taeyangbii


Pukul delapan kurang lima belas menit, kedua pasangan ini sudah di jalan menuju lapangan futsal tempat Seungyoun melakukan janji pertandingan dengan teman-teman semasa kuliahnya.

“Ini teman angkatan kamu apa gimana, Sayang?” tanya Seungwoo yang duduk santai di kursi penumpang.

“Teman angkatan, senior juga ada. Dulu aku sempat masuk tim futsal kampus, Mas. Tiba-tiba aja grup yang udah setahun enggak hidup tiba-tiba ramai, soalnya ada senior aku yang baru selesai tugas di Afrika sana katanya kangen buat main futsal.”

“Loh jauhnya, kerja apa?”

“Aku juga kurang paham sih, tapi dia yang sering pergi keluar negeri lama-lama, mengabdi gitu Mas.”

“Oh begitu … main berapa lama?”

“Tiga jam, Mas. Ngomong-ngomong itu kamu bawa tas isinya apa?”

“Kamera, pengen fotoin pacarku main futsal. Jago kamu main bola, Sayang?”

“Jago lah! Dari kecil aku main bola terus, bahkan kaki aku pernah terkilir, tulangnya geser gitu pas SMP semenjak itu Mama marah banget enggak bolehin aku main bola, hobi hilang, eh Papa pergi.” Seungyoun berbicara begitu santai sambil mengedikan pundaknya cuek.

“Enggak boleh gitu, Mama kan khawatir, kamu itu anak satu-satunya, anak kesayangannya, ditambah Papa kamu juga pergi, pasti beliau tambah protect.”

“Iya sih, tapi sekarang aku udah bisa main lagi. Gara-gara SMA aku diam-diam masuk tim futsal, terus ketahuan sama Mama pas liat keranjang baju kotor aku ada jersey bekas aku tanding hahahaha,” Seungyoun tertawa geli mengingat kejadian dulu, “habis itu aku dipukulin Mama, tapi akhirnya malah dikasi makan enak, soalnya aku menang.”

“Ada-ada aja ya kamu, untung menang, coba enggak pasti udah diusir sama Mama kamu tuh,” Seungwoo mengacak rambut Seungyoun.

“Kalau diusir ada rumah Jamie sama Nathan bisa aku singgahi, bahkan Mama Nathan paling senang kalau aku nginep, pernah aku kelepasan nginep sampai dua minggu.”

“Itu kamu khilaf apa keenakan?”

Both hehehehe.”

Saat sampai di lapangan futsal belum ada siapa-siapa yang datang, padahal sudah memasuki waktu janjian. Seungyoun melihat lapangan futsal masih kosong memilih menunggu di luar lapangan, Seungwoo yang sedari tadi mengikuti kekasihnya, sesekali mengambil foto sekitar lapangan dan tak lupa foto kekasihnya sendiri.

“Kok pada telat semua, biasanya yang paling telat itu aku loh,” ujar Seungyoun.

“Ya bagus berarti sekali-sekali kamu ngerasain nunggu orang terlambat, kayak aku yang kadang nunggu kamu cuma mau pilih pakai converse warna apa aja sampai dua puluh menit,” sahut Seungwoo.

“Tapi aku kan sering on time juga! Baru itu aja kok aku telat, lagian kamu pas itu dadakan katanya masih jauh, masih lewat tol kenapa udah di rumah aja?”

“Jalan nggak macet, berarti kamu yang lama.”

Merasa kesal Seungyoun melempar bola yang ia bawa ke arah Seungwoo, beruntung Seungwoo memiliki reflek yang bagus, bola yang harusnya menghantam badannya memantul mengenai dada Seungwoo.

“Jangan lupa aku juga bisa main bola ya Sayang.”

“Makanya ayo ikut main!” Seungyoun menarik tangan Seungwoo yang berdiri tak jauh dari dirinya.

“Pinggang aku benaran sakit, nih lihat aku kasi koyok loh,” Seungwoo menyingkap bajunya dan menampakan dua koyok menempel di pinggang kanan dan kirinya.

“Kamu kerja fotoin orang bukan angkat batu, Mas! Kenapa sampai koyokan gini sih?”

“Kelamaan jongkok, tadi client aku anak bayi, anak kecil sama cewek tapi foto melantai gitu.”

“Oh siluman ular?”

“Bukan!” Seungwoo mendorong dahi Seungyoun dengan telunjuknya.

“Siapa suruh bilang melantai!”

“Memang di lantai kok!”

Tiba-tiba Seungyoun terperanjat dan reflek memeluk lengan Seungwoo saat merasakan sesuatu berbulu berdiri menyentuh betisnya yang tak tertutup kaos kaki, “apa tuh!?” teriak Seungyoun.

Seungwoo menunduk untuk memeriksa, ternyata hanya seekor kucing liar, “gini doang takut, dih!” Seungwoo terkekeh.

“Aku kaget! Tiba-tiba ada yang pegang betis aku, kirain apaan. Hai teman kecil, sendirian aja nih?” Seungyoun berjongkok dan mengelus kucing yang terlihat jinak tersebut.

Tak ingin melewatkan momen, langsung saja Seungwoo membidik pacarnya yang asik bercengkrama dengan kucing.

“Bagus nggak, Mas?” tanya Seungyoun saat Seungwoo memeriksa hasil fotonya.

“Bagus kok, kalian aku liatin mirip tau.”

“Masa? Berarti aku imut?”

“Lebih imut kucingnya sih.” Seungwoo menyeringai jahil, sengaja membuat Seungyoun kesal.

“Pacaran sana sama kucing!”

“Bukannya udah? Pacarku sekarang kucing, galak banget.”

“Heh!” sergahan Seungyoun membuat kucing di sampingnya terkejut.

“Kasihan tuh kaget dia, kamu sih. Coba suruh dia liat kamera sini, Sayang.”

“Puss miong, coba lihat ke kamera sana. Tuh liat tukang foto itu,” Seungyoun menunjuk kea rah Seungwoo. Sepertinya kucing itu paham, langsung saja mengikuti arah yang ditunjuk oleh Seungyoun.

“Lah nurut dong, benaran induk kucing kamu mah, Sayang.”

“Bisa diem-“

“Seungyoun! Woi makin gede aja badan lu, perasaan gua dulu masih kecil!” tiba-tiba datang laki-laki dengan badan yang kurang lebih seperti Seungyoun.

Kedua pasangan itu langsung menoleh, Seungyoun segera berdiri dan memeluk laki-laki itu, “Bang Doojoon! Apa kabar, Bang? Gimana Afrika, asik nggak?”

“Asik, gua bisa lihat singa dimana-mana dengan santai hahaha. Udah lama nunggu lu?”

“Lumayan, kira-kira udah bisa bikin pameran seni terapan lah.”

“Hahaha ngada-ngada aja lu, eh ini siapa?” laki-laki yang dipanggil Doojoon tadi menunjuk Seungwoo.

“Pacar gua bang, kenalan dulu gih,” Seungyoun menepuk pundak Doojoon.

Seungwoo mengulurkan tangannya terlebih dahulu, “Seungwoo,” ujarnya ramah.

“Doojoon. Kok lu mau sama Seungyoun sih, anaknya berisik banget,” tanya Doojoon penasaran.

“Gapapa udah biasa, kalau enggak berisik malah heran gua hahaha,” kedua pria yang lebih tua dari Seungyoun tersebut tertawa geli satu sama lain.

Merasa terpojokan Seungyoun memukul pundak Doojoon keras, “masih aja lu ye gangguin gua. Mana anak lu, Bang? Harusnya lu bawa!”

“Lu mau gua tidur di ruang tamu sama istri gua apa malam-malam bawa si kecil pergi hah? Anak-anak lain mana coba?”

“Ya mana tau, gua gemes sih liat di instagram istri lu. Nggak tau, kebiasaan banget deh kalau udah gini telat,” omel Seungyoun.

By the way, kerja apa Woo?” Doojoon menyempatkan diri mengobrol dengan Seungwoo.

“Ya seperti yang lu lihat,” Seungwoo mengangkat kameranya dan Doojoon langsung memahaminya.

“Bang Joon, tuh mereka baru datang.” Seungyoun menunjuk mobil dan motor lain yang berdatangan di tempat parkir.

“Langsung masuk lapangan aja yuk?” ajak Doojoon.

“Yuk, Bang! Mas kamu tunggu aja di kursi itu ya, gapapa kan? Kalau bosen cari aja makan di sekitaran sini.”

“Main aja sana, jangan mikirin Mas ya, have fun!” Seungwoo menepuk kepala Seungyoun beberapa kali, Seungyoun tersenyum manis dan menyusul Doojoon masuk ke lapangan futsal.


Pertandingan futsal pun dimulai, Seungwoo berdiri di luar lapangan futsal dimana terhalang oleh dinding dari jarring-jaring khusus, kamera tak hentinya membidik setiap gerakan Seungyoun, dirinya sudah seperti paparazzi yang menangkap kegiatan selebriti. Sudut bibir Seungwoo naik saat mendengar teriakan Seungyoun yang berhasil memasukan bola ke dalam gawang.

Tak diragukan lagi, Seungyoun memang jago bermain bola. Sedari tadi kekasihnya itu yang paling lincah dan aktif memimpin permainan, suara tawa dan teriakan pun tak henti-hentinya terdengar, jujur Seungwoo bahagia melihat kekasihnya tampak bebas dan bahagia di sana, Seungyoun benar-benar menjadi dirinya sendiri di setiap hal yang ia lakukan tanpa ada keraguan.

Saat tengah asik menikmati pertandingan sang kekasih tiba-tiba ponsel Seungwoo berbunyi tanda panggilan masuk, Seungwoo pun memeriksa siapa yang menelpon, ternyata seseorang yang sangat ia hindari ㅡNaluㅡ, “ngapain sih?” gumam Seungwoo kesal.

Seungwoo memilih mengabaikan panggilan tersebut dan duduk di tepi lapangan futsal, lanjut menikmati pertandingan Seungyoun.

Beberapa menit kemudian panggilan masuk kembali dari orang yang sama, namun Seungwoo tetap teguh pada pendiriannya untuk mengabaikan panggilan tersebut. Wajah Seungwoo tampak merengut dan hal itu tak sengaja dilihat oleh Seungyoun, “kenapa gitu mukanya?” batin Seungyoun.

Ia pun berlari ke tepi lapangan menyusul Seungwoo, Seungyoun menggenggam jaring futsal dan menempelkan badannya pada jaring tersebut, “Mas, kenapa? Lapar ya?” tanya Seungyoun.

“Eh? Kok kamu malah kesini, main sana malah kabur-kaburan.” Seungwoo terlihat bingung.

“Pada break tuh, kasihan udah pada berumur hehehe.”

“Jangan ngejek gitu, entar kamu rasain sendiri pas udah berumur loh!”

“Ya maaf! Kamu kenapa aku liatin ngerengut, lapar ya? Sabar ya sejam lagi selesai kok, habis itu kita makan, ya? Aku juga lapar nih, padahal tadi udah makan.”

“Gimana enggak lapar, kamu aja lari sama mainnya yang paling lincah.”

“Main bola kalau enggak lincah tuh enggak seru tau! Udah ya aku balik main lagi, semangatin aku dong!”

“SEMANGAT SEUNGYOUN!” Teriak Seungwoo memenuhi seluruh lapangan futsal dan menjadi pusat perhatian.

“WOHOOO!!!” Sorak teman-teman Seungyoun sengaja meramaikan, membuat Seungwoo terkekeh geli.

“Heh enggak gitu juga!” wajah Seungyoun sudah memerah hingga ke telinga.

“Loh? Katanya minta semangatin?” Seungwoo menyeringai.

“Ini mah kamu sengaja mau kerjain aku biar aku diejekin sama teman aku!”

“Ya gapapa lah, sesekali jahilin kamu?”

“Sering kali ya! Mohon diperbaiki bahasanya!”

“Main sana hush hush!”

“Kalau aku menang makan burger king ya!”

“Iya bawel!”

“Engga bawel!” Seungyoun kembali ke tengah lapangan dan melanjutkan pertandingannya.

Melihat tingkah lucu Seungyoun selalu berhasil membuat Seungwoo tertawa kecil, ia mengeluarkan ponselnya untuk membunuh rasa bosan, namun hal pertama yang ia lihat adalah pesan masuk dari Naul, mau tak mau Seungwoo membukanya.

Besok ketemu di càfe biasa jam 12 siang, gua mau ngomong sesuatu. Bawa pacar lu juga, jangan ngehindar, ini penting.

Alis Seungwoo naik, ia memiringkan kepalanya dan dahinya langsung mengkerut tanda kebingungan.

“Apanya yang penting? Aneh.” Tak ingin membalas, Seungwoo memilih melihat-lihat sosial media.


Tak terasa satu jam terlewati, Seungwoo begitu menikmati pertandingan kekasihnya.

“Mas aku menang! Burger king ya!” Teriak Seugyoun masih di tengah lapangan sambil mengangkat kedua jempolnya, sambil melompat kecil seperti bocah.

“Pacar siapa sih lucu banget,” gumam Seungwoo sambil tersenyum, ia beranjak dari kursinya mengambil tas milik Seungyoun dan menunggu di pintu masuk lapangan.

“Pulang duluan?” Tanya Seungwoo saat Doojoon pertama keluar.

“Iya nih istri udah nyariin, biasa namanya juga udah jadi bapak haha. Duluan ya Woo!” Doojoon menepuk pundak Seungwoo.

“Iya, hati-hati di jalan!” Ujar Seungwoo dan Doojoon merespon dengan mengangkat jempolnya.

“Mas tolong masukin ke dalam tas.” Tiba-tiba saja Seungyoun sudah datang dan memberikan sepatu futsalnya kepada Seungwoo.

Seungwoo menunduk melihat kaki telanjang Seungyoun, “kenapa sih engga tunggu duduk atau di dalam mobil dulu gantinya? Kakimu nanti kotor!” Seungwoo memasukan sepatu Seungyoun ke dalam tas miliknya dan mengeluarkan slipper hitam kesayangan Seungyoun.

“Bersih kok, mulai deh ngomel-ngomelnya!” Seungyou memakai slipper-nya, tangannya tak dapat diam dan mencubit pinggang Seungwoo.

“Mulai ya cubit-cubit!”

“Aku gemes! Ayo kita makan, aku udah lapar banget!” Seungyoun memeluk lengan Seungwoo, menyeret kekasihnya ke parkiran.

Tak ingin menunggu lama, sebelum Seungyoun mengomel lebih jauh karena lapar Seungwoo langsung saja melaju membawa mobil kekasihnya menuju burger king terdekat.

“Capek?” Seungwoo mengelus kepala Seungyoun, dapat ia rasakan rambut kekasihnya basah oleh keringat.

“Lumayan, habis ini mau langsung tempel koyok juga kayak kamu Mas, belum apa-apa udah pegel aku.”

“Makanya main jangan terlalu semangat, kalau ada apa-apa kasi tau.”

“Hmm hmm...,” Seungyoun memejamkan matanya sepanjang perjalanan.

Nyaris saja lelaki manis, kesayangan Seungwoo ini terlelap jika tidak Seungwoo membangunkannya dan memberitahu jika sudah sampai di tempat tujuan.

“Kamu duduk aja biar aku pesanin, yang biasa kan?” Tanya Seungwoo dan Seungyoun mengangguk.

Keduanya berpisah, Seungwoo mengantri untuk pesan sedangkan Seungyoun mencari tempat duduk. Wajahnya terlihat lelah, dengan mata sayu mengantuk Seungyoun duduk di kursi kosong dekat jendela. Kepalanya ia rebahkan ke atas meja dan lanjut memejamkan matanya lagi.

Melihat kekasihnya yang tertidur di meja Seungwoo hanya dapat menggelengkan kepalanya sambil membawa pesanan mereka, “Seungyoun, Sayang, bangun nih burgernya.”

“Hm?” Seungyoun mendongak, “Mas aku kayaknya nggak bisa angkat tangan aku deh, suapin dong,” Seungyoun menegapkan posisinya.

“Bayi banget, cepet nih dimakan,” Seungwoo membuka bungkusan burger dan mendekatkannya pada mulut Seungyoun.

“Hehehe makasih sayangnya aku!” Seungyoun memakan burger yang disuapkan kekasihnya.

“Enak?” Tanya Seungwoo dan dibalas anggukan.

“Minum dulu, kamu belum ada minum kan,” Seungwoo memberikan air mineral.

“Oh iya tadi kamu foto-foto, hasilnya mana aku mau lihat,” Seungyoun buka suara sambil meminum airnya.

“Kameranya di mobil, buka twitter aja ada aku upload kok. Nih aaa-” Seungwoo kembali menyuapi Seungyoun.

“Oh iya?” Langsung saja Seungyoun mengeluarkan ponselnya dan melihat profil Seungwoo, “ih yang sama miong lucu! Aku mau, nanti minta HD-nya ya, Mas?”

“Iya Sayangku, masih mau disuapin lagi nggak? Aku liat-liat udah bisa angkat tangan buat main handphone tuh?”

“Aduh-aduh capek banget, ahh- kayaknya lemes deh!” Seungyoun berpura-pura drama kesakitan, meletakan ponselnya di atas meja.

“Dasar manja! Tapi nggak mau dibilang bayi, siapa tuh?”

“Cho Seungyoun namanya, pacarnya Han Seungwoo!”

Keduanya tertawa geli, sesekali Seungwoo memakan burger miliknya dan menyuapi Seungyoun lagi. Tangan Seungyoun tiba-tiba terulur membersikan serpihan roti di sudut bibir Seungwoo, dielusnya pipi sang kekasih dengan jempolnya, Seungyoun pun tersenyum dan membuat Seungwoo ikut tersenyum.

“Ada apa, Sayang?” Seungwoo mengecup sekilas telapak tangan Seungyoun.

“Makasih banyak untuk waktunya hari ini, walau bukan jalan-jalan atau hal yang kita rencanain sebelumnya, tapi aku senang bisa habisin waktu sama kamu berdua gini, apalagi aku bisa nunjukin hobi aku, sisi aku yang lain ke kamu.”

“Kalau boleh jujur aku kagum sama cara kamu main bola, aku aja kalah jago. Aku mungkin bakal kalah kalau tanding sama kamu, aku juga senang bisa lihat sisi kamu yang ini, sering-sering ya, aku suka kamu yang apa adanya, Sayang ....”

Tangan keduanya saling mengganggam satu sama lain.

I love you,” “aku sayang kamu.”

Keduanya mengucapkan kata tersebut bersamaan, “eh?” “Heh?” Baik Seungwoo, maupun Seungyoun langsung terkejut dan tertawa lagi.

“Kita tuh kenapa sih, Mas?” Seungyoun tertawa lepas hingga tersedak salivanya sendiri.

“Nah kan, pelan-pelan Sayang,” Seungwoo mengelus tangan Seungyoun, memberikan si manis minum agar batuknya reda.

“Hehehe habis lucu deh, heran aku bisa barengan gitu.”

“Ya mungkin udah jodoh.”

“Amin ....” Seungyoun tersenyum lebar, membuat jantung Seungwoo berdetak kencang.

Tiba-tiba Seungwoo mengingat pesan masuk dari mantan kekasihnya, “oh iya Youn, besok kamu ada waktu kosong?” Tanya Seungwoo.

“Kosong, ada apa?”

“Aku mau ajakin kamu ketemu sama mantan aku, tadi dia telepon tapi aku abaikan, terus dia chat bilang ngajakin ketemu, bawa kamu juga, ada hal penting yang mau dia omongin.”

“Hm? Tiba-tiba? Dia nggak lagi kambuh kan, Mas? Atau mungkin mau labrak aku?” Seungyoun terlihat skeptis.

Seungwoo terkekeh, “enggak mungkin lah, mana dia berani labrak kamu di depan aku. Lagipula ya Sayang, badan dia bahkan enggak lebih tinggi dari kamu, dia mungkin cuma sebatas leher kamu aja.”

“Loh mana kita tau, Mas! Habis aneh aja tiba-tiba, bahkan suruh ajakin aku loh? Pasti ada maksudnya!”

“Ya kalau dia macam-macam artinya dia berurusan sama aku seumur hidup, enggak akan aku maafin apalagi sampai dia nyentuh kamu seujung kuku.”

“Wow- Mas kamu seram, enggak gitu juga, Mas.”

“Itu ganjaran buat orang yang ganggu atau nyakitin kesayangan aku, jadi kamu tenang aja. Apapun yang dia omongin atau lakukan cukup kamu dengar dan lihat aja, tapi jangan dimasukan ke dalam hati, ya?”

“Aku enggak bakal terpengaruh sama dia, Mas. Aku juga belum pernah ketemu dia secara personal, jadi aku mau lihat gimana sih yang kemarin itu sok-sokan ngelabrak aku, sehebat, sejago apa sih? Kalau Mas bilang dia aja bahkan enggak lebih tinggi dari aku.”

“Kalau kamu ketemu pasti kamu bakal paham dan ngerti, apalagi kalau dengar dan lihat cara dia ngomong. Masih enggak habis pikir, kok bisa-bisanya dia jadi mantan aku.”

“Makanya kalau khilaf bucin tolol jangan kelamaan, coba khilaf itu khilaf cari duit lama-lama terus sampai akhirnya kaya, Mas!” Seungyoun menarik gemas pipi Seungwoo.

Seungwoo menarik tangan Seungyoun dan menggigit kelingking kekasihnya gemas, “ngomongnya tuh ya pintar banget, siapa yang ajarin, hm?” Seungwoo menaikan dagunya.

“Belajar sendiri, aku anak mandiri!”

“Bagus, memang tepat aku pilih kamu jadi calon aku.” Seungwoo melipat keempat jari Seungyoun, hingga tersisa jempolnya saja dan diangkat tinggi-tinggi oleh dirinya.

“Mas aku bukan anak kecil diginiin ih!” Seungyoun memukul lengan Seungwoo kesal, empunya hanya tertawa.

“Jadi, besok siap ketemu Naul?” Tanya Seungwoo.

“Siapa, kenapa enggak? Di mana? Jam berapa?”

“Janjinya sih di càfe langganan aku dulu, jam dua belas siang. Kita datang agak telat aja aku malas ketemu dia cepat-cepat.”

“Enggak boleh gitu! Kalau perlu kita datang lebih awal aja, biar dia ngerasa tersanjung padahal aslinya kita datang awal biar bisa habisin waktu berdua aja,” Seungyoun menaik turunkan alisnya.

“Wah- benar juga, pintar banget sih kamu. Pacar siapa? Sekali lagi aku tanya pacar siapa sih?” Seungwoo menggelitik dagu Seungyoun.

“Hehehehe pacar kamu!” Seungyoun meminum sodanya yang masih tersisa.

Keduanya lanjut mengobrol hal lainnya, menghabiskan waktu berdua yang sangat jarang mereka dapatkan. Bahkan Seungyoun saja sudah melupakan rasa lelah dan kantuknya.


Kesibukan Hongseok seperti tak ada hentinya, baru saja dirinya menyelesaikan syuting di kota lain, sekarang dirinya sudah berada di agensi untuk melakukan latihan. Hongseok menghela napasnya keras-keras sembari menunggu latte yang ia pesan di càfe agensinya.

“Capeknya ....” keluh Hongseok.

“Silahkan latte-nya!” Pesanan pun datang.

Thanks!”

Setelah mendapat latte-nya, Hongseok segera naik ke lantai lima untuk beristirahat sebentar di studio kekasihnya ㅡHyungguㅡ. Bisa dibilang sudah hampir tiga bulan terakhir ini keduanya sibuk masing-masing hingga sangat jarang bertemu, tak heran jika sesekali keduanya berkelahi atau berdebat kecil hanya karena kesibukan ini. Walaupun mereka saling mengerti satu sama lain, namun jika sudah saling rindu dan jarang bertemu tentu saja emosi kadang tak bisa dikontrol.

“Hongseok Hyung! Baru selesai syuting?” Wooseok tiba-tiba keluar dari studio Yuto.

“Iya nih, lagi ngapain kalian?” Tanya Hongseok sambil mengintip studio yang suasananya didominasi oleh warna hitam. Dapat Hongseok lihat Yuto asik bermain dengan gitar elektrinya, dirinya tak menyadari keberadaan Hongseok karena telinganya sudah ditutup oleh headphone.

“Biasa ngobrol santai, iseng bikin lagu juga, ini mau ambil orderan makanan dulu di bawah.” Wooseok menjelaskan.

“Oh yaudah, Hyung mau ke studio Hyunggu dulu.”

“Tadi dia barusan juga dari sini, terus balik lagi ke studio dia.”

“Ngapain?”

“Curi gitar Yuto.”

Alis Hongseok naik, wajahnya tampak heran mendengar Hyunggu membawa gitar milik sahabatnya.

“Mau ngapain?”

“Ngamen kali. Udah ya Hyung, aku ke bawah dulu!” Wooseok menyempatkan diri menepuk pundak Hongseok, laki-laki dengan tinggi yang tak biasa itu berlari menuju lift.

Tak ingin rasa penasarannya semakin menjadi, Hongseok segera menuju studio Hyunggu yang berjarak tiga studio lainnya. Saat sudah dekat, tiba-tiba Shinwon keluar dari studio kekasihnya. Semenjak ada beberapa perbaikan di lantai lima, Shinwon dipindahkan oleh bos mereka agar berbagi ruang studio dengan Hyunggu.

Yo wassup Hong ma bro!” Shinwon menepuk keras pundak Hongseok.

“Shh- kira-kira dong kalau nepuk!” Tatapan sinis Hongseok berikan kepada Shinwon.

“Hehehe sorry Hyung, keliatannya anda lelah. Benarkah begitu?”

“Ya menurutmu? Baru selesai syuting, lanjut ke sini lagi, aku aja enggak yakin bakal mampu latihan lama apa enggak.”

“Jangan terlalu memaksakan diri, tapi aku yakin Hongseok Hyung mampu, kan sering olahraga.”

“Ngomong-ngomong mau kamu bawa kemana belahan jiwa kamu itu?” Hongseok menunjuk gitar elektrik baru Shinwon dengan gitarnya.

Dipeluknya gitar fender berwarna merah itu oleh empunya, “mau diajakin kencan Hyung, masih banyak hal baru yang harus aku pelajari sama kesayanganku ini.” Shinwon mengecup gitarnya seakan-akan gitar itu benar kekasihnya.

Hongseok menatap jijik Shinwon, “sudah sana! Sana! Lama-lama makin gila kamu!”

“Hehehe ya mau gimana lagi Hyung, aku lagi LDR begini. Sebulan masih lama ya?”

“Jangan dipikirin, jalani aja, sebulan bukan waktu yang lama kok.”

“Hmm oke deh, Hyunggu ada di dalam tuh, tadi dia sempat ngomel Hongseok Hyung enggak ada kasi kabar, tapi habis dikasi makan jadi kalem.”

