hiirei

takanoo

[#takanoo, angst, pov kedua takaki, #thingsyousaidprompt, bahasa indonesia.]

“Kau yakin?”

Walau bertanya begitu, justru suaramu yang terdengar ragu. Jemarimu masih bertautan dengannya. Rasanya, tidak ada di antara kalian yang ingin melepaskan.

Jarinya panjang. Lebih lentik. Jauh berbeda darimu yang sedikit kasar dengan kuku yang terlihat pendek. Secara ukuran, tanganmu lebih besar darinya yang ramping. Namun pas untuk kalian mengisi kekosongan dalam sela jemari masing-masing.

“Aku yakin,” jawabnya kemudian, pandangannya tertuju pada jemari kalian. Perlahan, dia memisahkan jemarinya. Melepaskan posisinya satu per satu pada sela-sela jemarimu, mengembalikan kekosongan yang selalu ada di sana. “Karena tidak adil untukmu kalau aku tetap di sini. Apapun yang terjadi, nyatanya aku akan selalu kembali kepadanya.”

“Tidak adil pun tidak apa-apa,” ujarmu cepat, lebih terdengar sebagai gumam yang tidak menyampai telinganya. Tidak sampai pada siapapun kecuali pikiranmu di masa mendatang dengan penyesalan.

Kali ini dia menatapmu, berdiri di depan pintu dengan senyum perpisahan. Kau tidak ingin merelakannya, tapi langkahnya mendahului segala niatan yang ada dalam pikiranmu.

Dia pergi. Kau tidak punya keberanian untuk mengejarnya.

[#takanoo, cheating theme, sedikit absurd, didominasi dialog, bahasa indonesia. masuk ke dalam seri #litficbased]

“Ah, kau datang juga.”

Read more...

[#takanoo, fab au; prince charming!takaki + mermaid!inoo, ditulis dari pov kedua takaki] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kau menyadari presensinya sejak hari pertama kau datang ke sana.

Biasanya kau tidak pernah mengarungi laut sejauh itu, namun hari itu kau masa bodoh dengan peringatan semua orang di istana dan pergi sendiri. Kau sudah berkata agar mereka tak perlu mengikutimu, cukup menyusulmu jika kau tidak kembali selama satu minggu. Tidak peduli dengan apa-apa lagi, kau naik ke salah satu perahu yang ada dan memberanikan diri untuk melayarkan benda itu sendiri.

Kau percaya dengan mitos. Percaya dengan segala makhluk laut yang diceritakan ibumu sejak kecil, entah itu baik atau buruk. Kau tentu percaya tentang kisah duyung yang terkutuk, terjebak di dalam laut karena konflik lama dengan para penyihir.

Kau hanya tidak percaya akan bertemu dengan dongeng itu secara cepat, mengikuti gerak perahumu dalam diam.

Ibumu selalu berkata untuk jangan menatap duyung tepat pada mata mereka. Jangan menoleh jika dipanggil. Jangan mengundang mereka naik ke perahumu. Intinya, jangan melakukan apa-apa jika ada duyung. Anggap mereka tidak ada.

Jadi, dengan sedikit takut kau akan tergoda atau lupa di tengah jalan akan nasihat ibumu, kau mencoba untuk mengabaikan dia.

Untungnya, dia tidak melakukan apa-apa. Tidak pernah memanggil, tidak tiba-tiba naik ke atas perahumu, bahkan tidak sedikit saja menyenggol keberadaanmu. Seakan dia hanya ingin mengikutimu saja, mengetahui arahmu pergi. Kau tidak terlalu keberatan, merasa setidaknya kau tidak benar-benar sendiri di tengah laut. Lagipula, kau dengar duyung dapat mengontrol gerak-gerik ikan laut lainnya. Bisa saja dia baik dan menahan segala ikan buas yang ingin melahapmu.

Kau kembali pada hari keempat, lebih karena persediaan hidup di perahu itu menipis dan kau tidak ingin mati sia-sia di tengah laut. Dia cukup baik untuk menemanimu hingga beberapa meter sebelum daratan, mungkin karena dia memang tidak bisa menyusuri lebih dari itu, atau karena dia tidak ingin dilihat oleh manusia lain. Kau dengar duyung sangat menyukai manusia, namun mungkin karena sendirian dia sedikit malu. Atau tidak suka saja.

