injunoona


**


“Aku mohon jangan bunuh aku.. aku mohon...!” Medusa memegang erat kaki kiri prajurit yang mencengkram pedang bermata dua di tangannya. Prajurit itu sama sekali tak membuka mata karena menghindari kutukan dari 'monster' berambut ular itu, ia tak mau berakhir menjadi batu jika mata mereka bertemu.

“memangnya salah jika aku mengakui perasaan cintaku? memangnya sebuah dosa jika aku jatuh cinta pada orang yang merupakan musuh dari tuanku?”

Tetap saja, prajurit itu tanpa ampun memenggal kepala Medusa dengan pedang yang ia genggam hingga sang monster tak bersua lagi..... ` “AAAAAAAA-uhukkk” teriakkan lantang itu membawanya kembali ke alam nyata... dari mimpinya.

Elyna dengan terengah-engah mengatur napasnya. Ia merasa lega karena tragisnya kematian Medusa yang ia saksikan barusan hanyalah bunga tidurnya belaka, “oh gosh I almost jumped out my skins..” ia menyandarkan tubuhnya pada headboard tempat tidurnya yang mewah.

Gadis 19 tahun itu melirik ke arah buku rangkuman kisah mitologi Yunani yang terletak di atas meja di sampingnya. Kisah Medusa yang tertulis di buku itu dan yang terjadi di mimpinya berbeda 180°... “harusnya aku gak baca buku-buku ginian kalo malem..” kemudian ia menghela napas panjang sebelum akhirnya beranjak untuk berjalan menuju balkon kamarnya.

Daun-daun yang menari serta kicauan burung-burung yang saling bersautan seolah menyapa dirinya di pagi yang kebetulan sangat cerah. What a beautiful morning..

Biasanya, tepat setelah bangun tidur, Elyna harus bergegas mempersiapkan diri untuk menjadi seorang putri yang semestinya. Mandi, mengenakan gaun cantik dan mahal, duduk di meja rias sambil membaca buku sementara para pelayannya menata rambut dan riasannya. Karena mimpi buruknya, ia memutuskan untuk menghirup udara segar sejenak..

“Tuan putri, air untuk mandi sudah kami siapkan..” suara seorang pelayan di balik pintu kamarnya entah kenapa begitu mengejutkan, hingga kedua tangan yang sedang berkegiatan mengikat rambut coklat terang itu terlepas.

“Iyaaa! sebentar!! aku masih belum bisa keluar dari kamar!” sang putri berteriak memberi jawaban pada pelayan, namun matanya fokus kepada pita rambutnya yang jatuh dari balkon. “yahhhh...”.

Mau tak mau... suka tak suka... ia kembali menuruni balkon dengan tali besar yang selalu ia gunakan. Ya, kamar Elyna berada di bagian belakang istana. Tak akan ada yang tahu jika ia sebetulnya bukan putri anggun yang santun dan selalu menjunjung norma dimana pun dan kapan pun. Dirinya yang asli adalah Elyna yang suka memanjat pohon dan membaca buku di atas dahan, Elyna yang mengganti gaun mewahnya dengan baju prajurit kemudian melarikan diri menggunakan kuda putihnya, Elyna yang turun dari balkon kamar menggunakan tali layaknya pelatihan militer kerajaan —seperti yang ia lakukan sekarang.

``` “looking for this?” suara dari arah belakang Elyna jelas mengejutkannya, biasanya tak ada orang lain di halaman belakang. Ia hampir tergelincir ketika kakinya menyentuh tanah, namun ia bisa mengatur keseimbangannya kembali.

Elyna mengambil secara sepihak pita berwarna merah muda itu dari lelaki yang baru saja menyapanya. “oh, yea.... yes it's mine” dan bersikap se-anggun mungkin.

“and?” dia menatap Elyna yang sedang mengikat pita di rambutnya.

“and what?”

“harusnya kamu bilang terima kasih, kan?”

Gadis itu terdiam. Ia memprediksi apa yang ada di pikiran lelaki berkemeja putih ini. he doesn't even said “selamat pagi tuan putri” or else.. dia juga berani menatap mataku dan menuntut ucapan terima kasih?? dia gak tahu kalo aku putri Elyna? WHO IS HE?!.

Sedetik kemudian Elyna menunduk, melihat kakinya yang telanjang dan baju tidur putih polosnya... oh.. aku sama sekali tak terlihat seperti seorang putri. Mengingat selama ini tidak pernah ada yang menatap wajahnya, semua orang hanya akan menunduk setiap kali bertemu dengannya. Semua orang hanya mengetahui nama dan kedudukannya, tidak dengan wajahnya.

“hello?” pria tinggi itu tetap menagih jawaban dari Elyna.

“eh? oh.. thank you!” sang putri tersenyum dan langsung direspon dengan senyuman pula.

“I'm Kevin” ia menggosok tangan kanannya ke celana coklatnya sebelum mengulurkan tangan pada Elyna.

And again, something she'd never experienced.. Shaking hands for knowing each other's name. Ia mengerjapkan matanya lalu menerima jabatan tangan Kevin, “aku..... Anna“—ya, ia tak mungkin memberi tahu nama aslinya pada Kevin. “what a pretty name, Anna!” balas Kevin.


I don't need a dream dating list or else, all I need is Lee Sangyeon


Selamat pagi sayang” disertai dengat emoji hati merah adalah pesan pertama yang akan aku baca di setiap pagi ketika membuka mataku. Awalnya aku mengira bahwa itu adalah hal sepele, namun ketika Sangyeon melewatkannya barang sekali pun akan menjadi janggal bagiku. loh? lupa ngabarin kah?, wifi di rumah Sangyeon putus kali, ya?, apa Sangyeon belum bangun? dan pikiran aneh lainnya. Sebuah foto dirinya bersama sang keponakan menjadi jawaban, dan kurespon dengan gemesnyaaa sedetik kemudian.

Aku bangkit dari tempat tidurku kemudian mendekati meja kerja di kamarku, memperhatikan setiap inchi kotak hadiah yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari. Isi dalam kotak itu tak seberapa harganya, tapi aku yakin Sangyeon akan menerimanya dengan segudang kalimat hiperbola.

Seperti hari-hari biasanya, “kamu ganti warna lipstik, ya? cantik banget” yang kurespon dengan gelengan. Kemudian hari berikutnya, “sayang, tadi kan client ku liatin contoh sketsa mata gitu buat produk baru perusahaan... terus aku mikir, gambar matanya cantik, tapi gak secantik mata pacarku” yang membuat tawa kami pecah di ruangan televisi sore itu. Lalu hari setelahnya “gapapa gapapa, aku jatoh dari sepeda doang ih.. cuma lecet lutut dikit! gak akan sesakit kalo ditinggalin kamu!” yang dengan instan membuat tangisanku berubah menjadi kekehan.

