injunoona

Housemates.


tw || sexual assault

Lampu jalanan malam di London memang gak pernah gagal bikin gue takjub. Gue selalu terbuai dan berimajinasi seolah-olah masuk dunia sihir dan sekolah di Hogwarts, tepok jidat.

Ya lagian apa sih yang bisa diharapkan dari gue?, “kamu itu bisa apa sih?” —kalo kata mami gue.

Jadi siswa di Hogwarts dan punya kekuatan sihir, emang salah satu impian gue. Katakanlah gue gila, delulu, you named it. Semisal impian itu tercapai, gue akan gunakan kemampuan gue dengan bijak. Gue akan pakai mantra 'obliviate' —mantra penghilang ingatan, ke diri gue sendiri.

Biar gue lupa. Lupa jati diri gue, lupa kalo gue gak bahagia.

Supaya gue gak marah melihat orang-orang yang detik ini jalan beriringan di trotoar bareng gue. Orang lain yang bisa tertawa bahagia bareng teman mereka, bareng pasangan mereka, bareng keluarga mereka. Gue marah, gue iri. Karena gue gak punya semua itu.

Hampir setahun pindah ke UK, gue pikir akan bikin gue lupa gimana kacau nya hidup gue di Jakarta. Tapi nyatanya enggak sama sekali.

Raga gue sekarang sedang berjalan dan menapak disini, namun setengah jiwa gue masih ada di tengah hiruk pikuk Jakarta.

“hei asian girl, lemme see your nuts.. I wanna ride you all night!”

“diem deh lu ah gak usah pegang-pegang gue bangsat!”

Bau alkohol menyengat, masuk ke rongga pernapasan gue. Benar aja apa kata Ethan, banyak drunk men di jalanan ini. Ada yang tiduran di trotoar, ada yang kencing sembarangan, dan ada juga yang ganggu pedestrian seperti gue.

“stay away from me!!”

Gue lari, bukan karena gue takut. Tapi karena dia bau banget bangsattt.

“heiii come on girl”

Bajingan itu ngejar gue sambil lari sempoyongan. “hhh, bule problematik”.

Gue memberanikan diri untuk berhenti dan muter balik buat berhadapan sama dia.

“okay okay. what do you want from me, uncle?”

“ayyyy, don't call me like that.. I'm a young man” ucap dia sambil goyangin pinggulnya ke depan-belakang. Such a shitty.

“ewwwww, look at your dick! it's sooo small!!”

“really?” dia nunduk liat kepunyaan dia. Terus menatap gue sambil senyum, matanya teler.

Gue ngangguk, sambil menelan ludah.

Melotot mata gue waktu dia tiba-tiba turunin celananya dan gue 100% bisa liat itunya.

“hahhhaaha, looks like a ten years old boy's dick! so small”

“noopee I have such a big dick”

“hahahahaha”

Gue ketawa di depan muka dia, terus lari lagi. Kali ini gue lari sekuat tenaga gue.

Jarak ke rumah tinggal beberapa puluh meter tapi rasanya seperti ratusan kilo meter.

Bajingan itu sekarang udah gak mengejar gue. Langkah gue sedikit lebih ringan sekarang.

Dari jarak kurang lebih 10 meter, gue bisa lihat Ethan yang berdiri di halaman rumah sambil menunduk melihat ke kamera miliknya. Dia mendongak waktu gue lewat di depan dia, tapi gue sama sekali tidak menyapa. Pengen cepet-cepet sampe ke kamar.

Tangis gue pecah, sedetik setelah gue masuk ke dalam kamar. Bukan, bukan karena hal tidak menyenangkan barusan... Gue hanya merasa sedih, karena sebagian besar orang yang pernah gue temui menganggap gue rendahan.

Gue hanya, merasa gagal luar dan dalam.

Melarikan diri ke UK dengan harapan bisa jadi manusia lebih baik, tapi nyatanya malah semakin gila. Gue seperti dikejar-kejar masalah setiap hari.

Disaat satu masalah sudah bisa gue selesaikan, masalah baru akan dengan sendirinya datang tanpa gue minta.

Gak ada waktu buat gue untuk memperbaiki diri jadi lebih baik. Yang ada hanya gue yang sibuk menyelesaikan masalah tanpa gue tahu apa pelajaran yang bisa gue ambil dari masalah itu.

Worst. My life is the worst.


#anti

Housemates.


Bingung banget, beneran bingung liat jajaran kotak bumbu dapur di depan mata gue sekarang.

“kok sama semua, sih? garem sama gula nya yang mana ini ya...”

Dan jalan pintas yang akhirnya gue ambil adalah... nyomot.

Jidat gue berkedut, asin banget.. “oh, ini garem!!”.

“kamu... ngemil garem, Izza?”

Suara berat yang tiba-tiba muncul di telinga kanan gue, refleks bikin gue tersentak.

“eh monyet monyet” dan kotak garem yang gue pegang akhirnya jatuh.

“eh, sorry sorry Izza... kaget ya? hehe”

“ya menurut lo aja?! menurut lo gue bakal kag-”

Belum selesai gue mengomeli Ethan, gue tiba-tiba gak bisa ngomong. Tertegun.

Penyebab utama nya adalah diri gue yang syok berat sehabis liat Ethan buat pertama kalinya.

Dia itu apa ya..

Ya Tuhan...

Ganteng...

BANGET.

Wajahnya beneran beuhhhh, kayak langsung menusuk hati at the first sight. Terus dia tinggi banget, kulitnya putih.. dan dia juga wangi bayi?? gak tau perasaan gue doang.

“buset.. gue serumah sama penyelamat bumi” —adalah kalimat pertama yang muncul di kepala gue.

nevermind, gue gak kaget-kaget banget kok!”

“terus kenapa kotaknya jatuh?”

“itu.. itu tadi tangan gue licin, Ethan.. hehehe”

“ohh, okay”

Sehabis itu langsung aja gue balik badan terus beresin garem yang berceceran dan lanjutin kegiatan masak omelet yang tadi sempat ke-pause.

Dan Ethan juga lanjutin kegiatan dia yang entah lagi ngapain di belakang gue.

*** Selama 15 menit kita sarapan bareng, gak ada obrolan sama sekali. Diem-dieman doang. Kadang gue curi-curi pandang ke Ethan, buat memastikan kalau yang lagi makan bareng sama gue ini adalah manusia beneran, bukan patung lilin.

“Izza, kamu gak kenal saya?”

“hah?” ini gue bingung konteks dia tuh apa.

“hahaha, nggak nggak! saya duluan ya..” dia berdiri terus jalan ke wastafel buat cuci mangkok bekas sereal nya.

“gue kenal kok sama lo! kan semalem kita kenalan.. hehehehehe”

Ethan gak ngerespon sama sekali. Gue kira dia bakal ketawa karena bercandaan gue barusan, nyatanya memang selera humor gue aja yang kacau gak karuan.

“nih, Izza. Semoga membantu”

Lelaki jangkung itu nyimpen koran cetak di atas mesin cuci. Dan tanpa basa basi lagi, dia naik ke lantai atas buat balik ke kamarnya.

Karena penasaran, gue langsung berdiri dan liat ada apa disana.

“oh.. yaampun..”

Ternyata iklan lowongan kerja.

“Makasih!!!!” gue teriak supaya bisa kedengaran sama Ethan.

“dia baik juga ternyata”

Buru-buru gue beresin semuanya dan prepare buat menjemput rejeki, hahayyy.


#anti

tw // mentioning social issue, religion topics, death


POV : Yoga


Nasi Tumpeng

*** Sepulang mengaji di malam itu, aku berlari menuju rumahku yang jaraknya cukup jauh dari tajuk, karena turun hujan. Saudaraku yang lain sudah lebih dahulu sampai di rumah, karena lari mereka lebih cepat dariku.

“hati-hati, nak! awas licin!”

Teriak Bapak tepat di depan pintu rumah, menunggu sambil memegangi gagang pintu yang sudah longgar dari daunnya. Begitu aku sampai, beliau segera menutup pintunya.

Masuk ke dalam rumah sepetak milik kami, aku lihat kedelapan saudaraku yang lain sedang mengeringkan tubuh mereka menggunakan handuk. Semuanya sudah duduk di meja makan.

Sedangkan si kembar Erik-Sunan yang masih berusia lima tahun dan belum ikut mengaji, hanya bermain dengan tetesan-tetesan air hujan yang menembus atap di beberapa titik rumah kami. Pemandangan yang selalu kulihat setiap kali turun hujan.

“Kak Yoga, kakinya cuci dulu! Itu di sandalnya banyak lumpur!” sahut Juna yang membuatku refleks menunduk melihat kakiku.

“Iyaa!” responku.

Aku tak melepas sandalku, karena rumah kami yang masih beralaskan tanah.

Sandal jepitku yang sudah kupakai setahun ini sebetulnya sudah putus sebulan yang lalu, namun Bapak perbaiki dengan mengaitkannya paku. “Bapak belum punya uang untuk beli sandal baru!”.

“sini duduk, nak!”

Ibu memintaku duduk bersama saudaraku yang lain di meja makan. Meja makan yang Bapak rakit sendiri dari papan tripleks dan kayu yang Bapak kumpulkan dari sisa-sisa pembangunan rumah orang lain. Tentunya beliau sudah mendapat izin.

Ibu membagi rata air yang baru saja beliau didihkan untuk menghangatkan tubuh kami. Dibagi ke dalam tiga belas cangkir séng.

Hanya air bening, bukan teh hijau, bukan juga susu coklat. Kami bisa dengan jelas melihat dasar gelas séng yang sudah menguning itu ketika meminum airnya.

Malam itu kami tidak mengerjakan PR bersama seperti biasanya, karena malam minggu. Bapak bilang malam minggu itu waktu untuk keluarga.

“tadi di sekolah, temen Cani sama Camin ada yang rayakan ulang tahun lho, Bu, Pak!” ucap Cani memulai obrolan.

“terus, terus! kalian dikasih nasi tumpeng?” tanya Kakak tertua, Kak Sangga dengan antusias.

Cani menggelengkan kepalanya.

“lho.. kenapa gitu, dek?” Kak Jaka heran setelah melihat respon Cani.

“Aku sama Cani gak ngasih kado, jadinya kita nggak kebagian!” Camin menjelaskan dengan wajah penuh kekecewaan.

Di keluarga kami, ada dua pasang anak kembar, Cani-Camin dan Sunan-Erik. Mereka berempat adalah penghidup suasana terbaik di rumah kami. Cani-Camin yang selalu bercekcok karena hal-hal kecil, sedangkan Sunan-Erik yang tak pernah kehabisan energi bermain berlarian kesana kemari.

“Camin juga mau rayakan ulang tahun, Pak, Bu!” Camin menatap Bapak dan Ibu dengan penuh harap, matanya sudah berair.

Tiba-tiba menjadi hening, hanya terdengar suara rintik hujan yang menimpa atap rumah dan semilir angin yang menggoyangkan dinding anyaman bambu di sekeliling kami.

“Ulang tahun kalian di tahun ini kan udah kelewat, dek! tahun depan aja! Bapak sama Ibu cari uang dulu” ucapku sambil mengusap lengan Camin yang duduk di sebelahku.

“nanti kakak kasih kado yang keren buat Cani sama Camin, ya?” Hyuda tersenyum ke arah keduanya.

Yang lain pun ikut tersenyum, namun aku bisa dengan jelas melihat di wajah Bapak dan Ibu hanya ada kenelangsaan.


Kebun Jagung

*** Bapak kami adalah seorang buruh tani. Beliau bekerja serabutan dari sawah ke sawah, dari kebun ke kebun, tidak menetap di satu pemilik saja. Bapak hanya diberi upah paling banyak lima puluh ribu per harinya.

Jika bukan musim panen atau musim tanam, Bapak akan bekerja menjadi kuli panggul, menjadi kondektur angkot, atau jika ada acara pesta pernikahan dan sunatan, Bapak akan menawarkan diri menjadi pengangkut piring kotor.

Semuanya Bapak lakukan, demi Istri dan kesebelas anaknya.