“Makan apa tadi dia?”

“Makan katsu, Hyung. Tadi kita order makanan berdua.”

“Oh gitu, syukurlah kalau sudah makan, anak itu kebiasaan suka terlambat makan.”

“Namanya juga anak kecil, kayak enggak tau Hyunggu aja, Hyung.”

“Iya juga sih, ya sudah aku masuk dulu, Won.”

Take your time, Bro.” Shinwon menaik turunkan alisnya dengan seringai jahil ia berikan kepada Hongseok.

Paham maksud Shinwon, Hongseok hanya terkekeh geli dan menggelengkan kepalanya. Dimasukannya kode pintu studio Hyunggu dan langsung saja ia masuk.

Hal pertama yang menyambut kedatangan Hongseok adalah alunan suara gitar dan nyanyian merdu dari Hyunggu membawakan lagu Best Part oleh Daniel Caesar. Hyunggu tampaknya tak menyadari kedatangan Hongseok, hati Hongseok seketika menghangat karena lagu ini adalah lagu yang sering Hyunggu nyanyikan akhir-akhir ini apabila ia merindukan Hongseok.

No matter how far If life is a movie Oh you're the best part, oh oh oh You're the best part, oh oh oh

Best part” “Best part

Suara gitar berhenti, Hyunggu langsung membalik badannya saat mendengar suara yang ia rindukan ikut menyanyikan bagian akhir lirik lagu.

“Hongseok Hyung!” Matanya melebar karena terkejut.

Do you miss me, hm?”

Of course! Come here and please hug me now!” Hyunggu merentangkan tangannya.

Tas yang Hongseok bawa langsung saja ia lempar ke atas sofa abu-abu, kopi yang sudah ia minum setengah pun diletakan di atas rak buku Hyunggu. Kemudian dirinya langsung memeluk Hyunggu, tidak begitu erat karena terhalang oleh gitar diantara mereka.

“Kenapa enggak ada kasi kabar? Aku kira Hyung bakal datang terlambat lagi latihan malam ini.” Hyunggu merengut kepada kekasihnya.

Surprise! Aku sengaja datang lebih awal, supaya bisa istirahat sebentar di sini sambil habiskan waktu sama kamu.” Hongseok menarik kursi lain agar dapat duduk di samping kekasihnya.

“Aku khawatir tau, takut kamu kenapa-napa!”

Pipi Hyunggu ditangkup oleh Hongseok, dikecupnya dahi dan ujung hidung kesayangannya, “intinya sekarang aku sudah ada di sini, kan?”

Bless you, Hongseok.” Hyunggu mengelus pipi kekasihnya.

Anyway, tumben kamu main gitar? Bukannya terakhir kamu bilang sama aku sudah lupa cara mainnya?”

“Pengen aja sih, ternyata masih bisa walau agak bingung awalnya.”

“Kenapa juga bawa Best Part, kangen ya?”

“Enggak tuh.”

“Hm?” Alis Hongseok naik.

“Enggak salah lagi! Hehehehe. Ngomong-ngomong kamu tampan banget pakai kacamata, Hyung.”

“Wow- tampan? Biasanya kamu cuma bilang ganteng.”

“Karena memang tampan, sudah diatas ganteng! Aku suka.”

Bibir Hyunggu dikecup gemas oleh Hongseok, hal itu membuat Hyunggu sedikit terperanjat karena terkejut.

“H-hyung!” Hyunggu memukul manja pundak Hongseok.

“Ayo lanjut lagi nyanyinya, kita nyanyi bareng.”

Suara gitar kembali terdengar, Hyunggu memainkan kunci nada yang sama seperti sebelumnya dan membiarkan Hongseok menyanyikan bagian selanjutnya.

It's the sunrise And those brown eyes, yes You're the one that I desire When we wake up And then we make love It makes me feel so nice

Wajah Hyunggu memerah saat mendengar lirik yang Hongseok nyanyikan, tangan Hongseok terulur mengelus rona tersebut. Kemudian disambung Hyunggu menyanyikan bagian selanjutnya.

You're my water when I'm stuck in the desert You're the Tylenol I take when my head hurts You're the sunshine on my life

Dahi Hyunggu dikecup Hongseok beberapa kali dengan kecupan lembut, Hyunggu reflek memejamkan matanya sambil tersenyum kemudian langsung menatap Hongseok, tepat di bola matanya.

I just wanna see how beautiful you are You know that I see it I know you're a star Where you go I follow No matter how far If life is a movie Then you're the best part, oh oh oh You're the best part, oh oh oh Best part

Kedua suara yang menghasilkan harmoni merdu memenuhi seisi studio, tatapan mata keduanya tak lepas sedetik pun saat mereka bernyanyi bersama, seakan-akan lagu tersebut menjadi sebuah pesan yang menunjukan perasaan cinta dan kasih sayang mereka satu sama lain dan tentu saja perasaan rindu mereka.

Not bad untuk kamu yang sudah lama enggak main gitar.”

Am I? Yeay!” Hyunggu mengecup sekilas pipi Hongseok.

“Coba lagu lain lagi yang enak dibawa dengan gitar.”

“Apa ya hmm ... how about L.O.V.E?” Tanya Hyunggu.

“Nat King Cole?”

“Iya, kayaknya asik deh. Sebentar aku cari chord-nya dulu.” Wajah Hyunggu merengut saat dirinya melihat deretan kunci gitar lagu yang ingin ia bawakan.

“Kenapa gitu wajahnya?” Tanya Hongseok heran.

“Aku coba dulu, agak susah nih.”

“Perasaan aku susahan Best Part?”

“Darima kamu tahu?” Hyunggu melirik kekasihnya.

“Insting hehehe.”

Pelan-pelan Hyunggu mencoba memainkan lagu L.O.V.E oleh Nat King Cole, hingga akhirnya melodi yang tak asing terdengar. Hyunggu pun mulai bernyanyi, namun di tengah jalan dirinya berhenti karena salah memainkan chord.

“Hayo loh salah, enggak boleh liat!” Hongseok menghalangi pandangan Hyunggu untuk melihat chord di layar komputer.

“Ih jangan ganggu dong! Mau dinyanyiin nggak?”

“Kamu tadi salah nyanyinya.”

“Kan aku lupa gimana lagunya!”

Tawa geli Hongseok membuat Hyunggu merengut kesal, ia langsung meletakan gitar milik Yuto di atas sofa, dan kembali kepada kekasihnya hanya untuk memukulnya. Baru saja tangan Hyunggu terangkat namun Hongseok sudah duluan menahannya dan menarik Hyunggu ke dalam pelukannya.

“Jangan galak-galak, memangnya kamu enggak kangen aku peluk begini? Masa kamu lebih pilih marah-marah dan pukulin aku?”

“Kamu sih jahil!”

“Jahilin kamu itu sebagian kewajiban aku, tau?”

“Dasar!” Hyunggu memukul manja punggung Hongseok.

“Cium aku.” Pinta Hongseok.

“Kamu aja.”

Bibir tebal Hongseok dengan senang hati mencium bibir tipis Hyunggu, bibir merah muda favoritnya, yang selalu ia rindukan dan ingin ia cium setiap hari. Ciuman keduanya lambat laun menjadi semakin didominasi oleh napsu, Hyunggu menyempatkan diri untuk melepaskan kacamata yang Hongseok pakai dan diletakannya di atas meja, dan lengan Hyunggu bahkan sudah mengalung dengan santai di leher Hongseok. Sedangkan Hongseok semakin mengertakan pelukannya pada pinggang ramping Hyunggu, tangan Hongseok dengan jahil masuk ke dalam sweater putih Hyunggu, sontak Hyunggu menggeliat karena merasa geli.

“Ahh- H-hyunghh”

Lenguhan dari bibir Hyunggu terdengar, Hongseok semakin bersemangat mencium Hyunggu bahkan ciumannya sudah turun pada rahang tajam Hyunggu, menuju ke ceruk leher kekasihnya yang mengeluarkan aroma vanila khas.

“Nghh- H-hyunghh” tangan Hyunggu menjambak rambut Hongseok pelan, ditekannya kepala sang kekasih agar semakin gencar menjamah lehernya.

“Hmmm ...”

Sakin asiknya bergelut satu sama lain, keduanya sampai tak sadar pintu studio berbunyi tanda ada yang ingin masuk.

“Semuanya ayo latiㅡ what the fuck!” Teriakan Wooseok mengejutkan sepasang kekasih yang nyaris saja memakan satu sama lain.

Secara spontan Hyunggu mendorong Hongseok, menyebabkan punggung kekasihnya menghantam dinding studio.

“Arghh!!” Erang Hongseok.

“Ya ampun Hyung, maaf! Wooseok bisa nggak sih pencet bel dulu!?” Teriak Hyunggu kesal.

“E-eh sorry, sorry banget nih, aku enggak tau kalian lagi ... ya gitu.” Wooseok menggaruk tengkuknya canggung.

“Ada ribut apa nih?” Tiba-tiba Shinwon datang. Dilihatnya wajah kesal Hongseok dan sedih Hyunggu. “Wooseok, aku kan sudah bilang jangan masuk saja! Kenapa enggak ngerti sih!?” Giliran Shinwon yang memarahi Wooseok.

“Maaf, sumpah aku enggak kepikiran! Karena kita kan mau latihan, ya mana tau ajaㅡ”

“Udah ayo latihan.” Sergah Hongseok.

Seketika suasana menjadi canggung, “h-hyung, maaf ya? Maafkan aku.” Wooseok merasa bersalah.

Tak tega melihat bayi besar mereka terlihat sedih, Hongseok hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “jangan dipikirkan, maafin kami juga. Kalian duluan aja ke ruang latihan, nanti kamu nyusul.”

“Udah ayo!” Shinwon menarik Wooseok pergi dari sana.

Tiba-tiba Hyunggu memeluk erat Hongseok, “maaf! Aku tadi reflek dorong kamu, sakit ya?” Hyunggu mengelus punggung Hongseok.

“Sakit, Sayang. Kira-kira dong kalau mau dorong aku.”

“Aku enggak nyangka bakal sekeras itu, maafin aku ya?”

“Ini dulu, baru aku maafin,” Hongseok menunjuk pipinya.

Hyunggu mengecup bibir Hongseok, laki-laki manis dengan rambut berwarna oranye seperti jeruk itu tersenyum.

“Sudah dimaafin? Kyaa!! Hyung!!”

Tiba-tiba Hongseok menggendong Hyunggu seperti koala dan menyerang kekasihnya dengan kecupan di seluruh wajahnya.

“Gimana bisa aku mau marah sama kamu, hm?”

Kecupan Hongseok dapatkan lagi di dahi dan hidungnya, “ayo latihan, yang lain pasti sudah nungguin.” Hyunggu mengelus lengan Hongseok agar diturunkan.

“Sebentar,” Tahan Hongseok.

“Kenapa lagi?”

“Hari ini aku belum bilang I love you.”

I love you, Yang Hongseok! Sudah kan? Turunin aku!”

I love you more than myself.” Hongseok mencium lembut dahi Hyunggu dan menurunkan kekasihnya.

Keduanya pun segera menuju ruang latihan sebelum anggota lainnya marah kepada mereka karena terlalu lama menunggu.

What a beautiful night.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii


Kaki Seungyoun terus berjalan mengitari rumah teman dari mamanya, hingga tanpa sadar ia sampai di sebuah danau kecil tak jauh dari perkarangan rumah tersebut. Mata Seungyoun berbinar kala melihat induk bebek dan tiga anaknya berengan di danau, sambil asik mengepakan sayapnya, tanpa sadar Seungyoun tersenyum dan duduk di tepi danau menikmati pemandangan yang sangat jarang ia dapatkan di tenagh kota.

“Seungyoun! Nak! Kamu di mana!?” suara teriakan sang mama menyadarkan Seungyoun, ia pun segera menoleh dan melihat wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu berdiri kebingungan di balik pagar.

“Di sini, Ma!” Seungyoun pun beranjak dan berlari menyusul mamanya. “Ada apa, Ma?” tanya Seungyoun takut ada hal yang genting.

“Kamu darimana aja, tiba-tiba hilang katanya Cuma lihat-lihat bunga.”

“Aku ke sana Ma, rupanya ada danau, asik banget!” tangan Seungyoun menunjuk arah danau yang tadi ia datangi.

“Oh danau itu, dulu mendiang Papa kamu suka mancing di sana.”

“Kok aku enggak tau, Ma?”

“Kamu masih kecil kan mainnya di tempat bang Sungjoo mana mau diajakin kemana-mana.”

“Hehehe iya juga ya, nyesal aku baru tau ada danau sebagus itu udah segede ini.”

“Yuk masuk! Kamu dicariin sama tante tuh.”

Akhirnya Seungyoun pun mengikuti mamanya menuju taman belakang yang tak kalah banyak bunga di sana, dapat Seungyoun lihat ada sebuah gazebo dari kayu jati yang sengaja dibuat di tengah-tengah taman sangat alami dan unik.

“Seungyoun, habis jalan-jalan ke mana?” tanya tante yang Seungyoun tidak tau siapa namanya.

“Ke danau sebelah sana Tante, sejuk banget tempatnya, enak,” jawab Seungyoun ramah.

“Wah- udah ke sana ya kamu, kapan-kapan kalau kamu mau main ke sini sendirian gapapa kok, Seungyoun. Lumayan buat healing, ‘kan?”

“Hehehe oke Tante, makasih banyak penawarannya.”

“Ayo duduk di sini, jangan berdiri aja di depan situ. Tante buatin lemon tea nih, sama curry puff siapa tau kamu suka.”

“Seungyoun mah semuanya suka, Jeng. Dikasi makan apapun terima aja, enggak susah kalau kasi dia makan mah, goreng telur, terus nasi dikasi kecap aja bisa nambah dua kali.” Mama Seungyoun tiba-tiba menimpali.

Seungyoun yang telah duduk di sebelah mamanya hanya dapat tersenyum malu sambil meminum lemon tea-nya.

“Seungyoun sudah punya pacar?” tanya tante tersebut.

“Sudah Tante.”

“Sayang banget, kalau masih single mau Tante kenalin ke keponakan Tante. Cewek baru aja lulus S2 Sastra Jerman. Keasikan kuliah sampai lupa mau cari pasangan.”

“Hmm … umur berapa, Jeng? Kalau mau saya ada keponakan juga tuh, cowok udah kerja jadi guru.”

Bang Sungjoo, Ma?” bisik Seungyoun dan mama Seungyoun pun mengangguk.

“Loh iya? Boleh jeng, yuk kita kenalin! Mana tau jodoh, bisa jadi keluarga kita.”

“Nanti saya tanya anaknya dulu, kemarin itu mau tunangan malah gagal. Takutnya dia trauma cari pasangan lagi, jadi coba-coba dulu lah dikenalin.”

“Iya, Jeng boleh tuh. Seungyoun pacarnya sudah kerja?”

“Sudah Tante, fotografer gitu di salah satu studio, udah punya brand sendiri.”

“Hm? Brand apa tuh, soalnya tante ada kontrak juga buat foto produk karangan bunga Tante.”

“Oalah … pantesan bunga Tante banyak, bisnis juga?”

“Iya, nak Seungyoun. Dari hobi bisa jadi bisnis, kenapa enggak?”

“Iya bener juga sih, Tante. Brand-nya Nineteen Four’s Tante.”

“Oh! Tante kontraknya sama mereka tuh, siapa pacara kamu, Sejun? Seungsik? Atau barista itu ya, si Hanse? Bisa aja Mijoo, yang heboh banget itu! Kalau Sungwoon kan baru aja nikah.”

Mendengar deretan nama teman-teman sang kekasih disebutkan membuat Seungyoun terkekeh geli dan menggeleng, “bukan semua Tante, pacar saya Seungwoo.”

“Ah masa sih!? Seungwoo anaknya dingin pendiam gitu.”

“Kok enggak mungkin, Tante?”

“Soalnya Tante lihat kamu begini, cocoknya sama yang ramah, yang asik kayak Sejun itu.”

“Hahaha Tante bisa aja, enggak dong Tante. Pasangan kan harus saling melengkapi, aku begini, mas Seungwoo pendiam biar hari-harinya ribut karena aku.”

Pipi Seungyoun dicubit gemas oleh si tante dan pinggangnya dicubit gemas oleh sang mama.

“Ngomongnya pintar banget! Udah cocok jadi calon-calon pengantin nih. Iya ya?” Si Tante menaik turunkan alisnya menggoda Seungyoun.

Pipi Seungyoun merona, dirinya hanya dapat mengulum senyum dan melirik ke arah mamanya, “kenapa liat ke Mama? Udah mau nikah belum?” Tanya sang mama.

“Hehe belum tau tante, masih jauh bahas-bahas nikah.” Jawab Seungyoun seadanya.

“Enggak boleh gitu, kalau memang udah pasangannya, udah mantep, langsung aja jangan nunggu-nunggu lagi, ntar keburu lama, bosen, malah jatuhnya jagain jodoh orang, loh!”

“Tante bisa aja! Enggak kok Tante, pelan-pelan aja, jodoh enggak kemana. Aku juga masih muda ini, mikir nikahnya entar dulu.”

“Kamu nggak kasihan sama Mama kamu? Sendirian, butuh cucu tuh.”

Seungyoun melihat Mamanya yang hanya tersenyum memakan curry puff-nya.

“Udah Jeng, gapapa. Anak muda zaman sekarang enggak kayak kita dulu, saya juga enggak maksa dia buat cepat-cepat, kalau bisa nikah ya segera, kalau enggak juga gapapa.” Jawab mama Seungyoun dengan santainya, tangan yang sudah mulai keriput itu mengelus lutut anaknya lembut dan tersenyum penuh arti.


Sejak pulang dari rumah teman sang mama Seungyoun lebih banyak diam dan menjawab omongan mamanya seadanya saja. Sudah tiga puluh menit perjalanan, Seungyoun fokus ke jalan, membiarkan wanita yang ia cintai menatapnya heran.

“Kamu kenapa diam, capek nyetir? Sini giliran sama Mama aja.”

“Hm? Enggak kok Ma, aku gapapa. Mama mau makan siang dulu nggak sebelum pulang?”

“Ke tempat biasa makan sama Papa kamu ya.”

Mobil berbelok ke arah timur, suasana mobil kembali hening hingga sampai di tempat makan langganan saat masih ada mendiang papa Seungyoun.

“Tempatnya enggak berubah, padahal dari aku SMP terakhir ke sini.” Ujar Seungyoun saat memasuki restoran cina sederhana dan memilih duduk di tepi ruangan dekat dinding.

“Rasanya juga enggak berubah, mama terakhir ke sini bulan lalu gara-gara kangen sama papa kamu.”

Mendengar kalimat barusan dari bibir sang mama membuat Seungyoun menatap wanita di hadapannya dengan tatapan nanar menahan tangis.

“Kamu pesan apa, Nak?” Tanya mama Seungyoun.

“Samain aja, jangan lupa cap chainya, Ma.”

“Iya sayang. Permisi kak, mau pesan!”

Tak ingin merasa sedih lebih lama lagi, Seungyoun mengalihkan perhatiannya dengan bermain ponsel. Niat ingin mengirim pesan kepada sang kekasih urung saat tiba-tiba ada tangan yang menggenggam ujung jari telunjuk Seungyoun. Fokus Seungyoun langsung mengarah kepada mamanya, “ada apa, Ma?”

“Kamu mikirin apa sih? Dari tadi diam mulu, jujur sama Mama.”

“Enggak, Ma.”

“Jangan bohong Seungyoun, Mamamu ini yang ngandung kamu sembilan bulan sepuluh hari, yang ngerawat kamu dari bayi sampai segede ini. Mama tau kamu bohong, ada apa hm? Kamu kepikiran sama omongan tante tadi?”

Mata Seungyoun mengerjap, merasa ketahuan oleh sang mama. Wanita cantik yang tak termakan oleh usia itu hanya dapat tersenyum tipis, “apa yang kamu pikirkan, Nak? Ini hidupmu, pilihanmu, jangan mikirin omongan orang.”

“Mama kesepian, ya?”

Alis mama Seungyoun naik sebelah, “kenapa tanya begitu?”

“Setelah aku pikir-pikir lagi omongan tante ada benarnya, Ma. Walau Mama membebaskan aku buat pacaran dan jalani dulu, belum menuju arah serius, tapi aku yakin disatu sisi Mama pasti pengen nimang cucu, atau seenggaknya nambah anggota keluarga baru. Aku pikir selama ini Mama pasti kesepian, makanya Mama cari kesibukan saat aku enggak ada di rumah, Mama juga pasti kangen banget sama papa.”

Sudut bibir wanita di hadapan Seungyoun naik, tangan wanita itu dengan lembut meletakan ponsel anaknya yang sedari tadi masih ia genggam ke atas meja. Digenggamnya tangan sang anak, dielusnya punggung tangan Seungyoun dengan jempolnya.

“Seungyoun, tentu aja Mama mau cucu, soal kesepian pasti Mama ngerasain hal itu. Tapi bukan berarti hal itu yang buat Mama jadi menyibukan diri, kamu tau sendiri Mama nggak bisa kalau cuma diam aja di rumah, Nak. Soal kangen, siapa yang enggak akan kangen sama orang yang dia cintai, dia sayangi, hm?

“Kamu aja dua hari enggak ketemu sama Seungwoo pasti kangen, kan? Mama ke rumah nenek aja pasti kamu kangen, kan?Kangen itu wajar, tapi bukan berarti buat kamu jadi sedih dan merasa kesepian. Lagipula kalau Mama suruh kamu nikah, memang kamu mau? Memang kamu sudah yakin buat kasi Mama cucu?”

Seungyoun terdiam, ia mengeratkan genggaman tangan mamanya.

“Memangnya Mama sudah siap mau lepasin aku buat nikah?”

“Ya siap dong, kenapa enggak siap?”

“Mama nanti sendirian gimana?”

“Mama mah gampang, Sayang. Mama bisa pergi liburan sama om, tante, kamu. Mama bisa bebas sendirian di rumah, enggak perlu repot cuciin baju kamu, masakin kamu, bangunkn kamu tidur.” Hidung Seungyoun pun ditarik gemas.

“Aaa~ Mama serius dong!” Rengek Seungyoun.

“Mama serius, kok! Masa bohong?”

“Mama enggak sayang aku ya!? Masa malah senang sih anaknya nikah terus pergi gitu!?”

Mama Seungyoun terkekeh geli, “tugas orang tua itu kan menjaga dan merawat anaknya hingga dewasa dan menemukan pasangannya menjadi rumah baru dia. Kalau kamu sudah dapat pasangan dan rumah yang layak, buat apa lagi Mama pusing mikirin, Nak? Mama pasti tenang dan menikmati masa tua Mama.”

“Jadi sekarang aku masih ngerepotin ya?”

“Enggak ada orang tua yang merasa direpotkan, Nak. Sudah jadi resiko orang tua berusaha dan berjuang untuk anaknya. Seorang anak datang karena titipan Tuhan, apapun yang dititipkan maka jadilah amanah dengan menjaganya sebaik mungkin, hingga akhirnya dapat hidup sendiri.”

Seungyoun menunduk, dirinya berusaha menahan air matanya yang sebentar lagi akan jatuh. Kepala Seungyoun dielus dengan lembut oleh mamanya, “jangan pernah merasa jadi beban orang tua, kamu udah baik jadi anak Mama, Youn. Mama juga senang akhirnya kamu bisa lebih bahagia dari sebelumnya, semua berkat Seungwoo. Mama senang sama Seungwoo, dan percaya dia bisa jadi yang terbaik buat kamu.”

Seungyoun pun mendongak, tangannya menggenggam tangan sang mama dan diletakan pada pipinya, ia usak pipi berisinya pada tangan sang mama. “Makasih udah jadi support system tetap aku ya, Ma. Makasih juga Mama suka sama mas Seungwoo dan terima dia dengan terbuka.”

“Apapun yang buat anak Mama senang, bakal Mama dukung Sayang. Ngomong-ngomong gimana kemarin ketemu keluarga Seungwoo, kamu belum ada cerita sama Mama.”

“Ah iya! Ternyata papa Seungwoo itu teman papa, Ma! Tuan Han, katanya teman dekat banget. Memang iya? Terus juga katanya pernah datang ke rumah pas acara papa naik jabatan itu, aku masih kecil, dan ternyata aku udah ketemu Seungwoo dari kecil!”

“Loh, iya? Pantas aja Mama setiap lihat muka Seungwoo kayak nggak asing, rupanya anak pak Han!”

“Kata mama Seungwoo mau ketemu sama Mama, nanti beliau hubungi Mama.”

“Ah- sebelum dihubungi, mama mau hubungi duluan, kangen juga sama teman lama Mama!”

“Emang sedekat itu ya Ma? Kok aku enggak tau?”

“Dekat iya, tapi bukan dekat yang dekat intens. Papa Seungwoo itu yang bantu papa kamu sampai akhirnya bisa dapati jabatannya, papa kamu dulu pas awal kerjanya berantakan, terus diarahin gitu, sampai akhirnya mereka berdua dapat jabatan bareng.”

“Woah- keren! Aku enggak nyangka ternyata papa Seungwoo sebaik itu. Kemarin pas aku datang baik sih beliau Ma, cuma emang pembawaannya agak kaku dan galak ya?”

“Iya memang begitu, tapi sebenarnya beliau baik, sangat baik. Mama makin senang dan tenang kalau tau begini, Youn. Tinggal tunggu aja kapan kamu siapnya buat serius sama Seungwoo, apalagi kamu kan sudah ketemu sama keluarganya, memang ada baiknya segera dibicarakan.”

“Memangnya Mama engga takut?”

“Takut apa?”

“Anak Mama ngelakukan kesalahan di dalam pernikahannya, anak Mama masih belum mampu, belum siap?”

“Engga bakal ada yang siap kalau belum mencoba, Nak. Mama yakin anak Mama bisa, mampu dan siap. Hanya kamu ini terlalu sibuk takut dengan pikiran kamu, belum juga dicoba. Bukan berarti pernikahan itu coba-coba ya, tapi bagaimana cara kamu belajar untuk kendalikan diri kamu, menyatukan dua pikiran menjadi satu, menyelesaikan setiap masalah yang kalian hadapi satu sama lain, itu namanya pernikahan.”

Setiap kalimat yang mamanya katakan Seungyoun serapi dan perhatika dengan seksama. “Apa yang buat Mama yakin?”

“Banyak tanya ya kamu? Sudah jelas karena kamu anak Mama, Mama yang paling tau bagaimana anak Mama menghadapi setiap tantangan dan masalah yang datang baik sekarang maupun nanti. Anak Mama, Cho Seungyoun ini jagoan hebat, pintar, Seungwoo beruntung dapatin kamu, Nak.” Kepala Seungyoun ditepuk perlahan.

