NASA

Obrolan serius


Mash, terdiam di depan pintu masuk menuju dapur rumah Finn dan Rayne, menatap sosok Rayne yang membelakanginya dengan kening mengernyit dalam. Sedangkan Rayne sendiri masih tak sadar, ia sibuk menekuni wajan yang berisi masakan di depannya dengan teliti, sesekali bersenandung.

Sesaat setelah itu, Rayne berbalik. Ada kalanya mungkin 3 detik ekspresi tenang Rayne berubah karena terkejut, namun sosoknya sangat pandai mengatur ekspresi wajahnya. Ia melangkah mendekati Mash, menarik tangan Mash dengan lembut membawanya menuju meja makan dan menyuruhnya untuk duduk.

Mash, setengah linglung hanya menurut. Namun kemudian manik bonekanya seketika berbinar saat mendapati sepiring penuh kue sus dan nasi goreng udang kini tepat berada di depan matanya.

“Masih suka nasi goreng udang kan?” tanya Rayne, sosok itu ikut mendudukkan dirinya tepat di seberang Mash. Ia menyangga dagunya dengan telapak tangannya lalu benar-benar memusatkan pandangannya ke arah Mash.

Mash, tidak nyaman tentu saja. Perasaan sakit mulai mencubit-cubit di dalam hatinya. “Iya,” bisiknya.

“Kenapa nggak nganter aku langsung ke rumah aku aja kak?”

Rayne tersenyum tipis, tangan lainnya yang bebas bergerak secara spontan menuju sudut bibir Mash, yang terdapat sisa-sisa krim dari kue sus yang dimakannya. Ia mengusap sudut bibir tersebut dengan lembut seraya berkata. “Kakak nggak tau rumah kamu.”

“Padahal kamu bisa minta tolong adik kamu, kak.”

“Padahal kamu sendiri juga bisa ngehubungin dia, kan ponselmu masih banyak persentase baterainya?”

“Ada yang masakin aku makan, aku ngehargain.”

“Nggak berubah ya?”

Bibir Mash, mengatup setelahnya. Ia berusaha keras menahan matanya yang mulai memanas.

Jujur saja, menahan tangis sambil makan itu sangat menyakitkan.

Mash benar-benar tak ingin berinteraksi lagi dengan sosok di depannya, tapi kenapa takdir seolah selalu menariknya untuk terus bertemu seperti ini?

“Mash?”

Rayne, sadar akan keterdiaman Mash. Ia segera menjauhkan tangannya yang masih setia berada di wajah Mash tadi.

“Kenapa ...” Mash, bergumam lirih.

Rayne, tak mendengarnya tentu saja. Ia beranjak dari duduknya lalu memilih bersimpuh di bawah kaki Mash, meraih kedua tangan itu dan meremasnya pelan. “Kakak ada salah ngomong ya?”

Tes.

Air mata yang dibendung Mash sedari tadi, akhirnya pecah juga. Sosoknya terisak, meluapkan semua yang dipendamnya selama 2 tahun lebih ini. Suara tangisannya terdengar sangat memilukan, benar-benar menusuk hati Rayne yang mendengarnya dalam diam.

“A—aku pindah dari Kota A biar bisa lupain kamu, kak. Tapi ternyata kamu juga melarikan diri ke sini—” tangisan Mash, semakin kencang. Kedua tangannya yang masih digenggam oleh Rayne, ia hempas begitu saja. Ia memukuli bahu kokoh Rayne sebagai bentuk pelampiasannya.

“Harusnya k—kalau pergi itu ya selamanya aja— kenapa harus balik lagi???”

Rayne, tak mempunyai jawaban yang pas untuk pertanyaan itu. Ia hanya berdiam, membiarkan bahunya terus-menerus terkena pukulan keras dari Mash. Baginya ini adil, bahunya sakit karena ia juga membuat Mash sakit.

“Kakak punya alasan kuat,” ucap Rayne.

“Apa pun alasannya, pergi tiba-tiba habis nyatain putus sepihak itu keterlaluan kak. Aku nunggu— seminggu? Dua minggu? Sebulan? Ternyata 2 tahun lebih— kamu jahat.. jahat banget sama aku kak.. kenapa balik lagi? Aku— aku udah hampir bisa lupain kamu..”

Rayne, hanya bisa terdiam.

ABEL?! 🔞


“Hmmm, jadi gitu?” sosok tampan dengan mata ungu bernama Abel, nampak mengangguk kecil setelah menyimak cerita keseluruhan Mash.

