanda penyesalan mereka.”

Inoo membalas tatapannya, tapi tidak memberikan tanggapan. Dia tidak bisa membaca raut wajah Daiki. Padahal lelaki itu paling ekspresif di antara mereka berdua.

Inoo tidak mengerti. Tidak tergerak juga untuk bertanya.

Inoo mengerti, setelah dua minggu setelahnya.

Daiki tidak pernah menanyakan hal aneh lagi selain pertanyaan itu. Tidak juga menanyakan kembali untuk mengetahui jawaban Inoo. Bukan juga artinya Inoo punya jawaban untuk dia.

Yang dia punya hanya setangkai bunga matahari. Terlihat aneh dan mencolok di antara kesuraman batu-batu dengan ukiran nama yang juga terukir dalam memori dan hatinya.

Yang dia punya hanya penyesalan.