injunoona

two sides of jeremy


Hujan yang turun tanpa aba-aba pada sore hari di awal bulan september 1994, membasahi bumi Yogyakarta.

Yasawirya yang berteduh di halte bus, melinting celana abu-abu nya agar tak terbasahi oleh bulir air yang jatuh.

“Iya, Pap! Stefani juga ngerti.. tapi kan aku baru kelas tiga SMA, Papi mau aku buru-buru nikah tuh gimana ceritanya sih, Pap!!”

Suara perempuan dari bilik telepon umum di halte itu terdengar samar-samar oleh Wirya. Ia awalnya sama sekali tidak mau tahu dan tak mau ikut campur, namun wanita yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya itu berjalan mendekatinya.

“Mas! punya uang koin lebih, enggak? aku masih harus bicara di telepon!”

Gadis itu tersenyum padanya. Dengan mata coklatnya yang indah, rambut hitam panjangnya yang dikepang, dan suaranya yang lembut... membuat Wirya hanyut dalam senyumannya.

“Mas? kok ngelamun? aku boleh minjem dulu uang koin nya?”

Wirya mengerjap dan cepat-cepat meraba seluruh saku kantong di pakaiannya.

“oh! ini ada, Kak!” ia serahkan beberapa koin itu.

Stefani mengerutkan dahinya karena Wirya yang memanggilnya dengan 'kak', namun terjawab oleh satu strip hitam di lengan kanan baju seragamnya, “oh, dia kelas satu”.

“Sebentar ya, Mas.. kamu jangan kemana-mana!”

Setelah sesi telepon berakhir, gadis itu kembali menghampiri dan berdiri di sampingnya.

“ini uangnya aku ganti” ucapnya sambil mengulurkan tangan dengan selembar uang kertas di genggamannya.

“eh? gak usah gak usah, Kak! aku ikhlas bantuin”

“lho kok begitu... mas nya nanti punya ongkos untuk pulang?”

“ada kok..”

“ya sudah, kapan-kapan saya jajanin mie ayam depan sekolah, ya? kita satu sekolah, kan?”

Wirya mengangguk, ia senang kala mendengar kata “kapan-kapan”, yang berarti ia akan bertemu lagi dengan gadis itu.

“aku Wirya, Yasawirya!” ia mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan.

“aku Stefani!” dengan senyumnya lagi, ia menjabat tangan Wirya.

Tak banyak obrolan di sore itu, hanya basa-basi biasa layaknya dua insan yang baru saja berkenalan.

“tulis nomor telepon rumah kamu!”

Stefani menyerahkan buku telepon kecil dan pena pada Wirya, yang langsung lelaki itu turuti.

“Senang bisa ngobrol sama kamu, Wir! sampe ketemu lagi ya!”

Stefani masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh supir pribadi keluarganya.

Dan Wirya.. walau hujan sudah reda, walau bus tujuannya sudah ada, namun ia tetap mematung di halte itu... Memikirkan bagaimana caranya kembali pulang, sedangkan ia tak memegang uang sepeser pun.

*** “Mas Wirya? kenapa pulangnya malam-malam begini?” tanya salah satu adik perempuan nya yang berdiri di ambang pintu.

“tadi mas pulangnya jalan kaki, dek!” ia tersenyum hingga matanya membentuk sabit, membuka sepatunya satu persatu sambil berjongkok di teras.

“lho? kenapa ndak naik bus toh, le?” kali ini wanita paruh baya yang Wirya panggil 'Ibu' yang bertanya.

“tadi aku ketinggalan bus nya, Bu!”

Sang Ibu hanya ber-oh dan kembali masuk ke dalam setelah memintanya untuk mandi terlebih dulu sebelum makan malam.

Yasawirya tak punya pilihan lain selain berbohong pada Ibu. Kalau dia berkata bahwa ia tak punya uang untuk ongkos pulang, tentunya akan melukai hati sang Ibu.


Wirya mengerjapkan matanya beberapa kali, kala ia melihat Stefani melambaikan tangan padanya di depan kedai mie ayam depan sekolah.

“dia... melambai ke arah aku, kan?” batinnya.

setelah meyakinkan diri dengan menengok ke belakang dan tak ada manusia lain selain dirinya, akhirnya ia yakin lambaian itu adalah untuknya.

“hai, kak!!”

Stefani hanya tersenyum sekilas, melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

“ada waktu satu jam sebelum jemputanku datang, Wir! mau makan mir ayam?”

Yasawirya terdiam... ia heran kenapa tubuhnya bereaksi berlebihan. Jantung yang berdetak lebih cepat, hembusan napas yang berderu lebih kencang... hanya karena ajakan makan mie ayam bersama?

“Wirya? kok diem?”

“eh? oh itu, anu.. boleh”

“ayo!”

Gadis cantik itu menarik tangan Wirya tanpa penyesalan masuk ke dalam kedai.

two sides of jeremy


Hujan turun tanpa aba-aba di sore awal bulan september 1994, membasahi bumi Yogyakarta.

Yasawirya yang berteduh di halte bus, melinting celana abu-abu nya agar tak terbasahi oleh bulir air yang jatuh.

“Iya, Pap! Stefani juga ngerti.. tapi kan aku baru kelas tiga SMA, Papi mau aku buru-buru nikah tuh gimana ceritanya sih, Pap!!”

Suara perempuan dari bilik telepon umum di halte itu terdengar samar-samar oleh Wirya. Ia awalnya sama sekali tidak mau tahu dan tak mau ikut campur, namun wanita yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya itu berjalan mendekatinya.

“Mas! punya uang koin lebih, enggak? aku masih harus bicara di telepon!”

Gadis itu tersenyum padanya. Dengan mata coklatnya yang indah, rambut hitam panjangnya yang dikepang, dan suaranya yang lembut... membuat Wirya hanyut dalam senyumannya.

“Mas? kok ngelamun? aku boleh minjem dulu uang koin nya?”

Wirya mengerjap dan cepat-cepat meraba seluruh kantong di pakaiannya.

“oh! ini ada, Kak!” ia serahkan beberapa koin itu.

Stefani mengerutkan dahinya karena Wirya yang memanggilnya dengan 'kak', namun terjawab oleh satu strip hitam di lengan kanan baju seragamnya, “oh, dia kelas satu”.

“Sebentar ya, kamu jangan kemana-mana!”

Setelah sesi telepon berakhir, gadis itu kembali menghampiri dan berdiri di sampingnya.

“ini uangnya aku ganti” ucapnya sambil mengulurkan tangan dengan uang kertas di genggamannya.

“eh? gak usah gak usah, Kak! aku ikhlas bantuin”

“lho kok begitu... mas nya nanti punya ongkos untuk pulang?”

“ada kok..”

“ya sudah, kapan-kapan saya jajanin mie ayam depan sekolah, ya? kita satu sekolah, kan?”

Wirya mengangguk, ia senang kala mendengar kata “kapan-kapan”, yang berarti ia akan bertemu lagi dengan wanita itu.

“aku Wirya, Yasawirya!” ia mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan.

“aku Stefani!” dengan senyumnya lagi, ia menjabat tangan Wirya.

Tak banyak obrolan di sore itu, hanya basa-basi biasa layaknya dua insan yang baru saja berkenalan.

“tulis nomor telepon rumah kamu!”

Stefani menyerahkan buku telepon kecil dan pena pada Wirya, yang langsung lelaki itu turuti.

“Senang bisa ngobrol sama kamu, Wir! sampe ketemu lagi ya!”

Stefani masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh supir pribadi keluarganya.

