[#yabu, #takaki, #inoo, dan #hikaru dalam #siblingau dengan umur inoo (10) dan hikaru (7) + yabu (14) dan takaki (12)]
Pada suatu masa, Hikaru sempat bergantung pada Kei.
[#hikaru dan #daiki (+ #takaki), sibling au dengan umur hika (17) dan daiki (15), bahasa indonesia.]
Minggu itu, Hikaru dan Daiki yang mendapat tugas belanja.
Yuya sempat menatap ragu keduanya ketika mereka meminta kunci motor. Hikaru, baru saja berulang tahun beberapa bulan lalu, sudah mendapat kartu untuk mengemudi. Umur kartu itu belum lama. Hikaru baru saja lolos tes dan mendapatkannya minggu lalu.
Oleh karena itu, Yuya sedikit mempertimbangkan kondisi.
Yuya sendiri yang mengajari Hikaru mengendarai motor. Dia yang selalu ada ketika Hikaru panik untuk menyalip atau masuk ke jalur jalan raya. Dia yang ada ketika tangan Hikaru goyang, membuat motor mereka oleng, dan hampir menyentuh aspal. Dia juga yang ada ketika Hikaru mengambil tes mengemudi.
Dengan beberapa rayuan dan bujukan Daiki, serta Hikaru yang meyakinkan Yuya, akhirnya kunci itu diberikan. Tentu dengan peringatan yang diulang-ulang oleh si anak kedua, dijawab dengan anggukkan kedua adiknya.
Kei sempat melirik mereka curiga, sedikit meledek agar mereka tidak jatuh. Sayang soalnya, motor mereka baru saja dicuci olehnya.
Perjalanan dari rumah ke toko terdekat mereka lalui dengan mulus. Tidak ada hambatan, tangan Hikaru yang bergetar, atau kecemasan yang diutarakan si pengemudi. Daiki merasa lega. Dia sudah siap untuk menjadi mental support Hikaru hari ini, tapi akan lebih baik lagi jika kakaknya memang tidak membutuhkannya.
Daftar belanjaan yang diberi Kota sehari lalu berisi aneka barang. Mulai dari barang yang memang habis dan butuh dibeli, sampai barang-barang tidak jelas yang berasal dari permintaan tiga bungsu. Daiki dan Hikaru saling menatap. Sepakat untuk tidak sengaja melupakan barang-barang tidak penting itu. Kalau adik-adik mereka protes, mereka bisa pergi membeli semuanya sendiri.
“Kok jadi sebanyak ini, ya,” ucap Daiki, menjinjing tas belanjaan di tangan kanan dan kiri. Bawaan Hikaru tidak seberapa, takut oleng jika jinjingan pada stang motor terlalu berat.
“Soalnya memang banyak yang habis, kan,” Hikaru meliriknya, tidak menawarkan bantuannya untuk membawa sampai parkiran.
Sampai pada motor mereka, Hikaru mencantelkan jinjingannya pada kaitan stang motor. Namun, beberapa saat kemudian, dia meraih ke dalam jinjingan itu, mengeluarkan plastik khusus berisi telur.
“Kayaknya jangan di situ,” Hikaru menoleh pada Daiki, “takut kesenggol-senggol, nanti pecah.”
“Tasku udah penuh, gak bisa masuk,” protes Daiki, “yang ada jatuh di jalan nanti.”
Namun, belum sampai Daiki selesai berbicara, Hikaru tampak punya rencana lain. Dia membuka jok motor, lalu menaruh plastik telur itu di dalam bagasi. Untungnya, tempat itu pas, tidak ada telur yang harus tergencet ketika jok kembali ditutup.
“Ah, tapi mesinnya nanti panas, ya. Telurnya bakal jadi ayam, gak, ya?”
“Mana ada!” Daiki sebal, lebih kesal karena omongan kakaknya didengar beberapa orang yang lewat dan membuat mereka tertawa. Sebenarnya, dia juga ingin tertawa, tapi wajah Hikaru yang polos membuatnya refleks memarahi si kakak. “Udah, ayo, pulang.”
Selama perjalanan pulang, Daiki berdoa agar tidak ada apa-apa. Hikaru mengendarai dengan kecepatan sedang, atas perintah Daiki karena dia tetap harus menjinjing tas belanjaan di atas motor. Agak frustasi juga, kalau boleh jujur, karena tangannya terasa panas dan berkeringat, takut-takut jadi licin dan tasnya lepas dari pegangan.
“Hikaru,” Daiki memanggil, sedikit berteriak karena jalanan ramai.
Sayangnya, suara Daiki terlalu keras dan tiba-tiba, membuat kakaknya terkejut. Tangan Hikaru refleks memutar gas, membuat tubuh mereka sedikit tertarik ke belakang.
“Hikaru!” Daiki kembali berseru, sama sekali tidak membantu kakaknya yang sudah panik dan tidak tergerak untuk mengurangi kecepatan.
Beberapa kendaraan lain yang tadinya jauh, kini semakin dekat, bahkan Hikaru dapat menyusul dan mendahului mereka. Sesekali, terdapat beberapa klakson sebab Hikaru menyalip mereka yang memberi sein, tidak memperhatikan orang-orang yang memberi tanda berbelok.
“P-pelan-pelan,” mau tak mau, Daiki harus memandu kakaknya, tidak bisa juga minta Hikaru untuk mengerem mendadak dan membuat mereka jatuh, “pelan-pelan lepas gasnya.”
Daiki tidak yakin seberapa jelas Hikaru mendengarnya, namun perlahan dia merasakan kecepatan mereka berkurang. Jantungnya mulai sedikit tenang, walau masih berdegup kacau takut-takut Hikaru terkejut lagi.
Untungnya, sisa perjalanan pulang berlalu baik-baik saja. Hikaru tidak lagi terkejut, Daiki bungkam agar tidak mengagetkannya.
Ketika kakinya menyentuh halaman rumah, Daiki menghela napas panjang. Senyum lebar muncul. Dia masih hidup!
Mematikan mesin motor, Hikaru menoleh pada adiknya. Cengiran ada pada wajahnya dengan sedikit teror masih mewarnai ekspresi. Daiki tidak punya hati untuk mengomeli kakaknya. Dia juga sama-sama salah.
Mengambil belanjaan, serta tidak melupakan telur di bagasi, mereka berjalan menuju rumah.
“Gak jadi ayam, ya, ternyata,” ujar Hikaru, memecahkan keheningan di antara mereka.
