Housemates.
Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.
Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.
“Let's go to Oxford this morning!”
“PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.
“Izza yaampun...”
“OMG, sorry sorry gue refleks!!”
Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.
“Ethan...”
“why?“
Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.
“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”
“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”
Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.
“jadi besok jam berapa, Than?”
“sembilan?.. kepagian gak?”
“of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”
Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.
Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.
Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.
“huhhhhhh” sekali...
“hhhuabbbr” dua kali...
“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.
Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.
“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.
“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”
“how energetic you are”
Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.
Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.
“sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!” ucap gue di anak tangga terakhir sambil membetulkan posisi rambut gue. Namun fokus gue teralihkan oleh Ethan yang berdiri di depan pintu..
Sumpah demi Tuhan, jika gue boleh hiperbolis saat ini.. gue ingin mengatakan bahwa Ethan adalah salah satu wujud kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.
Tubuhnya yang jangkung, lehernya yang jenjang.. dibalut dengan sweater crewneck hitam.. membuat gue gelagapan dan mematung.
“kamu kenapa, Izza? ngelamun?” shit dia menyadari lamunan gue.
Gue menepis semua lamunan dan memutar otak untuk merangkai kalimat.
“hah? oh enggakk.. ini bingung tadi posisi rambut gue agak aneh..” —alasan tak masuk akal.
Ethan mengangguk dua kali, dia tidak memperpanjang lamunan gue tadi.
“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.
“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”
Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.
Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.
Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.
“kenapa, Than?”
“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?“
Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.
“yaudah, ayo lari!”
Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.
“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”
Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.
Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.
“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.
Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.
***
“bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.
“Thank you!“
Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.
Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.
“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”
Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.
“i'm fine!“
....
fine...
Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian.
... Fine apanya.
Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.
Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.
Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.
“I still can't believe it... I'm at Oxford right now..“
Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.
cekrek!!
cekrekk!!
Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.
“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”
Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.
“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”
“ya gapapa... memang apa yang salah?”
“menuhin memori tauuu!”
“lebay!!!”
Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.
Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.
...
“Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“
...
Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.
“I'm sorry, but we're not coupl—“
“Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”
Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya..
—sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!
Setelah dua remaja itu berlalu..
“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.
“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.
Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.
Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.
Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan kemudian mengisi perut setelahnya.
“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.
“is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.
“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”
Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.
“see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”
Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime“
Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..
“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.
Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.
“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.
Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.
“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage“
huhhhhh —bikin gila aja.
...
“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”
“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”
“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”
Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.
Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.
“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”
Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.
“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”
“gak ada, sih.. basa basi aja..”
Gue merespon kalimatnya dengan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”
Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.
“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.
Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”
Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.
“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.
“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.
“loh di UK juga suka ada copet?”
“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”
Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.
“copet manusia juga ada!”
“hah?”
“culik, Izza..”
“ngarang lo!”
“serius.. coba amankan..”
“amankan apanya?”
“kamunya!”
Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.
“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.
Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.
Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, dengan posisi tangan kami masih berpegangan.
Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.
“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah stasiun ini!”
Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.
Di stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami, penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.
Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.
“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.
“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.
“is he... his brother?!”
Pukul satu...
pukul dua....
pukul tiga.....
Ethan tak kunjung pulang.
Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi.. untuk menunggu Ethan.
Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.
Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya itu di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?
Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.
Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.
Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada Tuhan.
“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”
Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..
Memang terkesan terlalu mendramatisir keadaan, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..
Memang aneh.. namun faktanya, Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.
Setelah itu, hilang kesadaran.. dan terpejam.
#anti