Dan Wirya.. walau hujan sudah reda, walau bus tujuannya sudah lewat beberapa, namun ia tetap mematung di halte itu... Memikirkan bagaimana ia kembali pulang dengan tanpa memegang uang sepeser pun.

two sides of jeremy


“kok wajahnya ditekuk begitu? enggak seneng ya ketemu aku, La?”

Syahla dengan jelas dapat membaca tatapan nanar dari sorot mata Jeremy, seperti menyimpan setumpuk cerita yang sulit tersampaikan.

“aku tuh bingung aja sama kamu, kok bisa-”

“naik dulu aja, abis ini kamu gak akan bingung” Jeremy menepuk jok motornya mengisyaratkan agar Syahla segera duduk disana.

“kamu oke kan, Jer?”

“aku?..... boleh peluk dulu gak biar aku jadi oke?”

Syahla menghela napasnya, meluapkan segala kekesalan yang ada pada dirinya, dan mengalah pada ego nya.

“sini” ia membuka kedua tangannya di hadapan Jeremy yang masih duduk di motornya, yang sedetik kemudian lelaki itu bangkit dan masuk ke dalam peluk yang selalu ia rindukan.

“aku takut, La...”

Syahla mengusap punggung Jeremy pelan, menyalurkan rasa empati pada kekasihnya yang ketakutan, meskipun ia tak tahu apa penyebabnya.

“gapapa, ada aku disini”


Hari rabu kala itu, ketika Jeremy berkumpul bersama teman-teman ekstrakurikuler PMR, satu panggilan masuk dari Hitto membuatnya terkejut bukan main.

“Jer, tante Stefani pingsan”

Mau tak mau, suka tak suka, ia lari terbirit menuju motornya yang terparkir. Ia ingin segera berada di samping sang Ibu.

Kekesalannya membuncah kala mendapati Stela yang muncul entah dari mana dan meminta tumpangan.

“Jer, please tolongin aku.. anterin aku pulang. aku lagi mens, terus nembus”

Lelaki itu mengernyitkan dahinya, “gue juga lagi buru-buru Stel!”

“sebentar aja, Jer..”

Jeremy dengan rasa tidak tegaan nya “yaudah”

Helaan napas kasar Jeremy sudah pasti terdengar oleh Stela, namun gadis itu tak peduli.

“gue bakal ngebut, lo jangan protes. kalo protes, gue turunin di tengah jalan!”

“iya iyaaa Jeremyyyy”

Tak ada kejadian spesial antara Jeremy dan Stela di hari itu. Sebatas penumpang dan yang memberi tumpangan, tak lebih. Hanya saja kekesalan Jeremy membuat beban motornya menjadi lebih berat, dan lajunya melambat. “helm itu gue beli khusus buat Ala” gerutu nya dalam hati.

Dan rasa menyesal karena tidak jadi membelikan Syahla seporsi batagor malam itu, mengganjal di hati nya hingga sekarang.


Detak jam dinding di ruang tunggu rumah sakit terdengar samar-samar, karena sudah mulai sepi pembesuk. Syahla membiarkan Jeremy bercerita, tanpa protes dan tanpa bertanya.

“malem itu, mommy dibawa ke rumah sakit..”

Syahla tak menanggapi, ia hanya dengan seksama mendengarkan, sambil sesekali mengusap punggung Jeremy yang duduk di samping kirinya.

“di perjalanan ke rs, hp ku jatuh.. hilang... aku enggak bisa ngabarin kamu lagi sehabis itu”

Syahla menghela napasnya, merasa lega.

“kok kamu kaya yang seneng abis denger hp ku ilang, La?”

“bukan seneng, cuman aku lega aja.. aku pikir aku udah gak berharga buat kamu, makanya aku engga dikabarin”

“enggak lah sayang...”

“terus terus”

“ya gitu, aku mau beli hp baru belum sempet karena mommy masih harus selalu didamping”

Syahla hanya merespon dengan anggukkan.

“mommy....” Jeremy menunduk, ia tak tahu harus memulai ceritanya dari mana.

“kalo kamu belum bisa cerita, kamu gak perlu ceritain.. ngeliat kamu sekarang aja udah bikin aku tenang. Aku gak perlu tau lebih jauh lagi”

Jeremy bangkit dari duduknya, diulurkan tangan kanannya pada Syahla. Ia mengajak wanita nya ke tempat lain.

“dokter masih belum ngerti tentang sakit mommy, apalagi aku.. dokter bilang masih harus dilakuin x-ray scan ke kepala mommy..”

Syahla menatap iba lewat kaca pintu ruang inap pada Stefani yang tertidur dengan infusan menancap di tangan kirinya.

“sepulang dari Batam terakhir kali, mommy jadi suka ngelamun. Dan parahnya.. beberapa hari sebelum di bawa ke sini, mommy jadi suka teriak-teriak tanpa sebab. Mommy bahkan suka bahas kematian gitu La, aku takut..”

Digenggamnya tangan Jeremy, untuk menyalurkan kekuatan pada kasihnya itu.

“kenapa kamu gak bilang lebih awal? aku kan bisa nemenin kamu disini”

“aku.. aku gak bisa mikir.. aku cuma fokus ke mommy doang.. maaf ya La”

Lelaki itu menunduk dengan rasa bersalah yang teramat banyak membebani nya.

Syahla lagi-lagi mengusap tangan Jeremy dan berkata bahwa ia tak marah, dan meyakinkan lelakinya itu bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dua sejoli itu masuk ke ruangan kala Stefani membuka perlahan matanya dan memanggil nama Jeremy perlahan.

“Emy disini, mom”

“sayang, sudah makan?”

Jeremy mengangguk, kemudian ditariknya Syahla mendekat pada sang Ibu.

“ini Syahla.. yang sering Emy ceritain...”

“cantiknya anak mommy!”

Syahla tersenyum, mengelus telapak tangan Stefani yang lemas sebagai tanda salam.

“semoga lekas sembuh ya... mommy?”

“makasih sayang..” ia belai lembut surai coklat milik Syahla sambil menatapnya dengan penuh rasa syukur.

Ruangan itu hening beberapa saat, bahkan suara deru napas Stefani yang lemah bisa dengan jelas terdengar.

“Mommy, aku anter Syahla pulang dulu ya udah malem banget” ucap Jeremy memecah keheningan.

“gak usah, Jer! aku udah minta tolong dijemput Ayah”

“aku udah janji bakal anterin kamu pulang ke Ayah lohh..”

“kamu pasti cape.. tidur aja yaa? istirahat, besok aku kesini lagi!”

Syahla keluar dari ruangan itu setelah berpamitan dan sedikit debat kecil dengan Jeremy.

“loh? Ayah kok ada disini?”

Pupilnya melebar kala mendapati sang ayah yang duduk di kursi tepat di depan ruang inap Stefani.

“kan Ayah mau jemput kakak”

“aku kan gak bilang ruangan tante Stefani disini?”

“Jeremy yang ngasih tau Ayah nomor kamarnya..”

Syahla hanya mengangguk paham, kemudian menggandeng tangan ayahnya dan kembali pulang ke rumah.


#anti

two sides of jeremy


“kok wajahnya ditekuk begitu? enggak seneng ya ketemu aku, La?”

Syahla dengan jelas dapat membaca tatapan nanar dari sorot mata Jeremy, seperti menyimpan setumpuk cerita yang sulit tersampaikan.

“aku tuh bingung aja sama kamu, kok bisa-”

“naik dulu aja, abis ini kamu gak akan bingung” Jeremy menepuk jok motornya mengisyaratkan agar Syahla segera duduk disana.