Ibu kami pun bukan Ibu yang hanya duduk diam menunggu suaminya pulang membawa pundi-pundi uang. Ibu adalah seorang pekerja keras.

Biasanya Ibu akan menjadi buruh cuci di rumah tetangga kami. Meski bekerja sambil menggendong anaknya, Ibu tak mengeluh.

Selama 18 tahun pernikahan, Ibu sudah melahirkan sebelas anak. Usia kami hanya terpaut satu sampai dua tahun saja. Bisa kamu bayangkan bagaimana lelahnya Ibu kami yang sedang menyusui, namun sudah mengandung lagi?.

Rendahnya pengetahuan tentang program 'keluarga berencana', dan tak ada biaya untuk menemui dokter, Ibu seringkali menyadari kehamilannya di usia 4 atau 5 bulan, ketika perutnya sudah membesar.

Semua anak-anak Ibu dan Bapak, terlahir di rumah gubuk kami. Bapak hanya mampu membayar dukun beranak yang tinggal di lingkungan desa, dan syukurnya kesebelas persalinan berlangsung lancar tanpa kendala yang membuat Ibu dilarikan ke rumah sakit.

*** Di Tengah malam, setelah obrolan nasi tumpeng dan kado ulang tahun, aku terbangun.

Dengan pandangan yang masih buram, aku melihat Ibu dan Bapak duduk di meja makan.

Kulihat ke arah jam dinding yang sudah usang di dekat pintu, pukul 1 pagi.

“maafkan Bapak ya, Bu!”

Aku bisa mendengar Ibu yang terisak.

“Bapak sepertinya gagal ya, Bu?...”

Ibu tak menjawab, beliau masih terisak.

Aku tak bangun, aku pura-pura menutup mataku.

“Biar Bapak cari uang lagi, untuk merayakan ulang tahun, untuk masak nasi tumpeng!”.

“kasihan ya, Pak.... kasihan anak-anak, karena terlahir menjadi anak kita”

“Bu...”

Aku yang saat itu masih berusia 15 tahun, tak tahu harus melakukan apa, selain menangis.

Kedua tanganku membungkam mulutku agar Ibu dan Bapak tak mendengar isakku.

Malam itu adalah salah satu malam yang paling menyakitkan untukku, untuk Ibu dan Bapak juga.

*** Setiap pagi, pukul setengah lima, Ibu dan Bapak selalu membangunkan kami. Untuk mengajak shalat subuh berjamaah.

Kami memiliki kebiasaan yang sama, yaitu duduk sejenak di atas kasur sebelum kemudian bangkit dan mengambil wudhu.

Akan terlihat sangat lucu, bagaimana kami yang tidur di kasur yang sama berjejer mengumpulkan tenaga. Biasanya Ibu dan Bapak akan menertawakan kami karena hal itu. “mirip ikan di pasar, berjejer” kata mereka.

Setelah shalat subuh, seperti kebanyakan kegiatan keluarga di pagi hari.

Ibu menyiapkan sarapan, biasanya kami makan di pagi hari dengan menu ubi kukus, ubi pemberian pemilik kebun belakang rumah kami. Sedangkan Bapak mengajak bermain adik-adik yang masih kecil, diikuti tawa bahagia mereka.

Tak pernah sehari pun kami tidak berkumpul di meja makan, untuk makan bersama, untuk berbincang bersama. Bapak yang selalu memberikan nasihat, Ibu yang selalu menjadi pengingat. Keluarga kami sangat hangat, walau orang-orang selalu menghina kami melarat.

Satu pagi di hari minggu, aku dan semua saudaraku ikut bekerja bersama Bapak di kebun jagung. Ibu juga ikut menemani kami.

Jika anak-anak lain seusia kami melakukan perjalanan liburan bersama keluarga mereka ke pantai, ke taman bermain, ke kebun binatang dan lainnya. Sedangkan kami akan menganggap bekerja bersama Bapak di kebun sebagai rekreasi yang menyenangkan.

Bukan semena-mena, pemilik kebun tentu saja mengizinkan Bapak membawa kami. Asalkan tidak mengacau.

Kak Sangga, Kak Jaka, aku dan Hyuda akan membantu Bapak memanen jagung. Sedangkan yang lain hanya akan bermain berlarian di sekitar kebun, diawasi oleh Ibu dari gubuk panggung di samping kebun.

Suara tawa adik-adikku terdengar seperti penenang di telingaku...

Sunan dan Eric yang berlari dikejar oleh Haksa dalam permainan 'tangkap-kucing', dan ditertawai oleh Cani dan Camin sebagai penonton.

Juna dan Kevin yang membuat pistol-pistolan dari daun jagung, yang dikumpulkan di gubuk panggung kemudian dibawa pulang untuk bermain di lain waktu.

Kebahagiaan yang kami ciptakan sendiri, sederhana namun akan kami kenang dan simpan dalam memori.

“Sesampainya di laut, kukabarkan semuanya.. Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari Tetapi semua diam tetapi semua bisu Tinggal aku sendiri terpaku menatap langit

Barangkali di sana ada jawabnya.. Mengapa di tanahku terjadi bencana?

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita? Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”

Lagu Ebiet G. Ade yang berjudul 'Berita kepada Kawan', dinyanyikan oleh Bapak sambil memetik satu persatu jagung yang kemudian dimasukkan ke dalam karung.

“kalian tahu nak, pesan dari lagu ini luar biasa!”

Kami mulai mendengarkan Bapak dengan seksama.

“kita hidup di bumi, nggak semata-mata hanya hidup, bernapas, makan, tidur...”

“kita juga harus peduli pada sesama.. bukan hanya manusia, namun semua elemen yang ada di bumi. Hewan dan tumbuhan pun juga harus kalian jaga”

“Ingat ya nak, kalian harus tetap hidup sebagai manusia berbudi luhur. Jika kalian diremehkan oleh orang lain.. jangan balas, jangan marah. Biarkan Allah yang lakukan”

”... jadi kalau kalian mau disayangi oleh Allah, ibadahnya jangan terlewat. Shalat dan mengaji harus diingat!”

“Bapak selalu berdoa agar kalian jadi orang yang berguna. Di masa depan, kalian harus lebih bahagia daripada kalian yang sekarang” ucap Bapak sambil mengusap kepala empat anaknya termasuk aku satu persatu.

“Sangga sebagai kakak tertua, harus bisa mengawasi dan menjadi contoh yang baik bagi adik-adikmu!” Bapak mengusap lengan kak Sangga sambil tersenyum.

“Jaka juga.. kamu mulailah berbagi cerita, nak! Ceritakan lah masalah kamu sama kakakmu, sama adikmu. Jangan melulu dipendam sendirian!” Kak Jaka hanya mengangguk-angguk.

“Yoga... Bapak tahu kamu anak yang kuat! menangis itu nggak menandakan kamu lemah, kok!” aku tersenyum lebar memperlihatkan barisan gigiku.

“Hyuda tahun depan sudah masuk SMA, sudah harus bisa bedakan mana yang baik dan yang gak baik ya, nak?”.

Wejangan-wejangan seperti ini rutin Bapak berikan pada kami, untuk mengajarkan makna kehidupan. Agar menjadi penguat bagi pilar-pilar diri kami, yang belum sepenuhnya kokoh menopang beban.

*** Matahari sudah mulai meredup, suhu udara mulai menurun, tanda hari akan segera berakhir.

Tujuh buah jagung kami bakar di gubuk panggung, sebagai penutup 'rekreasi' hari ini. Tujuh buah jagung yang Bapak potong masing-masingnya menjadi dua bagian, agar semua terbagi rata.

Kami semua berbincang sambil tertawa dengan wajah kami yang sudah kusam dan berkeringat. Menyantap makanan kami, yaitu jagung bakar.

“Bapak... Haksa masih mau jagungnya lagi..” Haksa yang memiliki 'perut elastis' di keluarga kami, merengek dengan wajah yang memelas.

Kak Sangga menyodorkan sisa jagung miliknya pada Haksa, begitu pun kak Jaka dan aku. Yang akhirnya ditertawakan oleh semua, karena Haksa yang dengan bahagia mengambil ketiga jagung yang disodorkan padanya.

“makan ini, nak! masih ada sisa satu! kembalikan lagi jagung punya kakakmu” kata Bapak sambil menghampiri Haksa dan memberinya jagung.

“yang lain nggak apa-apa kalau Haksa makan dua?” Bapak bertanya dengan hati-hati dan kami semua menyetujui dengan senang hati.


Bukan ingin kami terlahir miskin

*** Wajah Ibu dan Bapak pucat di malam itu. Sudah pukul 11, namun Kevin dan Kak Jaka belum kunjung pulang.

Sepulang mengaji, kami pikir mereka berdua menonton televisi di rumah Pak Gani seperti biasanya. Namun ketika Bapak bertanya kepada Pak Gani, beliau bilang tidak melihat Kevin dan Kak Jaka.

Kepanikan bertambah lagi setelah mendengar kabar dari ketua RT kami, bahwa ada tanah yang longsor di desa sebelah. Pikiran kami kalut dan membayangkan skenario terburuk.

Bapak bergegas mengenakan jaketnya dan pergi bersama Kak Sangga untuk mencari Kevin dan Kak Jaka.

Adik-adikku yang lain sudah tertidur saat itu.

“Duduk, Bu! jangan mondar-mandir begitu.. nanti Ibu capek..”

“Yoga.. Kevin dan Jaka pasti baik-baik aja kan, nak?” raut kegelisahannya masih jelas terlihat.

“iya Bu, sekarang Ibu duduk, ya?”

Ibu akhirnya duduk di sebelahku. Di bangku kayu yang disimpan di depan rumah.

Malam itu sangat hening. Suara jangkrik dari kebun dan sawah terdengar sangat jelas. Pun suara detak jantung Ibu, aku bisa mendengarnya.

Kevin dan Kak Jaka, keduanya sangat menyukai pertunjukkan. Film, musik, teater, tari, dan semua hal tentang seni itu.

Kevin bahkan sering ikut menonton di rumah tetangga yang memiliki televisi. Menonton dari sela-sela jendela atau pintu yang terbuka.

Kemudian Kak Jaka, yang diam-diam mempelajari gitar di sekolah, dengan mengandalkan pengajar ekstrakurikuler nya.

Setelah beberapa saat, jam dinding menunjukkan pukul dua belas. Dari kejauhan, kulihat dua orang berjalan mendekat. Semakin mendekat, semakin jelas bahwa itu Kevin dan Kak Jaka.

“kalian dari mana saja, nak?” Ibu refleks berlari menghampiri mereka.

Mereka terdiam dan saling melirik.

“itu Bu... anu... tadi aku dan Kevin nonton acara wayang kulit di kantor kecamatan” Kak Jaka menjawab sambil menunduk. Kevin pun sama, menunduk dengan penuh rasa bersalah.

“Ya Allah... kalian tahu gimana khawatirnya Ibu, Bapak dan adik kakak kalian? kenapa nggak minta izin dulu?”

“takut Ibu dan Bapak marah” kali ini Kevin yang menjawab, namun masih menunduk.

“biasanya kalian nonton di rumah Pak Gani, bukannya acara nya tayang di TVRI?” aku bertanya untuk menghilangkan rasa penasaran.

Kak Jaka pelan-pelan mengangkat wajahnya, melihat ke arahku, menatap mataku.

“kami.... diusir” kemudian Kak Jaka menunduk lagi.

“Pak Gani bilang, orang miskin kayak kita mana tahu mahalnya tagihan listrik karena televisi” Kevin yang saat itu masih berusia sebelas tahun, membuka suara.

Ibu tersentak tepat setelah Kevin selesai bicara.

“ya sudah... kalian masuk! udah malem, ayo tidur”

Aku bisa dengan jelas membaca, bagaimana perasaan Ibu saat itu. Hatinya pasti hancur, namun Ibu berusaha untuk selalu terlihat baik-baik saja.

*** “Ibu Darmawan, saya kan sudah bilang kalau utang Ibu ke warung saya udah banyak. masa mau ngutang lagi?”

“tolong satu kali lagi aja, Bu! anak saya Camin lagi demam tinggi.. saya harus kasih dia nasi sama lauk yang bernutrisi, supaya bisa cepet sehat lagi”

“makanya kerja supaya dapet duit!” ucap pemilik warung sembako, tanpa memikirkan perasaan Ibu.