Daiki hanya bisa tertawa lepas.
[#yamada, #yuto, #chinen, #daiki, dan #hikaru; sibling au dengan umur chinen 4 dan tiap bocah beda 2 tahun; sick fic sebagai pelarian atas tidak adanya ide nulis; bahasa indonesia.]
Hal yang paling ditakuti oleh mereka adalah Kota yang sakit.
Namun, hari itu membuktikan ketakutan mereka tidak seberapa dibanding kenyataan yang mereka hadapi.
Tidak hanya Kota, Yuya dan Kei juga sakit. Mereka bertiga pulang basah kuyup dua malam lalu karena menerjang hujan badai yang tidak berhenti sampai keesokan harinya. Walau sudah diberi pencegah sakit seperti air hangat yang disodorkan setiap setengah jam, tubuh ketiganya tetap tidak kuat.
Untungnya, musim ujian sudah terlewati. Ketiganya dapat tenang memakai jatah absen untuk beristirahat penuh di rumah.
Sialnya, bagi tiga bocah cilik, artinya Hikaru yang mengambil alih. Kalau Hikaru yang memegang perintah, artinya ada saja omelan yang mereka dapatkan.
“Kalian diam saja di rumah, oke?” Hikaru menoleh, memastikan ketiga adik kecilnya itu mendengarnya. “Jangan keluar, jangan buka pintu kalau ada tamu, jangan melakukan hal-hal aneh.”
Yuto sebenarnya gatal ingin menyuruh Hikaru berhenti menggunakan kata “jangan”, tapi Ryosuke meliriknya tajam. Tanda dia harus diam dan mengangguk saja. Bagi Yuto, Ryosuke tidak jauh beda dengan Hikaru. Galak, tapi dengan cara yang berbeda.
Yuri sebenarnya sudah tidak mendengarkan sejak Hikaru membuka mulutnya. Kepalanya otomatis tergerak untuk mengangguk karena Hikaru menatapnya dengan sedikit melotot. Dalam hati, dia tahu Ryosuke akan mengingatkannya juga jika ada sesuatu yang Hikaru larang.
Ryosuke memberi senyum manis, tampak berbeda dari kedua adiknya. Hikaru sempat menatapnya awas, curiga dia punya rencana macam-macam, tapi Ryosuke membuatnya yakin tidak ada intensi aneh-aneh.
“Kalau ada apa-apa, tanya Daiki,” Hikaru berkata sebelum menutup pintu, “tadi dia ada di kamarnya.”
Betul Daiki ada di kamarnya. Hanya saja, kakak mereka satu itu tidak sadarkan diri. Tertidur pulas setelah lelah kerja rodi membereskan rumah dengan Hikaru pagi tadi. Tidak ada yang dapat membangunkan Daiki selain alam.
Dan karena itulah mereka beranjak ke dapur.
“Kenapa enggak kak Hikaru aja yang masak nanti?” tanya Yuto sambil memberikan Ryosuke panci yang diminta.
“Karena kita mau kasih kejutan.” Ryosuke menatap kedua adiknya. “Sesekali, kita harus jadi yang jagain kakak-kakak kita.”
Mendengar kata-kata Ryosuke, Yuto terpukau. Mudah saja memang membuat Yuto semangat mengerjakan sesuatu. Yuri, sih, tidak termotivasi. Tapi tidak salah juga mengerjakan sesuatu dengan kedua kakaknya.
“Yuri, coba ambil buku resep di ruang tv.”
Yuri mengangguk, kakinya langsung berjalan menuju tempat pencarian. Ryosuke beralih pada adik satunya lagi, kini dengan senyum sumringah setelah semangat.
“Kau, ambilkan barang-barang di tempat tinggi.”
“Ehhh?” Yuto kecewa. “Kenapa hanya ambilkan barang?”
Ryosuke menatap lama adiknya. Dia tidak mau terang-terangan mengatakan bahwa Yuto yang paling tinggi dari mereka bertiga, tapi memang itu alasannya dia mengiyakan tawaran Yuto untuk membantu.
“Karena kamu pecicilan, nanti dapurnya berantakan,” jawab Ryosuke final, mengalihkan pandangannya pada Yuri yang memberinya buku resep.
Sejenak, mereka bekerja dalam ketenangan. Yuto hanya bergerak ketika mendapat perintah dari Ryosuke. Yuri pun tidak banyak komentar. Ryosuke pada mode normal sudah cukup galak, kalau sedang memasak akan lebih menyalak.
Masakan yang dibuat sebenarnya sederhana. Krim sup jagung dengan irisan ayam yang tebal-tebal. Ryosuke belum pernah mencoba sebelumnya, tapi tahapan yang ditulis dalam buku resep tidak terlalu sulit.
Walau begitu, tatapan cemasnya tetap terpancar menunggu Yuri mencicipi sup tersebut.
“Gimana?” tanya Ryosuke, setengah tidak sabar karena Yuri tidak berkata apa-apa.
“Hmm,” Yuri melirik Yuto yang ingin mencicipi juga, “biasa saja, sih. Coba Yuto yang cicip.”
Tatapan cemas itu beralih pada Yuto. Memang, tidak banyak yang dapat diharapkan dari Yuri ketika mencicipi makanan. Semua terasa biasa saja kecuali masakan Kei yang dibuat dalam sekali setiap purnama biru.
“Ah!” Yuto tersenyum lebar, menularkannya pada wajah Ryosuke. “Enak kok.”
“Apanya yang enak?”
Ketiganya terkesiap, dengan cepat menoleh pada sumber suara. Berdiri di sekat dapur dan ruang makan, Daiki menatap mereka bertiga dengan cengiran lebar. Rambutnya berdiri hampir ke segala arah. Tanda Daiki baru saja bangun.
Tanpa menunggu jawaban dari ketiga adiknya, Daiki beralih pada panci yang masih di atas kompor. Uap panas segera keluar ketika Daiki membuka tutupnya.
“Memangnya Hikaru bolehin kalian masak?” tanya Daiki, tapi tangannya mengambil sendok yang tergeletak tak jauh darinya. Mengambil sedikit dari dalam panci, Daiki ikut mencicipi krim sup itu.
“Ih, curang,” Yuto mendorong pelan Daiki, “harusnya tadi Daiki ikut masak.”
“Kan aku tadi beresin rumah,” Daiki membela diri sambil mengambil mangkuk, siap menyendokkan krim sup itu ke dalamnya, “jadi adil, dong, kalian yang masak.”