Kembali ke istana, kau ditodong berbagai pertanyaan, khususnya dari teman-temanmu yang menanyakan apa kau bertemu duyung. Kau tidak mengatakan apa-apa, ingin mereka tidak mengetahui apa-apa sebab kau tak ingin mereka pergi dan menemui duyung itu. Kau belum cukup tahu mengenai dia dan kau ingin informasi itu hanya dimiliki olehmu.

Minggu berikutnya, kau kembali ke laut. Tidak ada banyak hal juga yang dapat kau lakukan, sebenarnya, kau hanya ingin menemuinya lagi. Mungkin kau bisa meliriknya sedikit kali ini, setidaknya agar kau dapat membayangkan bagaimana rupanya duyung itu.

Dia kembali menemanimu tak lama ketika kau memasuki perairan. Dalam hatimu kau sedikit berharap dia menunggu kedatanganmu. Bisa saja dia punya firasat, bukan?

Sama seperti sebelumnya, dia menjaga jarak di antara kalian. Sesekali bersembunyi di balik karang ketika malam tiba. Kau belum berani melirik ke arahnya sama sekali.

Pergi ke laut menjadi rutinitas mingguanmu. Kau akan bermalam di sana dan kembali ketika sore tiba. Pernah sekali kau iseng membawa alat pancing, hanya untuk melihat reaksinya. Apakah dia akan marah? Mungkin mendorong perahumu hingga terbalik? Menarik tubuhmu masuk ke laut?

Namun ternyata, dia justru membantumu. Kau mendapat banyak ikan hanya dalam waktu beberapa menit. Kau tahu semua itu bukan hasil kerja umpanmu.

Kau tidak pernah mengatakan apa-apa padanya. Tidak tahu apakah dia akan mengerti jika kau berkata dalam bahasa manusia. Tidak punya ide juga akan apa yang harus kau katakan.

Pernah sekali kau melirik ke arahnya ketika dia sedang berenang dekat dengan perahumu. Kau dapat melihat surainya yang putih dan ekor panjangnya yang biru tua, persis seperti ilustrasi seorang duyung. Kau tidak melihat wajahnya, tentu, sebab kau langsung mengalihkan pandanganmu. Takut dia akan sadar kau meliriknya.

Yang tak kau prefiksi adalah ketika suatu malam, kau hampir tertidur, lalu kau merasa perahumu bergoyang. Kedua matamu yang hampir tertutup menangkap sosok asing, naik di ujung perahumu, sepasang mata biru terlihat mencolok dalam gelapnya malam. Kau tidak tahu apakah mata itu benar-benar bersinar, mungkin efek karena otakmu sudah lelah, atau bisa saja efek magis dari sebuah makhluk mitos? Kau tidak bertanya juga.

Kepalamu memutar kembali kata-kata ibumu, jangan menatap mata seorang duyung, namun kau tak merasa ada yang salah.

“Siapa namamu?” Suaranya tidak seseram yang kau bayangkan. Kau kira dia akan bersuara berat, keras, seperti apa yang dideskripsikan orang-orang. Namun telingamu justru menangkap suara yang cukup ringan, sedikit tinggi, dan kau suka mendengarnya.

“Takaki,” tanpa sadar kau membuka mulutmu, “Takaki Yuya.”

Kau tidak ingat apakah dirimu yang mendekat padanya atau dia yang bergeser menghapus jarak di antara kalian. Yang kau ingat adalah ujung-ujung jarinya, basah dan dingin, menyusuri pipi dan dagumu, semakin membuatmu sulit untuk memutus kontak mata kalian.

Yang kau ingat adalah hari itu kau bertemu dengan Inoo Kei.

[#takanoo, angst dikit, tidak sepenuhnya setting canon, cheating theme] [untuk #Inoo31stbirthday]

Inoo selalu tahu ke mana Takaki pergi pada malam-malam ketika mereka tidak bersama.

Mereka belum tinggal di bawah atap yang sama, memilih untuk menjaga tempat personal masing-masing. Hanya saja hampir selalu bermalam bersama, entah di tempat Inoo atau Takaki—mana saja yang lebih dekat setelah mereka menghabiskan sore bersama.