“kamu oke kan, Jer?”

“aku?..... boleh peluk dulu gak biar aku jadi oke?”

Syahla menghela napasnya, meluapkan segala kekesalan yang ada pada dirinya, dan mengalah pada ego nya.

“sini” ia membuka kedua tangannya di hadapan Jeremy yang masih duduk di motornya, yang sedetik kemudian lelaki itu bangkit dan masuk ke dalam peluk yang selalu ia rindukan.

“aku takut, La...”

Syahla mengusap punggung Jeremy pelan, menyalurkan rasa empati pada kekasihnya yang ketakutan, meskipun ia tak tahu apa penyebabnya.

“gapapa, ada aku disini”


Hari rabu kala itu, ketika Jeremy berkumpul bersama teman-teman ekstrakurikuler PMR, satu panggilan masuk dari Hitto membuatnya terkejut bukan main.

“Jer, tante Stefani pingsan”

Mau tak mau, suka tak suka, ia lari terbirit menuju motornya yang terparkir. Ia ingin segera berada di samping sang Ibu.

Kekesalannya membuncah kala mendapati Stela yang muncul entah dari mana dan meminta tumpangan.

“Jer, please tolongin aku.. anterin aku pulang. aku lagi mens, terus nembus”

Lelaki itu mengernyitkan dahinya, “gue juga lagi buru-buru Stel!”

“sebentar aja, Jer..”

Jeremy dengan rasa tidak tegaan nya “yaudah”

Helaan napas kasar Jeremy sudah pasti terdengar oleh Stela, namun gadis itu tak peduli.

“gue bakal ngebut, lo jangan protes. kalo protes, gue turunin di tengah jalan!”

“iya iyaaa Jeremyyyy”

Tak ada kejadian spesial antara Jeremy dan Stela di hari itu. Sebatas penumpang dan yang memberi tumpangan, tak lebih. Hanya saja kekesalan Jeremy membuat beban motornya menjadi lebih berat, dan lajunya melambat. “helm itu gue beli khusus buat Ala” gerutu nya dalam hati.

Dan rasa menyesal karena tidak jadi membelikan Syahla seporsi batagor malam itu, mengganjal di hati nya hingga sekarang.


Detak jam dinding di ruang tunggu rumah sakit terdengar samar-samar, karena sudah mulai sepi pembesuk. Syahla membiarkan Jeremy bercerita, tanpa protes dan tanpa bertanya.

“malem itu, mommy dibawa ke rumah sakit..”

Syahla tak menanggapi, ia hanya dengan seksama mendengarkan, sambil sesekali mengusap punggung Jeremy yang duduk di samping kirinya.

“di perjalanan ke rs, hp ku jatuh.. hilang... aku enggak bisa ngabarin kamu lagi sehabis itu”

Syahla menghela napasnya, merasa lega.

“kok kamu kaya yang seneng abis denger hp ku ilang, La?”

“bukan seneng, cuman aku lega aja.. aku pikir aku udah gak berharga buat kamu, makanya aku engga dikabarin”

“enggak lah sayang...”

“terus terus”

“ya gitu, aku mau beli hp baru belum sempet karena mommy masih harus selalu didamping”

Syahla hanya merespon dengan anggukkan.

“mommy....”

“kalo kamu belum bisa cerita, kamu gak perlu ceritain.. ngeliat kamu sekarang aja udah bikin aku tenang. Aku gak perlu tau lebih jauh lagi”

Jeremy bangkit dari duduknya, diulurkan tangan kanannya pada Syahla. Ia mengajak wanita nya ke tempat lain.

“dokter masih belum ngerti, apalagi aku.. dokter bilang masih harus dilakuin x-ray scan ke kepala mommy..”

Syahla menatap iba lewat kaca pintu ruang inap pada Stefani yang tertidur dengan infusan menancap di tangan kirinya.

“sepulang dari Batam terakhir kali, mommy jadi suka ngelamun. Dan parahnya beberapa hari sebelum di bawa ke sini, mommy jadi suka teriak-teriak tanpa sebab..”

Digenggamnya tangan Jeremy, untuk menyalurkan kekuatan pada kasihnya itu.

“kenapa kamu gak bilang lebih awal? aku kan bisa nemenin kamu disini”

“aku.. aku gak bisa mikir.. aku cuma mikirin mommy aja.. maaf ya”

Lelaki itu menunduk dengan rasa bersalah yang teramat banyak membebani nya.

Syahla lagi-lagi mengusap tangan Jeremy dan berkata bahwa ia tak marah, dan meyakinkan lelakinya itu bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dua sejoli itu masuk ke ruangan kala Stefani membuka perlahan matanya dan memanggil nama Jeremy pelan.

“Emy disini, mom”

“sayang, sudah makan?”

Jeremy mengangguk, kemudian ditariknya Syahla mendekat pada sang Ibu.

“ini Syahla.. yang sering Emy ceritain...”

“cantiknya anak mommy!”

Syahla tersenyum, mengelus telapak tangan Stefani yang lemas sebagai tanda salam.

“semoga lekas sembuh ya, tante”

“makasih sayang..”

Ruangan itu hening beberapa saat, bahkan suara deru napas Stefani yang lemah bisa dengan jelas terdengar.

“Mommy, aku anter Syahla pulang dulu ya udah malem banget” ucap Jeremy memecah keheningan.

“gak usah, Jer! aku udah minta tolong dijemput Ayah”

“aku udah janji bakal anterin kamu pulang ke Ayah lohh..”

“kamu cape.. tidur aja yaa istirahat, besok aku kesini lagi!”

Syahla keluar dari ruangan itu setelah berpamitan..

“loh? Ayah kok ada disini?”

Pupilnya melebar kala mendapati sang ayah yang duduk di kursi tepat di depan ruang inap.

“kan Ayah nungguin kakak”

“aku kan gak bilang ruangan tante Stefani disini?”

“Jeremy yang ngasih tau Ayah nomor kamarnya..”

Syahla hanya mengangguk paham, kemudian menggandeng tangan ayahnya dan kembali pulang ke rumah.


#anti

two sides of Jeremy


Ada banyak hal yang menyenangkan di bumi, dari sekedar bersilaturahmi hingga menikmati pedasnya kuah indomie. Namun bagi Syahla saat ini, tak ada yang lebih menyenangkan dari pada kehadiran sosok Jeremy.

Siswa yang namanya banyak tertulis di 'buku hitam' sekolah itu, sama sekali tak pernah membuat Syahla muram. Kebalikannya, Jeremy justru selalu mewarnai hari-hari Syahla belakangan ini.

Sekadar Jeremy yang menyapanya dari pagi ke pagi, menunggunya di atas jok motor walau terkena paparan sinar mentari, dan kiriman camilan siang yang Jeremy titipkan pada KM kelas Syahla setiap hari. Lebih dari cukup untuk membuktikan kesungguhan hati lelakinya, dan ia selalu bersyukur tentang itu.

“Ayah pernah bilang, kalo ada yang nyakitin perasaan aku.. aku harus laporan”

“Alhamdulillah kalo gitu, La. aku gak akan pernah dilaporin”

“emangnya kamu yakin, Jer? kamu yakin gak akan nyakitin aku?”

“loh kamu lupa isi notes di mawar putih yang tempo hari aku simpen di atas meja kelas kamu?”

“LOH ITU DARI KAMUU?!!!!”

“hehehehehe”

“tapi aku gak kaget sih, Jer”

“kok gak kaget?”

“karena aku udah nebak itu dari kamu”

“yahh gak surprise dong”

“gapapa gak surprise juga! Aku tetep salting kok, Jer”

kemudian tangan Syahla ditarik oleh Jeremy agar melingkari pinggangnya, yang duduk di belakangnya tidak protes sama sekali.

Mereka tertawa bersama sepulang sekolah sore itu, bersamaan dengan langit yang mulai menggelap. Namun di atas motor vario hitam itu tetap bersinar. karena helm mereka yang berwarna kuning, seperti bebek kembar.

Usapan tangan Jeremy di pucuk kepala Syahla setiap sore hari di depan lobi apartemen, adalah hal yang paling Syahla sukai sekaligus ia benci.. karena itu tanda bahwa Jeremy akan berlalu pergi, untuk kemudian bertemu lagi di esok hari.

*** “Jer! kamu kalo memang mau pacaran sama Syahla, om gak masalah... asalkan dijaga baik-baik aja”

Yang kemudian hening setelahnya. Jeremy dan Syahril yang menggenggam joystick malam itu fokusnya menjadi buyar, mereka saling menatap dan Syahril tak dapat membendung tawanya.

Sang Ayah kebingungan dan spontan bertanya pada anak bungsunya itu.

“loh kenapa dek? memangnya Ayah salah bicara, ya?”

“bukan gitu, Ayah! tapi ya gatau lah.. tanya aja ke Ala sana!”

“aku sama Jeremy memang udah pacaran, Ayah”

Celetuk Syahla tanpa pikir panjang lalu menyeruput coklat panas di genggamannya.

“lohhhh.... kok ga cerita sih, Kak?” sahut sang Bunda yang sedang memotong buah persik di dapurnya.

“ya gapapa, toh Ayah sama Bunda juga udah tau Jeremy kaya gimana..”

Rasanya bukan main.

Seperti ada ribuan semut yang merayap di dalam tubuh Jeremy. Merinding.

“aduh ini gue harus ngapain sekarang”

“aduh Ala kenapa nyeletuk begitu sih!!”

“DENGAN MENYEBUT NAMA ALLAH TUHAN YANG MAHA ESA”

Jeremy bangkit dari duduknya. Ia berdiri di hadapan Ayah dan Bunda lalu berlutut

“Saya Jeremy Briliandy, di hadapan Om dan Tante, di hadapan Syahril dan Syahla. Saya tidak bisa berjanji untuk tidak menyakiti Syahla, namun saya berjanji... akan menjadi versi terbaik diri saya untuk menjaganya”

hening....

“tapi kalo beliin Syahla lamborghini, saya belum mampu”

Ia menunduk sambil ber-orasi di hadapan satu keluarga itu, yang membuat semuanya tertawa terbahak bukan main.

“udah-udah!! nih semuanya makan dulu buahnya, udah Bunda potongin..”

Jeremy masih di posisinya, tak berkutik. Hingga akhirnya Ayah menghampiri dan merangkulnya.

“panggil Ayah Bunda aja, jangan Om Tante, ya?”

“i.. iya” tubuhnya bergetar dari tumit sampai ubun-ubun.

Malam itu menjadi malam yang melegakan sekaligus menguji adrenalin bagi Jeremy.

*** “Ala, mau nonton film apa?”

“udah ada disini aku malah bingung, Jer”

“yaudah pilih aja ayo, keburu tayang nih”

“kok kamu terus nyuruh aku buat pilih film nya sih, Jer! kan yang mau nonton kita berdua?”

Jeremy terdiam... untuk pertama kalinya Syahla meninggikan suara padanya, di lorong bioskop XXI Braga City Walk malam minggu itu.

Ia meraih tangan Syahla lalu mengusapnya pelan..

“ya udah.. aku minta maaf ya? gimana kalo kita nonton film ini aja?”

Dengan berhati-hati ia menatap Syahla, dan wanitanya luluh juga.

“Jer... aku gak maksud buat bentak kamu.. aku gak sengaja”

“gapapa.. nanti pulangnya beli kiranti dulu, ya?”

“IHHHHH!!!!”

“bercanda atuh sayang...”

Usilnya sambil mencubit kedua pipi Syahla, tanpa menghiraukan orang lain yang berlalu lalang.

“sakit ihhh!!!”

“hahaha, aku pesen dulu tiket ya? kamu duduk aja disini”

“mau ikut pesen juga”

“gak usah, pegel nanti kamunya.. liat antriannya panjang, kamu duduk aja”

Sebelum Syahla membuka suara, Jeremy berlari masuk ke antrian dan menoleh satu menit sekali untuk mengecek pacarnya sambil tersenyum.

Jeremine🧡 gak usah senyum balik, nanti banyak yg naksir

Usaha Jeremy gagal, yang duduk di seberang sana malah semakin menjadi senyumnya.

*** Hari pertama sebagai siswa kelas sebelas, mereka datang ke sekolah dengan hati menggebu-gebu dan semangat baru. Tapi tetap saja ada hal yang terlewatkan.

“teman-teman kalian yang berdiri di depan ini adalah contoh siswa yang tidak peduli pada diri sendiri, yang rasa tanggung jawabnya masih minim sekali! semoga di masa depan kalian bisa jauh lebih baik!”

Ucap pembina upacara pada orasi di hari pertama masuk sekolah.

Syahla menghela napas panjang, karena Jeremy juga ada di depan sana.

Setelah ia tanya apa penyebab Jeremy berdiri disana, lelaki itu hanya menjawab “aku gak bisa kalo biarin Helmi sama Leo berdiri disana tanpa aku” dengan tanpa penyesalan.

“aku bawa topi.. tapi harga diriku gak penting kalo temen-temenku gak ada disampingku, Ala!”

Karena terlalu terbiasa menghadapi Jeremy yang sopan dan lembut, Syahla kadang lupa. Lupa kalau Jeremy tetaplah Jeremy. Yang berjiwa muda, yang menggebu-gebu, yang selalu menempatkan orang lain di atas dirinya, dan yang tak takut akan hukuman.

Helaan napas Syahla yang lain di hari pertama sekolah adalah ketika semua orang di koridor menatapnya dengan menghakimi.

“oh ini pacarnya Jeremy

“Kok Jeremy mau sama dia”

“kirain Jeremy deketnya sama yang itu”

“anak baik-baik gak sih kayaknya? Jeremy kan bandel.. kok mau”

dan masih banyak lagi.

Ia memilih tak menggubris hal itu, karena sama sekali tidak mempengaruhi hidupnya serta hubungannya dengan Jeremy.

“aku gak peduli sama itu, Jer! kamu yang apa adanya udah lebih dari cukup”

*** Syahla bersama dengan seorang kakak kelasnya mengangkat karung berisikan pupuk, untuk disimpan kembali ke tempatnya.

“habis ini boleh istirahat dulu ya, Syahla”

“oke, kak!”

“gabung pecinta lingkungan mah memang gini ya.. angkat-angkat pupuk, kalau engga ya nyiram di taman. hehehe”

“gapapa kak, aku fine aja kok.. sekalian olah raga”

Mereka berpencar setelah menyimpan buntelan yang berbau tak sedap itu di gudang.

Syahla berjalan kembali ke ruang ekskul melewati auditorium, dan netranya menangkap sang pacar tengah tertawa bersama teman-temannya sambil membuat tandu. Jeremy yang mengenakan kaos hitam, kalung rantai dan topi baseball yang dipakai backwards, sangat mencolok dibandingkan dengan yang lain di lapangan.

Lelaki itu melambai dan melompat-lompat kala melihat Syahla. energi nya tak pernah habis.

Berjalan sambil tersenyum layaknya remaja kasmaran yang terbius atmosfer cinta pertama, bahkan jika tersungkur pun tak akan Syahla rasakan sakit. Tak tahu merek pembius apa yang Jeremy gunakan, sampai-sampai membuatnya sangat bahagia meski hanya di ajak makan batagor sepulang kegiatan ekstrakurikuler.

“Syahla! itu bukannya pacar lo, ya?”

Suara di sudut ruangan ekskul yang jendela nya menghadap ke kedai bakso arip —tempat Jeremy memarkirkan motornya—, membuat Syahla dan semua orang yang ada di ruangan itu melihat eksistensi Jeremy. Lelaki itu menyerahkan helm kuning, yang ia bilang khusus untuk Syahla.. kepada orang lain.

“katanya mau makan batagor bareng, Jer...”

Sebetulnya, hatinya sangat remuk, ia sangat marah, dan cemburu. Terlebih karena orang lain yang memakai helm nya adalah Stela, yang selalu berusaha mengambil Jeremy darinya.

Namun ia tetap berusaha tenang. “iya, itu pacar gue.. lagi ada perlu kayanya”

Dan topik itu diakhiri sampai disana. Mereka kembali melanjutkan kegiatan ekskul yang sebetulnya hampir selesai itu.

*** “maaf aku gak bilang dulu kalo harus pulang duluan..”

“urgent, Ala.. aku gak bisa kalo gak pergi”

“soal Stela.. maaf yaaa.. besok aku beli lagi helm baru”

Namun tak ia jelaskan sama sekali, apa yang terjadi dibalik “urgent” nya itu.

Setelah pertengkaran malam itu, hingga besoknya, hingga lusa nya.. Jeremy tak menghubungi Syahla sama sekali.

“Jeremy gak masuk” “hari ini juga Jeremy gak masuk sekolah” Ucap Syahril selama dua hari itu tanpa Syahla tanya.

Apa sangat sulit bagi Jeremy sekadar memberi tahu apa yang terjadi? atau sesimple memberi tahu keberadaan nya sekarang dan apakah ia baik-baik saja?. lelaki itu sukses besar membuatnya cemas.

Skenario buruk tak henti-henti Syahla bayangkan. Ia berimajinasi tentang sang kekasih yang membuat hatinya sakit sekarang, namun tak sampai harus dilaporkan kepada Ayahnya. Ia masih bisa menahan.

“Jer, apa aku ada salah?”


#anti

two sides of Jeremy


Ada banyak hal yang menyenangkan di bumi, dari sekedar bersilaturahmi hingga menikmati pedasnya kuah indomie. Namun bagi Syahla saat ini, tak ada yang lebih menyenangkan dari pada kehadiran sosok Jeremy.

Siswa yang namanya banyak tertulis di 'buku hitam' sekolah itu, sama sekali tak pernah membuat Syahla muram. Kebalikannya, Jeremy justru selalu mewarnai hari-hari Syahla belakangan ini.

Sekadar Jeremy yang menyapanya dari pagi ke pagi, menunggunya di atas jok motor walau terkena paparan sinar mentari, dan kiriman camilan siang yang Jeremy titipkan pada KM kelas Syahla setiap hari. Lebih dari cukup untuk membuktikan kesungguhan hati lelakinya, dan ia selalu bersyukur tentang itu.

“Ayah pernah bilang, kalo ada yang nyakitin perasaan aku.. aku harus laporan”

“Alhamdulillah kalo gitu, La. aku gak akan pernah dilaporin”

“emangnya kamu yakin, Jer? kamu yakin gak akan nyakitin aku?”

“loh kamu lupa isi notes di mawar putih yang tempo hari aku simpen di atas meja kelas kamu?”

“LOH ITU DARI KAMUU?!!!!”

“hehehehehe”

“tapi aku gak kaget sih, Jer”

“kok gak kaget?”

“karena aku udah nebak itu dari kamu”

“yahh gak surprise dong”

“gapapa gak surprise juga! Aku tetep salting kok, Jer”

kemudian tangan Syahla ditarik oleh Jeremy agar melingkari pinggangnya, yang duduk di belakangnya tidak protes sama sekali.

Mereka tertawa bersama sepulang sekolah sore itu, bersamaan dengan langit yang mulai menggelap. Namun di atas motor vario hitam itu tetap bersinar. karena helm mereka yang berwarna kuning, seperti bebek kembar.

Usapan tangan Jeremy di pucuk kepala Syahla setiap sore hari di depan lobi apartemen, adalah hal yang paling Syahla sukai sekaligus ia benci.. karena itu tanda bahwa Jeremy akan berlalu pergi, untuk kemudian bertemu lagi di esok hari.

*** “Jer! kamu kalo memang mau pacaran sama Syahla, om gak masalah... asalkan dijaga baik-baik aja”

Yang kemudian hening setelahnya. Jeremy dan Syahril yang menggenggam joystick malam itu fokusnya menjadi buyar, mereka saling menatap dan Syahril tak dapat membendung tawanya.

Sang Ayah kebingungan dan spontan bertanya pada anak bungsunya itu.

“loh kenapa dek? memangnya Ayah salah bicara, ya?”

“bukan gitu, Ayah! tapi ya gatau lah.. tanya aja ke Ala sana!”

“aku sama Jeremy memang udah pacaran, Ayah”

Celetuk Syahla tanpa pikir panjang lalu menyeruput coklat panas di genggamannya.

“lohhhh.... kok ga cerita sih, Kak?” sahut sang Bunda yang sedang memotong buah persik di dapurnya.

“ya gapapa, toh Ayah sama Bunda juga udah tau Jeremy kaya gimana..”

Rasanya bukan main.

Seperti ada ribuan semut yang merayap di dalam tubuh Jeremy. Merinding.

“aduh ini gue harus ngapain sekarang”

“aduh Ala kenapa nyeletuk begitu sih!!”

“DENGAN MENYEBUT NAMA ALLAH TUHAN YANG MAHA ESA”

Jeremy bangkit dari duduknya. Ia berdiri di hadapan Ayah dan Bunda lalu berlutut

“Saya Jeremy Briliandy, di hadapan Om dan Tante, di hadapan Syahril dan Syahla. Saya tidak bisa berjanji untuk tidak menyakiti Syahla, namun saya berjanji... akan menjadi versi terbaik diri saya untuk menjaganya”

hening....

“tapi kalo beliin Syahla lamborghini, saya belum mampu”

Ia menunduk sambil ber-orasi di hadapan satu keluarga itu, yang membuat semuanya tertawa terbahak bukan main.

“udah-udah!! nih semuanya makan dulu buahnya, udah Bunda potongin..”

Jeremy masih di posisinya, tak berkutik. Hingga akhirnya Ayah menghampiri dan merangkulnya.

“kamu kan anak om dan tante juga, Jer!.. mulai sekarang kalo mau manggil Ayah Bunda juga gak masalah”.

Malam itu menjadi malam yang melegakan sekaligus menguji adrenalin bagi Jeremy.

*** “Ala, mau nonton film apa?”

“udah ada disini aku malah bingung, Jer”

“yaudah pilih aja ayo, keburu tayang nih”

“kok kamu terus maksa aku yang pilih sih, Jer! kan yang mau nonton kita berdua?”

Jeremy terdiam... untuk pertama kalinya Syahla meninggikan suara padanya, di lorong bioskop XXI Braga City Walk malam minggu itu.

Ia meraih tangan Syahla lalu mengusapnya pelan..

“ya udah.. aku minta maaf ya? gimana kalo kita nonton film ini aja?”

Dengan berhati-hati ia menatap Syahla, dan wanitanya luluh juga.

“Jer... aku gak maksud buat bentak kamu.. aku gak sengaja”

“iyaa, gapapa.. nanti pulangnya beli kiranti dulu ya?”

“IHHHHH!!!!”

“bercanda atuh sayang...”

Usilnya sambil mencubit kedua pipi Syahla, tanpa menghiraukan orang lain yang berlalu lalang.

“sakit ihhh!!!”

“hahaha, aku pesen dulu tiket ya? kamu duduk aja disini”

“mau ikut pesen juga”

“gak usah, pegel nanti kamunya.. liat antriannya panjang. kamu duduk aja”

Ia kemudian berlalu masuk ke antrian, dan melihat ke arah Syahla sambil tersenyum satu menit sekali.

Jeremine🧡 gak usah senyum, nanti banyak yg naksir

***

two sides of Jeremy


Ada banyak hal yang menyenangkan di bumi, dari sekedar bersilaturahmi hingga menikmati pedasnya kuah indomie. Namun bagi Syahla saat ini, tak ada yang lebih menyenangkan dari pada kehadiran sosok Jeremy.

Siswa yang namanya banyak tertulis di 'buku hitam' sekolah itu, sama sekali tak pernah membuat Syahla muram. Kebalikannya, Jeremy justru selalu mewarnai hari-hari Syahla belakangan ini.

Sekadar Jeremy yang menyapanya dari pagi ke pagi, menunggunya di atas jok motor walau terkena paparan sinar mentari, dan kiriman camilan siang yang Jeremy titipkan pada KM kelas Syahla setiap hari. Lebih dari cukup untuk membuktikan kesungguhan hati lelakinya, dan ia selalu bersyukur tentang itu.

“Ayah pernah bilang, kalo ada yang nyakitin perasaan aku.. aku harus laporan”

“Alhamdulillah kalo gitu, La. aku gak akan pernah dilaporin”

“emangnya kamu yakin, Jer? kamu yakin gak akan nyakitin aku?”

“loh kamu lupa isi notes di mawar putih yang tempo hari aku simpen di atas meja kelas kamu?”

“LOH ITU DARI KAMUU?!!!!”

“hehehehehe”

“tapi aku gak kaget sih, Jer”

“kok gak kaget?”

“karena aku udah nebak itu dari kamu”

“yahh gak surprise dong”

“gapapa gak surprise juga! Aku tetep salting kok, Jer”

kemudian tangan Syahla ditarik oleh Jeremy agar melingkari pinggangnya, yang duduk di belakangnya tidak protes sama sekali.

Mereka tertawa bersama sepulang sekolah sore itu, bersamaan dengan langit yang mulai menggelap. Namun di atas motor vario hitam itu tetap bersinar. karena helm mereka yang berwarna kuning, seperti bebek kembar.

Usapan tangan Jeremy di pucuk kepala Syahla setiap sore hari di depan lobi apartemen, adalah hal yang paling Syahla sukai sekaligus ia benci.. karena itu tanda bahwa Jeremy akan berlalu pergi, untuk kemudian bertemu lagi di esok hari.

*** “Jer! kamu kalo memang mau pacaran sama Syahla, om gak masalah... asalkan dijaga baik-baik aja”

Yang kemudian hening setelahnya. Jeremy dan Syahril yang menggenggam joystick malam itu fokusnya menjadi buyar, mereka saling menatap dan Syahril tak dapat membendung tawanya.

Sang Ayah kebingungan dan spontan bertanya pada anak bungsunya itu.

“loh kenapa dek? memangnya Ayah salah bicara, ya?”

“bukan gitu, Ayah! tapi ya gatau lah.. tanya aja ke Ala sana!”

“aku sama Jeremy memang udah pacaran, Ayah”

Celetuk Syahla tanpa pikir panjang lalu menyeruput coklat panas di genggamannya.

“lohhhh.... kok ga cerita sih, Kak?” sahut sang Bunda yang sedang memotong buah persik di dapurnya.

“ya gapapa, toh Ayah sama Bunda juga udah tau Jeremy kaya gimana..”

Rasanya bukan main.

Seperti ada ribuan semut yang merayap di dalam tubuh Jeremy. Merinding.

“aduh ini gue harus ngapain sekarang”

“aduh Ala kenapa nyeletuk begitu sih!!”

“DENGAN MENYEBUT NAMA ALLAH TUHAN YANG MAHA ESA”

Jeremy bangkit dari duduknya. Ia berdiri di hadapan Ayah dan Bunda lalu berlutut

“Saya Jeremy Briliandy, di hadapan Om dan Tante, di hadapan Syahril dan Syahla. Saya tidak bisa berjanji untuk tidak menyakiti Syahla, namun saya berjanji... akan menjadi versi terbaik diri saya untuk menjaganya”

hening....

“tapi kalo beliin Syahla lamborghini, saya belum mampu”

Ia menunduk sambil ber-orasi di hadapan satu keluarga itu, yang membuat semuanya tertawa terbahak bukan main.

“udah-udah!! nih semuanya makan dulu buahnya, udah Bunda potongin..”

Jeremy masih di posisinya, tak berkutik. Hingga akhirnya Ayah menghampiri dan merangkulnya.

“kamu kan anak om dan tante juga, Jer!.. mulai sekarang kalo mau manggil Ayah Bunda juga gak masalah”.

Malam itu menjadi malam yang melegakan sekaligus menguji adrenalin bagi Jeremy.

*** “Ala, mau nonton film apa?”

“udah ada disini aku malah bingung, Jer”

“yaudah pilih aja ayo, keburu tayang nih”

“kok kamu terus maksa aku yang pilih sih, Jer! kan yang mau nonton kita berdua?”

Jeremy terdiam... untuk pertama kalinya Syahla meninggikan suara padanya, di lorong bioskop XXI Braga City Walk malam minggu itu.

Ia meraih tangan Syahla lalu mengusapnya pelan..

“ya udah.. aku minta maaf ya? gimana kalo kita nonton film ini aja?”

Dengan berhati-hati ia menatap Syahla, dan wanitanya luluh juga.

“Jer... aku gak maksud buat bentak kamu.. aku gak sengaja”

“iyaa, gapapa.. nanti pulangnya beli kiranti dulu ya?”

“IHHHHH!!!!”

“bercanda atuh sayang...”

Usilnya sambil mencubit kedua pipi Syahla, tanpa menghiraukan orang lain yang berlalu lalang.

“sakit ihhh!!!”

“hahaha, aku pesen dulu tiket ya? kamu duduk aja disini”

“mau ikut pesen juga”

“gak usah, pegel nanti kamunya.. liat antriannya panjang. kamu duduk aja”

Ia kemudian berlalu masuk ke antrian, dan melihat ke arah Syahla sambil tersenyum satu menit sekali.

Jeremine🧡 gak usah senyum, nanti banyak yg naksir

***

Housemates.


Adalah hal yang sulit, bahkan sangat sulit bagi saya untuk menjalin hubungan yang disebut 'pertemanan' bersama orang lain. Saya tidak bisa berbasa-basi, saya takut menyinggung perasaan orang lain, saya takut dianggap sok akrab.

Tiga tahun lebih menetap di London, saya sama sekali tidak memiliki sosok itu. Banyak orang silih berganti tinggal serumah dengan saya, namun tak pernah ada obrolan dengan mereka. Mungkin mereka adalah orang-orang yang sama kuper nya seperti saya.

Hingga akhirnya Izza datang.

“Ethan, sarapan”

“Ethan, tolong”

“good morning, my super handsome Ethan...”

“gue buatin buat lo, ya?”

“gue masakin, ya?”

dan masih banyak lagi celotehan yang menempatkan dirinya seolah sangat bergantung pada saya, mempercayai saya, dan sangat peduli pada saya.

Sempat saya merasa risih di hari-hari pertama, karena tak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Namun karena si dia yang selalu bergerak, selalu memulai, selalu protes akan sikap saya yang tidak responsif.. saya perlahan mulai membuka diri.

Malam itu saya berlari dengan hati yang gelisah dari stasiun kereta menuju rumah, karena Izza berkata bahwa ada orang lain bersamanya disana. Kegelisahan itu berlanjut dengan saya yang menunggu kepulangan Izza dari tempat kerja di hari-hari berikutnya, dan di minggu-minggu berikutnya dan kemudian menjadi rutinitas saya.

Saya bahkan memberi pukulam dan meninggalkan bekas memar di wajah pemabuk jalanan yang melecehkan Izza. Kenapa saya jadi se-peduli ini?.

“apa dia pulang dengan selamat?”

“apa dia butuh bantuan?”

“bukannya ini jam dia pulang kerja?”

Konyol, saya melakukan kegiatan itu setiap hari seolah Izza adalah tanggung jawab saya, seolah saya adalah penjaganya.

“lo ngapain berdiri disitu tiap hari?” yang kemudian hanya akan saya acuhkan, lalu berjalan mendahuluinya masuk ke dalam rumah.

“lo serius bayar gue 20 pounds buat sekali nyuci? gak kebanyakan emang?” yang kemudian hanya akan saya balas dengan gelengan kepala.

“EXPECTO PETRONUM!! WINGARDIUM LEVIOSA! gue udah bisa masuk hogwarts belum?” yang kemudian akan saya tampilkan wajah meringis padanya.

“Ethan, gue itu udah rela jalan ke tempat pizza demi beliin lo. demi share uang gaji gue.. kok malah gue juga yang makan pizza nya?”

“that's fine, Izza. you still can give me anything next month”

Sering kali saya mendapati wajah Izza yang kebingungan kala saya memulai percakapan dengannya. Bisa saya lihat dari matanya yang melotot, atau tiba-tiba ketikannya yang disetting dengan keyboard capslock.

“udah lama berdiri disitu?”

“lumayan”

“lo kenapa senyum-senyum?”

“cause I finally can see you again.. after a day long?”

“apasih?!”

mata si dia melotot lagi, ditambah dengan tangan dinginnya yang memukul lengan saya dengan pelan.

“katanya mau take a walk? ayo!”

Kami berjalan di tengah dinginnya malam kota London tanpa tujuan. Beriringan dengan para pencari nafkah yang akhirnya kembali pulang ke rumah, bersama dengan para pemabuk yang sudah menjadi pemandangan lumrah, dan ada juga beberapa tupai liar menyapa kami dengan ramah.

“Izza, kamu sebelum dateng ke UK, pernahkah kepikiran tinggal disini? satu rumah sama orang asing kayak saya.. dan kebetulan orang Indonesia?”

“lo serius mau bahas ginian?”

“aneh ya saya bahas begini... kan saya pernah bilang waktu kita nonton tv bareng tempo hari..”

“apa? “saya mau mencoba jadi manusia yang membuka topik obrolan lebih dulu”, yang itu?”

Saya hanya merespon nya dengan anggukkan.

“ini apa jangan-jangan udah lo siapkan matang-matang kayak sidang skripsi?”

“enggak!”

Kami tertawa terbahak bersama, di atas kursi besi jalanan dan diterpa angin malam.

Saya lupa kapan terakhir kali bercengkrama seperti ini.. beberapa tahun ke belakang, yang saya lakukan hanyalah mengucap “terima kasih, maaf dan tolong” kepada sopir bus, kepada pelayan restoran, kepada penjual es krim di pinggir jalan.. Bahkan saya pernah tidak mengucap sepatah kata pun seharian penuh. menyedihkan.

“ummm... gue.. gue mah hidup dibiarkan mengalir apa adanya aja, Than! lagian gue ke UK juga karena kabur”

Saya mengernyitkan dahi saya, masih mencerna kalimat yang keluar dari bibir Izza.

“Ethan, gue dihantui telunjuk mami gue kalo tinggal di Indonesia”

“oh iya?”

“gue mau dijodohin sama anak kolega bisnisnya”

“pfft—”

“Ethan?! lo ngetawain gue?!!”

“enggak!!”

“gue juga bisa liat ya!!!”

“sama kalo gitu... saya juga pergi kesini karena kabur”

“kabur dari apa?”

“harta warisan”

“hah? gimana?”

my dad passed away 4 years ago.. and I'm here looking for my biological brother.. he went to London since long time ago, and he never come back. dia yang lebih layak dapet warisan karena anak tertua.. tapi masalahnya adalah..”

“adalah?”

“apa saya bisa percaya kamu..?”

“eh? it's up to you..

“kakak kedua saya, dia gak rela kalo warisan kita dibagi ke kakak sulung kami. Dia bilang, si sulung udah gak layak dapat harta papa karena he leave us? padahal I don't think dia melarikan diri tanpa kabar setelah kuliah.. mungkin ada kendala yang terjadi..”

“ow.. it's complicated”

“same as you, Izza”

“not really, Ethan”

“but kinda”

“kalo lo gimana?”

“gimana yang mana?”

“soal serumah sama gue?”

“oh.. saya awalnya males, karena kamu berisik”

Izza melotot ke arah saya untuk yang kesekian kalinya.

“tapi semakin hari semakin seneng.... soalnya ada yang cuciin baju”

“HEHHH!!!!”

Izza terkekeh lagi setelahnya..

“so, Ethan.. since we have same background and promblems, can we talk often from now on?”

“memang tujuan saya ngajak kamu ngobrol itu adalah ini, Izza”

“ini? yang mana?”

“yang talk often with you

“mantap! kalo gitu, boleh ga bayaran laundry nya jadi 30 pounds?”

“IZZA!!!”


#anti

Housemates.


Adalah hal yang sulit, bahkan sangat sulit bagi saya untuk menjalin hubungan yang disebut 'pertemanan' bersama orang lain. Saya tidak bisa berbasa-basi, saya takut menyinggung perasaan orang lain, saya takut dianggap sok akrab.

Tiga tahun lebih menetap di London, saya sama sekali tidak memiliki sosok itu. Banyak orang silih berganti tinggal serumah dengan saya, namun tak pernah ada obrolan dengan mereka. Mungkin mereka adalah orang-orang yang sama kuper nya seperti saya.

Hingga akhirnya Izza datang.

“Ethan, sarapan”

“Ethan, tolong”

“good morning, my super handsome Ethan...”

“gue buatin buat lo, ya?”

“gue masakin, ya?”

dan masih banyak lagi celotehan yang menempatkan dirinya seolah sangat bergantung pada saya, mempercayai saya, dan sangat peduli pada saya.

Sempat saya merasa risih di hari-hari pertama, karena tak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Namun karena si dia yang selalu bergerak, selalu memulai, selalu protes akan sikap saya yang tidak responsif.. saya perlahan mulai membuka diri.

Malam itu saya berlari dengan hati yang gelisah dari stasiun kereta menuju rumah, karena Izza berkata bahwa ada orang lain bersamanya disana. Kegelisahan itu berlanjut dengan saya yang menunggu kepulangan Izza dari tempat kerja di hari-hari berikutnya, dan di minggu-minggu berikutnya dan kemudian menjadi rutinitas saya.

