injunoona

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!” ucap gue di anak tangga terakhir sambil membetulkan posisi rambut gue. Namun fokus gue teralihkan oleh Ethan yang berdiri di depan pintu..

Sumpah demi Tuhan, jika gue boleh hiperbolis saat ini.. gue ingin mengatakan bahwa Ethan adalah salah satu wujud kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.

Tubuhnya yang jangkung, lehernya yang jenjang.. dibalut dengan sweater crewneck hitam.. membuat gue gelagapan dan mematung.

“kamu kenapa, Izza? ngelamun?” shit dia menyadari lamunan gue.

Gue menepis semua lamunan dan memutar otak untuk merangkai kalimat.

“hah? oh enggakk.. ini bingung tadi posisi rambut gue agak aneh..” —alasan tak masuk akal.

Ethan mengangguk dua kali, dia tidak memperpanjang lamunan gue tadi.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can't believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan kemudian mengisi perut setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dnegan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet orang juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, namun tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah pemberhentian ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami. Penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang lebay, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh, kenapa gue merasa Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.


#anti

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!” ucap gue di anak tangga terakhir sambil membetulkan posisi rambut gue. Namun fokus gue teralihkan oleh Ethan yang berdiri di depan pintu..

Sumpah demi Tuhan, jika gue boleh hiperbolis saat ini.. gue ingin mengatakan bahwa Ethan adalah salah satu wujud kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.

Tubuhnya yang jangkung, lehernya yang jenjang.. dibalut dengan sweater crewneck hitam.. membuat gue gelagapan dan mematung.

“kamu kenapa, Izza? ngelamun?” shit dia menyadari lamunan gue.

Gue menepis semua lamunan dan memutar otak untuk merangkai kalimat.

“hah? oh enggakk.. ini bingung tadi posisi rambut gue agak aneh..” —alasan tak masuk akal.

Ethan mengangguk dua kali, dia tidak memperpanjang lamunan gue tadi.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can't believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan makan siang setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dnegan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet orang juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, namun tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah pemberhentian ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami. Penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang lebay, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh, kenapa gue merasa Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.


#anti

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!” ucap gue di anak tangga terakhir sambil membetulkan posisi rambut gue. Namun fokus gue teralihkan oleh Ethan yang berdiri di depan pintu..

Sumpah demi Tuhan, jika gue boleh hiperbolis saat ini.. gue ingin mengatakan bahwa Ethan adalah salah satu wujud kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.

Tubuhnya yang jangkung, lehernya yang jenjang.. dibalut dengan sweater crewneck hitam.. membuat gue gelagapan dan mematung.

“kamu kenapa, Izza? ngelamun?” shit dia menyadari lamunan gue.

Gue menepis semua lamunan dan memutar otak untuk merangkai kalimat.

“hah? oh enggakk.. ini bingung tadi posisi rambut gue agak aneh..” —alasan tak masuk akal.

Ethan mengangguk dua kali, dia tidak memperpanjang lamunan gue tadi.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan makan siang setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dnegan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet orang juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, namun tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah pemberhentian ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami. Penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang lebay, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh, kenapa gue merasa Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.


#anti

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!” ucap gue di anak tangga terakhir sambil membetulkan posisi rambut gue. Namun fokus gue teralihkan oleh Ethan yang berdiri di depan pintu..

Sumpah demi Tuhan, jika gue boleh hiperbolis saat ini.. gue ingin mengatakan bahwa Ethan adalah salah satu wujud kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.

Tubuhnya yang jangkung, lehernya yang jenjang.. dibalut dengan sweater crewneck hitam.. membuat gue gelagapan dan mematung.

“kamu kenapa, Izza? ngelamun?” shit dia menyadari lamunan gue.

Gue menepis semua lamunan dan memutar otak untuk merangkai kalimat.

“hah? oh enggakk.. ini bingung tadi posisi rambut gue agak aneh..” —alasan tak masuk akal.

Ethan mengangguk dua kali, dia tidak memperpanjang lamunan gue tadi.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan makan siang setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dnegan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet orang juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, namun tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah pemberhentian ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami. Penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang lebay, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh, kenapa gue merasa Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.


#anti

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

Sumpah demi Tuhan, jika gue boleh hiperlolis saat ini.. gue ingin mengatakan bahwa Ethan adalah salah satu wujud kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.

Tubuhnya yang jangkunh, lehernya yang jenjang.. dibalut dengan sweater crewneck hitam.. membuat gue gelagapan dan mematung di anak tangga terbawah.

“kamu kenapa, Izza? ngelamun?” shit dia menyadari te-takjub-an gue.

Gue menepis semua lamunan dan memutar otak untuk merangkai kalimat

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!” —basa-basi klasik

Ethan mengangguk dua kali, dia tidak memperpanjang lamunan gue tadi.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan makan siang setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dnegan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet orang juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, namun tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah pemberhentian ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami. Penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang lebay, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh, kenapa gue merasa Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.


#anti

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!”

Ethan mengangguk dua kali.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan makan siang setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dnegan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet orang juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, namun tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah pemberhentian ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami. Penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang lebay, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh, kenapa gue merasa Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.


#anti

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFTiya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!”

Ethan mengangguk dua kali.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu rumah. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari dengan kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” kata Ethan sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan nyaris berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu masyarakat Inggris memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegamg handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

....

Tapi tubuh gue terombang-ambing setiap kereta memelankan kecepatannya di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can believe it... I'm at Oxford now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu”

“lebay!!!”

Gue berdiri di depan perpustakaan Duke Humfrey's, salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang bahkan belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free match bracelets for every couple at Humfrey's today! this is for you“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video lo, gue harus cabut duluan karena harus ke tempat kerja!” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya fokus pada laptop.

“tenang aja kali, gue gini-gini udah bisa bikin KTP Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana.


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat Izza bekerja.

“ya makan?”

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

two sides of jeremy


Hujan yang turun tanpa aba-aba pada sore hari di awal bulan september 1994, membasahi bumi Yogyakarta.

Yasawirya yang berteduh di halte bus, melinting celana abu-abu nya agar tak terbasahi oleh bulir air yang jatuh.

“Iya, Pap! Stefani juga ngerti.. tapi kan aku baru kelas tiga SMA, Papi mau aku buru-buru nikah tuh gimana ceritanya sih, Pap!!”

Suara perempuan dari bilik telepon umum di halte itu terdengar samar-samar oleh Wirya. Ia awalnya sama sekali tidak mau tahu dan tak mau ikut campur, namun wanita yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya itu berjalan mendekatinya.

“Mas! punya uang koin lebih, enggak? aku masih harus bicara di telepon!”

Gadis itu tersenyum padanya. Dengan mata coklatnya yang indah, rambut hitam panjangnya yang dikepang, dan suaranya yang lembut... membuat Wirya hanyut dalam senyumannya.

