Obrolan serius
Mash, terdiam di depan pintu masuk menuju dapur rumah Finn dan Rayne, menatap sosok Rayne yang membelakanginya dengan kening mengernyit dalam. Sedangkan Rayne sendiri masih tak sadar, ia sibuk menekuni wajan yang berisi masakan di depannya dengan teliti, sesekali bersenandung.
Sesaat setelah itu, Rayne berbalik. Ada kalanya mungkin 3 detik ekspresi tenang Rayne berubah karena terkejut, namun sosoknya sangat pandai mengatur ekspresi wajahnya. Ia melangkah mendekati Mash, menarik tangan Mash dengan lembut membawanya menuju meja makan dan menyuruhnya untuk duduk.
Mash, setengah linglung hanya menurut. Namun kemudian manik bonekanya seketika berbinar saat mendapati sepiring penuh kue sus dan nasi goreng udang kini tepat berada di depan matanya.
“Masih suka nasi goreng udang kan?” tanya Rayne, sosok itu ikut mendudukkan dirinya tepat di seberang Mash. Ia menyangga dagunya dengan telapak tangannya lalu benar-benar memusatkan pandangannya ke arah Mash.
Mash, tidak nyaman tentu saja. Perasaan sakit mulai mencubit-cubit di dalam hatinya. “Iya,” bisiknya.
“Kenapa nggak nganter aku langsung ke rumah aku aja kak?”
Rayne tersenyum tipis, tangan lainnya yang bebas bergerak secara spontan menuju sudut bibir Mash, yang terdapat sisa-sisa krim dari kue sus yang dimakannya. Ia mengusap sudut bibir tersebut dengan lembut seraya berkata. “Kakak nggak tau rumah kamu.”
“Padahal kamu bisa minta tolong adik kamu, kak.”
“Padahal kamu sendiri juga bisa ngehubungin dia, kan ponselmu masih banyak persentase baterainya?”
“Ada yang masakin aku makan, aku ngehargain.”
“Nggak berubah ya?”
Bibir Mash, mengatup setelahnya. Ia berusaha keras menahan matanya yang mulai memanas.
Jujur saja, menahan tangis sambil makan itu sangat menyakitkan.
Mash benar-benar tak ingin berinteraksi lagi dengan sosok di depannya, tapi kenapa takdir seolah selalu menariknya untuk terus bertemu seperti ini?
“Mash?”
Rayne, sadar akan keterdiaman Mash. Ia segera menjauhkan tangannya yang masih setia berada di wajah Mash tadi.
“Kenapa ...” Mash, bergumam lirih.
Rayne, tak mendengarnya tentu saja. Ia beranjak dari duduknya lalu memilih bersimpuh di bawah kaki Mash, meraih kedua tangan itu dan meremasnya pelan. “Kakak ada salah ngomong ya?”
Tes.
Air mata yang dibendung Mash sedari tadi, akhirnya pecah juga. Sosoknya terisak, meluapkan semua yang dipendamnya selama 2 tahun lebih ini. Suara tangisannya terdengar sangat memilukan, benar-benar menusuk hati Rayne yang mendengarnya dalam diam.
“A—aku pindah dari Kota A biar bisa lupain kamu, kak. Tapi ternyata kamu juga melarikan diri ke sini—” tangisan Mash, semakin kencang. Kedua tangannya yang masih digenggam oleh Rayne, ia hempas begitu saja. Ia memukuli bahu kokoh Rayne sebagai bentuk pelampiasannya.
“Harusnya k—kalau pergi itu ya selamanya aja— kenapa harus balik lagi???”
Rayne, tak mempunyai jawaban yang pas untuk pertanyaan itu. Ia hanya berdiam, membiarkan bahunya terus-menerus terkena pukulan keras dari Mash. Baginya ini adil, bahunya sakit karena ia juga membuat Mash sakit.
“Kakak punya alasan kuat,” ucap Rayne.
“Apa pun alasannya, pergi tiba-tiba habis nyatain putus sepihak itu keterlaluan kak. Aku nunggu— seminggu? Dua minggu? Sebulan? Ternyata 2 tahun lebih— kamu jahat.. jahat banget sama aku kak.. kenapa balik lagi? Aku— aku udah hampir bisa lupain kamu..”
Rayne, hanya bisa terdiam.