Aku menyaksikannya sendiri, melihat dari kejauhan. Menggenggam tali tas ranselku kuat-kuat, menahan amarahku.

Yang kulakukan saat itu hanya... menangis. Aku menunduk berdiam diri di tempat. Menatap celana abu-abu yang sudah lusuh, meneteskan air mata ke atas sepatu kanvas hitam yang sudah banyak robekkan.

Aku sangat marah, namun tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanyalah siswa kelas satu SMA kala itu.

*** “Bu Darmawan, anakmu si Hyuda pukul anakku tadi di sekolah! kasih pelajaran dong anakmu... makanya punya anak jangan kebanyakan, jadi gak terdidik, kan?” bentak Ibunya Soni, teman sekelas Juna. Soni yang ayahnya merupakan seorang juragan tanah dan tersohor paling kaya di desa kami.

Saat Ibu menanyakan kebenarannya pada Hyuda dan Juna, ternyata benar saja...

“tadi Juna dipukul sama Soni. makanya aku pukul Soni, Bu!” Pengakuan Hyuda.

“Betul itu, Juna?”

“I.. Iya, Bu”

“kenapa Soni pukul kamu?”

“tadi Juna mau pinjem kalkulator punya Soni.. tapi Soni bilang tangan Juna kotor, tangan orang miskin... dan tangan Juna dipukul..”

“Hyuda marah, Bu! Hyuda gak suka adik Hyuda dihina dan dipukul!” Hyuda membuka suara lagi.

Ibu menghela napasnya kasar. Lagi-lagi, atas dasar status ekonomi, keluarga kami dihina dan dicaci maki.

“Hyuda minta maaf ya, Bu?”

Ibu tak menjawab, beliau hanya memeluk Juna dan Hyuda kemudian menangis. Membuat kedua anak yang berada di pelukannya keheranan.

*** “Assalamualaikum! Ibu, Kak Yoga, Kak Camin, aku pulang!!!” Haksa berteriak ketika mulai melangkah memasuki rumah.

Hari itu aku sedang libur sekolah karena kepentingan rapat para guru, sedangkan Camin tidak masuk sekolah karena sakit.

Waalaikumsalam” responku dan Ibu serempak.

“itu kamu lagi makan apa, Hak?” tanyaku yang fokus memperhatikan plastik di genggaman Haksa, yang entah apa isinya.

“ini batagor, Kak Yoga! mau?”

“engga.. tapi kamu dapat batagor dari mana? kamu kan gak dikasih bekal uang sama Ibu?”

“tadi diberi temanku, Kak”

“teman yang mana?”

“temanku yang rumahnya di samping mesjid itu, Kak!”

Aku mengangguk, memahami setiap kata yang keluar dari Haksa. Ia masih sangat lucu kala itu, masih kelas satu.

“tadi dia kenyang, jadi diberikan ke Haksa”

“kamu.... makan bekas dia?”

Ia mengangguk, dan tetap fokus mengunyah. Terlihat sangat bahagia.

“Haksa senang bisa makan batagor”

“Haksa...”

Aku menoleh ke arah Ibu, beliau sedang mengompres kening Camin yang tidur, dan Ibu pun menoleh ke arahku.

“nak, jadi kamu makan sisa punya temanmu?” Ibu bertanya dengan hati-hati.

“Iya, Bu! memangnya kenapa?”

ndak apa-apa, habiskan saja”

Kuperhatikan Ibu yang menunduk, mengusap kepala Camin sambil sesekali menghapus air mata di pipinya yang mulai keriput.

*** bugh bugh bugh

“Pak Darmawan!! buka pintunya!!!”

Kami yang berada di dalam rumah serempak menoleh ke arah pintu yang dipukul dengan keras itu, bertanya-tanya apa yang terjadi.

“Pak Darmawan, anakmu si Sangga mengacau di toko saya itu!!”

Ia berteriak tepat di depan wajah Bapak, padahal pintu baru saja dibuka. Dia adalah Bang Tori, pemilik toko beras di desa kami.

“Sangga? anak saya tadi pamit kerja kelompok di rumah temannya, Bang!”

“bohong anakmu! dia sedari pagi jadi kuli panggul di toko saya, Pak!”

Bapak membeku, beliau tak membalas ucapan Bang Tori.

“tadi anakmu tumpahkan beras di tokoku! gimana itu ganti lah!!”

“Iya maaf, Bang! biar saya ganti seharga berasnya”

Bang Tori dengan tidak basa-basi berlalu pergi, berdecak di depan Bapak, tanpa peduli sopan santun dan norma.

Malamnya, Kak Sangga datang pada Bapak dengan wajah lesu, tangannya menggenggam uang dua puluh ribu.

“untuk Bapak, untuk biaya Camin ke dokter”

Bapak tak menggubris, masih ingin mendengar lebih dari Kak Sangga.

“aku minta maaf ya, Pak..”

“minta maaf untuk apa?”

“karena bohong.. Sangga cuma mau bantu Bapak dan Ibu... Camin udah dua minggu sakit, dia harus dibawa ke dokter, Pak!”

“Bapak minta maaf”

Kak Sangga mengernyitkan dahinya, ia heran.

“Bapak nggak perlu minta maaf! kan aku yang salah, Pak!”

“Bapak hanya ingin minta maaf..”

*** Ada pemadaman listrik di desa sehabis magrib waktu itu. Kami memilih keluar dari rumah untuk mendapatkan pencahayaan dari obor yang dinyalakan oleh Kak Sangga dan Kak Jaka.

Sedangkan Ibu tetap di dalam, menemani Camin yang tidur.

“DORR DORR!!”

Erik mengarahkan sapu lidi yang digunakan untuk menyapu kasur ke arahku, berimajinasi seolah itu pistol yang besar.

“AAAAAA” aku menjatuhkan tubuhku ke tanah, berlakon menjadi korban tembakan.

“awas kak, Sunan punya pedang!!!!” kali ini Sunan yang menodongkan sutil kayu ke arahku, sutil yang ia sebut pedang.

“kakak cape, dek!” aku bangkit dan kemudian duduk di bangku depan rumah.

“Kak Yoga, waktu kecil pernah main ke pasar malam? naik kuda berputar?”

“Erik kenapa tahu pasar malam?”

“Kak Cani bilang mau ajak aku dan Sunan ke pasar malam, naik kuda berputar”

Aku tersenyum lalu mengusap surainya yang berwarna kemerahan karena sering terbakar matahari, kemudian membersihkan cairan yang keluar dari lubang hidung kecilnya.

“Kak Yoga belum pernah..”

“nanti ikut aja sama aku dan Erik, Kak!” kali ini Sunan yang mendekat dengan senyum cerahnya.

“Iya..”

Mereka berlari menjauh dan saling kejar, melanjutkan kegiatan perangnya. Dan aki menjadi penonton sambil sesekali tertawa karena tingkah mereka berdua.

“Yoga, sudah wudhu? sebentar lagi isya

Entah sejak kapan Bapak berdiri di depanku sambil membawa cangkul di bahunya.

“belum, Pak! barusan keburu mati listrik, terus main sama Sunan Erik”

“ya sudah ambil wudhu dulu, habis itu kita ke masjid!”

“mereka lucu ya, Pak? main pakai properti seadanya”

Aku terkekeh, Bapak juga.

“maksud kamu seadanya gimana?”

“iya itu, mereka main tembak-tembakkan pakai sapu dan sutil.. sedangkan anak lain bakal merengek-rengek minta pistol mainan yang mahal ke orang tua”

“kan menyesuaikan, nak”

“orang kaya hidupnya pasti senang dan mudah ya, Pak?” aku bertanya tanpa pikir panjang”

“kamu betul.. tapi tidak semua orang kaya punya yang kita punya” Bapak duduk disampingku, menjelaskan sambil berhati-hati.

“Maksud Bapak?”

“tak apa jadi orang miskin harta. Setidaknya kamu masih punya Bapak, Ibu dan kesepuluh saudaramu! cinta kita yang kaya, nak!”


Bagian dari kami yang hilang

*** Cani tak melepas pelukannya dari Camin sejak siang tadi. Ia terus saja mengusap wajah saudara kembarnya sambil berkata “ayo sembuh, ayo bangun”.

Anggota keluarga kami, yang sudah 3 bulan terbaring di tempat tidur itu beberapa hari ini napasnya semakin tersedak. Kami tak tahu sakit apa yang ia derita, karena tak pernah membawanya berobat ke tempat yang layak. Lagi-lagi terkendala oleh biaya.

Klinik di desa kami tak memiliki fasilitas dan sumber daya manusia yang memadai untuk membantu mengobatinya. Camin hanya didiagnosa 'flu' waktu terakhir kami membawanya kesana sebulan yang lalu.

Sejak kemarin, Camin sama sekali tidak membuka matanya. Ia hanya terbaring lemas, napasnya tidak beraturan.

Bapak sejak kemarin berkeliling meminta bantuan, berharap ada yang akan meminjamkannya uang untuk biaya pengobatan. Walaupun Bapak sudah tahu, tak akan ada yang mau membantu.

Tersisa kami di rumah berkumpul, berdoa untuk kesembuhan Camin.

Aku tak kuasa menahan air mataku. Kali ini mengalir sangat deras, seperti air terjun di kala hujan lebat.

Tak henti-hentinya kupanjatkan doa pada sang maha kuasa. “Ya Allah, untuk kali ini.. aku mohon... tolong..”

*** Waktu menunjukkan pukul 8 malam, kami masih gelisah karena Bapak tak kunjung pulang membawa segenggam harapan. Apakah ada orang berhati baik yang menolong kami?... Tidak, tidak ada.

“Ibu.... udah gak ada..”

Suara Cani memecah hening, menjadi menyesakkan. Ia yang sedari tadi memeluknya, merasakan setiap deru napasnya, menyadari bahwa kini sudah tak ada hembusannya lagi.

“Ibu... Camin..”

Suaranya menjadi semakin lemas, ia bangkit, menjauh dari saudara kembarnya yang sudah tak bernapas, sudah tak bernyawa, tinggal tersisa raga.

Tubuh adikku yang terkulai lemas dibawa ke pangkuan Ibu. Beliau belai wajahnya yang pucat itu sambil menangis.

“maafkan Ibu ya sayang, maafkan Ibu”

Tak lama, Bapak datang. Langkahnya lunglai, seperti sudah tahu apa yang terjadi. Bapak berlutut di hadapan Camin yang masih berada dipangkuan Ibu. Beliau menciumi wajahnya, mengusap surainya, kemudian meletakkan pergelangan tangannya ke atas perutnya. Bapak tak menangis, Bapak hanya menatap putranya yang berusia sembilan tahun itu dengan tatapan penuh penyesalan.

Tubuh Camin yang kurus kering diangkat oleh Bapak ke atas kasur, kemudian beliau tutup menggunakan selimut hingga ujung kepalanya.

“innalillahi wa inna ilaihi raji'un”

Ucap Bapak yang kemudian diikuti oleh tangisan dari kami.

Aku sangat membenci hari itu. Aku benci melihat Ibu menangis, benci melihat Bapak yang merasa bersalah, benci melihat Cani yang linglung tak berekspresi. Aku Benci.

*** Hari-hari berikutnya, rumah kami terasa sangat hampa. Kami tak saling bercerita dan menyapa, karena masih dalam suasana berduka.

“udah shalat ashar?” tanyaku pada Cani yang duduk sendirian di luar rumah.

“udah”

“berdoa?”

Ia mengangguk, “berdoa setiap hari... untuk Camin”

Aku tersenyum, namun Cani tetap tak menunjukkan ekspresi apapun semenjak hari itu.

“Camin pasti senang disana, karena Cani berdoa buat dia setiap hari”

Ia tetap diam, tatapannya kosong.

“Cani mau dipeluk?”

Perlahan ia menoleh ke arahku, dengan ragu ia mengangguk kemudian menjatuhkan dirinya dipelukanku.