Saya bahkan memberi pukulam dan meninggalkan bekas memar di wajah pemabuk jalanan yang melecehkan Izza. Kenapa saya jadi se-peduli ini?.

“apa dia pulang dengan selamat?”

“apa dia butuh bantuan?”

“bukannya ini jam dia pulang kerja?”

Konyol, saya melakukan kegiatan itu setiap hari seolah Izza adalah tanggung jawab saya, seolah saya adalah penjaganya.

“lo ngapain berdiri disitu tiap hari?” yang kemudian hanya akan saya acuhkan, lalu berjalan mendahuluinya masuk ke dalam rumah.

“lo serius bayar gue 20 pounds buat sekali nyuci? gak kebanyakan emang?” yang kemudian hanya akan saya balas dengan gelengan kepala.

“EXPECTO PETRONUM!! WINGARDIUM LEVIOSA! gue udah bisa masuk hogwarts belum?” yang kemudian akan saya tampilkan wajah meringis padanya.

“Ethan, gue itu udah rela jalan ke tempat pizza demi beliin lo. demi share uang gaji gue.. kok malah gue juga yang makan pizza nya?”

“that's fine, Izza. you still can give me anything next month”

Sering kali saya mendapati wajah Izza yang kebingungan kala saya memulai percakapan dengannya. Bisa saya lihat dari matanya yang melotot, atau tiba-tiba ketikannya yang disetting dengan keyboard capslock.

“udah lama berdiri disitu?”

“lumayan”

“lo kenapa senyum-senyum?”

“cause I finally can see you again.. after a day long?”

“apasih?!”

mata si dia melotot lagi, ditambah dengan tangan dinginnya yang memukul lengan saya dengan pelan.

“katanya mau take a walk? ayo!”

Kami berjalan di tengah dinginnya malam kota London tanpa tujuan. Beriringan dengan para pencari nafkah yang akhirnya kembali pulang ke rumah, bersama dengan para pemabuk yang sudah menjadi pemandangan lumrah, dan ada juga beberapa tupai liar menyapa kami dengan ramah.

“Izza, kamu sebelum dateng ke UK, pernahkah kepikiran tinggal disini? satu rumah sama orang asing kayak saya.. dan kebetulan orang Indonesia?”

“lo serius mau bahas ginian?”

“aneh ya saya bahas begini... kan saya pernah bilang waktu kita nonton tv bareng tempo hari..”

“apa? “saya mau mencoba jadi manusia yang membuka topik obrolan lebih dulu”, yang itu?”

Saya hanya merespon nya dengan anggukkan.

“ini apa jangan-jangan udah lo siapkan matang-matang kayak sidang skripsi?”

“enggak!”

Kami tertawa terbahak bersama, di atas kursi besi jalanan dan diterpa angin malam.

Saya lupa kapan terakhir kali bercengkrama seperti ini.. beberapa tahun ke belakang, yang saya lakukan hanyalah mengucap “terima kasih, maaf dan tolong” kepada sopir bus, kepada pelayan restoran, kepada penjual es krim di pinggir jalan.. Bahkan saya pernah tidak mengucap sepatah kata pun seharian penuh. menyedihkan.

“ummm... gue.. gue mah hidup dibiarkan mengalir apa adanya aja, Than! lagian gue ke UK juga karena kabur”

Saya mengernyitkan dahi saya, masih mencerna kalimat yang keluar dari bibir Izza.

“Ethan, gue dihantui telunjuk mami gue kalo tinggal di Indonesia”

“oh iya?”

“gue mau dijodohin sama anak kolega bisnisnya”

“pfft—”

“Ethan?! lo ngetawain gue?!!”

“enggak!!”

“gue juga bisa liat ya!!!”

“sama kalo gitu... saya juga pergi kesini karena kabur”

“kabur dari apa?”

“harta warisan”

“hah? gimana?”

my dad passed away 4 years ago.. and I'm here looking for my biological brother.. he went to London since we were kids, and he never come back. dia yang lebih layak dapet warisan karena anak tertua.. tapi masalahnya adalah..”

“adalah?”

“apa saya bisa percaya kamu..?”

“eh? it's up to you..

“kakak kedua saya, dia gak rela kalo warisan kita dibagi..”

“ow.. it's complicated”

“same as you”

“not really”

“but kinda”

“kalo lo gimana?”

“gimana yang mana?”

“soal serumah sama gue?”

“oh.. saya awalnya males, karena kamu berisik”

Izza melotot ke arah saya untuk yang kesekian kalinya.

“tapi semakin hari semakin seneng.... soalnya ada yang cuciin baju”

“HEHHH!!!!”

Izza terkekeh lagi setelahnya..

“so, Ethan.. since we have same background and promblems, can we talk often from now on?”

“memang tujuan saya ngajak kamu ngobrol itu adalah ini, Izza”

“ini? yang mana?”

“yang talk often with you

“mantap! kalo gitu, boleh ga bayaran laundry nya jadi 30 pounds?”

“IZZA!!!”


#anti

Housemates.


Adalah hal yang sulit, bahkan sangat sulit bagi saya untuk menjalin hubungan yang disebut 'pertemanan' bersama orang lain. Saya tidak bisa berbasa-basi, saya takut menyinggung perasaan orang lain, saya takut dianggap sok akrab.

Tiga tahun lebih menetap di London, saya sama sekali tidak memiliki sosok itu. Banyak orang silih berganti tinggal serumah dengan saya, namun tak pernah ada obrolan dengan mereka. Mungkin mereka adalah orang-orang yang sama kuper nya seperti saya.

Hingga akhirnya Izza datang.

“Ethan, sarapan”

“Ethan, tolong”

“good morning, my super handsome Ethan...”

“gue buatin buat lo, ya?”

“gue masakin, ya?”

dan masih banyak lagi celotehan nya yang seolah-olah sangat bergantung pada saya, mempercayai saya, dan sangat peduli pada saya.

Sempat saya merasa risih di hari-hari pertama, karena tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Namun karena si dia yang selalu bergerak, selalu memulai, selalu protes akan sikap saya yang tidak responsif.. saya perlahan mulai membuka diri.

Malam itu saya berlari dengan hati yang gelisah dari stasiun kereta karena Izza berkata bahwa ada orang lain dalam rumah. Kegelisahan itu berlanjut dengan saya yang menunggu kepulangan Izza dari tempat kerja di hari-hari myberikutnya.

“apa dia pulang dengan selamat?”

“apa dia butuh bantuan?”

“bukannya ini jam dia pulang kerja?”

Konyol, saya lakukan kegiatan itu setiap hari seolah Izza adalah tanggung jawab saya, seolah saya adalah penjaganya.

“lo ngapain berdiri disitu tiap hari?” yang kemudian hanya akan saya acuhkan, berjalan mendahuluinya masuk ke dalam rumah.

“lo serius bayar gue 20 pounds buat sekali nyuci? gak kebanyakan emang?” yang kemudian hanya akan saya balas dengan senyuman.

“Ethan, gue itu udah rela jalan ke tempat pizza demi beliin lo. demi share uang gaji gue.. kok malah gue juga yang makan?”

“that's fine, Izza. you still can give me anything next month”

Sering kali saya mendapati wajah Izza yang kebingungan kala saya memulai percakapan dengannya. Bisa saya lihat dari matanya yang melotot, atau tiba-tiba ketikannya yang disetting dengan keyboard capslock.

*”