Walau begitu, Inoo tetap tahu kalau Takaki diam-diam pergi menemui orang lain.

Awalnya hanya terlihat samar. Satu atau dua kalimat bohong yang terucap tidak cukup meyakinkan Inoo. Takaki juga bukan tipe pembohong ulung, tidak di depan Inoo.

“Kau kan tahu dia,” Yabu mengalihkan tatapannya dari Inoo, suatu hari ketika Inoo memasukkan Takaki dalam percakapannya dengan yang lebih tua, “kau juga tahu kondisinya sejak awal, bukan?”

Takaki belum pernah punya pasangan tetap sebelumnya. Hanya berganti dari satu orang ke orang lain, tanpa ikatan berarti yang dapat disebut hubungan. Merasa dirinya bebas, sebebas lautan yang membentang luas, tidak mau dimonopoli sebelum akhirnya Inoo datang.

Mungkin salahnya juga, mencinta terlalu dalam pada sosok sebebas Takaki.

Inoo tidak mengatakan apa-apa, tidak pernah berkomentar, bahkan ketika kebohongan itu tidak lagi Takaki tutupi. Mungkin lelah juga, harus membual dan memikirkan kalimat sebelum bertemu dengannya sehingga membiarkan apa saja yang Inoo pikirkan menetap dalam pikirannya.

Walau tidak pernah keberatan jika kalah, kali ini Inoo tidak mau mengakui kekalahannya. Dia tahu Takaki menunggunya untuk mengucapkan emosinya, mempertanyakan apa yang Takaki cari di luar sana, atau mempertaruhkan apa yang mereka punya. Namun dia akan tetap diam, mengabaikan pesan-pesan yang masuk ke dalam ponsel Takaki, menutup mata pada jejak-jejak yang sengaja dibiarkan terlihat oleh lelaki itu.

Dan Inoo melakukan hal yang sama.

Tidak sulit untuknya mengimitasi Takaki, membuat skor yang sama untuk menunjukkan dia juga dapat memikat orang sebanyak yang kekasihnya sudah lakukan. Membiarkan jejak-jejaknya terlihat jelas, sama-sama menanti agar Takaki membuka mulutnya terlebih dahulu. Menatapnya dengan tajam, menekannya agar mengalah lebih dulu.

Daiki mengatakan bahwa mereka gila. Begitu juga dengan Yabu. Keduanya merasa mereka lebih baik bermain sesuatu yang lebih nyata dibanding perasaan yang semu. Pada akhirnya, mereka akan sakit sendiri, sebab baik Yabu dan Daiki tahu perasaan keduanya.

Keduanya tahu Takaki sudah menemukan apa yang dia cari pada diri Inoo. Begitu juga Inoo yang selalu hanya mengisi kekosongannya dengan Takaki.

“Kalian tahu, kan? Tahu bahwa kalian sudah cukup untuk satu sama lain?”

Inoo tidak bisa menjawab banyak. Mungkin Takaki tidak tahu, itu sebabnya dia masih berkelana bebas di luar sana. Mungkin dirinya sendiri tidak tahu, itu sebabnya dia mencoba menemukan apa yang Takaki cari.

Yang lain selalu bertanya; sampai kapan kalian akan seperti ini? Pertanyaan itu juga bukan sesuatu yang dapat dia jawab, karena perannya kini hanya menunggu. Menanti waktu Takaki menemukan jawaban untuk mereka.

Waktu yang ditunggu itu datang, Inoo kehilangan hitungan, namun yang penting adalah Takaki, dengan wajah bersalahnya, membuka mulutnya.

“Berhenti saja, ya?” Nadanya bertanya, satu tangannya menahan Inoo yang hendak keluar dari ruangan. Tentu Takaki tahu tujuan Inoo malam ini, sudah diberi petunjuk sejak kemarin hari.

“Apanya yang berhenti?” Inoo berlagak tidak tahu. Walau dia menunggu saat ini tiba, bukan berarti dia siap menghadapinya.

“Semuanya,” Takaki menghela napas, “semua yang kita lakukan di luar sana.”

“Memangnya kau yakin?”