Saat ini ia dan Abyss, sedang duduk membuat lingkaran dengan Mash juga ikut bergabung di sana. Sambil memakan buah semangka dan kue sus, mereka menyimak curahan hati Mash dengan seksama tanpa menyela.

Topik utamanya tentu saja seorang Lance Crown.

“Jadi, saat itu tiba-tiba Rayne datang?” tanya Abel.

Mash mengangguk, sedangkan Abyss menggeleng panik saat manik ungu milik kekasihnya justru melirik ke arahnya. “Serius, sayang. Itu di luar rencanaku,” bisiknya.

“Kenapa kamu mau saat Rayne mau ngasih kamu tanda juga?” Abel, kembali bertanya.

Mash menggeleng ragu. Tak menemukan jawaban sama sekali, karena saat itu pikirannya benar-benar kosong, ia linglung sehingga menyetujui apa saja yang keluar dari mulut orang di sekitarnya.

“Aku kalau jadi Lance, akan marah juga.” Abel, sambil menggigit semangkanya, ia menunjuk ke arah Mash. “Ibaratkan aku ini Lance, jelas aku hanya ingin melakukan itu denganmu berdua saja, tanpa ada Rayne di sana,” sambungnya.

Mash, nampak bingung. “M-memangnya apa yang spesial? Sedari awal kan dia cuma mau mengajariku..”

Abel dan Abyss menepuk kening mereka secara bersamaan. “Biasa bagi kamu tapi spesial bagi Lance!” seru Abyss gemas. Gemas dengan ketidakpekaan sahabatnya tersebut.

“Jadi aku harus apa?” Mash, mencebikkan bibirnya lucu. Tanda sedang benar-benar sedih saat ini.

“Waktu itu, sejauh mana Lance menyentuhmu?”

Abyss terkejut mendengar pertanyaan dari Abel itu, sedangkan Mash, wajahnya sudah memerah total sampai ke telinga kala mengingat hal intim yang terjadi saat itu. “M-masuk J-j-jari?” ucapnya terbata.

Sekarang justru Abel yang terkejut. “Cuma itu? Serius? Wahhh kuat juga imannya.”

Abyss, terkekeh mendengarnya. “Si ketua BEM itu juga kuat imannya,” timpalnya.

Mash, tak mengerti sama sekali apa maksud dari kuat iman yang diucapkan Abel dan Abyss.

“Mash, kamu mau Lance nggak ngejauhin kamu lagi?” Tanya Abel. Kali ini posisinya yang awalnya duduk santai bersandar di tembok belakangnya, kini menjadi tegak, nampak serius sekali.

Mash mengangguk antusias mendengar itu, ia mencondongkan tubuhnya ke arah Abel, mencoba menyimak dengan benar-benar apa yang akan dikatakan oleh Abel.

“Kali ini, biarkan penis dia yang masuk. Jangan jarinya saja.”

Abel dan Mash sontak tercengang.

“MAKSUDNYA?!”

Ciuman pertama?


Mash sebenarnya bingung. Saat membuka pintu kamar kos tempat ia tinggal bersama dengan Finn, ia justru mendapati Lance, di depannya sudah berpenampilan acak-acakan.

Hanya mengenakan celana pendek selutut, dengan kaos hitam yang melekat pas di tubuhnya, rambutnya berantakan, seperti tidak pernah menyentuh sisir sama sekali. Dan yang lebih aneh lagi menurut Mash adalah, sosok tampan di depannya ini wajahnya memerah sempurna, dan itu menjalar sampai ke telinganya.

Sepanas itukah jalan menuju kosnya? -pikirnya.

“Masuk dulu..” ucap Mash, tangannya secara spontan meraih tangan Lance yang penuh keringat, membawa sosok tersebut masuk ke kamar lalu menutupnya.

Tiba-tiba saja, Lance mengukung Mash. Mengejutkan sosok dengan rambut bak jamur itu. Mash mendongak, tidak mengerti kenapa wajah rupawan temannya justru lebih memerah daripada yang ia lihat di awal tadi.

“Lance...?”

“Jawab jujur, lo beneran segitu pengen taunya apa itu kokop-kokopan?” Suara berat Lance, memenuhi kamar kos yang sepi itu. Nafasnya terlihat tersengal-sengal, mata tajamnya menatap dalam tepat ke arah Mash, yang menyebabkan Mash merasakan merinding entah karena apa.