Merasa dipuji Seungyoun tersenyum cerah, “kalau dikasi nilai mungkin aku masuk kategori menantu idaman ya, Ma?”

“Oh jelas dong! Anak siapa dulu? Anak Mama!”

Keduanya tertawa geli, suasana yang semula sendu menjadi lebih berwarna, dan secara kebetulan makanan pesanan mereka pun datang.

“Tapi Nak, kalau kamu memang belum siap, ya tunangan aja dulu, yang penting kan ada ikatannya, kalian udah sejauh ini sampai ketemu keluarga loh. Mama lihat juga udah cocok, mau tunggu apa lagi?”

“Kalau tunangan terus nikahnya masih lama gapapa memangnya, Ma?”

“Mana boleh! Ngawur kamu, kalau udah tunangan ya sebisanya segera aja nikah, jangan terlalu lama ditunda, sama aja jadi kayak pacaran, Nak.”

“Iya juga ya, tapi Ma nikah tuh enggak serem kan?”

“Ya kalau kamu nikahnya di tengah jalan atau rumah angker mah serem.”

“Mama serius!”

“Enggak, Sayang! Jangan overthinking gitu deh!”

“Ya habisnya!” Seungyoun merengut kesal, mamanya pun mencubit gemas pipi Seungyoun.

“Oh iya, habis ini anterin Mama beli stock bunga buat di toko ya?”

“Emang keburu, Ma?”

“Keburu kok, kan lumayan dekat.”

Keluarga kecil itu pun menikmati makanan mereka dengan senang, sesekali mengobrol tentang pekerjaan dan sahabat-sahabat Seungyoun maupun Seungwoo.

“Jadi Hyunggu sama Hongseok lagi galau soal nikahan juga? Udah lama pacaran biasanya enggak jodoh tuh.”

“Hush! Mama kok ngomongnya gitu?”

“Ya Mama ngomong cuma berdasarkan pengalaman aja, Nak. Tapi kalau jodoh ya bagus, mereka juga cocok, bahkan wajahnya aja udah mirip banget itu karena udah pacaran kelamaan.”

“Aku sama mas Seungwoo gimana, Ma? Udah mirip belum?”

“Hmm ... Mama belum lihat sih, tapi aura kalian cocok-cocok aja, bikin tenang.”

“Hehehe asik! Mana tau jodoh kan?”

“Gini aja baru ngomong jodoh, tadi sedih mikir takut nikah.”

“Jangan dibahas lagi ah! Malu tau!”

“Hahaha ada-ada aja kamu, Youn. Oh iya, Seungwoo ada mantan?”

“Ada Ma, lama banget pacarannya dari SMP apa SMA gitu, kayak separuh umur mas Seungwoo tuh dipakai pacaran sama dia aja, enggak bisa kemana-mana.”

“Waduh! Terus kok putus?”

Toxic, Ma. Sempat nyerang aku gitu deh di medsos.”

“Serius!? Wah parah! Kalau ada apa-apa kamu tau harus ngapain kan, Nak?”

“Lawan!”

“Bagus! Cewek apa cowok mantannya?”

“Cowok, Ma.”

“Makin bagus! Pokoknya kamu tau apa yang harus kamu lakukan kalau dia nyerang kamu lagi, Mama bisa percayai kamu kan?”

“Bisa, Ma. Tenang aja, kan Mama tadi bilang kalau anak Mama jagoan.”

“Oh iya jelas! Nih makan yang banyak biar kuat ngelawan musuhnya!” Mama Seungyoun memberikan potongan daging besar kepada anaknya.

Keduanya benar-benar menghabiskan waktu bersama dengan sangat baik dan tentu saja seru.


Kebanyakan orang hari minggu adalah hari untuk bersantai, namun tidak di rumah pasangan pengantin baru Seungwoo dan Seungyoun. Setiap hari minggu adalah hari untuk berberes dan mencuci pakaian, bukan tanpa alasan, hal ini karena Seungwoo dan Seungyoun terlalu sibuk bekerja, sehingga hari sabtu adalah hari menghabiskan waktu bersama dan hari minggu adalah hari untuk berberes.

Masih dengan wajah mengantuk, Seungyoun memisahkan beberapa pakaian untuk ia cuci. Tiba-tiba pipinya terasa ada benda kenyal yang mendarat, sontak Seungyoun menoleh dan mendapati suaminya tersenyum hingga mantanya menyipit bagaikan bulat sabit.

Morning my love!” Ucap Seungwoo.

Senyum tipis Seungyoun berikan dan ia mengecup sekilas bibir Seungwoo, “morning my happiness, gimana tidurnya?”

“Jelas nyenyak, harusnya aku yang tanya, masih sakit?” Tangan Seungwoo menepuk sekilas pantat Seungyoun.

“Hmm lumayan, tapi enggak sesakit pertama,” jawab Seungyoun santai, masih memilih pakaian kotor.

“Mau sarapan apa?” Seungwoo keluar dari laundry room menuju dapur.

“Apa yang kamu masak aja, tapi aku pengen minum teh ya, Sayang!”

Okay!”

Kembali Seungyoun melanjutkan kegiatannya, saat mesin cuci bergerak memutar dan menelan pakaian kotor di dalam air yang penuh akan busa dari deterjen, Seungyoun fokus menatap isi mesin cuci tersebut. Tak sengaja mata Seungyoun melihat celana dalam pendek, berwarna biru tua dengan motif bintang berwarna merah tertinggal di dasar keranjang pakaian kotor. Diambilnya celana dalam itu, kemudian dirinya terkekeh dan memasukan celana dalam itu pada mesin cuci.

“Sayang!” Panggil Seungyoun, menyusul Seungwoo yang sibuk menyiapkan sarapan.

“Iya, ada apa?”

“Celana yang dulu jaman kamu ngontrak masih ada? Masih kamu pakai?” Tanya Seungyoun tiba-tiba.

“Celana yang mana?” Dahi Seungwoo mengernyit bingung.

“Itu yang bintang-bintang, yang warnanya paling terang dari yang lain! Dulu kamu malu nggak sengaja kebawa pas ngantar di laudry mama aku!”

Seketika ingatan Seungwoo kembali, masa di mana dirinya masih merantau dan mengontrak di pinggiran kota untuk bekerja dan mencari pengalaman hidup. Saat itu Seungwoo sering mengantar pakaian kotornya ke laundry milik mama Seungyoun, yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah kontrakan Seungwoo.


Pakaian kotor yang menumpuk sudah dua minggu lamanya membuat Seungwoo menghela napas keras-keras, “pantesan baju di lemari habis, di sini semua rupanya!” Omel Seungwoo kepada benda mati di dekat kakinya.

Mau tak mau Seungwoo memindahkan semua pakaian kotor miliknya ke dalam plastik khusus, tak lupa dirinya memisahkan antara pakaian yang dipakai dan pakaian dalam. Dirasa sudah semua, Seungwoo pun membawa plastik tersebut ke laundry terdekat, cukup berjalan kaki dan lima menit kemudian sampai.

“Permisi!” Ujar Seungwoo saat memasuki tempat laudry.

“Ya silahkan!” Sahut suara laki-laki yang tak pernah Seungwoo dengar sebelumnya.

Badan Seungwoo berdiri kaku di depan pintu masuk, bahkan matanya tak berkedip melihat laki-laki dengan kulit putih bersih bagaikan salju, pipi berisi seperti minta dicubit, hidung bulat bangir, seluruhnya terlihat manis di mata Seungwoo.

“Ekhem! Mas, maaf ada yang bisa dibantu?”

Sedikit terperanjat Seungwoo kembali tersadar dan masuk dengan senyuman kikuk, “hehe m-maaf saya kaget yang nyambut bukan si ibu.”

“Oh, mama lagi pergi jadi saya yang jaga laundry, kebetulan lagi libur kuliah.”

“Ah- begitu. Anak si ibu? Kuliah di luar kota ya?”

“Iya begitu Mas, hehehe. Kalau boleh tau, pakaian yang mau dilaundry mana ya, Mas?”

“Oh iya hehe ini ya,” Seungwoo meletakan pakaiannya ke atas meja.

“Saya periksa dulu ya, Mas. Mohon ditunggu,” ujar laki-laki dihadapan Seungwoo ramah.

Sembari menunggu Seungwoo terus menatap wajah laki-laki di hadapannya, semuanya terasa melambat di mata Seungwoo. Sesekali laki-laki manis itu tersenyum tipis menghitung pakaian Seungwoo.

“Lumayan ya Mas bajunya, pasti sibuk banget sampai enggak sempat nyuci.”

“Iya nih, kerjaan numpuk terus jadi ya gitu sampai lupa cuci baju hehe.”

“Rumahnya di mana, Mas?”

“Itu, ngontrak yang ada kostannya juga.”

“Oh di situ, memang ramai mahasiswa sama orang kerja sih di situ, Mas. Kerja apa, Mas?”

“Desain grafis, hmm dek?”

“Seungyoun, nama saya Seungyoun, Mas.”

“Ya jadi gitu Seungyoun hehehe. By the way panggil Kak aja ya, jangan Mas, berasa dipanggil di kantor.”

“Oalah ... maaf Kak, soalnya kebiasaan di kampus manggil orang mas, mba, gitu.”

“Jurusan apa?”

“Psikolog, Mas.”

“Wah- keren!” Seungwoo mengacungkan jempolnya, membuat Seungyoun terkekeh.

Tiba-tiba suasana keduanya langsung senyap, sesaat Seungyoun mengeluarkan celana dalam berwarna biru tua dengan motif bintang berwarna merah.

Oh shit! Kok bisa kebawa sih!?” Gumam Seungwoo berbisik namun masih dapat didengar oleh Seungyoun.

Takut menyinggung perasaan pelanggannya, Seungyoun hanya dapat mengulum senyum, “celana dalamnya satu ya, Mas?” Tanya Seungyoun.

Wajah Seungwoo memerah dan ia mengangguk kaku, “i-iya, itu kebawa doang, biasanya enggak kok, aduh maaf ya! Sini saya bawa pulang!” Seungwoo ingin mengambil celana dalamnya, namun langsung ditarik Seungyoun.

“Gapapa kali, Kak. Memangnya kenapa?”

“Ya enggak sopan dong, masa celana dalam sendiri dicucin orang?”

Suara kekehan Seungyoun membuat jantung Seungwoo berdebar, dirinya baru sadar jika Seungyoun memiliki ginsul di sebelah kanan apabila dari sisi pandang dia.

“Ya apa gunanya laundry kalau enggak dicuciin, Kak? Sekalian aja, toh pasti mau cepat Kakak pakai juga, kan?”

“I-iya sih, duh jadi nalu.”

“Hahaha santai aja, Kak! Jadi, mau cuci express atau biasa, Kak?”

Express ya, besok di ambil, kan?”

“Iya, Kak. Bayar langsung atau nanti?”

“Langsung aja.”

“Atas nama?”

“Seungwoo.”

Seungyoun sibuk menulis di bukti bayaran, kemudian memberikan kepada Seungwoo, “ini ya Kak, totalnya duaㅡ” akan tetapi Seungyoun langsung terdiam melihat sebuah ponsel diarahkan tepat di depan wajahnya.

“Sekalian minta nomor handphone-nya, boleh?” Tanya Seungwoo dengan wajah yang berusaha ia buat sesantai mungkin.

Bukti bayaran tadi Seungyoun tukarkan dengan ponsel Seungwoo, dirinya sibuk mengetik digit nomor di ponsel Seungwoo.

“Karena Kakak juga sekaligus minta nomor anak pemilik laundry jadi totalnya lima puluh ribu ya?” Seungyoun mengembalikan ponselnya kepada sang pemilik.

Candaan Seungyoun ditangkap dengan serius oleh Seungwoo, dirinya mengeluarkan uang dengan jumlah yang tadi Seungyoun sebutkan, “ini ya, ngomong-ngomong makasih nomornya.”

Hal itu sontak membuat Seungyoun terbahak, “ih Kak, aku bercanda aja!” Diambilnya uang tersebut dan Seungyoun memberikan kembalian.

“Y-ya aku kira beneran, hehehe.”

“Enggak lah, Kak. Aku enggak seperhitungan itu juga kali, masa cuma perkara nomor doang.”

“Hehehehe i-ya ya?” Seungwoo menggaruk pipinya canggung. Seungyoun hanya dapat menggelengkan kepalanya, “k-kalau begitu aku pulang dulu ya, Youn?”

“Iya Kak, terima kasih! Tenang aja celana dalam Kakak bakal bersih dan siap dipakai lagi besok!” Seungyoun mengacungkan jempolnya sambil tersenyum lebar.

Masih merasa malu karena celana dalam, Seungwoo langsung saja berlari meninggalkan tempat laundry. Diam-diam Seungyoun mengintip kepergian Seungwoo dan tersenyum.

“Boleh juga,” gumamnya.

Keesokan harinya, tidur siang Seungwoo terusik karena suara ketokan pintu yang begitu nyaring tanpa henti.

Permisi! Ada orang!? Paket!

“Hah paket apaan?” Gumam Seungwoo.

Akhirnya Seungwoo beranjak dari kasurnya, menuju pintu depan. Saat dibuka, ternyata Seungyoun yang berada dihadapannya sambil membawa kantong laundry besar.

“Paket, Kak! Hehehehe.”

“Loh kok diantar?”

“Mama suruh antar, soalnya Kakak langganan.”

“O-oh ya?”

“Iya, Kak. Lagi tidur siang ya? Maaf ya aku ganggu, nih Kak pakaianya. Celana dalamnya sudah siap pakai!” Seungyoun memberikan plastik besar itu kepada Seungwoo, “aku pamit pulang ya, dadah!” Seungyoun pun pergi meninggalkan rumah Seungwoo sambil melambaikan tangan.

Gila ... gua gila!” batin Seungwoo.


“Jadi kamu pas itu cuma akal-akalan aja pengen tau rumah aku?” Seungwoo menyeruput kopinya.

“Hehehe iya! Soalnya aku penasaran, ditambah kamu juga minta nomor aku kan, kenapa enggak cari tau juga soal kamu?” Seungyoun menaik turunkan alisnya, ia memakan roti panggang isi buatan suaminya yang telah dipotong-potong kecil.

“Wah dasar! Kamu tau nggak jantung aku rasanya mau copot, bangun tidur malah liat malaikat di depan rumah?”

“Dih lebay!” Dengan gemas Seungyoun mencubit pipi Seungwoo, kemudian menyuapkan potongan roti untuk suaminya.

“Tapi Sayang, pas yang malam itu kamu beneran nikmati ciuman kita nggak sih?”

“Jujur aku nikmati banget, tapi aku juga sadar diri, kita masih belum ada hubungan apa-apa.”


Kedekatan keduanya semakin intens semenjak bertukar nomor, tak jarang Seungwoo selalu mengirimkan pesan kepada Seungyoun, sekedar menanyakan kabar, kegiatannya atau pergi bersama untuk mencari makan.

Namun kali ini sedikit berbeda, Seungwoo baru saja selesai menelpon Seungyoun untuk diajak jalan-jalan seperti biasa. Malam ini Seungwoo berencana untuk mengungkapkan perasaannya, dirinya ingin jujur menyukai Seungyoun.

Malam hari pun tiba, Seungwoo dan Seungyoun sudah di jalan menggunakan mobil Seungwoo, yang ia beli dari hasil menabung, walau bukan mobil baru namun tetap masih bagus dan sangat layak dipakai. Mereka menelusuri kota yang ramai, begitu banyak pasangan di jalanan.

“Kita mau kemana sih, Kak?”

“Kamu mau makan sate, nggak?”

“Mau! Aku suka banget sama sate, mau makan sate di mana?”

“Ada langganan aku, dia tepi jalan gitu, tapi kita bisa kok nanti makan di dalam mobil kalau ramai.”

“Oke siap!”

Mereka pun sampai di tempat makan sate, benar saja sesuai dugaan sudah tidak ada tempat duduk lagi. Sehingga mereka memilih makan di dalam mobil. Sambil menunggu sate pesanan mereka datang, Seungwoo sengaja menyalakan radio untuk memecahkan keheningan.

Baiklah! Malam ini kita bakal ngobrol random seputar mitos-mitos yang konyol. Semua mitos konyol yang pernah kalian dengar atau baca bisa kalian kirim ke akun instagram kita ya!” suara radio memenuhi mobil.

“Wah seru nih! Kira-kira mitos apa coba, Kak?” Seungyoun terdengar semangat.

“Kalau duduk depan pintu nanti jodohnya lari.”

“Hahaha iya itu aku sering denger, aneh banget nggak sih? Padahal kan cuma ngehalangi orang masuk.”

Mitos pertama! Bang, gua pernah baca, masa katanya orang yang suka melet, atau lidahnya tebel jago ciuman?

“Aku suka melet, lidah aku tebel juga, enggak juga ah!” Sahut Seungyoun.

“Masa?” Tanya Seungwoo.

“Iya, eh enggak tau sih sebenarnya aku belum pernah ciuman hehehe.”

“Lah serius? Pacaran pernah nggak?”

“Pernah, tapi cuma pegangan tangan sama pelukan doang.”

“Ah masa sih? Enggak yakin?” Seungwoo menyeringai, melihat Seungyoun dengan jahil.

“Ih beneran tau! Kalau enggak percaya buktiin aja!”

“Apanya?” Seringai Seungwoo makin terlihat jelas.

“Ya ciumannya! Aku masih amatiran tau, Kak.”

“Beneran?” Seungwoo mengerjapkan matanya.

“Ya beneran,” Seungyoun menatap Seungwoo dengan polos.

“Buktiin ciuman? C-ciuman nih?”

“Y-ya ... iya? Ciuman.”

Keduanya saling bertatapan satu sama lain, terbawa suasana Seungwoo mulai mendekatkan wajahnya, tangan Seungyoun perlahan mematikan radio agar suasana mobil menjadi lebih tenang. Bibir keduanya pun saling bertautan, Seungwoo yang memulai menggerakan bibirnya, kemudian Seungyoun langsung mengimbangi, tak ada sedikit pun rasa kaku dalam ciuman mereka.

Hingga Seungwoo yang pertama melepaskan ciuman mereka, “siapa bilang yang belum pernah ciuman? Nyatanya kamu jago tuh.” Ia pun kembali duduk diposisi semula.

“M-masa? Berarti mitosnya bener!” Jawab Seungyoun dengan pipi yang memerah.

Tangan Seungwoo terulur mencubit pipi Seungyoun, “ada-ada aja kamu,” ujarnya lembut.

Tak lama makanan pun datang, keduanya langsung melahap sate pesanannya dengan nikmat.

“Gimana, enak kan?” Tanya Seungwoo.

“Enak, Kak! Aku enggak tau kalau ada sate enak begini, di sini. Kapan-kapan kesini ya?”

“Boleh, bilang aja ya.”

Setelah selesai makan, keduanya kembali berjalan menelusuri kota, tak ada niat singgah kemana-mana karena seperti ajakan diawal, mereka hanya jalan-jalan malam.

Pukul sebelas malam, Seungwoo sudah mengantar Seungyoun pulang. Keduanya masih diam di dalam mobil, Seungyoun seperti tak ada niat untuk turun dari mobil.

“Kak” “Youn” ujar keduanya serentak memecahkan keheningan.

“E-eh iya, kenapa? Kamu duluan aja.” Seungwoo menyahut.

“E-engga, Kakak aja.”

“Gapapa, kamu aja. Ada apa, hm?”

“Hmmm aku mau bilang, makasih banyak untuk semuanya, makasih udah ajakin aku jalan, deket sama aku selama aku libur ini, aku jadi enggak kesepian karena temen-temen aku juga pada jauh dan sibuk sendiri. Pokoknya aku mau bilang makasih!”

Seungwoo tersenyum, baru saja ia ingin membuka mulut namun perkataan Seungyoun selanjutnya membuat ia urung.

“Sekalian aku mau kasi tau kalau besok aku udah harus pulang, lusa aku masuk kuliah, Kak. Jadi, ya ... kita pisah deh.” Seungyoun menunduk, wajahnya terlihat sedih. “Tapi aku kuliahnya sebentar lagi sih, Kak. Soalnya aku juga lagi nyusun skripsi hehehe.”

Setengah mati Seungwoo menahan rasa sedihnya, ia berusaha untuk tetap tersenyum walau terlihat kaku.

Haruskah gua LDR? Tapi kalau diterima, kalau enggak?” isi hati dan pikiran Seungwoo berkecamuk.

“Kak, Kak Seungwoo? Kakak tadi mau ngomong apa?” Seungyoun mengelus lengan Seungwoo.

“O-oh engga, aku mau tanya kamu kapan pulang rupanya besok. Ya ... hati-hati ya besok, belajar yang benar, semangat skripsinya, biar cepat lulus, bisa pulang cepat.” Seungwoo mengelus kepala Seungyoun.

Mata sendu Seungyoun menatap Seungwoo, “Kak, aku tau Kakak mau ngomong serius sama aku. Bukannya aku percaya diri, tapi aku sadar kakak ada naruh hati ke aku.” Elusan di kepala Seungyoun berhenti, keduanya saling bertatapan satu sama lain.

“Seungyoun ....”

“Aku juga suka sama Kakak, tapi kita jalani aja dulu, ya? Aku enggak yakin apa bisa jalani hubungan jarak jauh. Kalau jodoh pasti enggak kemana kok, Kak.” Seungyoun menarik tangan Seungwoo, keduanya berpelukan dengan erat satu sama lain.


“Habis itu Kakak galau nggak pas aku tinggal?”

“Galau lah! Aku sampai cuti kerja, pulang ke rumah orang tua dua minggu cuma buat hilangin galau sama kangen kamu.” Seungwoo mengusak wajahnya pada ceruk leher Seungyoun, yang sudah duduk manis di atas pahanya.

“Hehehe kasian sayang aku galau, padahal aku di sana juga kangen sama Kakak. Tapi aku tahan buat enggak hubungi, takut ganggu konsentrasi aku skripsian. Tapi coba liat sekarang, kita jodoh, kan?” Seungyoun menangkup pipi Seungwoo dan mengecup berkali-kali bibir kesayangannya.

“Hehehe iya dong, kan sesuai kata kamu kalau jodoh enggak akan kemana.”

“Tapi ya Kak, kalau misalnya kita enggak ketemu, kira-kira sekarang kita ada di mana ya? Apa kita bakal kenal?”

“Hmm yang jelas kita enggak akan di rumah ini dengan kamu yang duduk di pangkuan aku, kita juga enggak akan ada di altar. Kita mungkin jadi orang asing, yang hanya melewati satu sama lain tanpa tegur sapa.”

“Iya juga ya, tapi lucu nggak sih, Kak? Rasanya kayak semua memang kebetulan gitu. Mama pergi, aku yang biasanya malas jaga laundry tiba-tiba mau, eh ketemu kamu. Jodoh tuh, lucu ya? Enggak terduga.”

Seungwoo tersenyum lembut, ia menarik suami manisnya ke dalam ciuman. Keduanya saling melumat bibir satu sama lain, sambil tersenyum disela ciuman, seperti tak ada lagi hari esok.

“Kak, Sayang, udahan dulu,” Seungyoun mendorong suaminya, melepaskan ciuman terlebih dahulu. Seungwoo pun melepaskan ciumannya dengan wajah merengut kesal, “jangan gitu, aku masih mau ngurus cucian.”

“Yaudah sana, aku mau cuci piring dulu.” Seungwoo menggigit sekilas pipi Seungyoun.

“Habis aku cuci baju sama bersihin debu-debu, makan di luar yuk, Kak?”

“Ayo, pasti kamu lagi malas masak, ya?”

“Hehehehe tau aja!” Seungyoun turun dari pangkuan Seungwoo dan berlari kecil menuju laundry room.

“Sayang!” Panggil Seungwoo.

“Iya?”

I love you!”

“Hehehe me too!” Seungyoun memberikan kiss bye kepada suaminya.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii


Suasana salah satu kostan pria yang berada di tengah kota terlihat sepi dan tenang, tak ada tanda-tanda para penghuni menetap disana. Hal itu karena long weekend yang sedang berlangsung, membuat para penghuni memilih pulang ke rumah masing-masing atau memilih liburan keluar kota untuk menghabiskan waktu, sekaligus menghilangkan penat.

Namun, berbeda dengan dua orang pria yang tengah asik duduk di gazebo kostan, sambil merokok dan ditemani cemilan singkong goreng dan kopi hangat, sungguh pagi yang nikmat. Mereka adalah penghuni yang tersisa di kostan tersebut, memilih untuk menetap di kost dengan alasan 'menjaga' kostan. Kedua pria itu adalah Seungwoo dan Seungyoun.

“Kenapa pada pacaran semua sih orang di instagram gua?” Tanya pria dengan pipi gembil sambil sibuk memainkan ponselnya dan mematikan rokoknya yang tersisa ujungnya saja.

“Lu liat ini tanggal berapa.” Jawab pria satunya setelah menghembuskan asap rokoknya.

“Pantesan ramai, sok-sok valentine nih orang semua. Padahal valentine tuh bukan budaya kita, budaya kita kan minta rokok sebatang, pinjem pemantik, terus diselipin ke dalam kocek.”

“Itu mah elu, Youn!” Ujar Seungwoo sambil melempar putung rokok yang baru saja ia matikan ke arah Seungyoun.

“Hahaha kalem, Kang!” Beruntung Seungyoun langsung menghindar. “Lu kagak pergi, Kang?” Tanya Seungyoun pada Seungwoo yang sedang menyeruput kopinya.

“Pergi kemana?”

“Ya kemana gitu, bawa gebetan lu gitu.”

“Sembarangan, mana ada gua gebetan, jomblo seratus persen gua, Youn.”

“Ah masa sih? Terus teteh-teteh yang waktu itu Akang bawa ke kostan siapa?”

“Eunji? Itu temen kerja doang kali, udah ada tunangan juga.”

“Baru tunangan, belum istri orang.” Nyaris saja Seungwoo melempar gelas berisi ampas kopi kepada Seungyoun, “AMPUN KANG! IYA CANDA GUA CANDA!” Teriak Seungyoun ketakutan.

Seungwoo ini salah satu penghuni kostan tertua ketig sehingga cukup disegani, dirinya bekerja di salah satu perusahaan dan menjadi budak korporat. Dirinya memilih merantau dengan tujuan untuk hidup yang lebih baik lagi. Sedangkan Seungyoun, seorang mahasiswa akhir yang tengah sibuk berjuang dengan skripsi, dirinya sedang diambang krisis harus segera menyelesaikan kuliah atau didepak dari universitas. Namun, bukan Seungyoun namanya jika tidak santai dalam menjalani apapun, toh dirinya sudah memiliki bisnis sendiri jadi santai.