Aku kembali teringat pada hari dimana Sangyeon jatuh dari sepeda di acara workshop perusahaan tempatnya bekerja. Sedetik setelah ia memberi tahuku tragedi itu, tanpa pikir panjang aku berlari menemuinya. Kuingat dengan jelas bagaimana Sangyeon yang terus-terusan menghiburku dan meyakinkanku bahwa luka yang ia dapat tak parah sama sekali. “utututuuu sayangnya akuuu.. sini sini nangisnya sambil aku peluk” ia dengan wajah merajuknya mengusap rambutku kemudian menarik tubuhku ke atas ranjang dan memberiku sebuah peluk... “I'm good.. phisically and mentally, kaki aku langsung sembuh karena obatnya dipeluk kamu”.

Sangyeon memang terkenal sebagai pribadi yang pekerja keras, teman-teman kantornya sering kali menunjuknya sebagai ketua team karena hal itu. Ia tegas, berwawasan luas dan disegani. Tentu saja akan menjadi berita besar jika mereka mengetahui bahwa Sangyeon seringkali datang ke rumahku dan merengek, “aku takut.. perkembangan projeknya gak keliatan stabil” ucapnya sambil membenamkan wajahnya di bahuku. Tak jarang juga ia tiba-tiba datang dan menangis setiap kali kesulitan datang padanya... I love him just the way he is, but I love him more if he's being himsef when he with me only. Kemudian rengekan kemanjaan nya akan hilang seketika jika ada suara langkah kaki mendekat, harus jaga image katanya.

Selama bertahun-tahun berpacaran dengannya, bohong jika kubilang bahwa Sangyeon tak pernah membuatku kesal. Kami sering bertengkar karena hal-hal kecil dan kami anggap itu sebagai 'bumbu' dalam hubungan kami dan banyak cara yang kami lakukan untuk kembali berbaikan.

Mulai dari sekadar sate taichan goreng yang tiba-tiba sampai di rumahku melalui perantara driver aplikasi restoran online, diiringi dengan “kesukaan kamu, makan yaa.. biar ada tenaga buat ngomelin akunya” pada bubble whatsapp yang kemudian akan menciptakan kekehan dariku. Tak lupa Sangyeon yang membuat video singkat dirinya mengucapkan maaf disertai alasan-alasan kenapa aku harus memaafkannya. Hingga ciuman panas kami berdua di bawah tangga rumahku, setelah ia mengucapkan “serius gamau makan apa-apa? plis deh jangan bad mood di jam makan malem... atau, yaudah makan aku aja”.

Selalu ada cara. ya, selalu...

Beberapa tahun lalu ketika kami pertama kali bertemu. Tanganku bergetar di depan meja kasir Alfamart kala itu..... “maaf mbak, dompet saya gak ada.. saya gak jadi beli aja deh, maaf yaa maaf banget!” namun dengan sigap, Sangyeon mendekat dan menawarkan bantuan. Bayar saja lain waktu ucapnya setelah kami sama-sama berada di luar toko, dan benar saja selalu ada lain waktu bagi kami untuk menghabiskan waktu bersama. Meski hanya sekadar membeli kwetiaw atau mie tektek di depan komplek, sudah kubilang... selalu ada cara bagi Sangyeon. Selalu.

Sangyeon bukan tipe lelaki yang mengucapkan “maaf ya aku cuma pegawai biasa, aku gak punya apa-apa..” tapi dia selalu dengan bangga berkata “aku bakal selalu semangat buat jadi lebih baik”. Terbukti dengan dia yang mengajakku berdagang kecil-kecilan di online market place. Kami bangun bisnis itu bersama-sama dan hasilnya kami kumpulkan untuk masa depan.


“Halo sayang!! apa kabar?” Ibu Sangyeon mengusap kepalaku pelan sesaat setelah membuka pintu, kemudian kita saling bertukar peluk.

“Baik, Bu.. Ibu gimana?”

“sekarang Ibu jadi happy sehabis lihat calon mantu!”

“Ibu bisa ajaa...”

Kemudian basa-basi lain yang entah bagaimana mengantarkanku sekarang di kursi ruang tamu dengan kotak hadiah yang kudekap.

“Ibu mau pergi arisan dulu ya, cantik! tunggu disini aja, Sangyeon nya lagi mandi”

“Iya bu!”

Atmosfer menjadi canggung seketika, menyisakan aku dan detik jam dinding serta suara aliran air yang diciptakan oleh Sangyeon di dalam kamar mandi sana.

lima menit...

enam menit...

Setelah sebelas menit duduk sendirian dalam keheningan, Sangyeon akhirnya muncul dengan kaos putih polos, celana hitam pendek dan rambutnya masih basah.

“hai sayang! udah lama?” ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya dengan handuk biru di tangannya.

“engga kok, baru bentarr”

Sangyeon duduk di sebelahku lalu mengecup keningku singkat.

“lucu banget sih pake mau nyamperin segala.. ini yang kamu bilang sesuatu itu?” ia menunjuk kotak yang ada di tanganku, aku mengangguk.

“ada apaan ini? kok tiba-tiba banget ngado ngado gini?” senyumnya merekah sampai matanya membentuk sabit.

“hari ini kan...”

“apa? aku gak lagi ulang tahun, sayang” alisnya menukik.

“ihhh hahaha! hari ini national boyfriend's day tauuu! nih buat kamu!” kotak yang kupegang dari tadi kini berpindah tangan.

Sangyeon terkekeh, “lucu banget”

“gak suka, ya?”

“ih apa sih! besok langsung aku pake ini mah.. makasih yaa cintaku” ia menatap kotak itu dengan mata berbinar.

“kamu mah hiperbola doang ah!”

Sangyeon kembali tertawa atas hal yang tidak lucu sama sekali bagiku...

“sayang..”

Tanpa aba-aba ia melingkarkan tangannya dipinggangku dan meletakkan dagunya di bahuku, “mau kamu ngasih permen satu biji pun, aku akan seneng.. apalagi ini” —cup, lagi-lagi tanpa fafifu ia menjadi dirinya yang clingy.

“Sangyeon!!”

“hehehehe! sayang, aku belum gajian, tapi di dompetku masih ada uang seratus ribu.. kamu mau jajan apa?”

“ih simpen aja ah, lusa kan kamu baru gajian! nanti selama dua hari kamu gak pegang uang sama sekali, gitu?”

“ih lucu banget marah-marah!” —cup, kecupan kedua.

“simpen aja, aku lagi ga pengen apa-apa.. pengennya kamu doang” jawabku asal.

“eh tapi beneran loh.. walaupun uang di dompetku tinggal sisa lima ribu, aku bakal tetep jajanin kamu!” ucapnya sambil menempelkan hidungnya di pipiku.

“eh tapi beneran juga lohh.. kalo aku mau apa-apa aku bilang..”

“iyaaa sayaaaang!” yang ketiga kali —cup, “karena ini national boyfriend's day, I'll be super boyfriend until 23:59!”

Aku terkekeh yang otomatis menggetarkan Sangyeon juga.

“kamu wangi ih” lagi-lagi ia memujiku.

“udah ah jangan nempel-nempel, ruang tamu ini malah nanti ganti nama jadi ruang cuddle

“HAHAHAHAHA KAMU IH! yaudah pindah aja ke kamar!”