“I-iya..?” Bahkan Mash sendiri bingung, kenapa tiba-tiba dia merasa gugup seperti ini?

Lance, menyeringai tipis. “Gue ajarin, tapi jangan protes, jangan berhenti di tengah jalan, dan ikuti arahan gue oke? Pasti enak, sesuai kata Abyss,” ucapnya.

Mash, mengangguk kecil.

“Pertama, peluk leher gue.” Lance, meraba tengkuk Mash secara pelan dengan tangan kanannya, sampai-sampai sosok pemuda berambut hitam itu berjengit dengan wajah yang juga ikut memerah karena geli (?). Meskipun begitu, Mash menurut. Kedua tangannya bergerak perlahan memeluk leher Lance, lalu ia menatap wajah tampan di depannya dengan malu-malu. “S-sudah???”

Lance, menggigit bibir bawahnya menahan gemas. Sumpah, dia baru tahu jika seorang Mash Burnedead yang sedang malu-malu kadar manisnya menjadi berlipat ganda seperti ini.

Kedua tangan Lance, menangkup wajah Mash, matanya menatap intens pahatan Tuhan di depannya tersebut. Sudah lama mengagumi— Lance sama sekali tidak pernah berpikir jika ia akan mendapatkan kesempatan untuk melihatnya secara dekat dan seintim ini.

“Buka mulut,” bisik Lance tepat di samping telinga Mash.

Mash yang sudah terbuai oleh tatapan Lance, hanya mengangguk. Mulutnya secara alami terbuka, dan alangkah terkejutnya ia saat Lance, justru membubuhkan sebuah ciuman di sana.

Ciuman yang dalam, dengan lidahnya yang bergerak secara lihai, mengabsen seluruh isi mulutnya tanpa melewatkan satu sisi pun.

“Mnnhh—” Mash melenguh, kakinya melemas sehingga ia hanya bisa bertumpu sepenuhnya pada pintu kamar, tangannya bergerak secara naluriah meremas rambut halus Lance.

Lance, melepaskan ciuman tersebut. Ibu jarinya bergerak secara sensual menyentuh bibir Mash yang sudah basah dan sedikit menebal. “Kalau gue mainin lidah, lo bales juga. Kalau gue ngisep bibir lo, lo bales juga. Itu yang namanya kokop-kokopan. Atau kata lainnya itu ciuman.” Lance, menjelaskan dengan tangan kirinya yang merambat menuju bahu Mash, ia mengusap bahu tersebut dengan perlahan, mencoba menyingkap sisi kaos putih yang dikenakan Mash secara halus.

Mash, kembali mengangguk. Kepalang tanggung, meskipun ia merasa dibohongi oleh Abyss.

Mash tidak sepolos itu, ia tahu apa itu ciuman lewat beberapa drama yang selau Dot tunjukkan padanya, tapi ia tak pernah berpikir untuk melakukan hal itu, ternyata karena ketidaktahuannya membuat ia justru terjebak di sini, di posisi intim ini bersama Lance, sosok yang paling tidak ia duga.

Lalu, Lance kembali mendaratkan bibirnya pada bibir Mash, kali ini bergerak secara perlahan mengisap bibir bawah Mash, mencoba membiarkan Mash yang tak mengerti apa-apa kini mencobanya sendiri. Terbukti dari Mash, yang kembali memeluk erat leher Lance, semakin merapatkan posisi mereka dan mulai membalas isapan demi isapan pada bibir Lance yang juga bergerak.

Suara decakan lidah yang beradu memenuhi kamar kos tersebut, mereka berdua tak peduli dengan hal yang lain, bagi mereka berdua, kegiatan yang sedang mereka lakukan ini lebih menarik dibandingkan dengan hal yang sedang terjadi di luar sana.

#Siapa?

Yoshida, tersenyum kecut setelah melepas helm yang membelenggu kepalanya. Ia menatap Denji, dengan senyum paksa yang membuat Denji, merasa heran.

“Kenapa?”

“Bilang dong kalau lo nunggu di halte, lo tau gak? Gue dilemparin sendal sama Power. Abang lo juga nodongin gue pistol tadi, dapet dimana sih barang begituan astaga,” keluh Yoshida.

Denji, justru tertawa. “Mampus lo.”


Keheningan tercipta selama perjalanan. Sampai akhirnya, Denji membuka suara.