Seungwoo dan Seungyoun bukan orang yang susah, mereka lahir dan besar dikeluarga yang cukup berada. Papa dan mama Seungyoun memiliki bisnis dimana-mana, hingga keluar negeri, dirinya bahkan anak kota asli, namun memilih mengekost karena bosan dengan suasana rumah yang selalu kosong. Sedangkan Seungwoo, ayahnya seorang dosen dan ibunya notaris, kesibukan orang tuanya itu yang membuat dirinya memilih merantau dan mencari hidup yang baru karena sudah begitu mandiri.

“Tapi seriusan lu kagak bosen apa, Kang? Dari jumat sekarang udah minggu di kostan mulu? Gua aja bosen banget, jalan cuma beli nasi padang ke depan komplek.”

“Itu mah emang lu aja kagak bisa diem, Youn. Gua berani taruhan pantat lu sekarang lagi panas karena liatin orang di instagram pada jalan.”

Tebakan Seungwoo tepat sasaran, Seungyoun terkekeh sambil mengambil gigitan pada singkong goreng yang ada di tangannya, “ya gimana, gua cuma bisa di kostan doang, mau pulang mama sama papa kagak di sini, temen gua udah pergi ke pulau, apalagi kalau kagak party, males gua.”

“Bilang aja jomblo.”

“Kagak usah diperjelas! Kayak lu kagak jomblo aja, Kang!” Seungyoun menendang kaki Seungwoo.

Bibir Seungwoo membentuk garis lengkung tipis ke atas, matanya menatap Seungyoun yang asik makan singkong goreng, yang ia beli saat pulang jogging di pedagang gorengan langganan depan komplek.

“Kenapa sih lu suka banget singkong goreng depan?” Tanya Seungwoo.

“Enak, asin, gua kan suka asin.”

“Generasi micin, pantesan aja mageran.”

“Gua kagak?”

“Ngomong sana sama cucian lu yang numpuk, bawa ke laundry aja susah-susah!”

“Astaga ngomel mulu ni bapak! Cepet tua lu, jadi engkong-engkong entar!”

Tiada hari tanpa mengomel dan berdebat, itu lah Seungwoo dan Seungyoun. Dari awal pindah ke kostan, Seungyoun selalu saja mencari ribut pada Seungwoo yang kebetulan memang sudang lama menetap di kostan ini. Seungwoo sendiri pun hobi sekali meladeni bocah tersebut, hingga membuat penghuni kost sudah terlanjur biasa dengan pemandang ini.

Baru saja Seungwoo ingin mengambil batang rokok yang baru ternyata rokok miliknya sudah habis, dengan wajah datarnya Seungwoo menatap Seungyoun yang menyeruput kopinya.

“Hm?” Seungyoun menaikan alisnya saat melihat Seungwoo.

“Lu ambil rokok gua berapa batang?”

“Satu doang!”

“Bohong, jelas-jelas tadi sisa empat batang ya, gua baru pakai satu, kenapa sekarang sisa satu!?”

“Lupa kali lu, kan udah tua!”

“Jangan bawa-bawa tua! Mana sini rokok gua!?” Seungwoo mandahkan tangannya tepat di depan wajah Seungyoun.

Seketika wajah Seungyoun merengut, ia mengeluarkan batang rokok yang sengaja ia ambil diam-diam dan dimasukan dalam kocek celana boxernya. “TUH! MAKAN TUH ROKOK PATAH!”

“Ck! Gini nih akibat nilep rokok orang, patah kan rokoknya? Modal dikit kek kalau mau ngerokok, yeu!” Dengan geram Seungwoo menyentil dahi Seungyoun.

“Ya maaf! Maaf! Tinggal beli aja, susah banget!?”

“Lu yang beli sonoh di indojuni!”

“Mana uangnya!? Motornya!? Bensin gua habis.” Giliran Seungyoun menadahkan tangannya kepada Seungwoo.

“Percuma motor ninja mahal-mahal, kagak ada bensin! Udah lah gua aja yang beli, beresin nih semua. Mau nitip apa lu?”

“Giliran beresin suruh gua!”

“Siapa ngide nyantai disini?”

Seungyoun menghembuskan napasnya keras-keras, “pergi sana lu!” Usir Seungyoun kepada Seungwoo.

“Hahaha ngambek!” Seungwoo mengacak rambut Seungyoun, “nitip kagak?”

“Kagak!”

“Yaudah, hati-hati lu di kostan.”

“Hm!”


Akhirnya Seungwoo pergi ke indojuni terdekat dengan motor vario andalannya, sesampainya di indojuni Seungwoo melihat deretan rokok yang berada di belakang kasir.

“Selamat pagi! Ada yang bisa saya bantu?” Tanya penjaga kasir.

“Marlboro ice blast dua ya.” Jawab Seungwoo singkat.

“Ada lagi, Bang?” Tanya penjaga kasir.

Mata Seungwoo menelusuri rak di samping dirinya, “itu cokelat diskon?” Tanya Seungwoo.

“Lagi promo sampai tanggal empat belas ini, Bang! Beli dua gratis satu, boleh?”

“Hmmm boleh deh, dua ya.” Seungwoo mengambil cokelat yang ia lihat dan memberikannya pada kasir.

“Pakai kantong?”

“Enggak usah.”

“Bayar cash atauㅡ”

“Jopay.”

“Silahkan barcode-nya.”

Seungwoo menempelkan ponselnya pada pendeteksi harga, kemudian langsung diambilnya semua barang belanjaannya.

“Terima kasih, Bang!”

“Hmm, Kak ada spidol permanen?”


Setelah itu Seungwoo kembali lagi ke kostan, barang yang ia bawa sengaja ia letakan pada bagian depan motor yang memang khusus tersedian untuk menyimpan barang-barang. Sesampainya di kostan, gazebo sudah rapi dan bersih, tanpa sadar Seungwoo terkekeh membayangkan wajah merengut Seungyoun membereskan dan menyapu gazebo kostan.

Kaki jenjang Seungwoo melangkah ke kamar Seungyoun yang berjarak dua kamar dari kamarnya sendiri.

“Seungyoun! Youn! Buka!” Teriak Seungwoo sambil menggedor pintu kamar Seungyoun.

Ngapain!?” Teriak empunya dari dalam kamar, tak lama pintu terbuka dan menampakan Seungyoun bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk dibagian pinggang.

Mata Seungwoo mengerjap, sedikit terkejut melihat penampilan Seungyoun. “Mau mandi lu?” Tanya Seungwoo.

“Kagak, mau luluran. Ya mandi lah! Ada apa? Gua kan kagak nitip apa-apa.”

“Nih buat lu, biar kagak minta gua lagi.” Seungwoo menarik tangan Seungyoun dan memberikan sekotak rokok baru.

“Eh tumben?” Wajah Seungyoun langsung sumringah mendapat rokok dari Seungwoo.

“Ya mau aja. Terus ini, buat lu juga ambil gih.” Kemudian Seungwoo memberikan tiga batang cokelat kepada Seungyoun.

“Apa maksud?” Tanya Seungyoun bingung.

“Ada promo tadi, mumpung hari terakhir, valentine juga kan jadi gua beliin.”

“Oh promo.” Nada suara Seungyoun terdengar menurun seperti kecewa. “Thanks ya, Kang!” Seungyoun kembali ceria.

“Hmm. By the way lu mau mandi kan?”

“Iya, kenapa? Mau mandi bareng?”

“Pala lu!” Wajah Seungwoo merona samar.

“Hahahaha ya habis nanyain mulu.”

“Gua mau ngajakin jalan, kita habisin waktu bareng, mumpung weekend nih.”

Seungyoun terkesiap, “s-serius!? Ada hilal apa lu, Kang!? Tiba-tiba banget!?”

“Emang orang aja yang bisa jalan sama pacarnya, gua juga mau kali jalan sama gebetan gua.”

“Hah? Gi-gimana?”

“Masih kurang jelas?” Seungwoo menaikan satu alisnya.

“M-maksudnya? Hah? Lu serius Kang!? Bukannya elu normal ya?”

“Serius lah! Siapa bilang gua normal?”

“Gua sendiri.”

“Atas dasar apa?”

“Ya lu kalau anak-anak ngajakin ngomong cewek nimbrung aja, bilang cantik. Terus lu juga biasa aja sama gua padahal lu tau kan kalau guaㅡ”

“Emang kalau gua bilang cewek cantik terus tandanya gua suka cewek gitu? Gua normal gitu? Ibu gua juga cewek tuh, cantik.”

“Ya tapiㅡ”

“Buruan siap-siap, lu suka lama milih baju.” Seungwoo mengacak dan menoyor pelan kepala Seungyoun, kemudian pergi meninggalkan kamar Seungyoun dan pemiliknya yang masih setia berdiri terdiam di depan pintu dengan handuknya. “Jangan lupa makan cokelatnya, itu bukan sekedar promo doang, ada hadiah dibungkusan bawahnya. Gua siap-siap dulu ya!” Seungwoo masuk ke kamarnya.

Dentuman pintu kamar Seungwoo membuat Seungyoun tersadar, langsung saja ia memeriksa bagian bawah ketiga cokelat di tangannya, saat itu juga matanya terbelalak, wajahnya memerah hingga telinga. ㅤ ㅤ ㅤ

Happy Valentine's Day. Jadi pasangan valentine gua ya? ㅤ ㅤ

Jangan lupa peluk gua dimotor terus kita gandengan pas jalan. ㅤ ㅤ

Pulang dari jalan lu udah harus jadi pacar gua. ㅤ ㅤ ㅤ

Tangan Seungyoun bergetar setelah membaca setiap deretan kalimat yang Seungwoo tuliskan, “sinting ni orang sinting banget.” Gumamnya tak percaya.

“SEUNGWOO! SUMPAH LU SINTING!” Teriak Seungyoun dan membanting pintu kamarnya, buru-buru ia berlari ke kamar mandi. Nyaris saja handuk ia pakai terlepas, tak lupa ia menyimpan cokelat dan rokoknya di atas meja belajar.

Mendengar suara teriakan dari luar, Seungwoo hanya dapat tertawa kecil dan melanjutkan kegiatan mandinya. Kalau boleh jujur Seungwoo sendiri sedang gemetaran menahan rasa gugupnya, karena hal ini sudah lama ia tunggu-tunggu.

“Asik gua ada pacar~” Seungwoo bersiul kesenangan, bersenandung di bawah shower menikmati setiap tetesan air yang membasahi badannya.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii


Di ruang tengah, ternyata lumayan ramai anak-anak bermain. Saat Seungyoun mengeluarkan mainan yang ia berikan untuk Fanny, semua anak-anak lainnya juga ikut bermain, membuat Seungyoun terlihat seperti guru taman kanak-kanak.

“Ini siapa?” Tiba-tiba datang wanita sambil membawa sepiring kue yang telah disusun rapi.

“Halo Tante, saya Seungyoun teman dekatnya Seungwoo.”

“Oh, pacar barunya ya? Cowok lagi? Kok nggak kapok, sih.” Jawab wanita itu dengan nada sedikit merendahkan, ia pun meletakan piring di meja prasmanan dan kembali mendekati Seungyoun.

Melihat wanita di depannya yang terlihat sedikit angkuh, dengan tatapan merendahkan, membuat Seungyoun menggigit pipi dalamnya.

Jadi ini monsternya?” batin Seungyoun.

“Kerja apa kamu?” Tanya wanita itu.

Freelancer Tante.”

“Ohㅡ sama dengan Seungwoo ya. Heran, kenapa sih suka kerja yang enggak pasti, uangnya juga datang enggak menentu.”

Mendengarnya Seungyoun hanya diam, mau tak mau ia tersenyum canggung. Beruntung ada Fanny di hadapannya, sehingga ia bisa mengalihkan perhatiannya bermain dengan ponakan kekasihnya.

Freelancer-mu kerja apa? Foto-fotoin orang juga?”

“Bikin lagu Tante, saya ada agensi sendiri sama teman saya.”

“Punya agensi? Enak dong.”

“Enggak juga Tante, biasa aja.”

“Biasanya sih yang ngomong begini uangnya banyak.”

Seungyoun hanya dapat tersenyum canggung, jujur saja obrolan ini yang selalu Seungyoun hindari, namun ia harus sabar.

“Kamu tau nggak sebelumnya Seungwoo ada mantan?”

“Tau Tante.”

“Jangan kayak dia ya, enggak tau diri banget.”

“Iya Tante ....” Seungyoun berusaha untuk sabar menanggapi setiap kata yang dilontarkan oleh Tante Seungwoo.

“Tante Lili, udah ketemu Seungyoun?” Seungwoo datang dari ambang pembatas ruangan antara ruang tamu dan ruang tengah.

“Sudah, namanya Seungyoun, ya? Cakep, Tante suka, baik-baik ya!” Tante Lili menepuk kepala Seungyoun dan tersenyum.

“Makasih ya Tante,” ujar Seungyoun lembut.

“Sudah makan belum? Makan yuk! Tadi roll cake itu kamu yang bawa, ya? Beli dimana, Tante jadi mau!” Seungyoun pun akhirnya ditarik oleh Tante Lili untuk ikut bersamanya dan bergabung dengan keluarga yang lain.

Melihat keluarganya menyambut baik kedatangan Seungyoun membuat Seungwoo jauh lebih tenang, jujur saja sebelumnya Seungwoo juga sama gugupnya, namun melihat sang kekasih lebih gugup dan takut membuatnya harus terlihat santai.

“Loh udah ditarik tante Lili?” Sunhwa tiba-tiba datang membawa makanan lain.

“Tadi kayaknya habis ngobrol sih, Mba udah coba ngobrol sama Seungyoun?”

“Belum, mana sempat dari tadi sibuk siap-siap. Mba mau nyamperin dulu ya!” Sunhwa pun ikut bergabung bersama Seungyoun dan tante Lili yang sedang asik mengobrol, sambil menyantap makanan yang telah di hidangnya ㅡbrownies buatan Sunhwaㅡ.

“Ngobrolin apa sih, seru banget?” Datang Sunhwa, menghentikan sebentar obrolan Seungyoun dan tantenya.

“Sunhwa! Rupanya dia ini anaknya yang punya butik langganan Tante itu loh!” Tante Lili terdengar semangat.

La harmonie?” Tanya Sunhwa dan Seungyoun mengangguk. “Deket rumah Mba dong!”

“Oh iya? Deket rumah aku juga dong, Mba! Aku di jalan lewat block F.”

“Nah Mba di block C! Kan deket sama tokonya itu.”

“Oalah iya, komplek yang mana, Mba?”

“Komplek yang di depannya ada patung kuda, kamu tau nggak sih?”

“Aahㅡ komplek itu, aku lihatnya serem loh Mba, kudanya jejer tiga gitu!”

“Ih sama! Malem-malem mau masuk komplek sendiri suka serem tuh!”

“Hati-hati beneran hidup loh!” Sahut tante Lili dan ketiga orang itu tertawa.

“Kak ayo main lagi!” Fanny datang di tengah obrolan asik ketiga orang dewasa disana, dirinya menarik tangan Seungyoun yang baru saja ingin menyuapi potongan terakhir browniesnya.

“Ehㅡ iya sebentar Kakak habisin ini dulu ya, Fanny mau?” Tanya Seungyoun.

“Mau, disuap!”

“Fanny, kok manja banget sama Kak Seungyoun-nya. Biasanya makan sendiri?”

“Hahaha gapapa kok mba, aku juga suka anak-anak. Yuk, Fanny mau yang mana?” Seungyoun menggenggam tangan Fanny dan berjalan menuju meja yang menghidangkan makanan.

“Seratus persen Tante yakin Seungyoun udah pilihan terbaik, papa kamu aja langsung dekat, tante aja langsung klop, apalagi Fanny. Seungwoo harus seriusin dia sih!” Ujar tante Lili kepada Sunhwa.

“Hahaha Tante semangat banget, ya namanya jodoh semoga aja ya Tante.”

“Iya sih, dari pada sebelumnya, beneran nggak suka Tante!”

Sunhwa hanya dapat tersenyum mendengar respon sang tante.

Setelah mengambil makanan untuk Fanny, Seungyoun dibawa kembali ke tempat dirinya dan beberapa keponakan Seungwoo bermain, disana ternyata sudah ada Seungwoo yang ikut bermain.

“Mas, mau sekalian aku ambilin kuenya nggak?” Tawar Seungyoun.

“Itu punya siapa?” Tanya Seungwoo melihat sepiring kue yang Seungyoun bawa.

“Punya Fanfan! Nggak boleh minta!” Sergah Fanny.

“Ih pelitnya! Nanti mainan dari kak Seungyoun Oom ambil ya!?”

“Enggak! Enggak boleh! Aaaa~!” Fanny merengek sambil menghentakan kakinya kesal.

“Mas Seungwoo ya!” Seungyoun jengkel dengan kekasihnya, ia pun langsung duduk di atas karpet dan menarik Fanny agar duduk di pangkuannya. “Enggak kok sayang, enggak. Mainannya punya Fanny kok, jangan nangis ya? Nih makan dulu,” Seungyoun menyuapkan potongan brownies kepada Fanny.

“Manja banget, biasanya juga makan sendiri.”

“Ih!” Fanny merengut kesal kepada Seungwoo.

“Mas Seungwoo ...,” tegur Seungyoun.

“Astaga kalian belum apa-apa udah akrab aja.” Seungwoo menghela napas keras-keras, membuat Seungyoun dan keponakannya tertawa.

“Nih, aaa~!” Seungyoun menyodorkan sepotong brownies pada mulut Seungwoo.

Tentu saja dengan senang hati Seungwoo makan dari suapan Seungyoun. Akhirnya baik Seungwoo maupun Fanny makan disuapi oleh Seungyoun.


Setelah selesai makan siang, ternyata masih ada acara selanjutnya yaitu perayaan ulang tahun kecil-kecilan. Anak yang baru menginjak usia satu tahun ini, merupakan anak pertama dari adik bungsu mama Seungwoo yang kebetulan baru menikah 2 tahun terakhir.

Sepasang kekasih yang berdiri tak jauh dari batita yang sedang berulang tahun itu, tampak seperti keluarga kecil, ditambah Fanny yang digendong oleh Seungwoo.

“Ambil balonnya!” Seungwoo sengaja mengendong Fanny tinggi-tinggi agar dapat menggapai balon di plafon.

“Yeay!” Seungyoun bertepuk tangan bersamaan dengan lilin pada kue berhasil padam setelah ditiup.

“Kamu senang banget aku liat dari tadi, udah enggak takut lagi?” Tanya Seungwoo.

“Hehehe enggak. Ternyata keluarga aku sama kamu secara enggak langsung pada kenal, jadi aku berasa di rumah, padahal baru pertama kali.” Seungyoun tersenyum, ia memeluk lengan Seungwoo.

“Diajak lagi mau?”

“Mau dong! Fanny mau kan ketemu kakak lagi?” Seungyoun bertanya pada Fanny yang masih setia memeluk leher Seungwoo.

“Mau! Mau! Nanti habis ini main lagi ya? Kakak jangan pulang dulu!”

“Udah dilarang pulang nih, bakal lama pasti.” Seungwoo terkekeh sambil menatap Seungyoun.

“Gapapa, kalau buat Fanny ya?”

“Buat aku?” Seungwoo tak mau kalah.

“Kamu sama kameramu aja sana!”

“Dih, malah nyalahin kamera, aku sibuk kumpulin uang kan buat nikahan kita.”

“Aduh, aduh, kok jadi ngambekan gini? Lucunya, pacar siapa sih?” Seungyoun mencubit pipi Seungwoo dan Fanny pun mengikutinya.

Mereka pun tertawa, bagaikan memiliki dunianya sendiri, tanpa sadar sedari tadi ditatap oleh keluarga besar Seungwoo.


Seungyoun tampak resah dalam duduknya, sudah dari satu jam yang lalu dirinya tak bisa diam, mulutnya selalu saja menghitung barang-barang yang akan ia bawa untuk menemui orang tua Seungwoo. Hal itu pun tak luput dari pandangan sang mama, hingga membuat wanita paruh baya itu berdecak kesal.

“Kamu tuh kenapa sih, Nak!?” Ujar mama Seungyoun dengan nada jengkel.

Si anak pun terperanjat, “huh? Kenapa, Ma?”

“Kamu yang kenapa Mama tanya, dari tadi sibuk sendiri terus, mulutmu itu ngitung apa?”

“Hehehe habisnya aku gugup mau ketemu keluarga Seungwoo, Ma. Kalau misalnya mereka nggak suka sama aku, gimana?”

“Ya sudah, berarti mereka nolak barang bagus.”

“Ma aku bukan barang!” Seungyoun menghentakan kakinya sambil merengut kesal.

“Makanya tenang! Enggak bakal diapa-apain kok, Mama yakin! Mama percaya sama kamu, kamu pasti bisa hadapi keluarga Seungwoo. Kamu juga nggak aneh-aneh kok, Nak. Apa lagi?”

“Aku tattoan?”

“Katamu Seungwoo juga tattoan.”

“Aku pemalas?”

“Semua anak pasti pemalas, Nak.”

“Akuㅡ”

“Seungyoun, dengarin Mama. Kamu anak baik, anak pintar, anak manis, Mama sudah didik dan rawat kamu sebaik mungkin, Nak. Mama percaya, yakin sama kamu, mereka akan suka sama kamu, kamu bisa hadapi mereka dan disukai sama keluarga Seungwoo. Mama punya firasat baik akan hal itu, sekarang kamu santai aja, jangan terlalu dipikirkan, kamu enggak sendiri, ada Mama, ada Seungwoo, hm?” Mama Seungyoun mengelus pipi sang anak dengan lembut, menatap mata rubah sang anak yang selalu terlihat imut namun sirat akan manis, mata yang diwarisi mendiang ayahnya.

“Mama ... kenapa Mama seyakin itu?”

“Karena kamu anak Mama, kamu sudah mama ajarin untuk mandiri dan bisa survive dengan caramu sendiri, Nak. Mau pun besok kamu nikah, Mama yakin kamu bisa dan kamu sudah punya rencana di dalam kepala kamu ini,” tangan yang sudah mulai berkeriput itu mengelus kepala Seungyoun.

Mendengar setiap kalimat yang mamanya ucapkan, membuat hati Seungyoun lebih tenang dari sebelumnya.

“Mama, makasih banyak ya. Makasih Mama udah ngerawat dan ngedidik aku dengan baik, walaupun hari-hari yang kita hadapi, dan Mama juga hadapi berat, kita bisa sampai di titik ini. Seungyoun senang bisa jalani semuanya sama Mama.”

Tiba-tiba saja Seungyoun langsung memeluk erat mamanya, sedangkan yang dipeluk sudah menahan air matanya sembari mengelus punggung anaknya.

“Baik-baik ya Nak di keluarga orang, bawa nama baik kamu dan keluarga kita juga, semoga kamu disambut baik disana dan semoga ini jadi jalan terbaik kamu. Anak Mama pasti bisa.”

“Iya Ma, doain Seungyoun ya, Ma ....”

Sang mama menangkup pipi Seungyoun, dirinya mengecup kedua pipi Seungyoun yang memerah karena ikut menahan tangis.

“Jangan cengeng lagi ya!”

“Aku enggak!”

Keduanya pun tertawa untuk mencairkan suasana.

“Kue, bunga, sama kado sudah kamu bawa?”

“Sudah, Ma.”

“Seungwoo sudah jemput?”

“Lagi di jalan, Ma. Mungkin sebentar lagi sampai.”

Benar saja, tak lama ada suara klakson mobil. “Nah benar kan, Ma.” Seungyoun beranjak dari duduknya sambil membawa 3 paper bag ukuran besar dan buket bunga lili.

“Sini Mama bantu bawain kuenya, ribet banget kamu kasihan,” mama Seungyoun memgambil salah satu paper bag dari tangan Seungyoun dan memilih keluar terlebih dahulu.

“Selamat pagi, Tante!” Sapa Seungwoo yang baru saja masuk ke pekarangan rumah Seungyoun.

“Pagi Seungwoo! Wahㅡ ganteng sekali kamu hari ini, kalian berdua persiapannya matang sekali ya.”

Seungwoo tampak tersipu dengan ucapan mama Seungyoun, “sini Tante biae saya yang bawa,” dengan cekatan Seungwoo mengambil barang yang dibawa oleh wanita cantik itu.

“Tolong titip Seungyoun di rumahmu ya, Woo. Sekalian juga titip salam buat keluarga kamu di sana.”

“Baik Tante, bakalan saya jagain, Tante bisa percayakan sama Seungwoo.”

“Mas Seungwoo! Tolong bantu aku!” Teriak Seungyoun dari depan pintu rumah.

“Kamu yang repot jangan ngajakin orang repot ya, Seungyoun!” Tegur sang mama.

“Hahaha gapapa Tante, kalau enggak bikin repot bukan Seungyoun namanya.” Seungwoo langsung menghampiri Seungyoun membawa barang lainnya. “Itu bunga apa, Sayang?” Tanya Seungwoo.

“Bunga lili? Kamu bilang Mama kamu suka bunga lili, jadi aku bawain. Itu di tangan kamu kado buat sepupu kamu, sama ini buat Fanny!”

“Ngerepotin kamu banget, Sayang.”

“Gapapa! Aku mau hehehe. Udah yuk berangkat, ntar keburu macet, terus sampainya malah kesiangan.”

“Yaudah ayo,” Seungyoun mengandeng lengan Seungwoo sambil berjalan menghampiri mamanya.

“Ma, aku pergi dulu ya.”

“Iya, hati-hati ya kalian berdua.”

“Baik Tante, kami permisi dulu.”

Kedua pasangan yang sedang kasmaran itu pun masuk ke dalam mobil Seungwoo, sebelumnya barang-barang sudah di letakan ke kursi belakang. Seungyoun baru saja selesai memakai sabuk pengaman, tanpa sadar dirinya menghela napas berat hingga menarik perhatian Seungwoo.

“Segugup itu?” Tanyanya pada kekasih manisnya.

“Menurutmu aja Mas. Gak bakal kenapa-napa kan, Mas?”

“Enggak Sayang, percaya sama aku, asal kamu didekat aku aja terus, ya? Takutnya kamu shock sama tante aku, ada satu tante yang memang bawel banget.”

It's okay, at least you're here with me, Babe.”

“Jadi kita berangkat sekarang?”

“Berangkat!”


Diluar perkiraan, Seungwoo dan Seungyoun sampai lebih cepat 30 menit dari waktu yang sudah ditentukan. Melihat jejeran mobil terparkir di depan rumah Seungwoo, membuat nyali Seungyoun kembali ciut.

“Masih gugup?” Tanya Seungwoo

“Aku malah takut, Mas. Ramai banget ya sampai tiga mobil tuh?”