Tak kusangka, ia menangis.

Menangis sejadi-jadinya, seolah-olah semua air dari kelenjar air matanya dikeluarkan.

“Camin bilang, dia mau hadiah gitar kalau ulang tahun, supaya bisa belajar sama Kak Jaka”

“Camin bilang Kak Hyuda akan belikan, karena Kak Hyuda udah janji”

“Camin bilang, dia mau main ke pasar malam di hari ulang tahun”

“Dia juga bilang kalau Sunan dan Erik harus diajak”

“Camin bilang, nasi tumpengnya mau dia hias sendiri.. dan harus besar, supaya Kak Haksa bisa makan sampai kenyang!”

Ku eratkan pelukanku padanya, aku biarkan dia melepaskan semua rasa sakit yang ia tahan selama ini.

Menyakitkan. Harapan-harapan sederhana yang adikku bangun... tak akan pernah tercapai, karena maut lebih dahulu menjemputnya.

Aku sempat membenci takdir, aku sempat membenci Tuhan, tapi Bapak selalu mengingatkanku untuk senantiasa beristighfar.


Terbiasa karena waktu

*** Berhari-hari tanpa Camin, kami terkadang masih memanggil namanya di rumah, terutama Cani.

Berminggu-minggu tanpa Camin, Ibu masih belum terbiasa. Beliau masih menyiapkan 13 potong ubi untuk sarapan kami.

Berbulan-bulan tanpa Camin, bantal yang berjejer di atas kasur menjadi 12 buah. Gelas séng di atas meja juga ada 12 buah.

Berbulan-bulan tanpa Camin, Cani merayakan ulang tahun nya sendirian. Walau dengan nasi tumpeng dan kado ulang tahun, Cani tidak terlihat bahagia.

Berbulan-bulan tanpa Camin, namanya sudah tidak tercantum lagi di daftar absensi sekolah.

Berbulan-bulan tanpa Camin, kami perlahan mulai bisa tertawa pada lelucon-lelucon kecil yang kami ciptakan sendiri.

Bertahun-tahun tanpa Camin, kami akhirnya terbiasa.

Akhirnya kami menerima takdir, akhirnya kami bisa berdamai dengan segalanya.

*** Kak Sangga bekerja ke luar kota setelah lulus SMA, demi memperbaiki ekonomi keluarga.

Perlahan-lahan, kami mulai bangkit. Kak Sangga dapat membantu Ibu dan Bapak secara finansial, hingga kami dapat hidup layak.

Setelah Kak Jaka dan aku lulus SMA, kami pun bekerja di luar kota, sama seperti Kak Sangga.

Semakin meningkat perekonomian, kami perlahan merenovasi rumah gubuk kami agar menjadi lebih layak. Membahagiakan Bapak dan Ibu, dan mengangkat derajat mereka.

Semuanya kami lakukan, demi membahagiakan manusia-manusia yang paling berharga bagi kami.


Roda berputar

*** Lima belas tahun setelah kepergian Camin, bumi masih berputar.

Kak Sangga kini sibuk menjadi pimpinan pondok pesantren kecil yang ia bangun sendiri, membawa Bapak dan Ibu tinggal disana bersamanya.

Kak Jaka membuka bisnis sewa alat musik untuk acara pernikahan.

Aku dan Hyuda menjadi karyawan biasa di perseroan terbatas. Kami menetap di perkotaan dan sangat jauh dari rumah.

Juna berhasil menjadi seorang PNS yang ditugaskan di luar pulau.

Kevin bekerja sebagai komposer di perusahaan entertainment. Dam Cani sebagai designer di salah satu perusahaan sepatu Ibu kota.

Sedangkan Haksa, Sunan dan Erik masih berstatus sebagai mahasiswa.

Rumah kami ditempati oleh Kak Jaka, karena ia masih bekerja di sekitaran desa.

Kami akan berkumpul dua kali dalam setahun. Di hari raya idul fitri, dan di hari ulang tahun Cani Camin.

Sekarang, jika kami berkumpul, akan banyak makanan lezat yang dulu tak mampu kami beli. Rasa syukur ku tak pernah henti karena hal itu.

Senyum di wajah keluargaku adalah obat terampuh untuk melepas segala penat yang menumpuk akibat pekerjaanku. Aku sangat mencintai mereka.


Hilang, tinggal kenangan

*** Sudah nyaris satu tahun, sejak petugas pembangunan jalan tol datang mengetuk pintu rumah Kami. Kebetulan saat itu kami sedang berkumpul untuk merayakan hari ulang tahun Cani Camin.

“rumah dan tanah ini akan kami beli, demi pembangunan negara”

Bertambah lagi, hari yang kubenci. Aku juga membenci hari itu. Dimana kami saling bercekcok karena pro kontra. Aku sama sekali tidak mau menyerahkan rumah kami kepada siapa pun. Rumah ini harus tetap menjadi milik kami.

Namun sekuat apapun aku menahan, nyatanya semua saudaraku bahkan Bapak dan Ibu menyetujui itu. Mereka semua menandatangani surat persetujuan untuk merobohkan rumah.

*** Dengan langkah yang berat, aku masuk ke dalam rumah. Ku tarik napas dalam-dalam, merasakan setiap oksigen yang kuhirup.

“bau nya tetap sama, ini rumah”

Aku berkeliling, menelusuri setiap inci dari rumah ini. Rumah yang menjadi saksi pahitnya kehidupan keluargaku, rumah dimana kami saling menyayangi.

Foto-foto yang berjejer rapi di dinding, membuat air mataku jatuh.

Foto ketika Kak Sangga mulai membuka pesantren, foto Kak Jaka dengan satu set alat musik pertamanya, dan foto kami semua sesuai kegiatan kami masing-masing. Tak lupa juga foto keluarga di saat Juna wisuda sarjana, semuanya tertata rapi. Tapi tak ada foto Camin disana.

“kamu kenapa? nangis?”

Entah sejak kapan Kak Jaka duduk manis di ruang tamu sambil memegang teh kotak di tangan kanannya.

Aku cepat-cepat mengusap air mataku.

“kapan nyampe?” tanyaku.

“barusan”

Aku hanya mangut-mangut.

“mana berkas yang harus aku tanda tangan?”

“Yoga... kamu serius?”

“aku serius!” helaan napasku menjeda dialog, “betul apa kata Kak Sangga, pembangunan negeri ini juga penting! lagi pula, semua kenangan, semua memori tentang keluarga kita, tentang Camin akan tetap tersimpan disini!”

Aku menunjuk dadaku, meyakinkan Kak Jaka bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja.

Ia menepuk lenganku kemudian mengambil berkas yang perlu di tanda tangani.

Aku yakin.. kemana pun nanti kami pulang, jika kami tetap bersama, namanya tetap rumah.

“Camin, mungkin ini hari terakhir kita ada disini sebagai pemilik rumah. Tapi percaya ya, dek.. kita gak meninggalkan kamu, kita gak akan melupakan kamu bersamaan dengan runtuhnya rumah ini. Kamu akan selamanya kami cintai!”

Dan Camin kecil tersenyum padaku di sudut ruangan dekat aquarium, melambaikan tangannya, kemudian perlahan menghilang.

end


#anti

two sides of jeremy


POV : Syahla

“Ala!”

“La, Ala!”

“Ala bestie!”

Dulu sih dia masih kikuk dan memanggilku 'Syahla' lalu dilanjutkan dengan obrolan-obrolan canggung setelahnya.

Seiring dengan meningkatnya intensitas dialog kami, pertemuan kami, serta topik obrolan yang semakin hari semakin klop, ia mulai bisa berbicara santai dan apa adanya. Sekarang Jeremy bisa mengajakku berbicara panjang lebar tanpa membuatku risih sama sekali. Ia pun bisa membuatku melihat sisi lain dari dirinya.

Wajahnya yang selalu memerah setiap kali salah tingkah, matanya yang tidak bisa bertahan lama ketika bertemu dengan milikku, Jeremy yang selalu penuh tanya, Jeremy yang selalu terbuka dan menceritakan banyak hal tanpa diminta, seperti

“Ala, kenapa ya gue dikira anak nakal terus? gue cape”

“Please bilangin Syahril, gue mau dijelasin tugas yang tadi, gak paham. please please :(”

“Ala, lagi ngapain? mau milk tea boba?”

“Ala, gue masih mau ngobrol sama lo sampe ketiduran, tapi gue gak tau harus bahas apa.. Main game monopoli aja, yuk?”

“La, pusing banget tetangga gue motong keramik dari pagi”

“Ala jangan marah ke gue, ya? gue gak akan kuat kalo lo musuhin”

Itu hanya 1% TMI darinya. Jujur saja, semakin hari aku semakin ingin mendengar lebih banyak cerita. Semuanya. Bahkan hal kecil yang sama sekali tak penting pun aku mau tahu, asal itu bersumber dari Jeremy.

Aku sekarang semakin mengenal Jeremy. Remaja yang selalu berani membela teman-temannya, putra yang sangat mencintai Ibunya and a kind soul yang selalu menempatkan orang lain terlebih dulu dibandingkan dirinya sendiri. Ya, aku mengenalnya.

Namun, terkadang aku dipenuhi tanda tanya karena dia.

“Om, aku pulang yaa.. mommy udah nyuruh pulang dari tadi”

“gue gak bisa deh kayaknya, La! lo bisa kan sama Syahril aja berdua? next time deh gue ikut!”

“La, gue dipanggil ke BK lagi.. gue harus gimana sekarang?”

“Gue mau nangis tapi gue gak bisa.. gue mau dipeluk lo lagi, boleh?”

Banyak pula hal tentang dirinya yang tak aku ketahui. Ia bisa tiba-tiba muncul tanpa basa basi lalu kemudian pergi tanpa permisi, seperti ada sesuatu yang selalu ia tutupi.

Setelah enam bulan mengenal Jeremy, aku sepertinya mulai jatuh hati padanya.

Tidak, tidak perlu menunggu selama itu untuk menjatuhkan hatiku kepada dia. Sejak ia mulai menaruh perhatian padaku dulu, bahkan ketika ia bertingkah seolah akan menjadi makcomblang antara aku dan Hitto, aku sudah mulai memperhatikan setiap gerak geriknya.

Di malam pentas seni, saat ia tiba-tiba datang entah dari mana untuk menenangkanku dengan pelukan. Di hari-hari berikutnya, dia yang selalu menunjukkan perhatiannya, dia yang menjadi teman untuk Syahril dan Ayah. Aku semakin jatuh, dan luluh.

Tentang Jeremy yang ternyata lebih dahulu menyukaiku, aku sudah tahu. Tapi dulu aku pura-pura tidak mau tahu. Aku terlalu takut untuk mulai membuka diri lagi.

Ajaibnya... seperti air mengalir, seperti tanpa berusaha, hanya dengan menjadi diri Jeremy yang apa adanya, dia mampu membuatku bahkan menyukainya lebih dari dia menyukaiku. Harus kalian garis bawahi, rasa suka milkku harus lebih besar dari pada Jeremy, aku maksa.

Jujur, setiap hari aku menunggu. Menunggu kapan Jeremy akan mengajakku berkomitmen sebagai sepasang kekasih yang berpacaran, dan akhirnya hari itu tiba.

“lo mau gak, kalo pacaran?”

Kalimat itu spontan membuat mataku melotot, dan kulihat Jeremy pun sama. Ia sama kagetnya denganku.

Ia berlari terbirit-birit tepat setelah aku yang mengucapkan “gue gamau pacaran, kalo bukan sama lo”. Mulai detik itu aku yakin, aku dan Jeremy akan menjadi 'kami' dalam waktu dekat.


Langkahku menjadi setengah berlari kembali menuju villa, setelah notifikasi yang berisikan kalimat hujatan bertubi-tubi masuk ke ponselku. Bukan itu sebab utamanya.

Sebabnya tetap Jeremy.

Jeremy yang tanpa aba-aba mengenalkanku sebagai pacar di twitternya. Aku... senang?. Akhirnya mendapatkan validasi, akhirnya aku dan Jeremy menjadi kami.

*** “La? kenapa ngos-ngosan banget?”

Jeremy bangkit dari duduknya di kursi rotan yang ada di halaman villa, ia menghampiriku.

“gue ambilin minum dulu ya”

“ngga usah, Jer!”

“ya udah, duduk sini duduk” Ia menarik pergelangan tanganku dengan hati-hati.

“Jer”

“hmm?”

“jadi sekarang kita pacaran nih, Jer?”

Jeremy tak bersuara, ia hanya tersenyum kemudian mengangguk.

“boleh peluk gak?”

“Ala?!”

“hahaha bercandaaa, kok muka lo jadi merah gituuu”

“ya gue maluuuu”

“Jer, coba deh kita mulai..”

“apa?”

“coba panggilnya pake aku-kamu”

Jeremy semakin bergetar.

“Jer, aku sayang kamu”

“ALA STOPPPP!!!!!”


#anti

two sides of jeremy


POV : Syahla

“Ala!”

“La, Ala!”

“Ala bestie!”

Dulu sih dia masih kikuk dan memanggilku 'Syahla' lalu dilanjutkan dengan obrolan-obrolan canggung setelahnya.

Seiring dengan meningkatnya intensitas dialog kami, pertemuan kami, serta topik obrolan yang semakin hari semakin klop, ia mulai bisa berbicara santai dan apa adanya. Sekarang Jeremy bisa mengajakku berbicara panjang lebar tanpa membuatku risih sama sekali. Ia pun bisa membuatku melihat sisi lain dari dirinya.

Wajahnya yang selalu memerah setiap kali salah tingkah, matanya yang tidak bisa bertahan lama ketika bertemu dengan milikku, Jeremy yang selalu penuh tanya, Jeremy yang selalu terbuka dan menceritakan banyak hal tanpa diminta, seperti

“Ala, kenapa ya gue dikira anak nakal terus? gue cape”

“Please bilangin Syahril, gue mau dijelasin tugas yang tadi, gak paham. please please :(”

“Ala, lagi ngapain? mau milk tea boba?”

“Ala, gue masih mau ngobrol sama lo sampe ketiduran, tapi gue gak tau harus bahas apa.. Main game monopoli aja, yuk?”

“La, pusing banget tetangga gue motong keramik dari pagi”

“Ala jangan marah ke gue, ya? gue gak akan kuat kalo lo musuhin”

Itu hanya 1% TMI darinya. Jujur saja, semakin hari aku semakin ingin mendengar lebih banyak hal. Semuanya. Bahkan hal kecil yang sama sekali tak penting pun aku mau tahu, asal itu bersumber dari Jeremy.

Aku sekarang semakin mengenal Jeremy. Remaja yang selalu berani membela teman-temannya, putra yang sangat mencintai Ibunya and a kind soul yang selalu menempatkan orang lain terlebih dulu dibandingkan dirinya sendiri. Ya, aku mengenalnya.

Namun, terkadang aku dipenuhi tanda tanya karena dia.

“Om, aku pulang yaa.. mommy udah nyuruh pulang dari tadi”

“gue gak bisa deh kayaknya, La! lo bisa kan sama Syahril aja berdua? next time deh gue ikut!”

“La, gue dipanggil ke BK lagi.. gue harus gimana sekarang?”

“Gue mau nangis tapi gue gak bisa.. gue mau dipeluk lo lagi, boleh?”

Banyak pula hal tentang dirinya yang tak aku ketahui. Ia bisa tiba-tiba muncul tanpa basa basi lalu kemudian pergi tanpa permisi, seperti ada sesuatu yang selalu ia tutupi.

Setelah enam bulan mengenal Jeremy, aku sepertinya mulai jatuh hati padanya.

Tidak, tidak perlu menunggu selama itu untuk menjatuhkan hatiku kepada dia. Sejak ia mulai menaruh perhatian padaku dulu, bahkan ketika ia bertingkah seolah akan menjadi 'makcomblang' antara aku dan Hitto, aku sudah mulai memperhatikan setiap gerak geriknya.

Di malam pentas seni, saat ia tiba-tiba datang entah dari mana untuk menenangkanku dengan pelukan. Di hari-hari berikutnya, dia yang selalu menunjukkan perhatiannya, dia yang menjadi teman untuk Syahril dan Ayah. Aku semakin jatuh, dan luluh.

Tentang Jeremy yang ternyata lebih dahulu menyukaiku, aku tahu. Tapi dulu aku pura-pura tidak mau tahu. Aku terlalu takut untuk mulai membuka diri lagi.

Ajaibnya... seperti air mengalir, seperti tanpa berusaha, hanya dengan menjadi diri Jeremy yang apa adanya, dia mampu membuatku bahkan menyukainya lebih dari dia menyukaiku. Harus kalian garis bawahi, rasa suka milkku harus lebih besar dari pada Jeremy, aku maksa.

Jujur, aku setiap harinya menunggu. Menunggu kapan Jeremy akan mengajakku berkomitmen sebagai sepasang kekasih yang berpacaran, dan akhirnya hari itu tiba.

“lo mau gak, kalo pacaran?”

Kalimat itu spontan membuat mataku melotot, dan kulihat Jeremy pun sama. Ia sama kagetnya denganku.

Ia berlari terbirit-birit tepat setelah aku yang mengucapkan “gue gamau pacaran, kalo bukan sama lo”. Mulai detik itu aku yakin, aku dan Jeremy akan menjadi 'kami' dalam waktu dekat.


Langkahku menjadi setengah berlari kembali menuju villa, setelah notifikasi yang berisikan kalimat hujatan bertubi-tubi masuk ke ponselku. Bukan itu sebab utamanya.

Tetap Jeremy.

Jeremy yang tanpa aba-aba mengenalkanku sebagai pacar di twitternya. Aku... senang?. Akhirnya mendapatkan validasi, akhirnya aku dan Jeremy menjadi kami.

*** “La? kenapa ngos-ngosan banget?”

Jeremy bangkit dari duduknya di kursi rotan yang ada di halaman villa, ia menghampiriku.

“gue ambilin minum dulu ya”

“ngga usah, Jer!”

“ya udah, duduk sini duduk” Ia menarik pergelangan tanganku dengan hati-hati.

“Jer”

“hmm?”

“jadi sekarang kita pacaran nih, Jer?”

Jeremy tak bersuara, ia hanya tersenyum kemudian mengangguk.

“boleh peluk gak?”

“Ala?!”

“hahaha bercandaaa, kok muka lo jadi merah gituuu”

“ya gue maluuuu”

“Jer, coba deh kita mulai..”

“apa?”

“coba panggilnya pake aku-kamu”

Jeremy semakin bergetar.

“Jer, aku sayang kamu”

“ALA STOPPPP!!!!!”


#anti

two sides of jeremy


POV : Jeremy

“kenapa sayang telfon malam-malam?”

“Mommy, kayaknya kaos kaki punya Emy jatoh deh di rumah.. nanti bisa tolong dicariin gak, mom? soalnya itu kesayangan Emy”

“kok bisa sih kamu ceroboh gitu sampe jatoh.. iya nanti mommy liat di kamar kamu ya. Gimana villa nya? seru? kamu udah makan?”

Suara manusia favoritku dibalik telepon sedikit gemetar. Terdengar seperti berbisik-bisik, seperti takut ada yang mendengar.

“Mommy.. you okay?

“Mommy fine kok.. kamu jangan lupa makan dan jaga kesehatan selama disana. Kamu sampai hari apa sih disana?”

“tadinya hari ini juga mau pulang, tapi ayah Syahril ternyata bisa perpanjang cuti. Jadi aku pulangnya rabu ya, mom!”

“oke sayang”

“Mommy...”

“iya kenapa, nak?”

“jangan bohong..”

“bohong? i'm not”

“mommy, gak lagi di Batam kan?”

Rasa curigaku terjawab seketika. Suara ayah terdengar nyaring berteriak memanggil mommy dengan lantang, kemudian dilanjutkan dengan mommy yang terburu-buru menutup sambungan telfon kami.

“oh gosh... what happen to her??!”

Aku menghela napasku, rasa khawatirku membuncah. Takut... takut lelaki yang selama ini kupanggil ayah, akan menyakiti mommy.

Lelaki paruh baya yang kusebut ayah itu, bekerja di Batam. Pekerjaan yang selama ini mommy sebut sebagai “jalan haram”... Ya, ayah tiriku bekerja di black market, lebih tepatnya ia membangun bisnis ilegal itu sendiri.

Seumur pernikahannya dengan mommy, ia memang memberikan nafkah finansial yang sangat besar dari hasil bisnisnya. Namun, tak sepeser pun mommy menggunakannya. Semua uang dan barang-barang pemberiannya pada akhirnya kembali lagi untuk keperluan ayah. Dari mulai membayar debt collector yang tiba-tiba menggedor rumah kami di tengah malam, tagihan credit card yang menggunung dan banyak lagi.

“kenapa mommy sama ayah gak cerai aja? aku takut sama ayah”

Ucap Jeremy kecil, ketika belum mengerti apa itu kasta sosial, ketika belum mengetahui sebab mommy bersedia menikahi ayah. Saat itu yang ku ketahui hanyalah mommy yang tak pernah bahagia menjadi istri dari laki-laki yang tak pernah tulus mencintainya, pun sebaliknya.

***

Brukk

Suara itu membuatku terperanjat dari dudukku. Ponsel yang baru saja digunakan untuk mengirim pesan singkat pada mommy, ku masukkan ke dalam kantong celana.

Suara itu muncul lagi, kali ini terdengar semakin jelas. Sumbernya sudah dekat.

“anjir.. ini kalo tiba-tiba muncul setan gimana?”

“baca ayat kursi... Ya Allah selamatkan aku”

“biasanya di villa-villa gini kan suka berhantu ya?”

“sialannnn punggung aing kenapa ngucur keringet dingin”

Adegan ini semakin menegangkan karena aku yang dengan bodohnya, dengan segenap ke-nekat-anku menghampiri sumber suara tadi.

“ALLAHU AKBAR!!! Ala? lo kenapa?!”

Aku sedikit meloncat karena terlampau kaget.

Syahla keluar dari dalam toilet sambil merangkak. Ku ulangi, SAMBIL MERANGKAK.

Refleks aku berlutut dan membantunya berdiri, menuntun nya menuju ruang tengah dan kemudian memintanya untuk duduk di sofa.

Tanpa membuka obrolan lagi, aku berlari menuju kamar orang tuanya. Tentu saja untuk memberi tahu mereka kejadian barusan.

Sudah ku kepalkan tangan kananku untuk mengetuk pintu kamar, namun kubuka kembali kepalannya. Aku kembali berlari menuju Syahla yang masih duduk lemas dengan wajah meringis.

“La?”

Ia menoleh ke arahku, tak membuka suara sama sekali.

“lo... diaré?” dengan hati-hati, aku bertanya langsung pada intinya. Ia mengangguk.

“gue buatin teh manis, mau?”

Syahla memegang perutnya kemudian ia terkekeh.

“dari sekian banyaknya obat-obatan, kenapa teh manis yang lo tawarin sih, Jer?”

“gue..”

“itu disana ada kotak P3K, Jer! ambil di lorong deket dapur”

Detik itu juga aku setengah berlari mengambil kotak P3K yang Syahla sebutkan.

“lo yakin, Jer? ini beneran obatnya?”

“Ala... percaya sama gue.. gue kan anak PMR”

“terus kalo lo anak PMR, lo akan menjamin kesehatan gue?”

“Iya, gue jamin. Kalau pun obat ini gak mempan, gue bisa gendong lo terus lari ke rumah sakit detik ini juga”

Syahla diam, tak protes lagi. Ia hanya menuruti semua instruksi dariku untuk meminum obatnya.

“tapi tetep gue buatin teh manis, ya?”

“lo kekeh banget sih!”

“tangan lo dingin..”

“terus?”

“kalo minum air anget kan seenggaknya bisa naikin suhu tubuh lo”

“gak harus minum air anget kok, Jer”

MELEDAK. mau tau apa yang meledak? iya betul, kewarasan seorang Jeremy.

Syahla tanpa aba-aba menarik tanganku, lalu menggenggamnya dengan kedua tangannya yang dingin.

“tangan lo juga bisa transfer suhu panas ke tangan gue, kalo di fisika namanya kalor”

“anjrit jangan senyum kaya begitu... gue degdegan mampus La!!”

“lo... makin panas ya, Jer?”

“e.. eh? apaan?”

“muka lo merah, suhu tubuh lo naik”

“apaan? engga!!!”

“eh yaudah biasa aja jangan nyolot!”

“La..”

“eumm?”

“lo mau gak, kalo pacaran?”

“hah?”

Syahla tentu saja terkejut, aku yakin 100%. Tapi aku pun sama terkejutnya.

“kenapa gue bilang gitu barusan anjir, momen nya gak pas banget siallll”

“eh? apa La?! oh itu euh, anu.. gue mules deh mau ke toilet juga”

Genggaman tangan Syahla kulepas secara paksa, mau menghilang saja rasanya.

Diluar dugaanku, Syahla tak mau melepaskan tautan kami. Ia malah menggenggam tanganku lebih erat, semua energinya ia gunakan.

Wajah pucatnya mendongak ke arahku yang kini berdiri di depannya.

“gue gamau pacaran, Jer”

Aku sebetulnya tidak bersungguh-sungguh bertanya pada Syahla soal pacaran tadi, karena itu spontan terucap begitu saja. Namun, mendengarnya berkata begitu.. tetap saja ada yang tergores. Ya betul, my heart.

“oh.. oalahh, oke deh.. gue ke toilet dulu ya, La!”

Syahla mengangguk.

“lo bisa kan jalan sendiri ke kamar?”

Ia mengangguk lagi.

Langkahku gontai, seperti ada yang membebani. Oh rupanya itu rasa galau yang bergelantungan di kedua kakiku.

“Jeremy!”

“hmm?”

Aku berhenti di tempat, lalu memutar badanku hingga akhirnya netra kami bertemu.

“gue gak mau pacaran, kalo bukan sama lo!”


#anti

two sides of jeremy


POV : Jeremy

“kenapa sayang telfon malam-malam?”

“Mommy, kayaknya kaos kaki punya Emy jatoh deh di rumah.. nanti bisa tolong dicariin gak, mom? soalnya itu kesayangan Emy”

“kok bisa sih kamu ceroboh gitu sampe jatoh.. iya nanti mommy liat di kamar kamu ya. Gimana villa nya? seru? kamu udah makan?”

Suara manusia favoritku dibalik telepon sedikit gemetar. Terdengar seperti berbisik-bisik, seperti takut ada yang mendengar.

“Mommy.. you okay?

“Mommy fine kok.. kamu jangan lupa makan dan jaga kesehatan selama disana. Kamu sampai hari apa sih disana?”

“tadinya hari ini juga mau pulang, tapi ayah Syahril ternyata bisa perpanjang cuti. Jadi aku pulangnya rabu ya, mom!”

“oke sayang”

“Mommy...”

“iya kenapa, nak?”

“jangan bohong..”

“bohong? i'm not”

“mommy, gak lagi di Batam kan?”

Rasa curigaku terjawab seketika. Suara ayah terdengar nyaring berteriak memanggil mommy dengan lantang, kemudian dilanjutkan dengan mommy yang terburu-buru menutup sambungan telfon kami.

“oh gosh... what happen to her??!”

Aku menghela napasku, rasa khawatirku membuncah. Takut... takut lelaki yang selama ini kupanggil ayah, akan menyakiti mommy.

Lelaki paruh baya yang kusebut ayah itu, bekerja di Batam. Pekerjaan yang selama ini mommy sebut sebagai “jalan haram”... Ya, ayah tiriku bekerja di black market, lebih tepatnya ia membangun bisnis ilegal itu sendiri.

Seumur pernikahannya dengan mommy, ia memang memberikan nafkah finansial yang sangat besar dari hasil bisnisnya. Namun, tak sepeser pun mommy menggunakannya. Semua uang dan barang-barang pemberiannya pada akhirnya kembali lagi untuk keperluan ayah. Dari mulai membayar debt collector yang tiba-tiba menggedor rumah kami di tengah malam, tagihan credit card yang menggunung dan banyak lagi.

“kenapa mommy sama ayah gak cerai aja? aku takut sama ayah”

Ucap Jeremy kecil, ketika belum mengerti apa itu kasta sosial, ketika belum mengetahui sebab mommy bersedia menikahi ayah. Saat itu yang ku ketahui hanyalah mommy yang tak pernah bahagia menjadi istri dari laki-laki yang tak pernah tulus mencintainya, pun sebaliknya.

***

Brukk

Suara itu membuatku terperanjat dari dudukku. Ponsel yang baru saja digunakan untuk mengirim pesan singkat pada mommy, ku masukkan ke dalam kantong celana.

Suara itu muncul lagi, kali ini terdengar semakin jelas. Sumbernya sudah dekat.

“anjir.. ini kalo tiba-tiba muncul setan gimana?”

“baca ayat kursi... Ya Allah selamatkan aku”

“biasanya di villa-villa gini kan suka berhantu ya?”

“sialannnn punggung aing kenapa ngucur keringet dingin”

Adegan ini semakin menegangkan karena aku yang dengan bodohnya, dengan segenap ke-nekat-anku menghampiri sumber suara tadi.

“ALLAHU AKBAR!!! Ala? lo kenapa?!”

Aku sedikit meloncat karena terlampau kaget.

Syahla keluar dari dalam toilet sambil merangkak. Ku ulangi, SAMBIL MERANGKAK.

Refleks aku berlutut dan membantunya berdiri, menuntun nya menuju ruang tengah dan kemudian memintanya untuk duduk di sofa.

Tanpa membuka obrolan lagi, aku berlari menuju kamar orang tuanya. Tentu saja untuk memberi tahu mereka kejadian barusan.

Sudah ku kepalkan tangan kananku untuk mengetuk pintu kamar, namun kubuka kembali kepalannya. Aku kembali berlari menuju Syahla yang masih duduk lemas dengan wajah meringis.

“La?”

Ia menoleh ke arahku, tak membuka suara sama sekali.

“lo... diaré?” dengan hati-hati, aku bertanya langsung pada intinya. Ia mengangguk.

“gue buatin teh manis, mau?”

Syahla memegang perutnya kemudian ia terkekeh.

“dari sekian banyaknya obat-obatan, kenapa teh manis yang lo tawarin sih, Jer?”

“gue..”

“itu disana ada kotak P3K, Jer! ambil di lorong deket dapur”

Detik itu juga aku setengah berlari mengambil kotak P3K yang Syahla sebutkan.

“lo yakin, Jer? ini beneran obatnya?”

“Ala... percaya sama gue.. gue kan anak PMR”

“terus kalo lo anak PMR, lo akan menjamin kesehatan gue?”

“Iya, gue jamin. Kalau pun obat ini gak mempan, gue bisa gendong lo terus lari ke rumah sakit detik ini juga”

Syahla diam, tak protes lagi. Ia hanya menuruti semua instruksi dariku untuk meminum obatnya.

“tapi tetep gue buatin teh manis, ya?”

“lo kekeh banget sih!”

“tangan lo dingin..”

“terus?”

“kalo minum air anget kan seenggaknya bisa naikin suhu tubuh lo”

“gak harus minum air anget kok”

MELEDAK. mau tau apa yang meledak? iya betul, kewarasan seorang Jeremy.

Syahla tanpa aba-aba menarik tanganku, lalu menggenggamnya dengan kedua tangannya yang dingin.

“tangan lo juga bisa transfer suhu panas ke tangan gue, kalo di fisika namanya kalor”

“anjrit jangan senyum kaya begitu... gue degdegan mampus La!!”

“lo... makin panas ya, Jer?”

“e.. eh? apaan?”

“muka lo merah, suhu tubuh lo naik”

“apaan? engga!!!”

“eh yaudah biasa aja jangan nyolot!”

“La..”

“eumm?”

“lo mau gak, kalo pacaran?”

“hah?”

Syahla tentu saja terkejut, aku yakin 100%. Tapi aku pun sama terkejutnya.

“kenapa gue bilang gitu barusan anjir, momen nya gak pas banget siallll”

“eh? apa La?! oh itu euh, anu.. gue mules deh mau ke toilet juga”

Genggaman tangan Syahla kulepas secara paksa, mau menghilang saja rasanya.

Diluar dugaanku, Syahla tak mau melepaskan tautan kami. Ia malah menggenggam tanganku lebih erat, semua energinya ia gunakan.

Wajah pucatnya mendongak ke arahku yang kini berdiri di depannya.

“gue gamau pacaran, Jer”

Aku sebetulnya tidak bersungguh-sungguh bertanya pada Syahla soal pacaran tadi, karena itu spontan terucap begitu saja. Namun, mendengarnya berkata begitu.. tetap saja ada yang tergores. Ya betul, my heart.

“oh.. oalahh, oke deh.. gue ke toilet dulu ya, La!”

Syahla mengangguk.

“lo bisa kan jalan sendiri ke kamar?”

Ia mengangguk lagi.

Langkahku gontai, seperti ada yang membebani. Oh rupanya itu rasa galau yang bergelantungan di kedua kakiku.

“Jeremy!”

“hmm?”

Aku berhenti di tempat, lalu memutar badanku hingga akhirnya netra kami bertemu.

“gue gak mau pacaran, kalo bukan sama lo!”


#anti

two sides of jeremy


POV : Jeremy

“kenapa sayang telfon malam-malam?”

“Mommy, kayaknya kaos kaki punya Emy jatoh deh di rumah.. nanti bisa tolong dicariin gak, mom? soalnya itu kesayangan Emy”

“kok bisa sih kamu ceroboh gitu sampe jatoh.. iya nanti mommy liat di kamar kamu ya. Gimana villa nya? seru? kamu udah makan?”

Suara manusia favoritku dibalik telepon sedikit gemetar. Terdengar seperti berbisik-bisik, seperti takut ada yang mendengar.

“Mommy.. you okay?

“Mommy fine kok.. kamu jangan lupa makan dan jaga kesehatan selama disana. Kamu sampai hari apa sih disana?”

“tadinya hari ini juga mau pulang, tapi ayah Syahril ternyata bisa perpanjang cuti. Jadi aku pulangnya rabu ya, mom!”

“oke sayang”

“Mommy...”

“iya kenapa, nak?”

“jangan bohong..”

“bohong? i'm not”

“mommy, gak lagi di Batam kan?”

Rasa curigaku terjawab seketika. Suara ayah terdengar nyaring berteriak memanggil mommy dengan lantang, kemudian dilanjutkan dengan mommy yang terburu-buru menutup sambungan telfon kami.

“oh gosh... what happen to her??!”

Aku menghela napasku, rasa khawatirku membuncah. Takut... takut lelaki yang selama ini kupanggil ayah, akan menyakiti mommy.

Lelaki paruh baya yang kusebut ayah itu, bekerja di Batam. Pekerjaan yang selama ini mommy sebut sebagai “jalan haram”... Ya, ayah tiriku bekerja di black market, lebih tepatnya ia membangun bisnis ilegal itu sendiri.

Seumur pernikahannya dengan mommy, ia memang memberikan nafkah finansial yang sangat besar dari hasil bisnisnya. Namun, tak sepeser pun mommy menggunakannya. Semua uang dan barang-barang pemberiannya pada akhirnya kembali lagi untuk keperluan ayah. Dari mulai membayar debt collector yang tiba-tiba menggedor rumah kami di tengah malam, tagihan credit card yang menggunung dan banyak lagi.

“kenapa mommy sama ayah gak cerai aja? aku takut sama ayah”

Ucap Jeremy kecil, ketika belum mengerti apa itu kasta sosial, ketika belum mengetahui sebab mommy bersedia menikahi ayah. Saat itu yang ku ketahui hanyalah mommy yang tak pernah bahagia menjadi istri dari laki-laki yang tak pernah tulus mencintainya, pun sebaliknya.

Brukk

Suara itu membuatku terperanjat dari dudukku. Ponsel yang baru saja digunakan untuk mengirim pesan singkat pada mommy, ku masukkan ke dalam kantong celana.