“Lo liat, kan? Karena perbuatan lo dan anak buah lo, kembaran gue dapet jahitan. Separah itu,” ucapnya. Suara halus seperti Power sepenuhnya hilang, hanya suara khas pemuda yang berhasil mengejutkan Yoshida setiap kali mendengarnya.

“Maaf.” Suara Yoshida, terdengar penuh sesal, sehingga Denji hanya bisa menghela nafas karenanya.

“Minta maafnya sama Power, jangan sama gue. Gue nyamar gini niatnya mau ngebales perbuatan lo, tapi udah terlanjur begini yaudahlah.” Denji, sama sekali tidak menyembunyikan fakta jika ia hadir untuk membalas perbuatan Yoshida, ia berbicara sesuai keadaan yang ada.

Yoshida terdiam seketika, benar-benar tak tahu harus mengatakan apa pada sosok yang sedang diboncengnya.

“Mampir bentar ke Indomaret, gue mau beli cemilan.” Denji, mengalah. Tak ingin mengungkit lebih jauh urusan Yoshida dan Power.

Yoshida mengiyakan saja, segelintir rasa bersalah yang bersarang di hatinya membuatnya menurut tanpa banyak protes. Memarkirkan sepeda motornya, Yoshida menoleh bingung ke arah Denji, yang tengah menjulurkan sebuah kertas kecil ke arahnya.

“Itu cemilan yang harus lo beli, gue mager, lo aja ya? Duitnya gue transfer.” Denji, tersenyum kekanakan setelahnya.

Yoshida hanya mampu menghela nafas, ia mengusak kepala berlapis rambut palsu berwarna jambu itu dengan jengkel, ia melangkah ke dalam toko meninggalkan Denji yang masih tersenyum kekanakan di belakangnya.

Di sisi lain, Denji yang tengah menunggu Yoshida dikejutkan oleh sebuah tangan yang tiba-tiba mencengkeramnya.

“K-Kurose???”

Denji, terkejut bukan main, kenapa pemuda brengsek ini ada di depannya?!

“Lo Denji, kan? Jangan boongin gue, gue tau Power masih dalam masa pemulihan di rumah lo. Kenapa nyamar? Kenapa lo dijemput cowok lain? Gue kurang apa?”

Denji, meringis ngeri. Pergelangan tangannya sakit ditambah lagi ucapan pemuda di depannya ini sangat menakutinya. Sudut perempatan segera hadir di sudut pelipisnya, menandakan emosi yang membuncah siap meledak kapan saja.

“LEPAS NJING!”

DUAGHHH

Sosok pemuda yang mencengkeram tangan Denji, segera tersungkur dengan sudut bibir yang berdarah. Sosoknya terkejut dengan tendangan tiba-tiba yang Denji layangkan sehingga ia tak sempat menghindarinya.

“Ji?” Yoshida, yang baru saja datang dengan menenteng sekantong tas belanja, terkejut tentu saja. Ia bergegas menghampiri sosoknya lalu berdiri di depannya, seolah-olah sedang menjadi tameng untuk melindungi Denji.

“Hiks— dia ganggu aku—” Denji, terisak pelan. Entah darimana air matanya datang, sosoknya benar-benar membuat Yoshida percaya, jika sosoknya tengah diganggu oleh seseorang.

Akting Denji masih berlanjut, jemari lentiknya meremat hoodie Yoshida dengan lemah, terlihat tak berdaya sama sekali sehingga membuat Kurose terperangah tak percaya.

Di sisi lain, Yoshida berusaha mati-matian menahan kedutan di sudut bibirnya, sebisa mungkin menahan diri agar tidak tertawa saat itu juga. Ia menekan perasaan lucu itu seketika lalu menatap Kurose yang sudah bangkit dari jatuhnya dengan tajam.

“Bro, ini pacar gue. Cantik? Emang, wajar pada naksir sama dia. Tapi jangan dipaksa juga, udah hak paten gue ini.”

Wah, Denji merasa stress seketika.

#Siapa?

Yoshida, tersenyum kecut setelah melepas helm yang membelenggu kepalanya. Ia menatap Denji, dengan senyum paksa yang membuat Denji, merasa heran.

“Kenapa?”

“Bilang dong kalau lo nunggu di halte, lo tau gak? Gue dilemparin sendal sama Power. Abang lo juga nodongin gue pistol tadi, dapet dimana sih barang begituan astaga,” keluh Yoshida.

Denji, justru tertawa. “Mampus lo.”