“Kenapa takut? Enggak kok, itu mobil suami kakak aku, sisanya om tante, itu mobil hitam yang anaknya ulang tahun ini.”

“Gimana kalau mereka enggak suka?”

“Enggak mungkin, pasti suka kok.”

“Tante kamu yang kamu bilang bawel udah ada?”

“Ada tuh mobilnya.”

“Mas~!” Seungyoun merengek, kepalanya ia sandarkan pada dada Seungwoo, hal itu membuat Seungwoo terkekeh.

“Deg-degan kamu kerasa sampai sini loh, Sayang. Coba sini tangan kamuㅡ ya ampun, dingin banget!?” Mata Seungwoo melebar setelah menggenggam tangan Seungyoun.

“Aku takut! Gugup banget!”

Perlahan Seungwoo menegapkan badan Seungyoun, ditangkupnya pipi sang kekasih, kemudian dielusnya dengan jempol, “percaya sama aku, saat kamu masuk semua rasa takut dan gugup kamu bakal hilang, keluarga aku baik kok, Sayang. Aku berani jamin! Ada aku di sini sama kamu, jadi jangan takut atau gugup, ya?”

Mata keduanya saling bertatapan, Seungyoun langsung saja memeluk erat Seungwoo, “aku bisa, aku bisa!” Ujarnya menyemangati diri sendiri.

Sedangkan Seungwoo menepuk-nepuk punggung Seungyoun, “kamu bisa! Ayo kita masuk?”

“Ayo, Mas.”

Akhirnya mereka pun keluar dari mobil, Seungwoo membawa hadiah untuk keponakan dan sepupunya, sedangkan Seungyoun membawa bunga dan kue yang akan diberikan kepada Mama Seungwoo.

“Mau gandeng lengan aku lagi?” Tawar Seungwoo.

“Mau!” Sambil berlari kecil Seungyoun langsung mengandeng lengan Seungwoo, dengan langkah pasti keduanya memasuki halaman rumah Seungwoo.

Pintu depan yang memang sengaja di buka memperlihatkan beberapa orang tengah sibuk di dalam rumah, ada beberapa anak kecil yang asik bermain, para pria yang berkumpul dan asik mengobrol.

“Papa kamu yang mana?” Bisik Seungyoun saat sudah mendekati pintu rumah.

“Di tengah, pakai baju biru garis putih, jangan lupa senyum, wajah kamu tegang banget.”

Seungyoun mengulum bibirnya sekilas dan mencoba untuk senyum senatural mungkin.

“Permisi! Paket!” Teriak Seungwoo saat berada di depan pintu.

Semua mata langsung tertuju kepada Seungwoo, terutama pada Seungyoun, “WAH TAMU JAUH!” Teriak salah satu pria di samping papa Seungwoo.

Itu suami kakak aku,” bisik Seungwoo cepat.

“Mama! Seungwoo datang, Ma! Bawa pacarnya!” Teriak ayah Seungwoo.

Mendengar kata pacar, seketika wajah Seungyoun merona, dirinya hanya dapat tersenyum malu.

Suara berisik dari dalam menarik perhatian Seungyoun. “Mana yang namanya Seungyoun! Seungwoo bawa Seungyoun kan!?” mendengar namanya disebut, Seungyoun mengerjapkan matanya.

Tak lama wanita paruh baya, yang terlihat sedikit lebih tua dari mamanya keluar bersamaan dengan wanita yang jauh lebih mudah, mirip seperti Seungwoo.

“Akhirnya datang! Mama lihat Seungyoun juga!” Wanita itu ㅡmama Seungwooㅡ, langsung menghampiri keduanya yang masih setia berdiri di depan pintu.

“Selamat datang, Sayang! Gimana perjalanannya, capek ya? Kena macet?” Seungyoun langsung di tarik ke dalam rumah, pipi dan lengan Seungyoun tak luput dari elusan sayang mama Seungwoo.

“Enggak Tante, lancar-lancar aja perjalanannya. Oh iya, ini ada oleh-oleh dari aku, mungkin enggak seberapa, tapi aku harap Tante suka.” Seungyoun memberikan buket bunga dan paper bag-nya kepada mama Seungwoo.

“Astaga repot-repot segala, Nak! Gapapa, nggak usah bawa apa-apa, kamu datang aja Tante sudah senang! Makasih banyak ya. Sunhwa, tolong ambil ini.” Wanita yang di panggil Sunhwa pun datang menghampiri dengan senyum ramahnya, sambil mengambil barang bawaan Seungyoun.

“Kenalin, kakaknya Seungwoo, panggil aja Mba Sunhwa, ya?”

“Ahㅡ iya Mba Sunhwa, salam kenal!” Ujar Seungyoun ramah.

“Ayo masuk, Seungwoo masuk nak jangan diam di depan pintu nanti jodohnya lari! Untung lagi Mama pegangin!”

“Apa sih Ma omongannya itu loh, aku datang yang disambut malah Seungyoun.”

“Ya gapapa dong, tamu jauh ini! Seungyoun kenalan dulu yuk sama keluarga yang lain, kamu gapapa, 'kan? Kalau ngerasa masih malu atau enggak nyaman bilang Tante, ya?”

Melihat antusias mama dan seluruh keluarga Seungwoo membuat rasa gugup Seungyoun seketika menguar begitu saja, dirinya merasa nyaman dalam rangkulan mama Seungwoo.

“Gapapa Tante, sudah biasa, setiap acara keluarga pasti ramai kan? Hehehe.”

Seungyoun di bawa ke hadapan seorang pria dengan tubuh yang tinggi dan tegap, persis seperti Seungwoo, namun perawakannya terlihat dingin. Pria itu tersenyum tipis, “Seungyoun ya? Saya Papanya Seungwoo.”

“Ohㅡ apa kabar Om?” Seunyoun langsung menjabat tangan pria di hadapannya.

“Kabar baik, Seungyoun. Gimana perjalanannya?”

“Syukurnya lancar Om, walau tadi ada sedikit macet.”

“Oh begitu, ayo duduk dulu, kita ngobrol sebentar,” Seungyoun di tarik untuk duduk di samping papa Seungwoo.

Seungwoo yang sedari tadi melihat interaksi kekasihnya bersama kedua orang tuanya dari kejauhan hanya dapat tersenyum, “bagus tuh reaksi mama sama papa.” Mendengar suara seseorang Seungwoo sontak menoleh, dan melihat kakaknya sudah berdiri di samping dirinya. “Kenapa kaget gitu liat aku?” Tanya Sunhwa.

“Nggak, tiba-tiba aja nimbrung bikin kaget.”

“Pinter juga kamu pilih pacar, Woo. Mba nggak nyangka Sungjoo ada adik secakep dia.”

“Apalagi aku yang jadi teman Sungjoo, Mba. Pas awal ketemu juga nggak nyangka dia adiknya Sungjoo, walau sepupu tapi tetap aja masih adik.”

“Selain cakep, kalau Mba liat anaknya juga baik, jauh lebih baik dari sebelumnya. Dari awal lihat aja Mba udah bisa nilai anak ini lebih terdidik.”

Seungwoo terkekeh, “bahasamu Mba, dendamnya masih terasa banget.”

“Menurutmu aja, memangnya kamu masih rela orang tuamu sampai sakit gara-gara yang sebelumnya? Sinting.”

“Ya marah lah, Mba. Tapi udah lalu juga, toh sekarang yang aku bawa ke keluarga kita si Seungyoun, semuanya pada oke aja. Oh iya, tante Lili mana?”

“Ada di dalam sibuk siapin makanan, palingan bentar lagi keluar habis dengar ribut-ribut pacar kamu datang.”

“Ntar mulut tu tante ngomong apa ya?” Seungwoo bergumam dan mendapat kekehan dari Sunhwa.

“Jangan dihiraukan omongan tante Lili mah, kayak baru kemarin aja kamu digituin sama dia.”

“Takut aja Seungyoun kaget.”

“Pasti bisa kok, tenang aja.”

Kembali pada Seungyoun, dirinya terlihat begitu menikmati obrolan seputar kehidupan bersama papa Seungwoo.

“ㅡJadi begitu Seungyoun, kadang Om kalau sudah bosan pasti mancing atau sepedaan, sayang aja cuma sendirian karna Seungwoo jarang pulang karena sibuk. Kamu di sana sama Seungwoo baik-baik, kan?”

“Baik Om, walau seperti yang Om bilang sibuk kami juga jarang ketemu.”

“Nah benar! Memang susah sekali Seungwoo itu. Oh iya, Om sampai lupa, ini kenalkan menantu Om, suaminya Sunhwa yang tadi kenalan sama kamu,” papa Seungwoo menunjuk pria sekitar 30-an duduk di depan Seungyoun, dirinya pun menunduk sopan. “Kalau yang baru aja keluar ngerokok itu abangnya mama Seungwoo. Mama Seungwoo itu empat bersaudara, si tante anak kedua, yang di luar itu yang pertama, kalau yang ketiga ada di Australia, kerja dan kebetulan dapat istri orang sana, nah terakhir cewek, yang anaknya ulang tahun sekarang ini lagi di dalam tadi tidurin anaknya, maklum masih bayi, suaminya itu yang samping suami Sunhwa.”

“Oh begitu ya Om, ramai juga ya saudara tante,” Seungyoun tersenyum pada mama Seungwoo dan keluarga lainnya di sana.

“Ya begitulah, saudara Papa Seungwoo lebih banyak, ada enam! Papa Seungwoo anak tertua, sisanya ada yang di luar kota, luar negeri, ada yang sudah meninggal juga.” Mama Seungwoo menambahi

Mendengar informasi terbaru tentang keluarga Seungwoo, membuat Seungyoun senang dan menanggapi setiap omongan papa dan mama Seungwoo dengan senyuman.

“Ngomong-ngomong, kamu kerja apa Seungyoun?” Tanya papa Seungwoo.

Freelancer Om, saya komposer.”

“Wahㅡ hebat! Bisa nyanyi dong?”

“Bisa, dikit hehehe.”

“Tuh, kamu nanti nyanyi sama Mama Seungwoo, dulu Mama Seungwoo itu penyanyi, makanya Om suka.” Papa Seungwoo sengaja tersenyum menggoda kepada istrinya yang duduk di kursi lain bersebalahan dengan Seungyoun.

“Apa sih Pa!” Wajah mama Seungwoo terlihat merona karena malu.

Dirasa menggemaskan, Seungyoun terkekeh kecil hingga matanya membentuk bulan sabit. Tak lama Seungwoo menyusul, dan memilih duduk di atas karpet, berhadapan langsung dengan Seungyoun yang duduk di sofa.

“Ngobrolin apa?” Tanya Seungwoo.

“Kepo!” Jawab papa Seungwoo.

Mendengar jawaban papanya, baik Seungwoo maupun Seungyoun terkejut, dan saling berpandangan satu sama lain. Kemudian para orang dewasa disana tertawa geli.

“Papa Seungwoo makin hari makin gaul, Youn. Katanya walau tua jangan kemakan jaman,” mama Seungwoo menjelaskan.

“Bagus dong, Om! Memang usia itu bukan penghalang untuk jadi gaul,” ujar Seungyoun.

“Hahaha bisa aja kamu, Seungyoun. Oh iya, kamu berapa saudara? Orang tua kamu kerja juga?”

“Saya anak tunggal, Om. Mama saya ada bisnis butik sama càfe, Papa saya sudah lama meninggal dari saya SMP tapi dulu pernah kerja di bank.”

“Oh begitu ... bank mana?”

“Bank Asia, Om.”

“Loh? Om juga pensiunan Bank Asia, siapa nama papa kamu?”

“Kalau dulu di kantor seringnya dipanggil Tuan Cho, Om.”

“Kamu anak Tuan Cho!? Tuan Cho yang meninggal karena sakit, dulunya jadi Direksi Bank Asia pusat, itu ya?”

Mata Seungyoun melebar saat semua tebakan papa Seungwoo benar, “iya Om, benar Tuan Cho yang itu. Om kenal?”

“Wahㅡ kenal sekali! Itu teman dekat Om dulu! Om kalau nggak salah pernah datang ke acara keluarga di rumah kamu dulu, seingat Om waktu itu kamu masih kecil, masih SD ya?”

“Pas Papa baru jadi Direksi ya, Om?”

“Iya, kamu masih ingat ya walau masih kecil?”

“Hehehe lumayan ingat, tapi dulu kan belum begitu ngerti, Om. Ditambah itu rumah lama, sekarang sudah pindah ke tengah kota, lebih dekat sama toko mama”

“Oalah, Om kira masih di rumah lama. Eh sebentarㅡ pas acara itu Om ada bawa Seungwoo, loh! Tapi Seungwoo baru masuk SMP.” Papa Seungwoo tampak berpikir.

Sepasang kekasih itu saling berpandangan, “kapan Pa, kok aku lupa?” Tanya Seungwoo.

“Itu loh Woo, yang kamu bilang rumahnya gede, kamu hampir jatuh ke kolam ikan gara-gara main sama anak pemilik rumahnya, ya itu Seungyoun!” Jawab mama Seungwoo.

“Hah!?” “HAH!?” Baik Seungyoun maupun Seungwoo, keduanya sama-sama terkejut saat memori mereka dulu berputar.

“Kamu yang kasi makan ikan di tengah tamu ramai itu, kan!?” Seungwoo menunjuk wajah Seungyoun.

“Kamu yang nimbrung kasi makan ikan, terus kita main, kamu kepeleset untungnya aku tarik jadi nggak jatuh, iya kan!?” Jawab Seungyoun, wajahnya masih tak menyangka.

“Wahㅡ kalian memang dari dulu sudah di pertemukan, gedenya pacaran, semoga jodoh ya!” Ujar mama Seungwoo tiba-tiba.

Pipi Seungyoun merona, ia menunduk malu sambil mengulum senyum, sedangkan Seungwoo terkekeh geli, ia mengelus lutut Seungyoun sekilas.

“Mana nyangka Om bisa ketemu anak Cho sudah sebesar ini, pantasan dari tadi Om lihat muka kamu mirip orang yang Om kenal, ternyata teman dekat Om sendiri.”

“Hehehe dunia sempit banget ya, Om. Jauh-jauh pun akhirnya ketemu juga disini.”

“Ya iya, mama kamu sehat kan, Seungyoun?”

“Sehat, Om. Semuanya sehat-sehat, Mama juga sibuk bolak balik rumah nenek, sama ke toko, ya namanya orang tua ya Om, kesepian juga anaknya sudah sibuk begini. Oh iya Mama juga ada titip salam buat Om, buat Tante, kapan-kapan kalau ada kesempatan mau ketemu.”

“Boleh tuh, nanti kita atur jadwal, ya kan Ma?” Tanya papa Seungwoo pada istrinya.

“Iya, kamu tenang aja pasti nanti bakal ketemu. Tante juga udah lama sekali nggak ketemu sama Mama kamu, nanti biar Tante telepon, pasti terkejut!” Mama Seungwoo tampak antusias.

“Eh iya Ma harusnya mama Seungyoun tau aku dong, kalau misalnya mama temanan dekat?”

“Ya menurutmu aja Woo, sudah berapa tahun, muka kamu berubah, kamu juga udah gede!” Seungwoo mendapat pukulan dipunggung dari mamanya.

“Aku aja nggak ingat sama kamu pernah mau jatuh di kolam ikan,” jawab Seungyoun.

Mau tak mau Seungwoo pun mengalah karena merasa disudutkan.

Tiba-tiba datang anak kecil berlari dan memeluk Seungwoo, “OOMM!!” Teriaknya senang.

“Fanfan! Main kemana aja kamu, hm?” Seungwoo menarik anak itu agar duduk di pangkuannya.

“Main di luar hehehehe.”

“Ini Fanny, ya?” Seungyoun bertanya pada bocah dipangkuan Seungwoo.

Merasa dipanggil Fanny langsung menatap Seungyoun dengan tatapan kebingungan, “siapa?” Tanya Fanny.

“Akㅡ”

“Pacar Oom, gimana kamu suka nggak?” Tanya Seungwoo.

Mata Fanny menatap Seungyoun dengan polosnya, membuat Seungyoun gemas melihatnya.

“Cantik!” Jawab Fanny tegas.

“Ehㅡ masa iya?” Seungyoum terkejut dengan pendapat Fanny.

“Hm! Cantik, Kakak cantik! Namanya siapa?” Fanny mengulurkan tangannya, Seungyoun langsung menggenggam tangan Fanny sambil tersenyum cerah.

“Seungyoun, kak Seungyoun.”

Melihat interaksi Seungyoun dan Fanny, cukup membuat keluarga Seungwoo terkejut. Karena mereka semua tahu Fanny agak pemalu dan pemilih dengan orang baru, namun bersama Seungyoun dirinya langsung mendekatkan diri.

“Kakak mau main sama aku, nggak?” Tanya Fanny.

“Mau! Kakak ada bawain mainan loh untuk Fanny, mau lihat?”

“Mana!” Fanny berdiri dari pangkuan Seungwoo sambil menarik tangan Seungyoun agar ikut berdiri.

“Tanya sama Oom Seungwoo, tadi Oom yang bawainnya.”

“Ada di dekat TV tadi Oom letakin, kantong warna pink,” jawab Seungwoo.

“Ayo Kak!” Fanny menarik tangan Seungyoun, dengan masih rasa canggung Seungyoun berdiri mengikuti Fanny.

“Om, Tante, semuanya, saya permisi ikut Fannt dulu ya?”

“Silahkan Seungyoun, santai saja ya!” Jawab Mama Seungwoo dan Seungyoun langsung hilang dari pandangan karena sudah masuk ke ruang tengah.

“Papa suka, lebih suka karena Papa tau dia anak siapa, Papa percaya sama yang kali ini.” Ujar papa Seungwoo tiba-tiba.

Hal itu membuat Seungwoo langsung tersenyum senang, “sekarang udah enggak kepikiran lagi, 'kan?” Tanya Seungwoo.

“Kamu yang mesti baik-baik sama dia, Nak. Jangan sakiti dia ya, kasihan hidup dia sama Mamanya sudah lumayan berat ditinggal Papanya.” Mama Seungwoo mengelus kepala anaknya.

“Jaga dia baik-baik, kamu enggak perlu tanya persetujuan lagi kalau sudah begini.” Ujar papa Seungwoo, kemudian langsung beranjak menyusul saudaranya di depan rumah.

Seungwoo menatap mamanya yang juga sudah tersenyum senang, masih mengelus kepala Seungwoo.


Hongseok menatap meja kerjanya malas, masih ada beberapa tumpukan laporan yang belum ia selesaikan namun suasana hatinya sedang malas untuk bekerja, ditambah laporan yang harus ia kerjakan masih jauh dari tanggal deadline.

Mata Hongseok menelusuri setiap sudut meja kerjanya yang cukup berantakan, kertas berserahkan dimana-mana, pulpen yang tergeletak begitu saja di sudut meja, dan berbagai macam note warna warni menempel di komputer miliknya. Semakin Hongseok melihatnya, semakin memburuk suasana hatinya, hela napas keras pun terdengar, membuat rekan kerja yang duduk di samping dirinya mengalihkan perhatian dari pekerjaannya.

“Berat banget tuh hela napas, pusing?” Tanya laki-laki jangkung yang sudah memutar kursinya menghadap Hongseok.

“Bosan, pusing, butuh kopi nih,” jawab Hongseok.

“Mau gua buatin? Kebetulan gua juga mumet sih ini.”

“Boleh deh, iced latte ya, Won.”

“Oke siap!” Shinwonㅡlaki-laki jangkung tadi, langsung beranjak dari kursinya menuju dapur khusus pegawai.

Sambil menunggu Shinwon, Hongseok berinsiatif membereskan meja kerjanya agar lebih rapi dan mengurangi rasa pusingnya, saat sedang membereskan meja, matanya tak sengaja melihat bingkai fotoㅡyang berisi foto dua orang laki-laki saling berpelukan dengan tawa bahagia. Hongseok mengambil bingkai foto itu, mengelus kaca yang melindungi isinya dengan jempolnya. Sudut bibir Hongseok naik, kala melihat senyuman laki-laki manis yang ia peluk dari belakang di dalam foto tersebut, laki-laki itu adalah kekasihnya yang bernama Hyunggu atau Hongseok sering memanggilnya Kino, yang berarti cahaya dalam bahasa jepang.

Laki-laki manis bernama Hyunggu ini Hongseok kenal dari sepupunya sendiriㅡChangguㅡ saat acara ulang tahunnya yang ke-26 tahun. Berawal dari ide iseng Changgu yang memang sengaja membawa Hyungguㅡsahabatnyaㅡ datang ke acara ulang tahun Hongseok, agar keduanya dapat mengenal satu sama lain. Hal ini karena Changgu merasa kasihan melihat sepupu dan juga sahabatnya yang selalu mengeluh kesepian. Sehingga berakhir keduanya menjadi sepasang kekasih dan sudah berjalan selama dua tahun terakhir ini.

“Senyum-senyum udah kayak orang gila aja lu, nih kopinya,” tiba-tiba Shinwon datang merusak memori masa lalu Hongseok yang berputar di otaknya.

“Ganggu aja! Anyway, thanks ya,” Hongseok mengambil kopinya dan langsung menyesapnya dengan nikmat.

“Memangnya lagi mikirin apa lu?” Tanya Shinwon.

“Enggak ada, cuma keinget awal ketemu aja, enggak kerasa ternyata hubungan kita bisa selama ini,” Hongseok meletakan kembali bingkai foto tersebut di samping komputer.

“Namanya pasangan mah gitu, orang yang enggak kita duga, malah bisa bertahan lama.”

“Ngomong lu sok iya banget, Won.”

“Gua ngomong fakta, emang lu kepikiran bisa pacaran sama Hyunggu sampai selama ini? Kalian bahkan bisa serius tinggal bareng, dua tahun bukan waktu yang sebentar, Bro!”

“Ya iya sih, tapi omongan lu itu seakan udah expert aja, bahkan sampai sekarang aja lu belum berani buat jujur sama Hwitaek soal perasaan lu.”

Wajah Shinwon langsung datar seketika, “perkara perasaan ini beda lagi, Hong. Enggak bisa main sembarangan ngomong.”

“Keburu direbut orang nangis lu nanti.”

“Yaelah jangan gitu dong! Doain temen lu biar lancar ngejar cintanya!”

“Ya makanya jujur aja!”

“Pada ributin apa sih?” Panjang umur, orang yang sedari tadi mereka bicarakanㅡHwitaekㅡ muncul di antara perdebatan.

Hongseok langsung mengulum senyumnya, sedangkan Shinwon tampak salah tingkah saat Hwitaek menatapnya penuh tanda tanya, “ributin apa? Kok bikin kopi nggak nawarin gua?” Hwitaek menunjuk kopi di tangan Shinwon dengan dagunya.

“M-mau? Belum gua minum kok, ambil aja nanti gua bisa bikin lagi,” Shinwon memberikan kopinya pada Hwitaek.

“Beneran? Hehe thank you Shinwon!” Hwitaek dengan senang hati mengambil kopi yang diberikan Shinwon, langsung saja ia meminumnya hingga setengah cangkir.

“Ada apa kesini, Hwi? Enggak biasanya bela-belain jalan jauh dari ruang ujung ke divisi kita.” Tanya Hongseok.

“Oh, ini ada titipan laporan buat lu, deadline hari jumat, kalau bisa secepatnya ya,” Hwitaek memberikan dua buah map berisi laporan kepada Hongseok.

“Selamat mengejar deadline, Bro!” Shinwon menepuk keras pundak Hongseok.

“Sabar ... sabar ... bonus menanti, jadi budak aja dulu, habis itu liburan kemudian,” gumam Hongseok menyemangati dirinya sendiri, hal itu membuat Shinwon dan Hwitaek terkekeh geli.

Tiba-tiba ponsel Hongseok berbunyi, menandakan sebuah pemberitahuan masuk, saat mengecek matanya langsung melebar, membuat dua orang lain di hadapannya penasaran.

“Kenapa? Ada masalah?” Tanya Hwitaek.

“Kalian pernah pacaran terus rayain seratus hari, seribu hari gitu nggak sih?” Hongseok buka suara.

“Enggak sih, kenapa memangnya? Pacar lu ngingetin seratus harian? Udah kayak orang meninggal aja, anjir!” Ujar Shinwon seenaknya. Dirinya langsung mendapat pukulan di pundak oleh Hwitawk, dan tendangan di kaki oleh Hongseok.

“Pantesan aja lu nggak bisa pacaran, romantis aja enggak!” Kesal Hwitaek kepada Shinwon.

“Maaf dong, pacaran mah berjalan aja gitu, kalau perayaa hari jadi kan setahun sekali!” Shinwon melakukan pembelaan.

“Tapi kan-”

“Oke cukup! Daripada berdebat, mending jawab pertanyaan gua.” Hongseok menengahi dua sahabat yang diam-diam saling menyukai satu sama lain itu, namun terlalu gengsi untuk mengakui.

“Gua enggak pernah sih, tapi kalau arah pembicaraan lu soal kasi hadiah mending kasi seribu bunga mawar aja, lu tebarin di rumah atau beli bunga mawar gede banget jumlahnya seribu.” Hwitaek memberikan saran.

“Emangnya beneran mau nanya kasi hadiah?” Tanya Shinwon memastikan, dan Hongseok mengangguk.

“Gua iseng download aplikasi pengingat hari jadi, besok ternyata seribu hari hubungan kita. Kebetulan juga barengan sama ulang tahun Kino. Kira-kira kasi apa ya selain bunga?”

“Hmmm ... sebentar,” Shinwon meletakan jari jempol dan telunjuk pada dagunya sambil memikirkan rencana yang bagus untuk Hongseok.

“Jangan aneh-aneh!” Sergah Hongseok.

“Enggak! Percaya aja sama gua, sini gua bisikin,” Shinwon melambaikan tangannya agar Hongseok mendekat, yang diperintah pun menuruti dan mendekat pada Shinwon.

Wajah Hongseok tampak serius mendengar setiap tutur kata yang dibisikan Shinwon, seketika dirinya langsung tersenyum.

“Bagus juga ide lu!” Hongseok bertepuk tangan kagum sesaat setelah selesai mendengar rencana Shinwon.

“Apa woi apa, kepo nih!” Hwitaek menarik kerah baju Shinwon, dan Shinwon pun mengatakan rencananya pada Hwitaek. “Wah! Seru tuh, Hong! Langsung eksekusi aja habis kerja.” Saran Hwitaek.

“Emangnya bisa? Apa enggak repot?” Tanya Hongseok ragu.

“Enggak lah! Lu pesan sekarang, cari sekarang apa-apa udah serba online, jangan repot!” Ujar Shinwon.

“Sini gua bantu aja sekalian, mumpung gua ada koneksi!” Hwitaek mengeluarkan ponselnya dengan semangat.