“Mas? kok ngelamun? aku boleh minjem dulu uang koin nya?”

Wirya mengerjap dan cepat-cepat meraba seluruh saku kantong di pakaiannya.

“oh! ini ada, Kak!” ia serahkan beberapa koin itu.

Stefani mengerutkan dahinya karena Wirya yang memanggilnya dengan 'kak', namun terjawab oleh satu strip hitam di lengan kanan baju seragamnya, “oh, dia kelas satu”.

“Sebentar ya, Mas.. kamu jangan kemana-mana!”

Setelah sesi telepon berakhir, gadis itu kembali menghampiri dan berdiri di sampingnya.

“ini uangnya aku ganti” ucapnya sambil mengulurkan tangan dengan selembar uang kertas di genggamannya.

“eh? gak usah gak usah, Kak! aku ikhlas bantuin”

“lho kok begitu... mas nya nanti punya ongkos untuk pulang?”

“ada kok..”

“ya sudah, kapan-kapan saya jajanin mie ayam depan sekolah, ya? kita satu sekolah, kan?”

Wirya mengangguk, ia senang kala mendengar kata “kapan-kapan”, yang berarti ia akan bertemu lagi dengan gadis itu.

“aku Wirya, Yasawirya!” ia mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan.

“aku Stefani!” dengan senyumnya lagi, ia menjabat tangan Wirya.

Tak banyak obrolan di sore itu, hanya basa-basi biasa layaknya dua insan yang baru saja berkenalan.

“tulis nomor telepon rumah kamu!”

Stefani menyerahkan buku telepon kecil dan pena pada Wirya, yang langsung lelaki itu turuti.

“Senang bisa ngobrol sama kamu, Wir! sampe ketemu lagi ya!”

Stefani masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh supir pribadi keluarganya.

Dan Wirya.. walau hujan sudah reda, walau bus tujuannya sudah ada, namun ia tetap mematung di halte itu... Memikirkan bagaimana caranya kembali pulang, sedangkan ia tak memegang uang sepeser pun.

*** “Mas Wirya? kenapa pulangnya malam-malam begini?” tanya salah satu adik perempuan nya yang berdiri di ambang pintu.

“tadi mas pulangnya jalan kaki, dek!” ia tersenyum hingga matanya membentuk sabit, membuka sepatunya satu persatu sambil berjongkok di teras.

“lho? kenapa nggak naik bus toh, le?” kali ini wanita paruh baya yang Wirya panggil 'Ibu' yang bertanya.

“tadi aku ketinggalan bus nya, Bu!”

Sang Ibu hanya ber-oh dan kembali masuk ke dalam setelah memintanya untuk mandi terlebih dulu sebelum makan malam.

Yasawirya tak punya pilihan lain selain berbohong. Kalau dirinya berkata bahwa ia tak punya uang untuk ongkos pulang, tentunya akan melukai hati sang Ibu.


Wirya mengerjapkan matanya beberapa kali, kala ia melihat Stefani melambaikan tangan padanya di depan kedai mie ayam depan sekolah.

“dia... melambai ke arah aku, kan?” batinnya.

setelah meyakinkan diri dengan menengok ke belakang dan tak ada manusia lain selain dirinya, akhirnya ia yakin lambaian itu adalah untuknya.

“hai, Kak!!”

Stefani hanya tersenyum sekilas, melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

“ada waktu satu jam sebelum jemputanku datang, Wir! mau makan mie ayam?”

Yasawirya terdiam... ia heran kenapa tubuhnya bereaksi berlebihan. Jantung yang berdetak lebih cepat, hembusan napas yang berderu lebih kencang... hanya karena ajakan makan mie ayam bersama?

“Wirya? kok diem?”

“eh? oh itu, anu.. boleh”

“ayo!”

Gadis cantik itu menarik tangan Wirya tanpa penyesalan masuk ke dalam kedai.

“tenang, Wir! yang bayar biar aku aja!” Stefani tersenyum sambil membenarkan posisi rambutnya ke belakang telinga. Wirya yang duduk dihadapannya terkesima.

Sambil menunggu mie ayam pesanan mereka, obrolan kecil terus mengalir. Seperti menanyakan teman sekelas, kegiatan ekstrakurikuler dan segelintir topik ringan seperti guru matematika yang dikenal suka berbagi camilan, hingga petugas kebersihan yang sering ketiduran di semak-semak.

“nama kakak bagus, lho! Stefani Clarion.. kayak nama bule” Wirya tiba-tiba membahas nama, sedetik setelah membaca bordiran yang terukir di kemeja Stefani.

“hahahahaha”

“kenapa ketawa?” ia mengernyitkan dahinya.

“Clarion itu nama keluargaku.. Papi ku memang bukan orang Indonesia, tapi udah tinggal disini lamaaaa banget!”

“oalaaah...”

“namamu juga bagus, Wir! Ar-Rasyiid.. diturunkan dari bapakmu juga, ya?” gadis itu penasaran.

Diluar dugaan, Yasawirya terdiam beberapa saat hingga akhirnya ia kembali membuka suara.

“aku... nggak punya bapak dan ibu, Kak!”

“hah? oh? eh sorry sorry aku nggak tahu...” Stefani mengusap tangan Wirya yang berada di atas meja, menunjukkan rasa bersalahnya.

“gak masalah Kak, kan kamu nggak tahu..” ia tersenyum sampai matanya membentuk sabit, “Ar-Rasyiid itu nama panti asuhanku, semua anak yang tinggal disana.. nama panjangnya Ar-Rasyiid, Kak!”

“sodara mu ada berapa disana, Wir?”

“ada 15, Kak! hahaha.. aku tertua kedua!”

“woaaaa banyak banget! aku cuma punya kakak satu orang”

Obrolan mereka terpotong setelah dua mangkuk mie ayam datang dan kemudian dilanjutkan makan bersama dengan tenang.

Entah apa yang ada pada diri Stefani, ia mampu menghipnotis Wirya hanya dalam waktu sekejap. Yasawirya yang sebelumnya hanya seorang pemalu dan tidak bisa membuka diri pada orang baru, berubah menjadi pribadi yang terbuka dan santai ketika bersamanya.

Hari itu sangat menyenangkan bagi keduanya, walau mie ayam yang mereka nikmati tak termakan habis karena Stefani yang harus pulang tepat setelah supirnya datang. . .


Hari berganti hari, minggu berganti minggu.. tak sehari pun Yasawirya tak memikirkan Stefani. Ia bisa saja menghampiri gadis itu ke kelasnya, atau menyapa di kantin ketika makan siang, atau menulis surat kaleng yang kemudian ia tempel di mading sekolah seperti yang banyak orang lakukan. Namun ia tak se-berani itu.

Melihat Stefani yang selalu bergelimang kemewahan, dan dikelilingi teman-teman yang populer membuat Yasawirya kembali menjadi dirinya yang pemalu dan minderan.