Keheningan tercipta selama perjalanan. Sampai akhirnya, Denji membuka suara.

“Lo liat, kan? Karena perbuatan lo dan anak buah lo, kembaran gue dapet jahitan. Separah itu,” ucapnya. Suara halus seperti Power sepenuhnya hilang, hanya suara khas pemuda yang berhasil mengejutkan Yoshida setiap kali mendengarnya.

“Maaf.” Suara Yoshida, terdengar penuh sesal, sehingga Denji hanya bisa menghela nafas karenanya.

“Minta maafnya sama Power, jangan sama gue. Gue nyamar gini niatnya mau ngebales perbuatan lo, tapi udah terlanjur begini yaudahlah.” Denji, sama sekali tidak menyembunyikan fakta jika ia hadir untuk membalas perbuatan Yoshida, ia berbicara sesuai keadaan yang ada.

Yoshida terdiam seketika, benar-benar tak tahu harus mengatakan apa pada sosok yang sedang diboncengnya.

“Mampir bentar ke Indomaret, gue mau beli cemilan.” Denji, mengalah. Tak ingin mengungkit lebih jauh urusan Yoshida dan Power.

Yoshida mengiyakan saja, segelintir rasa bersalah yang bersarang di hatinya membuatnya menurut tanpa banyak protes. Memarkirkan sepeda motornya, Yoshida menoleh bingung ke arah Denji, yang tengah menjulurkan sebuah kertas kecil ke arahnya.

“Itu cemilan yang harus lo beli, gue mager, lo aja ya? Duitnya gue transfer.” Denji, tersenyum kekanakan setelahnya.

Yoshida hanya mampu menghela nafas, ia mengusak kepala berlapis rambut palsu berwarna jambu itu dengan jengkel, ia melangkah ke dalam toko meninggalkan Denji yang tersenyum miring di belakangnya.

“Padahal lo baik, kenapa jadi tukang bully sih.”

#Amerta | 6.

Yoshida, benar-benar tak menyangka jika tak berselang lama setelah ia mengirim pesan kepada Denji, dering ponselnya berbunyi dan yang menghubunginya adalah Denji itu sendiri.

Dengan telinga yang memerah dan kegugupan kecil yang menghampiri, Yoshida segera mengangkatnya.

Suara tawa halus Denji, segera menyapa gendang telinganya.

“Aneh. Rindu berat darimananya sih lo? Baru ketemu kemarin juga.” Senyum Yoshida, mengembang saat itu juga pada sudut bibirnya.

“Gue gak bisa ngatur persoalan hati dan rindu, Den,” sahut Yoshida.

Terdengar helaan nafas dari speaker ponsel.

“Besok kan ketemu di sekolah?”

Yoshida menggeleng, meskipun ia tahu jika Denji tak mungkin melihatnya.

“Di sekolah, lo dimonopoli penuh sama Yoru.”

Kembali terdengar alunan tawa halus dari Denji.

“Yaudah, gue temenin telponan sampai lo ketiduran.”

Yoshida, tersenyum lebar mendengarnya. Ia melangkah tergesa menuju balkon kamarnya, duduk di sana seraya menatap langit malam yang sedang cerah-cerahnya, seolah sedang menggambarkan suasana hatinya saat ini.

“Ji?”

“Hm?”

“Lagi dimana? Bener udah pulang ke Kos?”

“Lagi di halte deket kos, langitnya cantik. Sia-sia banget kalo gue pulang sekarang.”

“Ji?”

“Apaaaa?”

Entah Yoshida yang terlalu perasa, atau memang saat ini Denji terdengar lebih lembut dari biasanya? Jantungnya berdebar-debar karena hal ini.

“Are you sure you're not tired?”

Suara Denji, terdengar bingung di seberang sana. “Uh— I don't know? Why?”

Yoshida, tersenyum tipis. “You've been running through my mind all day.”

Hening. Hanya terdengar hembusan nafas halus dari Denji, sehingga Yoshida, hanya bisa terkekeh di tempatnya. “Ji?”

“... Bi...”

“Hah ngomong apa?”

“APAAN SIH BABIIIIIIII!”

Setelah itu, hanya terdengar suara tawa dari Yoshida, dan jeritan salah tingkah dari Denji yang masih menetap di posisinya.

Tanpa sadar, ada sepasang mata menatapnya dengan ekspresi sendu yang nampak memilukan.

#Amerta | 6.

Yoshida, benar-benar tak menyangka jika tak berselang lama setelah ia mengirim pesan kepada Denji, dering ponselnya berbunyi dan yang menghubunginya adalah Denji itu sendiri.

Dengan telinga yang memerah dan kegugupan kecil yang menghampiri, Yoshida segera mengangkatnya.

Suara tawa halus Denji, segera menyapa gendang telinganya.

“Aneh. Rindu berat darimananya sih lo? Baru ketemu kemarin juga.” Senyum Yoshida, mengembang saat itu juga pada sudut bibirnya.

“Gue gak bisa ngatur persoalan hati dan rindu, Den,” sahut Yoshida.

Terdengar helaan nafas dari speaker ponsel.

“Besok kan ketemu di sekolah?”

Yoshida menggeleng, meskipun ia tahu jika Denji tak mungkin melihatnya.

“Di sekolah, lo dimonopoli penuh sama Yoru.”

Kembali terdengar alunan tawa halus dari Denji.

“Yaudah, gue temenin telponan sampai lo ketiduran.”

Yoshida, tersenyum lebar mendengarnya. Ia melangkah tergesa menuju balkon kamarnya, duduk di sana seraya menatap langit malam yang sedang cerah-cerahnya, seolah sedang menggambarkan suasana hatinya saat ini.

“Ji?”

“Hm?”

“Lagi dimana? Bener udah pulang ke Kos?”

“Lagi di halte deket kos, langitnya cantik. Sia-sia banget kalo gue pulang sekarang.”

“Ji?”

“Apaaaa?”

Entah Yoshida yang terlalu perasa, atau memang saat ini Denji terdengar lebih lembut dari biasanya? Jantungnya berdebar-debar karena hal ini.

“Are you sure you're not tired?”

Suara Denji, terdengar bingung di seberang sana. “Uh— I don't know? Why?”

Yoshida, tersenyum tipis. “You've been running through my mind all day.”*

Hening. Hanya terdengar hembusan nafas halus dari Denji, sehingga Yoshida, hanya bisa terkekeh di tempatnya. “Ji?”

“... Bi...”

“Hah ngomong apa?”

“APAAN SIH BABIIIIIIII!”

Setelah itu, hanya terdengar suara tawa dari Yoshida, dan jeritan salah tingkah dari Denji yang masih menetap di posisinya.

Tanpa sadar, ada sepasang mata menatapnya dengan ekspresi sendu yang nampak memilukan.

#Amerta | 6.

Yoshida, benar-benar tak menyangka jika tak berselang lama setelah ia mengirim pesan kepada Denji, dering ponselnya berbunyi dan yang menghubunginya adalah Denji itu sendiri.

Dengan telinga yang memerah dan kegugupan kecil yang menghampiri, Yoshida segera mengangkatnya.

Suara tawa halus Denji, segera menyapa gendang telinganya.

“Aneh. Rindu berat darimananya sih lo? Baru ketemu kemarin juga.” Senyum Yoshida, mengembang saat itu juga pada sudut bibirnya.

“Gue gak bisa ngatur persoalan hati dan rindu, Den,” sahut Yoshida.

Terdengar helaan nafas dari speaker ponsel.

“Besok kan ketemu di sekolah?”

Yoshida menggeleng, meskipun ia tahu jika Denji tak mungkin melihatnya.

“Di sekolah lo dimonopoli penuh sama Yoru.”

Kembali terdengar alunan tawa halus dari Denji.

“Yaudah, gue temenin telponan sampai lo ketiduran.”

Yoshida, tersenyum lebar mendengarnya. Ia melangkah tergesa menuju balkon kamarnya, duduk di sana seraya menatap langit malam yang sedang cerah-cerahnya, seolah sedang menggambarkan suasana hatinya saat ini.

“Ji?”

“Hm?”

“Lagi dimana? Bener udah pulang ke Kos?”

“Lagi di halte deket kos, langitnya cantik. Sia-sia banget kalo gue pulang sekarang.”

“Ji?”

“Apaaaa?”

Entah Yoshida yang terlalu perasa, atau memang saat ini Denji terdengar lebih lembut dari biasanya? Jantungnya berdebar-debar karena hal ini.

“Are you sure you're not tired?”

Suara Denji, terdengar bingung di seberang sana. “Uh— I don't know? Why?”

Yoshida, tersenyum tipis. “You've been running through my mind all day.”*

Hening. Hanya terdengar hembusan nafas halus dari Denji, sehingga Yoshida, hanya bisa terkekeh di tempatnya. “Ji?”

“... Bi...”

“Hah ngomong apa?”

“APAAN SIH BABIIIIIIII!”

Setelah itu, hanya terdengar suara tawa dari Yoshida, dan jeritan salah tingkah dari Denji yang masih menetap di posisinya.

Tanpa sadar, ada sepasang mata menatapnya dengan ekspresi sendu yang nampak memilukan.

#Senjata_wanita

Denji, menatap pantulan dirinya di cermin dengan alis menukik. Mulutnya sedari tadi terus membuka, mengeluarkan suara kecil bak orang yang tengah latihan suara.

“Aaaa— Oooo—”

Suara seraknya perlahan melembut, ia terus mengulang. Ia benar-benar memastikan jika suaranya kali ini sudah sama persis dengan suara saudara kembarnya, si Power.

“Oke. Tolong permudah urusan gue kali ini, Ya Tuhan.”


Denji, perlahan keluar setelah selesai membenahi penampilannya, ia melirik ke setiap sudut toko dan nyaris jantungan saat mendapati sosok Yoshida, tengah menatapnya di bangku pojok toko. “Bangke, kekeuh banget anjing.” Gumamnya.

Berpura-pura tak melihat, Denji, melangkah menuju kasir toko, mengambil pesanannya lalu segera beranjak keluar setelah membayar.

Sayangnya, belum sempat ia keluar dari sana, ia merasakan tangannya ditarik dengan kuat oleh seseorang.

“Mau pura-pura? Lo masih punya urusan sama gue.”

Itu Yoshida, wajah rupawannya kali ini terdapat sebuah lebam, dan Denji tahu itu adalah hasil dari pukulan telaknya kemarin.

Nyaris tertawa, Denji setengah mati berusaha menahannya. Ia menarik nafasnya perlahan, lalu segera menghitung di dalam hati saat skenario yang ada di otaknya akan segera ia lakukan.

“M—maaf? Ada apa ya?”

Suara lembut Denji, terdengar bergetar. Ia sengaja melemahkan suaranya, layaknya perempuan yang tengah diganggu atau disakiti oleh pacarnya. Posisi tangan Yoshida yang memegang tangannya, justru semakin mendukungnya. Ia bersorak dalam hati, saat seluruh pasang mata yang ada di toko ini menatap ke arah mereka berdua.

Ekspresi Yoshida, berubah. Ia melonggarkan pegangannya pada tangan Denji dengan ragu. Masa dia salah orang?

Tapi dipikir-pikir benar juga, sosok di depannya memang memiliki wajah serupa dengan Power, tetapi rambutnya berwarna coklat gelap, sangat kontras dengan rambut merah muda seperti gulali milik Power.

Tapi— memangnya ada seseorang dengan wajah yang bisa menyerupai sebegitu miripnya?

Di saat Yoshida lengah akan pikirannya itulah, Denji, menjatuhkan dirinya. Tangannya bergerak menutupi kepalanya seolah-olah takut jika Yoshida, akan memukulnya. “M—maaf!”

Pekikan lemah Denji, kembali mencuri pusat perhatian. Semua pasang mata saat ini menatap ke arahnya dan Yoshida dengan sudut pandang berbeda. Jika ia dipandang dengan cemas dan kasihan, maka Yoshida dipandang dengan marah dan ketidakpercayaan.

“Mas? Lo laki bukan? Ini ceweknya kurang cantik apa sampai lo tega berbuat kasar gini?”

Karyawan, maupun pengunjung toko segera bergerak menuju ke arah Yoshida dan Denji, mereka serentak membantu Denji berdiri dan membiarkan sosoknya yang nampak rapuh bersembunyi dibalik badan mereka. Mereka semua menatap Yoshida dengan tatapan menghakimi, sehingga Yoshida, dibuat panik karenanya.

“Saya gak kenal dia siapa, saya gak boong.” Yoshida, mencoba berbicara dengan sopan, meskipun keringat dingin sebesar biji jagung perlahan mengalir dari pelipisnya.

“Gak usah boong! Gue liat tadi lo megang tangan dia!”

“Bener tuh!”

“Dasar cowok biadab!”

Yoshida, total panik. Ia melirik ke arah Denji, yang hanya menatapnya dengan datar, tak berniat membantu sedikit pun. Karena bingung harus apa, ia segera beranjak pergi dari toko dengan tergesa-gesa. Wajahnya memerah karena amarah yang benar-benar siap meledak kapan saja.