Suara itu muncul lagi, kali ini terdengar semakin jelas. Sumbernya sudah dekat.

“anjir.. ini kalo tiba-tiba muncul setan gimana?”

“baca ayat kursi... Ya Allah selamatkan aku”

“biasanya di villa-villa gini kan suka berhantu ya?”

“sialannnn punggung aing kenapa ngucur keringet dingin”

Adegan ini semakin menegangkan karena aku yang dengan bodohnya, dengan segenap ke-nekat-anku menghampiri sumber suara tadi.

“ALLAHU AKBAR!!! Ala? lo kenapa?!”

Aku sedikit meloncat karena terlampau kaget.

Syahla keluar dari dalam toilet sambil merangkak. Ku ulangi, SAMBIL MERANGKAK.

Refleks aku berlutut dan membantunya berdiri, menuntun nya menuju ruang tengah dan kemudian memintanya untuk duduk di sofa.

Tanpa membuka obrolan lagi, aku berlari menuju kamar orang tuanya. Tentu saja untuk memberi tahu mereka kejadian barusan.

Sudah ku kepalkan tangan kananku untuk mengetuk pintu kamar, namun kubuka kembali kepalannya. Aku kembali berlari menuju Syahla yang masih duduk lemas dengan wajah meringis.

“La?”

Ia menoleh ke arahku, tak membuka suara sama sekali.

“lo... diaré?” dengan hati-hati, aku bertanya langsung pada intinya. Ia mengangguk.

“gue buatin teh manis, mau?”

Syahla memegang perutnya kemudian ia terkekeh.

“dari sekian banyaknya obat-obatan, kenapa teh manis yang lo tawarin sih, Jer?”

“gue..”

“itu disana ada kotak P3K, Jer! ambil di lorong deket dapur”

Detik itu juga aku setengah berlari mengambil kotak P3K yang Syahla sebutkan.

“lo yakin, Jer? ini beneran obatnya?”

“Ala... percaya sama gue.. gue kan anak PMR”

“terus kalo lo anak PMR akan menjamin kesehatan gue?”

“Iya, gue jamin. Kalau pun obat ini gak mempan, gue bisa gendong lo terus lari ke rumah sakit detik ini juga”

Syahla diam, tak protes lagi. Ia hanya menuruti semua instruksi dariku untuk meminum obatnya.

“tapi tetep gue buatin teh manis, ya?”

“lo kekeh banget sih!”

“tangan lo dingin..”

“terus?”

“kalo minum air anget kan seenggaknya bisa naikin suhu tubuh lo”

“gak harus minum air anget kok”

MELEDAK. mau tau apa yang meledak? iya betul, kewarasan seorang Jeremy.

Syahla tanpa aba-aba menarik tanganku, lalu menggenggamnya dengan kedua tangannya yang dingin.

“tangan lo juga bisa transfer suhu panas ke tangan gue, kalo di fisika namanya kalor”

“anjrit jangan senyum kaya begitu... gue degdegan mampus La!!”

“lo... makin panas ya, Jer?”

“e.. eh? apaan?”

“muka lo merah, suhu tubuh lo naik”

“apaan? engga!!!”

“eh yaudah biasa aja jangan nyolot!”

“La..”

“eumm?”

“lo mau gak, kalo pacaran?”

“hah?”

Syahla tentu saja terkejut, aku yakin 100%. Tapi aku pun sama terkejutnya.

“kenapa gue bilang gitu barusan anjir, momen nya gak pas banget siallll”

“eh? apa La?! oh itu euh, anu.. gue mules deh mau ke toilet juga”

Genggaman tangan Syahla kulepas secara paksa, mau menghilang saja rasanya.

Diluar dugaanku, Syahla tak mau melepaskan tautan kami. Ia malah menggenggam tanganku lebih erat, semua energinya ia gunakan.

Wajah pucatnya mendongak ke arahku yang kini berdiri di depannya.

“gue gamau pacaran, Jer”

Aku sebetulnya tidak bersungguh-sungguh bertanya pada Syahla soal pacaran tadi, karena itu spontan terucap begitu saja. Namun, mendengarnya berkata begitu.. tetap saja ada yang tergores. Ya betul, my heart.

“oh.. oalahh, oke deh.. gue ke toilet dulu ya, La!”

Syahla mengangguk.

“lo bisa kan jalan sendiri ke kamar?”

Ia mengangguk lagi.

Langkahku gontai, seperti ada yang membebani. Oh rupanya itu rasa galau yang bergelantungan di kedua kakiku.

“Jeremy!”

“hmm?”

Aku berhenti di tempat, lalu memutar badanku hingga akhirnya netra kami bertemu.

“gue gak mau pacaran, kalo bukan sama lo!”


#anti

two sides of Jeremy


POV : Syahril

Syahla terlihat buru-buru masuk kembali ke dalam kamarnya. Entah kenapa, aku merasakan aura yang berbeda pada dirinya..

Seperti manusia yang energinya kembali terisi penuh, setelah lama ruangnya dibiarkan kosong.

“ngapain lo diem di situ?” ucapnya ketus saat mendapati aku yang berdiri di depan kamarnya.

“nungguin lo”

“ngapain?”

“lo kok keliatan bahagia banget deh, kayak orang lagi jatuh cinta”

“Aril... ngomong itu dipikir dulu! emangnya gue keliatan lagi deket sama cowo?”

“Ala, lo pikir gue buta?”

“eh lo kenapa deh, Ril?”

“keliatan aja, jelas” aku tersenyum meledek, yang otomatis membuat Syahla melotot ke arahku.

“gue sama Jeremy kan cuma temenan... udah lama juga!”

“gue gak ada bilang kalo cowo nya Jeremy deh, La!”

“IHHHHH DIEM AH!”

Aku tertawa kemudian mencubit pipi kembaranku dengan gemas.

“iya iya, enggak! terus sekarang lo mau kemana? kok rapi banget? pake sepatu pula?”

“mau jalan-jalan”

“sendirian?”

“sama Jeremy”

Kembali kutatap dia dengan ekspresi meledek.

“diem atau gue pukul?”

“hahahahaha iya iyaaa.. ya udah have fun yaa! semoga pdkt nya lancar”

“ARIIIIL!!!!!”

Tawaku tak terkendali, puas meledeknya habis-habisan.

“lo ikut aja deh mendingan!!” ia menarik tanganku tanpa aba-aba keluar dari villa, menghampiri Jeremy yang sedang menunggunya di halaman.

Tepat seperti dugaanku, ada raut kekecewaan pada wajah Jeremy. Aku yakin betul, ia berekspektasi hanya Syahla yang akan muncul. Aku sangat puas melihat ekspresi memelasnya, hahaha.

*** “Ala, coba deh lo foto di deket pohon ini! gue fotoin!”

“La, ada kucing itu lucu banget!”

“jangan dipegang, La! itu daunnya bikin gatel!”

“eh awas jatoh!! batunya keinjek itu, La!”

“Ala awas ulet!!”

“Ala, si Aril bilang hasil foto gue jelek... padahal bagus kan ya?!!!”

“Ril, coba fotoin gue sama Ala berdua dong!”

dan masih banyak lagi..

Apakah kutipan-kutipan di atas dapat dikategorikan sebagai contoh ucapan dari seseorang yang sedang haus atensi? IYA.

Dari cara Jeremy menatap Syahla, dari cara Jeremy memusatkan seluruh perhatiannya pada Syahla, ia yang selalu bersemangat setiap Syahla meminta pertolongannya.

Beberapa kali aku memergokinya diam-diam memerhatikan gerak-gerik Syahla, ia yang mengalihkan pandangan karena salah tingkah setiap Syahla menatapnya, ia yang tersenyum tak karuan setiap Syahla memujinya. Semuanya terlihat sangat jelas, aku menyaksikannya sendiri.

Mereka sedang jatuh cinta. Sahabatku, Jeremy.. dan saudara kembarku, Syahla.

*** “Jer, ini ada yang nanyain lo!”

Syahla memecah keheningan ketika kami bertiga duduk di tepian kolam ikan.

“siapa?”

“Stela”

Raut wajah Jeremy berubah seketika. Aku sulit mengartikannya, ia terlihat terkejut dan... marah?.

“apa katanya, La?”

“baca chat dari dia katanya”

Setelah Jeremy membuka ponselnya, ia bergegas berdiri kemudian pergi meninggalkan aku dan Syahla.

“eh sorry ya guys, gue harus pergi dulu! bentar doang, abis ini gue balik lagi!”

Syahla dan aku hanya mengangguk-angguk, mengiyakan tanpa ingin tahu apa penyebab ia pergi begitu saja.

Aku bisa memaklumi Jeremy. Apapun yang akan ia lakukan, kemana pun ia pergi, aku tidak mau tahu lebih lanjut.

Namun berbeda dengan Syahla. Ia terlihat memendam kekesalan, ia menahan amarahnya, atau singkatnya sebut saja dengan rasa cemburu. Terlihat sangat jelas, aku tidak berbohong.

*** “lo kenapa jadi bete gitu sih, La?”

“gue nggak bete kok..”

“tapi muka lo kayak sedih banget, tuh!”

“nggak, Ril! kecapean aja kali.. jalan-jalan dari pagi sampe jam segini”

“ya udah balik ke villa aja yuk! makan dulu”

“ya udah, ayo”

Syahla lebih dulu berdiri, kemudian berjalan di depanku. Langkahnya tak semangat seperti tadi, aura kebahagiaannya seolah menghilang.

Aku menghela napasku kasar, “jadi gini ya, gambaran orang yang lagi jatuh cinta? ribet juga... tapi lucu juga..” batinku.

Memang lucu, bagaimana dua manusia yang terbiasa bersama, berbagi cerita setiap hari, menjadi teman, kemudian perasaan itu tiba-tiba muncul. Perasaan saling menyayangi? atau apapun sebutannya... aku bisa memastikan, bahwa Syahla dan Jeremy pada titik ini, tak lagi hanya sebatas dua insan yang berteman. Sudah berubah, sudah naik tingkat. Entah sejak kapan, tapi aku berharap semoga segalanya selalu baik-baik saja untuk keduanya.


#anti

two sides of Jeremy


“Pak, jangan terlalu deket sama mobilnya atuh! nanti ketauan kalo kita lagi ngikutin!” protes Jeremy kepada sopir taksi yang tentu saja membuatnya kesal.

“kalo pelan-pelan mah nanti ketinggalan!”

“Iya maksudnya di kecepatan sedang-sedang aja, Pak!”

Sopir taksi itu menghela napasnya, “kalo ketinggalan, jangan nyalahin saya, ya!”

“Pokonya jangan sampe ketauan deh, Pak!”

“kamu bolos ya, dek? udah pake seragam, kok malah keluyuran ngejar mobil orang!”

“duh, Pak! fokus aja dulu! ini penting!!”

“itu siapa memangnya yang ada di dalam mobilnya? kok sampe dikejar begitu?”

“itu ada.. mmm, temen. temen saya, Pak!

Sang sopir hanya mengangguk-angguk tanpa bertanya lebih lanjut.


Setelah cukup lama Jeremy mengekori mobil yang ia sangka menculik Syahril, ternyata..

“loh, kok balik lagi ke sekolah?”

“ya mana saya tau, dek!”

“Pak, ini mobil yang tadi kan? bener, kan?”

“Iya, dek.. saya lihat nomor plat nya juga, kok! betul yang itu”

“kenapa balik lagi, ya?”

“ya saya juga nggak tau.. kok nanya saya..”

Ia kembali memfokuskan netranya pada mobil yang kini berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Selang beberapa detik, seorang siswa keluar dari sana.

Benar saja, itu adalah sosok yang sangat Jeremy kenal. Anak lugu yang ingin ia lindungi. Syahril.

“kan bener itu si Syahril!!!”

“tuh kan bener, dek! itu mobil yang tadi!”

Jeremy melepas seat belt nya kemudian membuka pintu mobil.

“Dek! belum bayar!”

“hehehehe! maaf Pak, saya kebiasaan pake taksi online.. biasanya bayar cashless! jadi berapa, Pak?”