Melihat antusias kedua temannya, membuat Hongseok semakin bersemangat untuk memberikan kejutan pada kekasihnya.


Sore harinya Hongseok pulang lebih awal dari biasanya, laporan yang tadi diberikan oleh Hwitaek sempat ia kerjakan sebagian. Bukan hanya karena ingin mempersiapkan kejutan untuk Hyunggu, namun Hongseok ingin saja sesekali pulang lebih awal dari biasanya.

Kedatangan Hongseok disambut oleh kucing persia berwarna coklat dengan corak hitam berdiri di depan pintu.

“Siru! Kaget ya yang datang Daddy bukannya papi, hm?” Hongseok berjongkok untuk mengelus kepala kucing tersebut.

Kucing yang dipanggil Siru itu terlihat nyaman dielus oleh Hongseok, ia pun mendekat dan mengusak dirinya pada lutut Hongseok. Siru adalah kucing yang Hyunggu bawa dari rumahnya, sudah sedari kecil Siru dirawat oleh Hyunggu, bahkan Hyunggu tak segan mengatakan jika dirinya adalah papi dari Siru, dan Hongseok adalah daddynya, sehingga di apartemen Hongseokㅡtempat kedua pasangan ini tinggal, seperti memiliki keluarga kecil sendiri.

“Kamu tau besok papi kamu ulang tahun, jadi kita harus siapin kejutan untuk papi. Siru paham?”

Meow~!”

“Pinter! Daddy mandi dulu ya, Siru.” Hongseok pergi meninggalkan Siru yang masih setia berdiri di depan pintu menunggu kedatangan Hyunggu.

Hingga malam harinya tiba, Hongseok tengah bersiap-siap untuk menjemput Hyunggu kerja. Kekasih Hongseok ini adalah seorang guru PAUD yang bekerja dari pagi hingga siang, atau bisa saja sore tergantung dari anak yang ia ajari berapa lama dijemput oleh orang tuanya. Setelah dari PAUD, Hyunggu lanjut bekerja menjadi barista di càfe milik ibunya yang berada di pusat kota.

Baru saja Hongseok mengambil kunci mobil, terdengar pintu depan terbuka menandakan ada orang yang masuk.

Aku pulang! Siru, Papi disini!

Dahi Hongseok mengernyit mendengar suara kekasihnya, ia pun berlari ke pintu depan dan melihat Hyunggu sudah berlutut di depan pintu sambil bermain dengan Siru.

“Sayang, sama siapa kamu pulang? Baru aja aku mau jemput.”

“Eh? Aku sama Wooseok tadi, kebetulan dia mau ke rumah keluarganya dekat sini. Aku ada chat kamu loh, Kak.”

Hongseok mengecek ponselnya dan meringis melihat pesan dan panggilan tak terjawab dari Hyunggu, “maaf aku nggak cek handphone, tadi lagi siap-siap. Kamu udah makan, hm?” Hongseok mengulurkan tangannya agar Hyunggu berdiri.

Tangan kecil Hyunggu menggenggam erat tangan Hongseok, kemudian ia berdiri dan langsung masuk ke dalam pelukan Hongseok.

“Aku udah makan tadi sekalian sama Wooseok.” Hyunggu mengeratkan pelukannya, bahkan ia sudah dengan manja mengusakan wajahnya pada ceruk leher Hongseok.

Tangan Hongseok mengusap punggung dan kepala Hyunggu pelan, membuat lelaki yang lebih muda dalam pelukannya merasa nyaman dan memejamkan matanya tanpa sadar.

“Capek banget, ya?” Tanya Hongseok menyadarkan Hyunggu.

“Banget! Capek sekali! Hari ini entah kenapa tiba-tiba càfe ramai banget, bahkan mama sampai kewalahan bantuin aku. Padahal week day.”

“Banyak orang kantoran sama mahasiswa mungkin?”

“Iya sih, tapi aku kaget banget bisa ramai, untung langsung dihandle sama yang lain jadi aku minta sama mama pulang awal hehehe. Anak-anak juga hari ini pada rewel, pokoknya hectic banget, huft!” Hyunggu menghela napasnya keras-keras.

Melihat kekasihnya yang kelelahan namun tetap saja bisa mengomel membuat Hongseok terkekeh karena merasa lucu, “sana mandi, habis itu langsung istirahat, mata kamu udah sayu tuh,” Hongseok mengecup kedua mata Hyunggu.

“Nanti peluk aku ya pas tidur?”

“Iya Kinoku sayang, gih sana!” Hongseok menyempatkan diri menepuk kedua pantat Hyunggu gemas dan melepaskan pelukannya membiarkan kekasihnya berjalan terseok-seok menuju kamar mandi, sambil melepaskan tas dan cardigannya, dan membiarkan semua barang itu tercecer di lantai.

“Kebiasaan banget sengaja ngerjain aku,” gumam Hongseok setelah melihat tingkah Hyunggu. Dirinya pun langsung memungut tas dan cardigan itu, dan meletakannya di sofa ruang tengah.


Setelah selesai mandi Hyunggu tersenyum saat melihat Hongseok sudah berada di kasur sambil asik memainkan ponsel, tak menyadari keberadaan dirinya.

“Kak ...” panggil Hyunggu pelan sambil naik ke kasur. Hongseok langsung menghentikan kegiatannya dan meletakan ponsel di nakas, lengannya sudah terbuka siap menyambut Hyunggu.

“Iya Sayang, kenapa hm? Aku di sini kok.” Hongseok menarik Hyunggu agar masuk ke dalam dekapannya, ditepuk-tepuknya punggung Hyunggu, dan mengecup kepala Hyunggu yang menguar bau vanila dari rambutnya.

“Enak, hanget, mau diusap nggak mau tepuk,” rengek Hyunggu.

“Iya bayi, iya. Kino bayinya siapa ini, hm? Bayi Hongseok, ya? Iya?” Ujar Hongseok sembari mengusap punggung Hyunggu seperti yang kekasihnya mau.

“Hmm ... bayi Kak Hongseok, bayi paling imut.”

“Imut Kino apa Siru?”

“Aku lah!” Hyunggu merengut bahkan bibirnya mengerucut seperti bocah.

“Hahaha jangan ngambek gitu dong,” dikecupnya bibir Hyunggu. Kemudian Hongseok bersenandung masih dengan mengusap punggung Hyunggu, hingga kekasihnya terlelap.

Mendengar dengkuran halus Hyunggu, menandakan kekasihnya sudah nyenyak dan sedang bermain di alam mimpi. Perlahan Hongseok meletakan kepala kekasihnya di bantal, memperbaiki posisi Hyunggu agar lebib nyaman, menyelimutinya dan terakhir mengecup dahi kekasihnya lembut.

Good night, baby.

Hongseok segera turun dari kasur saat melihat jam dinding menunjukan pukul sembilan, masih ada tiga jam sebelum pergantian hari. Dirinya harus bergegas menyiapkan kejutan untuk kekasihnya, kaki panjang itu menuju kamar lain yang ada di apartemen, kamar yang sangat jarang Hyunggu masuki karena berisi alat-alat olahraga yang Hongseok gunakan saat hari libur.

Bohong saat Hongseok mengatakan jika dirinya tidak memeriksa ponsel saat Hyunggu mengirimnya sebuah pesan karena tengah bersiap menjemput sang kekasih, yang sebenarnya ia lakukan adalah menyiapkan balon-balon yang diisi dengan gas helium agar balon tersebut dapat melayang, kemudian ditahan oleh plafon apartemen.

Sedikit kesusahan Hongseok mengeluarkan balon yang didominasi warna merah itu, membawanya menuju ruang tengah, kemudian dilepaskannya agar menyebar di seluruh apartemen. Makhluk berbulu yang sedang tertidur di kasurnya sedikit terganggu karena ulah Hongseok.

Meow~!” Siru seakan menegur Hongseok.

“Shutt- diam ya Siru, Daddy harus buru-buru siapin ini buat Papi kamu. Kamu diam aja, duduk manis di situ ya, paham?”

Setelah balon, Hongseok mengeluarkan barang lainnya, kali ini tumpukan kotak yang berisi lilin dan gelas-gelas kecil yang sengaja ia beli untuk disusunnya sepanjang jalan dari kamar menuju ruang tengah. Semua yang Shinwon katakan padanya tadi siang benar-benar ia cerna dengan baik.

Gua saranin, lu beli balon, beli bunga mawar seribu batang, sekaligus kelopaknya doang. Ntar lu tebarin dah tuh kelopaknya sepanjang jalan, kiri kanan kasi lilin, sampai nanti di ruang tengah lu letakin mawar seribu batang itu, terus letakin hadiah yang mau lu kasi ke Hyunggu. Mantep kan?

Berkat bantuan Hwitaek juga barang-barang yang Hongseok inginkan langsung datang satu jam setelah dirinya pulang ke apartemen, maka dari itu Hongseok ingin cepat-cepat menyelesaikan ini sebelum Hyunggu terbangun saat pergantian hari. Sudah menjadi kebiasaan Hyunggu selalu bangun tengah malam, sekedar minum atau ke toilet.

“Anjir capek juga nyusun beginian.” Hongseok mengeluh saat dirinya harus menyusun lilin membentuk sebuah hati yang besar.

“Gapapa Hong, demi kesayangan, demi Kino, ayo bisa!” Ujarnya berusaha menyemangati diri sendiri.

Setelah selesai menyusun lilin, Hongseok mulai menabarkan kelopak bunga mawar sepanjang jalan dari depan pintu kamar dirinya dan Hyunggu, hingga ke bagian lilin berbentuk hati. Senyum Hongseok merekah, sirat akan rasa puas kepada dirinya sendiri, “tinggal letakin bouquet, habis itu selesai!” Baru saja dirinya senang, seketika Hongseok terdiam saat ia baru ingat belum menyalakan lilin-lilin di dalam gelas.

“Yok bisa yok.” Hongseok menghela napas keras-keras.

Tak terasa lima menit lagi memasuki pergantian hari, Hongseok baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Dirinya terduduk di sofa, kelelahan harus menunduk menyalan lilin yang bila dihitung terdapat lebih dari dua puluh lilin.

“Semoga rencananya berhasil ya Tuhan,” Hongseok mengusak wajahnya dan menghela napas lega.


Sesuai perkiraan Hongseok, tepat pukul satu dini hari Hyunggu terbangun dari tidurnya, tenggorokannya terasa kering dan membutuhkan air minum. Hongseok yang berada di sampingnya hanya pura-pura tidur, agar dapat melihat kekasihnya bangun. Hongseok mengitip dari balik selimut saat Hyunggu keluar kamar dan menutup pintu kamar mereka.

Masih dengan mata yang setengah tertutup Hyunggu keluar kamar, seketika dahinya mengernyit saat merasakaan benda asing yang lembut menempel di telapak kakinya. Hyunggu pun menggosok matanya yang sedikit kabur untuk melihat benda tersebut. Saat menyadari keadaan apartemen berubah, mata dan mulut Hyunggu terbuka lebar sirat akan rasa kagum.

“Woah-” kagum Hyunggu melihat balon di plafon.

Kakinya perlahan melangkah mengikut bunga mawar yang dikelilingi lilin, hingga sampai di ruang tengah, tepat di tengah-tengah lilin berbentuk hati. Mata Hyunggu berbinar, dalam sekali kedipan akan mengeluarkan air mata, dirinya berlutut di depan buket bunga mawar besar, dimana terdapat kalung dengan bandul kecil diatasnya dan sepucuk surat.

Tangan Hyunggu bergetar mengambul surat tersebut, dirinya sudah terisak melihat kejutan yang diberikan oleh Hongseok, dibukanya surat tersebut dan dibacanya dengan serius. ㅤ ㅤ ㅤ

Dear, My Kino...

Happy birthday my Sunshine! You are the best that has ever been born in this world, I want to say thank you to your mother who gave birth to you in this world, took care of you and raised you so well that you can meet me now. I realize you are very precious, your parents have a treasure that cannot be exchanged by anything, and I feel honored to be able to find you and take care of you until now. Right today, where my Kino was born, at this time our relationship has entered the age of a thousand days, we have been spending time together all this time. Sharing love and affection, happy, sad, angry, we go through together.

Today I hope that my Kino will always be healthy, get what he wants with his hard work, of course, always be happy with me or without me. I also hope that our relationship will going well so that in the future we will always be together. I love you very much, you deserve to be loved, because you are so precious. I love you, my Kino, my Sunshine. ♡

Note: turn around after reading this letter, because there will be your Hongseok there.

ㅤ ㅤ ㅤ Tanpa menunggu Hyunggu langsung berbalik, air matanya semakin deras mengalir saat melihat Hongseok tersenyum lebar, sambil mengendong Siru yang mengenakan topi pesta ulang tahun. Hyunggu tak dapat menahan senyumnya walau dirinya tetap saja menangis.

Don't cry Papi,” ujar Hongseok lembut, berjalan mendekat pada Hyunggu.

Meow~!” kucing dalam gendongan Hongseok bersuara seakan memberikan selamat dan menyuruh pemiliknya berhenti menangis.

“Terima kasih sayang, Siru bantuin Daddy semua ya ini?” Hyunggu mengecup kepala Siru, kemudian mengecup pipi Hongseok. “Thank you so much my Prince!

Hongseok menurunkan Siru, saat itu juga Hyunggu langsung menerjang Hongseok dengan pelukan eratnya. Suara tangis Hyunggu tak dapat ia tahan lagi, “cup cup cup, kenapa nangis, hm?” Hongseok menepuk punggung Hyunggu.

“Huweee!! Hiks ... hiks ... k-kapan kamu siapin ini? A-aku bahkan lupa besok aku ulang tahun, hiks ... m-makasih hiks ....”

Perlahan Hongseok menangkup pipi Hyunggu, diusapnya air mata Hyunggu, dikecupnya hidung kekasihnya yang memerah akibat menangis, “happy birthday ya sayangku, dan terima kasih sudah bertahan selama ini dengan aku. Really I love you.”

“A-aku yang harusnya hiks ... berterima kasih sama kamu, kamu udah siapin hiks ... ini semua buat aku, padahal kamu pasti hiks ... nggak kalah capeknya dari aku, cukup ada kamu hiks ... aja sama Siru, dan mama, papa, aku udah senang hiks ... hiks ....”

“Jangan nangis lagi dong, Sayang.” Hongseok kembali memeluk erat Hyunggu, hingga isak kekasihnya mereda. “Sudah?” Tanyanya, dan Hyunggu mengangguk.

“Kamu siapin sendirian?” Hyunggu masih penasaran.

“Iya dong, memangnya siapa lagi yang bantu? Siru bantu liatin doang,” Hongseok dan Hyunggu terkekeh. Sedangkan kucing yang dibicarakan sudah tertidur di atas sofa masih mengenakan topi yang Hongseok berikan.

“Capek banget ya? Lilin sebanyak ini kamu nyalain, cuma buat aku? Dapat ide darimana kamu?”

“Daripada banyak tanya, mending aku pakaiin kalung buat kamu. Suka nggak hadiahnya?” Hongseok melepaskan pelukannya untuk mengambil kalung yang tersimpan rapi di dalam kotaknya.

“Cantik, yang pasti kamu paling tau kesukaan aku, Kak.”

“Kalungnya udah lama aku incar dari awal tahun, beruntung ini yang terakhir untuk kamu, karena aku tau kamu pasti suka.” Hongseok tersenyum, ia pun memasangkan kalung dari arah depan.

Melihat leher Hongseok di depan matanya, Hyunggu mengambil kesempatan mengecup ceruk leher tersebut, “kenapa nih main cium, hm?” Hongseok menyeringai pada Hyunggu.

Lelaki manis yang ditatap hanya terkekeh, dirinya memilih memeluk leher Hongseok lagi, sebelumnya menyempatkan diri mengecup pipi kiri Hongseok yang belum dikecupnya, “aku senang, rasa lelah aku langsung hilang, semuanya terbayarkan sama ini semua. Makasih banyak, Sayang ....”

“Aku yang harusnya makasih, aku senang kamu suka sama kejutan ini.”

Tangan Hongseok kembali menangkup pipi berisi Hyunggu, dirinya mengecup dahi Hyunggu lama, kemudian turun ke kedua pipi Hyunggu dan terakhir dua belah bibir yang selalu menjadi favoritnya. Bibir keduanya saling berpagutan satu sama lain, seperti tak ada hari esok. Hyunggu tersenyum dalam ciumannya, kala Hongseok menariknya semakin dekat hingga badan keduanya menempel satu sama lain.

You look like you missed this kiss.” Ujar Hyunggu, sengaja menggoda Hongseok saat ia melepaskan ciuman mereka terlebih dahulu.

Wajah Hongseok memerah, merasa tertangkap basah oleh kekasihnya.

Is it so obvious?”

Yes, you are. But I like it!”

Keduanya kembali berciuman lagi, melupakan jika hari semakin malam dan bahkan menuju pagi. Suara kucing mengeong menyadarkan keduanya, nyaris saja keduanya terlalu hanyut dalam ciuman dan akan melanjutkan ke hal yang lebih intens, jika tidak mengingat bila besok masih bekerja.

“Kayaknya Siru nggak senang kalau kita mau bikin adik buat dia?”

Hyunggu memukul pundak Hongseok sambil tertawa geli, “harusnya terima kasih sama Siru, besok kamu masih harus kerja, aku juga!” Mata Hyunggu melebar saat melihat jam menunjukan pukul dua lewat tiga puluh menit. “Kak, kita harus balik tidur lagi deh, lihat udah jam berapa!”

“Ya sudah, ayo balik ke kamar lagi.” Baru saja Hongseok ingin membawa Hyunggu ke kamar, namun tangan kecil menahan dada bidangnya.

“Tunggu dulu! Kamu harus beresin ini semua, minimal matiin lilin sama bersihkan bunga mawar yang di lantai.”

Hongseom tercengang, ia langsung melepaskan pelukannya untuk menatap wajah Hyunggu, “k-kok gitu!? Masih bisa besok, Sayang! Aku ngantuk!” Protes Hongseok.

“Enggak ada besok! Sekarang! Besok pasti kamu udah lupa, udah malas, ujung-ujungnya aku lagi yang beresin! Ini kan kerjaan kamu, Kak!”

“Tapi....”

“Enggak ada tapi-tapian! Bersihin semuanya ya, Sayang. Sekali lagi terima kasih buat hadiah dan semuanya yang udah kamu siapin, Kino sayang Kakak!” Hyunggu mengambil buket bunga dan kotak kalung miliknya, dirinya mengecup pipi Hongseok terlebih dahulu, setelahnya langsung pergi ke kamar, melupakan niat awalnya ingin ke dapur untuk minum.

Sedangkan yang tertua masih berdiri terdiam menatap semua yang harus ia bereskan sendirian, “harusnya yang beresin ini semua Shinwon!” Hongseok berdecak sebal.

Meow~!

“Iya Siru, iya. Daddy beresin!”

Mau tak mau Hongseok segera membereskan semua yang telah ia perbuat, dengan mata yang sudah sangat mengantuk dan pinggang yang sakit, Hongseok memaksakan dirinya. Sedangkan Hyunggu mengintip kekasihnya dari balik pintu kamar, terkekeh geli melihat Hongseok yang sibuk menggerutu sambil membereskan sisa-sisa kelopak bunga, dirinya memang sengaja mengerjai Hongseok.

Maafin aku ya, Sayang.” Gumam Hyunggu.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii


Pukul delapan lewat sebelas menit Seungwoo datang dan mengejutkan Seungyoun dengan membawa rangkaian bunga mawar untuk kekasih kesayangannya.

“Apa nih?” Tanya Seungyoun setelah menerima bunga tersebut.

“Bunga, apa lagi?”

“Nggak kamu selipin uang di dalamnya?”

“Rencananya sih tadi aku mau selipin uang dua ribu jadi daunnya.”

Tawa kecil keduanya saling bersahutan, “ayo masuk, Mas. Tadi kamu kena macet?” Tanya Seungyoun sambil berjalan duluan memasuki rumah diikuti oleh Seungwoo.

“Enggak, jalanan sepi, ini malam jum'at kalau kamu lupa, Sayang.”

“Loh, iya? Aku kira malam sabtu!” Sentilan gemas Seungwoo berikan pada dahi Srungyoun, “akh! Kenapa disentil!?” Protes Seungyoun.

“Bisa-bisanya lupa hari, nanti bisa aja lupa kalau ada pacar, iya?”

Cengiran Seungyoun membuat Seungwoo semakin gemas, “hehe maaf, kalau pacar kayak kamu mah aku nggak akan mungkin lupa,” Seungyoun mengecup pipi Seungwoo lembut.

“Pinter aja ngomongnya,” Seungwoo menangkup pipi Seungyoun, kemudian mengecup sekilas bibir kekasihnya.

“Kamu duduk dulu di ruang makan, liatin aku masak, ya?”

“Memangnya bisa masak?”

“Bisa, dong! Ayo ikut aku,” Seungyoun menarik tangan Seungwoo menuju ruang makan yang langsung terhubung dengan dapur, di dorongnya pundak lebar Seungwoo agar duduk di kursi meja makan, kemudian ia sengaja meletakan bunga pemberian Seungwoo di meja makan, “malam ini aku mau masak steak, kamu oke, 'kan?”

“Aku makan apa aja, Sayang.”

Okay then, please wait for me,” Seungyoun mengecup kepala Seungwoo sekilas dan mulai masak di hadapan kekasihnya.

Seungwoo menatap Seungyoun lekat, matanya tak bisa melepas pandangan dari Seungyoun yang sangat lihai memasak, “kamu keliatan beda kalau masak. Eh- kamu ganti warna rambut?” Seungwoo baru tersadar rambut kekasihnya kembali berwarna hitam.

“Baru sadar kamu rambut aku balik hitam?”

“Iya, aku terlalu fokus sama reaksi kamu nerima bunga dari aku sampai enggak sadar. Kapan ganti warnanya?”

“Kemarin, aku bosan enggak ada kerjaan jadi iseng ke salon bareng mama. Gimana, lebih suka aku rambut hitam apa blonde?”

“Hitam, lebih fresh. Gitu terus ya rambutnya, gantinya tunggu aku bilang udah bosan.”

“Rasanya aku mau balik warna biru, menurut kamu gimana, Mas?”

“Hitam aja dulu, aku masih mau nikmati rambut hitam kamu,” Seungwoo tersenyum lembut.

Suasana kembali tenang, hanya terdengar suara alat masak yang saling beradu satu sama lain. Seungwoo melihat sekeliling rumah Seungyoun yang sengaja dibuat remang oleh tuannya.

“Kamu bisa minum wine kan, Mas?”

“Bisa lah, gini-gini aku juga minum. Steak with wine?”

Seungyoun mengangguk sebagai jawaban, dirinya menghidangkan dua daging yang dipanggang, bersamaan dengan makanan pendamping seperti kentang, wortel dan asparagus, tak lupa saus barbeque untuk menambah cita rasa daging semakin nikmat.

“Mau aku bantuin ambil gelas?” Tawar Seungwoo.

“Kamu duduk diam aja disitu, malam ini biar aku yang treat kamu,” Seungyoun tersenyum dan mengambil sebotol anggur dan dua gelas sloki tinggi.

“Tumben kamu ngajakin dinner begini?” Tanya Seungwoo saat kekasihnya mulai menuangkan anggur pada gelas masing-masing.

“Kepengen aja, udah berapa bulan kita bareng belum pernah dinner begini, 'kan? Pasti kalau nggak pesan makanan, junk food, ya kan?”

“Hmm ... iya sih, kita jarang makan enak dalam arti proper begini.”

“Aku bilang juga apa, want to cheers with me, Sir?”

Of course.”

Suara dentingan kaca dari dua gelas yang beradu menjadi penanda bahwa makan malam pasangan ini dimulai, keduanya menyesap anggur secara perlahan sambil menatap satu sama lain.

“Enak, punya kamu?” Tanya Seungwoo.

“Punya mama, tapi aku yang sering minumnya.”

“Alkoholnya terasa, tapi nggak begitu berat, aku suka.”

For your infromation, ini anggur kesukaan aku.”

“Oh, kode biar aku beliin?” Seungwoo menyeringai jahil.

“Mending beliin aku saham dari pada anggur!”

Lelaki yang lebih tua tertawa lepas mendengar jawaban kesal kekasihnya, “sudah aku bilang, kalau mau saham harus nikah sama aku dulu.”

“Tapi pas udah nikah beneran dapat, ya?”

“Nggak janji.”

“Ish! Penipuan!” Bibir Seungyoun mengerucut seperti anak kecil yang merajuk mainannya diambil.

“Aku mau cobain steak kamu, mau penilaian jujur apa enggak?”

“Jujur dong!”

“Kalau aku bilang nggak enak jangan nangis, ya?”

“Kalau enak habisin, ya?”

Sure.

Sebelum memotong daging steak dihadapannya, Seungwoo menatap sejenak daging tersebut dan tersenyum lebar, kala aroma khas panggangan dan juga saus yang sudah dibuat terlebih dahulu oleh Seungyoun menggelitik indra penciumannya, membuat perut Seungwoo memberontak minta diisi. Perlahan Seungwoo memotong daging miliknya, dicelupkan pada saus dan langsung dilahap dalam satu gigitan.

Sedangkan sang juru masak menatap harap cemas pada Seungwoo, “gimana?” Tanyanya penasaran.

“Hmm ... hmm ...”

“Jawab, Mas!”

“Astaga, sabar dong, kan aku harus menikmati setiap gigitan serat dagingnya, merasakan sausnya, gimana sih?”

“Habis lama banget, aku gugup nih!”

“Hahaha, cobain deh, biar kamu nilai sendiri.”

“Tapi aku mau penilaian kamu, Mas!”

“Enak. Enak sekali. Enggak kalah dari yang di restoran, aku nggak bohong. Beneran enak, aku suka sausnya, nggak begitu asin, dagingnya juga lembut, kematangannya pas. Aku kasi nilai sepuluh per sepuluh, kalau bisa lebih.” Tutur Seungwoo.

Mendengar setiap tutur kata Seungwoo membuat hati Seungyoun menghangat, tangannya otomatis terangkat untuk menggenggam tangan Seungwoo, “kamu ngomong gitu bukan karena mau hibur aku kan, Mas?”

“Enggak lah, Sayang. Nih kamu coba deh,” Seungwoo menyuapkan potongan daging lain yang telah diberi saus kepada Seungyoun, “gimana, enak kan?”

“Enak ... selama ini aku masak enggak seenak ini, pasti ada aja yang asin, atau tawar.”

“Pasti karena kamu masakanya buat aku jadinya enak. Mama aku pasti senang kalau tau kamu pinter masak gini.”

“Cuma panggang daging sama masak mie doang aku bisanya, Mas!”