Yuri ikut protes, ditambah Yuto yang semakin mengoceh tak mau kalah. Sambil tertawa menanggapi adik-adiknya, Daiki mengambil mangkuk lagi, membantu Ryosuke menyiapkan untuk ketiga kakak mereka yang sakit.
Hikaru pulang ketika semua mangkuk tersedia di atas meja, disusul dengan hujan deras yang kembali turun. Porsi krim sup sesuai dengan jumlah mereka sehingga tak ada yang bisa menambah.
Untuk sesaat, Hikaru sadar ketiga adiknya itu masak tanpa bilang-bilang, tapi Kota dengan lemas menyuruhnya duduk. Bukan berarti ketiga bungsu itu akan lolos dari omelan.
Namun setidaknya, mereka dapat mencicipi krim sup dulu, mumpung masih hangat di saat udara dingin hujan mengisi rumah.
[#yamada, #hikaru, dan #inoo. sibling au dengan umur yamada 6, hikaru 10, dan inoo 12. bahasa indonesia.]
Ryosuke dikenal sebagai orang yang tahu jalan.
Mungkin karena terlalu sering berpetualang sejak kecil, alasannya bermain ke taman tapi melalangbuana hingga hutan kota seberang. Mungkin karena dia selalu bisa menemukan arah pulang tanpa kecuali. Mungkin karena wajahnya juga meyakinkan kalau ditanya.
Tapi sebenarnya tidak.
Ryosuke tidak tahu jalan.
Yang tahu tentang hal ini hanya beberapa saja. Umumnya orang-orang yang sudah tersasar karena arahan dari Ryosuke. Tentu mereka tidak bisa memberikan umpan balik atau komentar mengenai reputasi Ryosuke sebagai penunjuk jalan sebab mereka tidak terlihat lagi di sekitar.
Yang tahu tentang hal ini di keluarga hanya Hikaru dan Kei.
Kei tentu tahu, karena dia tahu segala aib keluarga, baik karena memang diberitahu maupun karena tahu sendiri. Tanpa harus banyak memperhatikan, dia tahu Ryosuke tidak benar-benar paham ketika ditanya arah jalan. Sebagai mantan bocah yang suka berpetualang juga, Kei lebih punya memori kuat terkait jalan.
Begitu juga dengan Hikaru, teman kabur-kaburan Kei. Kalau Kei sudah berjalan tanpa suara, Hikaru akan tahu. Kedua pandangan mereka akan bertemu ketika Kei akan keluar rumah dan Hikaru menangkapnya basah dari tangga atas. Akhirnya, Hikaru selalu pergi mengikuti Kei dan hapal jalanan.
Jadi, tentu, Hikaru tahu ketika seseorang buta arah seperti Ryosuke.
“A-anu, permisi,” seseorang berkata cukup keras, membuat ketiganya menoleh, “saya ingin pergi ke tempat ini.”
Orang itu menyodorkan secarik kertas bertuliskan alamat. Hikaru yang mengambilnya, sebab dia tahu Kei tidak pernah inisiatif mengambil jika diulurkan sesuatu. Tangan Ryosuke tidak akan sampai untuk mengambilnya.
“Aku tahu,” Ryosuke berkata, wajahnya serius dan terlihat tampak bisa dipercaya, “tinggal lewat belokan itu, lurus terus, nanti ada di sana.”
Hikaru dan Kei menatap Ryosuke heran. Lihat alamatnya saja tidak, kok bisa-bisanya memberi petunjuk arah?
Entah bagaimana, orang itu percaya saja. Tatapannya teralihkan pada arah yang ditunjuk Ryosuke sebelumnya, mengangguk-angguk mengerti.
“Bukan, bukan,” Hikaru memotong, membuat perhatian orang itu kembali pada mereka, “harusnya ke arah sana, lurus sampai ada pertigaan dan belok kanan. Tidak lama, nanti akan ada gedung dengan tulisan ini.”
Orang itu tampak bingung. Arah yang ditunjuk Hikaru bertolak dengan yang diberikan Ryosuke. Tatapan orang itu beralih pada Hikaru yang terlihat tidak meyakinkan, lalu pada Ryosuke yang ekspresinya tidak berubah.
Hanya tersenyum sambil mengucap terima kasih, orang itu mengambil kertas yang dia berikan pada Hikaru, lalu berjalan cepat ke arah yang ditunjuk Ryosuke. Hikaru ingin memanggilnya, tapi kecepatan jalan orang itu membuatnya jelas tidak ingin berurusan dengan mereka lagi.
Melirik Kei yang diam saja, Hikaru memelototi Ryosuke yang juga tidak bereaksi apa-apa.
“Memangnya kamu tahu ke sana itu ke arah mana?” Hikaru menunjuk ke arah yang diberikan Ryosuke.
Adiknya itu mendongak sedikit untuk menatapnya. “Tidak, sih, tapi menurut perasaanku arah yang benar ke sana.”
Tanpa menunggu omelan Hikaru, Ryosuke cepat-cepat berlari ke arah sebaliknya, ke arah rumah. Arah yang satu-satunya diketahui Ryosuke dengan benar selain taman bermain.
“Kau juga,” Hikaru beralih pada kakaknya, “kok diam saja?”
Kei menatap Hikaru, lalu pada adik mereka yang sudah jauh berlari dari mereka.
“Sesekali.”
Tanpa penjelasan lebih, Kei mulai melangkahkan kakinya kembali, menyusul Ryosuke dengan langkah yang tak seberapa. Hikaru menghela napas panjang. Tidak ada yang benar.
[Lebih kesalnya lagi, ketika mereka pulang dan Hikaru menceritakan kejadian itu pada yang lain, semuanya percaya pada Ryosuke. Tidak ada yang tahu kebenarannya kecuali Hikaru dan Kei, tapi Kei juga tidak punya usaha untuk meluruskan asumsi yang salah ini.
Jadi, Ryosuke tetap dianggap sebagai penunjuk jalan andal dalam keluarga.]
[#inoari dan #hikaru sebagai teman curhat, fluff semoga, bahasa indonesia nyantai.]
“Jadi,” Hikaru melirik Inoo dari ujung matanya, “kamu mau dia pindah?”
“Bukan gitu.”