Inoo ingin percaya bahwa ketika Takaki menginginkan semuanya berhenti, itu artinya dia sudah menemukan apa yang dia cari. Apapun itu—baik dirinya atau bukan. Namun, setelah sekian lama dan tiba-tiba hari ini datang tanpa tanda apapun sebelumnya?

Melihat Takaki yang ragu menjawab membuatnya semakin paham. Takaki hanya merasa bersalah dan tidak ingin memperpanjang apa yang sudah dia mulai.

Sebut dia kejam, tapi Inoo ingin mengulur rasa bersalah itu lebih lama.

“Tidak, kau tidak yakin.” Inoo memberinya jawaban yang tidak berani Takaki ucap. “Jadi aku pun tidak akan berhenti, Takaki.”

Dengan senyum di wajahnya yang tulus dia berikan, dia pergi meninggalkan Takaki.

[#takanoo, pacar sewa au, berasa kayak ftv dan mungkin sedikit alay tapi yaudahlah ya judulnya saja sudah menyebalkan] [untuk #Inoo31stbirthday]

Takaki tahu jelas bahwa jodoh tidak datang dengan sendirinya. Sudah berkali-kali dia mendengar keluarganya untuk cepat mencari gandengan, karena—ternyata—hanya dia yang belum punya sejarah membawa pasangan ke rumah.

Bukannya Takaki punya standar tinggi atau kesulitan mencari cinta, tapi dia hanya belum merasa ada yang cocok saja.

Jadi, ketika pernikahan kakak perempuannya tinggal tiga hari lagi, dengan hati sedikit enggan sedikit berharap, dia mengiyakan perkataan kakaknya.

“Besok, kamu harus bawa seseorang, jangan sendirian,” ucap kakaknya, setengah mengancam. “Kalau belum ada yang bisa diajak, aku punya kenalan yang punya jasa jadi pacar sehari.”

Bukan pertama kali juga Takaki ditawari hal seperti ini. Pacar sewa, khususnya pada acara-acara penting seperti ini, cukup sering jadi pilihan. Dia tidak pernah mencoba sebelumnya, tidak tahu mau mulai mencari dari mana. Tidak mengerti juga bagaimana dia bisa mencari pasangan sungguhan jika menggunakan jasa pacar sewa.

“Memangnya ada masalah kalau aku datang sendiri?” Takaki mencoba beralasan. Sepupunya yang lain juga ada yang datang tidak membawa pacar, hanya mengajak teman atau sahabat.

“Ada,” jawab kakaknya cepat, “kau tahu sendiri di acara pertunanganku kemarin. Banyak yang menanyakan nomor teleponmu, tapi apa ada yang kau hubungi?”

Takaki hanya bisa menggeleng pelan. Bahkan dia tidak ingat lagi keberadaan nomor-nomor itu, terlalu sering mengganti kontak karena banyak nomor jahil menghubunginya.

“Kalau kamu terlihat sudah ada pacar kan setidaknya mereka tidak akan digantungi harapan palsu.” Kakaknya menghela napas, menatapnya serius. “Tenang saja, dia cowok yang profesional, kamu mau minta apa saja dia bisa sanggupi selagi masih wajar.”

Sedikit terkejut, Takaki pikir kakaknya akan menyuruhnya membawa perempuan alih-alih lelaki. Namun, setelah dipikir lagi, mungkin kakaknya sengaja agar dia tidak menolak.

Saat itulah dia bertemu dengan seorang Inoo, dua hari sebelum pernikahan kakaknya. Cara berpakaiannya tidak jauh berbeda dari Takaki, hanya hoodie dengan celana panjang. Rambutnya sedikit mencolok, bergelombang dan menutupi matanya sesekali, terlihat halus tertiup pelan oleh angin.

“Jadi,” Inoo menatapnya sambil melipat kedua tangannya di atas meja, “kau suka tipe seperti apa?”

Takaki tidak terlalu memikirkan tipe, lebih banyak mengandalkan perasaannya saja untuk menyukai seseorang. Namun dia tetap memberikan jawaban—seperti apa yang sudah dititipkan oleh kakaknya sesaat sebelum dia pergi—agar Inoo memiliki gambaran hal yang harus dilakukan nantinya.