“Itu udah basic Sayang, kalau diajarin lainnya pasti bisa.”

“Iya sih, aku juga kalau mau bikin sesuatu pasti search di google.”

“Nah kan, aku bilang juga apa.”

“Tapi, tumben kamu bahas soal mama kamu? Jangan-jangan yang mau kamu omongin perihal keluarga kamu, ya?” Seungyoun menatap Seungwoo serius.

Senyum tipis dapat Seungyoun lihat dari bibir kekasihnya, tangan yang semula menggenggam tangan Seungwoo kini berbalik jadi digenggam oleh Seungwoo, “mama kasi tau aku, sabtu ini ada acara keluarga, kalau bisa aku pulang ... sambil bawa kamu, ketemu sama keluarga besar aku juga. Aku nggak maksa kamu buat ikut, kalau mau ya ayo, sekalian kenalan sama keluarga aku, gimana?” Seungwoo mengeratkan genggamannya.

Tidak seperti sebelumnya dimana Seungyoun akan ragu jika membicarakan tentang pertemuan keluarga, kali ini Seungyoun tersenyum dan mengangguk mantap, “ayo, Mas. Aku mau aja kalau diajak, apalagi mama kamu yang suruh, kan? Kapan lagi bisa kenal sama keluarga kamu, apalagi keluarga besar kamu. Ada keponakan kamu juga kan, Mas?” Tanya Seungyoun antusias.

Mendapat respon baik, sudut bibir Seungwoo langsung naik membentuk sebuah senyuman, hingga ke matanya membentuk bulan sabit, “kamu engga takut? Ragu atau apa gitu mau ketemu keluarga aku, keluarga besar loh?”

“Kenapa harus takut, mereka enggak makan manusia, kan?”

“Ya enggak sih, maksud aku ini kan pertama kali ketemu, mungkin kamu bakal gugup, atau apa gitu?”

“Pasti dong, tapi ya hadapi aja, toh ada kamu kan nanti dampingi aku? Aku bakal aman kalau sama kamu.”

Tangan Seungyoun perlahan ditarik oleh Seungwoo, kemudian dikecupnya berkali-kali sebagai bentuk rasa sayang, “I love you,”

I love me too!” Balas Seungyoun penuh canda, dirinya terkekeh saat melihat Seungwoo memutar bola matanya jengah, “jangan ngambek, jelek! Aku aja yang ngambek, kalau aku ngambek lucu.”

“Dih percaya diri sekali anda?”

“Harus dong! Masa seorang Cho Seungyoun nggak percaya diri?”

Keduanya kembali tertawa dan melanjutkan makan malam yang sempat tertunda.

“Oh iya Mas, ceritain keluarga kamu dulu dong sebelum aku ketemu.”

“Hmm ... mama aku itu orangnya ramah, agak bawel, sedikit pemaksa, pokoknya kalau bilang A ya harus A tapi nggak menyusahkan sih. Apalagi ya, mama itu baik, dia selaku dukung apapun yang anaknya lakukan selagi itu baik. Kayak aku yang awalnya bilang mau bisnis sama Sungwoon buka studio, ya mama aku orang pertama mendukung aku. Beda sama papa.”

“Papa kenapa?”

“Papa agak keras, masih agak kolot, pemikirannya masih yang kalau kerja itu harus di kantor, gaji itu harus pasti, ya begitu lah. Agak strict, suami kakak aku aja beberapa kali usaha baru bisa luluhin hati papa, tapi semenjak udah ada Fanny ya papa mulai melunak, walau kadang suka resek.”

“Resek gimana?”

“Nih ya, aku kasi tau kalau nanti di rumah aku misalnya ketemu sama papa aku, beliau tingginya sama kayak aku, wajahnya mirip aku juga tapi kesannya galak. Nah, nanti kamu ramah aja sama papa aku, tapi jangan diambil hati kalau jawabannya cuma, 'ah iya', atau cuma ngangguk aja, papa memang begitu.

“Terus kalau di tanyain sama papa aku, tentang kerjaan, anak siapa, rumah dimana, pendidikan apa, jawab seperlunya, kalau papa keliatan ga minat udah diem aja, jangan diambil hati, kalau beliau tanya terus, ya syukur ... papa dulu pernah kerja di bank, tapi udah pensiun, tipe pemimpin yang disegani gitu, jadi kamu tahan hati dan maklumi aja ya, kadang aku juga suka berantem kok sama papa aku.”

“Ah gitu ... tapi papa kamu nggak ngejudge atau apa kan?”

“Enggak, tapi papa emang gitu, nggak bisa sembarangan.”

“Kalau gitu, pas dulu kamu sama ... hm ...”

“Naul? Awalnya beliau suka, Naul pintar, pintar cari muka maksudnya. Setelah tau sifat asli Naul, bahkan sampai ngamuk ke rumah orang tua aku, tangan papa pernah dengan ringannya melayang ke pipi Naul.”

“K-kok serem?” Wajah Seungyoun seketika terlihat ragu.

“Jangan takut! Papa bukan yang dengan mudah marah dan main fisik, kok! Kalau kamu ketemu pasti paham, papa aku baik, beliau hanya tipe orang tua keras, yang mau terbaik untuk anaknya.”

“Semoga papa kamu bisa suka sama aku ya, Mas.”

“Pasti suka! Percaya deh sama aku, firasat aku bilangnya gitu. Terus ini juga aku mau kasi tau, tante-tante aku, mulut mereka ini ya pada dasarnya memang cerewet dan kepo, kalau ditanya pertanyaan basic kamu juga jawab seperlunya, kalau ditanya kenal dimana bilang aja dikenalin abang.”

“Kenapa gitu?”

“Kalau kamu cerita yang sebenarnya nanti gosipnya bisa sampai kemana-mana, aku saranin jawab senormalnya.”

“Ah- paham aku! Jadi, apa lagi yang harus aku hadapi?”

“Keponakan aku, Fanny, dia anaknya pemilih. Dia bisa aja badmood sama orang yang dia nggak suka, atau baru kenal. Tapi kalau suka, ya dia manja, kalau mau dekatin dia pelan-pelan. Kakak aku, dia baik, ramah dan orangnya welcome sama kayak mama.”

Seungyoun tampak berpikir sejenak, “aku bisa hadapi mereka kan, Mas?” Tanyanya tiba-tiba.

“Kamu jadi ragu?”

“Enggak ragu sih, cuma ya gimana ya takut aja beri kesan buruk? Apalagi aku tattoan gini, apa kata papa kamu? Tante kamu?”

“Sayang, kamu lupa aku juga tattoan?”

“Tapi kan Mas-”

“Seungyoun, Sayang, gapapa, percaya sama aku. Kamu sendiri bilang kalau ada aku, kamu rasanya aman, 'kan? Aku yakin mereka pasti suka sama kamu, hm?”

Hela napas panjang Seungyoun terdengar, dirinya pun tersenyum dan mengangguk, “aku bisa, aku pasti bisa selagi ada kamu, I trust you, Mas.”

Trust me, babe. You can face it.

We can face it, Mas.”

Suara petir dari luar mengagetkan keduanya, “hujan?” Tanya Seungwoo.

“Petir!”

Tak lama suara hujan deras terdengar, keduanya saling bertatapan satu sama lain, “ku bilang hujan, nggak percaya!” Protes Seungwoo.

“Petir belum tentu hujan, ya!”

“Ya ini hujan, berarti petir tandanya hujan!”

“Terserah!”

Seungwoo terkekeh puas melihat wajah kesal Seungyoun, “hujan, kamu sendirian berani?”

“Berani, memang kenapa?”

“Gapapa, nanya doang, mana tau takut.”

“Enggak lah, ngapain takut?”

“Ya, sendirian, hujan, dapur gelap, rumah gelap, kamu di rumah sendirian terus tiba-tiba ada yang ngetuk pintu-”

“DIAM! Diam nggak mulutmu itu!?”

“Aku cuma ngomong?”

“Aku sendirian!”

“Yaudah, sama aku juga sendirian di apartemen?”

“Oh- OH! Kamu sengaja kan, sengaja biar aku takut terus kamu nginap disini!?”

“Enggak ada, dih! Otakmu ya!” Seungwoo menyentil dahi Seungyoun.

“Ya habisnya! Udah deh kamu nginap aja, udah jam sepuluh juga nih, ya?”

“Sekarang siapa yang kepengen siapa?” Seungwoo menyeringai.

“Yaudah, pulang sana. Udah habis semua kan makanannya? Pergi sana!” Seungyoun berdiri, kemudian menarik tangan Seungwoo agar beranjak dari duduknya.

“Hahaha astaga sayang, iya maafin aku, enggak kok, enggak. Aku temanin deh, enggak bakal ada yang ngetuk kok,” Seungwoo memeluk Seungyoun gemas.

Sedangkan yang dipeluk menghentakan kakinya kesal, “jangan gitu lagi!” Seungyoun mencubit pinggang Seungwoo.

“Enggak Sayangku ....”

“Bantu cuci piring.”

“Aku tamu loh?”

“Enggak ada, kamu pacarku, bukan tamu!”

Lagi Seungwoo terkekeh, “cium dulu kalau mau aku bantu cuci piring.” Seungyoun menangkup pipi Seungwoo, mengecup bibir kekasihnya berkali-kali, hingga mengeluarkan bunyi.

“Udah, bantu cuci piring ya?”

“Iya, yuk cuci piringnya. Tapi nanti aku pinjam baju kamu, ya? Aku enggak ada persiapan apa-apa nih.”

“Iya gampang!”

Mereka pun melepas pelukan, Seungyoun langsung membereskan sisa makan keduanya dan meletakan di tempat cuci piring.

“Mama kamu pulangnya kapan?” Tanya Seungwoo sambil menggulung lengan bajunya, bersiap mencuci piring.

“Besok katanya, tapi sore. Kenapa?”

“Sama siapa perginya?”

“Om sama tante aku, memang udah kegiatan rutin jenguk nenek, biasanya aku ikut tapi kali ini enggak dulu.”

“Kenapa?”

“Aku capek, mau ketemu pacarku juga.” Jawab Seungyoun cuek.

Kecupan Seungwoo berikan pada pelipis Seungyoun, “jangan gemes-gemes, kita cuma berdua, sekarang lagi hujan.”

“Biarin!”

“Heh nantangin!”

“Hehehehe cepet cuci piringnya!”

“Baik tuan muda!”


Orang-orang bilang jika masa yang paling indah dalam hubungan itu ialah, saat masih menjadi pengantin baru. Hal itu pula yang dirasakan oleh pasangan Hongseok dan Hyunggu, pasangan pengantin ini baru saja menikah 3 bulan terakhir, setelah menjalani hubungan pacaran yang singkat -6 bulan-, keduanya memutuskan untuk ke jenjang yang lebih serius.

Pernikahan memang bukanlah suatu hal yang mudah, namun baik Hongseok, maupun Hyunggu, mereka berdua sama-sama belajar satu sama lain untuk menjadi pasangan yang baik. Hongseok sendiri bekerja sebagai pegawai bank dan Hyunggu sebagai guru taman kanak-kanak, keduanya bertemu karena dijodohkan oleh sang ibu, bukan tanpa alasan mereka dijodohkan.

Hongseok yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya membuat pria 30 tahun ini tak sempat mencari pendamping, sedangkan Hyunggu -25 tahun-, selalu beralasan belum menemukan yang sesuai seleranya. Sehingga hal itu membuat kedua ibu mereka yang kebetulan berteman baik pun menjodohkan mereka, sempat putus asa takut sang anak enggan dijodohkan, namun sesaat setelah keduanya dipertemukan dalam acara makan malam khusus, Hongseok langsung mengatakan kepada ibunya jika ia ingin bersama Hyunggu, begitu pula dengan Hyunggu, dirinya langsung mau bersama Hongseok.

Walaupun hubungan mereka telah berjalan selama 3 bulan, akan tetapi Hongseok dan Hyunggu belum pernah liburan keluar kota, sekedar untuk menghabiskan waktu bersama. Maka dari itu, Hongseok sengaja mengambil cuti agar dirinya bisa membawa sang suami tercinta pergi berlibur, tidak begitu jauh hanya menetap selama 3 hari di villa milik orang tua Hongseok yang terletak di kawasan puncak. Saat pertama kali mendengar rencana suaminya, tentu saja Hyunggu sangat senang dan tidak sabar untuk segera liburan layaknya anak kecil, hal itu semakin membuat Hongseok gemas dengan suaminya ini.

“Kak, nggak jadi bawa tenda, 'kan? Lagi musim hujan begini bakal susah bikin tenda,” ujar Hyunggu sesaat setelah selesai mengemasi bawaan mereka.

“Iya Sayang, enggak jadi. Sudah semua barang bawaannya?” Tanya Hongseok yang sedari tadi duduk di atas kasur, berhadapan dengan Hyunggu dan koper besar yang akan mereka bawa liburan.

“Sudah! Sweaternya aku ada bawa punya kamu dua ya, untuk kamu sama untuk aku hehehe,” Hyunggu tersipu malu.

“Suka banget kamu pakai sweater aku, kenapa sih?”

“Gapapa, suka aja. Sweater kamu tuh enak tau, wangi parfum kamu juga, jadi aku berasa dipeluk.”

“Kasihan jarang aku peluk, gara-gara aku sibuk, ya? Sini peluk dulu, nanti pas di villa puas-puasin peluknya,” Hongseok merentangkan tangannya.

Sudut bibir Hyunggu naik karena merasa senang, ia pun langsung meloncat ke atas kasur untuk memeluk erat suaminya, “yeay! Besok liburan!” Girangnya didalam pelukan.

“Senang banget kamu, mana tuh yang kemarin sedih harus cuti enggak ngajarin anak-anak kesayangannya, mana?” Tangan Hongseok dengan usil mencolek pinggang Hyunggu, sengaja menjahili suaminya.

“Ih itu kan aku enggak tau bakal berangkatnya jum'at, jadi cuma cuti sehari doang!” Bibir Hyunggu cemberut dan hal itu tak dilewatkan oleh Hongseok untuk mengecup bibir kesayangannya.

“Jangan gemes-gemes, aku nggak kuat,” ujar Hongseok.

“Eung~ eung~!” Bukannya berhenti, Hyunggu semakin mengimut-imutkan dirinya didalam pelukan Hongseok.

“Hyunggu ..., mulai nakal, ya?”

“Hyunggu, tidak!”

“Benar tidak nakal?”

“Tidak! Tidak!” Hyunggu menggelengkan kepalanya, “kyaa!!” Teriak Hyunggu kala Hongseok membanting badannya ke kasur dan menggelitiknya tanpa ampun.


Embun pagi yang menyelimuti kawasan puncak membuat Hongseok kesusahan untuk menyetir, dirinya harus fokus sendirian karena Hyunggu masih terlelap di samping dirinya. Mereka sengaja memilih berangkat saat subuh, agar sesampainya di villa masih dapat merasakan udara segar yang sejuk.

Setelah berjuang selama hampir 1 jam, akhirnya pengantin baru ini sampai di tempat tujuan, Hongseok mengintip dari kaca mobil untuk melihat keadaan villa yang sudah lama tidak ia dan keluarganya datangi.

“Sayang, bangun ..., udah sampai, nih,” nada lembut Hongseok bukannya membuat Hyunggu terbangun, malah semakin membuat suami manisnya meringkuk di kursi penumpang.

Melihat hal itu, tentu saja membuat senyuman Hongseok datang menghampirinya, dielusnya pipi berisi Hyunggu yang mulai muncul bintik-bintik samar dan berwarna merah jika suhu menurun,“Hyunggu, Sayang, yuk bangun!” Ditepuknya pelan pipi itu.

Akhirnya yang dibangunkan pun membuka netranya, Hongseok masih mempertahankan senyuman terbaik dia, karena sedetik pun rasanya ia tak rela untuk menghilangkan senyuman itu.

“Udah lama sampainya?” Tanya Hyunggu setelah sadar sepenuhnya.

“Baru aja, turun dulu yuk liat sekeliling villa,” ajak Hongseok dengan tangan yang mengelus pipi Hyunggu.

Suaminya mengangguk tanda setuju, sekilas Hyunggu memberikan kecupan pada pergelangan tangan Hongseok dan sengaja mengusak pipinya di tangan tersebut, bertingkah layaknya anak kucing yang ingin dimanja.

“Masih ngantuk, hm?”

“Eung~! Aku semalam enggak bisa tidur,” jawab Hyunggu, kembali memejamkan matanya.

Merasa jika suaminya akan kembali tertidur, Hongseok berinisiatif menangkup wajah Hyunggu, mengecup seluruh wajah itu dengan gerakan lambat, namun lembut dan dalam. Mendengar suara tiap kecupan dari Hongseok, memnuat Hyunggu mau tak mau membuka matanya sambil terkekeh, “kamu nih ya, paling tau banget gimana cara bangunin aku,” yang lebih muda mengecup sudut bibir Hongseok.

“Siapa lagi yang paling ngerti kamu kalau bukan aku, hm?”

“Ibu aku!”

“Oh iya sih, enggak salah juga kamu. Ayo turun! Keburu embunnya hilang loh,” Hongseok menyempatkan diri mengacak rambut Hyunggu, ia langsung mematikan mesin mobil dan turun terlebih dahulu, “woah! Segarnya!” Seru Hongseok.

Dihirupnya udara segar yang tak akan bisa ia dapatkan bila berada di kota, bahkan asap keluar dari mulut Hongseok saking suhu di daerah puncak terlalu dingin.

Hyunggu tampak menggigil setelah keluar dari mobil, walaupun sudah memakai baju rajut berbahan tebal, hal itu tidak mempan karena Hyunggu sangat rentan terhadap udara dingin.

“Kak! Dingin!” Hyunggu berlari kecil menghampiri suaminya dan langsung memeluk Hongseok erat, “ini dingin banget! Padahal udah jam 8 loh!” Hyunggu meringis karena merasakan dingin.

“Namanya juga di puncak sayang, kalau panas mah di pantai.”

“Ih kamu ngomongnya berasap! Loh aku juga ternyata! Hahahaha,” Hyunggu tertawa geli saat menyadari jika sedari tadi asap yang ia lihat berasa dari mulutnya sendiri.

“Hahaha bisa-bisa baru sadar tuh, gimana?” Hongseok kembali menangkup pipi Hyunggu, kali ini ditekannya hingga bibir Hyunggu seperti anak bebek, “wajah kamu udah merah, Sayang. Langsung masuk aja, ya?”

“Kita belum foto!”

“Masih ada hari esok, kamu harus sesuaikan badan kamu dulu, daripada kamu nanti sakit. Memangnya mau sakit pas liburan, hm?” Hongseok merapikan rambut Hyunggu yang mulai panjang, menutupi mata indah kesukaannya.

“Enggak mau, yasudah kalau begitu ayo naik! Barang-barangnya juga dibawa sekalian.”

“Enggak perlu, ada penjaga villa nanti yang ambilin. Aku juga sebelumnya sudah suruh dia bersihkan villa, jadi kita tinggal liburan dengan santai.”

CUP

Alis Hongseok naik, wajahnya terlihat bingung mendapat kecupan dadakan dari Hyunggu, “terima kasih sudah siapkan semuanya!” Ujar Hyunggu ceria dan berjalan terlebih dahulu menuju villa.

“Semuanya kalau bisa, semua yang kamu mau aku kasih untuk kamu, Hyunggu,” monolog Hongseok sembari menatap punggung kecil yang selalu pas saat ia peluk.


Decakan kagum dari Hyunggu membuat seseorang yang menunggu di depan pintu villa tersenyum, “selamat pagi Tuan! Bagaimana perjalanannya?” Tanya pria paruh baya itu kepada Hyunggu.

“Pagi, Pak! Lumayan juga Pak hehe. Bapak yang jagain villa ini?”

“Iya, Tuan. Sudah dari minggu lalu Tuan Hongseok bilang mau kesini, jadi saya beres-beres dulu.”

“Oh gitu, saya boleh masuk?”

“Boleh, Tuan! Tentu saja boleh, silahkan masuk,” pintu dibukakan khusus untuk Hyunggu.

Laki-laki manis itu pun masuk ke dalam villa dan rasa kagumnya kembali datang, Hyunggu tak menyangka bahwa villa milik keluarga Hongseok akan sebesar dan senyaman ini, interior yang sebagian besar berwarna coklat, terdapat ruang keluarga dan langsung menembus ke arah dapur, tak lupa ada balkon yang langsung menghadap pemandangan gunung, “woah-” kagum Hyunggu.

“Kamu suka?” Tiba-tiba Hongseok datang memeluk Hyunggu dari belakang.

“Suka, suka banget!” Hyunggu menggenggam lengan yang melingkar erat dipinggangnya, “aku nggak nyangka bakal besar, aku kira villa yang minimalis gitu,” ujar Hyunggu sambil menoleh untuk menatap suaminya.

“Ini villa untuk kumpul keluarga besar, ada villa yang kecil tapi khusus buat disewain gitu,” jelas Hongseok.

“Oh gitu, yang Ibu pernah cerita ada bisnis itu, ya?”

“Nah iya itu. Kamu mau lihat ke arah balkon?” Ajak Hongseok. Langsung saja Hyunggu berjalan masih dengan posisi Hongseok memeluk dirinya, “kenapa nggak dilepas dulu sih, Sayang? Susah jalannya,” ujar Hongseok.

“Hehehe dingin! Aku mau dipeluk terus,” Hyunggu menarik tangan Hongseok agar mengeratkan pelukannya.

Keduanya pun sampai di balkon, mata Hyunggu melebar kala melihat embun mulai menghilang dan digantikan oleh matahari yang mengintip malu dibalik kumpulan awan putih, “ini cantik banget! Bayangin kalau di atas gunung sana, pasti dingin banget, 'kan?” Hyunggu menunjuk ke arah gunung.

“Coba aja naik ke atas gunung sana,” jawab Hongseok asal.

“Dih, kamu aja sana!” Kesal Hyunggu.

Lelaki yang lebih tua terkekeh, dikecupnya sekilas kepala yang termuda, “jangan kesal gitu dong, tuh liat gunungnya mulai keliatan.”

“Aku harus foto ini!” Buru-buru hyunggu mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan menangkap gambar gunung di depannya, tak lupa ia merekam video dengan suara kicauan burung sebagai penghias, “Kak, kita juga harus foto,” ujar Hyunggu sambil mengarahkan kamera ponsel ke mereka berdua.

Langsung saja Hongseok mengambil posisi dengan meletakan dagunya di atas pundak Hyunggu, sedangkan Hyunggu menyandarkan kepalanya di atas kepala Hongseok, keduanya tersenyum lebar di dalam foto. Tak puas hanya sekali, Hyunggu mengambil foto lagi, kali ini Hongseok mengecup pelipis kanan Hyunggu dan Hyunggu memejamkan mata kanannya, saat bibir Hongseok berada di pelipisnya. Foto terakhir, Hyunggu sengaja mengecup pipi kiri Hongseok membuat empunya terkejut, “kamu cium-cium bisa kasi tau dulu, nggak?” Hongseok buka suara.

Dirinya sudah melepaskan pelukannya dan kini keduanya berdiri saling berhadapan satu sama lain.

“Memangnya kenapa? Nggak suka aku cium?”

“Bukan begitu, nih coba kamu rasain,” Hongseok menarik tangan Hyunggu untuk merasakan detak jantungnya yang lebih cepat dari detakan normal.

Kekehan Hyunggu mengalun bagaikan musik yang indah di telinga Hongseok, “hehe ya maaf, aku kira kamu sudah terbiasa,” ujar Hyunggu lembut.

“Mana bisa kalau kamu aja semanis ini, memangnya kamu sudah terbiasa sama aku?”

Sometimes, aku masih kagetan setiap bangun tidur lihat kamu udah meluk, tapi enggak pakai baju,” pipi Hyunggu yang tadinya sudah tidak memerah, kini kembali memerah karena malu. Melihat suaminya yang sangat menggemaskan, Hongseok tak dapat menahan diri untuk mengecup kedua pipi memerah itu dan ujung bibir Hyunggu, “Kak!” Kaget Hyunggu.

“Jangan lucu-lucu banget, bisa nggak?”

“Kamu aja yang lemah sama aku!”

“Memang aku lemah kalau udah menyangkut kamu.”

Jawaban Hongseok membuat rona merah di wajah Hyunggu semakin menjadi, didorongnya Hongseok menjauh dan memilih berjalan cepat masuk kembali ke dalam villa, “Sayang! Mau kemana? Kok aku ditinggal!?” Tanya Hongseok dengan wajah jahil.

“Menurut kamu aja! Aku nggak dengar!” Hyunggu menutup kedua telinganya, berjalan ke arah dapur.

Sesampainya di dapur Hyunggu melihat sudah ada dua cangkir kopi dan berbagai cemilan seperti biskut dan kue-kue lainnya yang berbentuk kecil di atas meja makan, “wah- kue kesukaan aku semua, ada donat cokelat juga! Siapa yang siapin?” Hyunggu melihat sekeliling dapur yang memang langsung di gabung dengan ruang makan.

Tak ada siapa-siapa di villa ini kecuali mereka berdua, Hyunggu mengedikan pundaknya tak peduli, ia pun langsung duduk untuk menikmati kopi dan donat cokelat kesukaannya, “Kak! Sarapan!” Ujar Hyunggu saat melihat Hongseok baru masuk.

“Loh udah disiapin? Repot-repot banget,” Hongseok menyusul duduk di depan Hyunggu.

“Emang siapa yang siapin? Aku baru aja kesini udah ada.”

“Biasanga sih istri yang jagain villa ini, rumah mereka tuh di atas sana, tadi kamu ada liat jalan nanjak itu, 'kan? Nah rumah mereka di jalan itu, Sayang.”

“Oh gitu, dekat dong berarti. Disini bisa sepedaan nggak, Kak?”

“Bisa, tapi kamu pas naik ke sini lagi harus jalan sambil bawa sepedanya. Memangnya mau?”

“Mau! Kalau sama Kakak sih mau, hehehe.”

Tangan Hongseok terulur untuk mengacak rambut Hyunggu gemas, “besok kita sepedaannya, ya? Dibawah sana ada sungai kecil gitu, banyak ikan juga, kalau mau sore kita kesana.”

“Bisa mancing!?” Tanya Hyunggu antusias.

“Bisa dong! Kalau kamu mau mandi juga bisa disana, airnya segar banget.”

“Yaudah sore kita kesana ya, Kak?”

“Iya sayang iya, apapun asal kamu senang!”

“Hehehe love you,” Hyunggu memberikan flying kiss kepada Hongseok, membuat suaminya terkekeh geli.