Mengangguk pelan, Hikaru menaruh gelasnya di atas meja. Sebenarnya, kopi di gelasnya itu terlalu panas untuknya. Tapi tidak apa, dia suka lidah yang sedikit terbakar. Bukan karena dia tidak bisa bergerak dari tempatnya untuk menambah air untuk kopinya. Tentu bukan karena kepala Inoo yang bersandar pada bahunya.
“Jadi, kau mau bagaimana?”
Ketika mendapat panggilan tak terjawab dari Inoo dan pesan singkat yang menyuruhnya untuk datang, Hikaru kira ada masalah darurat yang terjadi. Suatu waktu, Inoo pernah melakukan hal yang sama. Masalahnya tidak darurat, hanya saja waktu itu Inoo habis mabuk dan kangen Hikaru, katanya.
Walau sudah tahu tidak ada situasi yang benar-benar darurat ketika berhadapan dengan Inoo, Hikaru tetap datang. Nantinya dia akan protes juga. Inoo pasti punya teman lain untuk dijahili atau disuruh-suruh. Dia pasti akan membawa-bawa nama Takaki ke dalam percakapan, mengingatkan bahwa hubungan Inoo dan Takaki lebih dekat dan lebih cocok untuk masalah seperti ini. Lalu Hikaru akan mengingatkan lagi bahwa Inoo sudah punya Daiki sebagai pasangan hidup yang dapat direcoki.
Namun tetap saja, Hikaru akan datang. Dia juga yang memilih untuk ikut tinggal di apartemen yang sama dengan Inoo. Tempatnya hanya berjarak tiga pintu. Dia tidak punya alasan lain untuk menolak panggilan Inoo, kecuali di hari-hari dia memang bekerja.
“Itu dia, gak tahu,” jawab Inoo, menghela napas panjang. “Dia ada di mana-mana. Pas aku bangun, aku mau tidur, aku pergi kerja, aku di rumah. Semuanya ada dia.”
“Sekarang dia gak ada,” timpal Hikaru sambil tersenyum miring, tapi cepat-cepat dia hapus karena Inoo sedang serius.
Belum lama ini, Daiki tinggal bersama Inoo di apartemen yang sama. Tidak benar-benar pindah sebab Daiki masih menyimpan mayoritas barangnya di apartemen miliknya sendiri. Barang Daiki banyak, begitu juga barang Inoo. Jadi mereka rasa memang perlu dua apartemen.
Sudah lama keduanya bersama. Kalau disuruh mengingat-ingat, rasanya Hikaru sebal sendiri karena mereka suka tebar afeksi. Tidak lebih menyebalkan ketika Inoo memamerkan kedekatannya dengan Takaki, sih, tapi tetap saja dia sebal.
Pada awal-awal Daiki mulai tinggal bersama Inoo, tidak ada masalah yang muncul. Kelihatannya, mereka baik-baik saja. Baik Takaki maupun Hikaru tidak menerima keluhan dari Inoo atau Daiki. Yamada juga bilang kalau Daiki justru lebih cerah semenjak tinggal bersama.
Namun semua itu buyar ketika hari ini Hikaru disuruh datang dan mendengarkan celotehan Inoo sepanjang dua jam penuh.
“Ini yang kamu mau, bukan?” Hikaru bertanya kembali, memecahkan keheningan karena rasanya dia mengantuk perlahan. Ditambah dengan helaian rambut Inoo yang sesekali mengusap pipinya, dia tidak yakin bisa terjaga.
Inoo tidak langsung menjawab. Hikaru tidak memaksanya untuk memberi jawaban. Lucu sebenarnya, karena dalam momen seperti ini, Inoo terlihat seperti anak kecil dari mata Hikaru. Bukan anak kecil yang jahil atau banyak canda, tapi anak kecil yang bingung dan bertanya pada orang dewasa untuk jawaban. Terlebih, mereka berdua lebih sering melempar ejekan pada satu sama lain. Rasanya aneh, tapi tidak berarti dia tidak suka.
“Iya,” Inoo akhirnya menjawab, “mungkin.”
“Aku tahu aku tidak selalu sepenuhnya mendukung kalian karena kalian suka menyebalkan,” Hikaru menyandarkan kepalanya pada kepala Inoo, “tapi, Inoo-chan, ini adalah bagian 'bahagia selamanya' yang ada di dongeng.”
“Hah?” Inoo menarik kepalanya dan menatap Hikaru dengan sedikit sebal. Tidak lucu sekali kalau Hikaru bercanda di saat dia sedang mode serius.
“Bagian 'bahagia selamanya', bagian kedua tokoh utama akhirnya bersama,” Hikaru merenggangkan lengannya sedikit, terasa pegal juga ternyata, “pada bagian itu, keduanya terus bersama. Pasangan mereka pasti selalu mengisi hari-hari mereka. Jadi, ya, tidak aneh Dai-chan selalu ada di setiap tempat.”
Tidak salah juga. Pada dongeng, hampir semuanya di akhiri dengan 'bahagia selamanya'. Namun apa yang terjadi setelahnya? Apa yang kedua pasangan itu lakukan ketika mereka sudah melewati semua rintangan dan dapat bersama?
Inoo tertawa pelan. Menatap Hikaru dengan senyum lebar.
Tidak salah dia memanggil Hikaru untuk datang.
[#yabu, #hikaru, dan #chinen, sibling au; yabu (15), hikaru (8), chinen (5 bulan), bahasa indonesia.]
“Tenang saja,” suara Yabu terdengar dari lantai bawah, “kamu bisa, Hikaru.”
Hikaru mencibir mumpung yang paling tua tidak dapat melihatnya. Tatapannya tertuju pada adiknya yang terbaring di atas kasur, kedua mata kecil membalas tatapannya. Dia tahu anak bayi belum dapat banyak berekspresi, tapi dia juga yakin adiknya ini setengah menghakiminya melalui tatapan itu.
“Kamu saja, Kota!” Tidak ada sapaan 'kak' yang biasanya dia pakai, sengaja agar kakaknya itu lebih mengerti situasi.
Menunggu dalam hening, dia tidak lagi mendengar sahutan dari kakaknya. Mungkin karena sibuk memasukkan cucian ke dalam mesin (seharusnya Kei yang bertugas mencuci hari ini, tapi dia kabur pagi-pagi buta). Mungkin karena sengaja agar Hikaru tidak protes lagi.
Beberapa menit lalu, adik bungsunya ini menangis. Hanya ada Hikaru dan Kota di rumah. Yuya pergi ke pantai. Kei kabur. Daiki dan Ryosuke berlomba lari menuju taman bermain. Yuto sibuk mengusik anak tetangga.