“SANGYEONNNNN!!!!”

-tamat-


#anti


I don't need a dream dating list or else, all I need is Lee Sangyeon


Selamat pagi sayang” disertai dengat emoji hati merah adalah pesan pertama yang akan aku baca di setiap pagi ketika membuka mataku. Awalnya aku mengira bahwa itu adalah hal sepele, namun ketika Sangyeon melewatkannya barang sekali pun akan menjadi janggal bagiku. loh? lupa ngabarin kah?, wifi di rumah Sangyeon putus kali, ya?, apa Sangyeon belum bangun? dan pikiran aneh lainnya. Sebuah foto dirinya bersama sang keponakan menjadi jawaban, dan kurespon dengan gemesnyaaa sedetik kemudian.

Aku bangkit dari tempat tidurku kemudian mendekati meja kerja di kamarku, memperhatikan setiap inchi kotak hadiah yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari. Isi dalam kotak itu tak seberapa harganya, tapi aku yakin Sangyeon akan menerimanya dengan segudang kalimat hiperbola.

Seperti hari-hari biasanya, “kamu ganti warna lipstik, ya? cantik banget” yang kurespon dengan gelengan. Kemudian hari berikutnya, “sayang, tadi kan client ku liatin contoh sketsa mata gitu buat produk baru perusahaan... terus aku mikir, gambar matanya cantik, tapi gak secantik mata pacarku” yang membuat tawa kami pecah di ruangan televisi sore itu. Lalu hari setelahnya “gapapa gapapa, aku jatoh dari sepeda doang ih.. cuma lecet lutut dikit! gak akan sesakit kalo ditinggalin kamu!” yang dengan instan membuat tangisanku berubah menjadi kekehan.

Aku kembali teringat pada hari dimana Sangyeon jatuh dari sepeda di acara workshop perusahaan tempatnya bekerja. Sedetik setelah ia memberi tahuku tragedi itu, tanpa pikir panjang aku berlari menemuinya. Kuingat dengan jelas bagaimana Sangyeon yang terus-terusan menghiburku dan meyakinkanku bahwa luka yang ia dapat tak parah sama sekali. “utututuuu sayangnya akuuu.. sini sini nangisnya sambil aku peluk” ia dengan wajah merajuknya mengusap rambutku kemudian menarik tubuhku ke atas ranjang dan memberiku sebuah peluk... “I'm good.. phisically and mentally, kaki aku langsung sembuh karena obatnya dipeluk kamu”.

Sangyeon memang terkenal sebagai pribadi yang pekerja keras, teman-teman kantornya sering kali menunjuknya sebagai ketua team karena hal itu. Ia tegas, berwawasan luas dan disegani. Tentu saja akan menjadi berita besar jika mereka mengetahui bahwa Sangyeon seringkali datang ke rumahku dan merengek, “aku takut.. perkembangan projeknya gak keliatan stabil” ucapnya sambil membenamkan wajahnya di bahuku. Tak jarang juga ia tiba-tiba datang dan menangis setiap kali kesulitan datang padanya... I love him just the way he is, but I love him more if he's being himsef when he with me only. Kemudian rengekan kemanjaan nya akan hilang seketika jika ada suara langkah kaki mendekat, harus jaga image katanya.

Selama bertahun-tahun berpacaran dengannya, bohong jika kubilang bahwa Sangyeon tak pernah membuatku kesal. Kami sering bertengkar karena hal-hal kecil dan kami anggap itu sebagai 'bumbu' dalam hubungan kami dan banyak cara yang kami lakukan untuk kembali berbaikan.

Mulai dari sekadar sate taichan goreng yang tiba-tiba sampai di rumahku melalui perantara driver aplikasi restoran online, diiringi dengan “kesukaan kamu, makan yaa.. biar ada tenaga buat ngomelin akunya” pada bubble whatsapp yang kemudian akan menciptakan kekehan dariku. Tak lupa Sangyeon yang membuat video singkat dirinya mengucapkan maaf disertai alasan-alasan kenapa aku harus memaafkannya. Hingga ciuman panas kami berdua di bawah tangga rumahku, setelah ia mengucapkan “serius gamau makan apa-apa? plis deh jangan bad mood di jam makan malem... atau, yaudah makan aku aja”.

Selalu ada cara. ya, selalu...

Beberapa tahun lalu ketika kami pertama kali bertemu. Tanganku bergetar di depan meja kasir Alfamart kala itu..... “maaf mbak, dompet saya gak ada.. saya gak jadi beli aja deh, maaf yaa maaf banget!” namun dengan sigap, Sangyeon mendekat dan menawarkan bantuan. Bayar saja lain waktu ucapnya setelah kami sama-sama berada di luar toko, dan benar saja selalu ada lain waktu bagi kami untuk menghabiskan waktu bersama. Meski hanya sekadar membeli kwetiaw atau mie tektek di depan komplek, sudah kubilang... selalu ada cara bagi Sangyeon. Selalu.

Sangyeon bukan tipe lelaki yang mengucapkan “maaf ya aku cuma pegawai biasa, aku gak punya apa-apa..” tapi dia selalu dengan bangga berkata “aku bakal selalu semangat buat jadi lebih baik”. Terbukti dengan dia yang mengajakku berdagang kecil-kecilan di online market place. Kami bangun bisnis itu bersama-sama dan hasilnya kami kumpulkan untuk masa depan.


“Halo sayang!! apa kabar?” Ibu Sangyeon mengusap kepalaku pelan sesaat setelah membuka pintu, kemudian kita saling bertukar peluk.

“Baik, Bu.. Ibu gimana?”

“sekarang Ibu jadi happy sehabis lihat calon mantu!”

“Ibu bisa ajaa...”

Kemudian basa-basi lain yang entah bagaimana mengantarkanku sekarang di kursi ruang tamu dengan kotak hadiah yang kudekap.

“Ibu mau pergi arisan dulu ya, cantik! tunggu disini aja, Sangyeon nya lagi mandi”

“Iya bu!”

Atmosfer menjadi canggung seketika, menyisakan aku dan detik jam dinding serta suara aliran air yang diciptakan oleh Sangyeon di dalam kamar mandi sana.

lima menit...

enam menit...

Setelah sebelas menit duduk sendirian dalam keheningan, Sangyeon akhirnya muncul dengan kaos putih polos, celana hitam pendek dan rambutnya masih basah.

“hai sayang! udah lama?” ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya dengan handuk biru di tangannya.

“engga kok, baru bentarr”

Sangyeon duduk di sebelahku lalu mengecup keningku singkat.

“lucu banget sih pake mau nyamperin segala.. ini yang kamu bilang sesuatu itu?” ia menunjuk kotak yang ada di tanganku, aku mengangguk.

“ada apaan ini? kok tiba-tiba banget ngado ngado gini?” senyumnya merekah sampai matanya membentuk sabit.

“hari ini kan...”

“apa? aku gak lagi ulang tahun, sayang” alisnya menukik.