“53 ribu!”

Ia serahkan uang tunai senilai 70 ribu, kemudian keluar dari mobil.

“kembaliannya, dek!”

“buat bapak aja, buat jajan bakso!” ia berlalu sambil tersenyum.


“Syahril!”

Suara yang lantang itu spontan membuat Syahril terkejut. Ia membalikkan tubuhnya agar tak terlihat oleh Jeremy.

“woy lu kenapa?!”

“duh, Jer! telat juga ya lo?”

“eh anjing gue dari tadi ngikutin lo! gue liat lo ditarik masuk ke mobil tadi! gak usah act like nothing happened!

Syahril menunduk dan tak mengucap apapun. Security sekolah yang duduk di dekat gerbang sepertinya menguping percakapan mereka, karena Jeremy setengah berteriak pada Syahril.

“angkat kepala lo! lo tau gak? lo yang begini malah bikin orang lain seneng buat ngerendahin lo?!” ..... “ANJING?! siapa yang ngelakuin ini?!!! Farell lagi?”

Jeremy hilang kendali. Lagi-lagi berteriak pada Syahril.

Ia lihat wajah Syahril bengkak, pipi kanan dan kirinya lebam. Jeremy tahu betul, itu adalah hasil dari tamparan keras berkali-kali.

“Jer! jangan teriak-teriak!”

“Ril! lo sekarang posisinya lagi dibully, anjir! lo jangan diem aja!”

Syahril kembali menunduk.

“angkat kepala lo, Syahril! sekarang bilang sama gue, siapa yang ngelakuin ini sama lo?”

Yang ditanya tetap menunduk, ia menggelengkan kepalanya.

“gue nggak kenal siapa mereka”

seriously?!

Pertanyaan Jeremy hanya dibalas dengan anggukkan.

“Ini pasti Farell! jelas banget ini kelakuan dia!”

“udah, Jer! gue udah gak mau lagi berurusan sama dia.. jangan diperpanjang lagi!”

“Syahril!!”

“Jeremy!”

Sekarang Syahril menatap Jeremy dengan tatapan memohon. Mata sebelah kanannya berkedut beberapa kali per detik, membuat Jeremy semakin iba dan kesal dalam waktu bersamaan.

“i-itu sakit, Ril?... mata lo, nyut nyutan!”

Syahril malah terkekeh, tak menggubris pertanyaan Jeremy.

“eh malah ketawa maneh!”

“sakit, Jer! tapi gapapa”

“gapapa gimana anjir? itu muka lo bengkak terus biru-biru! lo ditampar sama algojo apa gimana dah?”

Syahril lagi-lagi tertawa.

“Om, tolong bukain gerbangnya dong, Om! ini temen saya cedera!” Jeremy dengan nada yang sok akrab meminta pada Security. Tapi memang sudah akrab sih.

“aduh, Jer.. bisa buka gerbang kalo udah ganti jam pelajaran. 15 menitan lagi, lah!” respon sang penjaga gerbang dengan name tag bertuliskan 'Agus' di dada sebelah kirinya.

“Om!! liat ini muka dia udah mirip Pasha!”

“kenapa Pasha?”

“Soalnya Ungu!”

Syahril dengan seluruh wajahnya yang terasa linu, tertawa sangat keras —terbahak-bahak. Jeremy tentu saja terkejut bukan main, karena ia pikir leluconnya itu tidak lucu sama sekali.

“aduh kadé éta temennya, Jer! kepalanya kan udah dipukul, takutnya jadi error!”

“makanya Om Aguuus kasép... buka atuh gerbangnya!”

“aduh iya ya.. hariwang

“liat ini bentar lagi si Syahril bakal menjadi-jadi!”

Jeremy melirik ke arah Syahril kemudian mengedipkan matanya. Memberi isyarat.

Syahril mengernyitkan dahinya, menerima dan mencerna isyarat dari temannya.

“aaaaaargh raaawrrrrr”

Raungan-raungan asal yang keluar dari Syahril, cukup membuat Jeremy membelalakkan kedua matanya... Diluar dugaan, ia tak pernah membayangkan seorang Syahril yang pendiam melakukan hal konyol seperti barusan.

“aing maung!!!!”

“Om! Liat si Syahril, Om! udah mulai kumat!!” kalimat ini membuat Security itu tanpa ba bi bu membukakan gerbangnya.

Gerbang telah dibuka dan tentu saja dua sekawan itu bergegas masuk dan berlari ke dalam gedung sekolah. Sambil tertawa membayangkan kejadian konyol yang terjadi tanpa direncanakan tadi.

Walau yang satu masih menahan sakit tak karuan di wajahnya, dan yang satu baru saja kehilangan uang jajannya, namun langkah keduanya terasa ringan.. Karena berlari bersamaan.

Di belokan koridor pertama menuju ruang UKS, layaknya buronan yang berhasil ditemukan oleh pasukan polisi, Jeremy dan Syahril menghentikan langkah mereka. Berdiri mematung tak berkutik.

Pak Dadang sudah berdiri di hadapan mereka yang entah dari mana datangnya. Tak heran kenapa Jeremy dan teman-temannya menyebut Pak Dadang (selain Dadang Oppa) sebagai “ATDA” atau “Ahli Teleport Tri Dharma”, karena beliau bisa tiba-tiba muncul begitu saja layaknya superhero yang mempunyai kekuatan teleportasi.

“Hayo lohhh pasti pada telat, kan?!” ujar Pak Dadang pada keduanya sambil melipat kedua tangannya di dada.

Syahril dan Jeremy hanya tersenyum kikuk menampilkan gigi mereka.

“itu kamu kenapa Syahril wajahmu ungu begitu?! habis ditonjok kamu sama Jeremy?!”

Syahril terkejut mendengar itu dan refleks ia membuka suara “engg...”

“Iya, Pak! itu karena saya! tadi gak sengaja ngelempar tas ke Syahril, eh malah kena ke wajahnya! jadi lah bengkak-bengkak..” namun Jeremy menginterupsi.

Tentu saja kebohongan itu membuat Syahril shock. Ia melotot ke arah Jeremy, namun Jeremy hanya mengangguk-angguk.

“tolong Syahril nya dibawa ke UKS, Pak!”

“Jer!” Syahril masih tidak terima dengan ucapan Jeremy.

“Syahril kamu ke UKS sendiri saja! disana sudah ada perawat yang jaga! dan kamu Jeremy, jalan ke lapangan! hormat di depan tiang bendera sampai bel istirahat!”

“Laksanakan!!”

Seperti prajurit yang memberikan hormat kepada kaptennya, Jeremy menghentakkan kaki sambil mengangkat tangan kanannya pada posisi hormat.

Kemudian ia mendorong teman yang berdiri di sebelah kirinya. Agar Syahril bergegas berjalan menuju ruang UKS tanpa mempedulikannya lagi.


Jeremy menyadari banyak netra yang tertuju ke arahnya. Baik dari jendela kelas, dari ruang guru, dan tentu saja siswa-siswa yang sedang berada di lapangan dalam kepentingan mata pelajaran olah raga.

Ia tahu, bagaimana stereotipe warga Tri Dharma terhadap dirinya. Jeremy yang nakal, pembuat onar dan tidak taat aturan. Sebenarnya ia tidak terlalu pedulikan itu. Tapi terkadang, ia ingin protes dan menjelaskan pada dunia, bahwa dirinya tidak demikian.

*** Bel berbunyi, tanda pergantian mata pelajaran. Siswa yang berolah raga di lapangan kembali ke kelasnya, digantikan oleh siswa dari kelas yang lain. Namun Jeremy tetap berdiri di depan tiang bendera tanpa berkutik.

“Haiii bestie!” seseorang menepuk bahu kiri Jeremy yang membuatnya sedikit melompat. Kaget.

“kenapa anjir? kaget banget? ngelamunin apa lo, Jer?!”

Pertanyaan bertubi-tubi keluar dari mulut teman akrab Jeremy, yang hampir datang telat setiap hari. Siapa lagi kalau bukan Pandu.

“eh, Du! dateng juga lo!”

Pandu berdiri di sebelah kiri Jeremy, kemudian ikut hormat di depan tiang bendera.

“gue sebenernya tadi ngeliat lo sama Syahril, tapi gue ditahan sama Om Agus! masa dia bilang si Syahril kesurupan!”

“Hah?” Jeremy terkekeh.

“itu mah tadi temennya si Jeremy kesurupan, kasian harus diobatin! makanya gerbangnya dibukain! kalo kamu mah nanti aja pas bel!”

Gelak tawa di depan tiang bendera tak terbendung lagi. Mereka berdua tertawa tanpa peduli orang lain yang memandang mereka dengan tatapan aneh.

“tapi beneran gak?”

“beneran apaan?”

“itu si Syahril.. beneran kesurupan?”

“enggak lah anjir!”

“terus dia diculik beneran?”

Jeremy menggelengkan kepalanya.

“yang bawa dia tadi kayaknya suruhan doang! noh anaknya lagi di UKS. mukanya mirip Pasha!”

“hah? kenapa Pasha?”

“karena ungu!”

“ape sih garing!!”

“yeeeeu! lo nggak bestie sama gue!.. Syahril yang bestie gue mah!”

“Apa sih gak jelas banget demi Allah!” Pandu menghela napasnya kasar dan menggelengkan kepalanya.


“yaampun, Dek! ini kamu habis berantem, ya?” tanya perawat berjilbab putih itu sambil meringis melihat wajah Syahril yang mengenaskan.

“bukan, kak! ini tadi anu...”

“udah nggak perlu menjelaskan! aku udah tau, kok!” perawat itu tersenyum sambil membersihkan beberapa luka goresan di wajah Syahril, kemudian memasangkan plester disana.

“Makasih, kak!”

don't mention it!

“aku boleh langsung keluar aja nggak, kak?”

“loh, kenapa buru-buru? kamu masih perlu diobati lho itu!!”

please....

“aduh aku gak kuat kalo kamu ngeliatnya begitu.. kenapa lucu banget siiih!”

Syahril tersenyum kikuk, tak tahu harus merespon seperti apa.

“bentar ya... Syahril?”

“Iya, kak”

“aku bikin kompresan dulu! duh dimana ya anak PMR nyimpen kantong kompresannya.. oh ini ternyata!”

Tak lama, kompresan air dingin sudah berada di tangan Syahril. Dan ia tanpa basa-basi meninggalkan ruang UKS.

“nanti kembaliin lagi ya kompresannya!”

“Iya, Kak!”

*** Sambil merapatkan kompresan ke pipinya, Syahril berjalan menuju lapangan. Jeremy masih ada disana, namun tak sendirian, ia bersama Pandu.

Syahril melihat dari kejauhan, Jeremy yang tertawa bersama Pandu, ditengah menjalani hukuman mereka.

Detik itu ia menyadari, ternyata Jeremy dan teman-temannya yang 'nakal', hanyalah 'sampul'. Ingatkah pepatah “don't judge the book by it's cover?”.

Anggaplah Jeremy, Pandu, Leo dan Helmi adalah sebuah buku, dengan sampul yang menyeramkan dan mengintimidasi. Namun ketika kamu membacanya, ketika kamu memahami isi dari setiap halamannya, kamu akan tahu yang sebenarnya.

Bahwa mereka tidak seperti sampulnya. Mereka tidak menyeramkan dan mengintimidasi. Mereka hanyalah anak-anak yang berteman dan saling melindungi satu sama lain.

Syahril mempercepat langkah kakinya mendekati Jeremy dan Pandu, kemudian ia ikut berbaris hormat.

“Hai bestie!” celetuk Pandu pada Syahril.

“Ril? lo kenapa udah kesini lagi, anjir? di UKS aja!” sahut Jeremy setelah menyadari eksistensi Syahril.

“nggak mau, gue mau disini aja! biar kita dihukum sama-sama!”

Pandu dan Jeremy saling melirik.

“itu gunanya temen, kan? selalu bantu dan selalu ada dalam suka maupun duka?” lanjut Syahril.

“ANJAAAAAAY!” sorak Jeremy dan Pandu bersamaan, diikuti dengan tawa dari ketiganya.


#anti