Normalnya, Kota yang mengurus si bungsu. Hikaru kikuk sendiri kalau dihadapi dengan suara tangis, lebih-lebih kalau dari adiknya. Daiki, Ryosuke, dan Yuto biasanya akan sengaja menangis agar Hikaru berhenti ngomel. Kalau sudah begitu, dia akan menghela napas panjang dan minta maaf setengah niat, sebenarnya gatal ingin menjotos ketiga adiknya, tapi tidak tega juga karena masih kecil.
Kalau dengan Yuri, Hikaru tidak tahu harus bagaimana.
Kota berkali-kali mengajarkannya. Sejak Daiki lahir dan menjadi adik pertama Hikaru, Kota selalu mengajaknya untuk mencoba menggendong si bayi. Tapi Hikaru akan menyerah duluan, baik karena adiknya berat maupun karena bayi punya kebiasaan menangis ketika dia pegang.
Namun hari ini, Kota harus membereskan rumah. Hikaru sebenarnya ingin saja jika mereka bertukar tugas. Sayangnya, Kota menolak. Dia hanya diberi satu tugas: menggendong adiknya.
Yuri lebih banyak tertidur kalau menjelang siang seperti ini. Tangisan beberapa saat lalu bisa jadi dikarenakan Kota terlalu keras membuka mesin cuci.
Jadi, sebenarnya, tugas Hikaru sederhana. Menggendong adiknya dan membuatnya kembali tertidur.
Namun kini Yuri tidak lagi menangis. Lelah sendiri karena tidak mendapat respons apa-apa dari Hikaru. Hikaru sempat mau membiarkannya saja dan beranjak keluar kamar. Begitu dia berdiri, tangis Yuri akan kembali melengking.
Seakan mempermainkan dia.
“Kamu mau ditemani saja, begitu?” Hikaru mencoba bertanya. “Tapi aku gak mau gendong.”
Mendengar kata terakhir dari Hikaru, Yuri kembali menangis. Mungkin di situasi lain, Hikaru dapat tertawa dengan reaksi adiknya. Tapi karena dia yang harus menghadapi masalah ini, tawa jauh dari ekspresinya.
“Aku gak mau.” Hikaru mengulang, suaranya mencoba melawan tangisan si bungsu. “Gak bisa.”
Hikaru pikir, volume tangis adiknya sudah kencang. Tapi lama-kelamaan rasanya semakin besar, mungkin bisa terdengar sampai taman bermain yang jaraknya beberapa ratus meter.
Menarik napas dalam-dalam, Hikaru mencoba meredam emosinya. Mungkin kesal pada Kota. Mungkin kesal karena dia tidak mau menggendong bayi. Tapi bisa gila juga kalau mendengar tangis ini terus-menerus.
“Baiklah,” Hikaru menghela napas kalah, “tapi kau harus tidur setelah kugendong.”
Tangis Yuri sedikit mereda mendengar ucapan Hikaru. Kedua matanya menatap Hikaru dengan tanya, melirik sana kemari pada fitur wajahnya.
Setelah menghitung dalam hati, Hikaru memantapkan diri untuk mengulurkan kedua tangannya. Yuri tidak seberat Daiki atau Ryosuke ketika berumur lima bulan. Bukan berarti jadi lebih mudah baginya. Dia justru jadi takut adiknya itu bisa lepas dari pegangannya dan jatuh. Semoga saja tidak.
Menyandarkan badan adiknya pada badannya, satu tangannya mengusap pelan punggung si bungsu. Dia melangkah kecil mengitari ruangan, menggoyangkan tubuh Yuri pelan agar adiknya mengantuk.
Perlahan, dia menggumamkan lagu pengantar tidur yang dia tahu. Dia merasakan gerakan kecil pada punggungnya, rasanya sedikit geli, tapi lucunya dia tidak keberatan.
Mungkin tidak seburuk itu juga.
“Hikaru, kau bisa gantian denganku sekarang.”
Kota menghela napas ketika tidak ada jawaban dari Hikaru. Mungkin adiknya kesal. Semoga saja tidak lama-lama.
Melangkahkan kaki menunju lantai atas, Kota sedikit heran. Rasanya sunyi sekali. Tidak ada tangisan apapun. Tidak ada suara Hikaru yang mungkin menggerutu kesal padanya.
Mengintip pelan dari pintu ruangan, Kota akhirnya tersenyum ketika melihat isi kamar.
Yuri si bungsu terlelap di atas kasur. Dalam dekapan Hikaru yang juga tertidur.
[#yuto dan #hikaru, ficlet, bahasa indonesia.]
Memancing di Minggu pagi adalah salah satu kebiasaan Hikaru yang baru-baru saja dimulai. Semua berkat Takaki yang sempat mengajaknya karena dia terlihat tertarik. Hikaru, dengan jiwa berpetualangnya yang menggebu-gebu, tentu mengiyakan.
Dan tanpa sadar, memancing jadi salah satu kebiasaannya selain berkemah yang dilakukan sebulan sekali.
Sayangnya, hari ini Takaki sedang tidak bisa menemaninya. Latihan untuk musikal yang akan datang membuatnya beberapa kali melewati hari minggu mereka di suatu danau. Tidak apa-apa juga, pikir Hikaru. Kini dia sudah cukup terbiasa dan tahu cara memancing yang benar. Walau tanpa Takaki, dia tetap bisa mendapatkan beberapa ikan untuk dibakar sore nanti dengan Yabu dan Daiki.
Sebagai ganti Takaki, Yuto tiba-tiba hadir di depan pintunya, lengkap dengan peralatan memancing dan senyum lebar. Hikaru tidak tahu bagaimana caranya Yuto bisa datang secepat itu. Padahal dia baru saja mengatakan akan pergi memancing sendiri di group chat mereka sekitar sepuluh menit lalu.
“Tenang saja,” Yuto berkata dalam perjalanan menuju perahu motor yang dimiliki Inoo entah darimana, “aku sudah sempat mencari tahu segala hal yang perlu diketahui sebelum memancing.”
Hikaru sempat melihatnya aneh. Selama ini, Yuto terlihat sebagai tipe orang indoor, lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ketika punya hari libur, dan hanya keluar jika sedang ingin memotret sesuatu. Namun hari ini Hikaru tidak melihat Yuto membawa kamera sama sekali—untung juga sebenarnya karena Hikaru tentu akan melarangnya membawa benda seperti itu ke tengah perairan.
“Kau yakin mau memancing?” Hikaru bertanya sekali lagi, setelah sempat melontarkan kalimat yang sama sejak dia melihat Yuto di depan pintunya.
Yuto mengangguk. “Iya, yakin. Ayo, cepat, jalan!”
Dalam hati, Hikaru merasa seperti sedang membawa anak kecil memancing pertama kali. Senyum Yuto yang lebar dan badannya yang tak bisa diam tidak jauh berbeda dengan energi anak kecil. Menghela napas panjang, dia menyalakan mesin dan mengarahkan perahu ke titik biasa dia dan Takaki memancing.
Beberapa menit pertama berjalan biasa saja. Hikaru mengantarkan mereka ke tengah danau dengan selamat, membuka kotak berisi umpan dan menyiapkan tempat untuk tangkapan mereka, lalu memasang pancingan mereka dengan umpan. Yuto sempat tertawa geli melihat umpan-umpan tiruan yang ada.
“Sunyi, ya,” Yuto tiba-tiba berkata setelah mereka melemparkan pancingan mereka, “tenang juga di sini.”
Hikaru tidak menjawab, hanya melirik ke arah Yuto sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada pancingan miliknya.
“Tidak ada orang lain yang memancing selain kita,” suara itu kembali mengisi keheningan, “padahal kan sekarang hari libur.”
Lagi, Hikaru tidak menanggapi. Mereka juga duduk hampir saling membelakangi, jadi mudah untuk Hikaru mengabaikan Yuto, menganggapnya angin lalu.
“Hikaru,” Yuto menarik bahunya pelan, tapi cukup membuatnya harus menoleh ke arah temannya itu, “kau, kok, diam saja, sih?”
“Karena itulah gunanya memancing,” Hikaru menghela napas, “ikan-ikan bisa mendengarmu, jadi kita butuh untuk tenang. Diam.”
Yuto terlihat berpikir sebelum mengangguk, melepaskan genggamannya pada bahu Hikaru. Dia sempat tidak yakin temannya itu benar-benar mengerti, tapi dia tidak ingin bertanya.
Belum ada satu menit berlalu sebelum suara Yuto kembali terdengar. “Tapi aku bosan.”
“Kalau bosan, jangan ikut memancing.”
“Tapi aku kan sudah di atas perahu, di tengah danau sekarang.” Yuto menatap punggung Hikaru. “Terus aku juga ....”
Hikaru menunggu untuk Yuto menyelesaikan kalimatnya. Namun ucapan temannya itu hanya berhenti di situ, seakan sengaja agar Hikaru penasaran, lalu menoleh dan berbicara padanya. Dia ingin tidak peduli, awalnya, tapi lama-kelamaan Yuto bergumam, entah berbicara apa, membuatnya gatal juga untuk bertanya.
“Apa?” Hikaru menoleh. “Kamu juga apa?”
Cengiran muncul di wajah temannya. Hikaru menahan diri untuk tidak sebal.
“Aku ingin ke toilet.”
Mana mungkin mereka bisa ke toilet. Mereka sudah di tengah danau, cukup jauh dari pinggiran daratan, tentu lebih jauh lagi dari toilet karena toilet terakhir yang mereka temui adalah di rumah Hikaru. Mungkin ada di pom bensin terdekat, tapi tidak menjamin juga dapat digunakan. Hikaru pernah berada di posisi yang sama, naasnya, dan dia harus menahan sampai dia dan Takaki kembali ke rumah.
Tidak bisa juga dia menyalahkan Yuto. Dia pernah merasakan hal yang sama.
“Tahan,” jawab Hikaru singkat. Tidak ada solusi lain yang dia dapat berikan.
“Eh? Tahan?” Suara Yuto terdengar kecewa. “Aku tidak bisaaa, Hikaruuu.”
Belum ada satu ikan pun yang mereka dapatkan. Belum juga lewat setengah jam sejak mereka berada di sana. Belum ada waktu tenang yang Hikaru dapatkan. Namun dia juga tidak yakin akan tahan berada di sana jika Yuto akan berisik seperti ini.
Menghela napas kesekian kali di hari ini, Hikaru akhirnya menarik pancingan miliknya. Semoga saja minggu depan Takaki dapat kembali menemaninya dan Yuto tidak lagi ingin ikut seperti ini.
Melihat Hikaru yang memberi tanda mereka akan kembali pulang, Yuto bersorak, mengambil pancingannya yang dia taruh di sampingnya.
Namun, alih-alih dapat ditarik, pancingannya justru menarik dirinya. Berat rasanya memegang pancingannya yang tak seberapa. Ikan? Apa ada ikan di pancingannya?
“H-hika,” Yuto melirik temannya, mendapati Hikaru juga menatapnya dengan senyum lebar, “aku, aku dapat ikan, ya?! Lalu aku harus bagaimana?”
Selain senang, tentu Yuto panik. Dia belum pernah memancing sebelumnya. Beberapa kali memang pernah melihat teman atau keluarganya memancing, melihat mereka menarik dan mendapat ikan di ujung pancingan, tapi belum pernah benar-benar merasakannya sendiri secara langsung.
“Tenang,” Hikaru berdiri di belakangnya, tangannya memegangi bahu Yuto, menahan dirinya agar tidak terlalu condong ke depan, “tunggu sampai ikannya lelah, kau tahan dulu, jangan langsung kau tarik.”
“Oke,” Yuto menjawab, mencoba menahan pancingannya sekuat tenaga. Dia mendengarkan arahan Hikaru, mengikuti perkataannya, sampai akhirnya dia dapat menarik pancingannya dan bertemu ikan yang dia tangkap.
Ikan itu besar, panjang, rasanya Yuto seperti menggendong anak bayi di tangannya. Hikaru melihatnya dengan bangga, memujinya yang mendapat tangkapan bagus di hari pertamanya memancing. Dalam euforia mendapat ikan, Yuto sempat lupa ingin pergi ke toilet. Begitu juga dengan Hikaru yang sibuk memberikan tempat untuk ikan itu.
Setelah ikan itu ditaruh dan mereka kembali dalam keheningan, barulah Yuto kembali ingat.
“Tahan, tahan!” Hikaru panik, cepat-cepat menyalakan mesin perahu itu.
Kebanggaan sesaat yang dia rasakan hilang, digantikan ingin kembali pulang saja dan melupakan hari ini.
[#yabu, #hikaru, dan #inoo; kuliah lokal au (masih belum tau namanya bakal dimodif jadi lokal juga atau enggak jadi ya sementara begini dulu); bahasa indonesia.]
Hari ini hari pertama dia akan hidup sendiri.
Bertahun-tahun hidup di kota kelahirannya, dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di luar kota. Di tempat baru yang isinya orang asing sebagai tanda kehidupan baru untuknya. Di tempat yang belum pernah dia datangi sebelumnya.
Atau setidaknya begitulah yang Yabu bayangkan.
Dia pikir semuanya akan berjalan mudah. Di masa serba teknologi seperti ini, dia bisa ke mana saja tanpa bantuan orang lain, bukan? Jadi, seharusnya tidak ada masalah untuk sampai ke bagian asrama universitasnya.
Namun rasanya sudah satu jam dia berada di sini. Tidak ada pertanda dia berada di dekat asrama.
Kesalahan pertamanya adalah lupa membeli kuota internet. Dia selalu mengabaikan pesan yang masuk sehingga melewatkan peringatan untuk memperpanjang kuota dari operator selulernya. Pulsa darurat sudah dia pakai sebelumnya.
Kesalahan keduanya adalah tidak menyimpan uang di sakunya. Hanya ada saldo dalam kartu kereta dan dompet digital. Dia pikir semua akan baik-baik saja selama dia mempunyai saldo di akun digital. Sayangnya, dia tidak dapat menggunakan dompet digitalnya ketika tidak ada kuota internet.
Ketiga, dia tidak tahu harus bertanya pada siapa.
Jadi, di sinilah dia, berdiri di stasiun, di tengah-tengah kerumunan orang yang asing. Dia tidak yakin semuanya adalah mahasiswa kampus ini atau pengajar. Kampus yang menerima dia (untungnya) sering dipakai sebagai lintasan orang umum. Tidak heran melihat orang-orang sekitar ikut menggunakan fasilitas kampus.
Bukan berarti dia tahu juga fasilitas kampus yang dapat dia gunakan sekarang untuk sampai ke asrama.
Menghela napas ke sekian kali, pandangannya jatuh pada lelaki yang sekiranya seumuran dengannya. Lelaki itu terlihat mencolok. Bukan hanya karena terlihat sama bingungnya dengan Yabu atau bajunya yang berwarna kuning terang, tapi juga rambutnya yang dicat kemerahan.
Berani juga untuk seorang mahasiswa baru datang dengan rambut diwarnai.
Mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang ingin dia ajukan, Yabu memberanikan diri untuk menghampirinya lebih dulu. Lelaki itu menyadarinya, tatapannya dia alihkan dari ponselnya untuk melihat Yabu, ekspresi bingungnya semakin terlihat. Yabu ingin tertawa kecil, lelaki ini mudah sekali dibaca.
“Hai,” Yabu menyapa, “kau juga baru di sini?”
Sedikit paham alasan Yabu menegurnya, lelaki itu tersenyum kecil walau terlihat gugup, “Iya.”
“Aku juga. Namaku Yabu.”
“Ah, aku Yaotome.”
“Kau mau ke asrama?” tanya Yabu, sedikit berharap lelaki itu punya tujuan sama.
Ketika Yaotome mengangguk, Yabu rasanya ingin berteriak senang. Setidaknya dia tidak akan bingung sendiri. Mungkin lelaki ini juga tahu sesuatu.
Atau seharusnya begitu.
Tidak berbeda jauh dengan Yabu, Yaotome juga baru datang ke kota ini. Katanya, kakak Yaotome juga pernah berkuliah di sini. Dia pernah datang sekali, tapi tidak terlalu memperhatikan jalan karena ayahnya yang menyetir.
Yabu tidak salah juga. Mereka akhirnya bingung bersama. Tidak yakin juga ingin bertanya pada siapa. Semua orang yang ada di sekitar mereka terlihat punya tujuan. Beberapa terlalu asik dengan ponselnya sehingga mereka tidak enak untuk mengusiknya. Takut-takut juga kalau ternyata yang mereka sapa adalah kakak tingkat.
Mereka akhirnya mencoba untuk berjalan sendiri. Coba-coba saja dulu, siapa tahu beruntung bisa sampai ke asrama dengan kaki. Yabu sendiri pernah membaca di media sosial bahwa jarak stasiun dengan asrama tidak terlalu jauh. Dia hanya berharap mereka berjalan ke arah yang benar.
Bawaan mereka juga tidak banyak, untungnya. Yabu hanya membawa satu ransel, sisa barangnya akan datang melalui pengiriman paket, lainnya akan dia beli sendiri di sini. Yaotome juga sama, hanya ditambah satu tas jinjing. Setidaknya jalan jauh tidak akan menjadi masalah.
Mereka memutuskan untuk jalan lurus dari stasiun, menyusuri jalan setapak yang dibuat untuk pejalan kaki. Tak lama, mereka melihat gedung-gedung, terdapat minimarket pula di salah satunya. Ketika mereka perhatikan lebih lanjut, ternyata itu salah satu gedung fakultas.
Berpikir mungkin gedung asrama ada di antara fakultas-fakultas, mereka berjalan terus. Sesekali menoleh ketika mendengar kereta ikut melintas tak jauh dari mereka.
“Eh? Stasiun lagi?”
Setelah melewati beberapa gedung fakultas, kini mereka disuguhi sebuah stasiun. Lagi. Bukan stasiun yang sama dengan yang mereka datangi sebelumnya. Lebih menjorok ke dalam dan ramai dibanding yang mereka datangi.
“Jadi stasiunnya ada dua?”
Yabu hanya mengangguk. Dia juga baru tahu. Bahkan, beberapa orang terlihat melintasi jalan rel yang ada untuk pergi ke seberang jalan. Mungkin dia akan mencoba pergi ke sana lain kali, hanya untuk melihat apa yang ada di sana.
Baru saja dia ingin melanjutkan langkah, pandangannya bertemu dengan seseorang yang familiar. Tidak terlalu dia kenali, tapi dia ingat pernah berbicara dengannya. Orang itu juga tampak mengingatnya walau heran melihat Yabu ada di sana.
“Kau yang tadi, bukan?” Orang itu mendekati mereka, satu tangannya menjinjing tas. “Yang mau ke asrama?”
Yabu mengangguk sambil mencoba tersenyum. Sebetulnya, dia bertemu dengan orang ini ketika berada di kereta. Awalnya, Yabu hanya ingin basa-basi sebab orang ini terlihat akan turun di stasiun yang sama dengannya. Orang itu menanggapi, ikut menanyakan tujuannya setelah turun di stasiun kampus.
Ketika Yabu mengatakan dia baru datang ke kota ini, orang itu sempat menawarkan untuk menunjukkan jalan. Namun sebelumnya, Yabu merasa tidak perlu dibantu. Dia merasa dapat melakukannya sendiri. Memangnya sesulit apa menemukan gedung asrama kampus?
Jadi, dia menolak bantuan orang itu.
Sayangnya, takdir ingin mempermainkan dia. Orang itu dipertemukan lagi dengannya.
“Asrama bukan ke arah sini,” ucap orang itu, matanya melirik bergantian ke arah Yabu dan Yaotome. “Mau kuantar?”
Mencoba menahan malu, akhirnya dia menerima tawaran orang itu. Untungnya, orang itu tidak mengejek atau menyindirnya karena telah menolak bantuannya pertama kali. Mungkin karena ternyata orang itu juga sama seperti mereka, sama-sama mahasiswa baru. Hanya saja, dia memang berasal dari sekitar kota ini, jadi sudah tahu arah.
Namanya Inoo. Tidak tinggal di asrama seperti mereka sebab tidak kebagian jatah. Jadi dia menyewa kos di tempat yang dekat dengan fakultasnya.
Hari pertama datang ke kota dan memulai kehidupan perkuliahannya, Yabu sudah mendapat dua kontak baru di ponselnya.
[#yamada, #hikaru, #daiki. sibling au dengan perbedaan umur yang sama. ficlet.]
Termasuk dalam anak yang berada di tengah membuat Yamada suka memberikan peraturan di rumah mereka. Yang lebih muda tentu akan mengiyakan perkataannya saja. Yang lebih tua pun akhirnya tidak menolak karena dia lebih galak, bahkan jika dibandingkan oleh Takaki yang baru dibangunkan.
Ketika beberapa orang yang lebih tua (sebut saja Takaki, Yabu, dan Hikaru) mulai iseng mencoba rokok, Yamada tentu mengambil langkah untuk menghentikan mereka. Dia suka lingkungan yang bersih dan sehat sehingga dia tidak menerima adanya asap rokok di rumah.
Tentu tidak mudah, baik bagi Yamada maupun ketiga lelaki yang lebih tua maupun kakak-adik yang lain, yang terpaksa harus ikut mendengarkan omelan Yamada di tiap kesempatan.
Kali ini, sayangnya, Daiki yang kena sial. Dia tidak ikut-ikutan merokok ketika ditawarkan oleh Takaki, bahkan ketika diejek oleh Hikaru karena dia tidak berani mencoba dan takut pada Yamada. Bukan itu, sih, alasannya. Dia merasa sudah punya kopi, sudah cukup hidupnya dengan latte setiap pagi, tak perlu puntungan rokok di antara jari dan asapnya di dalam paru-paru.
Namun malam itu, Hikaru memintanya untuk menemani pergi beli rokok. Tidak jauh tempatnya, tapi Hikaru beralasan ingin memiliki quality time bersama Daiki. Tentuk bukan karena gang di depan rumah mereka sedang ditempati banyak kucing jalanan.
Hikaru tidak punya saku, tidak di celana atau kausnya. Daiki punya, sebenarnya, tapi tidak mau bajunya bau rokok. Namun Hikaru sudah menyodorkan rokok dan koreknya, membuatnya mau tak mau harus memegang dua benda itu sampai pulang ke rumah. Melirik bungkus rokok yang dibeli, dia menahan tawa. Gambar paru-paru yang rusak pada bungkus itu ternyata tidak cukup untuk menghentikan yang lebih tua untuk berhenti merokok.
Sayangnya, karena gambar itu juga, Daiki tidak menyadari langkah mereka sudah mendekati rumah. Daiki tidak melihat Yamada yang keluar dari pintu, tatapan lekat pada mereka berdua, terlebih pada benda yang ada di dalam genggaman dia.
“Rokok?” Daiki sontak menoleh, terkejut dengan suara Yamada. “Kalian pergi, berdua, malam-malam seperti ini hanya untuk rokok?”
“Ah, itu,” Hikaru mematikan puntung rokok di tangannya. Daiki merasa beruntung lelaki itu tidak refleks membuangnya ke tanah. Tentu Yamada akan lebih sebal lagi. “Itu, Yamada—”
“Cepat habiskan.”
“Hah?”
Daiki menatap Yamada tidak mengerti, lalu melirik Hikaru yang sama tidak paham dengan perkataan adik mereka.
“Habiskan. Semuanya, semua yang ada di dalam bungkus itu,” ulang si adik, jarinya menunjuk pada bungkus yang Daiki pegang.
“Tapi, Yamada, ini kan baru dibeli,” Daiki membuka suara, “aku juga tidak pernah merokok. Hanya menemani dia.”
Adiknya menatap lama Daiki, membuatnya sedikit menelan ludah. Apa dia harus jadi perokok sekarang? Namun Yamada tentu tidak mau membuatnya jadi perokok, kan?
Menghela napas, tatapan Yamada beralih pada yang lebih tua di antara mereka. “Ya sudah. Hika, habiskan.”
Biasanya, biasanya, ketika dalam mode biasa saja, Yamada akan memanggil mereka dengan “kak”. Jadi terlihat sopan sedikit, walau Yamada akan cepat memanggil mereka dengan nama saja ketika dalam situasi bercanda atau marah. Seperti saat ini.
Tidak melihat adanya ruang untuk argumen, Hikaru mengambil bungkus dan rokok dari tangan Daiki. Satu per satu dia isap, semakin lama semakin cepat karena tatapan Yamada semakin tidak ramah. Malam ini juga semakin dingin, ingin cepat masuk ke dalam rumah.
Ketika puntung terakhir Hikaru habiskan, Daiki menghela napas lega. Akhirnya, mereka bisa kembali masuk. Dia ingin cepat tidur saja dan melupakan kesialannya ini. Kakinya mulai mati rasa.
“Sekarang lari. Tiga putaran dari sini ke toko kalian membeli rokok.”
Daiki dan Hikaru kembali menatap Yamada dengan heran. Lari? Adik mereka ini menyuruh mereka untuk lari?
“Tidak hanya Hikaru, Daiki juga.” Yamada tersenyum manis. “Kakimu pasti mati rasa, kan?”
Senyum adik mereka memang manis. Manis seperti iblis.