“harus tahu diri ya, Wirya” batinnya setiap kali ia mengurungkan niat untuk menyapa Stefani.

Ia pikir... Stefani yang meminta nomor telepon nya dan Stefani yang mentraktirnya mie ayam adalah gadis yang ingin lebih dekat dengannya, tapi ternyata tidak sama sekali.

“Mas Wirya!! ada telepon!”

Wirya yang malam itu sedang mengerjakan latihan soal pada buku LKS, terperanjat dari duduknya dan refleks berlari menuju ruang telepon tepat setelah teriakkan salah satu adiknya.

“halo? Wirya?”

“iya.. ini siapa?”

“ini aku, Stefani”

Yasawirya terdiam beberapa saat. Senyumnya merekah, menandakan bahwa ia merasa senang setelah nama itu disebutkan.

Rasa senangnya semakin menggebu, karena Stefani yang mengajaknya bertemu di taman dekat panti asuhan nya.

Namun setelah ia melihat pujaan hatinya secara langsung, semuanya runtuh.

“Kak... kenapa nangis?”

Stefani bergetar, ia tak kuasa menahan tangisnya.

“Wirya.. tolong aku...”

“kenapa?”

“aku mau dijodohkan sama papi ku, aku bingung harus lari kemana aku nggak tahu lagi harus ngehubungin siapa aku takut” ucapan nya yang tergesa-gesa, matanya yang terus mengeluarkan air mata, membuat Wirya semakin panik.

“Kak... sekarang Kakak tarik napas..”

Stefani menurut.

“kakak kan masih sekolah.. kok dijodohkan?”

“aku baru disuruh kenalan doang, kata papi kita nikahnya 5 tahun lagi!”

Yasawirya kehabisan kata. Atmosfer yang awalnya mencekam karena ternyata wanita impiannya akan dijodohkan, berubah menjadi menggelikan.

“ih! kok ketawa sih, Wir?!”

“lucu, Kak! yaudah panik nya nanti aja 5 tahun lagi!”

“IHHHHH!”

“ya terus sekarang Kakak mau ngapain?”

“aku mau kabur dari rumah..”

“kemana?”

“boleh gak, aku nginep di panti asuhan kamu?”

Wirya terbelalak. Ia kaget setengah mati mendengar pertanyaan Stefani yang tanpa aba-aba itu. Tapi tetap ia jawab dengan “boleh, masih ada kasur kosong di kamar perempuan”.

Memang benar malam itu ia menginap di panti asuhan, berkenalan dan bercengkrama dengan seluruh keluarga Yasawirya. Namun esoknya ia kembali pulang ke rumah karena khawatir papi nya semakin memarahinya. Mohon dimaklumi karena remaja memang labil.


Wirya bisa mengingat dengan jelas, hari itu pukul 7 malam. Stefani tiba-tiba mengajaknya makan malam bersama, setelah sekian lama tidak bertemu karena kesibukan perkuliahan mereka.

“selamat ya, Kak! emang kakak udah kenal dia dari lama, ya?”

“baru 5 bulan, sih! nanti aku ajakin dia ya? biar kamu kenal dia.. biar dia kenal sama kamu, yang udah aku anggap sebagai adik sendiri!”

Binar mata Stefani ketika menceritakan kekasihnya pada Yasawirya, membuat lelaki yang duduk di hadapannya kini tak bisa berbuat apa-apa selain mengucap kata selamat.

Berteman bertahun-tahun, saling bercerita dan menjadi tempat berkeluh kesah... ternyata tak membuat Stefani membuka hati untuknya. Ia tetap hanya seorang adik di mata gadis itu.

“tapi...” Stefani menghela napas kemudian menunduk.

“tapi apa, kak?”

“papi ku..”

“pacar kakak... apa udah ketemu sama Papi?”

Stefani menggelengkan kepalanya.

“saranku, kakak harus terbuka sama hal ini. Siapa tau, kalau kakak bilang udah punya pacar... Papi akan batalin buat jodihin kakak sama anak temennya?”

Stefani menghela napasnya, kemudian mengangguk.

Setelah beberapa minggu dari hari itu, Wirya datang ke rumah Stefani untuk mengucapkan selamat atas wisuda sarjana Stefani.

“Papi bilang apa? Giano itu gak pantas buatmu? kenapa susah banget sih buat nurut? kalau papi bilang kamu harus nikah sama lelaki pilihan papi, ya nurut!”

“Pap... aku bisa pilih calon pendampingku sendiri!”

Wirya yang mematung beberapa menit di ambang pintu, tak sepenuhnya percaya diri.. namun ia tetap memberanikan diri masuk dan bergabung dalam obrolan panas itu.

“om, saya Yasawirya.. teman kak Stefani”

Baik Stefani dan papi nya terkejut karena Wirya yang datang tanpa permisi.

Wirya berlutut di hadapan papi Stefani “Kak Stefani bahagia bersama pilihannya, Om!.. bukan maksud saya ikut campur urusan keluarga om, tapi saya merasa berhak memperjuangkan kebahagiaan teman saya.. Kak Stefani yang selalu saya anggap sebagai Kakak saya sendiri

Lelaki paruh baya itu tak membuka mulutnya, ia hanya mendengus dan meraih telepon di sebelahnya “security tolong bawa anak gak tahu diri ini keluar!”

Stefani terkejut bukan main. Ia menahan Yasawirya dengan susah payah namun tenaga nya terlalu lemah jika dibandingkan security rumahnya.

Wirya.. aku minta maaf..” adalah kalimat yang terakhir kali Wirya baca dari gerak bibir Stefani. Setelah itu mereka tak pernah bertemu lagi..


* * Binar mata yang sama, masih ada pada mata wanita itu. Saat netra nya tak sengaja bertemu dengan milik Wirya, di rest area Tasikmalaya pertengahan tahun 2004.

“udah berapa bulan, kak?” tanya Wirya penasaran.. setelah melihat perut Stefani yang besar.

“lima, Wir!”

Yasawirya tersenyum untuk menyampaikan rasa bahagianya, walau rasa sakit masih ada sedikit tertinggal.

“maaf aku gak ngundang kamu ke pernikahanku...”

Awalnya lelaki itu ingin mengiyakan saja, namun ia tidak ingin dihantui pertanyaan “kenapa, kak? kenapa aku nggak diundang?”

Stefani diam sejenak, “aku dan Giano.. nikah siri”

Yasawirya menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya, ia tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

“seenggaknya, aku dan dia berakhir bersama..” Stefani tersenyum sambil mengusap perutnya.

“Kak, aku boleh minta nomor hp kakak?” ia menyodorkan ponselnya.

“tunangan mu.. gak akan marah kalo kamu minta-minta nomor perempuan lain, Wir?”

“lho? aku belum cerita aku udah tunangan!”

“aku bisa liat cincin di jari kamu!”

Keduanya hanya tersenyum canggung, saling bertukar nomor, kemudian berpisah dan kembali menjadi orang asing.

Beberapa bulan setelah itu, Yasawirya mendapat kabar bahwa Giano meninggal dunia... sehari sebelum Stefani melahirkan putranya.

Bukan tak ingin datang menghibur Stefani, namun ia disibukkan dengan persiapan pernikahannya. Hanya ucapan belasungkawa via sms yang bisa ia berikan.

Sehari sebelum hari pernikahan Yasawirya, Stefani berkata bahwa ia tidak bisa hadir.. dengan alasan gila yang membuat Wirya tak dapat mengontrol emosinya.

“aku tetap dinikahkan dengan lelaki pilihan Papi, besok aku ke Batam buat menikah! kita menikah di hari yang sama, Wir! :D aku fikir, statusku yang seorang janda dan seorang Ibu, akan buat papi berhenti.. nyatanya enggak! Btw selamat buat pernikahanmu!”

Satu sms itu sukses membuat Wirya kesal dan marah pada dunia, tapi ia bisa apa...

Setelah itu.. benar-benar tak ada lagi Yasawirya dan Stefani sebagai dua insan yang saling bergantung.... mereka sudah terpisahkan sepenuhnya oleh takdir.


Tertegun, terkejut bukan main... kala Yasawirya menemukan kembali binar mata itu..

“om, jangan lempar kesitu bola nya! yah payah banget!!!”

Atmosfer yang diciptakan oleh anak bernama Jeremy itu pun, mengingatkannya pada masa lalu nya.

“makasih ya om, udah anterin pulang!”

Ia menyaksikan dengan matanya sendiri, Jeremy yang malam itu berlari masuk ke rumahnya kemudian disambut oleh sang Ibu..

Benar saja, firasatnya benar. Jeremy adalah putra Stefani.


#anti

two sides of jeremy


Hujan yang turun tanpa aba-aba pada sore hari di awal bulan september 1994, membasahi bumi Yogyakarta.

Yasawirya yang berteduh di halte bus, melinting celana abu-abu nya agar tak terbasahi oleh bulir air yang jatuh.

“Iya, Pap! Stefani juga ngerti.. tapi kan aku baru kelas tiga SMA, Papi mau aku buru-buru nikah tuh gimana ceritanya sih, Pap!!”

Suara perempuan dari bilik telepon umum di halte itu terdengar samar-samar oleh Wirya. Ia awalnya sama sekali tidak mau tahu dan tak mau ikut campur, namun wanita yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya itu berjalan mendekatinya.

“Mas! punya uang koin lebih, enggak? aku masih harus bicara di telepon!”

Gadis itu tersenyum padanya. Dengan mata coklatnya yang indah, rambut hitam panjangnya yang dikepang, dan suaranya yang lembut... membuat Wirya hanyut dalam senyumannya.

“Mas? kok ngelamun? aku boleh minjem dulu uang koin nya?”

Wirya mengerjap dan cepat-cepat meraba seluruh saku kantong di pakaiannya.

“oh! ini ada, Kak!” ia serahkan beberapa koin itu.

Stefani mengerutkan dahinya karena Wirya yang memanggilnya dengan 'kak', namun terjawab oleh satu strip hitam di lengan kanan baju seragamnya, “oh, dia kelas satu”.

“Sebentar ya, Mas.. kamu jangan kemana-mana!”

Setelah sesi telepon berakhir, gadis itu kembali menghampiri dan berdiri di sampingnya.

“ini uangnya aku ganti” ucapnya sambil mengulurkan tangan dengan selembar uang kertas di genggamannya.

“eh? gak usah gak usah, Kak! aku ikhlas bantuin”

“lho kok begitu... mas nya nanti punya ongkos untuk pulang?”

“ada kok..”

“ya sudah, kapan-kapan saya jajanin mie ayam depan sekolah, ya? kita satu sekolah, kan?”

Wirya mengangguk, ia senang kala mendengar kata “kapan-kapan”, yang berarti ia akan bertemu lagi dengan gadis itu.

“aku Wirya, Yasawirya!” ia mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan.

“aku Stefani!” dengan senyumnya lagi, ia menjabat tangan Wirya.

Tak banyak obrolan di sore itu, hanya basa-basi biasa layaknya dua insan yang baru saja berkenalan.

“tulis nomor telepon rumah kamu!”

Stefani menyerahkan buku telepon kecil dan pena pada Wirya, yang langsung lelaki itu turuti.

“Senang bisa ngobrol sama kamu, Wir! sampe ketemu lagi ya!”

Stefani masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh supir pribadi keluarganya.

Dan Wirya.. walau hujan sudah reda, walau bus tujuannya sudah ada, namun ia tetap mematung di halte itu... Memikirkan bagaimana caranya kembali pulang, sedangkan ia tak memegang uang sepeser pun.

*** “Mas Wirya? kenapa pulangnya malam-malam begini?” tanya salah satu adik perempuan nya yang berdiri di ambang pintu.

“tadi mas pulangnya jalan kaki, dek!” ia tersenyum hingga matanya membentuk sabit, membuka sepatunya satu persatu sambil berjongkok di teras.

“lho? kenapa nggak naik bus toh, le?” kali ini wanita paruh baya yang Wirya panggil 'Ibu' yang bertanya.

“tadi aku ketinggalan bus nya, Bu!”

Sang Ibu hanya ber-oh dan kembali masuk ke dalam setelah memintanya untuk mandi terlebih dulu sebelum makan malam.

Yasawirya tak punya pilihan lain selain berbohong. Kalau dirinya berkata bahwa ia tak punya uang untuk ongkos pulang, tentunya akan melukai hati sang Ibu.


Wirya mengerjapkan matanya beberapa kali, kala ia melihat Stefani melambaikan tangan padanya di depan kedai mie ayam depan sekolah.

“dia... melambai ke arah aku, kan?” batinnya.

setelah meyakinkan diri dengan menengok ke belakang dan tak ada manusia lain selain dirinya, akhirnya ia yakin lambaian itu adalah untuknya.

“hai, Kak!!”

Stefani hanya tersenyum sekilas, melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

“ada waktu satu jam sebelum jemputanku datang, Wir! mau makan mie ayam?”

Yasawirya terdiam... ia heran kenapa tubuhnya bereaksi berlebihan. Jantung yang berdetak lebih cepat, hembusan napas yang berderu lebih kencang... hanya karena ajakan makan mie ayam bersama?

“Wirya? kok diem?”

“eh? oh itu, anu.. boleh”

“ayo!”

Gadis cantik itu menarik tangan Wirya tanpa penyesalan masuk ke dalam kedai.

“tenang, Wir! yang bayar biar aku aja!” Stefani tersenyum sambil membenarkan posisi rambutnya ke belakang telinga. Wirya yang duduk dihadapannya terkesima.

Sambil menunggu mie ayam pesanan mereka, obrolan kecil terus mengalir. Seperti menanyakan teman sekelas, kegiatan ekstrakurikuler dan segelintir topik ringan seperti guru matematika yang dikenal suka berbagi camilan, hingga petugas kebersihan yang sering ketiduran di semak-semak.

“nama kakak bagus, lho! Stefani Clarion.. kayak nama bule” Wirya tiba-tiba membahas nama, sedetik setelah membaca bordiran yang terukir di kemeja Stefani.

“hahahahaha”

“kenapa ketawa?” ia mengernyitkan dahinya.

“Clarion itu nama keluargaku.. Papi ku memang bukan orang Indonesia, tapi udah tinggal disini lamaaaa banget!”

“oalaaah...”

“namamu juga bagus, Wir! Ar-Rasyiid.. diturunkan dari bapakmu juga, ya?” gadis itu penasaran.

Diluar dugaan, Yasawirya terdiam beberapa saat hingga akhirnya ia kembali membuka suara.

“aku... nggak punya bapak dan ibu, Kak!”

“hah? oh? eh sorry sorry aku nggak tahu...” Stefani mengusap tangan Wirya yang berada di atas meja, menunjukkan rasa bersalahnya.

“gak masalah Kak, kan kamu nggak tahu..” ia tersenyum sampai matanya membentuk sabit, “Ar-Rasyiid itu nama panti asuhanku, semua anak yang tinggal disana.. nama panjangnya Ar-Rasyiid, Kak!”

“sodara mu ada berapa disana, Wir?”

“ada 15, Kak! hahaha.. aku tertua kedua!”

“woaaaa banyak banget! aku cuma punya kakak satu orang”

Obrolan mereka terpotong setelah dua mangkuk mie ayam datang dan kemudian dilanjutkan makan bersama dengan tenang.

Entah apa yang ada pada diri Stefani, ia mampu menghipnotis Wirya hanya dalam waktu sekejap. Yasawirya yang sebelumnya hanya seorang pemalu dan tidak bisa membuka diri pada orang baru, berubah menjadi pribadi yang terbuka dan santai ketika bersamanya.

Hari itu sangat menyenangkan bagi keduanya, walau mie ayam yang mereka nikmati tak termakan habis karena Stefani yang harus pulang tepat setelah supirnya datang. . .


Hari berganti hari, minggu berganti minggu.. tak sehari pun Yasawirya tak memikirkan Stefani. Ia bisa saja menghampiri gadis itu ke kelasnya, atau menyapa di kantin ketika makan siang, atau menulis surat kaleng yang kemudian ia tempel di mading sekolah seperti yang banyak orang lakukan. Namun ia tak se-berani itu.

Melihat Stefani yang selalu bergelimang kemewahan, dan dikelilingi teman-teman yang populer membuat Yasawirya kembali menjadi dirinya yang pemalu dan minderan.

“harus tahu diri ya, Wirya” batinnya setiap kali ia mengurungkan niat untuk menyapa Stefani.

Ia pikir... Stefani yang meminta nomor telepon nya dan Stefani yang mentraktirnya mie ayam adalah gadis yang ingin lebih dekat dengannya, tapi ternyata tidak sama sekali.

“Mas Wirya!! ada telepon!”

Wirya yang malam itu sedang mengerjakan latihan soal pada buku LKS, terperanjat dari duduknya dan refleks berlari menuju ruang telepon tepat setelah teriakkan salah satu adiknya.

“halo? Wirya?”

“iya.. ini siapa?”

“ini aku, Stefani”

Yasawirya terdiam beberapa saat. Senyumnya merekah, menandakan bahwa ia merasa senang setelah nama itu disebutkan.

Rasa senangnya semakin menggebu, karena Stefani yang mengajaknya bertemu di taman dekat panti asuhan nya.

Namun setelah ia melihat pujaan hatinya secara langsung, semuanya runtuh.

“Kak... kenapa nangis?”

Stefani bergetar, ia tak kuasa menahan tangisnya.

“Wirya.. tolong aku...”

“kenapa?”

“aku mau dijodohkan sama papi ku, aku bingung harus lari kemana aku nggak tahu lagi harus ngehubungin siapa aku takut” ucapan nya yang tergesa-gesa, matanya yang terus mengeluarkan air mata, membuat Wirya semakin panik.

“Kak... sekarang Kakak tarik napas..”

Stefani menurut.

“kakak kan masih sekolah.. kok dijodohkan?”

“aku baru disuruh kenalan doang, kata papi kita nikahnya 5 tahun lagi!”

Yasawirya kehabisan kata. Atmosfer yang awalnya mencekam karena ternyata wanita impiannya akan dijodohkan, berubah menjadi menggelikan.

“ih! kok ketawa sih, Wir?!”

“lucu, Kak! yaudah panik nya nanti aja 5 tahun lagi!”

“IHHHHH!”

“ya terus sekarang Kakak mau ngapain?”

“aku mau kabur dari rumah..”

“kemana?”

“boleh gak, aku nginep di panti asuhan kamu?”

Wirya terbelalak. Ia kaget setengah mati mendengar pertanyaan Stefani yang tanpa aba-aba itu. Tapi tetap ia jawab dengan “boleh, masih ada kasur kosong di kamar perempuan”.

Memang benar malam itu ia menginap di panti asuhan, berkenalan dan bercengkrama dengan seluruh keluarga Yasawirya. Namun esoknya ia kembali pulang ke rumah karena khawatir papi nya semakin memarahinya. Mohon dimaklumi karena remaja memang labil.


Wirya bisa mengingat dengan jelas, hari itu pukul 7 malam. Stefani tiba-tiba mengajaknya makan malam bersama, setelah sekian lama tidak bertemu karena kesibukan perkuliahan mereka.

“selamat ya, Kak! emang kakak udah kenal dia dari lama, ya?”

“baru 5 bulan, sih! nanti aku ajakin dia ya? biar kamu kenal dia.. biar dia kenal sama kamu, yang udah aku anggap sebagai adik sendiri!”

Binar mata Stefani ketika menceritakan kekasihnya pada Yasawirya, membuat lelaki yang duduk di hadapannya kini tak bisa berbuat apa-apa selain mengucap kata selamat.

Berteman bertahun-tahun, saling bercerita dan menjadi tempat berkeluh kesah... ternyata tak membuat Stefani membuka hati untuknya. Ia tetap hanya seorang adik di mata gadis itu.

“tapi...” Stefani menghela napas kemudian menunduk.

“tapi apa, kak?”

“papi ku..”

“pacar kakak... apa udah ketemu sama Papi?”

Stefani menggelengkan kepalanya.

“saranku, kakak harus terbuka sama hal ini. Siapa tau, kalau kakak bilang udah punya pacar... Papi akan batalin buat jodihin kakak sama anak temennya?”

Stefani menghela napasnya, kemudian mengangguk.

Setelah beberapa minggu dari hari itu, Wirya datang ke rumah Stefani untuk mengucapkan selamat atas wisuda sarjana Stefani.

“Papi bilang apa? Giano itu gak pantas buatmu? kenapa susah banget sih buat nurut? kalau papi bilang kamu harud nikah sama lelaki pilihan papi, ya nurut!”

“Pap... aku bisa pilih calon pendampingku sendiri!”

Wirya yang mematung beberapa menit di ambang pintu, tak sepenuhnya percaya diri.. namun ia tetap memberanikan diri masuk dan bergabung dalam obrolan panas itu.

“om, saya Yasawirya.. teman kak Stefani”

Baik Stefani dan papi nya terkejut karena Wirya yang datang tanpa permisi.

Wirya berlutut di hadapan papi Stefani “Kak Stefani bahagia bersama pilihannya, Om!.. bukan maksud saya ikut campur urusan keluarga om, tapi saya merasa berhak memperjuangkan kebahagiaan teman saya.. Kak Stefani yang selalu saya anggap sebagai Kakak saya sendiri

Lelaki paruh baya itu tak membuka mulutnya, ia hanya mendengus dan meraih telepon di sebelahnya “security tolong bawa anak gak tahu diri ini keluar!”

Stefani terkejut bukan main. Ia menahan Yasawirya dengan susah payah namun tenaga nya terlalu lemah jika dibandingkan security rumahnya.

Wirya.. aku minta maaf..” adalah kalimat yang terakhir kali Wirya baca dari gerak bibir Stefani. Setelah itu mereka tak pernah bertemu lagi..


* * Binar mata yang sama, masih ada pada mata wanita itu. Saat netra nya tak sengaja bertemu dengan milik Wirya, di rest area Tasikmalaya pertengahan tahun 2004.

“udah berapa bulan, kak?” tanya Wirya penasaran.. setelah melihat perut Stefani.

“lima, Wir!”

Yasawirya tersenyum untuk menyampaikan rasa bahagianya, walau sedikit sakit masih ada tertinggal.

“maaf aku gak ngundang kamu ke pernikahanku...”

Awalnya lelaki itu ingin mengiyakan, namun ia tidak ingin dihantui pertanyaan “kenapa, kak? kenapa aku nggak diundang?”

Stefani diam sejenak, “aku dan Giano.. nikah siri”

Yasawirya menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya, ia tak bisa menyembunyikan tasa terkejutnya.

“seenggaknya, aku dan dia berakhir bersama..” Stefani tersenyum sambil mengusap perutnya.

“Kak, aku boleh minta nomor hp kakak?” ia menyodorkan ponselnya.

“tunangan mu.. gak akan marah kalo kamu minta-minta nomor perempuan lain, Wir?”

“lho? aku belum cerita aku udah tunangan!”

“aku bisa liat cincin di jari kamu!”

Keduanya hanya tersenyum canggung, saling bertukar nomor, kemudian berpisah dan kembali menjadi orang asing.

Beberapa bulan setelah itu, Yasawirya mendapat kabar bahwa Giano meninggal dunia... sehari sebelum Stefani melahirkan putranya.

Bukan tak ingin datang menghibur Stefani, namun disibukkan dengan persiapan pernikahannya. Hanya ucapan belasungkawa via sms yang bisa ia lakukan.

Sehari sebelum hari pernikahan Yasawirya, Stefani berkata bahwa ia tak bisa datang.. dengan alasan gila yang membuat Wirya tak dapat mengontrol emosinya.

“aku tetap dinikahkan dengan lelaki pilihan Papi, besok aku ke Batam buat menikah! :D aku fikir, statusku yang seorang janda dan seorang Ibu, akan bikin papi berhenti.. nyatanya enggak! Btw selamat buat pernikahanmu!”

Satu sms itu sukses membuat Wirya kesal dan marah pada dunia, tapi ia bisa apa...

Setelah itu.. benar-benar tak ada lagi Yasawirya dan Stefani sebagai dua insan yang saling bergantung.... mereka sudah terpisahkan sepenuhnya oleh takdir.


Tertegun, terkejut bukan main... kala Yasawirya menemukan kembali binar mata itu..

“om, jangan lempar kesitu bola nya! yah payah banget!!!”

Atmosfer yang diciptakan oleh anak bernama Jeremy itu pun, mengingatkannya pada masa lalu nya.

“makasih ya om, udah anterin pulang!”

Jeremy yang berlari masuk ke rumahnya kemudian disambut oleh sang Ibu.. benar saja, firasatnya benar. Jeremy adalah putra Stefani.


#anti

two sides of jeremy


Hujan yang turun tanpa aba-aba pada sore hari di awal bulan september 1994, membasahi bumi Yogyakarta.

Yasawirya yang berteduh di halte bus, melinting celana abu-abu nya agar tak terbasahi oleh bulir air yang jatuh.

“Iya, Pap! Stefani juga ngerti.. tapi kan aku baru kelas tiga SMA, Papi mau aku buru-buru nikah tuh gimana ceritanya sih, Pap!!”

Suara perempuan dari bilik telepon umum di halte itu terdengar samar-samar oleh Wirya. Ia awalnya sama sekali tidak mau tahu dan tak mau ikut campur, namun wanita yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya itu berjalan mendekatinya.

“Mas! punya uang koin lebih, enggak? aku masih harus bicara di telepon!”

Gadis itu tersenyum padanya. Dengan mata coklatnya yang indah, rambut hitam panjangnya yang dikepang, dan suaranya yang lembut... membuat Wirya hanyut dalam senyumannya.

“Mas? kok ngelamun? aku boleh minjem dulu uang koin nya?”

Wirya mengerjap dan cepat-cepat meraba seluruh saku kantong di pakaiannya.

“oh! ini ada, Kak!” ia serahkan beberapa koin itu.

Stefani mengerutkan dahinya karena Wirya yang memanggilnya dengan 'kak', namun terjawab oleh satu strip hitam di lengan kanan baju seragamnya, “oh, dia kelas satu”.

“Sebentar ya, Mas.. kamu jangan kemana-mana!”

Setelah sesi telepon berakhir, gadis itu kembali menghampiri dan berdiri di sampingnya.

“ini uangnya aku ganti” ucapnya sambil mengulurkan tangan dengan selembar uang kertas di genggamannya.

“eh? gak usah gak usah, Kak! aku ikhlas bantuin”

“lho kok begitu... mas nya nanti punya ongkos untuk pulang?”

“ada kok..”

“ya sudah, kapan-kapan saya jajanin mie ayam depan sekolah, ya? kita satu sekolah, kan?”

Wirya mengangguk, ia senang kala mendengar kata “kapan-kapan”, yang berarti ia akan bertemu lagi dengan gadis itu.

“aku Wirya, Yasawirya!” ia mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan.

“aku Stefani!” dengan senyumnya lagi, ia menjabat tangan Wirya.

Tak banyak obrolan di sore itu, hanya basa-basi biasa layaknya dua insan yang baru saja berkenalan.

“tulis nomor telepon rumah kamu!”

Stefani menyerahkan buku telepon kecil dan pena pada Wirya, yang langsung lelaki itu turuti.

“Senang bisa ngobrol sama kamu, Wir! sampe ketemu lagi ya!”

Stefani masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh supir pribadi keluarganya.

Dan Wirya.. walau hujan sudah reda, walau bus tujuannya sudah ada, namun ia tetap mematung di halte itu... Memikirkan bagaimana caranya kembali pulang, sedangkan ia tak memegang uang sepeser pun.

*** “Mas Wirya? kenapa pulangnya malam-malam begini?” tanya salah satu adik perempuan nya yang berdiri di ambang pintu.

“tadi mas pulangnya jalan kaki, dek!” ia tersenyum hingga matanya membentuk sabit, membuka sepatunya satu persatu sambil berjongkok di teras.

“lho? kenapa nggak naik bus toh, le?” kali ini wanita paruh baya yang Wirya panggil 'Ibu' yang bertanya.

“tadi aku ketinggalan bus nya, Bu!”

Sang Ibu hanya ber-oh dan kembali masuk ke dalam setelah memintanya untuk mandi terlebih dulu sebelum makan malam.

Yasawirya tak punya pilihan lain selain berbohong. Kalau dirinya berkata bahwa ia tak punya uang untuk ongkos pulang, tentunya akan melukai hati sang Ibu.


Wirya mengerjapkan matanya beberapa kali, kala ia melihat Stefani melambaikan tangan padanya di depan kedai mie ayam depan sekolah.

“dia... melambai ke arah aku, kan?” batinnya.

setelah meyakinkan diri dengan menengok ke belakang dan tak ada manusia lain selain dirinya, akhirnya ia yakin lambaian itu adalah untuknya.

“hai, Kak!!”

Stefani hanya tersenyum sekilas, melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

“ada waktu satu jam sebelum jemputanku datang, Wir! mau makan mie ayam?”

Yasawirya terdiam... ia heran kenapa tubuhnya bereaksi berlebihan. Jantung yang berdetak lebih cepat, hembusan napas yang berderu lebih kencang... hanya karena ajakan makan mie ayam bersama?

“Wirya? kok diem?”

“eh? oh itu, anu.. boleh”

“ayo!”

Gadis cantik itu menarik tangan Wirya tanpa penyesalan masuk ke dalam kedai.

“tenang, Wir! yang bayar biar aku aja!” Stefani tersenyum sambil membenarkan posisi rambutnya ke belakang telinga. Wirya yang duduk dihadapannya terkesima.

Sambil menunggu mie ayam pesanan mereka, obrolan kecil terus mengalir. Seperti menanyakan teman sekelas, kegiatan ekstrakurikuler dan segelintir topik ringan seperti guru matematika yang dikenal suka berbagi camilan, hingga petugas kebersihan yang sering ketiduran di semak-semak.

“nama kakak bagus, lho! Stefani Clarion.. kayak nama bule” Wirya tiba-tiba membahas nama, sedetik setelah membaca bordiran yang terukir di kemeja Stefani.

“hahahahaha”

“kenapa ketawa?” ia mengernyitkan dahinya.

“Clarion itu nama keluargaku.. Papi ku memang bukan orang Indonesia, tapi udah tinggal disini lamaaaa banget!”

“oalaaah...”

“namamu juga bagus, Wir! Ar-Rasyiid.. diturunkan dari bapakmu juga, ya?” gadis itu penasaran.

Diluar dugaan, Yasawirya terdiam beberapa saat hingga akhirnya ia kembali membuka suara.

“aku... nggak punya bapak dan ibu, Kak!”

“hah? oh? eh sorry sorry aku nggak tahu...” Stefani mengusap tangan Wirya yang berada di atas meja, menunjukkan rasa bersalahnya.

“gak masalah Kak, kan kamu nggak tahu..” ia tersenyum sampai matanya membentuk sabit, “Ar-Rasyiid itu nama panti asuhanku, semua anak yang tinggal disana.. nama panjangnya Ar-Rasyiid, Kak!”

“sodara mu ada berapa disana, Wir?”

“ada 15, Kak! hahaha.. aku tertua kedua!”

“woaaaa banyak banget! aku cuma punya kakak satu orang”

Obrolan mereka terpotong setelah dua mangkuk mie ayam datang dan kemudian dilanjutkan makan bersama dengan tenang.

Entah apa yang ada pada diri Stefani, ia mampu menghipnotis Wirya hanya dalam waktu sekejap. Yasawirya yang sebelumnya hanya seorang pemalu dan tidak bisa membuka diri pada orang baru, berubah menjadi pribadi yang terbuka dan santai ketika bersamanya.

Hari itu sangat menyenangkan bagi keduanya, walau mie ayam yang mereka nikmati tak termakan habis karena Stefani yang harus pulang tepat setelah supirnya datang. . .


Hari berganti hari, minggu berganti minggu.. tak sehari pun Yasawirya tak memikirkan Stefani. Ia bisa saja menghampiri gadis itu ke kelasnya, atau menyapa di kantin ketika makan siang, atau menulis surat kaleng yang kemudian ia tempel di mading sekolah seperti yang banyak orang lakukan. Namun ia tak se-berani itu.

Melihat Stefani yang selalu bergelimang kemewahan, dan dikelilingi teman-teman yang populer membuat Yasawirya kembali menjadi dirinya yang pemalu dan minderan.

“harus tahu diri ya, Wirya” batinnya setiap kali ia mengurungkan niat untuk menyapa Stefani.

Ia pikir... Stefani yang meminta nomor telepon nya dan Stefani yang mentraktirnya mie ayam adalah gadis yang ingin lebih dekat dengannya, tapi ternyata tidak sama sekali.

“Mas Wirya!! ada telepon!”

Wirya yang malam itu sedang mengerjakan latihan soal pada buku LKS, terperanjat dari duduknya dan refleks berlari menuju ruang telepon tepat setelah teriakkan salah satu adiknya.

“halo? Wirya?”

“iya.. ini siapa?”

“ini aku, Stefani”

Yasawirya terdiam beberapa saat. Senyumnya merekah, menandakan bahwa ia merasa senang setelah nama itu disebutkan.

Rasa senangnya semakin menggebu, karena Stefani yang mengajaknya bertemu di taman dekat panti asuhan nya.

Namun setelah ia melihat pujaan hatinya secara langsung, semuanya runtuh.

“Kak... kenapa nangis?”

Stefani bergetar, ia tak kuasa menahan tangisnya.

“Wirya.. tolong aku...”

“kenapa?”

“aku mau dijodohkan sama papi ku, aku bingung harus lari kemana aku nggak tahu lagi harus ngehubungin siapa aku takut” ucapan nya yang tergesa-gesa, matanya yang terus mengeluarkan air mata, membuat Wirya semakin panik.

“Kak... sekarang Kakak tarik napas..”

Stefani menurut.

“kakak kan masih sekolah.. kok dijodohkan?”

“aku baru disuruh kenalan doang, kata papi kita nikahnya 5 tahun lagi!”