“ihhh hahaha! hari ini national boyfriend's day tauuu! nih buat kamu!” kotak yang kupegang dari tadi kini berpindah tangan.

Sangyeon terkekeh, “lucu banget”

“gak suka, ya?”

“ih apa sih! besok langsung aku pake inimah.. makasih yaa cintaku” ia menatap kotak itu dengan mata berbinar.

“kamu mah hiperbola doang ah!”

Sangyeon kembali tertawa atas hal yang tidak lucu sama sekali bagiku...

“sayang..”

Tanpa aba-aba ia melingkarkan tangannya dipinggangku dan meletakkan dagunya di bahuku, “mau kamu ngasih permen satu biji pun, aku akan seneng.. apalagi ini” —cup, lagi-lagi tanpa fafifu ia menjadi dirinya yang clingy.

“Sangyeon!!”

“hehehehe! sayang, aku belum gajian, tapi di dompetku masih ada uang seratus ribu.. kamu mau jajan apa?”

“ih simpen aja ah, lusa kan kamu baru gajian! nanti selama dua hari kamu gak pegang uang sama sekali, gitu?”

“ih lucu banget marah-marah!” —cup, kecupan kedua.

“simpen aja, aku lagi ga pengen apa-apa.. pengennya kamu doang” jawabku asal.

“eh tapi beneran loh.. walaupun uang di dompetku tinggal sisa lima ribu, aku bakal tetep jajanin kamu!” ucapnya sambil menempelkan hidungnya di pipiku.

“eh tapi beneran lohh kalo aku mau apa-apa aku juga bilang..”

“iyaaa sayaaaang!” yang ketiga kali —cup, “karena ini national boyfriend's day, I'll be super boyfriend until 23:59!”

Aku terkekeh yang otomatis menggetarkan Sangyeon juga.

“kamu wangi ih” lagi-lagi ia memujiku.

“udah ah jangan nempel-nempel, ruang tamu ini malah nanti ganti nama jadi ruang cuddle

“HAHAHAHAHA KAMU IH! yaudah pindah aja ke kamar!”

“SANGYEONNNNN!!!!”

-tamat-


#anti


Selamat pagi sayang disertai dengat emoji hati merah adalah pesan pertama yang akan aku baca di setiap pagi ketika membuka mataku. Awalnya aku mengira bahwa itu adalah hal sepele, namun ketika Sangyeon melewatkannya barang sekali pun akan menjadi janggal bagiku. loh? lupa ngabarin kah?, wifi di rumah Sangyeon putus kali, ya?, apa Sangyeon belum bangun? dan pikiran aneh lainnya. Sebuah foto dirinya bersama sang keponakan menjadi jawaban, dan kurespon dengan gemesnyaaa sedetik kemudian.

Aku bangkit dari tempat tidurku kemudian mendekati meja kerja di kamarku, memperhatikan setiap inchi kotak hadiah yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari di atasnya. Isi dalam kotak itu tak seberapa harganya, tapi aku yakin Sangyeon akan menerimanya dengan segudang kalimat hiperbola.

Seperti hari-hari biasanya, “kamu ganti warna lipstik, ya? cantik banget” yang kurespon dengan gelengan. Kemudian hari berikutnya, “sayang, tadi kan client ku liatin contoh sketsa mata gitu buat produk baru perusahaan... terus aku mikir, gambar matanya cantik, tapi gak secantik mata pacarku” yang membuat tawa kami pecah di ruangan televisi sore itu. Lalu hari setelahnya “gapapa gapapa, aku jatoh dari sepeda doang ih.. cuma lecet lutut dikit! gak akan sesakit kalo ditinggalin kamu!” yang dengan instan membuat tangisanku berubah menjadi kekehan.

Aku kembali teringat pada hari dimana Sangyeon jatuh dari sepeda di acara workshop perusahaan tempatnya bekerja. Sedetik setelah ia memberi tahuku tragedi itu, tanpa pikir panjang aku berlari menemuinya. Kuingat dengan jelas bagaimana malah Sangyeon yang terus-terusan menghiburku dan meyakinkanku bahwa luka yang ia dapat tak parah sama sekali. “utututuuu sayangnya akuuu.. sini sini nangisnya sambil aku peluk” ia dengan wajah merajuknya mengusap rambutku kemudian menarik tubuhku ke atas ranjang klinik kantornya dan memberiku sebuah peluk... “I'm good.. phisically and mentally, kaki aku langsung sembuh karena obatnya dipeluk kamu”.

Sangyeon memang terkenal sebagai pribadi yang pekerja keras, teman-teman kantornya sering kali menunjuknya sebagai ketua team karena hal itu. Ia tegas, berwawasan luas dan disegani. Tentu saja akan menjadi berita besar jika mengetahui bahwa Sangyeon seringkali datang ke rumahku dan merengek, “aku takut.. perkembangan projeknya gak keliatan stabil” ucapnya sambil membenamkan wajahnya di bahuku. Tak jarang juga ia tiba-tiba datang dan menangis setiap kali kesulitan datang padanya... I love him just the way he is, but I love him more if he's being himsef when he with me only. Kemudian rengekan kemanjaan nya akan hilang seketika jika ada suara langkah kaki mendekat, harus jaga image katanya.

Selama bertahun-tahun berpacaran dengannya, bohong jika kubilang bahwa Sangyeon tak pernah membuatku kesal. Kami sering bertengkar karena hal-hal kecil dan kami anggap itu sebagai 'bumbu' dalam hubungan kami. Mulai dari sekadar sate taichan goreng yang tiba-tiba sampai di rumahku melalui perantara driver aplikasi restoran online, kemudian diiringi dengan “kesukaan kamu, makan yaa.. biar ada tenaga buat ngomelin akunya” lewat whatsapp yang kemudian akan menciptakan helaan napas dariku. Kemudian Sangyeon yang membuat video singkat dirinya mengucapkan maaf disertai alasan-alasan kenapa aku harus memaafkannya. Hingga ciuman panas kami berdua di bawah tangga rumahku, setelah ia mengucapkan “serius gamau makan apa-apa? plis deh jangan bad mood di jam makan malem... atau, yaudah makan aku aja” lalu kami memesan sushi setelahnya.

Sangyeon bukan tipe lelaki yang mengucapkan “maaf ya aku cuma pegawai biasa, aku ga punya apa-apa..” tapi dia selalu dengan bangga berkata “aku bakal selalu semangat buat jadi lebih baik”. Terbukti dengan dia yang mengajakku berdagang di online market place. Kami bangun bisnis itu bersama-sama dan hasilnya kami kumpulkan untuk masa depan.

#sekotak susu dan stroberi masam


Selamat pagi sayang disertai dengat emoji hati merah adalah pesan pertama yang akan aku baca di setiap pagi ketika membuka mataku. Awalnya aku mengira bahwa itu adalah hal sepele, namun ketika Sangyeon melewatkannya barang sekali pun akan menjadi janggal bagiku. loh? lupa ngabarin kah?, wifi di rumah Sangyeon putus kali, ya?, apa Sangyeon belum bangun? dan pikiran aneh lainnya. Sebuah foto dirinya bersama sang keponakan menjadi jawaban, dan kurespon dengan gemesnyaaa sedetik kemudian.