Berbicara banyak dengan Inoo, khususnya untuk membuat cerita bohongan tentang pertemuan mereka dan siapa yang menyatakan perasaan terlebih dahulu, Takaki mau tak mau menyimpan beberapa fitur lelaki itu di dalam memorinya. Seperti caranya berbicara, suara yang terdengar ringan dan unik di telinga Takaki, jemarinya yang lentik mengusap layar ponsel, atau caranya mengalihkan topik dengan mudah.

Jika disuruh memberi kesimpulan, Takaki menilai Inoo tidak terlalu buruk juga. Pertemuan ini tidak terasa seperti pertemuan pertama kali untuk membicarakan skenario buatan akan hubungan mereka.

“Takaki,” Inoo memanggilnya sesaat sebelum dia beranjak dari kursinya, pembicaraan mereka sudah selesai beberapa menit lalu, “jangan tiba-tiba suka denganku sungguhan.”

Mengerutkan alisnya, Takaki sedikit heran akan pernyataan itu. Memangnya apa salahnya kalau sungguhan? Bukannya Takaki yakin juga dia akan benar-benar suka, namun tidak ada yang tidak mungkin, bukan?

“Kalau suka sungguhan bagaimana?”

“Nanti repot,” Inoo menopang dagunya, “aku sulit diatur sebagai pacar sungguhan.”

Takaki harus menahan dirinya untuk tidak memutar bola matanya. Pertemuan ini hanya menghabiskan beberapa jam, tapi dia sudah sedikit terbiasa dengan jawaban Inoo yang suka mengada-ada.

Aneh. Tapi Takaki tidak terlalu keberatan.

“Justru kau yang jangan suka padaku sungguhan,” Takaki membalas, “aku sulit menyukai.”

“Tenang saja, mudah untuk menyukaiku, makanya aku memberimu peringatan dari sekarang.”

Inoo memberinya senyum, lalu berjalan lebih dulu keluar dari sana. Takaki hanya menghela napas, dalam hati sedikit tidak sabar menunggu hari pernikahan kakaknya tiba.

[#takanoo. dangdut au.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Takaki sudah melihatnya dari jauh. Berdiri menatap papan informasi terlalu lama. Sesekali melirik sekitarnya, mungkin untuk memastikan tidak ada yang memperhatikan dia.

Lama orang itu masih tidak beranjak juga, Takaki memutuskan untuk mendekati diri. Iseng tanya-tanya.

“Hei,” sapanya, mengharapkan reaksi dari orang itu setelah melihat siapa yang menyapanya.

Orang itu menoleh, menatapnya sebentar, namun tampak tidak mengenalinya. Takaki sedikit heran. Bagaimana bisa dia tidak mengenali seorang Takaki?

Melirik apa yang dipandang orang itu, senyum kecil muncul di wajahnya. Rupanya orang ini mau audisi. Dan kebetulan pula, audisi pada acara di mana Takaki berpartisipasi menjadi juri.

Ada bagusnya juga orang ini tidak mengenal dia.

“Kau ingin audisi?” tanya Takaki, sedikit teralihkan perhatiannya pada rambut hitam orang itu. Pendek. Tidak melebihi lehernya. Namun membuat kulitnya terlihat pucat.

“Aku tidak terlalu tahu dangdut,” ucapnya dengan suara yang Takaki rekam secara tidak sadar dalam memori.

“Coba saja dulu,” Takaki membujuk, “tidak ada salahnya mencoba.”

Orang itu kembali menatap lama poster audisi yang akan dimulai nanti siang. Petunjuk pendaftaran tertera di sana; cukup masuk ke dalam gedung, temui meja yang ditempel tulisan “Pendaftaran”.

Takaki sempat hampir putus asa dan mau membuka mulutnya lagi sebelum akhirnya dia mendapat balasan.

“Baiklah,” orang itu mulai berjalan memasuki gedung, menjauhi Takaki, “hanya karena aku akan bertemu kau lagi di audisi nanti.”

Mendengarnya, Takaki mengulas senyum. Orang itu tahu dirinya siapa. Nama juri tidak tertera pada poster. Belum diumumkan secara resmi. Baru hanya berupa petunjuk siapa yang kira-kira menjadi juri.

Kalau orang itu tahu akan bertemu dengannya lagi di audisi, maka orang itu tahu siapa dia.

“Siapa namamu?” Takaki bertanya sedikit keras. Untung gedung itu tidak terlalu ramai.

Langkahnya terhenti. Pandangannya membalas tatapan Takaki. “Mau nama asli atau nama panggung?”

Astaga, ada-ada saja orang ini.

“Nama yang mau kau berikan padaku saja.”

Akhirnya, sudut bibir orang itu tertarik juga, membentuk senyum miring yang seakan mengejeknya. “Nanti juga kau tahu.”

Dengan itu, orang itu berjalan cepat, tidak lagi menoleh ketika Takaki memanggilnya.

Dalam hati, Takaki menghapal detilnya. Setidaknya, ada hal menarik yang dia nantikan pada audisi hari ini.

[#takanoo; dengan kapal lain seperti yabunoo dan tadaiki. slight mature theme. ditulis dengan sudut pandang kedua.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Satu kali.

Kau yang membuat penawaran pertama kali. Hanya satu malam. Di tempat yang jauh dari siapapun. Jauh dari orang-orang yang percaya pada imej loyal-mu.

Jauh dari dia yang akan menyambutmu setiap kau membuka pintu rumah.

Dia hanya mengangguk mendengar tawaranmu. Sebab setelahnya, kau pun tidak begitu ingat. Atau tidak mau mengingat, ekstasi sementaramu kalah oleh rasa bersalah.

Namun, kau jadi candu.

Kau menyalahkan dia, sebagian besar, sebab dia pun tidak menolak. Kau menyalahkan dirimu, lebih banyak, sebab kau pun akan membuang segala moral yang tersisa hanya untuk bersamanya.

“Kau tidak lebih buruk dari aku,” ucapnya suatu hari, “rasa bersalahmu bukan penebus dosa.”

Dia juga sama sepertimu. Sama-sama terikat oleh cincin. Sama-sama mengarang dusta demi semalam dengan yang lain. Yang berbeda adalah dia, sudah tidak ada jejak takut atau sesal padanya. Tidak sepertimu yang masih dua kali berpikir, namun tetap kalah pada akhirnya.

Dia selalu hilang keesokan paginya. Selalu. Tidak meninggalkan jejak apapun. Seakan tidak pernah bersama denganmu. Kau tidak punya nomor ponselnya. Kau hanya punya namanya. Kei.

Katanya, kalian tidak butuh nomor. Hanya akan membuat semua rumit. Mudah terbongkar.

“Aku akan menemuimu saat kita sama-sama ingin.”

Dan selalu, kau menemukannya di setiap saat kau memikirkannya.

[#takanoo. sleepy inoo.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Akhir-akhir ini, Inoo suka tertidur tiba-tiba.

Mungkin karena sedang musim ujian. Atau mungkin karena dia memutuskan untuk mengambil pekerjaan paruh waktu di musim ujian. Atau mungkin karena dia tidak bisa tidur pada malam hari, jadi kini waktu tidurnya terbalik.

Tidak menjadi masalah besar, sebenarnya, jika dia tertidur saat belajar di perpustakaan. Atau jika dia tertidur saat kelas berlangsung. Atau tertidur di saat makan di kantin. (Beruntung Daiki selalu ada menemaninya, jadi temannya itu akan membangunkannya jika dia sudah terlalu lama tidak sadarkan diri.)

Yang menjadi masalah besar adalah ketika dia berada di kendaraan umum.

Daiki hanya bisa menemaninya saat mereka berada di area kampus. Ketika pulang, temannya itu akan langsung diklaim oleh pacarnya dan pulang bersama. Meninggalkan Inoo yang sayangnya masih melajang.

Rasanya Inoo sudah hilang hitungan akan berapa kali dia kebablasan. Dia seringkali harus menunggu kereta baru untuk kembali ke stasiun di mana dia seharusnya turun. (Dia agak menyayangkan juga karena stasiunnya berada di pertengahan. Kalau saja stasiunnya menjadi pemberhentian terakhir, mungkin akan lebih mudah.) Seringkali, dia tertinggal pula oleh kereta terakhir karena dia tertidur saat menunggu.

Hari itu juga sama. Dia tertidur tak beberapa lama setelah mendapatkan kursi kosong. Sebenarnya dia tahu, seharusnya dia berdiri saja, setidaknya dia bisa terbangun karena pasti akan jatuh. Namun kursi kosong itu seakan mengundangnya. Apalah dia untuk menolak godaan terlelap sekejap.

“Hei.”

Suara itu agak asing. Berat, ada kesan halus pada suaranya.

“Hei.”

Kini suara itu diikuti goncangan pada tubuhnya. Daiki juga biasanya begitu, memanggilnya lalu menggoncang tubuhnya agar terbangun. Namun suara itu jelas bukan milik Daiki yang seharusnya cempreng dan memanggil namanya seakan meneriakkan maling.

Lalu siapa?

Inoo segera membuka matanya. Pandangannya disambut oleh sepasang mata yang menatapnya. Tak lama, kedua mata itu sedikit menyipit seraya bibir orang itu melebar untuk membentuk senyum.

“Akhirnya kau terbangun. Kita sudah di pemberhentian terakhir.”

Mendengar itu, Inoo otomatis terkesiap. Dia langsung berdiri (astaga, dia baru sadar kalau dia menggunakan bahu lelaki itu sebagai sandaran), melihat seisi gerbong itu sudah kosong. Beberapa petugas mulai membersihkan lantai, tanda mereka sudah ada di stasiun terakhir.

“Astaga,” Inoo akhirnya membuka suara, “e-eh, itu, maaf.”

Lelaki itu memberikannya senyum, lagi, membuatnya semakin merasa malu. Padahal biasanya dia bisa tertidur tanpa bersandar pada orang lain. Mengapa sekarang seperti ini?

“Aku terima maafmu,” jawab lelaki itu, “jika kau membelikanku segelas kopi.”

Inoo menautkan alisnya. Hah?

“Oh, dan mungkin beserta namamu.”

[#takanoo. prom au(???). kayaknya bakal kebanyakan dialog. semoga ada versi panjangnya, karena baru kepikiran segini aja huhuhu.] [ficlet. bahasa indonesia.]

Takaki hanya datang ke pesta karena dipaksa. Daiki tidak ingin pergi sendiri—sekaligus menumpang pada mobilnya agar tidak usah memikirkan cara pulang nantinya. Jadi di sinilah ia, ada di antara kerumunan orang-orang yang dia kenal beberapa.

Atensinya tercuri oleh seseorang familiar di ujung ruangan. Berdiri sendiri. Rambut kecokelatannya tidak terlihat di bawah penerangan warna-warni aula.

Melangkah perlahan, Takaki mencoba menyusun kata. Dia tidak pernah bisa mengatakan hal yang tepat padanya. Entah memang pemilihan diksi yang salah, entah orang itu memang suka mempermainkannya.

“Hei.” Takaki mencoba membuka pembicaraan. “Kau datang.”

Orang itu meliriknya sekali dari ujung mata, “Ya, aku datang.”

“Tidak bosan di sini saja? Pesta ada untuk dinikmati.”

“Semua orang punya cara yang berbeda,” Takaki tahu ujung bibir orang itu terangkat dari nada bicaranya, “kau ingin menikmatinya seperti apa?”

Berdeham sekali, dia menatap orang itu. “Seperti menghabiskan waktu denganmu. Berdansa, mungkin, jika kamu berkenan.”

Tawa orang itu pelan, kalah saing dengan musik dari pengeras suara, namun Takaki dapat membayangkan suaranya.

“Entahlah. Terlalu klise.” Orang itu akhirnya membalas tatapannya. Dalam penerangan minim, rasanya Takaki tetap dapat melihat wajah orang itu. Pikirannya sudah dapat memberinya gambaran jelas.

“Lalu kau mau yang seperti apa?”

“Hmm,” orang itu sengaja menahan jawabannya, “tanyakan aku satu jam lagi.”

Dengan begitu, orang tersebut pergi. Sosoknya ditelan oleh kerumunan. Tidak lagi dapat Takaki temukan. Menyisakan debaran pada jantungnya, serta senyuman pada bibirnya.