Yasawirya kehabisan kata. Atmosfer yang awalnya mencekam karena ternyata wanita impiannya akan dijodohkan, berubah menjadi menggelikan.

“ih! kok ketawa sih, Wir?!”

“lucu, Kak! yaudah panik nya nanti aja 5 tahun lagi!”

“IHHHHH!”

“ya terus sekarang Kakak mau ngapain?”

“aku mau kabur dari rumah..”

“kemana?”

“boleh gak, aku nginep di panti asuhan kamu?”

Wirya terbelalak. Ia kaget setengah mati mendengar pertanyaan Stefani yang tanpa aba-aba itu. Tapi tetap ia jawab dengan “boleh, masih ada kasur kosong di kamar perempuan”.

Memang benar malam itu ia menginap di panti asuhan, berkenalan dan bercengkrama dengan seluruh keluarga Yasawirya. Namun esoknya ia kembali pulang ke rumah karena khawatir papi nya semakin memarahinya. Mohon dimaklumi karena remaja memang labil.


Wirya bisa mengingat dengan jelas, hari itu pukul 7 malam. Stefani tiba-tiba mengajaknya makan malam bersama, setelah sekian lama tidak bertemu karena kesibukan perkuliahan mereka.

“selamat ya, Kak! emang kakak udah kenal dia dari lama, ya?”

“baru 5 bulan, sih! nanti aku ajakin dia ya? biar kamu kenal dia.. biar dia kenal sama kamu, yang udah aku anggap sebagai adik sendiri!”

Binar mata Stefani ketika menceritakan kekasihnya pada Yasawirya, membuat lelaki yang duduk di hadapannya kini tak bisa berbuat apa-apa selain mengucap kata selamat.

Berteman bertahun-tahun, saling bercerita dan menjadi tempat berkeluh kesah... ternyata tak membuat Stefani membuka hati untuknya. Ia tetap hanya seorang adik di mata gadis itu.

“tapi...” Stefani menghela napas kemudian menunduk.

“tapi apa, kak?”

“papi ku..”

“pacar kakak... apa udah ketemu sama Papi?”

Stefani menggelengkan kepalanya.

“saranku, kakak harus terbuka sama hal ini. Siapa tau, kalau kakak bilang udah punya pacar... Papi akan batalin buat jodihin kakak sama anak temennya?”

Stefani menghela napasnya, kemudian mengangguk.

Setelah beberapa minggu dari hari itu, Wirya datang ke rumah Stefani untuk mengucapkan selamat atas kelulusannya.

“Papi bilang apa? Giano itu gak pantas buatmu? kenapa susah banget sih buat nurut? kalau papi bilang kamu harud nikah sama lelaki pilihan papi, ya nurut!”

“Pap... aku bisa pilih calon pendampingku sendiri!”

Wirya yang mematung beberapa menit di ambang pintu, tak sepenuhnya percaya diri.. namun ia tetap memberanikan diri masuk dan bergabung dalam obrolan panas itu.

“om, saya Yasawirya.. teman kak Stefani”

Baik Stefani dan papi nya terkejut karena Wirya yang datang tanpa permisi.

Wirya berlutut di hadapan papi Stefani “Kak Stefani bahagia bersama pilihannya, Om!.. bukan maksud saya ikut campur urusan keluarga om, tapi saya merasa berhak memperjuangkan kebahagiaan teman saya.. Kak Stefani yang selalu saya anggap sebagai Kakak saya sendiri

Lelaki paruh baya itu tak membuka mulutnya, ia hanya mendengus dan meraih telepon di sebelahnya “security tolong bawa anak gak tahu diri ini keluar!”

Stefani terkejut bukan main. Ia menahan Yasawirya dengan susah payah namun tenaga nya terlalu lemah jika dibandingkan security rumahnya.

Wirya.. aku minta maaf..” adalah kalimat yang terakhir kali Wirya baca dari gerak bibir Stefani. Setelah itu mereka tak pernah bertemu lagi..


* * Binar mata yang sama, masih ada pada mata wanita itu. Saat netra nya tak sengaja bertemu dengan milik Wirya, di rest area Tasikmalaya pertengahan tahun 2004.

“udah berapa bulan, kak?” tanya Wirya penasaran.. setelah melihat perut Stefani.

“lima, Wir!”

Yasawirya tersenyum untuk menyampaikan rasa bahagianya, walau sedikit sakit masih ada tertinggal.

“maaf aku gak ngundang kamu ke pernikahanku...”

Awalnya lelaki itu ingin mengiyakan, namun ia tidak ingin dihantui pertanyaan “kenapa, kak? kenapa aku nggak diundang?”

Stefani diam sejenak, “aku dan Giano.. nikah siri”

Yasawirya menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya, ia tak bisa menyembunyikan tasa terkejutnya.

“seenggaknya, aku dan dia berakhir bersama..” Stefani tersenyum sambil mengusap perutnya.

“Kak, aku boleh minta nomor hp kakak?” ia menyodorkan ponselnya.

“tunangan mu.. gak akan marah kalo kamu minta-minta nomor perempuan lain, Wir?”

“lho? aku belum cerita aku udah tunangan!”

“aku bisa liat cincin di jari kamu!”

Keduanya hanya tersenyum canggung, saling bertukar nomor, kemudian berpisah dan kembali menjadi orang asing.

Beberapa bulan setelah itu, Yasawirya mendapat kabar bahwa Giano meninggal dunia... sehari sebelum Stefani melahirkan putranya.

Bukan tak ingin datang menghibur Stefani, namun disibukkan dengan persiapan pernikahannya. Hanya ucapan belasungkawa via sms yang bisa ia lakukan.

Sehari sebelum hari pernikahan Yasawirya, Stefani berkata bahwa ia tak bisa datang.. dengan alasan gila yang membuat Wirya tak dapat mengontrol emosinya.

“aku tetap dinikahkan dengan lelaki pilihan Papi, besok aku ke Batam buat menikah! :D aku fikir, statusku yang seorang janda dan seorang Ibu, akan bikin papi berhenti.. nyatanya enggak! Btw selamat buat pernikahanmu!”

Satu sms itu sukses membuat Wirya kesal dan marah pada dunia, tapi ia bisa apa...

Setelah itu.. benar-benar tak ada lagi Yasawirya dan Stefani sebagai dua insan yang saling bergantung.... mereka sudah terpisahkan sepenuhnya oleh takdir.


Tertegun, terkejut bukan main... kala Yasawirya menemukan kembali binar mata itu..

“om, jangan lempar kesitu bola nya! yah payah banget!!!”

Atmosfer yang diciptakan oleh anak bernama Jeremy itu pun, mengingatkannya pada masa lalu nya.

“makasih ya om, udah anterin pulang!”

Jeremy yang berlari masuk ke rumahnya kemudian disambut oleh sang Ibu.. benar saja, firasatnya benar. Jeremy adalah putra Stefani.


#anti