Aku bangkit dari tempat tidurku kemudian mendekati meja kerja di kamarku, memperhatikan setiap inchi kotak hadiah yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari di atasnya. Isi dalam kotak itu tak seberapa harganya, tapi aku yakin Sangyeon akan menerimanya dengan segudang kalimat hiperbola.

Seperti hari-hari biasanya, “kamu ganti warna lipstik, ya? cantik banget” yang kurespon dengan gelengan. Kemudian hari berikutnya, “sayang, tadi kan client ku liatin contoh sketsa mata gitu buat produk baru perusahaan... terus aku mikir, gambar matanya cantik, tapi gak secantik mata pacarku” yang membuat tawa kami pecah di ruangan televisi sore itu. Lalu hari setelahnya “gapapa gapapa, aku jatoh dari sepeda doang ih.. cuma lecet lutut dikit! gak akan sesakit kalo ditinggalin kamu!” yang dengan instan membuat tangisanku berubah menjadi kekehan.

Aku kembali teringat pada hari dimana Sangyeon jatuh dari sepeda di acara workshop perusahaan tempatnya bekerja. Sedetik setelah ia memberi tahuku tragedi itu, tanpa pikir panjang aku berlari menemuinya. Kuingat dengan jelas bagaimana malah Sangyeon yang terus-terusan menghiburku dan meyakinkanku bahwa luka yang ia dapat tak parah sama sekali. “utututuuu sayangnya akuuu.. sini sini nangisnya sambil aku peluk” ia dengan wajah merajuknya mengusap rambutku kemudian menarik tubuhku ke atas ranjang klinik kantornya dan memberiku sebuah peluk... “I'm good.. phisically and mentally, kaki aku langsung sembuh karena obatnya dipeluk kamu”.

Sangyeon memang terkenal sebagai pribadi yang pekerja keras, teman-teman kantornya sering kali menunjuknya sebagai ketua team karena hal itu. Ia tegas, berwawasan luas dan disegani. Tentu saja akan menjadi berita besar jika mengetahui bahwa Sangyeon seringkali datang ke rumahku dan merengek, “aku takut.. perkembangan projeknya gak keliatan stabil” ucapnya sambil membenamkan wajahnya di bahuku. Tak jarang juga ia tiba-tiba datang dan menangis setiap kali kesulitan datang padanya... I love him just the way he is, but I love him more if he's being himsef when he with me only. Kemudian rengekan kemanjaan nya akan hilang seketika jika ada suara langkah kaki mendekat, harus jaga image katanya.

Selama bertahun-tahun berpacaran dengannya, bohong jika kubilang bahwa Sangyeon tak pernah membuatku kesal. Kami sering bertengkar karena hal-hal kecil dan kami anggap itu sebagai 'bumbu' dalam hubungan kami. Mulai dari sekadar sate taichan goreng yang tiba-tiba sampai di rumahku melalui perantara driver aplikasi restoran online, kemudian diiringi dengan “kesukaan kamu, makan yaa.. biar ada tenaga buat ngomelin akunya” lewat whatsapp yang kemudian akan menciptakan helaan napas dariku. Kemudian Sangyeon yang membuat video singkat dirinya mengucapkan maaf disertai alasan-alasan kenapa aku harus memaafkannya. Hingga ciuman panas kami berdua di bawah tangga rumahku, setelah ia mengucapkan “serius gamau makan apa-apa? plis deh jangan bad mood di jam makan malem... atau, yaudah makan aku aja” lalu kami memesan sushi setelahnya.

Sangyeon bukan tipe lelaki yang mengucapkan “maaf ya aku cuma pegawai biasa, aku ga punya apa-apa..” tapi dia selalu dengan bangga berkata “aku bakal selalu semangat buat jadi lebih baik”. Terbukti dengan dia yang mengajakku berdagang di online market place. Kami bangun bisnis itu bersama-sama dan hasilnya kami kumpulkan untuk masa depan.

#sekotak susu dan stroberi masam


Selamat pagi sayang disertai dengat emoji hati merah adalah pesan pertama yang akan aku baca di setiap pagi ketika membuka mataku. Awalnya aku mengira itu adalah hal sepele, namun ketika Sangyeon melewatkannya barang sekali pun akan menjadi janggal bagiku. loh? lupa ngabarin kah?, wifi di rumah Sangyeon putus kali, ya?, apa Sangyeon belum bangun? dan pikiran aneh lainnya.

Namun pagi ini, sebuah foto dirinya bersama sang keponakan menjadi jawaban, dan kurespon dengan gemesnyaaa sedetik kemudian.

Aku bangkit dari tempat tidurku kemudian


Warning: cerita ini mengandung keuwuan dan ciuman, yg gakuat gausah lanjut aja ya plis aku memohon hahayyyy


Pukul delapan pagi, Chanhee memencet bel unit apartemen Younghoon berulang kali sambil sesekali melihat penunjuk waktu berwarna pink yang melingkar di tangan kirinya.

Ia dan kekasihnya, Younghoon, sudah memiliki rencana shopping date ke salah satu department store dekat apartemen mereka. Namun, pacarnya yang jangkung itu tidak membalas pesan darinya sejak pukul 6 pagi tadi.

Usahanya memencet bel berkali-kali nihil. Tak ada respon sama sekali..

“KAK AKU UDAH PENCET BEL 17 KALI, AKU MASUK LANGSUNG YAAAA!” teriaknya dari luar.

Younghoon dan Chanhee memang mengetahui kunci sandi apartemen masing-masing, namun mereka berkomitmen untuk tetap meminta izin terlebih dahulu sebelum menggunakan privilege tersebut.

“kak?”

Chanhee melangkah masuk dengan langkah pelan. Tentu saja ruangan pertama yang ia tuju adalah kamar sang kakak.

“Chanhee..”

Younghoon meringis tepat setelah Chanhee membuka pintu kamarnya. Ia masih terbungkus selimut dan wajahnya pucat.

“kamu sakit???” ia bertanya dengan intonasi tinggi, Younghoon mengangguk “kayaknya..”

Yang lebih muda kemudian segera membuka laci meja sebelah ranjang untuk mengambil termometer guna memastikan.

“buka mulutnya, ini emut” ucap Chanhee sambil membantu Younghoon duduk dan bersandar pada headboard diganjal dengan guling agar Younghoon merasa nyaman. Yang lebih tua pun menurut, ia himpit termometer itu di bibirnya.

“ya ampun Younghoon... 38.5°!! kamu begadang ya semalem? makanya demam?!”

“ih akunya sakit malah diomelin..” wajahnya merajuk, ia menatap Chanhee yang masih berdiri di samping ranjang dengan tatapan memelas.

Chanhee terkekeh, “gak gituu ih!”

Younghoon masih tetap menatap Chanhee dengan tatapan yang tadi, ia tak mau mengalah terlebih karena Chanhee selalu sukses dibuat tertawa, yang notabene nya adalah hal favoritnya.

“STOP LIATIN AKU KAYAK GITUU GAK? KIM YOUNGHOON!”

Sekuat tenaga ia menahan tawanya, namun Chanhee yang menggemaskan tetap hal terlucu di dunianya. Tawanya tetap terlepas, tak bisa ia tahan lagi.

“tuhkan kamu mah beneran begadang! kemarin kan aku bilang langsung tidur ajaa.. kamu kemarin udah mulai pusing-pusing terus ga enak tenggorokan, Kak! liat nih ini gara-gara kamu kurang istirahat makanya gini!!!”

Younghoon semakin terkekeh melihat pacar lucunya yang mengomelinya lebih dari Ibunya.

“hehehehe... lucu banget sihhhh”

“Stop cengengesan!!! ih! aku keluar dulu beli bye bye fever!” Chanhee tetap dalam mode serius.

“kamu pikir aku anak kecil apa? masa pake bye bye fever sihhhh?”

“bodo amat aku bakal tetep pergi!”

Chanhee memutar tubuhnya berniat turun ke mini market di lantai dasar apartemen. Tapi iya, dugaan kalian benar.. tak sampai satu meter menjauh dari posisi nya tadi, Younghoon menahannya. Tangan-tangannya yang panjang melingkar sempurna di pinggang Chanhee yang ramping.

“jangan kayak gini dulu deh Younghoon! kamu lagi sakit!”

“kaya gini apa? aku peluk kamu malah bikin sembuh tauuu”

“mulai dehh.. serius dikit!”

“kamu wangi deh sayang, kaya kue pukis”

“YOUNGHOON!!!”

Chanhee berteriak karena Younghoon dengan tenaganya yang tersisa menarik tubuh Chanhee hingga terbaring dalam pelukannya.

“gini dulu sebentar” bisiknya tepat di telinga Chanhee, membuat lelaki taurus itu tergelitik.

“punggung aku jadi panas ih nempel ke badan kamu! udah ah lepas aku mau turun beli obaaaat!” rengek Chanhee.

“enggak!” Younghoon malah semakin mempererat pelukannya.

“Kak! ih! kamu mau aku mati?”

Younghoon tertawa dengan lantang membuat Chanhee yang tak berjarak dengannya meringis.

“aku sayang Chanhee banget. Sedunia cuma sayang Chanhee”

“aku tau!”

“yaudah kalo tau jangan galak galak dong ke akunya!!”

Chanhee menahan tawanya “iyaa.. gak galak nih. Aku turun dulu yaa beli obat demam.. sekarang lepasin pelukannya yaa sayang”

“GAMAUUU!”

Younghoon dengan mudah memutar tubuh Chanhee hingga mereka kini berhadapan. Ia masih memeluk pacar lucunya itu.

“Kak..”

“apa?”

“badan kamu panas tauu.. akunya gerah!”

“tapi adem ke akunya.. kalo peluk kamu setengah jam lagi, ini aku demamnya auto sembuh sayang!”

“Younghoon!”

“Chanhee!” cup

“IH JANGAN CIUM CIUM! UDAH AH AKU TURUN!”

Chanhee dengan sekuat tenaga bangun dan berhasil.

“aaaaa jangan pergii ih Chanhee! mau kaya barusan ajaaa!” lelaki leo itu membujuk pacarnya sambil menendang-nendang kakinya seperti bayi yang lapar.

“ih jangan nendang-nendang! kamu kayak anak kecil sumpah!” Chanhee menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

“aku gak maa-”

belum sempat Younghoon selesai merengek, Chanhee menangkup kedua tangan putih Younghoon dengan kedua tangannya. Sekarang Younghoon tepat berada di bawah Chanhee.

“Kak, kamu pikir aku bisa terus sabar apa?”

Wajah Younghoon memerah. Organ dalam rongga dada kirinya memompa dengan tak karuan, seperti akan terlempar keluar.

“Chanhee..”

yang berada di atas tanpa basa basi meraup bibir yang berada di bawah, membuat si kakak terkejut bukan main hingga matanya terbuka bulat sempurna.

Younghoon menepuk-nepuk kasur dengan tangan yang masih jadi tumpuan tangan Chanhee, memberi isyarat agar Chanhee menghentikan aktivitasnya.

Chanhee membuka matanya perlahan, bibirnya masih menyentuh milik Younghoon.

Younghoon dengan hati-hati melepas genggaman tangan Chanhee dan menjauhkan tubuh ramping itu darinya.

“aku bercanda, Chanhee.. nanti kamunya ketularan sayang”

Chanhee yang masih berada di atas Younghoon tersenyum pada pacarnya “kamu bilang kalo setengah jam lagi kaya gini bakal sembuh?”

“iyaa.. aku bercanda.. aku cuma gamau ditinggalin sendirian. Aku gamau kamu malah ikut sakit!”

“yaudah.. aku bangun nih” Chanhee tak membujuk sama sekali, ia langsung menjauh dari pacarnya dan mencoba bangkit dari posisinya.

“AKU BERCANDA LAGI!”

Younghoon menahan pinggang Chanhee dan memutar tubuhnya hingga ia kini berada di atas tubuh mungil itu.

Younghoon cengengesan, terlebih setelah melihat ekspresi pacarnya yang cemberut.

“apa sih labil banget kaya anak SMP”

“hehehehe” ia mengelus rambut Chanhee kemudian mengecup keningnya sekejap.

“kita ke dokter yuk, Kak?” Chanhee menatap Younghoon yang tepat berada di atasnya, bahkan napas panasnya bisa ia rasakan.

Younghoon tak menggubris, ia kembali menciumi setiap inci wajah Chanhee. Kedua kelopak matanya, kedua pipinya, puncak hidungnya, dagunya, dan bibirnya.

Ia mengecup bibir Chanhee berkali-kali dengan durasi yang hanya satu detik, diselingi dengan saling berbalas senyuman.

“gapapa ciuman sama aku yang lagi panas?” tanya Younghoon setelah ia mencolek hidung Chanhee gemas.

“gapapa.. aku kaya ciuman sama hair dryer

Keduanya tertawa ringan sekejap, kemudian Younghoon kembali mendekatkan wajahnya pada milik Chanhee. Ia menutup kedua matanya dan mulai menyentuh bibir Chanhee dengan bibirnya.

Sentuhan-sentuhan kecil yang bertaut lama-kelamaan semakin intens menjadi lumatan lembut yang didominasi oleh yang lebih tua. Chanhee hanya mengikuti tempo tanpa menginterupsi Younghoon. Ia ingin mencukupi ego pacarnya itu, terlebih Younghoon sedang dalam kondisi sakit. Ia ingin memanjakannya.

Napas keduanya semakin berat. Tangan Younghoon yang hangat menyusup ke dalam balik kemeja denim yang Chanhee kenakan, membuat Chanhee berdeham.

“kenapa?” Younghoon menghentikan aktivitas bibirnya demi memastikan keadaan.

“panas kak!”

Keduanya kembali terkekeh, Younghoon yang merasa tidak enak akhirnya mengecup perlahan bibir Chanhee. Ia menyadari bahwa seharusnya bisa lebih bisa mengontrol nafsu dan ego nya, terlebih Chanhee yang menjadi tak nyaman karenanya.

“udah aja sayang” ia mengusap rambut terang Chanhee kemudian benar-benar bangkit dan meraih hoodie beige dengan sablon '1977' di bagian depannya kemudian ia gunakan.

“terus.. kita mau kemana?” Chanhee yang masih terbaring dengan dada berdebar bertanya dengan hati-hati.

“ke dokter dulu sayang.. kayaknya aku bukan demam doang deh sakitnya”

“lho??? terus kamu sakit apa lagi?!” Chanhee bangkit dengan ekspresi paniknya.

“aku kena Chanheengitis

“APASIHHHHH!!!” lelaki yang lebih muda darinya itu meraih bantal dan melayangkan ke dada pacarnya.

Younghoon kembali tertawa dengan puas.


selesai*

#antiwithlove


Warning: cerita ini mengandung keuwuan dan ciuman, yg gakuat gausah lanjut aja ya plis aku memohon hahayyyy


Pukul delapan pagi, Chanhee memencet bel unit apartemen Younghoon berulang kali sambil sesekali melihat penunjuk waktu berwarna pink yang melingkar di tangan kirinya.

Ia dan kekasihnya, Younghoon, sudah memiliki rencana shopping date ke salah satu department store dekat apartemen mereka. Namun, pacarnya yang jangkung itu tidak membalas pesan darinya sejak pukul 6 pagi tadi.

Usahanya memencet bel berkali-kali nihil. Tak ada respon sama sekali..

“KAK AKU UDAH PENCET BEL 17 KALI, AKU MASUK LANGSUNG YAAAA!” teriaknya dari luar.

Younghoon dan Chanhee memang mengetahui kunci sandi apartemen masing-masing, namun mereka berkomitmen untuk tetap meminta izin terlebih dahulu sebelum menggunakan privilege tersebut.

“kak?”

Chanhee melangkah masuk dengan langkah pelan. Tentu saja ruangan pertama yang ia tuju adalah kamar sang kakak.

“Chanhee..”

Younghoon meringis tepat setelah Chanhee membuka pintu kamarnya. Ia masih terbungkus selimut dan wajahnya pucat.

“kamu sakit???” ia bertanya dengan intonasi tinggi, Younghoon mengangguk “kayaknya..”

Yang lebih muda kemudian segera membuka laci meja sebelah ranjang untuk mengambil termometer guna memastikan.

“buka mulutnya, ini emut” ucap Chanhee sambil membantu Younghoon duduk dan bersandar pada headboard diganjal dengan guling agar Younghoon merasa nyaman. Yang lebih tua pun menurut, ia himpit termometer itu di bibirnya.

“ya ampun Younghoon... 38.5°!! kamu begadang ya semalem? makanya demam?!”

“ih akunya sakit malah diomelin..” wajahnya merajuk, ia menatap Chanhee yang masih berdiri di samping ranjang dengan tatapan memelas.

Chanhee terkekeh, “gak gituu ih!”

Younghoon masih tetap menatap Chanhee dengan tatapan yang tadi, ia tak mau mengalah terlebih karena Chanhee selalu sukses dibuat tertawa, yang notabene nya adalah hal favoritnya.

“STOP LIATIN AKU KAYAK GITUU GAK? KIM YOUNGHOON!”

Sekuat tenaga ia menahan, Chanhee yang menggemaskan tetap hal terlucu di dunianya. Tawanya terlepas.

“tuhkan kamu mah bener begadang! kemarin kan aku bilang langsung tidur ajaa.. kamu kemarin udah mulai pusing-pusing terus ga enak tenggorokan, Kak! liat nih ini gara-gara kamu kurang istirahat makanya gini!!!”

Younghoon semakin terkekeh melihat pacar lucunya yang mengomelinya lebih dari Ibunya.

“hehehehe... lucu banget sihhhh”

“Stop cengengesan!!! ih! aku keluar dulu beli bye bye fever!” Chanhee tetap dalam mode serius.

“kamu pikir aku anak kecil apa? masa pake bye bye fever sihhhh?”

“bodo amat aku bakal tetep pergi!”

Chanhee memutar tubuhnya berniat turun ke mini market di lantai dasar apartemen. Tapi iya, dugaan kalian benar.. tak sampai satu meter menjauh dari posisi nya tadi, Younghoon menahannya. Tangan-tangannya yang panjang melingkar sempurna pada pinggang Chanhee yang ramping.

“jangan kayak gini dulu deh Younghoon! kamu lagi sakit!”

“kaya gini apa? aku peluk kamu malah bikin sembub tauuu”

“mulai dehh.. serius dikit!”

“kamu wangi deh sayang, kaya kue pukis”

“YOUNGHOON!!!”

Chanhee berteriak karena Younghoon dengan tenaganya yang tersisa menarik tubuh Chanhee hingga terbaring dalam pelukannya.

“gini dulu sebentar” bisiknya tepat di telinga Chanhee, membuat lelaki taurus itu tergelitik.

“punggung aku jadi panas ih nempel ke badan kamu! udah ah lepas aku mau turun beli obaaaat!” rengek Chanhee.

“enggak!” Younghoon malah semakin mempererat pelukannya.

“Kak! ih! kamu mau aku mati?”

Younghoon tertawa dengan lantang membuat Chanhee yang tak berjarak dengannya meringis.

“aku sayang Chanhee banget. Sedunia cuma sayang Chanhee”

“aku tau!”

“yaudah kalo tau jangan galak galak dong ke akunya!!”

Chanhee menahan tawanya “iyaa.. gak galak nih. Aku turun dulu yaa beli obat demam.. sekarang lepasin pelukannya yaa sayang”

“GAMAUUU!”

Younghoon dengan mudah memutar tubuh Chanhee hingga mereka kini berhadapan. Ia masih memeluk pacar lucunya itu.

“Kak..”

“apa?”

“badan kamu panas tauu.. akunya gerah!”

“tapi adem ke akunya.. kalo peluk kamu setengah jam lagi, ini aku demamnya auto sembuh sayang!”

“Younghoon!”

“Chanhee!” cup

“IH JANGAN CIUM CIUM! UDAH AH AKU TURUN!”

Chanhee dengan sekuat tenaga bangun dan berhasil.

“aaaaa jangan pergii ih Chanhee! mau kaya barusan ajaaa!” lelaki leo itu membujuk pacarnya sambil menendang-nendang kakinya seperti bayi yang lapar.

“ih jangan nendang-nendang! kamu kayak anak kecil sumpah!” Chanhee menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

“aku gak maa-”

belum sempat Younghoon selesai merengek, Chanhee menangkup kedua tangan putih Younghoon dengan kedua tangannya. Sekarang Younghoon tepat berada di bawah Chanhee.

“Kak, kamu pikir aku bisa terus sabar apa?”

Wajah Younghoon memerah. Organ dalam rongga dada kirinya memompa dengan tak karuan, seperti akan terlempar keluar.

“Chanhee..”

yang berada di atas tanpa basa basi meraup bibir yang berada di bawah, membuat si kakak terkejut bukan main hingga matanya terbuka bulat sempurna.

Younghoon menepuk-nepuk kasur dengan tangan yang masih jadi tumpuan tangan Chanhee, memberi isyarat agar Chanhee menghentikan aktivitasnya.

Chanhee membuka matanya perlahan, bibirnya masih menyentuh milik Younghoon.

Younghoon dengan hati-hati melepas genggaman tangan Chanhee dan menjauhkan tubuh ramping itu darinya.

“aku bercanda, Chanhee.. nanti kamunya ketularan sayang”

Chanhee yang masih berada di atas Younghoon tersenyum pada pacarnya “kamu bilang kalo setengah jam lagi kaya gini bakal sembuh?”

“iyaa.. aku bercanda.. aku cuma gamau ditinggalin sendirian. Aku gamau kamu malah ikut sakit!”

“yaudah.. aku bangun nih” Chanhee tak membujuk sama sekali, ia langsung menjauh dari pacarnya dan mencoba bangkit dari posisinya.

“AKU BERCANDA LAGI!”

Younghoon menahan pinggang Chanhee dan memutar tubuhnya hingga ia kini berada di atas tubuh mungil itu.

Younghoon cengengesan, terlebih setelah melihat ekspresi pacarnya yang cemberut.

“apa sih labil banget kaya anak SMP”

“hehehehe” ia mengelus rambut Chanhee kemudian mengecup keningnya sekejap.

“kita ke dokter yuk, Kak?” Chanhee menatap Younghoon yang tepat berada di atasnya, bahkan napas panasnya bisa ia rasakan.

Younghoon tak menggubris, ia kembali menciumi setiap inci wajah Chanhee. Kedua kelopak matanya, kedua pipinya, puncak hidungnya, dagunya, dan bibirnya.

Ia mengecup bibir Chanhee berkali-kali dengan durasi yang hanya satu detik, diselingi dengan saling berbalas senyuman.

“gapapa ciuman sama aku yang lagi panas?” tanya Younghoon setelah ia mencolek hidung Chanhee gemas.

“gapapa.. aku kaya ciuman sama hair dryer

Keduanya tertawa ringan sekejap, kemudian Younghoon kembali mendekatkan wajahnya pada milik Chanhee. Ia menutup kedua matanya dan mulai menyentuh bibir Chanhee dengan bibirnya.

Sentuhan-sentuhan kecil yang bertaut lama-kelamaan semakin intens menjadi lumatan lembut yang didominasi oleh yang lebih tua. Chanhee hanya mengikuti tempo tanpa menginterupsi Younghoon. Ia ingin mencukupi ego pacarnya itu, terlebih Younghoon sedang dalam kondisi sakit. Ia ingin memanjakannya.

Napas keduanya semakin berat. Tangan Younghoon yang hangat menyusup ke dalam balik kemeja denim yang Chanhee kenakan, membuat Chanhee berdeham.

“kenapa?” Younghoon menghentikan aktivitas bibirnya demi memastikan keadaan.

“panas kak!”

Keduanya kembali terkekeh, Younghoon yang merasa tidak enak akhirnya mengecup perlahan bibir Chanhee. Ia menyadari bahwa seharusnya bisa lebih bisa mengontrol nafsu dan ego nya, terlebih Chanhee yang menjadi tak nyaman karenanya.

“udah aja sayang” ia mengusap rambut terang Chanhee kemudian benar-benar bangkit dan meraih hoodie beige dengan sablon '1977' di bagian depannya kemudian ia gunakan.

“terus.. kita mau kemana?” Chanhee yang masih terbaring dengan dada berdebar bertanya dengan hati-hati.

“ke dokter dulu sayang.. kayaknya aku bukan demam doang deh sakitnya”

“lho??? terus kamu sakit apa lagi?!” Chanhee bangkit dengan ekspresi paniknya.

“aku kena Chanheengitis

“APASIHHHHH!!!” lelaki yang lebih muda darinya itu meraih bantal dan melayangkan ke dada pacarnya.

Younghoon kembali tertawa dengan puas.


selesai*

#antiwithlove

It still feels like a dream, how I ended up here.. at the corner of his room, crying in silence without any lights.

shhhh, you have to stay in here, I'll go out checking” Hyunjae whispering with his deep breath while wiping the tears on my cheeks.

I'm shaking my head, “no, Hyunjae.. please just stay in here! stay with me!”

“I have to go now!” he let go of my hand and standing up regardless my word.

“Hyunjae..”

I kept him from leaving, but still... he walk out of the room and leave me alone here. Now I can't hear anything only my heartbeat after he locked the door from the outside.

I kept mumbling “God.. please save him, I don't need anything else but him” still shaking.


The day I met Hyunjae was the worst day of my entire life.

My hand was pulled by my fiancé, Sangyeon, to get into his car after my wedding dress fitting. -we were forced to marry each other, I didn't love him.. and I can tell that he never loved me as well.

“I don't wanna go back there, Sangyeon.. please don't do this! just let me go!” I begged him while trying to let go of his grip.

“no... I can't!!”

“why???”

“I can't go against my parents.. you are my fiancé, I wont let you go!” he glared at me.

“Sangyeon, listen.. I can't do this anymore. I do not love you, I'll never marrying someone without love..” I said with full of patience, slowly took his hand away..

“look at me..” he said

I ignored him,

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!” ucap gue di anak tangga terakhir sambil membetulkan posisi rambut gue. Namun fokus gue teralihkan oleh Ethan yang berdiri di depan pintu..

Sumpah demi Tuhan, jika gue boleh hiperbolis saat ini.. gue ingin mengatakan bahwa Ethan adalah salah satu wujud kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.

Tubuhnya yang jangkung, lehernya yang jenjang.. dibalut dengan sweater crewneck hitam.. membuat gue gelagapan dan mematung.

“kamu kenapa, Izza? ngelamun?” shit dia menyadari lamunan gue.

Gue menepis semua lamunan dan memutar otak untuk merangkai kalimat.

“hah? oh enggakk.. ini bingung tadi posisi rambut gue agak aneh..” —alasan tak masuk akal.

Ethan mengangguk dua kali, dia tidak memperpanjang lamunan gue tadi.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can't believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan kemudian mengisi perut setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dengan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet manusia juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, dengan posisi tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah stasiun ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Di stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami, penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi.. untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya itu di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada Tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang terkesan terlalu mendramatisir keadaan, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh.. namun faktanya, Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.

Setelah itu, hilang kesadaran.. dan terpejam.


#anti