[#takanoo, pacar sewa au, berasa kayak ftv dan mungkin sedikit alay tapi yaudahlah ya judulnya saja sudah menyebalkan]
[untuk #Inoo31stbirthday]
Takaki tahu jelas bahwa jodoh tidak datang dengan sendirinya. Sudah berkali-kali dia mendengar keluarganya untuk cepat mencari gandengan, karena—ternyata—hanya dia yang belum punya sejarah membawa pasangan ke rumah.
Bukannya Takaki punya standar tinggi atau kesulitan mencari cinta, tapi dia hanya belum merasa ada yang cocok saja.
Jadi, ketika pernikahan kakak perempuannya tinggal tiga hari lagi, dengan hati sedikit enggan sedikit berharap, dia mengiyakan perkataan kakaknya.
“Besok, kamu harus bawa seseorang, jangan sendirian,” ucap kakaknya, setengah mengancam. “Kalau belum ada yang bisa diajak, aku punya kenalan yang punya jasa jadi pacar sehari.”
Bukan pertama kali juga Takaki ditawari hal seperti ini. Pacar sewa, khususnya pada acara-acara penting seperti ini, cukup sering jadi pilihan. Dia tidak pernah mencoba sebelumnya, tidak tahu mau mulai mencari dari mana. Tidak mengerti juga bagaimana dia bisa mencari pasangan sungguhan jika menggunakan jasa pacar sewa.
“Memangnya ada masalah kalau aku datang sendiri?” Takaki mencoba beralasan. Sepupunya yang lain juga ada yang datang tidak membawa pacar, hanya mengajak teman atau sahabat.
“Ada,” jawab kakaknya cepat, “kau tahu sendiri di acara pertunanganku kemarin. Banyak yang menanyakan nomor teleponmu, tapi apa ada yang kau hubungi?”
Takaki hanya bisa menggeleng pelan. Bahkan dia tidak ingat lagi keberadaan nomor-nomor itu, terlalu sering mengganti kontak karena banyak nomor jahil menghubunginya.
“Kalau kamu terlihat sudah ada pacar kan setidaknya mereka tidak akan digantungi harapan palsu.” Kakaknya menghela napas, menatapnya serius. “Tenang saja, dia cowok yang profesional, kamu mau minta apa saja dia bisa sanggupi selagi masih wajar.”
Sedikit terkejut, Takaki pikir kakaknya akan menyuruhnya membawa perempuan alih-alih lelaki. Namun, setelah dipikir lagi, mungkin kakaknya sengaja agar dia tidak menolak.
Saat itulah dia bertemu dengan seorang Inoo, dua hari sebelum pernikahan kakaknya. Cara berpakaiannya tidak jauh berbeda dari Takaki, hanya hoodie dengan celana panjang. Rambutnya sedikit mencolok, bergelombang dan menutupi matanya sesekali, terlihat halus tertiup pelan oleh angin.
“Jadi,” Inoo menatapnya sambil melipat kedua tangannya di atas meja, “kau suka tipe seperti apa?”
Takaki tidak terlalu memikirkan tipe, lebih banyak mengandalkan perasaannya saja untuk menyukai seseorang. Namun dia tetap memberikan jawaban—seperti apa yang sudah dititipkan oleh kakaknya sesaat sebelum dia pergi—agar Inoo memiliki gambaran hal yang harus dilakukan nantinya.
Berbicara banyak dengan Inoo, khususnya untuk membuat cerita bohongan tentang pertemuan mereka dan siapa yang menyatakan perasaan terlebih dahulu, Takaki mau tak mau menyimpan beberapa fitur lelaki itu di dalam memorinya. Seperti caranya berbicara, suara yang terdengar ringan dan unik di telinga Takaki, jemarinya yang lentik mengusap layar ponsel, atau caranya mengalihkan topik dengan mudah.
Jika disuruh memberi kesimpulan, Takaki menilai Inoo tidak terlalu buruk juga. Pertemuan ini tidak terasa seperti pertemuan pertama kali untuk membicarakan skenario buatan akan hubungan mereka.
“Takaki,” Inoo memanggilnya sesaat sebelum dia beranjak dari kursinya, pembicaraan mereka sudah selesai beberapa menit lalu, “jangan tiba-tiba suka denganku sungguhan.”
Mengerutkan alisnya, Takaki sedikit heran akan pernyataan itu. Memangnya apa salahnya kalau sungguhan? Bukannya Takaki yakin juga dia akan benar-benar suka, namun tidak ada yang tidak mungkin, bukan?
“Kalau suka sungguhan bagaimana?”
“Nanti repot,” Inoo menopang dagunya, “aku sulit diatur sebagai pacar sungguhan.”
Takaki harus menahan dirinya untuk tidak memutar bola matanya. Pertemuan ini hanya menghabiskan beberapa jam, tapi dia sudah sedikit terbiasa dengan jawaban Inoo yang suka mengada-ada.
Aneh. Tapi Takaki tidak terlalu keberatan.
“Justru kau yang jangan suka padaku sungguhan,” Takaki membalas, “aku sulit menyukai.”
“Tenang saja, mudah untuk menyukaiku, makanya aku memberimu peringatan dari sekarang.”
Inoo memberinya senyum, lalu berjalan lebih dulu keluar dari sana. Takaki hanya menghela napas, dalam hati sedikit tidak sabar menunggu hari pernikahan kakaknya tiba.