Sedangkan disudut toko, Power tersenyum miring menatap ke arah layar ponselnya.

“Good job, brother.”

#Senjata_wanita

Denji, menatap pantulan dirinya di cermin dengan alis menukik. Mulutnya sedari tadi terus membuka, mengeluarkan suara kecil bak orang yang tengah latihan suara.

“Aaaa— Oooo—”

Suara seraknya perlahan melembut, ia terus mengulang. Ia benar-benar memastikan jika suaranya kali ini sudah sama persis dengan suara saudara kembarnya, si Power.

“Oke. Tolong permudah urusan gue kali ini, Ya Tuhan.”


Denji, perlahan keluar setelah selesai membenahi penampilannya, ia melirik ke setiap sudut toko dan nyaris jantungan saat mendapati sosok Yoshida, tengah menatapnya di bangku pojok toko. “Bangke, kekeuh banget anjing.” Gumamnya.

Berpura-pura tak melihat, Denji, melangkah menuju kasir toko, mengambil pesanannya lalu segera beranjak keluar setelah membayar.

Sayangnya, belum sempat ia keluar dari sana, ia merasakan tangannya ditarik dengan kuat oleh seseorang.

“Mau pura-pura? Lo masih punya urusan sama gue.”

Itu Yoshida, wajah rupawannya kali ini terdapat sebuah lebam, dan Denji tahu itu adalah hasil dari pukulan telaknya kemarin.

Nyaris tertawa, Denji setengah mati berusaha menahannya. Ia menarik nafasnya perlahan, lalu segera menghitung di dalam hati saat skenario yang ada di otaknya akan segera ia lakukan.

“M—maaf? Ada apa ya?”

Suara lembut Denji, terdengar bergetar. Ia sengaja melemahkan suaranya, layaknya perempuan yang tengah diganggu atau disakiti oleh pacarnya. Posisi tangan Yoshida yang memegang tangannya, justru semakin mendukungnya. Ia bersorak dalam hati, saat seluruh pasang mata yang ada di toko ini menatap ke arah mereka berdua.

Ekspresi Yoshida, berubah. Ia melonggarkan pegangannya pada tangan Denji dengan ragu. Masa dia salah orang?

Tapi dipikir-pikir benar juga, sosok di depannya memang memiliki wajah serupa dengan Power, tetapi rambutnya berwarna coklat gelap, sangat kontras dengan rambut merah muda seperti gulali milik Power.

Tapi— memangnya ada seseorang dengan wajah yang bisa menyerupai sebegitu miripnya?

Di saat Yoshida lengah akan pikirannya itulah, Denji, menjatuhkan dirinya. Tangannya bergerak menutupi kepalanya seolah-olah takut jika Yoshida, akan memukulnya. “M—maaf!”

Pekikan lemah Denji, kembali mencuri pusat perhatian. Semua pasang mata saat ini menatap ke arahnya dan Yoshida dengan sudut pandang berbeda. Jika ia dipandang dengan cemas dan kasihan, maka Yoshida dipandang dengan marah dan ketidakpercayaan.

“Mas? Lo laki bukan? Ini ceweknya kurang cantik apa sampai lo tega berbuat kasar gini?”

Karyawan, maupun pengunjung toko segera bergerak menuju ke arah Yoshida dan Denji, mereka serentak membantu Denji berdiri dan membiarkan sosoknya yang nampak rapuh bersembunyi dibalik badan mereka. Mereka semua menatap Yoshida dengan tatapan menghakimi, sehingga Yoshida, dibuat panik karenanya.

“Saya gak kenal dia siapa, saya gak boong.” Yoshida, mencoba berbicara dengan sopan, meskipun keringat dingin sebesar biji jagung perlahan mengalir dari pelipisnya.

“Gak usah boong! Gue liat tadi lo megang tangan dia!”

“Bener tuh!”

“Dasar cowok biadab!”

Yoshida, total panik. Ia melirik ke arah Denji, yang hanya menatapnya dengan datar, tak berniat membantu sedikit pun. Karena bingung harus apa, ia segera beranjak pergi dari toko dengan tergesa-gesa. Wajahnya memerah karena amarah yang benar-benar siap meledak kapan saja.

Sedangkan disudut toko, Power tersenyum miring menatap ke arah layar ponselnya.

“Good job, brother.”