Siang harinya, suasana di villa tampak sepi karena kedua pasangan ini sedang serius bermain jenga, permainan kayu yang disusun kemudian dilepaskan dan diletakan ke bagian paling atas ini sengaja Hyunggu bawa untuk menghabiskan waktu bersama seperti ini. Hongseok tampak serius melepaskan satu balok kayu kecil dari tempatnya, susunan kayu mulai goyah karena bagian atas sudah penuh, berbanding terbalik dengan bagian bawah yang mulai menipis menompang susunan kayu di atas. Tangan Hongseok bergetar, membuat Hyunggu tertawa kecil.

“Hayo loh! Kalau jatuh bikinin makan siang!”

“Enggak bakal! Ada tekniknya nih, liat aja ya!”

“Jatuh! Jatuh! Jatuh!” Teriak Hyunggu sengaja mengganggu konsentrasi Hongseok.

Sepertinya takdir berpihak kepada Hyunggu, tak lama setelah Hongseok berhasil mengeluarkan balok kayu, susunan jenga itu pun ambruk membuat Hyunggu tepuk tangan kegirangan, “yeay! Akhirnya makan siang dimasakin!” Hyunggu melakukan perayaan dengan menari-nari kecil.

Sedangkan Hongseok sudah mengusak rambutnya kesal, kemudian merebahkan dirinya di atas karpet yang melapisi lantai, “harusnya aku yang menang,” gumam Hongseok.

“Tapi aku yang menang!” Hyunggu memeluk pinggang Hongseok, ikut merebahkan kepala dan badannya di atas dada Hongseok.

“Iya, iya, kamu yang menang. Mau dimasakin apa, hm?” Hongseok mengelus kepala Hyunggu.

“Hmm ..., kita ada bawa bahan makanan apa aja, ya?”

“Ada sayur, ada daging, ada sosis, telur, mau apa?”

“Aku pengen nasi goreng kamu, yang ada sayur, pakai daging itu loh, Kak! Terus nanti buat telur orak-arik, ya ya?” Hyunggu menatap Hongseok penuh harap seperti anak anjing, dagunya ia letakan di atas dada Hongseok.

“Udah, itu aja? Enggak mau yang lain?”

“Enggak, aku mau itu aja.”

Dielusnya pipi Hyunggu dan Hongseok pun mengangguk setuju, “tapi kasi ini dulu biar aku semangat masak,” Hongseok menunjuk bibirnya.

“Mau berapa banyak?”

“Sebanyak-banyaknya, kan aku bakal masak nasi, masak bahannya, terus masak telur, pasti kamu juga mau minum yang segar, 'kan? Aku harus bikin minumnya juga. Jadi, aku harus dicium sebanyak sepuluh kali!”

“Banyak banget!?” Seru Hyunggu tak terima.

“Cium atau enggak sama sekali?”

Decakan kesal terdengar dari Hyunggu, membuat Hongseok terkekeh dan menaikan dagunya menunggu ciuman dari Hyunggu. Mau tak mau Hyunggu pun melakukan apa yang diminta oleh Hongseok.

“Itu mah kecup bukan cium!” Protes Hongseok.

“Ya, apa bedanya!?” Hyunggu menepuk dada Hongseok dan terduduk sambil menatap suaminya kesal.

“Beda lah! Cium tuh gini,” Hongseok juga ikut bangun, ia langsung menggenggam pundak suaminya, menarik Hyunggu mendekat dan melumat dengan lembut bibir ranum Hyunggu, “itu namanya cium!” Ujar Hongseok.

“Kayak begitu sepuluh kali habis napas dong!”

“Tapi aku maunya begitu, Hyunggu!”

“Ya! Ya! Bawel!” Hyunggu kembali menarik tengkuk Hongseok, memeluk leher suaminya dan mulai mencium serta melumat bibir tebal Hongseok.

Oknum yang dicium tentu saja merasa senang, sudut bibirnya naik disela ciuman mereka, tangan Hongseok memeluk pinggang Hyunggu dan semakin intens ciuman keduanya. Merasa ketersediaan oksigen mulai menipis, Hyunggu melepas duluan ciuman mereka, dirinya terengah-engah menunduk sesaat ciuman terlepas, Hongseok menempelkan dahi keduanya, saling menatap satu sama lain sembari tangan Hongseok mengelus rahang Hyunggu.

“Udah puas?” Tanya Hyunggu.

Thank you, baby!” Hongseok mengecup sekilas bibir Hyunggu.

“Masakin aku, cepat!” Hyunggu mendorong Hongseok menjauh.

“Hahaha iya sayangku, bayiku,” Hongseok pun beranjak dan menuju dapur, disusul dengan Hyunggu yang berlari kecil sambil berteriak ingin membantu.


Seperti yang sudah dijanjikan, sore harinya pasangan ini pergi ke daerah yang lebih rendah untuk menuju ke sungai. Sepanjang perjalanan Hyunggu tampak antusias, kakinya meloncat-loncat kecil sambil berjalan, membuat Hongseok yang sedari memperhatikan gerak-geriknya dari belakang menggelengkan kepala, “hati-hati sayang, nanti kesandung batu!” Hongseok memperingati.

“Iya, Kak!” Jawabnya namun seakan tidak peduli masih saja seperti sebelumnya.

Jalan kecil yang mereka lewati, searah dengan aliran air yang berasal dari atas gunung, Hyunggu berlari kecil mengikut aliran air itu hingga matanya melihat sungai kecil di ujung jalan, “Kak! Sungainya kelihatan!” Hyunggu menujuk ke arah sungai.

“Iya, jangan lari Sayang nanti jatuh!” Bukannya mendengarkan, Hyunggu malah berlari dan tak sengaja tersandung kakinya sendiri, sehingga dirinya nyaris saja terjatuh jika tidak menyeimbangi badannya dengan baik, “aku bilang juga apa, Hyunggu!” Hongseok berlari mengejar Hyunggu dan langsung merangkul suaminya agar tidak membahayakan dirinya sendiri lagi.

“Hehehe maaf, aku kesenangan lihatnya, kamu tau sendiri sesuka apa aku sama air. Sini pancingannya aku yang bantu bawa,” baru saja Hyunggu ingin mengambil peralatan pancing dan ember yang Hongseok bawa, namun suaminya lebih cepat menjauhi dari tangan Hyunggu.

“Aku aja, kalau kamu yang bawa bisa aja ini pancingan colok mata kamu,” ujar Hongseok.

Hyunggu memutar bola matanya malas, ia pun berjalan dengan tenang dalam rangkulan Hongseok hingga sampai ke tepian sungai.

“Ih ada bebek!” Teriak Hyunggu sambil menunjuk dua ekor bebek menyebrangi sungai.

“Tangkap gih sana, biar bisa kita makan buat malam nanti.”

“Sembarangan! Bebek siapa juga itu?”

“Bebek liar lah, bebek hutan.”

“Mana ada! Jangan suka tipu-tipu aku ya, Kak!” Hyunggu memukul punggung Hongseok.

“Dih haha benaran tau, ada bebek hutan.”

“Enggak ada! Bebek mah bebek biar aja, malah bahas bebek!”

Hongseok tertawa mendengar omelan Hyunggu, dirinya sibuk menyiapkan umpan untuk memancing, “kamu mau mancing nggak? Aku mau ke arah agak dalam di sana,” Hongseok menunjuk lokasi memancingnya.

“Enggak, aku boleh masuk ke sungai nggak?” Izin Hyunggu.

“Hati-hati, di bagian tengah agak dalam takutnya kamu kaget.”

“Oke!”

Langsung saja Hyunggu melepaskan sendal karet yang ia gunakan, dirinya berjalan perlahan memasuki sungai yang jernih, bahkan dasar sungai pun terlihat jelas berbagai macam batu di sana, “DINGIN BANGET!” Teriak Hyunggu nyaring.

“Langsung basahin semua badan kamu, Sayang! Bakal hangat kok!” Hongseok memberitahu, setelah dirinya sudah melepaskan umpan pancingan.

Mendengar perintah suami, Hyunggu pun berjalan ke bagian tengah dan menenggelamkan badannya disana, “oh iya be better, segar banget, Kak!”

“Segar, 'kan? Hati-hati ya!”

“Iya, Kak!” Hyunggu asik berenang di sungai tersebut, dirinya merasa seperti memiliki sungai itu sendiri.

Hongseok dari kejauhan mengawasi Hyunggu, hingga tak sadar jika pancingannya bergerak, “eh dapat!” Sedikit terkejut Hongseok langsung menarik pancingannya, dan benar saja dirinya mendapat ikan lumayan besar, “Sayang lihat!” Hongseok mengangkat hasil pancingannya.

“Woah! Asik makan ikan bakar!” Hyunggu mengepakan tangannya di air merasa bahagia, “cepat masukan ke ember, Kak!” Perintah Hyunggu.

Perlahan Hongseok melepaskan ikannya dan memasukan ke dalam ember yang telah di isi air, setelah itu Hongseok menunggu lagi pancingan yang lain karena dirinya membawa dua alat pancing.

“Jangan kejauhan berenangnya, Sayang!” Hongseok khawatir saat melihat Hyunggu sudah lumayan jauh dari jangkauannya.

“Kak, enggak mau ikut masuk juga!?” Tanya Hyunggu dengan nada yang naik.

“Tunggu pancingan satu lagi, Sayang.”

“Biarin aja gapapa, ikan tadi juga udah lumayan kok!”

Setelah terlihat berpikir sejenak, Hongseok pun membuka baju kaos yang ia kenakan, kemudian dirinya masuk ke dalam sungai sambil membasahkan air ke bagian badannya, “enggak dingin kok, nih?” Ujar Hongseok.

“Dingin! Aku 'kan nggak kuat dingin, Kak!”

Hongseok langsung saja menyelam dan berenang menuju tempat Hyunggu berada, saat sedang asik menikmati air tiba-tiba Hyunggu terkejut dengan tangan yang memegang kedua pahanya dan badannya terangkat ke atas, si pelaku sengaja mengendong Hyunggu di kedua pundaknya, “Kak jangan bikin kaget!” Hyunggu berusaha menyeimbangkan badannya, Hongseok pun langsung menggenggam tangan suaminya.

“Gimana, tinggi 'kan?”

“Tinggi! Kamu kok bisa sampai ke dasar sih? Padahal dalam!”

“Menyesuaikan aja sih, Sayang,” Hongseok terkekeh, paham maksud suaminya Hyunggu pun menjambak rambut Hongseok.

“Aku enggak serendah itu ya!”

“Buktinya kamu katanya enggak sampai?”

“Ya tapi kan tetap aja aku tin-”

Tanpa memberi kesempatan Hyunggu menyelesaikan omongannya, Hongseok sengaja menceburkan Hyunggu ke dalam sungai.

“Uhuk! Uhuk! Airnya masuk ke dalam hidung!”

Merasa bersalah, Hongseok berenang mendekat pada Hyunggu dan memeluk kepala suami kecilnya, “perih, ya?” Tanyanya lembut.

“Menurutmu aja, Kak!” Hyunggu merengut menatap Hongseok, yang ditatap terkekeh melihat hidung orang dalam pelukannya memerah.

“Tapi seru kan aku ceburin?”

“Sini giliran aku ceburin kamu!”

“Emang bisa? Coba aja,” Hongseok sengaja mendorong-dorong tubuh Hyunggu menjauh.

“Ih jangan didorong! Curang banget!” Hyunggu mencipratkan air kepada Hongseok.

“Mainnya balas dendam nih!”

“Iya lah!”

Akhirnya mereka berdua pun saling mencipratkan air satu sama lain, kemudian tertawa bersama. Merasa sudah cukup, keduanya pun naik ke daratan dalam keadaan basah kuyup, “pancingan kamu, Kak,” Hyunggu mengingatkan.

“Oh iya, hampir aja lupa,” Hongseok berlari kecil untuk mengambil pancingannya yang ternyata dapat ikan lebih kecil dari sebelumnya, “Sayang, dapat lagi!” Keduanya tertawa geli, padahal tidak ada hal yang lucu.

“Kita pesta ikan bakar sih ini, Kak!”

“Tumben banget ikannya mau, pasti kamu ada baca-baca, ya?” Hongseok datang sambil membawa ember dan pancingannya.

“Iya, tadi aku kasi sihir airnya 'ikan ikan pergilah ke pancingan Kak Hongseok', gitu. Aku sembur-senbur airnya,” Hyunggu mengacungkan jempolnya.

“Bagus, lain kali kalau kita mancing kamu ikut nyebur ke kolamnya, ya?”

“Ngawur!” Hyunggu nyaris saja menendang betis Hongseok, namun yang tertua lebih cepat menghindar.

“Ayo buruan pulang, hidung sama pipi kamu udah merah tuh, tolong sekalian bawain baju aku ya, Sayang.”

Hyunggu menuruti perkataan Hongseok, dirinya membawa baju Hongseok yang tergeletak di atas rumput, kemudian kembali masuk ke dalam rangkulan Hongseok. Keduaya berjalan cepat menuju villa dengan badan yang sedikit menggigil, mengingat hari sudah semakin sore.

Sesampainya di villa baik Hongseok maupun Hyunggu bergegas mandi sebelum masuk angin, beruntung ada tiga kamar mandi sehingga mereka tidak perlu berebut. Hongseok yang pertama kali selesai, dirinya mengenakan sweater hitam dan celana training abu-abu andalannya, dirinya pergi ke dapur membuat teh madu untuk dirinya dan Hyunggu.

Saat sedang menunggu air mendidih, Hongseok menatap ikan yang sebelumnya sengaja ia letakan begitu saja di tempat pencuci piring, “udah mati belum, ya?” Gumamnya dan menghampiri ikan tersebut.

Diambilnya sendok dan sengaja menusuk-nusuk dua ikan disana, “psst! Psst! Mati?” Tanyanya kepada ikan yang tak ada pergerakan, “oh syukurlah udah mati, kan enak bersihinnya.”

“Ngomong sama siapa kamu?” Hongseok terperanjat saat Hyunggu tiba-tiba datang berdiri di belakang dirinya, wajah suaminya tampak penasaran mengintip dari balik pundak Hongseok, “oh! Kamu ngomong sama ikan? Ikannya kenapa!?” Tanya Hyunggu heboh.

“Ikannya udah mati, tinggal dibersihin baru dibakar, kamu mau bersihin atau siapin bumbu?”

“Siapin bumbu hehehe,” Hyunggu terkekeh sambil mengusak pipinya di pundak Hongseok, “kamu ngerebus air?” Melihat air yang mulai mendidih, Hyunggu pun mematikan kompor.

“Iya, aku mau buatin teh madu biar nggak masuk angin, eh-” Hongseok baru menyadari penampilan suaminya, sweater hijau tosca dengan ukuran besar yang tak asing membalut tubuh Hyunggu, “kamu pakai sweater yang aku beliin buat kado kamu, 'kan?” Tanyanya meyakinkan.

“Iya, kenapa?” Hyunggu tampak bingung. Hongseok mendekat, digenggamnya kedua pundak Hyunggu, kemudian ia sengaja menarik hoodie sweater agar menutupi kepala Hyunggu, ditariknya tali hoodie tersebut membuat wajah Hyunggu membulat bagaikan telur di balik hoodie, “kamu ngapain, Kak!?” Hyunggu meremas erat sweater Hongseok di bagian pinggang.

“Mau liat alpukat, nah sekarang aku punya alpukat besar!” Hongseok menangkup kedua pipi Hyunggu, dikecupnya dahi dan ujung hidung Hyunggu yang masih memerah karena dingin, “alpukat aku besar, lucu, pengen aku gigit,” ujar Hongseok.

Paham jika yang dimaksud alpukat adalah dirinya, Hyunggu tersenyum hingga matanya menjadi garis yang membentuk bulan sabit, “jangan digigit, nanti alpukatnya nangis!”

“Terus aku harus apa?”

“Cium aku!”

“Kamu Hyunggu bukan alpukat.”

“Aku alpukat! Aku sekarang jadi alpukat!”

“Mau cium dimana?”

“Mana aja!”

“Baiklah,” sesuai permintaan Hongseok mencium seluruh wajah Hyunggu, mulai dari dahi, kedua pipi, dagu, ujung hidung dan terakhir bibir. Seluruhnya dicium dan meninggalkan bunyi 'cup', “sudah?” Tanya Hongseok.

“Sudah!” Jawab Hyunggu girang, “sekarang ayo kita buat tehnya dan mulai siapkan bakar-bakar!”


Malam semakin larut, ikan dan berbagai makanan lainnya seperti daging dan sosis yang mereka bakar pun sudah mulai habis, Hyunggu meneguk soda terakhirnya sambil menatap langit yang dihiasi oleh kerlap-kerlip bintang, tampak indah, membuat Hyunggu tak bisa mengalihkan pandangannya.

View disini bagus banget, kalau tinggal disini bakal betah sih aku,” ujar Hyunggu.

“Terus kamu mau tinggalin anak kesayangan kamu?”

“Ya, enggak sih ..., cuma bayangin aja kalau tinggal disini enak. Udara segara, dinginnya juga alami, bahkan aku bisa dengar suara burung sama jangkrik. Coba di kota? Jangankan dengar suara jangkrik, lihat langit bersih gini aja susah-susah, Kak.”

“Iya sih, lain kali kita kesini aja lagi liburannya kalau memang enggak mau jauh-jauh.”

“Benaran!?” Hyunggu menatap Hongseok penuh harap.

“Ya iya, masa bohong?” Hongseok menarik Hyunggu agar dapat ia rangkul dan dikepanya erat, “kamu kedinginan lagi, ya? Cepat banget merahnya, nih udah ruam lagi,” Hongseok mengelus pipi Hyunggu.

“Mau gimana lagi, kita aja udah berapa jam di luar? Tapi aku suka, masih mau lihat langitnya,” Hyunggu menyandarkan kepala pada pundak Hongseok, setelah meletakan kaleng soda kosong ke atas meja.

Kedua pasangan ini duduk di halaman belakang villa, dimana memang tersedia kursi kayu panjang dan juga meja yang sengaja disediakan khusus untuk acara keluarga, tak lupa alat pembakar dengan ukuran besar.

“Masih dingin?” Tanya Hongseok sembari mengeratkan dekapannya pada Hyunggu.

Be better, nih habisin potongan terakhir,” Hyunggu menyuapi Hongseok potongan daging terakhir, dengan senang hati sang suami menerimanya.

CUP

“Ih! Pipi aku jadi minyakan kamu cium!” Protes Hyunggu disaat Hongseok tiba-tiba mengecup pipinya.

“Pipimu kan merah,” ujar Hongseok santai.

“Alasan! Bilang aja memang mau cium-cium,” Hyunggu merengut kesal.

“Nah tuh tau.”

“Nyebelin banget sih!” Tangan Hyunggu memukul kesal dada Hongseok, membuat empunya terkekeh dan menekan pipi Hyunggu dengan satu tangannya, hingga bibir Hyunggu maju seperti bebek, “lwepwas gug!?” Dicubitnya tangan Hongseok.

“Apa? Lepas? Coba ngomongnya yang jelas,” Hongseok sengaja menggoda Hyunggu.

Tak ingin kalah, tangan Hyunggu yang lain sengaja menusuk bagian ketiak Hongseok, membuat Hongseok terperanjat dan melepaskan tangannya pada pipi Hyunggu, “curang kamu mainnya tusuk-tusuk gitu!”

“Impas dong! Masa kamu aja yang boleh, aku enggak!?”

“Aduh seram banget maungnya kambuh, hih!” Hongseok melepaskan rangkulannya, ia pun bergeser sengaja menjauhi Hyunggu.

“Sini kamu ku gigit! Ku cakar! Rawr!” Hyunggu mendekat dan berpura-pura menjadi seekor harimau.

“Jangan gigit sama cakar aku, nih makannya,” Hongseok menyuapi potongan sosis pada Hyunggu, suaminya pun dengan nikmat menikmati sosis itu, “nah udah tenang, 'kan?” Hongseok menepuk kepala Hyunggu.

“Memangnya aku maung benaran apa!?” Tatapan sinis Hyunggu berikan kepada Hongseok, sedangkan yang disiniskan hanya tertawa dan kembali membawa suami manisnya ke dalam pelukan.

“Kamu mau hadiah, nggak?”

“Hadiah apa? Enggak ah, pasti kamu bohongin aku.”

“Benaran ini, mau nggak?”

“Yaudah apa?”

“Tunggu,” Hongseok masuk ke dalam villa, meninggalkan Hyunggu kebingungan di luar. Tak lama Hongseok kembali sambil berlari kecil, berdiri di depan Hyunggu dengan tangan berada di belakang menyembunyikan sesuatu, “pejam mata dulu!” Perintah Hongseok.

“Enggak aneh-aneh, 'kan!?” Skeptis Hyunggu.

“Enggak sayangku, ayo cepat pejamin matanya,” Hongseok menepuk kepala Hyunggu.

Akhirnya Hyunggu pun memejamkan matanya membuat Hongseok tersenyum tipis, dirinya pun memakaikan barang yang tadi ia bawa pada kepala Hyunggu. Saat merasakan benda asing di kepalanya, Hyunggu mengernyit “apa nih?” Tanyanya.

“Sekarang buka matanya.”

Perlahan Hyunggu membuka matanya, dapat ia lihat Hongseok tersenyum sambil membenarkan posisi benda asing yang masih Hyunggu ketahui, “aku lepasin, ya?” Tanyanya lagi.

“Lepas aja, kamu pasti suka,” ujar Hongseok dengan percaya dirinya.

Dilepaskannya benda tersebut, kemudian mata Hyunggu langsung melebar melihat bucket hat rajut dengan warna senada seperti sweater yang ia kenakan sekarang, “kamu kok tau aku kepengen beli ini!?” Wajah Hyunggu terlihat kagum menatap suaminya, ia pun kembali memakai topi rajut itu.

“Tau dong! Kamu sendiri yang tanya sama aku bagusan warna apa, lupa?”

“Oh iya ya, tapi kok bisa pas dan tau aja kalau belinya di toko yang ini?”

“Apa sih yang seorang Hongseok enggak tau, hm?” Hongseok mencolek dagu Hyunggu.

“Cih! Sombong sekali anda, untung aja baik udah beliin aku ini.”

“Selama ini aku baik, Sayang!”

“Tapi kamu suka jahilin aku!”

“Ya, itu bagian dari sayang aku ke kamu!”

“Huh! Sini aku mau peluk!” Hyunggu berdiri dan merentangkan tangannya, “cepat, Kak!” Nada bicaranya naik.

“Minta peluk tapi marah-marah, dasar maung!” Sebelum memeluk suaminya, Hongseok menyempatkan diri untuk menarik hidung Hyunggu hingga membuat empunya teriak.

“Peluk aja kenapa sih!? Enggak perlu pakai acara tarik hidung aku!”

“Astaga galak sekali hahaha iya nih aku peluk!” Hongseok pun akhirnya memeluk Hyunggu begitu erat, “gimana, senang?”

“Senang, senang sekali! Terima kasih banyak, Suamiku.”

“Aku yang harusnya terima kasih, karena kamu udah sabar nungguin aku di sela waktu sibuk aku, maaf ya aku terlalu sibuk dan baru sempat ajakin kamu liburan sekarang,” Hongseok menatap wajah Hyunggu, mengecup dahi kesayangannya dan kembali berpelukan.

“Selagi sama kamu, walau enggak liburan, asal dipeluk kamu aja aku senang, Kak. Makasih ya buat semuanya.”

“Sama-sama, Sayang.”

“Mau kado dari aku, nggak?” Hyunggu melepaskan pelukannya agar dapat menatap suaminya.

Wajah Hongseok terlihat bingung, “hadiah apa?” Tanyanya.

“Sebentar!” Giliran Hyunggu yang berlari masuk ke dalam villa, sekitar 10 menit kemudian Hyunggu kembali lagi sambil menyengir.

“Bawa apa kamu, lama banget? Senyum-senyum juga, curiga aku,” Hongseok menaikan sebelah alisnya saat Hyunggu berdiri di depannya.

“Aku yakin kamu pasti suka! Jangan curigaan sama aku!”

“Yaudah, apa hadiahnya?”

“Tada!” Dengan wajah sumringah Hyunggu menunjukan pulpen, “coba tebak!” Ujarnya.

“Lah? Hadiahnya tebak-tebakan biar dapat pulpen?”

“Bukan!” Satu pukulan kesal Hongseok dapatkan di pundaknya, “sini tangan kamu!” Hyunggu menadahkan tangannya, Hongseok pun menurut dan memberikan tangannya.

“Mau ngapain?” Tanya Hongseok penasaran.

“Liat aja nanti,” Hyunggu membalik tangan Hongseok, dirinya menggambar sesuatu di telapak tangan suaminya. Dirinya sengaja menutupi pandangan Hongseok dengan kepalanya, “jangan ngintip!” Ujar Hyunggu.

Tak ingin berdebat Hongseok hanya dapat menunggu suaminya, walau jujur saja telapak tangannya terasa geli saat mata pulpen menggores kulitnya.

“Sudah!” Hyunggu melepaskan genggamannya.

Dilihatnya gambar yang ada di telapak tangannya, saat itu juga Hongseok tertawa geli sambil menggelengkan kepalanya. Hyunggu memgambar 2 orang yang sedang berciuman, tak lupa beberapa gambar hati yang menghiasinya.

“Suka sama hadiahnya?” Tanya Hyunggu.

Give it to me. Right now!” Hongseok menarik tengkuk Hyunggu, mencium dengan lembut bibir suaminya.

Hal itu jelas membuat Hyunggu sedikit terkejut dengan aksi tiba-tiba Hongseok, tangannya perlahan melingkar di leher Hongseok, dirinya berusaha mengimbangi ciuman Hongseok yang lama kelamaan menjadi intens.

“K-kakhh-” lenguh Hyunggu saat tangan Hongseok mengelus pinggangnya dari luar sweater.

Ciuman pun terlepas, bibir keduanya membengkak dan mengkilap tanda ciuman keduanya begitu nikmat, “kamu tahu nggak, kalau kamu makin imut dan manis pakai topi yang aku kasi?” Hongseok menangkup pipi Hyunggu, mengecup sekilas bibir favoritnya.

I know, Sir,' Hyunggu menyeringai.

“Besok kamu masih mau sepedaan?”

“Ada apa?”

“Gimana kalau kita begadang aja malam ini? I miss you,” bisik Hongseok disertai dengan hembusan napas berat pada telinga Hyunggu.

Bukannya menjawab, Hyunggu langsung meloncat dan melingkarkan kakinya pada pinggang Hongseok, pelukan dileher suaminya semakin ia eratkan, dahi keduanya sengaja ia tempelkan hingga hidung dan ujung bibir mereka bersentuhan, “Let's go, Sir.

As you wish, Baby!

Tanpa menunggu waktu lagi, langsung saja pasangan yang masih dimabuk cinta itu bergegas ke dalam villa dan menyelesaikan urusan pribadi mereka.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii