taeyangbii


Seluruh tim yang akan melakukan pemotretan sudah selesai membereskan barang-barang mereka untuk dibawa ke pulau yang berada di seberang lautan, Seungyoun sedari tadi melihat semua orang sibuk naik turun ke spit boat pun terdiam.

“Kenapa, Youn? Masih takut naik ini?” Tanya Sungwoon, dan Seungyoun mengangguk.

“Takut kenapa? Bukannya kamu mabuk laut?” Seungwoo tiba-tiba menghampiri.

“Mabuk laut iya, trauma juga iya. Dulu pernah nyebrang laut pas cuaca jelek, jadinya kebalik gitu loh,” Seungyoun memberikan penjelasan.

“Lah? Kok Sungwoon tau?” Dahi Seungwoo berkerut.

“Santai Pak, waktu itu Sungjoo out of topic aja bahas di trauma gara-gara kapalnya kebalik.”

Kedua orang disana terkekeh melihat wajah malu Seungwoo, “udah cepat berangkat!” Ujar Seungwoo, kemudian menarik tangan Seungyoun agar mengikutinya, “sama aku aja sini dekat-dekat, jangan lepas ya!” Perintah Seungwoo.

“Terus kalau kamu mau foto gimana?”

“Maksud aku selama kita naik spit boat ini kamu dekat-dekat aku aja, jangan kemana-mana gitu loh, Sayang!”

“Hehehe iya iya tau kok, santai aja!”

“Semuanya sudah siap!” Teriak Subin.

Spit boat terbagi menjadi dua, Seungwoo mengajak Seungyoun menaiki spit boat yang tidak ada barang, bersama dengan Daniel dan calonnya, tak lupa Sungwoon, sedangkan yang lainnya berada di spit boat berisi barang.

“Seungyoun, temannya Jamie, 'kan?” Tanya Daniel saat keduanya duduk berhadapan.

“Iya! Hehe ketemu lagi disini ya, Niel,” jawab Seungyoun dengan sikap ramahnya.

“Dari tadi merhatiin benar nggak ya Seungyoun, oh rupanya iya. Jadi ini, Woo?” Giliran Daniel menggoda Seungwoo dan terdengar suara tawa geli di seluruh spit boat.

Perjalanan mereka berjalan dengan lancar, matahari yang cerah namun tidak membuat panas menjadikan suasana hangat, ditambah pantulan cahaya pada air laut membuat Seungyoun melupakan ketakutannya, karena sedari tadi ia sibuk menggenggam erat tangan Seungwoo.

“Berapa lama nyebrangnya?” Tanya Seungyoun.

“Sekitar 30 menit, kenapa? Mulai pusing?” Seungwoo mengelus kepala Seungyoun.

“Enggak, aku malah nikmati lautnya bagus banget,” jawab Seungyoun dan kembali menatap lautan.

“Memang bagus banget, sih. Dari tadi aku merhatiin rasanya pengen berenang.”

“Nyebur sana!” Perintah Seungyoun dan mendapat sentilan di dahinya, “kok dientil!?” Protes Seungyoun.

“Kalau nyebur terus aku sampai ke pulau-nya gimana?”

“Berenang lah! Sekalian olahraga!”

“Sini kamu yang aku ceburin!” Seungwoo sengaja menahan pundak Seungyoun dan pura-pura ingin menceburkan Seungyoun ke laut.

“Jangan macam-macam, Mas!” Seungyoun memukul pundak Seungwoo, kemudian keduanya tertawa geli.

Sedari tadi Sungwoon yang duduk sendirian, menatap keduanya, tak ketinggalan Daniel dan pasangannya, membuat dirinya menghela napas berat, “punya istri juga tetap serasa jomblo gua disini,” batin Sungwoon.


Akhirnya mereka pun sampai di pulau lokasi pemotretan, Seungyoun ingin turun namun ia menunggu setelah Seungwoo turun terlebih dahulu, “Mas tolong bantu!” Seungyoun mengulurkan tangannya.

Digenggam erat tangan Seungyoun oleh Seungwoo, perlahan kekasihnya turun dengan cara meloncat layaknya anak kecil, membuat air laut terciprat mengenai celana keduanya, “eh maaf! Aku sengaja Mas hehehe,” cengir Seungyoun.

“Jahil banget, udah paling benar tadi aku ceburin aka kamu, mah!” Seungwoo menarik gemas pipi Seungyoun.

“Jangan gitu! Kasihan Mama kehilangan anak langka kayak aku, kamu juga memangnya mau jomblo cepat?”

“Ya enggak gitu juga sih,” Seungwoo pun akhirnya mengalah.

“Hehehe, udah sana gih siap-siap kerja! Sini tas kamu biar aku bawain,” Seungyoun mengambil tas milik Seungwoo yang membawa berbagai barang pribadinya.

“Hati-hati, didalamnya ada emas,” ujar Seungwoo.

“Iya, nanti aku jual buat modal nikah!”

“Siap! Lanjutkan, Sayang!” Kedua jempol Seungwoo terangkat, membuat Seungyoun terkekeh dan berjalan ke arah lain untuk melihat sekitaran pulau.


Matahari yang terik tidak menghalangi Seungyoun mengelilingi pantai, dirinya asik bermain-main sendiran di bibir pantai. Matanya menangkap benda-benda laut seperti kulit kerang yang menarik perhatiannya.

“Ih bintang laut!” Teriak Seungyoun antusias dan menarik perhatian beberapa crew yang bekerja.

Tentu saja Seungyoun tidak sadar jika dirinya menjadi pusat perhatian, Seungwoo yang sesekali melihat tingkah kekasihnya hanua terkekeh geli, dirinya berusaha keras agar tetap fokus pada pekerjaannya, bagaimanapun Seungwoo harus tetap profesional dan mempertahankan nama baik brand yang sudah ia rintis sejak nol.

Kembali pada Seungyoun yang asik bergelut dengan berbagai hal-hal aneh di bibir pantai, dirinya sibuk mengambil foto sebagai kenang-kenangan, “kerangnya lucu, nggak bisa apa ya tiba-tiba ada mutiara hitam, lumayan gua ambil buat invest masa tua,” monolog Seungyoun seakan ada yang mendengarkan dirinya.

Waktu terus berjalan, akhirnya Seungyoun berhenti bermain. Ia memilih berteduh di balik tebing batu yang dapat menghalangi pancaran cahaya matahari, “seru banget ya kalau mau nikah, prewedding lah, ini lah, itu. Ya, drama pasti ada sih, cuma kalau dinikmati bakal seru aja sama orang yang kita sayang,” Seungyoun tersenyum kala melihat Daniel memeluk mesra calon pengantinnya.

Saat sedang asik memperhatikan orang-orang, Seungyoun dikejutkan dengan nada dering ponsel milik Seungwoo, “siapa, nih?” Seungyoun memeriksa ponsel Seungwoo, namun merasa jika panggilan itu bukanlah hak dia untuk mengangkat, maka Seungyoun hanya diam melihat nama si pemanggil, “Naulion? Wih keren juga namanya!” Kagum Seungyoun saat melihat nama tersebut.

Panggilan berhenti, tak lama masuk lagi dengan orang yang sama, panggilan terus masuk beberapa kali, hingga akhirnya orang itu -Naulion- mengirimkan pesan bertubi-tubi pada Seungwoo, “ih kasihan, penting banget ini! Tapi kan Seungwoo lagi kerja, mana bisa diganggu, tunggu aja kali, ya?” Seungyoun bingung sendiri melihat ponsel Seungwoo yang terus bergetar.

Sudah 10 menit berlalu, tak ada tanda-tanda ponsel Seungwoo berbunyi lagi, Seungyoun sedikit merasa lega dan kembali memasukan ponsel Seungwoo ke dalam tas, dilihatnya jam sudah menunjukan pukul 16. “lah kok udah sore aja?” Seungyoun melihat ke arah crew yang ternyata masih bekerja, kali ini pakaian yang di kenakan client sudah berganti, “apa nggak capek tuh foto sama yang difotoin?” Gumam Seungyoun.

Lelaki manis ini tampaknya sudah mulai bosan, ia pun bangun untuk berjalan mendekat ke arah Seungwoo dan teman-teman lainnya. Matanya telah sayu menatap matahari terbenam, ia pun menguap dan mengucek matanya seperti anak kecil, Seungwoo yang tak sengaja melihatnya langsung membidik momen itu, tanpa disadari empunya.

“Yok terakhir yok! Bisa yok!” Teriak Sejun sambil bertepuk tangan untuk menyemangati rekan kerja lainnya.

Sontak Seungyoun terperanjat karena mendengar teriakan itu, “kaget woi,” bisik Seungyoun yang tak sengaja didengar oleh salah satu perempuan disamping dirinya.

“Pacar Seungwoo, ya?” Tanya perempuan itu.

Seungyoun menoleh ke samping dan tersenyum, “hehe iya, ngomong-ngomong kamu siapa?” Tanyanya.

“Mijoo, makeup artist mereka.”

“Loh ada makeup artist juga?”

“Ada loh! Memangnya Seungwoo nggak bilang?”

“Enggak nanya sih hehehe. Kantornya berarti join sama yang lain?”

“Kita mah enggak ada kantor, kalau ketemu client pun di luar atau càfe studio gitu. Bukannya kemarin ada diajakin ke studio ya? Sepintas ngelihat dari luar soalnya.”

“Ada hehehe. Berarti Kakak ini seumuran Mas Seungwoo?”

“Iya seumuran, tapi panggil Mijoo juga gapapa kok.”

“Nginap dimana, Kak? Kan Villanya cowok semua?”

“Join sama mereka, gapapa kok udah biasa. Anak-anak cowok gabung ramean, aku juga rame sama yang lain. Kalau udah begini mah kita fleksibel aja, mana mikir kemana-mana. Oh iya namanya siapa?” Mijoo mengulurkan tangannya.

“Seungyoun, Kak!” Seungyoun langsung menjabat semangat tangan Mijoo.

“Semoga langgeng sama Seungwoo ya, kalau nanti sebar undangan sama kita aja vendornya hehehe.”

“Sambil promosi gitu ya, Kak hehehe.”

Keduanya asik mengobrol sampai tak sadar jika pemotretan telah selesai, Seungwoo menghampiri Seungyoun dan langsung merangkulnya, “ngobrolin apa kalian, asik banget? Tanya Seungwoo.

“Ngobrolin desain pesta nikahan, nah buruan dah sana lu Woo diskusiin!” Jawab Mijoo sengaja menjahili Seungyoun.

“Eh engga! Ih apaan sih Kak Mijoo!” Pipi Seungyoun seketika memerah mendengar jawaban Mijoo, sedangkan oknum yang jahil sudah tertawa geli.

“Urusan gampang itu mah, nanti kita dikusiin habis pulang dari pulau, 'kan?” Seungwoo malah mengikuti permainan Mijoo.

Wajah Seungyoun semakin memerah, bahkan hingga ke telinga, melihatnya membuat Seungwoo dan Mijoo semakin tertawa, “udah ah Woo kasihan, nanti nangis pula,” ujar Mijoo, “gua beres-beres dulu ya, dah!” Mijoo pun pergi setelah selesai menjahili Seungyoun.

“Kamu tadi sambil nunggu aku, ngapain aja?”

“Fotoin kerang! Lihat deh,” Seungyoun menunjukan foto yang ia ambil melalui ponselnya.

“Bagus, Yang. Kamu enggak ada bawa kamera?”

“Lupa hehehe. Enggak kepikiran juga aku bawa kamera, biasanya mah langsung bawa.”

“Kamu nggak bawa karena mikirnya aku pasti bawa kamera, iya 'kan?” Seungwoo menarik pipi Seungyoun.

“Hehehehe tau aja. Habis ini kita nyebrang lagi?”

“Iya, kamu mau berenang aja?”

“Kamu aja sana!” Seungyoun mendorong Seungwoo menjauh dari dirinya, “lihat deh mataharinya bagus,” Seungyoun bergumam sambil memandang matahari tenggelam.

“Hmm...,” deham Seungwoo, ikut melihat matahari.

Tak sengaja Seungwoo melihat Sungwoon yang berjalan melewati keduanya sambil membawa kamera, “pst! Woi!” Panggil Seungwoo pada sahabatnya.

Merasa terpanggil, Sungwoon hanya menaikan alisnya, “apa?” Tanyanya dengan gerakan bibir.

Tangan Seungwoo menunjuk dirinya dan Seungyoun yang masih serius memandang matahari, dirinya kode minta difoto oleh Sungwoon. Mengerti maksud sang sahabat, Sungwoon langsung mengambil foto keduanya, Seungwoo merentangkan tangannya tidak peduli dengan Seungyoun yang berdiri diam dan heran melihat dirinya merentangkan tangan.

“Ngapain kamu?” Tanya Seungyoun.

“Tuh foto!” Seungwoo menunjuk ke arah kamera dengan dagunya.

Langsung saja Seungyoun menoleh dan melihat Sungwoon tertawa kecil sambil melambaikan tangannya, “bagus kok Youn!” Teriak Sungwoon.

“Astaga! Kenapa kalian semua jahil banget sama gua!?” Teriak Seungyoun dengan kaki dihentakan.

“Hahaha santai dong! Disini memang harus kuat banting dijahil, masa Subin terus yang dijahilin? Kamu juga dong!” Seungwoo menarik Seungyoun kembali pada rangkulannya.

“Huh dasar!” Seungyoun menyikut perut Seungwoo, “oh iya Mas aku baru ingat, ada yang telepon sama chat kamu daritadi,” Seungyoun memberikan kembali tas Seungwoo kepada pemiliknya.

“Oh, ya? Siapa?” Tanya Seungwoo.

“Naulion, siapa tuh Mas?” Seungyoun menatap Seungwoo dengan mata berbinarnya.

Mendengar nama Naulion membuat raut wajah Seungwoo berubah datar, hal itu sontak membuat Seungyoun mengernyit bingung, “ada apa, Mas?” Tanya Seungyoun lagi.

“Dia bilang apa?”

“Enggak tau, tadi aku baca katanya urgent-urgent gitu, Mas.”

“Yaudah biarin aja, ntar aku balasnya.”

“Loh kenapa? Emang itu siapa?”

“Mantan aku.”

Seketika suasana menjadi senyap, kedua sepasang kekasih ini saling bertatapan, Seungwoo dengan tatapan yang sulit dijelaskan, sedangkan Seungyoun masih dengan tatapan polosnya.

“Kamu gapapa?” Tanya Seungwoo tiba-tiba.

“Engga, Mas. Memangnya kenapa?”

“Mantan aku hubungi aku lagi.”

“Mungkin dia memang butuh bantuan, apa salahnya? Toh kalau kamu pikir aku cemburu, aku bukan tipe cemburuan, Mas. Selagi Mas memang milik aku, ya udah aku tenang aja, tuh?”

Wajah Seungwoo yang semula muram menjadi cerah kembali, “baik banget kamu tuh kenapa, sih?” Dipeluknya Seungyoun dengan erat oleh Seungwoo.

“Aku enggak baik-baik banget, walaupun dia mantan kamu, walaupun dia pernah jahat, ya mungkin aja dia memang butuh bantuan, Mas.”

“Enggak, itu dia caper aja karena aku pergi liburan sama kamu, biarin aja.”

“Hmm baiklah, tapi Mas aku mau bilang sesuatu.”

“Apa?” Seungwoo menangkup pipi Seungyoun.

“Nama mantan kamu keren banget! Nanti pengen ah punya anak dikasi nama kerena begitu.”

“Eh engga! Jangan ngada-ngada bikin nama mirip kayak dia ya!”

Seungyoun menyeringai, “kenapa? Takut gagal move on? Panggil anak sendiri, berasa panggil mantan?” Tangan Seungyoun dengan jahil sengaja mencolek pinggang Seungwoo.

“Balas dendan nih ceritanya? Awas ya kamu pas di villa nanti!” Seungwoo menekan gemas pipi Seungyoun.

“Ugh~ takut~!”

“Jahil juga ya kamu, Seungyoun!”

“Hahaha emang kamu aja yang bisa, wlee!” Seungyoun melepaskan diri dari Seungwoo, kemudian berlari menjauh ke arah spit boat yang sudah siap berangkat.

“Seungyoun ..., Seungyoun ..., kamu tuh ya selalu penuh kejutan.”


Keesokan paginya hal pertama yang Seungwoo lihat saat ia membuka matanya adalah wajah damai Seungyoun yang masih tertidur lelap di sampingnya. Jika kalian berpikir sepasang kekasih ini menghabiskan malam panjang, maka buang jauh-jauh pikiran kalian itu, Seungyoun yang mengingat jadwal pemotretan Seungwoo langsung menghentikan kegiatan mereka di tengah jalan dan memilih untuk tidur agar tidak merasa lelah di keesokan paginya.

Senyuman Seungwoo terkembang saat mengingat kejadian semalam,

Ciuman Seungwoo sudah bermain hampir di seluruh permukaan kulit leher Seungyoun, bahkan tangan Seungwoo tak bisa diam di dalam kaos kekasihnya, tiba-tiba Seungyoun menyadari sesuatu jika tujuan keduanya kesini adalah untuk melakukan pemotretan esok pagi. Seketika Seungyoun mendorong Seungwoo menjauh, membuat yang tertua terkejut, “kenapa!?” Tanya Seungwoo.

“Jangan lanjut! Jangan! Jangan!” Seungyoun terlihat panik.

“Kenapa!? Ada apa!?” Melihat kekasihnya panik membuat Seungwoo pun ikut panik.

“Kamu besok kerja! Nanti kita kesiangan, kamu kecapekan, malah nggak fokus!”

Tawa keras Seungwoo membuat Seungyoun mengernyit, “kenapa ih, Mas!?” Seungyoun melempar bantal pada Seungwoo.

“Ya kamu ada-ada aja panik gitu, aku kira ada nyakitin kamu atau kamu enggak mau dulu sama aku”

“Tahan! Kita sudahi sampai disini!”

Menurut Seungwoo kejadian semalam sungguh lucu, bukannya marah atau kehilangan mood, Seungwoo malah memeluk Seungyoun sepanjang malam karena merasa gemas.

Good morning, ada apa senyum-senyum?” Suara parau khas bangun tidur mengalihkan perhatian Seungwoo.

Morning, Sunshine. Nyenyak tidurnya?” Seungwoo mengelus pipi kekasihnya sambil menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah manis Seungyoun.

“Hmm nyenyak, rasanya hangat, sambil dengar suara laut juga, aku suka,” Seungyoun semakin mendekatkan badannya pada Seungwoo, paham maksud sang kekasih Seungwoo dengan senang hati memeluk erat dirinya, “jam berapa, sih?” Tanya Seungyoun.

“Baru jam 8, kita berangkat kesana masih 2 jam lagi,” jawab Seungwoo.

“Apa enggak mau siap-siap, bangun, sarapan dulu?” Tanya Seungyoun.

“Kamu mau? Kalau begitu kita bangun aja sekarang,” Seungwoo bangun dari kasur masih dengan memeluk Seungyoun.

Badan Seungyoun terlihat kecil dalam pelukan Seungwoo, ia terlihat bagaikan anak koala yang menepel pada induknya, “tapi aku malas mau mandi huhu,” Seungyoun merengek.

“Jangan malas! Kamu bau!” Seungwoo mengecup kepala Seungyoun, “kita ke kamar mandi ayo, gosok gigi dulu kalau kamu malas mandi, gimana?” Seungwoo memberi penawaran.

“Hmm..., boleh deh!” Seungoyun pun melepaskan pelukannya pada Seungwoo, merenggangkan badannya sejenak dengan wajah mengantuk.

Seungwoo memilih beranjak duluan dari kasur untuk menunggu Seungyoun mengumpulkan nyawanya, “cuacanya cerah banget, bagus nih buat foto,” ujar Seungwoo kala melihat langit cerah di luar.

“Eung? Kok aku masih gelap?”

Melihat tingkah kekasihnya yang masih memejamkan mata di atas kasur membuat Seungwoo terkekeh, “matanya coba dibuka dulu, Sayang,” Seungwoo menepuk pelan pipi dan leher Seungyoun.

“Hehehehe aku mah susah bangun pagi kalau enggak dipaksa, Mas.”

“Sini aku paksa kalau begitu,” Seungwoo menarik Seungyoun agar pergi dari kasur dan masuk ke dalam pelukannya, “ayo buka matanya, kita ke kamar mandi!” Seungwoo mengecup seluruh wajah Seungyoun, membuat yang dikecup terkekeh geli dan akhirnya membuka mata.

“Gendong aku mampu, nggak?”

Alis kanan Seungwoo naik, “mau minta gendong?”

“Coba.”

Tanpa banyak bicara Seungwoo langsung mengendong Seungyoun menuju kamar mandi.


Sedangkan di kamar lainnya, terdapat sepasang kekasih yang masih asik berpelukan satu sama lain, dibalut oleh selimut untuk menutupi tubuh polos mereka. Hongseok yang pertama kali sadar saat mendengar suara alarm dari ponselnya yang cukup memekakan telinga, “ck! Bisa-bisanya lupa matiin alarm,” dengan terpaksa Hongseok bangun untuk mematikan alarmnya.

Setelah itu, ia mengecek keadaan kekasihnya yang masih meringkuk terlelap di samping dirinya. Hyunggu terlihat polos bagaikan bayi, membuat Hongseok gemas sendiri melihatnya, “Baby Ggu, bangun, yuk? Katanya mau jalan,” bisik Hongseok sembari mengecup pelipis dan pipi Hyunggu.

“Nghh-” lenguh Hyunggu namun tidak ada memberikan tanda-tanda akan bangun.

Hongseok menghela napas, dirinya kadang lupa jika Hyunggu sangat sulit untuk dibangunkan apalagi setelah kegiatan mereka semalam, semakin membuat Hyunggu tertidur lelap karena kelelahan. Merasa jika dirinya harus berusaha lebih keras untuk membangun kekasihnya, Hongseok menarik Hyunggu ke dalam pelukannya, memeluk tubuh mungil itu dengan erat, sambil tangannya mengelus punggug polos Hyunggu yang terasa hangat.

Akhirnya Hyunggu pun memberikan reaksi, tubuh itu mulai bergerak menggeliat seperti kegelian, “nghh- Kak,” rengek Hyunggu dengan suara paraunya.

“Bangun, yuk? Kita sarapan sambil jalan.”

“Hmm...,” Hyunggu menelusupkan wajahnya pada perpotongan leher Hongseok.

Hal itu membuat Hongseok tersenyum, rasanya sudah lama tidak bermanja-manja seperti ini, karena kesibukan masing-masing yang menyita waktu mereka satu sama lain.

“Kamu mau begini terus, hm?” Tanya Hongseok.

“Hmm, aku malas mau bangun, udah enak peluk kamu begini,” jawab Hyunggu.

“Terus rencana sarapan kita?”

“Daripada cari sarapan, mending kamu sarapan aku aja, Kak,” jawab Hyunggu masih dengan posisi yang sama.

Mata Hongseok melebar, “gimana?” Tanyanya memastikan jika telinganya tak salah dengar.

Hyunggu membuka matanya menatap sang kekasih, dikecupnya sekilas bibir Hongseok dan senyuman manis terkembang, “menu sarapannya pagi ini aku, jadi Kakak makan aku aja, ya?” Tangan Hyunggu mengelus dada padat Hongseok yang selalu ia bentuk setiap empat kali dalam seminggu.

“Oh- kamu godain aku, hm?”

“Mau sarapan aku, nggak?” Hyunggu menyeringai nakal.

“Mau lah!” Semangat Hongseok.

Kegiatan semalam diulang kembali pagi ini oleh pasangan Hongseok dan Hyunggu, keduanya benar-benar memanfaatkan waktu berdua dengan sangat baik, karena mereka tahu bahwa setelah liburan ini akan jarang bertemu lagi walaupun tinggal satu atap.


Dua pasangan lainnya sudah siap, Seungwoo memeriksa keluar villa dimana beberapa temannya sudah berada di luar, “Bang Seungwoo! Udah sarapan belum?” Tanya Subin dari luar.

“Belum, Bin! Kalian sudah?”

“Belum juga, yuk sekalian kita siap-siap berangkat!”

“Oke sebentar, tanya Hongseok dulu!” Seungwoo masuk lagi ke dalam villa, “udah tanya Hyunggu?” Tanya Seungwoo kepada Seungyoun yang baru keluar kamar.

“Belum, Mas. Kamu aja gih sana, aku enggak enak sama Kak Hongseok,” jawab Seungyoun.

Kaki Seungwoo berjalan ke depan kamar Hongseok, diketuknya beberapa kali pintu kamar sahabatnya dan muncul Hongseok di balik pintu dengan keadaan yang berantakan dan hanya memakai celana boxer, “kenapa, Woo?” Tanya Hongseok.

For fucking real Hongseok! Anak orang lu bantai habis-habisan apa gimana?” Tanya Seungwoo setelah menggelengkan kepalanya, terkejut melihat penampilan Hongseok.

Di sisi lain, Seungyoun yang tak sengaja melihat penampilan Hongseok di balik pintu pun ikut menggelengkan kepalanya, memikirkan apa yang sudah sahabatnya lakukan bersama kekasihnya, “gila sih, apa enggak pegal tuh badan?” batinnya.

Kembali pada Hongseok dan Seungwoo, “hehehe ya kapan lagi mumpung ada waktu, Bro. Kenapa nih, mau kemana?” Tanya Hongseok.

“Gua mau pergi cari sarapan sama anak-anak, sekalian ke pulau nih, mau ikut kagak?”

“Enggak deh, gua sama Hyunggu aja berdua nanti pergi. Gua pinjam mobil lu, ya?”

“Oke deh, nih kuncinya,” Seungwoo memberikan kunci mobilnya pada Hongseok.

“Yup! Makasih, Bro. Have fun ya sama Seungyoun, sama yang lainnya juga.”

“Siap! Udah sana lu, nikmati dah waktu berduaan sampai gumoh.”

“Hahaha anjir!” Hongseok menyempatkan diri menendang betis Seungwoo, keduanya tertawa dan Seungwoo kembali menghampiri Seungyoun.

“Udah, yuk!” Ajak Seungwoo.

“Enggak ikut?” Tanya Seungyoun.

“Biasa lah, biarin aja kita sama anak-anak aja,” Seungwoo merangkul Seungyoun keluar dari villa.


Hari liburan pun tiba, 2 hari sebelumnya Seungyoun sudah memberitahu sang mama dan tentu saja langsung disetujui oleh wanita itu, karena mama Seungyoun merasa kasihan melihat anaknya terus bekerja dan tak ada liburan sekedar menghilangkan stress.

“Sudah semua bajunya, Youn?”

“Sudah Ma! Mama langsung ke tempat Tante atau besok?”

“Besok aja pas hari sabtu, kamu pun pulangnya minggu, 'kan?”

“Iya, Ma. Gapapa 'kan aku tinggal?”

“Pergi nak pergi! Mama yang senang kamu pergi, daripada di rumah terus, kasihan Mama!”

Kekehan sang anak membuat ibu itu pun ikut tersenyum, tak lama terdengar suara mobil berhenti di depan rumah mereka. Seungyoun langsung keluar untuk mengecek siapa ya datang, “Seungwoo, ya?” Tanya mama Seungyoun.

“Iya, Ma!” Seungyoun membuka pagar saat kekasihnya sudah turun dari mobil, “mau masuk dulu?”

“Masuk dong! Izin dulu sama Mama kamu.”

Keduanya masuk ke rumah, Seungwoo mengerjapkan matanya saat melihat mama Seungyoun ikut berkemas, “pagi Tante! Mau kemana?” Tanya Seungwoo sesaat setelah menyalami tangan mama Seungyoun.

“Pagi Seungwoo, mau pergi ke toko sekalian mampir ke rumah Tante yang kemarin kamu datang itu.”

“Oh iya, Tante sendirian di rumah dong kalau Seungyoun pergi?”

“Enggak, Tante nanti nginap di rumah Tantenya Seungyoun. Kalian nikmati aja liburannya ya, hati-hati loh, jangan nakal-nakal!” Mama Seungyoun menepuk pundak Seungwoo.

“Nakal dikit boleh lah, Ma!” Sambung Seungyoun dan Seungwoo tersenyum tipis.

“Berani kamu nakal jangan pulang kesini ya! Oh iya ngomong-ngomong makasih bunganya waktu itu ya, Woo. Sudah lama enggak ketemu kamu lagi, jadi belum sempat bilang makasih secara langsung.”

“Hehehe sama-sama Tante, lain kali mau saya kirim bunga lagi nggak, Tante?”

“Jangan, nanti ada yang iri sama Mamanya sendiri,” Seungyoun merasakan lirikan dari Mamanya, “sana gih berangkat, keburu siang lagi nanti macet!”

“Hati-hati ya, Ma! Jangan kangen aku selama aku liburan,” Seungyoun memeluk wanita kesayangannya dan tak lupa mengecup kedua pipi Mamanya.

“Kalian yang hati-hati di jalan! Seungwoo tolong ya Tante titip anak Tante, kalau macam-macam marahin aja, kamu juga nyetirnya hati-hati!”

“Iya Tante, saya bakal hati-hati. Izin bawa anaknya liburan ya Tante!” Seungwoo kembali menyalami tangan Mama Seungyoun.

“Kita pergi dulu, Ma!” Seungyoun mengambil tasnya dan menarik Seungwoo keluar rumah.

“Iya nak, hati-hati! Have fun!”

You too, Mom!

Keduanya pun masuk ke dalam mobil dan langsung berangkat, “kita jemput Hyunggu sama Kak Hong dulu, 'kan?” Tanya Seungyoun.

“Iya, tumben kamu manggil Hong pakai kak?”

“Kebiasaan gara-gara Hyunggu ini mah! Eh ini Hyunggu ada di apartemen Hongseok, 'kan?”

“Lah emang kamu nggak tanya Hyunggu?”

“Enggak ada lagi hehehe. Pasti disana lah dia, mau kemana lagi coba? Mana betah tuh anak di rumah sendirian, apalagi cuma sama adiknya doang.”

“Emang orang tua dia kemana sih, Yang?”

“Kerja di luar negeri, emang ada bisnis gitu. Kadang adiknya ikut ke luar negeri juga, tapi semenjak adiknya udah masuk SMA jadi ga pernah ikut, nah mereka ini suka berantem!”

“Oalah gitu, pantasan Hyunggu sering di tempat Hong.”

Mobil Seungwoo bergerak dengan kecepatan sedang menuju apartemen Hongseok, sesampainya disana sesuai dugaan sudah ada Hongseok bersama Hyunggu menunggu kedatangan mereka.

Good morning!” Sapa Hyunggu ceria kepada Seungyoun dan Seungwoo.

“Baru datang udah berisik aja lu!” Balas Seungyoun kepada yang paling muda diantara mereka.

“Biarin! Bang Seungwoo aja nggak masalah, iya 'kan?”

“Hahaha iya Hyunggu, santai aja. Hongseok masih masukin tas?” Tanya Seungwoo sambil melihat ke belakang.

“Sudah bro!” Hongseok masuk ke bagian belakang kursi penumpang, duduk di samping Hyunggu, “mereka Sungwoon udah duluan?” Tanya Hongseok.

“Udah, malah udah setengah jalan katanya. Lebih duluan mereka, ada yang mau di cek juga,” jawab Seungwoo.

“Ini kita santai aja, apa buru-buru nyusul?” Tanya Seungyoun.

“Santai aja, anak buah Sungwoon juga udah banyak bantu,” Seungwoo mulai menjalankan mobilnya.

“Emang ini job apa, tumben banget ke pantai?” Hyunggu buka suara.

“Prewedding temannya Sungwoon, itu loh Hong lu ingat kaga sih Daniel yang anak manajemen?” Seungwoo memulai obrolan.

“Oh si Daniel! Pantasan aja bisa sewain villa banyak buat liburan,” jawaban Hongseok membuat kekasih kecilnya pebasaran, “Daniel tuh anak orang kaya, dulu masih kuliah orang-orang di club, circlenya itu pasti dijajanin dia semua. Kirain enggak bakal tobat, rupanya dia lebih duluan nikah.”

“Daniel Kang, 'kan?” Tanya Seungyoun.

Baik Seungwoo maupun Hongseok melebarkan matanya, terkejut karena Seungyoun mengenal Daniel yang mereka maksud, “kok tau?” Tanya Seungwoo.

“Pernah ada bisnis sama dia dulu, sama Jamie juga, jadinya kenal,” jawab Seungyoun.

“Kok gua nggak tau sih, kak Youn?” Hyunggu cemberut merasa tertinggal.

“Waktu itu lu lagi jadi mahasiswa ambis sama Vernon, jadi nggak tau.”

Perjalanan terus berlanjut dengan lancar, macet yang menghalangi pun tidak begitu lama. Sepanjang perjalanan mereka berempat terus mengobrol, sesekali bernyanyi dari lagu yang disiapkan Seungyoun, hingga akhirnya Hongseok dan Hyunggu tertidur di kursi belakang.

“Kenapa nggak tidur juga?” Tanya Seungwoo.

“Biarin kamu nyetir sendiri? Memangnya kamu supir apa, lagian sebentar lagi bakal sampai.”

Tangan Seungwoo mengelus dagu Seungyoun gemas, “perhatian banget sih, sekarang jam berapa?”

“Jam 3 nih, lumayan juga ya tadi kena macetnya.”

“Aku malah kira udah jam 4 loh, kita langsung cari makan sama jalan-jalan aja gimana? Dari tadi belum ada makan nih.”

“Oh iya! Nanti sampai disana kita ke rest area yang ada tempat makan sekalian jalan-jalannya itu loh, Mas. Enggak salah aku dia nggak begitu jauh sama villa tempat kita nginap.”

“Kayaknya aku tau deh, yang besar itu kan rest areanya dekat sama pantai? Ada càfenya juga, iya 'kan?”

“Nah iya! Enak tuh disana, sekalian sampai sore bisa liat sunset.”

Pukul 16.20 mereka pun sampai di tujuan yang sudah direncanakan, Hongseok bangun terlebih dahul dan terlihat bingung melihat begitu banyak mobil, “hah kita dimana? Kok bukan pantai?” Tanya Hongseok.

“Rest area, makan dulu bro. Kagak lapar apa lu?”

“Lapar lah! Hyunggu, Sayang, bangun!” Hongseok menepuk-nepuk pelan pipi Hyunggu, membuat laki-laki itu merengut karena tidurnya terganggu.

“Hyunggu udah sampai! Bangun lu!” Teriak Seungyoun kepada Hyunggu.

Mendengar suara ribut, akhirnya Hyunggu bangun masih dengan wajah merengut, “apasih ribut-ribut?” Tanyanya.

“Sudah sampai, turun dulu yuk makan sambil jalan,” jawab Seungwoo lembut.

“Oh iya, bang Seungwoo. Tuh coba kalian baik-baik banguninnya!” Hyunggu protes kepada Hongseok dan Seungyoun.

“Lu kalau nggak diteriakin mana mau bangun! Jangan ngerengut gitu lu!” Omel Seungyoun.

“Kak Hong~!” Rengek Hyunggu manja kepada Hongseok, hal itu semakin membuat Seungyoun jengah dan Seungwoo yang melihatnya terkekeh.

“Apa ketawa-ketawa?” Tanya Seungyoun.

“Enggak, lucu aja kamu marah gitu sama Hyunggu. Udah yuk buruan turun!” Seungwoo turun duluan dari mobil, disusul 3 orang lainnya.

“Sungwoon udah dari tadi sampai dong, Woo?” Tanya Hongseok saat mereka jalan meninggali parkiran.

“Mereka udah santai di villa dari tadi, rupanya enggak kena macet.”

“Lah enak dong! Kita tadi ada 2 jam nggak sih kena macet?”

“Ada Kak! Baru kerasa kalau lapar,” Hyunggu menjawab sambil menarik tangan Hongseok agar merangkul dirinya. Dua orang itu berjalan duluan meninggalkan Seungwoo dan Seungyoun.

Seungwoo mencari keberadaan Seungyoun yang ternyata berjalan lumayan jauh di belakangnya, “kenapa jalannya jauh gitu?” Seungwoo berhenti menunggu kekasihnya datang.

“Panas banget, aku lupa kalau disini panas,” Seungyoun langsung memeluk lengan Seungwoo. Laki-laki yang sedikit lebih tinggi merapikan rambut kekasihnya dan membetulkan letak kacamata Seungyoun yang sedikit merosot.

“Makanya cepat jalannya biar langsung masuk, tuh Hongseok sama Hyunggu aja udah duluan.” Senyum tipis Seungyoun terlihat saat melihat sahabat kecilnya terlihat mesra dengan kekasihnya, “senyum lihat apa?” Tanya Seungwoo.

“Lihat mereka, akhirnya bisa lihat Hyunggu sama Hongseok ada waktu berdua liburan.”

“Bukannya mereka sering ketemu?” Obrolan berlanjut sambil keduanya berjalan menyusul pasangan yang sudah duluan berjalan.

“Udah seminggu ini Hyunggu tidur di studio, pulang juga ke rumah atau ke apartemen Hongseok, tapi Hongseok keburu kerja.”

“Pantasan Hongseok sempat uring-uringan.”

Kak Uyon, bang Seungwoo! Makan disini aja, ya?” Hyunggu bertanya dari jauh kepada mereka.

Seungwoo mengangguk sambil mengangkat jempolnya jawaban setuju, “aku baru tau Hyunggu ternyata anaknya ramai, selama ini kalau diajakin Hongseok diam aja, aku kira pemalu,” ujar Seungwoo.

“Sebenarnya dia pemalu, tapi karena ada aku dan kamu juga pacarnya aku makanya dia jadi lebih santai. Kadang dia paling banyak ngomel sama berisiknya lebih dari aku, disatu sisi dia suka lebih dewasa dari umurnya,” jelas Seungyoun.

“Kalian berteman dari kapan?”

“Dari SMA, sama yang lainnya juga. Jadi, memang udah kenal satu sama lain luar dalam.”

“Seru ya, apalagi udah susah bareng, sukses bareng gini. Kayak aku sama Hongseok, sama yang lain lainnya juga,” keduanya masuk ke salah satu restoran.

Bro sini!” Hongseok melambaikan tangannya.

Keduanya menyusul kemudian duduk di depan pasangan Hongseok dan Kino, “pesan apa?” Tanya Seungyoun kepada Hyinggu yang asik membaca buku menu.

“Pengen daging, lu apa kak?” Keduanya sibuk melihat menu bersamaan.

Sedangkan sang kekasih hanya melihat keduanya dengan senyum lembut, “udah lama banget pengen gini ya, Woo?” Tanya Hongseok.

“Hahaha gua kira kagak bakal kesampaian, rupanya bisa juga walau harus nunggu.”

“Semua emang butuh waktu, Woo.”

“Bahas apa?” Tanya Seungyoun tiba-tiba.

“Enggak, udah tau mau pesan apa?” Tanya Seungwoo.

“Sudah! Permisi pelayan, mau pesan!” Seungyoun mengangkat tangannya memanggil pelayan, sedangkan Seungwoo dan Hongseok yang giliran melihat buku menu.

Setelah selesai memesan dan menunggu, mereka asik mengobrol satu sama lain. Hongseok membicarakan tentang pekerjaannya bersama Seungwoo, begitu juga Hyunggu yang menceritakan kelelahannya mengejar deadline kepada Seungyoun dan tiba-tiba mendapat kecupan dari Hongseok.

“Habis makan keliling sampai arah barat sana yuk, mau liat sunset!” Hyunggu memberi saran.

“Iya sayang iya, aku tau kamu mau minta fotoin,” Hongseok menjawab.

Wajah Hyunggu seketika memerah karena maksudnya langsung terbaca, hal itu mengundang kekehan dari Seungyoun dan Seungwoo.

TW // toxic relationship, violence, anxiety.


Tak terasa hari sudah malam, Seungwoo dan lainnya terlalu asik bermain dan berkeliling hingga mereka semua kelelahan. Dua pasangan kekasih itu sengaja Sungwoon letakan dalam satu villa karena Sungwoon paham jika dua pasangan itu membutuhkan waktunya masing-masing.

Pasangan Hongseok dan Hyunggu sudah lebih duluan masuk ke dalam kamar, meninggalkan Seungwoo dan Seungyoun yang masih setia duduk di selasar villa menikmati langit dan angin malam.

“Capek, nggak?” Tanya Seungwoo kepada Seungyoun yang meminum sekaleng bir dingin.

“Lumayan, tapi kalau capeknya karena seru-seruan aku mah senang!”

“Syukurlah, kamu terakhir liburan begini kapan, Yang?”

“Hmm sebentar, kayaknya udah lama sih. Kalau aku enggak salah ingat setahun lalu? Apa 6 bulan lalu? Udah lama banget, kamu kapan, Mas?”

“Aku selalu kerja sambi liburan, terakhir kayaknya 4 bulan lalu.”

“Kemana?”

“Tuh pulau sana,” Seungwoo menunjuk ke arah laut yang gelap.

“Besok kita kesana, 'kan? Jam berapa mulainya?”

“Iya, mulai fotonya pagi sampai sore soalnya ambil cahaya mataharinya. Kita nyebrang pakai boat, pernah naik itu nggak?”

“Enggak! Aku agak mabuk laut, makanya jarang banget ke pulau.”

“Yaah, gimana dong? Kamu tinggal aja ya kalau begitu?” Wajah Seungwoo dibuat seakan-akan sedih.

Sadar jika dirinya dikerjai lagi, Seungyoun mencubit bisep Seungwoo, “tinggal aja! Aku pergi sama Hyunggu!”

“Yakin kamu? Jadi nyamuk tau rasa!”

“Yaudah sendiri!”

“Enggak bisa gitu lah! Aku udah izin sama Mama kamu buat jagain kamu.”

“Jagain apa pinjam?”

“Pinjam buat dijagain maksudnya.”

“Yeu!” Seungyoun mendorong Seungwoo, keduanya terkekeh geli.

BRUK

Tiba-tiba terdengar suara tubrukan dari dalam, sontak Seungwoo dan Seungyoun saling bertatapan, “apa?” Gumam Seungyoun pada kekasihnya.

“Bentar,” Seungwoo meletakan telunjuknya pada bibirnya agar hening sejenak.

Telinga mereka menangkap suara hembusan angin dan ketawa Hongseok disertai rengekan dan erangan dari Hyunggu. Paham apa yang dilakukan oleh kedua orang tersebut, membuat keduanya menjadi canggung menatap satu sama lain.

“Masuk kamar aja, yuk?” Tawar Seungyoun.

Akhirnya Seungwoo dan Seunyoun pun berada di kamar, keduanya menyandarkan punggung pada headboard kasur, saling terdiam satu sama lain karena masih merasa canggung.

“Ekhem! Mas, ngomong dong jangan diam aja,” tegur Seungyoun.

Seungwoo terkekeh, ia pun merangkul Seungyoun dan mendekap kekasihnya di dada, “mau ngomong apa, hm?” Hidung panjang Seungwoo diusak pada kepala Seungyoun.

“Apa aja gitu? Cerita kamu masih sekolah atau ya ngomongin mantan mungkin? Terakhir kamu cerita juga cuma sampai kalian pelihara kucing.”

“Lah masih ingat aja kamu? Hahaha. Kepengen banget tau soal mantan aku, ya?”

“Habisnya aku jadi penasaran, kok ada orang seaneh dia, bahkan sesakit dia? Nggak habis pikir, lebih nggak habis pikir dia itu mantan kamu!”

Tawa geli Seungwoo kembali terdengar, “bentar enakin posisi dulu,” Seungwoo menegapkan sedikit badannya, sedangkan Seungyoun menyandarkan punggungnya pada dada Seungwoo, membiarkan kekasihnya memeluk lehernya dari belakang sambil mengecup kepalanya, “udah enak, 'kan?” Tanya Seungwoo dan dibalas anggukan.

“Jadi, gimana Mas?”

“Hmm..., mau darimana?”

“Soal dia yang dulu nggak ada teman.”

“Iya, dia tuh pembawaannya cuek gitu, tipikal cowok dingin, sinis gitu liat orang, tapi disatu sisi aku kasihan sama dia dijauhin gitu.”

“Oh- cowok?”

“Iya, cowok. Tingginya sekitar hmm sepundak aku, mungil gitu dia anaknya, tapi jago olahraga jadi badannya kuat. Disaat semua orang jauhin dia, aku malah kepo nih ada apa sih sama dia kok nutup diri begini, bahkan aku dengar desas desus pas SMP dia pernah ada kasus pembullyan, ya pokoknya hal nggak baik, lah!”

“Terus?”

“Aku mah anaknya santuy aja, jadi aku ajak berteman, semua teman aku heran dong! Waktu itu aku sama Sungwoon, Sungjoo kan pisah sekolah tapi masih tetap main, jadi mereka juga nggak tau masa lalu dia, ajak main aja gitu nambah-nambah teman dia. Ya main, disatu sisi waktu itu aku juga naksir sama anak les di tempat aku les, tapi pas aku tembak malah ditolak.”

“Nah, kenapa kamu ditolak?”

“Katanya aku kaku, dia juga udah ada gebetan, yaudah lah pikirku. Terus tetap main nih sama mantan aku, sampai naik kelas 2 dia bilang suka sama aku. Lah bingung dong? Sempat renggang 2 mingguan, aku cerita sama Sungwoon, Sungjoo, mereka bilang nggak ada salah coba, toh udah saling main, saling lindungi, oke kita coba!”

“Enak aja ngomong coba-coba kayak beli permen!” Seungyoun menggigit tangan Seungwoo gemas.

“Hehehe namanya juga bego. Jadian deh kita! Awalnya biasa aja, banyak yang enggak tau nih, pas udah pada tau lah orang-orang jauhin aku dong kayak segan sama aku, ngerasa aku aneh mau jadian sama dia, tapi aku bodo amat kan. Sekolah pergi bareng, dulu pakai motor Papa aku pergi sekolah jemput dia atau nggak giliran dia yang jemput aku, manis banget nih serasa dunia milik berdua lah! Tukeran handphone, pernah nggak kamu pacaran tukeran handphone? Enggak kan, dulu tuh jadul banget tukaran hanephone biar keliatan sayang, dih apaan alay anjing nyesel gua!”

Tawa kencang Seungyoun memenuhi seisi kamar, “maklum pubertas pak! Terus?'

“Terus cemburu-cemburu, posesif gitu, dia pun juga. Makin banyak dijauhin gara-gara bikin orang risih hahaha bahkan Sungwoob aja sampai pernah ngeludahin aku gara-gara bucinnya tuh tolol gitu loh, aku lagi demam gara-gara habis kecelakaan, kaki aku masih dibalut perban tuh jemput dia main voli malam-malam, waktu itu aku nekat aja karena sendirian di rumah.”

“Ya wajar sih di ludahin, tolol banget.”

“Enggak perlu diperjelas dong, Sayang. Terus semuanya berubah-”

“Saat negara api menyerang,” sambung Seungyoun.

“Bukan! Astaga hahaha,” Seungwoo mengacak gemas rambut Seungyoun.

“Nada bicara kamu itu loh!”

“Maaf, maaf, suasananya serius nih. Berubah semenjak udah kuliah, dia masuk hukum aku masuk ekonomi, kita ngontrak rumah berdua gitu niar barengan, terus aku dapat teman baru si Hongseok, langsung klop kita jadi berempat tuh. Kadang mereka suka ke rumah kan, awalnya baik-baik aja eh kelamaan dia jadi suka ngatur bikin teman aku nggak nyaman.

“Sebenarnya dari awal aku harusnya sadar sih dia egois, berapa kali gitu minta prioritaskan dari SMA makanya pas kuliah ngelunjak, aku kalau kerja kelompok harus ajakin dia, berapa jam juga ditentuin, sama siapa harus laporan. Aku pun jadi ikutan begitu sama dia, kalau dia apa-apa laporan juga sama aku. Terus dia juga suka ngatur aku harus pakai ini, pakai itu, begini, begitu, enggak boleh ini, enggak boleh itu, aku harus sesuai dengan apa yang dia mau.

“Begitu terus yang kita lalui, capek sih tapi ya gimana? Dia pun mulai main fisik, mukul, nampar aku cuma karena aku lupa laporan sama dia, waktu itu enggak sengaja ketemu sama dia di luar gitu kebetulan aku sama temen cewek, langsung di tampar depan umum, padahal aku sama teman cewek itu cari barang buat cowoknya, emang lumayan dekat aja kita.”

“Sinting!”

“Hmm ..., emang udah rusak aja itu hubungan, rusak dalam arti enggak sehat. Kita bahkan pernah berantem yang saling tonjok satu sama lain nanti nangis, baikan lagi, gila ya? Hahaha. Terus ya, berubah pas sama-sama sibuk semester akhir, dia kesusahan waktu itu pas Mamanya meninggal, drop banget mana mau penelitian gitu dia harus keluar kota tapi enggak ada uang. Paling berat deh hidup aku kala itu sama dia, ya aku berjuang buat kita, buat dia, udah layaknya pasangan menikah.

“Pas itu juga kita emang udah rencana habis kuliah nikah ya daripada enggak jelas begini, karena kita ngerasa sering berantem dan sebagainya itu karena memang masih pacaran, 6 bulan setelah kita rencanain itu nggak tau kenapa dia berubah. Jadi, pas selesai kuliah aku baru tau kalau dia selingkuhin aku, ketahuannya dari Hongseok.”

“Kok bisa kak Hong?”

“Hongseok ke Bali waktu itu lihat mereka ciuman di club.”

“Gila...,” Seungyoun menggelengkan kepalanya tak percaya.

“Itu memang kamu pure lulus terus ketahuan apa gimana?”

“Setahun apa dua tahun ya, dia sibuk langsung lanjut sekolah gitu sambil cari kerja. Aku juga memang sibuk bisnis sama Sungwoon, merintis dari nol. Memang lengah aja, rencana nikah tuh hampir kayak udah lalu aja sebenarnya tapi gitu dikasi tau tunangan aja. Tapi apa? Putus aja, aku pun jujur sama Kakak aku gimana hubungan kami, dia jadi nyesal gitu dan sedih banyak hal berat aku lalui sama dia.”

Tangan Seungyoun mengelus dan mengecup dengan lembut lengan yang memeluk lehernya, “kamu hebat bisa bertahan, pasti sakit ya? Berat banget?”

“Banget, ninggalin trauma buat aku bahkan sempat berobat juga beberapa bulan karena aku jadi anxiety, keseringan apa-apa dilarang, diatur, takut.”

“Sekarang masih?”

“Enggak, udah be better semenjak aku mutusin buat ke luar negeri, cari pengalaman, sekalian nyembuhin diri aku. Tapi kamu tau nggak lucunya apa?”

“Apa tuh?”

“Pas aku udah bisa dibilang sukses seperti sekarang, aku juga udah sembuh, dia datang lagi ke aku.”

“NGAPAIN!?” Seungyoun menegapkan badannya dan berbalik untuk menatap Seungwoo.

“Hahahaha santai dong! Cuma caper aja dia, Sayang,” Seungwoo menarik tangan Seungyoun dan kembali pada posisi semula, “dia datang kayak sok-sokan bilang, kalau udah sukses, udah tunangan, aku apa masih begini-begini aja. Ngusik mulu, terus aku sempat balikan sama mantan aku yang SMP itu, tapi nggak sreg jatuhnya jadi pelampiasan sex partner doang.”

“Tapi kalian enggak ada masalah kan? Maksudnya kamu sama mantan SMP?”

“Enggak, dia sadar kok aku memang butuh, karena dia juga. Tapi mantan aku ini bilang aku manfaatin, mainin orang, dia nggak tau apa-apa. Sampai akhirnya dia berhenti ganggu, muncul lagi curhat kalau tunangan dia nggak sanggup nikah dulu, begini begitu, pokoknya hidup dia menderita, aku sih iya iya aja dalam hati bilang sukurin!”

“Hahahaha mood banget! Tau rasa, kena karmanya, 'kan!? Siapa suruh jahat! Eh tapi aku baru sadar deh, memang dia begitu? Maksudnya kata kamu dia anak baik, tapi berubah?”

“Itu sifat asli dia, selama ini aku ketipu. Tapi soal bully itu enggak benar, orang nambah-nambahin aja karena enggak suka sama sikap licik, egois dia itu. Apa sih, muka dua? Nah gitu.”

“Oalah ..., tapi Mas aku penasaran, kamu katanya trauma tapi kok bisa langsung aja sreg sama aku?” Seungyoun menoleh ke belakang dan mendapat kecupan di ujung hidungnya.

“Kenapa, ya? Enggak tau, rasanya langsung sreg aja, bawaannya pengen peluk aja. Aku ingat ya awal kamu nabrak aku, itu aku kaget mau marah sebenarnya tapi tanggung jawab kamu itu langsung bikin aku, 'oh ini orang baik,' begitu. Well, so far aku merasa benar, aku ngerasa enggak ada ruginya mantapin hati aku buat kamu, aku kayak ini loh yang gua cari, akhirnya gua merasakan apa yang gua inginkan. Walau enggak tau kedepannya gimana tapi ya aku siap-siap aja asal sama kamu. Karena sama kamu aku diajarin sabar dan belajar semua butuh waktu dan proses, saling kenal, saling mengerti, melihat dari berbagai sisi, gitu sih.”

Laki-laki dalam pelukan Seungwoo tersipu malu, ia melepaskan diri dari pelukan Seungwoo dan duduk bersila menghadap kekasihnya, “kamu yakin enggak ada lihat sesuatu yang jahat di diri aku?” Seungyoun menunjuk wajahnya.

Gelengan kepala sebagai jawaban dari Seungwoo, “enggak, kalau kamu jahat mana mungkin kamu rela menyisihkan waktu capek-capek cuma liat anak kecil foto di studio, mana mungkin kamu rela kasi kopi dan ramah-ramah sama orang, gini loh sayang bakal kerasa banget bedanya orang yang memang baik sama muka dua.”

“Nah terus kenapa kamu mau sama mantan kamu?”

“Pertama kepepet, ini jujur loh ya aku kejebak banget, niat aku enggak begini malah jadi rusak. Kedua ya karena tolol aja, Sayangku Seungyoun asal kamu tau ya Seungwoomu ini dulu kalau soal cinta bodoh banget!”

“Utututu Seungwoo-nya aku ini ya, kalau bucin seram banget! Jangan jadi bodoh sama aku ya, Mas. Aku enggak mau kamu sakit lagi, aku enggak mau kita menderita, jalani dengan santai tapi pasti, hm?” Seungyoun menarik tangan Seungwoo agar dapat ia genggam dengan erat, kemudian dikecupnya tangan kekasihnya.

Seungwoo tersenyum lembut, ia menarik Seungyoun kedalam pelukannya. Mereka berdua saling berpelukan satu sama lain, Seungwoo mengecup dahi dan kedua alis milik Seungyoun, “kalau sama yang begini, gimana mau enggak pasti coba? Nyesal seumur hidup aku, Youn,” Seungwoo mengecup ujung hidung Seungyoun.

“Hahaha bisa aja kamu, Mas! Kamu itu hebat, kamu kuat, kamu laki-laki penyabar, terhebat yang pernah aku kenal, kamu bisa bertahan melewati semua drama dan beratnya bahkan beberapa hari lalu, eh seminggu, ya? Dia balik lagi ke kamu, tapi kamu masih baik-baik aja walau sedikit bad mood. Kamu itu lembut, kamu itu tulus, didalam diri kamu sebenarnya kamu itu rapuh. Kamu rela lakuin apapun demi orang yang kamu sayang, walaupun itu harus korbanin diri kamu, aku mohon jangan gunakan cara ini menjadi salah dan nyakiti diri kamu. Kamu boleh sayang akan sesuatu, cinta akan hal itu, tapi ingat pada dasarnya orang datang untuk pergi, ada kalanya nanti orang yang kita sayang pergi, aku enggak mau sifat lembut dan rapuh kamu jadi boomerang kamu karena rasa sayang berlebihan kamu.”

Mata Seungwoo berlinang sesaat setelah mendengar tutur kata Seungyoun, “apa selama ini cara aku salah dalam mencintai seseorang, Youn?”

“Enggak, enggak ada yang salah dalam mencintai seseorang. Tapi Mas, you must prioritize and love yourself first before anyone else, because you belong to you not belong to anyone.

“Apa aku masih belum baik?”

You are good enough for me, Mas. Kamu hanya belum menemukan cara yang tepat kala itu sama mantan kamu dan itu wajar, kehidupan itu proses belajar, setiap hal menjadi sebuah pelajaran. Contoh aja aku, akhirnya Mas bisa buka diri mau sama aku, 'kan? Mas sendiri bilang akhirnya menemukan apa yang selama ini kamu cari, kamu bisa melihat dari berbagai sisi sama aku, namanya belajar juga, 'kan?”

“Kamu ini kenapa bisa lebih dewasa daripada aku sih, Sayang?” Seungwoo mengelus pipi Seungyoun.

“Karena aku belajar dan secara enggak langsung menuntut diri aku, Mas. Dari SMP sudah ditinggal Papa buat aku harus kuat, harus bisa hidup bagaimanapun caranya, ditambah aku anak cowok dengan adanya Mama juga, aku harus bisa lindungi Mama.”

“Kamu sadar nggak, kamu terlalu lama menuntut diri kamu, kamu terlalu keras sama diri kamu sampai kamu enggak sadar kalau kamu juga sama rapuhnya, lemahnya, kamu juga butuh disayang, kamu juga butuh pilar untuk diri kamu sendiri, walaupun hidup memang punya kita sendiri tapi kita juga butuh orang lain sebagai sandaran dan pilar kita, Sayang. Kamu layak dapatkan itu, kamu enggak harus terus-terusan merasa insecure dan merendahkan diri kamu, you are such a nice person, people should know that and realize that you are so special. and I'm happy because I realize and know that side of you, makes me want to protect you and love you with all my heart.

You know what? The conclusion is that we are deliberately meeting now like destiny, when we start to think well and face everything well then we complement each other. Oh Lord thank you for meeting me with Han Seungwoo, the more I get to know him the more I love him.

Bibir Seungwoo dengan lembut memberikan ciuman manis pada bibir Seungyoun, “so am I,” ujarnya dan kembali mencium bibir kekasihnya yang menjadi candu.

Ciuman keduanya dilakukan secara harmonis, keduanya benar-benar dimabuk oleh cinta dan kebahagiaan, melihat keduanya saling memeluk satu sama lain tanpa ada tanda ingin melepaskan pangutan, bahkan Seungwoo perlahan sudah membaringkan tubuh Seungyoun dengan lembut, tangan Seungwoo tak tinggal diam mengelus setiap inci kepala dan badan Seungyoun, membuat badan lelaki manis di bawahnya menggeliat kegelian.

“M-mashh-” lenguh Seungyoun saat tangan Seungwoo menyelusup ke dalam baju kaos putih yang dikenakan Seungyoun.

Tangan Seungyoun gelisah kala ciuman Seungwoo semakin dalam dan intens, tangan itu menjambak rambut Seungwoo hingga berantakan, bahkan turun ke pundak lebar kekasihnya sekedar untuk meremasnya karena menahan nikmat yang di berikan Seungwoo pada bibirnya dan seluruh wajahnya. Ciuman Seungwoo pun turun pada rahang, hingga ceruk leher Seungyoun, diendus serta dihirupnya aroma khas Seungyoun -vanilla musk-, yang semakin membuat Seungwoo menjadi mabuk kepayang.

“Enghh- M-mashh!”

Seungwoo menjeda kegiatannya hanya untuk menatap wajah memerah kekasihnya, bibir ranum itu tampak bengkak karena ulahnya sendiri membuat Seungwoo terkekeh, “kamu indah Seungyoun, indah sekali, aku takjub,” bisik Seungwoo di depan bibir Seungyoun.

Kecupan singkat Seungyoun berikan pada bibir Seungwoo yang hanya berjarak sepanjang jari kelingking, “I'm dying and it's all because of you.

Seringai tampan khas Seungwoo tunjukan pads kekasihnya dan kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda tadi. Malam itu salah satu villa yang berisi dua pasangan sudah sibuk masing-masing menghabiskan malam penuh cinta.


Liburan telah berakhir, semester baru pun dimulai. Tentu saja para mahasiswa memiliki beragam macam ekspresi menyambut datangnya semester baru ini, ada yang terlihat biasa saja merasa setiap semester tidak ada perubahan, ada yang merasa senang akhirnya dapat berjumpa dengan teman-teman dan tentu saja ada yang lesu karena malas harus memulai hari yang berat.

Namun, berbeda dengan Seungwoo. Laki-laki bertubuh tinggi ini tampak datar, wajahnya tidak bisa ditebak apakah ia merasa senang, malas atau biasa saja. Han Seungwoo, mahasiswa semester 5 jurusan Fisika ini memang selalu terlihat datar, tidak begitu banyak orang yang bisa dekat dengan dirinya, karena pembawaannya yang membuat orang sudah segan duluan. Setiap berangkat ke kampus, Seungwoo selalu memakai kendaraan umum seperti bis, walaupun sebenarnya ia memiliki kendaraan pribadi namun ia lebih senang berjalan dari halte bis ke kawasan kampus yang menempuh jarak hampir 1 kilometer.

Seperti pagi ini, semester baru Seungwoo diawali dengan kelas pagi yang jujur saja sangat dibenci oleh Seungwoo, karena ia harus merelakan waktu tidur berharganya. Wajah Seungwoo yang selalu tampak datar, kali ini dihiasi dengan kerutan didahinya, membuat orang yang melihatnya langsung enggan menegur atau sekedar senyum tipis. Tungkai panjang itu berjalan dengan malas ke arah kampus, ditemani dengan earphone yang memutar lagu rock agar menambah semangat, Seungwoo cukup menikmati paginya walaupun sedikit kesal.

Saat asik berjalan tak sengaja Seungwoo menabrak seseorang yang tiba-tiba berhenti ditengaj jalan, “ck! Kalau mau berhenti tolong nepi!” Sinis Seungwoo, orang itu tampak sibuk sendiri tak menghiraukan Seungwoo.

Dahi Seungwoo semakin mengkerut karena orang didepan menghalanginya berjalan, dilihatnya orang itu dengan rambut cokelat panjang sebahu yang dijepit dengan penjepit berbentuk kupu-kupu, kulit putih, badan tinggi dan langsing dibalut kemeja garis-garis berwarna biru muda, dipadukan dengan skinny jeans warna senada, “tinggi juga nih cewek, tapi ngapain coba tiba-tiba berhenti?” batin Seungwoo.

“Maaf, Kak! Permisi saya mau lewat!” Seungwoo dengan hati-hati menepuk pundak orang di depannya, saat orang itu berbalik rasanya seperti ada gerakan lambat dan cahaya bersinar layaknya drama yang sering kakak Seungwoo tonton.

“Eh? SEUNGWOO MY FRIEND!”

Seketika Seungwoo melebarkan matanya terkejut, bahkan jika ada kata lebih dari terkejut itulah yang Seungwoo rasakan sekarang, orang yang dirinya kira perempuan tadi adalah teman dekatnya sekaligus seseorang yang sudah lama ia taksir dalam 1 tahun terakhir ini.

“SE-SEUNGYOUN!? RAMBUT LU KENAPA!?”

Seungyoun namanya, lebih tepatnya Cho Seungyoun. Laki-laki dengan perawakan manis, tinggi yang hampir sama dengan Seungwoo ini, sangat supel serta ramah. Ia adalah teman satu angkatan sekaligus sekelas Seungwoo, keduanya menjadi dekat karena suatu kegiatan kampus yang mempertemukan mereka di divisi kepanitiaan yang sama, sehingga dari situlah mereka sadar jika cocok satu sama lain dan akhirnya menjadi teman dekat. Namun, hati memang tak bisa berbohong, Seungwoo pun jatuh kepada pesona Seungyoun, ia sudah lama menyimpan perasaan ini namun sengaja ia pendam agar tidak mengganggu pertemanan keduanya.

“Hehehe kenapa? Gua tambah manis, ya? Makin naksir 'kan lu?” Ujar Seungyoun jahil.

Seungwoo melepaskan earphone-nya terlebih dahulu sebelum menjawab, “apa maksud? Gua kira lu geng sosialita yang nyasar disini, kenapa panjangin rambut, pakai jepit begini? Ada-ada aja lu!”

Satu hal yang harus kalian ketahui, bahwa Seungwoo akan menjadi manusia cerewet hanya karena seorang Seungyoun. Walaupun terkadang Seungyoun terkena imbas sikap cueknya, namun kecerewetan Seungwoo bisa membuat telinga Seungyoun panas.

“Gua kelamaan di rumah Nenek, terus pulangnya mepet masuk jadi ya panjang deh. Mama bilang juga bagus panjang gini, jadi nanti aja potongnya. Gimana, bagus nggak menurut lu?” Seungyoun menangkup kedua pipinya dan tersenyum seperti anjing shiba.

Jantung Seungwoo menjadi tak karuan, rasanya sesak karena berdebar melewati batas normal. Seungyoun dengan rambut panjang dan jepit kupu-kupu itu semakin menambah kadar kemanisannya, ingin sekali rasanya Seungwoo memeluk dan menekan pipi Seungyoun, tapi rasa gengsinya terlalu tinggi.

“Biasa aja,” ujarnya datar.

Hela napas berat Seungyoun pun terdengar, “udah semester baru, bisa nggak sih berubah dikit gitu? Puji kek gua! Ngomong apa gitu!? Ini jawabannya selalu biasa aja, hm, ya, bagus, APA!?” Seungyoun menghentakan kakinya.

Tanpa sadar Seungwoo tersenyum tipis melihat wajah kesal laki-laki dihadapannya, ditambah ada sedikit rambut yang tidak terjepit menutupi dahinya, semakin membuat Seungyoun terlihat manis, “kenapa senyum!? Kesambet lu!?” Ujar Seungyoun.

“Siapa yang senyum? Mata lu burem. Minggir, gua mau lewat,” Seungwoo mendorong pelan badan Seungyoun dan melanjutkan jalannya yang tertunda.

“Kok nggak nungguin! Seungwoo!” Seungyoun berlari dan langsung merangkul Seungwoo.

“Berat! Jadi babi ya lu di tempat Nenek, lu?”

“Sembarangan! Tapi gua kerjaannya makan tidur sih, hehehehe.”

“Lu tadi ngapain coba berhenti tengah jalan?”

“Oh tadi gua ngecek tali sepatu hehehe.”

Seungwoo menunduk untuk melihat sepatu Seungyoun, “kebiasaan ngikat tali sepatu nggak terik!” Dirinya langsung berlutut dan membuat Seungyoun otomatis berhenti, “mau sampai kapan ceroboh begini? Kalau nanti lepas, kesandung lagi, mau dagunya dijahit lagi!?” Omel Seungwoo sambil menerikan tali sepatu Seungyoun.

“Hmm ya, ya, ya!”

“Dikasi tau tuh bilang makasih, didengarin!” Sebelum berdiri Seungwoo menyempatkan diri memukul pelan betis Seungyoun.

“Astaga, iya! Makasih Han Seungwoo, kalau nggak ada lu mungkin gua bakal luka di sana dan di sini, puas!?”

Good boy,” Seungwoo menepuk kepala Seungyoun dan kembali berjalan sambil merangkul satu sama lain. “Ngomong-ngomong jepitan siapa yang lu pakai?”

“Punya Mama, gua iseng aja ambil soalnya mau cari bandana gitu rupanya Mama enggak ada. Kenapa? Jelek, ya? Apa terlalu feminim?” Wajah Seungyoun tampak tak nyaman sambil memegang jepitannya.

Seungwoo menurunkan tangan Seungyoun sambil menggeleng, “enggak ada larangan lu mau pakai apapun, enggak ada juga terlalu feminim dan sebagainya, semua bebas pakai apapun asal nggak merugikan. Mulai normalisasi untuk pakai hal beginian pada cowok.”

“Baiklah, pertanyaannya apa gua manis setelah pakai jepitan ini?” Tanya Seungyoun lagi.

Tak ingin ketahuan jika Seungwoo sangat menyukai penampilan Seungyoun yang sekarang, ia memilih melepaskan rangkulannya dan berjalan cepat meninggalkan Seungyoun.

“Woi! Seungwoo! Jangan tinggalin gua!” Seungyoun berlari mengejar Seungwoo.


Kedatangan keduanya di kelas membuat seluruh teman angkatan bahkan senior yang mengulang terkejut dengan penampilan Seungyoun.

“Seungyoun cantik banget! Sini nggak lu, gua mau mainin rambut lu!” Teriak salah satu perempuan dan langsung menarik Seungyoun agar duduk di depannya.

Mau tak mau Seungwoo pun mengikuti Seungyoun dan duduk di sampingnya, “jangan ribut lu pada,” Seungwoo memperingati kumpulan perempuan dan Seungyoun yang sudah menampakan tanda-tanda akan ribut.

“Iya pak siap!” Jawab perempuan yang tadi menarik Seungyoun.

Coba deh pakai jepitan ini, nah kan lucu!

Eh coba dong jepitin yang kucing itu ke poni gua, tuh gua mau kayak elu gitu.”

Hehehe lucu! Lucu banget anjir Seungyoun gua gemes!

Suara kekehan dan obrolan yang tak Seungwoo mengerti itu cukup membuatnya terganggu, fokusnya pada ponsel pun teralihkan dan ingin melihat apa yang terjadi.

“Ngapain- wow?”

Sepertinya hari ini dan hari-hari selanjutnya jantung Seungwoo tak akan selamat, Seungyoun yang ia lihat semakin manis dan juga imut, rambut yang tadi dijepit terurai begitu saja, tetapi pada bagian depan dijepit oleh teman perempuan mereka dengan jepitan berbagai bentuk, seperti bentuk kucing, buah ceri dan kelinci.

“Gua baru tau kalau main beginian seru juga, Woo!” Seungyoun terdengar antusias sambil bercermin menggunakan cermin milik temannya.

“Kalian apain Seungyoun?” Tanya Seungwoo datar.

“Hias rambut dia, lah! Rambut Seungyoun halus, bagus gini, mana lurus juga, kapan lagi kita bisa main beginian?” Jawab teman perempuan mereka.

“Cepat beresin, Prof udah mau datang.”

Seketika mereka semua langsung panik, Seungyoun mencoba melepaskan penjepit rambutnya tetapi penjepit itu tersangkut di rambutnya, “akh! Woo tolong!” Seungyoun menepuk pundak temannya.

Tanpa perasaan Seungwoo langsung saja menarik jepitan itu dan membuat beberapa helai rambut Seungyoun tercabut, “sakit bodoh! Sumpah lu tau nggak sih rasanya rambut depan kecabut!” Teriak Seungyoun sambil mengelus kulit kepalanya.

“Nggak tau,” jawabnya dingin dan dengan tampang tak berdosa memberikan jepitan itu pada Seungyoun.

Melihat Seungwoo begitu membuat Seungyoun menjadi kesal, tanpa ragu dirinya langsung menjambak rambut Seungwoo, “arghh!! Seungyoun sakit!!” Teriakan Seungwoo mengundang perhatian warga kelas.

“Rasain lu! Sekarang impas, 'kan!?” Seungyoun mendorong kepala Seungwoo menjauh dan mengembalikan jepitan rambut temannya.

“Sumpah! Anjir ya ni anak, gua botakin nangis lu kagak bisa pakai jepitan lagi!” Tangan Seungwoo sudah siap ingin menoyor kepala Seungyoun,

Selamat pagi anak-anak!

Dosen yang mengajar mata kuliah pada pagi hari ini sudah datang, Seungwoo pun mengurungkan niatnya dan hal itu membuat Seungyoun terkekeh geli.


Kelas yang berlangsung selama 3 jam itu pun akhirnya selesai, “jangan lupa tugasnya besok dikumpulkan paling lambat jam 11 malam! Kirim lewat email dan kelompok 2 orang! Mengerti?” Tanya dosen sebelum meninggalkan kelas.

“Mengerti, Prof!” Jawab para mahasiswa serentak.

“Baiklah, terima kasih dan selamat siang!”

“Siang, Prof!”

Beberapa mahasiswa pun berbondong-bondong keluar meninggalkan kelas, hanya tersisa beberapa orang yang berdiskusi tentang tugas yang baru saja diberikan oleh sang dosen, tak terkecuali Seungyoun dan Seungwoo yang masih setia duduk di kursi mereka.

“Seungwoo, kita sekelompok, ya?” Tangan Seungyoun menarik pelan lengan kemeja hitam yang dikenakan Seungwoo.

“Ogah lu pemalas!”

“Enak aja! Selama ini gua juga kerja kali! Kita sekelompok ya, berdua loh ini!”

“Ck! Iya iya, mau kerjakan dimana, nih? Mumpung kita nggak ada kelas lagi, biar langsung dikirim aja kalau udah selesai.”

“Perpustakaan aja, gua ada bawa laptop nih, yuk!”

Diluar dugaan, suasana perpustakaan di semester baru terlihat ramai, “ini ramai karena banyak mahasiswa baru apa gimana?” Tanya Seungyoun keheranan.

“Kayaknya sih iya, tuh di tengah sana ada sisa meja berdua,” Seungwoo mendorong Seungyoun agar berjalan terlebih dahulu.

Saat keduanya berjalan, banyak sepasang mata yang menatap mereka layaknya seorang selebritis. Bahkan telinga Seungwoo tak sengaja mendengar pujian dari salah satu mulut seseorang, “itu pacarnya cantik banget, tinggi juga, pasti model,” mendengar hal itu Seungwoo hanya dapat menahan tawa.

“Lu dengar orang-orang tadi ngomongin elu, gak?” Tanya Seungwoo saat keduanya sudah duduk.

“Ngomong apa emangnya?”

“Katanya cantik banget, model ya?”

Pipi Seungyoun merona, “ngawur! Sok ide lu aja, 'kan?”

“Yaudah kalau dibilang kagak percaya, buruan dah kerjain!”

Hampir 3 jam keduanya menghabiskan waktu mengerjakan tugas, Seungyoun bahkan tak menyadari jika rambutnya sudah berantakan karena dirinya sibuk mengetik.

“Giliran sini, rapiin tuh rambut,” Seungwoo mengambil alih laptop milik Seungyoun dan lanjut mengetik tugas mereka yang setengah lagi selesai.

Sebelum merapikan rambutnya, Seungyoun menyempatkan diri merenggangkan badannya yang terasa kaku, “belum apa-apa udah nugas aja, hadeh!” Keluh Seungyoun.

“Siapa suruh kuliah?” Sahut Seungwoo.

“Hmmm, iya dah salah terus gua!” Seungyoun memutar bola matanya malas, dilepaskannya jepit rambut kupu-kupu milik Mamanya, dirapikannya terlebih dahulu rambutnya dan diambil setengah dari rambutnya untuk dijepit.

TAK

“Hah!?” Seungyoun reflek meninggikan suaranya, hal itu mengundang perhatian Seungwoo.

“Ada apa?” Seungwoo menatap dengan tatapan tajam namun khawatir.

“Jepitannya patah!” Seungyoun menunjukan jepitan yang sudah terbelah menjadi dua bagian.

“Pfft- kasihan banget sih, lu! Repot sendiri dah tuh sama rambut,” wajah khawatir tadi seketika berubah dengan seringai sirat mengejek Seungyoun.

“Ih! Gimana dong!? Lu ada karet atau ikat rambut gitu nggak?” Seungyoun panik sendiri menggenggam rambutnya.

“Mana ada, tuh minta sama orang lain sana!”

“Ogah! Malu gua!”

“Yaudah biarin aja tu rambut, selipin ke kuping aja,” Seungwoo berkata demikian, tetapi tangannya juga ikut bergerak menyelipkan rambut Seungyoun pada telinganya.

“Rapi-rapi dong!” Seungyoun menepuk tangan Seungwoo kesal.

“Anjir! Gua udah usaha rapi kali! Lagipula ini 'kan rambut lu, kok jadi gua yang repot!?”

“Ya namanya juga membantu!”

“Serah lu!” Seungwoo tak peduli dan kembali melanjutkan tugasnya yang sempat tertunda.

Sedangkan Seungyoun masih kerepotan sendiri dengan rambutnya, “nyesal gua panjangin rambut,” gumamnya yang masih didengar oleh Seungwoo.

“Sok ide sih panjangin sampai segitu,” Seungwoo menimpali.

“Diem lu!” Seungyoun menatap sinis laki-laki di depannya.


Malam harinya, Seungwoo yang sedang asik merebahkan diri di ruang tengah sambil menikmati film action favoritnya, harus terusik karena kedatangan sang kakak.

“Geseran! Udah badan gede, satu karpet buat lu sendirian lagi!” Omel sang kakak.

“Datang-datang ngomel!” Mau tak mau Seungwoo mengeser badannya dan membiarkan kakaknya duduk di samping dirinya.

Film yang ditonton tadi telah berganti menjadi drama, Seungwoo menghela napas pasrah jika kakaknya sudah menguasai televisi.

“Apa sih serunya nonton drama? Heran gua setiap hari ini terus!”

“Heh! Namanya juga refreshing, nah elu kenapa nonton action mulu, bunuh orang? Mau jadi psikopat lu!?”

“Ya enggak lah!”

“Ya makanya diam!” Kakak Seungwoo menyumpali adiknya dengan keripik kentang yang ia bawa sebagai cemilan.

Malas memperpanjang debat Seungwoo hanya memutar bola matanya jengah dan ikut memakan keripik kentang kakaknya, Seungwoo menatap datar adegan sepasang kekasih yang asik menikmati waktu mereka berdua di taman.

“Gemes banget, andai gua gitu,” gumam kakak Seungwoo.

“Halu lu! Mana ada yang begitu di dunia nyata!”

“Kenapa sih nggak bisa biarin gua senang dulu!?”

“Gua cuma kasi tau!”

“Iya tau!”

Keduanya kembali terdiam menyimak drama di televisi, adegan pun berganti dimana pria di drama tersebut mengikat rambut sang kekasih. Seketika Seungwoo mengingat rambut panjang Seungyoun, pikirannya membayangkan jika dirinya mengikat rambut Seungyoun seperti itu, tanpa sadar Seungwoo tersenyum membuat sang kakak mengernyit, “woi ngapa lu!?” Perempuan itu mendorong kepala Seungwoo.

“Apa sih!? Gangguin mulu!”

“Lu kenapa senyam-senyum begitu!? Mikirin apa lu!? Oh- lu bayangin ikatin rambut gebetan lu ya? Hahahaha Seungwoo dah gede!” Kakak Seungwoo menepuk kepala adiknya bangga, langsung saja ditepis oleh Seungwoo.

“Sok tau lu!”

“Ngaku aja! Siapa gebetan lu? Gimana anaknya? Tell me!”

“Ogah kasi tau lu, ntar bocor lagi ke Ibu.”

“Enggak akan! Rahasia antara kita aja nih, siapa?”

“Bukan urusan lu.”

“Dih! Yaudah kalau gitu, padahal gua mau bantu.” Mendengar perkataan kakaknya perhatian Seungwoo pun teralihkan, “kenapa liat-liat? Tertarik, 'kan lu?”

“Bantu apa?” Tanya Seungwoo berusaha terdengar tidak tertarik. Kakak Seungwoo berlari masuk ke dalam kamar membuat adiknya itu keheranan, “apa sih tuh anak aneh,” ujar Seungwoo.

Tak lama sang kakak pun kembali dengan membawa kotak bening berukuran sedang, “nih pilih lu mau ikat rambut gimana?” Tawar sang kakak sembari menyodorkan kotak yang berisi banyak hiasan rambut.

Mata Seungwoo melebar, “sebanyak ini buat lu apa!?” Tanya Seungwoo tak menyangka.

“Buat dipakai lah! Mau nggak? Mumpung gua nawarin nih! Gua tau lu nggak akan tuh ke toko-toko aksesoris begini, jadi?”

Kalau gua ambil buat Seungyoun kira-kira tuh anak udah potong rambut belum ya? Atau malah udah beli jepitan sama ikat rambut?” Seungwoo tampak berpikir keras, membuat kakaknya kesal sendiri.

“Ambil aja! Urusan dia nanti butuh, pakai apa enggak belakangan! Pilih cepat!”

“Ini semua baru?” Tanya Seungwoo melihat isi di dalam kotak.

“Baru, ini gua beli sekaligus banyak. Nah tinggal lu pilih, gebetan lu sukanya apa? Ada jepit bunga nih cantik, ada ikat rambut bentuk binatang juga.”

“Lu ngapain beli banyak begini sih, Kak?”

“Mau aja, buktinya berguna, 'kan? Bisa gua kasi buat bantuin elu hehehehe.”

“Gapapa gua ambil?”

“Gapapa! Mau yang mana, cepet!”

Mata Seungwoo menelurusi isi kotak, perhatiannya jatuh kepada ikat rambut dengan bandul kucing berwarna abu-abu, “gua ambil ini, ya?” Seungwoo mengambil ikat rambut yang ia lihat tadi.

“Iya ambil aja, besok lu kuliah masuk kapan?”

“Siang, kenapa?”

“Gapapa sih, nanya aja. Dibawa tuh, mana tau nanti berguna.”

“Hmmm, thanks!”

“Yup!”


Keesokan siangnya, Seungwoo yang sudah terlebih dahulu berada di kelas mendapatkan kabar bahwa kelas dibatalkan dan akan diganti pada hari lain, beberapa mahasiswa tampak menyesal karena sudah tiba di kampus, beberapa yang datang terlambat pun juga sama reaksinya.

Sedari tadi Seungyoun belum datang, Seungwoo sudah menghubunginya agar tidak perlu ke kampus, namun Seungyoun tiba-tiba datang dan hampir menabrak teman sekelasnya, “eh! Apa-apaan nih, kok pada keluar!?” Tanyanya.

“Baca grup makanya, kelas hari ini batal!”

“HAH!? YAELAH! Tau gitu gua mah nyantai aja di càfe,” Seungyoun tampak kesal dan memilih masuk ke kelas untuk menghampiri Seungwoo.

“Habis maraton darimana lu?” Tanya Seungwoo.

“Dari Hongkong! Anjir capek gua lari dari halte kesini, mana panas lagi, keringatan lagi, ck!” Seungyoun duduk di depan Seungwoo sambil mengibas-ngibaskan bajunya agar ada angin yang masuk.

“Gua kira udah potong rambut lu,” celetuk Seungwoo.

“Belum, nanti aja tunggu udah risih. Bentar deh ikat rambut gua tadi mana ya,” Seungyoun melihat pergelangan tangannya yang banyak deretan gelang, “lah kok gak ada!?” Seketika dirinya pun panik.

“Nih,” tangan Seungwoo terulur tepat di depan wajah Seungyoun untuk memberikan ikat rambut.

“Eh? Apaan nih?” Seungyoun melihat ikat rambut tersebut.

“Ikat rambut, 'kan?”

“I-iya sih, kok lu tumben bawa?” Seungyoun mengambil ikat rambut tersebut dan mengikat rambutnya agar tidak terlalu panas.

“Gua tau lu bakal ceroboh gak bawa ikat rambut jadi gua bawain,” jawab Seungwoo dengan intonasi datar seperti biasa.

“Eung~! Manisnya teman gua, perhatian banget sih? Mana lucu juga ikat rambutnya ada kucing!” Seungyoun melepaskan lagi ikatan rambutnya hanya untuk melihat ikat rambut uang ia gunakan.

“Hmm...”

“Ck! Lihat nih, emang ga ada perasaan. Tadi sok manis perhatian, sekarang dingin lagi sama gua, apa maksudnya!?” Seungyoun mengomel sendiri sambil mengikat rambutnya.

Langsung saja Seungwoo menatap mata Seungyoun tajam, “kalau gua bilang serius ngelakuin itu semua untuk lu, apa gua boleh lanjut lakuin?”

Keduanya terdiam, suasana kelas yang sudah kosong membuat keadaan sepi. Seungyoun tercengang dengan deretan kalimat yang di ucapkan oleh Seungwoo.

“H-hah? Maksud lu?”

“Ck! Lamban!”

“Gua tanya bukan karena gua lamban! Maksud lu apa ngomong gitu!?” Wajah Seungyoun sedikit memerah, tentu saja karena panas dan juga malu, bahkan jantung Seungyoun sudah berdebar kencang.

“Gua serius ngelakuin itu semua untuk lu, bukan sebatas perhatian gua antar teman, tapi karena gua suka sama lu.”

“W-woo....”

“Iya, gua suka sama lu. Udah lama gua suka sama lu, tapi gua terlalu bodoh takut ngerusak pertemanan kita makanya gua diam.”

BRUK

Mata Seungwoo melebar sesaat setelah Seungyoun tiba-tiba memeluk lehernya erat, walau terhalang oleh meja hal itu tidak menghalangi Seungyoun untuk memeluknya.

“Kenapa baru bilang sekarang!? Gua udah lama nungguin ini! Selama ini gua pikir lu jahat cuma manfaatin perasaan gua doang, ikatin tali sepatu lah! Bawain gua jaket lah! Jadi, semuanya karena lu beneran suka sama gua, iya!?” Seungyoun menangkup pipi Seungwoo agar dapat menatap wajah tampan itu.

“Hmm....”

“Jawab yang benar! Ada mulut, 'kan!?”

“Iya Seungyoun iya, gua suka sama lu, gua mau serius. Lu mau nggak jadi pacar gua?”

“Mau! Mau! Mau!” Tanpa berpikir Seungyoun langsung menjawab dengan semangat.

“Yaudah, jadi kita pacaran?”

“Iya! Tapi hadiahnya mana?” Seungyoun mendahkan tangannya di depan wajah Seungwoo.

“Itu ikat rambut yang lu pakai, hadiah 'kan?”

Seungyoun mendengus malas, “memang dasar kagak punya perasaan, kenapa tadi gua langsung bilang mau tanpa mikir, ya?”

“Karena lu udah jatuh ke dalam pesona gua,” jawab Seungwoo dengan nada sombong.

Tangan Seungyoun dengan ringan langsung memukul kepala Seungwoo, “pesona kepalamu! Gua gak mau tau, sebagai hari pertama kita pacaran pokoknya beliin gua makanan, gua belum makan nih tadi kesiangan!”

“Bukannya setiap hari gua beliin lu makan?”

“Beda lah! Itu 'kan teman, kalau sekarang pacar hehehe.”

Senyum tipis tergambar di bibir Seungwoo, dirinya pun beranjak dari kursi dan langsung menarik Seungyoun ke dalam rangkulannya, “mau makan apa?” Tanya Seungwoo.

“Subway!”

“Subway mulu?”

“Suka-suka gua lah! Yuk!” Seungyoun berjalan keluar kelas sambil memeluk pinggang Seungwoo.

“Ternyata lucu juga lu pakai ikat rambut ini, kucingnya kayak nemplok dirambut lu, Youn,” Seungwoo memegang bandul kucing di kepala Seungyoun, sambil memainkan rambut Seungyoun yang terikat.

“Karena gua yang pakai makanya lucu,” ujar Seungyoun.

“Jangan potong rambut dulu, ya? Tunggu gua bilang potong, baru potong.”

“Kenapa gitu?” Seungyoun menatap Seungwoo heran.

“Gua suka rambut panjang lu, apalagi pakai jepit kupu-kupu kemarin, keliatan lebih manis.”

Rona di pipi Seungyoun semakin terlihat jelas, karena merasa malu Seungyoun sengaja menyikut perut Seungwoo, “mulut lu tuh kelewatan manis!”

“Anjir sakit, Youn!”

“Biarin wlee!” Seungyoun menjulurkan lidahnya dan melepaskan diri dari Seungwoo agar berlari lebih dulu dari pacar barunya itu.

Melihat tingkah teman yang sudah menjadi pacarnya itu, membuat Seungwoo terkekeh dan menggelengkan kepalanya, “dasar Seungyoun, untung sayang,” gumamnya.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Writing by taeyangbii


Pintu salah satu apartemen terbuka di tengah malam yang sunyi, masuklah laki-laki yang terlihat kelelahan dengan mata tampak sayu menahan kantuk. Dilihatnya jam dinding di ruang tengah menunjukan pukul 1 dini hari, laki-laki itu pun menghela napas berat.

“Pantasan sepi, kirain masih jam 12,” gumamnya dan dengan malas masuk ke dalam kamar yang terdapat tulisan 'Kino' di depan pintunya.

Pemilik kamar itu -Kino-, merebahkan badannya sejenak di atas kasur, rasanya sudah lama sekali Kino tidak merasakan empuknya kasur karena selama beberapa hari ini, dirinya terpaksa tidur di sofa studio karena tuntutan pekerjaannya sebagai seorang komposer dan tugas kuliahnya yang menumpuk. Hampir saja Kino tertidur namun suara perut mengurungkan niatnya untuk memejamkan mata, “ya ampun! Lupa kalau belum makan dari tadi, makan jam segini gapapa, 'kan?” Monolog Kino.

Akhirnya Kino pun beranjak dari kasurnya untuk menuju dapur, tapi sebelum itu dirinya pergi untuk mengecek kamar di sebrang yang terdapat tulisan 'Hongseok' di pintu sebagai tanda nama pemilik kamar.

Kino membuka perlahan pintu kamar Hongseok, ternyata sang pemilik kamar sudah tertidur lelap sambil memeluk buku tebal, “kebiasaan deh belajar sampai ketiduran,” Kino pun mengambil buku itu dari pelukan Hongseok dan meletakannya di atas meja belajar, kemudian mengganti lampu kamar menjadi lampu tidur.

Setelah memastikan roommatenya aman, Hyunggu pergi ke dapur untuk memeriksa persediaan makanan di dalam kulkas, dapat ia lihat sepotong pizza di dalam kulkas dan sekotak ayam sisa yang dirinya dan Hongseok beli kemarin, “pasti kak Hongseok makan di luar lagi nih,” gumamnya sambil mengeluarkan kedua makanan yang ia lihat.

Kino pun mengambil wadah berukuran sedang agar dapat menampung semua ayam dan pizza untuk ia panaskan di microwave. Setelah mengatur waktu memanaskan makanan, Kino pun memasukan ayam dan pizza yang akan ia makan nanti, “masih 10 menit lagi, ditinggal mandi aja dulu ah,” Kino pergi dari dapur, menuju ke kamar mandi.

Microwave masih terus bekerja memanaskan makanan Kino, hingga 10 menit kemudian mesin itu berbunyi menandakan telah selesai bekerja. Namun Kino masih di dalam kamar mandi, perkiraan waktu untuk dirinya mandi sedikit meleset, sehingga mesin itu terus berbunyi hingga memenuhi seisi apartemen. Hal itu membuat penghuni lain di dalam apartemen terusik, Hongseok mengernyit di dalam tidurnya karena mendengar suara berisik dari arah dapur.

“Ada apa sih?” Gumamnya masih setengah sadar, saat ia membuka mata yang dilihat hanya cahaya remang dari lampu tidur, “loh- Kino sudah pulang?” Hongseok pun beranjak dari kasurnya dan keluar kamar untuk memeriksa suara berisik itu.

Alis Hongseok naik sirat kebingungan melihat dapur kosong namun microwave menyala, dimatikan mesin itu dan mengeluarkan isinya, “Kino panasin ini? Orangnya mana?” Hongseok melihat ke kanan dan ke kiri, “Kino! Kamu dimana!?” Teriaknya dari dapur. Sedangkan yang diteriaki namanya tidak dapat mendengar karena terlalu asik menikmati air hangat dari shower yang membasahi badannya.

Hongseok masuk ke kamar Kino namun tidak ada orang, “mandi kali, ya?” Kaki panjang itu berjalan menuju kamar mandi, dapat ia dengar suara gemercik dan senandung dari dalam kamar mandi, “Kino!?” Teriaknya sambil mengetuk pintu.

Seketika Kino menghentikan nyanyiannya karena terkejut mendengar suara dari luar, dimatikannya shower tersebut agar dapat mendengar jelas suara dari luar, “y-ya!? Kak Hongseok!?” Tanyanya dengan gugup.

Kino! Makanan kamu sudah selesai! Cepat keluar sudah malam, jangan lama-lama mandinya!”

“Oh iya! Aku lupa tadi panasin makanan, makasih Kak!”

Langsung saja Kino menyudahi kegiatan mandinya, buru-buru ia mengambil handuk dan mengelap badannya asal-asalan, kemudian keluar hanya dengan balutan handuk pada bagian pinggang. Kakinya jalan menjijit melewati dapur, “eh? Kok nggak tidur lagi, Kak?” Tanya Kino saat melihat Hongseok duduk di kursi meja makan.

“Mau temanin kamu makan, cepat pakai baju sana nanti masuk angin.”

“Ah- iya iya! Tunggu!” Kino berlari kecil menuju kamarnya, ia mengambil piyama berwarna ungu dengan motif kotak-kotak sebagai baju untuk dirinya tidur malam ini.

Setelah itu Kino kembali berlari ke arah dapur, “jangan lari-lari Kino,” tegur Hongseok kepada Kino.

“Hehehe nggak sabar mau makan, lapar banget aku, Kak!” Kino duduk disamping Hongseok.

“Jam berapa kamu pulang?”

“Awal, jam 1 hehehe. Tadi Kakak belajar lagi ya, memangnya mau ujian?” Kino mulai memakan ayam yang sudah Hongseok hidangkan di atas meja.

“Enggak, cuma baca buku yang baru aku beli tadi siang. Aku kira kamu tidur di studio lagi.”

“Enggak, bosan tidur di studio terus. Memangnya Kakak enggak kangen sama aku? Mau nggak?” Kino menyodorkan sepotong pizza kepada Hongseok.

Tentu saja Hongseok tidak menolak, ia memakan suapan dari Kino dengan wajah senang, “kangen lah! Saking kangennya mau bilang kangen pun enggak sanggup,” jawab Hongseok.

“Mulai deh lebay!” Kino memukul pelan pundak Hongseok, sambil nenyuapi pizza itu hingga habis.

“Sungguhan loh ini! Memangnya kamu nggak gitu? Masa cuma aku sendiri? Wah- jadi ini alasan kamu di studio terus, lupain aku? Aku pacarmu loh, Kino!”

Bukannya menjawab Kino menyumpali paha ayam pada mulut berisik Hongseok, dirinya tertawa geli dan ikut makan potongan ayam lainnya, “berisik sekali sih Kak, baru aku tinggal 4 hari aja!”

Digigitnya setengah paham ayam itu oleh Hongseok kemudian ia genggam, “itu lama! Hampir seminggu!”

“Ya! Ya! Iya! Aku kangen! Puas!?”

“Belum! Ciumnya mana?”

“Cih! Minta cium disaat Kakak aja setiap pagi selalu curi ciuman waktu aku tidur!”

Lelaki di hadapan Kino erkesiap, “k-kok kamu tau!?” Dirinya terlihat gugup.

“Aku selalu sadar setiap Kakak pergi kuliah atau kerja cium-cium aku!” Wajah Hongseok memerah, dirinya menghabiskan ayam secara brutal untuk menutupi rasa malunya. Kino terkekeh, “kok merah pipinya? Malu ya, pasti selama ini kiranya aku tidur. Apalagi aku dengar kalau Kakak setiap pagi ngomong begini, 'Kinoku, Sayangku, aku pergi dulu ya...,' hahaha,” Kino terbahak mengingat yang selalu Hongseok lakukan setiap pagi.

Merasa malu, Hongseok balas dendam menyumpali balik mulut Kino dengan ayam yang tersisa, seketika Kino terdiam, “mamam!” Sinis Hongseok, sedangkan Kino memukul kesal lengan Hongseok.

“Jahat banget sih! Padahal kamu sendiri yang begitu malah malu, dasar tsundere!” Kesal Kino.

“Iya, maaf. Habis kamu ketawa gitu, aneh banget ya cium pacar sendiri pagi-pagi?”

“Enggak dong! Harusnya kamu bangunin aku biar aku juga bisa balik cium sama peluk, Kakak!”

“Maksudnya kamu juga mau cium sama peluknya lama-lama?” Hongseok menaik turunkan alisnya.

“B-bukan gitu! Ah sudahlah! Mending aku habisin ayam ini,” Kino memakan ayamnya, matanya tak mau menatap Hongseok yang tersenyum jahil kepada dirinya, “jangan lihat aku begitu!” Kino menendang tulang kering Hongseok.

“Argh! Sakit!” Hongseok mengelus kakinya.

“Biarin! Jangan berlebihan, aku tendangnya pelan, ya!”

“Dih, malah dia yang marah. Cepat habisin ayamnya, terus tidur, sudah jam 2.30 nih!”

“Bantuin aku!” Rengek Kino sambil memberikan sepotong ayam terakhir kepada Hongseok.

“Aku diet, Sayang!”

“Enggak ada diet! Kamu sudah makan 3 ayam, sama 1 pizza! Apa itu diet, Kak!?”

Mau tak mau Hongseok pun membantu Kino menghabiskan ayamnya, “malam ini tidur sama aku, ya,” bukan kalimat bertanya, namun kalimat perintah dari Hongseok, yang berarti mutlak tak bisa ditolak.

“Mau peluk-peluk aku, ya? Kangen peluk aku sambil tidur, ya?” Kino mencolek perut Hongseok.

“Hmmm...,” deham Hongseok.

Tiba-tiba Hongseok merasakan pipinya berminyak karena kecupan singkat dari Kino, “apa maksud?” Tanya Hongseok terkejut.

“Mau cium aja, sudah lama nggak cium Kakak hehehe. Berminyak ya, maafin aku,” Kino mengelap bekas minyak di pipi Hongseok dengan tangannya.

Cup

“Kak!” Kino melebarkan matanya saat Hongseok mengecup bibirnya.

“Sudah lama nggak cium kamu, impas 'kan?” Keduanya tertawa geli, Kino pun langsung berdiri di hadapan Hongseok, “mau ngapain?” Tanya Hongseok.

“Peluk!” Kino memeluk leher Hongseok, membuat wajah Hongseok langsung terpendam pada ceruk leher Kino, dapat ia rasakan aroma bunga khas Kino yang selalu ia sukai, dikecupnya ceruk leher itu dengan lembut.

Dibalasnya pelukan itu dengan memeluk pinggang ramping Kino, “wangi sekali, ayo cepat selesaikan makannya, aku mau peluk lebih lama!” Perintah Hongseok.

“Hahaha nggak sabaran banget! Dasar!” Kino menarik gemas hidung Hongseok.

“Biarin, aku kepengen!” Hongseok mengecup dagu Kino.

Mereka pun segera menghabiskan dan membereskan sisa makan, kemudian masuk ke dalam kamar Hongseok dengan berlari layaknya anak kecil mengejar mainan. Saat di kamar Hongseok langsung menarik Kino ke dalam pelukannya, “jangan ganggu kegiatan peluk memeluk aku, sampai alarm nanti pagi bunyi, paham?” Hongseok menendam wajahnya di rambut Kino yang sudah mulai panjang.

“Ya, iya, kapten siap laksanakan!” Jawab Kino.

Kecupan kecil Hongseok berikan pada dahi Kino, “good night,” ucapnya lembut.

Good night!”

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii


Range rover hitam milik Seungwoo terparkir rapi di depan rumah tante Seungyoun, dapat ia lihat beberapa mobil terparkir di depan rumah tante Seungyoun, tak terkecuali mobil mama Seungyoun.

Kaki panjang Seungwoo melangkah dengan yakin memasuki halaman rumah komplek yang tampak besar itu, sesaat dirinya terdiam berdiri di depan pintu, “yuk bisa yuk, Woo! Cuma datang, sapa, basa-basi, pergi,” Seungwoo menghela napas panjang, kemudian menekan bel yang terletak di samping pintu.

SEBENTAR!” suara teriakan dari dalam rumah membuat jantung Seungwoo yang mulanya berdetak dengan santai menjadi berdetak lebih kencang seperti dikejar-kejar.

Pintu di hadapan Seungwoo terbuka, tampak sosok remaja perempuan yang terpesona melihat Seungwoo, “woah- cari siapa?” Tanyanya masih dengan mempertahankan tatapannya.

Ditatap seperti itu membuat Seungwoo sedikit canggung, “ada Seungyoun? Mau jemput Seungyoun, soalnya ada janji.”

“Yeji, siapa yang datang?”

Remaja yang dipanggil Yeji itu menoleh ke belakang, begitu juga Seungwoo langsung ikut melihat siapa yang datang bertanya. Ada sosok wanita, sekilas terlihat mirip dengan mama Seungyoun namun sedikit lebih muda.

“Cari kak Seungyoun, Mi! Temannya, kah?” Yeji balik bertanya pada Seungwoo dan hanya dijawab anggukan. “Temannya kak Seungyoun nyari!”

“Seungyoun, temannya cari! Nih cepat keluar!” Teriak wanita yang tak jauh dari ambang pintu.

Berharap yang keluar Seungyoun, namun yang Seungwoo lihat ada tiga wanita lain keluar, bersama dua orang laki-laki lainnya. Seungwoo tidak asing dengan beberapa orang di sana, dua diantara tiga wanita itu adalah mama Seungyoun dan ibu Sungjoo, dan satu laki-laki lagi ialah pujaan hati Seungwoo, tak lain dan tak bukan Seungyoun yang tersipu malu berdiri di samping mamanya, “Seungwoo! Mau mampir dulu?” Tanya mama Seungyoun.

“Makasih, Tante! Tapi engga dulu, saya sama Seungyoun sudah ada janji, jadi mau jemput disini.”

“Seungwoo jauh sekali bisa sampai kesini, ada apa sama Seungyoun!?” Tanya ibu Sungjoo dengan senyum jahil.

“Kak, ini yang Kakak bilang calon Seungyoun? Cakep nian calonmu, Youn!” Ujar wanita yang tadi memanggil Seungyoun.

Mendengar kata calon membuat Seungwoo melebarkan matanya, sontak Seungyoun berlari menghampiri tantenya, “Tante mulutnya ih!” Seungyoun memukul pelan pundak tantenya dan melihat ke Seungwoo dengan tatapan tak nyaman.

“Loh kenapa? Siapa tadi namanya, Seungwoo ya namanya? Pacar Seungyoun? Masuk dulu lah!” Tawar wanita itu.

“Iya-”

“Aku mau pergi! Lain kali aja kenalannya, udah janji nih nanti telat hehehe. Mama Seungyoun pergi dulu, semuanya Seungyoun pergi, ya!” Seungyoun berlari ke pintu depan, tangannya masih sempat jahil mengacak rambut Yeji, “makasih ya dek, untung elu yang bukain pintunya,” ujar Seungyoun pelan, Yeji hanya tersenyum penuh arti dan bersandar di dinding untuk menikmati pemandangan kakak sepupunya.

“Gapapa nih langsung pergi?” Tanya Seungwoo sembari menggenggam tangan Seungyoun yang sedang memasang sepatu.

“Gapapa kok! Tante, Mama, semuanya pergi dulu ya!”

“Permisi semuanya!” Seungwoo menunduk sopan dan pergi kala Seungyoun menariknya menjauh.

Hela napas lega terdengar saat Seungyoun sudah duduk manis di dalam mobil, “kenapa gitu napasnya, habis keluar dari kandang macan?”

“Aku kalau udah di rumah Tante tuh bakal malas sebenarnya sama mulut-mulut para ibu-ibu itu loh, Mas. Makanya pas tau kamu mau jemput aku kaget,”

“Santai aja, kenapa memangnya? Apa mereka ngomong jelek? Tadi bahas-bahas calon juga, memang ngomong apa?”

“Itu Mami Yeji aja ngawur banget, padahal aku sebelumnya izin sama Mama mau pergi, enggak sengaja kedengaran mereka, terus langsung bilang '_pergi kemana? Sudah ada calon ya?', Mama cuma senyum aja, lagi!”

Kekehan terdengar dari mulut Seungwoo, hal itu membuat wajah Seungyoun merengut karena merasa diejek, “malah ketawa! Kasihan nih aku!”

“Bukannya memang calon, ya? Kenapa di kasihani? Oh, kamu malu ya dekat sama aku?”

“Engga gitu! Aku yang enggak enak sama kamu, Mas. Belum apa-apa sudah ngomong calon aja,” Seungyoun menggenggam tangan Seungwoo dan menyandarkan kepalanya pada pundak lebar Seungwoo.

Tangan Seungwoo pun mengusak kepala Seungyoun, “gapapa lah, jangan ngerasa enggak enak gitu. Namanya juga keluarga besar, emang udah dasarnya suka begitu, 'kan? Enggak beda jauh sama Tante aku kok,” Seungwoo mengusak hidung panjangnya ke kepala Seungyoun, hal itu membuat Seungyoun menatapnya, “manis banget kamu hari ini, Youn,” Seungwoo mengelus pipi Seungyoun.

“Aneh rasanya dengar kamu ngomong langsung, jantung aku lomba lari nih, Mas.”

Tak lama mengatakan hal itu Seungyoun tertawa geli, begitu pula dengan Seungwoo. Keduanya pun tertawa satu sama lain, “kita ini kenapa ya? Pasang dulu seatbelt kamu, Youn.”

“Pasangin dong, aku mager nih!” Seungyoun sengaja menyandarkan badannya, Seungwoo yang melihat hal itu pun menjadi gemas sendiri. Dijawilnya hidung bulat Seungyoun dan ia pun memasangkan seatbelt Seungyoun. “Ngomong-ngomong, kita mau nonton apa, Mas?”

“Nonton apa yang ada aja deh, aku juga sebenarnya enggak tau ada film ada di bioskop,” akhirnya Seungwoo menyalakan mesin mobil dan pergi meninggalkan rumah tante Seungyoun.

“Kamu sukanya genre apa, Mas?” Tanya Seungyoun.

“Apa aja sih, tapi seringnya nonton comedy sama action gitu. Kamu?”

“Sama sih, fantasy juga aku suka. Romance suka, Mas?”

“Tergantung gimana dulu romancenya, tapi jarang sih aku nonton romance kebanyakan action gitu. Fantasy, berarti ngikutin Harry Potter?”

“Oh jelas! Mas nonton, nggak?”

“Nonton tapi ya sekedar nonton, itu film agak berat untuk diseriusin.”

“Film kok diseriusin sih, Mas! Seru tau kalau misalnya paham, apalagi kalau baca bukunya.”

“Harusnya yang diseriusin itu kamu ya, Youn?” Seungwoo tersenyum miring.

“Mulutnya ya mulai deh!”

“Hehehehe. Oh iya, itu tadi ada ibu Sungjoo, aku suka lupa kalau kamu sama Sungjoo sepupuan.”

“Hmm, para ibu-ibu itu kalau udah weekend selalu ngumpul ada aja yang dibikin.”

“Dimsum tadi siapa yang bikin? Aku kira itu dimsum undangan.”

“Mami Yeji yang bikin, anak yang bukain kamu pintu itu, loh. Undangan sebentar aja, tadi juga aku sempat ngobrol sama Sejun, biasa lah tu anak godain nanya-nanya soal kamu.”

“Hahaha maklum aja Sejun mah memang gitu, yang tadi buka pintu itu Yeji namanya? Terus cowok yang berdiri samping kamu tadi siapa?”

“Itu Hyunjin, nah mereka berdua kembar! Maminya yang manggil aku, yang bilang kamu cakep itu hehehe.”

“Oalah lucu ya udah besar gitu, terus kembar lagi, lah kembarnya pasangan lagi, jadi pengen.”

“Pengen apa, Mas?” Seungyoun menatap Seungwoo.

“Pengen anak kembar gitu, lucu aja. Eh tapi enggak deh, pas Fanny lahir rasanya berat juga ngerawatnya, apalagi kembar.”

“Riweuh banget dulu pas Tante lahirin si kembar, untungnya semua bantu sih.”

“Itu semua saudara Mama kamu?”

“Iya, kecuali Ibu Sungjoo. Anak pertama ayah bang Sungjoo, kedua mama aku, ketiga mami Yeji nah terakhir ada cewek samping ibu bang Sungjoo tadi, sudah berumur tapi belum nikah.”

“Oh gitu..., misalnya nih Youn kamu kalau aku kenalin ke orang tua aku sama keluarga besar aku apa udah siap?”

Alis Seungyoun naik, matanya mengerjap mendengar pertanyaan Seungwoo, “tiba-tiba?”

“Tanya aja, soalnya tadi udah lama Mama nggak chat aku, pas chat malah nanyain kamu. Aku kira anak-anak yang cepu soal kamu, rupanya kakak aku sendiri yang cepu ke Mama.”

“Oh gitu..., ya kalau memang kamu sudah ada ngomong dan mau kenalin juga aku gapapa kok, Mas. Kamu aja udah tau sebagian keluarga aku, 'kan? Masa aku enggak....”

Seungwoo tersenyum tipis sambil mengelus kepala Seungyoun, “kalau belum siap jangan dipaksa, takutnya kamu malah mikir kemana-mana, seakan aku yang kepengen kamu harus ketemu keluarga aku juga.”

“Hehehe enggak lah, Mas. Gapapa kok kalau emang mau saling mengenalkan doang, emang rencananya kapan?”

“Belum ada rencana kapan, tapi mama bilang ya secepatnya. Aku juga tanya kamu dulu, takutnya kamu ngerasa kecepatan dan keberatan.”

“Kecepatan mungkin iya, tapi kalau keberatan aku sih enggak ngerasa hal itu. Cuma ya, 'kan kita juga sudah sama-sama dewasa ya Mas, kalau memang mau langsung ketemu dan kenal gapapa. Seenggaknya orang tua kamu tau aku siapa dan bagaimana.”

Tangan Seungyoun yang menganggur di atas pahanya itu pun digenggam oleh Seungwoo, dielus buku-buku jari Seungyoun dengan jempol besar Seungwoo, “jangan bosan ya aku bilangin makasih, apapun yang kamu lakuin enggak tau kenapa bawaannya tenang aja, walau aku tau di dalam hati kamu pasti gugup atau kepikiran, tapi kamu selalu bisa bawa segalanya tenang dan buat aku jadi yakin.”

Seungyoun menarik lengan Seungwoo agar dapat ia peluk, dirinya pun menyandarkan kepalanya pada lengan Seungwoo, “kalau begitu aku juga mau bilang makasih, soalnya Mas udah mau nungguin aku, bahkan sampai di tahap ini. Kamu baik, kamu pantas dapat yang baik juga.”

“Maksudnya ini self promotion kalau kamu baik, gitu?”

“Engga gitu ih! Tau ah sebel banget udah serius malah diginiin terus sama kamu!” Seungyoun melepaskan pelukannya dan kembali pada posisi semula.

“Hahahaha masih sore, Sayang. Kecepatan mau deep talknya.”

“Siapa yang duluan mulai aku tanya, hm?”

“Ya ..., ya ..., aku!”

Laki-laki yang lebih mudah terkekeh, merasa dirinya menang dalam perdebatan. Waktu pun terasa lebih cepat karena sepanjang perjalanan keduanya asik mengobrol, sesampainya di bioskop ternyata tidak begitu banyak film yang sesuai dengan keduanya.

“Jadi gimama, Mas?” Tanya Seungyoun.

“Random aja, mau? Kita beli kucing dalam karung, mana tau bagus.”

“Boleh! Kapan lagi ngelakuin hal serandom ini,” Seungyoun pun menarik Seungwoo ke tempat pembelian tiket.

Seperti yang dikatakan sebelumnya mereka memilih film secara acak, yang menjadi informasi dasar film yang mereka tonton bergenre romance.

“Mau cemilan, nggak?” Tanya Seungwoo.

“Mau, tapi kita bagi dua ya bayarnya?”

“Aku bayar makanan, kamu minuman?” Usul Seungwoo.

“Sip!”

Keduanya langsung membeli popcorn dan soda sebagai pendamping, film akan mulai dalam 20 menit lagi, mereka pun memilih untuk masuk ke dalam teater bioskop.

“Kok ramai juga, Mas?” Tanya Seungyoun saat berjalan ke kursi mereka sambil memeluk lengan Seungwoo.

“Semua film memang ramai, Youn. Untung ini kita dapat di bagian tengah,” Seungwoo menarik Seungyoun agar duduk di kursi terlebih dahulu.

Keduanya duduk dengan nyaman, sempat terkekeh sebentar saat sadar kebanyakan di dalam teater adalah pasangan anak muda, “ini kita nonton apa sih, Mas? Kok banyak anak muda?”

“Enggak tau, Sayang. Udah anggap aja kita pasangan SMA lagi kasmaran.”

BUK

Suara pukulan yang cukup kencang terdengar dari Seungyoun yang memukul dada Seungwoo, “akh! Sakit!”

“Ayo ngomong lagi?” Seungyoun menaikan alisnya.

Melihat wajah kesal Seungyoun membuat Seungwoo tak tega, ia pun memeluk kepala Seungyoun dan disandarkan pada dadanya, “iya ampun Tuan, galak banget sajennya kurang?”

“Mas!”

“Hehehehe iya damai!”

Lampu bioskop pun mati, tanda film akan dimulai. Masih dengan posisi yang tadi, Seungyoun menyamankan kepala dan badannya bersandar pada dada Seungwoo. Tangan panjang Seungwoo tak segan mengelus kepala Seungyoun dan pundaknya, didekapnya badan laki-laki itu agar semakin mendekat padanya.

Sebelah alis Seungwoo naik saat merasakan tangan Seungyoun mengusap dadanya yang tadi ia pukul, “maaf, sakit ya? Tadi aku pukulnya kekerasan.”

“Gapapa kok, walau lumayan juga pukulan kamu.”

“Bisa lebih dari ini loh, Mas. Mau nggak?”

“Yaudah ayo habis ini tonjok-tonjokan aja kita, mau?”

Si muda terkekeh ditantang oleh Seungwoo, keduanya pun serius menonton film, Seungyoun bahkan menggenggam tangan Seungwoo yang lain, tangan itu terasa dingin karena pendingin ruangan.

“Eh itu kenapa kok nangis?” Tanya Seungyoun.

“Diselingkuhin, makanya nonton.”

“Nonton kok!”

Shuut!

Seungwoo menutup mulut Seungyoun gemas, sedangkan Seungyoun juga reflek ikut menutup mulutnya sendiri diatas tangan Seungwoo.

Fokus nontonnya,” bisik Seungwoo.

Iya iya.”

Sudah lewat 1 jam, film yang mereka tonton mulai menampakan tanda-tanda menuju akhir cerita. Tampak sepasang kekasih yang saling berpelukan, kemudian berciuman satu sama lain. Sontak Seungyoun menegapkan badannya, dirinya berdeham dan mengambil minuman untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering.

Seungwoo melihat hal itu dari cahaya yang samar terkekeh geli, “kenapa?” Tanya Seungwoo.

“Haus,” jawab Seungyoun singkat.

Film pun berakhir, lampu kembali menyala dan cukup menyilaukan membuat Seungyoun menyipitkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk, Seungwoo masih menatap dirinya, tentu saja senyuman tak lepas dari bibir Seungwoo.

“Kenapa senyum-senyum, begitu?”

“Kenapa pipi kamu merah-merah, begitu?”

Si manis menangkup pipinya dengan wajah terkejut, “bohong ya!?” Seungyoun skeptis.

“Ya terserah mau percaya apa enggak, emang kamu mikirin apa tiba-tiba kaget?”

“Enggak mikir apa-apa, udah sepi tuh yuk pulang!” Seungyoun berdiri terlebih dahulu dan menarik tangan Seungwoo agar mengikutinya. “Sekarang jam berapa, Mas?” Tanya Seungyoun saat mereka keluar dari teater.

“Jam 7, kenapa? Mau sekalian makan malam nggak?”

“Mekdi, yuk? Aku udah lama banget enggak makan burger!”

“Ngidam? Belum diapa-apain juga.”

“Mas Seungwoo!” Seungyoun menghentak-hentakan kaki layaknya bocah yang kesal.

“Hahahaha iya ayo! Sama mekdinya aku borong untuk kamu!”

“Benar ya!?”

“Iya Sayang iya.”

Laki-laki yang lebih muda berlari duluan menuju mobil Seungwoo yang berada di parkiran. Seungwoo hanya dapat tersenyum maklum dan semakin melebarkan senyumannya saat melihat Seungyoun bercekak pinggang didekat mobilnya, “cepat Mas! Keburu mekdinya nanti diborong orang lain!”

“Biarin!”

“Tadi sudah janji ya! Cepat!”

“Baik Tuan!” Seungwoo mempercepat jalannya sebelum Seungyoun merajuk.


Pukul 20.45 akhirnya Seungwoo sampai di depan rumah Seungyoun, mengantar sang pujaan hatinya, “Mama kamu belum pulang?” Tanya Seungwoo saat tak mendapati mobil sedan putih yang sering ia lihat.

“Belum, emang mau ngumpul sampai malam. Tadi aja barusan Mama kasi tau kalau mau nyusul masih bisa.”

“Loh, gapapa Mama kamu nyetir malam-malam?”

“Nanti ada keponakan Mama udah sebesar aku juga yang ngantarin.”

Keduanya terdiam, Seungyoun tak ada niat sedikit pun untuk turun dari mobil, dirinya asik memainkan jarinya sambil melihat keluar.

“Nggak turun?” Tanya Seungwoo.

“Oh, ngusir nih ceritanya?” Seungyoun menatap Seungwoo.

“Hahaha enggak lah, kalau memang belum mau turun sini dulu tangannya,” Seungwoo membawa tangan yang sedikit lebih kecil dari tangannya itu pada genggamannya, “tangan kamu nih pas banget aku genggam, apa pertanda ya?”

“Pertanda apa?”

“Memang diciptakan untuk aku?”

“Dih! Ngalus!” Tangan Seungyoun mendorong pelan pipi Seungwoo yang sudah tertawa.

Mata mereka bertemu, saling menatap satu sama lain, kemudian tersenyum. Tangan yang masih dalam genggaman itu diletakan pada pipi Seungwoo, dan sengaja ia usak ke pipinya.

“Udah mulai bosan aku bilang makasih belum?”

“Hmm..., belum, nggak tau kalau 1 menit kemudian.”

Kekehan geli mengalun memenuhi isi mobil, mata keduanya tak ingin berpisah, saling tersenyum mengagumi satu sama lain.

“Terima kasih untuk hari ini, sudah habiskan waktu dengan aku secara impulsif dan juga terima kasih sudah dikenalin ke keluarga kamu secara singkat, they are so nice and I enjoy it.”

Glad to know it, Mas.”

Tangan Seungyoun dikecup oleh Seungwoo, sedikit menarik empunya agar mendekat padanya, ditangkupnya sebelah pipi Seungyoun serta diusap pipi itu menggunakan jempolnya.

“Seungyoun...,”

“Hm?”

I feel sure to choose you to be mine, not because my parents want to meet you soon but because my heart is ready to choose you. How about you?

Well..., not because my family already knows you and I will meet your family, but my heart is also ready to be yours, I'm sure if you will make me yours. We have grown up and during these two months knowing you, I realized that I could be myself, be the best version of myself without feeling difficult.

So do I. I feel more comfortable and haven't felt difficult all this time because you can always make me feel comfortable being myself. Maybe what we face right now is still easy, we don't even know what will happen in the future but-

Mata Seungwoo menatap dengan tajam dan serius, tatapan itu terlihat bersungguh-sungguh dan tak ada kebohongan sedikit pun, ditambah tangan Seungwoo yang masih menangkup pipi Seungyoun, membuat dirinya merasa tenang dan hangat.

I want to go through it with you, do you want to? Get to know more about each other with the clear status of being lovers?

“Seung-”

Jempol itu menahan bibir Seungyoun untuk berbicara, “I'm not done yet, let me finish this first.” Senyuman Seungyoun terkembang, bibir itu mencuri kecupan pada jempol Seungwoo.

“Cho Seungyoun, would you be my boyfriend or maybe soon be my husband?”

Tak dapat menahan senyumannya, Seungyoun langsung menyingkirkan tangan Seungwoo dari pipinya dan menangkup rahang tajam Seungwoo, kemudian menarik Seungwoo kedalam ciuman persis seperti di film yang tadi mereka saksikan.

Mata Seungwoo melebar tak kala rasa terkejut menyerangnya, bibir ranum itu, bibir yang selalu diam-diam Seungwoo perhatikan sudah menempel pada bibirnya, benda kenyal itu mulai bergerak, seperti memberi kode kepada Seungwoo agar balik menciumnya. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Seungwoo langsung menarik pinggang Seungyoun agar semakin mendekat padanya, dielus kepala Seungyoun dan ia pun balas mencium bahkan melumat bibir bawah Seungyoun.

Kedua bibir mereka bergerak seirama, saling berpangutan satu sama lain, berbagi rasa manis, bahagia, suka serta cinta, semuanya dapat dirasakan hanya dari cara mereka berciuman hingga mengeluarkan suara kecipak, bahkan oksigen pun urung untuk mengganggu kegiatan keduanya. Tangan Seungwoo perlahan mengelus dan sedikit meremas pinggang ramping Seungyoun, sedangkan tangan Seungyoun sudah turun untuk mengelus dada bidang Seungwoo.

Seungyoun yang pertama memutuskan pangutan mereka, bibirnya tampak mengkilap dan bengkak, Seungyoun tersenyum puas bahkan tertawa geli begitu juga Seungwoo yang telah menempelkan dahi keduanya agar saling menatap dari dekat.

“Kenapa kamu penuh kejutan, Seungyoun?”

Well, it's me! Hehehe,” Seungyoun mengecup philtrum Seungwoo.

So, what your answer?

“Masih perlu, setelah kegiatan tadi?”

Lelaki yang memeluknya erat itu mengangguk, “apa Seungyoun?”

“Sudah jelas aku mau! Aku mau jadi pacar kamu, bahkan jalan menuju ke jenjang sana, tapi perlahan, ya?”

Sure, baby!”

Kembali mereka berciuman lagi, seakan tak ada hari esok untuk mereka habiskan berdua. Disela ciuman Seungyoun terkekeh geli karena Seungwoo menggelitik pinggangnya, “Mas geli ih!” Seungyoun menyingkirkan tangan Seungwoo.

“Kamu tau nggak?”

“Apa?”

“Masih ada rasa burger pas aku cium kamu.”

“DEMI!? IH MALU-MALUIN AJA!” Seungyoun menutup wajahnya karena merasa malu.

“Tapi enak kok! Coba sini aku cium lagi,” Seungwoo menyingkirkan tangan Seungyoun dan mendekat ingin menciumnya kembali.

Namun sepertinya takdir mulai jengah melihat keduanya kasmaran, datanglah mobil dari arah depan dimana lampunya langsung menyorot ke mobil Seungwoo, membuat keduanya merasa silau karena tembakan cahaya tersebut.

“Siapa sih anjir!?” Kesal Seungyoun.

Mobil itu pun berhenti dan mematikan lampu yang sangat mengganggu itu, “bukan Mama kamu, 'kan?”

“Bukan lah! Oh- rupanya tetangga aku, dih!”

Tawa Seungwoo memenuhi sesisi mobil, dirinya merasa geli karena melihat wajah kesal Seungyoun, “masuk rumah sana, jangan lupa mandi, langsung tidur juga,” Seungwoo mengelus kepala Seungyoun.

“Iya, kamu juga hati-hati dijalannya. Pas pulang langsung mandi sama istirahat aja, jangan chat lagi.”

“Kenapa begitu?”

“Karena nanti kamu bakal chat aku terus sampai lupa istiahat!”

“Hehehe iya iya, Sayang. Peluk dulu?” Seungwoo merentangkan tangannya, dengan senang hati Seungyoun menerjang badan Seungwoo untuk memeluknya.

“Makasih ya, Mas. Aku sayang kamu!”

“Walah..., begini rasanya dibilang sayang, ya?”

“Hehehe deg-degan, 'kan?”

“Banget!” Seungwoo pun mengecup kepala dan dahi Seungyoun, “sudah sana, hati-hati di rumah sebelum Mama pulang.”

“Kamu yang harusnya hati-hati di jalan! Bye, Mas!” Seungyoun menyempatkan diri mengecup pipi Seungwoo dan turun dari mobil. Dirinya menunggu di depan pagar hingga mobil Seungwoo tak terlihat lagi, “I love you,” gumamnya dan tersenyum manis.


Jauh sebelum waktu yang dijanjikan Seungyoun sudah siap hingga membuat sang Mama heran melihat anaknya bangun awal tidak seperti biasanya yang harus diseret dulu agar mau bangun.

“Mau kemana?” Tanya Mama Seungyoun yang baru saja selesai mengemas bekal makanan untuk di bawa kerja.

“Pergi sama Seungwoo, ke studio kerja dia.”

“Pagi banget?”

“Sarapan dulu, Ma. Mama ke toko? Kok pagi banget?”

“Iya, mau cek stock yang baru datang. Hati-hati perginya ya, Sayang,” Mama Seungyoun menyempatkan diri mengecup pipi Seungyoun dan pergi terlebih dahulu sambil membawa tempat minum berisi teh herbal.

Seungyoun memeriksa ponselnya memastikan apakah Seungwoo sudah berangkat atau belum, namun saat ponsel itu berdering Seungwoo memberitahu jika dirinya sudah di depan rumah. Dirinya pun langsung keluar dan melihat Seungwoo berdiri di depan pagar, “good morning!” Sapa Seungwoo.

Morning! Kok udah nyampai aja, jam berapa perginya?”

Seungwoo menyempatkan diri mengelus kepala Seungyoun, “pas aku bilang siap-siap tadi udah panasin mobil hehehe. Tadi aja papasan sama Mama kamu di jalan.”

“Lah iya? Kok bisa tau?”

“Kaca mobil Mama kamu 'kan bening, Sayang.” Mendengar kata sayang secara langsung dari Seungwoo, memunculkan semburat merah di pipi bulat Seungyoun, “eh kok merah? Malu, ya?” Seungwoo mencubit pelan pipi laki-laki di depannya.

“Menurut kamu aja! Permisi dulu dong ngomong gitu, aku kagetan nih!”

“Semalam kok nggak marah juga, ada apa nih? Udah terima dipanggil sayang?”

“Udah jam 8 lewat!” Seungyoun menahan senyumnya dan masuk ke dalam mobil Seungwoo terlebih dahulu, Seungwoo terkekeh geli tidak mau mengambil pusing. “Kita sarapan dimana, nih?” Tanya Seungyoun sesaat Seungwoo mulau menjalankan mobilnya.

“Mau di càfe studio aku, nggak? Studio aku ada càfenya gitu, mumpung baru direhab.”

“Boleh aja, biar enggak perlu repot-repot kita pergi lagi ke studio takutnya macet.”

Seungwoo tersenyum, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Seungyoun erat, “makasih ya,” ucap Seungwoo lembut.

“Untuk apa?”

“Mau aku ajakin ke studio.”

“Aku yang harusnya bilang makasih, Mas! Aku paling suka lihat photoshoot gini, cari tau hal-hal baru, jadi nambah pengalaman juga. Oh iya, tapi ini beneran gapapa kan, Mas?”

“Gapapa, emang kenapa?”

“Takut aja teman kamu merasa terganggu ada aku.”

“Enggak lah, Sayang. Aku yang ngajakin, toh juga kamu disana nggak ngapa-ngapain, 'kan? Maksudku nggak mungkin tiba-tiba kamu kayang, ya nggak?”

Seungyoun terbahak, ia memukul pundak Seungwoo kesal, “emang aku ngapain coba kayang, dikira kerasukan entar!”

“Nah yaudah santai aja!”

“Ini tangannya bisa lepas dulu, nggak?” Seungyoun mengangkat tangannya yang masih digenggam oleh Seungwoo.

“Tunggu keringatan, ya?” Seungwoo tersenyum jahil.

“Heh ngawur! Lepasin!” Seungyoun melepas paksa genggaman Seungwoo, tangannya sengaja ia lap secara kasar pada baju Seungwoo.

“Ih ngapain lap-lap di baju!?” Fokus Seungwoo menyetir sedikit terganggu.

“Biarin! Keringat kamu tuh!”

“Nih, keringat nih!” Seungwoo sengaja menempelkan telapak tangan lebarnya pada wajah Seungyoun.

“Mas ya ampun skin care aku mas!” Didorongnya tangan Seungwoo dan wajah manis Seungyoun pun merengut kesal.

“Utututu bayi kesal, hm?” Seungwoo mengelus pipi Seungyoun.

“Diem, nggak!?”

“Hahahaha iya ampun!”

“Kamu jam berapa fotonya?”

“Jam 10 ya paling agak telat dikit, soalnya menyesuaikan mood modelnya nanti.”

“Modelnya anak kecil itu? Emang brand apa, sih?”

“Ada baju anak-anak, memang dari dulu sama kita fotonya. Aku kurang tau model anak yang ini masih sama apa enggak, terakhir tu anaknya agak cengeng gitu, semoga aja yang ini pintar enggak banyak nangisnya.”

“Mungkin dia nangis takut lihat mukamu, Mas.”

“Ganteng gini loh? Kamu aja naksir,” Seungwoo menunjuk wajahnya dengan percaya diri.

“Siapa bilang? Huu percaya diri banget kamu!”

“Gapapa lah, percaya diri aja dulu, diterima belakangan.”

Seungyoun tertawa geli mendengar jawaban Seungwoo, tanpa terasa akhirnya mereka sampai di studio tempat kerja Seungwoo. Terlihat sebuah càfe yang tidak begitu besar namun nyaman, beberapa dessert pun tampak dari luar jendela saat Seungwoo memarkirkan mobil di depan càfe.

“Yuk turun!” Ajak Seungwoo kemudian turun lebih dulu, disusul oleh Seungyoun. “Kamu jangan jauh-jauh, nanti diculik sama anak studio,” Seungwoo menggenggam tangan Seungyou, bahkan sengaja mengepitnya di ketiak.

“Enggak mesti diketekin kali, Mas!” Seungyoun memukul punggung Seungwoo kesal.

“Wangi kok, tenang aja!” Seungwoo tertawa geli.

Selamat datang!” Sapa barista càfe, “eh bawa siapa Woo?” Tanya si barista sembari tersenyum kepada Seungyoun.

“Calon,” jawab Seungwoo gamblang sambil membaca menu yang ada pada dinding càfe.

Baik si barista maupun Seungyoun, keduanya saling bertatapan satu sama lain, wajah Seungyoun terlihat malu-malu, sedangkan barista muda itu tersenyum maklum.

“Hanse, gua pesan latte yang botolan itu aja, dingin ya. Kamu apa, Youn?” Seungwoo menatap laki-laki disampingnya, yang masih ia gandeng tangannya.

“Samain aja, by the way itu egg tart, 'kan?” Tanya Seungyoun kepada Hanse.

“Iya, baru saja selesai dibuat. Kakak mau?”

“Boleh, 2 buah ya!”

“Siap! Lu nggak sekalian, Woo?”

“Enggak, biar dia aja yang makan.”

“Kok gitu? Kamu juga makan, lah! Roti isinya sekalian ya!” Seungyoun menambah pesanannya, hal itu membuat Hanse terkekeh sedangkan Seungwoo pasrah saja.

Baru saja Seungwoo selesai membayar, tiba-tiba datang seseorang berdiri di samping Seungyoun dan merangkul Seungyoun layaknya teman lama, “eh siapa nih dibawa sama pak bos kita?” Seungyoun terperanjat dan reflek menjauh, masuk ke dalam pelukan Seungwoo.

“Bisa nggak sih nyapa orang tu normal sedikit? Ini orang baru, jangan main rangkul!” Seungwoo menjitak kepala orang yang sudah melepaskan rangkulannya pada Seungyoun.

“Aish! Iya maaf, ampun Woo! Siapa nih, Youn-Youn itu, ya?” Seungyoun mengangguk sambil tersenyum, “maaf ya bikin nggak nyaman hehe. Kenalin, gua Sejun!” Sejun mengulurkan tangannya.

Kemudian disambut dengan senang oleh Seungyoun, “oh ini Sejun yang waktu itu berisik pas gua telponan sama, Seungwoo? Kenalin gua Seungyoun!”

Tiga orang yang berada disana langsung terkejut dengan reaksi Seungyoun, hal itu membuat orang baru diantara ketiga orang tersebut pun kebingungan, “kenapa muka kalian pada kaget begitu, ada yang aneh? Eh maaf gua aneh ya, gua sok asik ya?” Seungyoun panik sendiri dan semakin menggenggam tangan Sejun, bahkan dengan kedua tangannya.

Terdengar suara tawa dari ketiga laki-laki disana, “gapapa Youn santai aja, kita maksudnya gua kaget kok lu bisa langsung enjoy aja gitu sama kita, soalnya-” Sejun berhenti berbicara saat melihat lirikan tajam Seungwoo.

Merasa ada yang aneh Seungyoun mengalihkan perhatiannya pada Seungwoo, “kenapa sinis gitu sama teman kerjanya? Enggak baik!” Seungyoun menyikut perut Seungwoo, “soalnya kenapa Sejun?”

“Ya-yah..., soalnya Seungwoo jarang bawa temen yang asik, seringnya temen yang boomer mirip doi!”

“Ngaca! Lu juga boomer ya!” Seungwoo tak terima dengan pendapat Sejun.

“Seungwoo pesanannya! Jangan lupa sarapan, Woo!” Tiba-tiba Hanse datang dan memberikan nampan berisi pesanan kepada Seungyoun.

“Sejun udah sarapan?” Tanya Seungyoun.

“Gua nggak sarapan, Youn. Mau beli kopi aja nih, sama siap-siap set photoshoot nanti,” jawab Sejun.

“Oh yaudah kalau gitu. Mau duduk mana, Mas?” Seungyoun menatap Seungwoo.

“Dekat jendela aja, disana,” Seungyoun pun jalan terlebih dahulu membiarkan Seungwoo berbicara dengan Sejun, “Sungwoon udah datang?” Tanyanya pada Sejun.

“Belum, Mas,” jawab Sejun sengaja menggoda kedua pasangan ini.

Seungyoun yang sadar dirinya di ejek oleh Sejun hanya tertawa, “jangan panggil Seungwoo mas, ya! Hanya gua yang boleh!” Canda Seungyoun.

“Dih! Posesif banget, nih! Iya iya siap laksanakan!” Sejun memberi hormat kepada Seungyoun, “udah sana lu sama Seungyoun, gua masuk dulu ya. Youn duluan!” Sejun mengambil sebotol kopinya dan pergi keluar càfe.

“Sejun bayar!” Teriak Hanse.

“Iye nanti!” Sejun tak peduli dan berlalu begitu saja.

Seungwoo pun menghampiri Seungyoun yang sudah duluan menyicipi kopinya, “enak?” Tanya Seungwoo saat duduk disampingnya.

“Enak! Egg tartnya juga enak, nih makan roti isi kamu,” Seungyoun membuka bungkus kertas roti isi milik Seungwoo, “aaaa-” Seungyoun mendekatkan roti itu pada mulut Seungwoo.

Melihat keadaan sekitar terlebih dahulu, dimana Hanse berusaha untuk pura-pura tidak melihat, Seungwoo pun akhirnya makan roti dari suapan Seungyoun, “enak?” Tanya Seungyoun.

“Hmm.., enak juga! Daging, telur sama selada ya?” Seungwoo melihat roti isi yang telah ia gigit.

“Iya kayaknya, coba juga ah!” Seungyoun ikut menggigit roti Seungwoo, hal itu membuat Seungwoo terkejut.

“Kok makan bekas aku? 'Kan ada yang baru tuh!”

“Memangnya kenapa? Sama aja, toh kamu enggak sakit atau ngidap virus apa-apa, 'kan?” Seungyoun berkata dengan santainya.

“Y-ya enggak sih..., wah-” Seungwoo menatap tak percaya laki-laki di sampingnya.

“Nih makan lagi,” Seungyoun menyuapi Seungwoo sekali lagi.

“Aku aja yang makan sendiri sini,” Seungwoo mengambil alih roti dari tangan Seungyoun, “kamu makan egg tart kamu aja, belum sarapan, 'kan?”

“Hu'um...,” Seungyoun mengangguk, kemudian mengambil egg tart miliknya yang baru dimakan setengah, “kalian semua yang ada disini emang dekat apa gimana, Mas?”

“Kalau kata Sejun ini studio nepotisme.”

“Hah kenapa? Emang kalian semua saudaraan gitu?”

“Hahaha ya enggak, maksudnya teman dekat semua kerja disini. 'Kan awalnya aku sama Sungwoon buka cuma untuk foto, terus ngajakin Sejun yang hobinya memang foto, ada masih sepupunya Sejun yang pernah kamu liat di photoshot Jamie, Subin itu biasa jadi asisten aku. Terus lama-lama ada beberapa yang minat kerja, jadi kita bagi tim. Terus datang temen lama kita Seungsik, nah dia buka càfe ini, jadi kita olah lagi lebih besar, sekalian kerja sama dengan Hongseok juga sih. Terus Hanse itu teman mainnya Sejun, emang barista sekalian aja kerja disini, jadi begitu.”

“Ah- pantasan Sejun bilang nepotisme hahaha. Ya ampun, Sejun tuh tipe yang asal ngomong aja, ya?”

“Iya, tapi anaknya baik kok. Kamu ngerasa kaget atau enggak nyaman sama sifat dia? Nanti aku kasi tau.”

“Enggak lah! Seru tau punya teman kayak Sejun tuh, tipe teman yang asik bercanda tapi kalau kita butuh dia paling depan bantu.”

“Benar, benar banget kamu! Sejun gitu, walau dia capek misalnya ada hal mendesak nggak terduga di tempat foto dia pasti langsung gerak cepat.”

“Susah tuh cari teman begitu,” ujar Seungyoun sesaat menyuapi egg tart terakhirnya.

“Seungyoun!?” Suara teriakan memanggil nama Seungyoun membuat empunya dan Seungwoo menoleh ke sumber suara.

“Eh bang Sungwoon! Baru datang?” Tanya Seungyoun kepada Sungwoon yang membeli kopi.

“Yoi!” Sungwoon menghampiri keduanya, “udah lama? Dari luar gua merhatiin kok kagak asing, ternyata benar Seungyoun,” Seungwoon mengacak gemas rambut Seungyoun, sesekali Sungwoon melirik sahabatnya yang tampak tak peduli. “Diem-diem aja lu, kenapa? Malu kepergok gua bawa adik Sungjoo?” Sungwoon mendorong kepala Seungwoo.

“Ngapain malu, ntar juga ketahuan gua bawa dia.”

“Kalau Seungwoo macam-macam sama lu lapor sama Abang ya, Youn?” Sungwoon menepuk pundak Seungyoun.

“Hahaha kenapa sih, sebelum kalian gua udah duluan yang pukulin dia kalau dia berani macam-macam, Bang!” Jawab Seungyoun santai, sedangkan Seungwoo menaikan sebelah alisnya, “kenapa liat kayak gitu, hm?” Tanya Seungyoun kepada Seungwoo.

“Gapapa, sok aja atuh kalau mau tonjokin, kuat nggak?”

“Kuat lah! Gini-gini aku pernah matahin hidung anak orang pas SMA ya!”

“Widih- galak banget, Woon kayaknya gua refund dia aja deh?” Ujar Seungwoo, sengaja menarik Sungwoon agar berdiri di depannya layaknya tameng.

“Dih cupu! Mending lu patahin hidung panjang dia, Youn!” Sungwoon melepaskan diri dari Seungwoo.

“Urusan gampang, mau dipatahin sekarang Mas?” Tanya Seungyoun.

“Ngawur! Udah ah, ke dalam yuk!”

Seungyoun dan Sungwoon tertawa geli kala Seungwoo menarik tangan Seungyoun untuk ikut dirinya ke dalam studio. “Disini ada 4 ruang studio foto, sama 2 ruang kerja, ada rest area juga buat main-main, santai sama anak-anak studio,” Seungwoo menjelaskan secara singkat tentang studionya sambil berjalan ke arah studio tiga.

“Memang sepi begini?”

“Anak-anak datang kalau ada tugas aja, kita jam kerja bebas sih mau kapan pun dan dimana pun, yang penting kerjaan selesai dengan baik.”

Seungyoun mengangguk paham, digenggamnya lengan Seungwoo saat mereka masuk ke dalam studio yang sudah ramai beberapa orang mempersiapkan berbagai macam hal. Seketika suasana studio hening saat melihat keduanya masuk, “kenapa, Mas? Kok pada liatin?” Bisik Seungyoun kepada Seungwoo.

“Gapapa, emang suka norak aja liat orang cakep ke studio.”

“Ih serius!” Lagi Seungyoun memukul pundak Seungwoo karena merasa malu. Sedangkan Seungwoo tertawa mendapati wajah malu Seungyoun.

“FOKUS! FOKUS! INI TOLONG LAMPUNYA DIGESER DONG!” Teriakan Sejun yang memenuhi seisi studio membuat seluruh perhatian teralihkan dan kembali bekerja seperti semula. “Woo udah siap! Youn, sini duduk sini gih,” Sejun menarik salah satu kursi dekat dengan meja yang sudah tersusun kamera untuk digunakan nanti.

“Yuk, santai aja,” Seungwoo merangkul Seungyoun ke tempat Sejun berada dan langsung mendudukan Seungyoun di kursi.

Studio yang tidak begitu besar didominasi warna putih itu terlihat nyaman, Seungyoun menelusuri setiap sudut studio, sesekali ia merasakan orang-orang disana memperhatikan dirinya namun itu tidak mengganggu Seungyoun.

Tak lama datang balita perempuan bersama Ibunya dan beberapa orang juga membawa baju, “itu modelnya, Mas?” Tanya Seungyoun antusias.

“Iya itu, gemes, 'kan?”

“Banget! Pipinya merah gitu, pengen pegang!” Seungyoun meremas ujung baju Seugwoo yang berdiri di sampingnya, sedang sibuk mengatur kameranya.

“Nanti kalau selesai foto boleh pegang,” ujar Seungwoo santai.

“Emang sekarang enggak boleh?”

“Jangan, nanti nangis dia takut lihat kamu.”

“Ini serius apa canda?” Seungyoun mengerjapkan matanya, namun Seungwoo tetap mempertahankan wajah seriusnya, “Mas! Aku tanya, loh?” Seungyoun menarik lagi baju Seungwoo.

“Hehehe canda sayang, gih sana kalau kamu enggak malu,” Seungyoun langsung berdiri dan berlari kecil menghampiri balita yang sedang bersiap itu.

“Halo! Kakak boleh disini, nggak?” Seungyoun berjongkok di dekat balita itu, si kecil yang melihat kedatangan Seungyoun terlihat malu-malu, “namanya siapa?” Tanya Seungyoun lembut.

“Ditanyain tuh, namanya siapa, Sayang?” Ujar sang Ibu yang sibuk menata rambut si kecil.

“Suji!” Jawabnya dengan aksen khas anak kecil.

“Halo, Suji! Suji cantik banget, bajunya juga cantik, Suji suka warna pink, ya? Tanya Seungyoun sambil mengelus tangan kecil Suji.

“Suka! Suji cantik, Kak?”

“Iya, cantik, cantik sekali. Suji mau di foto, ya?”

“Hu'um! Foto-foto, Suji suka foto!” Suji kecil meloncat kecil dan merentangkan tangannya.

“Yeay! Nanti fotonya mesti senyum, ya? Biar makin cantik! Nih Kakak ada permen, Suji mau?” Seungyoun merapikan letak pita yang dijepit pada rambut Suji dan memberikan Suji permen.

Tangan mungil itu malu-malu mengambil permen dari Seungyoun, “terima kasih!” Ujarnya girang.

“Sama-sama, Sayang...,” Seungyoun mengelus pipi balita di depannya.

Semua yang berada di studio tersenyum melihat interaksi Seungyoun dan model cilik itu, tak terkecuali Seungwoo. Bahkan Seungwoo diam berdiri sambil memeluk kameranya, dirinya tersenyum-senyum sendirian.

“Woi Woo mulai!!” Sejun menepuk keras pundak Seungwoo membuat empunya terperanjat.

“Hah? Udah siap?” Tanya Seungwoo.

“Udah tuh, liat! Makanya fokus!”

Seungwoo mencari keberadaan Seungyoun, ternyata laki-laki manis itu berdiri di tepi studio dengan Subin dan masih berinteraksi dengan Suji yang sudah berdiri di bawah lampu pencahayaan.

“Fokus, Woo!” Tegur Sungwoon dari depan pintu studio, dirinya sendiri mendapat tugas di studio lain.

“Ya ayo mulai!” Seungwoo pun memulai pekerjaannya dengan baik, tak ada kendala karena Suji pun sangat pintar tidak seperti kebanyakan anak yang sebelumnya akan rewel jika di depan kamera.

Disisi lain Seungyoun juga ikut turut serta membantu agar Suji tertawa dan tersenyum, hal itu membuat Subin terkekeh, “senang banget ya Kak sama anak kecil?”

“Hehehe iya! Kamu Subin, ya?”

“Iya, Kakak ini yang waktu itu kasi kopi, 'kan?”

“Iya benar! Syukurlah masih ingat.”

“Nama Kakak siapa? Ada hubungan apa sama bang Seungwoo?”

“Panggil aja Seungyoun, hubungannya kita teman aja hehehe.”

“Oh teman..., bang Seungwoo nggak pernah bawa teman sih ke studio, tapi oke lah anggap aja teman ya, Kak?”

Keduanya terkekeh geli, Subin mengarahkan pencahayaan sesuai dengan arahan Seungwoo, melihat arah cahaya yang tidak sesuai membuat diri Seungyoun tergerak untuk memperbaiki itu, dirinya juga menyempatkan diri untuk mengambil foto Suji melalui ponselnya.

“Eh makasih Kak, hehe. Suka foto juga, Kak?” Tanya Subin.

“Lumayan, dulu pernah ikut kegiatan foto gini, tapi namanya cuma hobi doang jadi ya gitu-gitu aja, sih.”

Sesi pemotretan pertama selesai, Suji berganti baju lagi dengan model lain dan warna yang sama, kemudian lanjut lagi sesi pemotretan tersebut.

“Biasanya kalau begini berapa lama, Bin?” Tanya Seungyoun.

“Tergantung mood modelnya, kalau moodnya bagus ya cepat soalnya fotoin anak kecil harus take banyak.”

“Iya sih, pernah tuh aku fotoin anak teman susah banget gerak sana sini.”

“Makanya kalau fotoin anak kecil selalu dapatnya bang Seungwoo, soalnya dia paling penyabar disini, Kak.”

Bagaikan mendapat infromasi baru Seungyoun tersenyum tipis, “Seungwoo gimana orangnya?”

“Baik, kerja sama dia harus teratur dan cepat, walaupun sebenarnya bang Seungwoo enggak suka sama orang yang terlalu banyak tingkah dan cerewet di fotoin, tapi dia selalu bisa sabar sih.”

Subin turunin dikit!,” teriak Seungwoo kepada Subin.

Subin langsung menurunkan lampu yang ia pegang, “udah?” Tanyanya dan Seungwoo mengacungkan jempol. “Nah bang Seungwoo tuh Kak bakal serius dan tegas kalau kerja, tapi habis itu asik kok!”

“Oh gitu...,” gumam Seungyoun pelan.

Done! Next!

Seluruh orang langsung merubah set studio saat Seungwoo berteriak '_next' yang berarti berubah ke sesi pemotretan selanjutnya. “Aku duduk dulu ya, Bin,” Seungyoun menepuk pundak Subin dan kembali duduk di kursinya tadi.

“Ngomong apa aja sama Subin?”

“Banyak, yang pasti ngomongin kamu sih.”

“Oh Subin nggak bakal ngomong jelek-jelek sih,” Seungwoo mengarahkan kamera kepada Seungyoun.

“Mau ngapain!?” Tanya Seungyoun panik.

“Fotoin kamu lah, senyum dulu mana senyum manisnya, Sayang?”

Seungyoun menendang malu-malu kaki Seungwoo dan tetap menuruti perkataan laki-laki yang lebih tua, ia tersenyum cerah dihadapan kamera dan langsung saja kamera itu menangkap gambarnya.

“Manis...,” ujar Seungwoo melihat hasil fotonya.

“Memang aku manis!”

Seungwoo mengelus pipi Seungyoun, kemudian mengacak gemas rambutnya. Keduanya tidak peduli ditatap atau mendengar bisik-bisik bertanya dari orang di studio, mereka hanya fokus pada satu sama lain.

“Senang, nggak?” Tanya Seungwoo.

“Senang, lah! Nambah teman, nambah pengalaman, oh satu lagi nambah tempat nongkrong! Aku nanti mau ke càfe studio sambil nungguin kamu kerja.”

“Boleh tuh, biar aku habis kerja langsung lihat kamu, 'kan jadi segar.”

Kedua laki-laki itu terkekeh, Seungyoun melihat Suji sudah siap dengan bajunya yang lain, kali ini si kecil menggenakan topi kuning, “lucunya! Suji sini, Sayang!” Seungyoun merentangkan dan mengoyangkan kakinya seperti anak kecil.

Balita itu terlihat malu-malu dan bersembunyi di dekat cermin yang sudah di atur untuk pemotretan, “eh kok ngumpet? Suji mana ya!?” Seungyoun pura-pura mencari Suji, ia juga mengeluarkan ponselnya untuk mengambil foto Suji lagi, “eh Suji disini!” Balita itu tertawa geli, menyangka diajak main oleh Seungyoun.

“Kyaaa!!” Teriak si kecil.

“Kayaknya dia suka sama kamu,” Seungwoo menepuk kepala Seungyoun.

“Masa sih?”

“Iya, makasih loh udah dibikin ketawa. Hasil fotonya bagus-bagus, coba kamu liat sini,” Seungwoo menunjukan hasil foto yang ada di kameranya.

“Mas aku mau! Boleh, ya?” Seungyoun menatap Seungwoo penuh harap.

“Bayar, ya?”

“Pakai apa?”

“Peluuk~!” Seungwoo sengaja memajukan bibirnya dan mendapat pukulan dari Seungyoun.

“Peluk tuh!”

“Sakit, Yang!”

“Mas! Shuut!” Seungyoun melebarkan matanya dan meletakan telunjuk dibibirnya menyuruh Seungwoo mengecilkan suaranya.

“Kenapa? Biar aja semuanya dengar, memang sayang aku kok?”

Seungyoun menutup telinganya, “enggak dengar!” Seungwoo terkekeh, ia pun memulai kembali pekerjaannya.

Tak terasa akhirnya pemotretan pun selesai, Seungyoun menghampiri Suji yang sudah siap untuk pulang, “hati-hati di jalan ya, Sayang! Hari ini Suji hebat!” Seungyoun mengacungkan jempolnya bangga, “tos dulu?” Didekatkannya telapak tangan lebar miliknya kepada Suji dan disambut dengan senang oleh Suji.

“Dadah~!” Suji melambaikan tangannya kepada Seungyoun.

“Dah~!” Dibalas senang oleh Seungyoun.

“Terima kasih semuanya!” Suara Seungwoo memenuhi ruang studio.

“Terima kasih!” Jawab yang lainnya.

Seungyoun yang melihat hal itu tersenyum lebar dan mendekat kepada Seungwoo, kemudian secara tiba-tiba memeluk singkat laki-laki lebih tua darinya yang baru saja membereskan kameranya.

“Eh- kok?” Seungwoo terkejut dengan aksi Seungyoun, begitu pula orang-orang yang ada di studio.

“Tadi katanya mau peluk, 'kan? Selamat ya sudah menyelesaikan pekerjaan hari ini!” Senyuman Seungyoun membuat Seungwoo ikut tersenyum juga, tangan panjang itu terulur mengelus kepala Seungyoun.

“Makasih untuk hari ini, makasih sudah akrab sama anak-anak lain. Semoga kamu enggak kapok, ya?”

“Engga kok, aku senang bisa kenal Subin, kenal Sejun. Iya kan, Jun!? Kita teman, 'kan!?” Sejun yang diteriaki oleh Seungyoun langsung mengangkat jempolnya tinggi-tinggi.

“Syukurlah..., makan siang dulu yuk sama anak-anak, habis ini aku masih ada job lagi, masih sanggup nunggu?”

“Masih, Mas. Yuk makan!”

Senyuman Seungwoo tak luntur sedikit pun, sudah sangat lama Seungwoo menunggu hal seperti ini terjadi di dalam hidupnya. Ia sadar, semenjak mengenal Seungyoun hidupnya terasa menjadi lebih baik dan bahagia.


Natal tahun ini terasa berbeda dan lebih spesial dari tahun sebelumnya, biasanya Hongseok merayakan natal bersama keluarga besar dan suaminya -Hyunggu-, namun kali ini ada anggota baru yang hadir di tengah keluarga kecil mereka.

Eden namanya, bayi laki-laki yang baru memasuki usia 18 bulan ini bagaikan anugerah yang hadir di keluarga mereka. Si kecil Eden sedari merangkak sudah Hongseok dan Hyunggu adopsi, bayi kecil malang ini di temukan oleh pengasuh yayasan milik ibu Hongseok di tepi jalan dalam sebuah kotak saat kulit si bayi bahkan masih berwarna merah. Di duga Eden dibuang oleh orang tua aslinya, sehingga Hongseok dan Hyunggu yang sudah lama menikah dan menginginkan momongan pun langsung segera menyanggupi untuk merawat Eden.

Baik Hongseok maupun Hyunggu keduanya belum pernah merawat bayi sama sekali, namun karena kecintaan Hyunggu terhadap anak kecil membuat naluri Ayahnya keluar secara alami, begitu juga dengan Hongseok yang selalu mendukung dan membantu Hyunggu merawat Eden. Keluarga besar pun turut ikut serta merawat Eden, sehingga tak heran 1 tahun terakhir ini Eden menjadi idola di keluarga besar Hongseok dan Hyunggu.

Perayaan Natal akan berlangsung dalam 4 hari lagi, rencananya Hongseok dan Hyunggu ingin membeli perlengkapan untuk menghias pohon natal, tak lupa beberapa bahan makanan dan tentu saja susu si kecil untuk persediaan akhir bulan, sebelum toko tutup saat hari Natal nanti.

Pukul 6.45 Hyunggu sudah mendengar suara rengekan dari sang buah hati, dirinya pun bangun dan memeriksa kasur khusus bayi yang sengaja di letakan dalam kamar dirinya dan Hongseok.

“Jagoan Pipi sudah bangun, hm?” Hyunggu tersenyum lembut sembari mengelus pipi si kecil.

“Num! Mik!” Tangan kecil Eden terulur berusaha ingin menggapai Papinya.

“Mau mimik? Mik susu?”

“Mik! Ndong!”

Mengerti maksud sang anak, Hyunggu pun mengendong Eden dan mendekap si kecil didadanya, merasa hangat bayi dengan kulit putih dan mata bulat bagaikan boneka itu mengusak wajahnya pada dada Hyunggu.

“Sama Didi dulu, ya? Pipi mau buatin susu buat Eden. Eden bangunin Didi biar ada temannya, ayo!” Hyunggu berjalan ke arah kasur di mana ada Hongseok yang masih tidur dengan lelap, dengan sengaja Hyunggu membaringkan Eden di samping Hongseok agar anaknya mengganggu tidur Ayah muda itu.

Tangan mungil Eden menepuk-nepuk pipi Hongseok, “Di! Didi! Ngun!” Ucapnya dengan celoteh khas anak bayi, Hyunggu terkekeh geli melihat Hongseok yang tidurnya mulai terusik. Dirinya pun memilih untuk membuat susu, membiarkan anaknya bersikeras membangunkan Hongseok, “Didi! Pi, Di ngun?” Tanya Eden kepada Hyunggu.

“Iya bangun, Didi bangun Didi...,” ucap Hyunggu lembut.

“Didi!” Eden mencubit dagu Hongseok, akhirnya yang dibangunkan pun membuka matanya. Hal pertama yang Hongseok lihat adalah mata bulat berbinar dari Eden yang menyambutnya, “Didi!” Ucap si bayi riang.

Hongseok tersenyum geli, dielusnya kepala Eden dan dikecupnya dahi sang anak, “siapa ini yang bangunin Didi, hm? Eden, ya?” Hongseok mengelus pipi berisi Eden.

“Mik!” Ucap Eden.

“Mimik? Minta sama Pipi, Pipi mimik Eden mana, ya?”

“Disini sayang...,” Hyunggu datang sambil membawa sebotol susu yang siap Eden minum, diberikannya kepada Eden dan langsung diminum dengan lahap oleh si kecil.

Kedua orang tua itu pun menatap dengan lembut anak mereka, “nyenyak tidurnya? Masih sakit nggak tengkuknya?” Hyunggu mengelus kepala Hongseok.

“Hmm, udah be better dari semalam sih.”

Pekerjaan Hongseok sebagai seorang desain grafis membuatnya harus menatap laptop dalam waktu yang lama, tak heran jika Hongseok selalu mengeluh tengkuk hingga punggungnya sakit karena terlalu banyak duduk.

“Nanti habis mandi kasi salep lagi biar cepat sembuh.”

“Iya sayang, cium dulu dong!” Hongseok menarik tangan Hyunggu agar semakin mendekat.

Hyunggu pun menunduk, namun dirinya sengaja menggoda Hongseok dengan mengecup kepala Eden terlebih dahulu, membuat dahi Hyunggu menempel pada bibir Hongseok, “udah 'kan ciumnya?” Tanya Hyunggu jahil.

“Curang dih! Bukan gitu, benar-benar dong ciumnya, Sayang...,” Hongseok mulai merengek manja.

Merasa gemas Hyunggu mencubit pipi Hongseok, ia menunduk lagi untuk mengecup bibir Hongseok, “good morning, honey.”

Good morning, baby. Pagi ini jadi belanjanya?”

“Jadi, makanya ini aku mau siap-siapin dulu barang Eden, sama air untuk dia mandi. Tolong liatin Eden dulu ya, Sayang.”

“Iya ..., sudah sana siapin dulu.”

Suami manis Hongseok itu pun berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di dalam kamar, dirinya menyiapkan air hangat dan beberapa mainan serta perlengkapan mandi untuk Eden. Sedangkan Hongseok yang masih setia dengan posisi tidurnya, memeluk Eden dari samping dan menatap sang anak yang baru saja menghabiskan susu paginya.

“Wah- habis, Eden pintar. Anak siapa, hm?” Hongseok mengambil botol kosong dan meletakan di atas nakas.

“Didi!” Jawah Eden riang.

Sayang, tolong bukain baju Eden! Airnya sudah siap nih!” Teriakan Hyunggu dari dalam kamar mandi membuat Hongseok langsung duduk di atas kasur dan mengendong Eden untuk duduk di atas pangkuannya.

“Buka baju dulu, kita mandi nanti mau brum. Eden mau brum, nggak?”

“Brum! Brum!”

“Iya nanti brum, kita jalan-jalan, beli susu Eden, ya?” Hongseok mengecup pipi Eden saat dirinya sudah berhasil membuka baju sang anak.

“Ndi! Didi ndi!”

“Ayo mandi, sama Pipi ya...,” Hongseok mengangkat badan Eden agar berdiri, membuka celana serta popok yang sudah penuh, “ayo susul Pipi,” Hongseok mengendong Eden menuju kamar mandi.

“Mandi ya sayang, nih ada bebek sama ikannya sudah nunggu!”

Hongseok menurunkan Eden dan langsung dipeluk oleh Hyunggu, dikecupnya gemas pipi Eden, “hmm bau acem! Edennya Pipi acem!”

“Ndi! Pipi ndi!”

“Hahaha iya iya, mandi, ayo masuk ke dalam baknya,” Hyunggu mengendong Eden untuk membantu si kecil masuk ke dalam bak mandi khusus bayi dengan ukuran besar.

“Mau aku bantu siapin baju Eden, nggak?” Tanya Hongseok.

“Boleh, terserah kamu aja mau baju yang mana buat dia jalan asal jangan bahan panas ya.”

Hongseok mengangguk mengerti, ia membuka lemari khusus pakaian Eden dan melihat-lihat baju yang ingin ia pakaikan kepada sang anak, “agak mendung ya, jadi pakai warna biru aja deh,” Hongseok mengeluarkan setelan baju kaos serta celana berwarna biru dengan gambar Captain America, tak lupa sepatu dengan warna yang senada dan topi berwarna merah.

Setelah itu Hongseok mengambil baju kotor Eden, memasukannya ke dalam keranjang kotor dan membuang popok anaknya. Dirinya juga membereskan kasur agar Hyunggu tidak begitu banyak bekerja, terkadang Hongseok merasa tak tega membiarkan suaminya melakukan semua pekerjaannya sendiri, pekerjannya sebagai pelatih tari di salah satu agensi membuatnya harus mengatur jadwal dengan baik.

“Sayang, mau sekalian aku buatin sarapan nggak?” Tanya Hongseok dari depan pintu kamar mandi dimana dapat ia lihat Eden masih asik bermain dengan bebek dan ikan karetnya.

“Boleh kalau enggak repotin kamu, roti isi aja, bahan-bahannya masih ada di dalam kulkas.”

“Oke! Eden, udahan mainnya nanti masuk angin kamu, Nak.”

“Tan! Itan! Didi!”

“Iya ikan, bebeknya mana?” Tanya Hongseok, si kecil Eden mengangkat bebek karetnya, “pintarnya anak Didi, udahan mandinya yuk!”

“Dah, Pi!” Eden menuruti perkataan Hongseok dan meminta Hyunggu untuk menyudahi acara mandinya.

“Aku ke dapur dulu, Sayang.” Hongseok pergi untuk membuat sarapan.

“Iya...,” jawab Hyunggu yang sedang sibuk mengendong Eden dengan balutan handuk, dibawanya sang anak ke dalam kamar dan langsung dibaringkan ke atas kasur dimana sudah ada baju, popok serta perlengkapan bayi lainnya, “hari ini jadi Captain America lagi ya kamu nak, Didi kamu nih selalu aja kasi baju Avenger ke kamu,” Hyunggu mengelap badan Eden dan menggosokan minyak telon ke perut anaknya, kemudian memakaikan popok.

“Pi baba!”

“Hm, baba? Nanti babanya pakai baju dulu.”

“Baba!”

“Iya baba, pakai baju dulu baru baba, ya?” Hyunggu mendudukan Eden memakaikan anaknya baju dan celana.

“Pi, Di na?”

“Didi di dapur sayang, kenapa cari Didi mau brum ya?”

“Brum! Didi brum!”

“Iya nanti kita brum, jalan sama Didi ya, Sayang?” Terakhir Hyunggu memberikan minyak rambut kepada rambut tebal Eden, memakaikan kaos kaki dan sepatu, “sudah siap! Gantengnya anak Pipi, yuk samperin Didi?”

“Didi!” Eden menggenggam tangan Hyunggu dan meloncat dari kasur Papinya, kaki mungil itu berlari keluar kamar menuju dapur dimana Hongseok baru selesai membuat kopi.

“Sayang Eden ke dapur!” Hyunggu memberitahu sambil melihat Eden dari depan pintu kamar.

Buru-buru Hongseok meletakan teko berisi kopi panas ke atas meja makan dan menangkap anaknya yang sudah wangi khas bayi dan siap untuk pergi, “hei jagoan! Mau mam roti, nggak?” Hongseok memberikan potongan kecil roti bakar kepada Eden.

Tangan kecil itu mengambil potongan roti bakar dari Daddynya, “mam!” Ujarnya sambil meloncat kecil dan memasukan roti itu ke dalam mulutnya.

“Enak?”

“Nyak!”

“Mau lagi?”

“Gi!” Eden mengulurkan tangannya meminta roti lagi.

Hongseok pun mengendong Eden dan mendudukkannya pada kursi khusus bayi, diberikannya sepiring roti bakar yang telay diolesi selai cokelat, “pelan-pelan makannya,” dikalungkan celemek bergambar buah peach pada Eden agar baju sang anak tidak kotor.

“Sayang, kamu mau mandi dulu, kah?” Tanya Hongseok dari dapur, samar terdengar suara Hyunggu mengatakan 'iya'.

Sambil menunggu suaminya mandi, Hongseok duduk di samping Eden, menikmati roti bakar buatannya yang diisi telur orak-arik dan salad dari beberapa sayuran.

“Di aaa!” Eden menyuapkan sepotong roti pada Hongseok.

“Aaaum! Enak, Eden suka?” Tanya Hongseok setelah memakan sesuap roti dari anaknya.

“Ka!”

“Habisin ya, Sayang,” Hongseok bantu memotong roti bakar milik Eden menjadi potongan kecil.

Beberapa menit kemudian Hyunggu sudah siap dengan sweater berwarna putih dan bannie head dengan warna senada, sambil membawa tas perlengkapan Eden, “Eden makan apa tuh?” Tanya Hyunggu saat duduk di sisi lain anaknya.

“Ti! Ti Didi!”

“Roti buatan Didi? Enak nggak?”

“Nak!”

Hyunggu mengecup berkali-kali pipi Eden yang sedikit berlepotan selai cokelat, “mandi gih sana, kamu sudah selesai sarapan?” Tanya Hyunggu pada suaminya.

“Sudah nih, aku nungguin kamu aja buat jagain dia, aku mandi dulu ya,” Hongseok beranjak dari duduknya, ia pun menyempatkan diri untuk mengecup kepala Hyunggu sebelum pergi ke kamar.

Akhirnya semua pun sudah siap, Hyunggu yang baru selesai sarapan menurunkan Eden agar bebas berlari untuk menghampiri Hongseok yang sedang membereskan tas serta gendongan untuk Eden, namun Eden malah memilih mengikuti Hyunggu layaknya ekor, dan memeluk kaki Hyunggu yang sedang mencuci piring.

“Sana sama Didi, Pipi lagi nyuci sayang....”

“Ndong Pipi! Pii!!”

“Iya iya sabar, Pipi cuci piring dulu, ya?”

“Ndong!! Pipi!!”

“Huhuhu Sayang bantu aku gendong Eden!” Hyunggu memelas ke arah suaminya yang sudah tersenyum geli melihat tingkah Eden.

“Ed! Ayo brum sama Didi!”

Mendengar kata brum Eden menoleh ke belakang, ia pun bergegas berlari ke arah Hongseok dengan suara sepatu yang memenuhi seisi rumah.

“Brum! Didi brum!” Eden meloncat kecil kode minta di gendong, Hongseok langsung mengendong Eden dengan satu tangannya dan tangan lainnya membawa barang Eden.

“Sayang aku langsung ke mobil, barang Eden sudah aku bawa. Jangan lupa barang-barang kamu, oh iya sekalian ponsel aku di kamar tadi lupa bawa hehehe.”

Hyunggu hanya dapat menggelengkan kepalanya sehabis mencuci piring, “dia yang ingatin, dia aja lupa bawa barangnya,” Hyunggu pun masuk ke dalam kamar, mengambil ponsel Hongseok, dan beberapa barangnya ia masukan ke dalam sling bag berwarna cokelat dengan gantungan bunga daisy miliknya.

Setelah memastikan semua rumah aman dan terkunci, Hyunggu masuk ke dalam mobil dimana Eden sudah duduk dengan manis di kursi belakang dengan bantuan kursi bayinya, “sayangnya Pipi mau brum, ya?” Tanyanya lembut.

“Bruum!!” Teriak Eden mengangkat tangannya.

“Sudah semua, Sayang?” Tanya Hongseok sembari membantu memasangkan sabuk pengaman Hyunggu.

“Sudah, eh kamu kok tumben pakai sweater hitam ini?”

“Gapapa, biar couple sama kamu hehehe.”

Pipi Hyunggu tersipu dan memukul pelan lengan Hongseok, “bisa-bisanya ngomong gitu padahal anak udah segede itu!”

“Loh gapapa, dong? Emangnya anak menjadi pembatas untuk kita bisa begini, enggak 'kan? Kamu aja tampilannya masih keliatan kayak anak muda, coba kalau kamu bilang masih mahasiswa semester akhir pasti orang percaya.”

“Ya iya sih, enggak salah juga. Ayo cepet pergi kasian Eden nungguin!”

Mobil pun berjalan meninggalkan perkarangan rumah dan langsung menuju pusat perbelanjaan dengan kecepatan sedang, sepanjang perjalanan suasana jalan lumayan sepi, cuaca pun sedikit mendung, namun hal itu tak membuat antusias keluarga kecil Hong surut, mereka bahkan bernyanyi lagu anak-anak dan lagu natal sepanjang perjalanan.

Sama halnya seperti di jalan, sesampainya di pusat perbelanjaan pun terlihat agak sepi tidak seramai minggu lalu yang penuh manusia membeli persiapan natal.

“Sepi nak, bebas kamu lari aja disini asal jangan hilang,” ujar Hongseok sesaat mengendong Eden keluar dari mobil.

Hyunggu yang mendengar perkataan suaminya ingin sekali rasanya mencubit ayah muda itu, “ngomongnya itu loh bisa nggak sih mikir?” Tanya Hyunggu kepada suaminya.

“Kenapa lagi, benar loh aku ngomong?”

“Iya iya benar, Eden mau gendong apa jalan?” Tanya Hyunggu kepada Eden.

“Lan! Da tuh da!” Eden menunjuk kepada maskot rusa di pintu masuk pusat perbelanjaan, nyaris saja Eden berlari, namun Hyunggu sudah lebih cekatan menangkap tangan si kecil.

“Itu rusa sayang, rusa!”

“Sa! Pi nak Pi!” Eden menarik tangan Hyunggu untuk menghampiri maskot yang menyapa orang datang.

“Sayang tolong tas Eden,” Hyunggu memberikan tas perlengkapan Eden kepada Hongseok dan berjalan cepat mengikuti anaknya berlari menghampiri maskot rusa itu.

Eden kecil meloncat-loncat girang sambil bertepuk tangan saat maskot itu melambaikan tangan padanya, “Pi sa! Aaaa!” Teriak kencang si kecil menarik perhatian orang-orang yang lewat, hal itu sontak membuat Hyunggu terkejut dan tertawa geli.

Hongseok yang melihat hal itu dari jauh ikut tertawa, dirinya berlari menyusul suami dan anaknya agar tidak ketinggalan sesuatu, “senang ya, dadah dulu sama rusanya,” Hongseok melambaikan tangannya.

“Dadah! Dah!” Eden melambaikan tangannya.

“Foto mau foto?” Tanya Hyunggu dan Eden melepaskan tangannya untuk berjalan mendekat pada maskot rusa itu.

Melihat anaknya sudah di dalam pelukan maskot rusa yang berjongkok menyamakan tingginya dengan sang anak, Hyunggu buru-buru mengeluarkan ponselnya untuk mengambil foto Eden.

“Eden! Sayang lihat kesini sayang!” Hongseok menepuk tangannya agar menarik perhatian Eden.

Saat Eden menatap kamera, Hyunggu langsung cepat mengambil banyak foto, beberapa foto candid pun tak ketinggalan.

“Sudah, yuk masuk, mau pisang nggak?” Tanya Hyunggu.

“Sang? Mam sang!” Eden berlari menghampiri Hyunggu.

“Dadah sama rusanya dulu?” Ujar Hongseok.

“Dadah! Dah!” Eden melambaikan lagi tangan kecilnya dan berlari masuk ke dalam pusat perbelanjaan terlebih dahulu karena Hyunggu lengah.

“Astaga nak! Tunggu Pipi!” Hyunggu berlari mengejar Eden dan menangkap tangan anaknya agar dalam genggaman.

“Pi sana! Pi!” Ujar Eden polos seakan tidak ada yang terjadi.

“Iya sayang, sabar tunggu Didi dulu tuh kamu sama Didi, ya?”

Hongseok langsung datang dan mengendong Eden, “jangan lari-lari nak, kamu hilang yang marah malah Eyang kamu!” Jari panjang Hongseok sengaja menggelitik perut Eden, membuat bayi gemas itu tertawa. “Kita mau ke arah mana dulu?” Tanya Hongseok kepada Hyunggu yang baru mengambil troli belanja.

“Ke sayuran aja dulu, Eden mau masuk sini?” Hyunggu membuka tempat khusus meletakan anak di dalam troli.

“Memangnya sudah bisa?” Tanya Hongseok ragu, namun Hyunggu langsung mematahkan rasa ragu Hongseok saat melihat sang anak duduk dengan nyaman di tempat itu.

“Pintar-pintar sama Didi ya, Sayang...,” Hyunggu mengecup kepala Eden dan berjalan duluan, disusul oleh Hongseok yang mendorong troli sambil sesekali bermain dengan Eden.

“Di tu pa?” Tanya Eden melihat Hyunggu sibuk memilih berbagai macam sayur.

“Brokoli!”

“Oli?”

“Bro- koli!”

“Oyi!”

Hyunggu terkekeh mendengar interaksi ayah dan anak yang sibuk belajar kata-kata baru, “ini apa sayang?” Tanya Hyunggu saat memegang pisang.

“Isang!” Jawab Eden sedikit berteriak.

“Pintarnya!” Hyunggu mengecup pipi Eden.

Perjalanan keluarga Hong berberlanja masih berlanjut, kali ini mereka menuju tempat perlengkapan natal. Hongseok melihat-lihat pohon natal yang cocok untuk di rumah, “pohonnya yang kecil aja ya, Yang?” Tanya Hongseok saat melihat pohon natal terletak di atas salah satu rak.

“Iya, yang bisa diletakin di atas meja aja, kalau yang besar nih ntar si kecil malah ngerecoki.”

Hongseok pun mengambil pohon yang ia lihat dan dimasukan ke dalam troli, Eden terlihat penasaran dengan pohon berwarna hijau itu, “tu pa?” Tanyanya pada Hongseok.

“Pohon natal!”

“Pon tal?”

“Iya, pohon natal sayang.”

“Sayang lihat deh, lucu 'kan kalau Eden pakai? Nak coba pakai,” Hyunggu memakaikan jubah kecil berwarna merah dengan tanduk rusa berwarna hijau kepada Eden. Si kecil terlihat bingung namun tetap diam saat jubah itu terlihat pas di kepalanya, “nah 'kan lucu! Ambil ya buat Eden?” Hyunggu meminta izin pada suaminya.

“Iya ambil aja.”

Selain pohon natal, tentu saja Hyunggu dan Hongseok mengambil hal lain untuk menghiasi pohon natalnya, Hongseok mengernyit saat Hyunggu mengambil sebungkus jepitan kayu, “untuk apa?” Tanyanya.

“Buat gantung foto-foto kita, aku kepikiran nanti di rumah kita foto pakai polaroid sama cetak foto Eden yang tadi pakai instax, gimana?”

“Sekalian aja kita gambar terus potong bentuk-bentuk lucu,” saran Hongseok dan Hyunggu mengangguk, ia pun mengambil kertas origami lumayan tebal. “Sudah semua?” Tanya Hongseok.

“Sudah! Eden, mau mimik nggak?” Tanya Hyunggu saat melihat Eden mengecap-ngecap bibirnya.

“Mau! Mik!” Mendengar jawaban si kecil Hyunggu pun memberikan botol susunya kepada Eden.

Mereka pun menuju ke kasir untuk membayar semua barang, saat di kasir Eden mendapatkan hadiah balon dari tempat mereka belanja, spesial untuk hari natal. Eden langsung memberikan botol susunya yang masih tersisa setengah kepada Hyunggu dan mengambil balon dari penjaga kasir.

“Selamat Natal!” Ujar penjaga kasir.

“Pi lon! Didi lon!” Eden memberitahu kedua Ayahnya dengan senang.

“Iya balon, ada rusanya, ya?” Hyunggu mengelus kepala Eden dan si kecil mengangguk.

Hongseok berjalan duluan untuk memasukan barang ke dalam mobil, sedangkan Hyunggu sudah meletakan Eden diposisi semula. Setelah di rasa semua sudah selesai mereka kembali ke rumah untuk mulai menghias pohon natal.

🎄

Sesampainya di rumah, si kecil Eden ternyata tertidur pulas sepanjang perjalanan dengan tangannya yang masih setia menggenggam botol susu.

“Lucunya, kadang kamu pernah kepikiran nggak sih kita udah sebesar ini ngerawat dia?” Hyunggu menatap Eden, kemudian beralih menatap suaminya.

“Rasanya baru kemarin dia ngerangkak, nangis nggak mau sama aku tau-tau sudah sebesar ini aja, jujur nggak nyangka sih.”

“Semoga besarnya jadi anak baik, anak pintar ya.”

“Pasti dong, orang tuanya aja baik dan pintar masa anaknya enggak?”

“Yeu mulai deh!” Hyunggu mencubit lengan Hongseok dan turun dari mobil menuju ke pintu belakang untuk mengendong Eden yang tidak terusik sedikit pun tidurnya.

Hyunggu meletakan Eden di kasur kecil yang memang terletak di ruang tengah, dilepaskannya topi dan sepatu Eden, kemudian membiarkan si kecil tidur dengan pulas di sana.

“Sayang, tolong kantong belanjaannya dong!” Hongseok tampak kesusahan masuk dengan membawa pohon natal dan belanjaan.

Hyunggu berlari kecil menyusul suaminya, mengambil kantong belanjaannya dan membawa semua barang itu ke dapur. “Pohonnya letakin meja aja, pelan-pelan nanti Eden bangun,” ujar Hyunggu setelah selesai meletakan barang di dapur. Hongseok meletakan pohon natal dan beberapa hiasan yang mereka beli.

“Jadi, kita mulai darimana?” Tanya Hongseok.

“Langsung nih, enggak ganti baju dulu?” Tanya Hyunggu.

“Engga lah! Langsung aja, 'kan tadi katanya mau foto biar sekalian aja kita couplean gini, ya 'kan?”

“Dih dasar, narsis banget sih!?”

“Suami siapa?” Hongseok menaik turunkan alisnya usil.

Hyunggu mendengus geli, ia masuk ke kamar terlebih dahulu untuk mengambil kamera polaroid miliknya hadiah dari Hongseok saat masih pacaran dan instax milik Hongseok.

“Masih ada nggak sih kertasnya?” Tanya Hyunggu mengangkat instax di tangan kanannya.

“Masih, baru aja aku isi kemarin. Emang ada firasat aja buat isi, kepakai juga 'kan?”

Hyunggu mengangguk dan duduk di samping Hongseok yang mengeluarkan berbagai macam hiasan, mulai dari buah cemara dan lampu.

“Kamu enggak ada ambil bola saljunya?” Tanya Hongseok.

“Enggak, aku mikirnya pakai lampu aja nanti baru hias banyakin foto, kenapa jelek ya?”

“Enggak, aku cuma nanya takutnya kamu lupa ambil.”

“Oh enggak kok, eh gunting mana? Belum aku ambil, ya?”

“Belum sayang, kamu bahkan dari tadi masih sibuk cetak foto. Udah di cetak foto Eden nya?”

“Belum hehehe. Tolong pilihin, aku ambil gunting sama spidol dulu.”

Hongseok menggelengkan kepalanya, ia pun membantu Hyunggu memilih foto sang buah hati dan mencetak 3 foto yang menurutnya lucu.

“Lama banget ambil guntingnya,” gumam Hongseok saat Hyunggu sedari tadi belum kembali.

“Gunting yang biasa aku pakai mana sih, Yang?” Tanya Hyunggu saat kembali.

“Di laci lah Sayangku, dimana lagi?”

“Enggak ada, aku malah ketemu gunting besar ini,” Hyunggu menunjukan gunting di tangannya.

“Yasudah pakai itu aja, kenapa memangnya?”

“Aneh pakai yang gede, foto Eden sudah?”

“Sudah, buruan sini keburu Eden bangun nanti kita susah hias pohonnya.”

Buru-buru Hyunggu duduk di samping suaminya dan mulai mengambil beberapa kertas untuk di potong berbagai macam bentuk.

“Yang, wajah bebek yang biasa kamu bikin tuh gimana, sih?” Hyunggu mencolek Hongseok yang sibuk memasang lampu pada pohon natal mereka.

“Ya gitu, ada google coba liat.”

“Buatin~!” Rengek Hyunggu sambil menarik lengan sweater Hongseok.

Sang suami pun mengalah dan mulai menggambar dan memotong kertas bentuk karakter bebek favoritnya, Hyunggu tampak antusias melihat karya suaminya dan terkekeh geli, “mirip kamu banget ini mah,” ujar Hyunggu.

“Ya udah, sekalian aku juga bikin wajah kamu sini, coba liat aku,” Hongseok menarik dagu Hyunggu agar menatap dirinya.

“Jangan aneh-aneh!”

“Enggak, percaya sama aku,” diperhatikan wajah manis suaminya dan Hongseok langsung menggambar di atas kertas kemudian menggunting kertas itu, “nah liat mirip, 'kan?”

“Dagu aku engga sepanjang ini, Sayang!”

“Shuut- kamu mau bangunin Eden?”

“Ih! Tapi enggak gini, buat lagi dong!?” Hyunggu cemberut kepada Hongseok.

“Iya, iya, bawel banget kenapa sih?” Hongseok menarik gemas pipi Hyunggu, mau tak mau Hongseok membuat ulang wajah Hyunggu dengan versi yang lebih rapi. “Sudah?” Tanyanya dan Hyunggu mengangguk semangat.

“Nah ini baru benar! Sini aku mau bikin snow ball dulu,” Hyunggu mengambil gunting dari tangan Hongseok, dan mulai membuat manusia salju dengan ukuran lumayan besar.

Saat tengah asik memotong kertas, Hongseok memperhatikan suaminya dalam diam, tanpa sadar dirinya tersenyum dan mengelus kepala Hyunggu, “I love you,” gumamnya dan membuat Hyunggu menoleh.

“Tiba-tiba?”

“Pengen aja.”

Hongseok mengambil polaroidnya dan mengambil foto sang suami yang melanjutkan pekerjaannya, “sayang liat kamera dulu,” Hyunggu menoleh dan menujukan 2 jarinya di depan kemara.

Hasil foto Hyunggu langsung keluar, sengaja Hongseok deretkan dengan hasil foto Eden yang tadi ia cetak.

“Perlu bikin bintang, nggak?” Tanya Hyunggu.

“Perlu lah sayang, pohon natal tanpa bintang tu bagaikan aku tanpa kamu, paham?”

Merasa malu Hyunggu menyikut perut sang suami dengan wajah merona, Hongseok tertawa kecil dan merangkul Hyunggu. Dipeluknya leher suami mungilnya dari belakang dan tangan satunya lagi mengarahkan kamera ke hadapan mereka berdua, Hyunggu tersenyum manis saat Hongseok mengecup pelipisnya dan mengambil foto mereka.

“Kamu sadar nggak sih keliatan makin kecil pakai sweater ini?” Tanya Hongseok.

“Sadar, memang sengaja aku pakai biar keliatan mungil!”

“Dih dasar,” Hongseok menjawil hidung lancip Hyunggu.

Setelah di rasa segala hiasan sudah siap, Hyunggu dan Hongseok mulai menggantung beberapa foto dan potongan kertas di pohon natal dengan jepitan yang tadi Hyunggu ambil.

“Foto kamu mana, Yang?” Hyunggu menyadari foto suaminya tak ada, ia langsung mengambil kamera dan memotret suaminya dengan pose candid.

“Bagus nggak?” Tanya Hongseok.

“Bagus, coba liat kamera sini,” Hyunggu menarik pundak Hongseok agar menoleh padanya. “Ini lebih cakep!” Ujar Hyunggu dan memberikan hasil foto kepada Hongseok untuk di gantung.

“Pi~ num!” Suara rengekan bayi mengalihkan perhatian Hyunggu dan Hongseok.

“Si ganteng sudah bangun, sebentar ya Pipi buatin susunya dulu,” Hyunggu beranjak menuju ke dapur untuk membuat susu.

Sembari menunggu, Eden terlihat penasaran pada pohon natal yang ada di atas meja tak jauh dari kasur miliknya, “Di tu pa?” Tanya Eden kepada Hongseok yang masih merapikan beberapa hiasan.

“Pohon natal sayang, sini lihat ada foto Eden nih!”

Eden bangun dari tidurnya, masih dengan badan terhuyung-huyung ia menghampiri Hongseok, perhatian si kecil teralihkan saat melihat gunting berwarna hitam di atas meja, baru saja Eden ingin mengambil gunting tersebut tangan Hongseok lebih cepat untuk mengamankan benda tajam berbahaya itu, “nggak boleh, bukan mainan. Sini duduk pangku Didi, lihat pohon natal,” Hongseok menarik pelan Eden agar duduk di pangkuannya.

“Din!” Eden teriak saat melihat fotonya tergantung di pohon natal.

“Iya, itu Eden. Tadi sama rusa, 'kan? Baik nggak rusanya?”

“Aik!” Jawabnya sambil menepuk perutnya.

“Sayang, nih susunya minum dulu,” Hyunggu memberikan botol susu kepada Hongseok dan langsung di berikan kepada Eden.

Merasa haus setelah tidur selama hampir 2 jam membuat susu yang diminum oleh Eden pun habis dalam waktu sekejap, “dah!” Ujarnya sambil memberikan botol kosong kepada Hyunggu yang baru saja selesai membereskan sampah-sampah kertas di atas meja.

“Kok cepat habis, nak? Bocor apa gimana?” Hyunggu tercengang menggambil botol susu anaknya.

“Botolnya kecil ya wajar cepat habis, Yang,” ujar Hongseok.

“To! Pipi to!” Eden menunjuk foto Hyunggu dan Hongseok.

“Eden mau foto juga? Iya?”

“Um! To Pi, Didi!”

Hongseok tak bisa menahan gemasnya, ia mengusak hidungnya pada kepala Eden yang menguar aroma wangi khas bayi, “tuh liat Pipi, foto dulu!” Hongseok menunjuk ke arah kamera.

Eden memgikuti arah yang Hongseok tunjukan, dimana Hyunggu sudah mengangkat kamera, “senyum sayang, 1 ... 2 ... 3!” Keluarga kecil itu menunggu hasil foto, dan merasa puas saat melihat si kecil tersenyum lebar di dalam foto, begitu juga dengan kedua orang tuanya.

“Aaa! Lucunya!” Hyunggu menyempatkan diri menarik gemas pipi Eden, “Pipi gantung dekat bintang ya, sayang,” Hyunggu mengambil jepitan dan menggantung foto keluarga kecilnya di dekat puncak pohon.

“Balon tadi mana ya, Yang?” Tanya Hongseok tiba-tiba.

“Hah? Oh- kayaknya masih di dalam mobil deh, mau aku ambilin?” Tawar Hyunggu.

“Enggak usah, biar aku aja. Nih kamu pangku Eden dulu,” Hongseok menyerahkan si kecil kepada suaminya dan beranjak untuk mengambil balon di dalam mobil.

“Kita foto lagi, jepitannya masih banyak nih,” Hyunggu menyempatkan diri mengambil beberapa foto bersama sang anak, hingga Hongseok kembali lagi.

“Lihat balon siapa nih?” Hongseok mengangkat balon milik Eden.

Langsung saja Eden berlari menghampiri Hongseok untuk meminta balonnya, “Pi lon!” Teriaknya ceria.

“Jubah tadi mana?” Hongseok mengecek kantong di dekat Hyunggu.

“Nih, sudah aku keluarin,” Hyunggu memberikan jubah Eden kepada Hongseok.

“Nak pakai ini terus foto,” Hongseok memakaikan jubah itu kepada anaknya, Eden tampak senang dan tertawa saat jubah itu menutupi wajahnya. “Sayang cepat foto!” Perintah Hongseok kepada Hyunggu.

Hyunggu mengambil foto menggunakan ponselnya agar dapat mengambil banyak foto dalam satu kali tekan, “sudah?” Tanya Hongseok dan Hyunggu mengangguk.

“Aaaa!” Eden langsung berlari mengelilingi ruang tengah sambil membawa balonnya, baik Hyunggu maupun Hongseok hanya tersenyum melihat anak mereka.

“Dapat berapa foto?” Tanya Hongseok kembali duduk di sebelah Hyunggu.

“Sekitar 8 foto, mungkin sekitar setengah yang bagus.”

“Gapapa cetak aja semuanya, pohon natal kita penuhin sama foto-foto si kecil.”

Hyunggu mengangguk dan menuruti perkataan Hongseok, sambil menunggu foto di proses Hyunggu menyandarkan kepalanya pada pundak Hongseok, paham jika suaminya ingin bermanja Hongseok memeluk pinggang Hyunggu agar semakin mendekat padanya.

“Capek?” Tanya Hongseok mengelus kepala Hyunggu.

“Lumayan, beruntung hari ini Eden enggak rewel jadi enggak begitu capek,” Hyunggu ikut memeluk pinggang Hongseok, menatap suaminya dan tersenyum.

“Kenapa senyum, ada yang lucu?” Hongseok bertanya dan mengecup ujung hidung Hyunggu.

“Emang enggak boleh senyum?”

“Boleh, boleh banget. Aku suka, senyum kamu manis, vitamin aku malah.”

“Dih mulai deh!”

Keduanya terkekeh dan melihat Eden yang duduk diam memainkan balonnya bersamaan dengan mobil mainannya.

“Natal tahun ini enggak perlu kasi hadiah, ya?” Ujar Hongseok.

“Kenapa, gitu?” Hyunggu menatap Hongseok heran.

“Karena aku sudah ada hadiah terbaiknya, pohon spesial ini, Eden dan kamu,” Hongseok menarik dagu Hyunggu, mencium lembut bibir kesayangannya.

Hyunggu tersenyum dalam ciumannya, ia pun membalas ciuman sang suami tak kalah lembut, bahkan sedikit melumat bibir tebal itu untuk menunjukan rasa sayangnya pada Hongseok.

Thank you for today, Hong. You are also my best christmas gift.”

We are lucky to have Eden, he is the best gift that comes to us.

You're right, but I love you Hong....

I love you more than anything, Hyunggu. Even my life.

How about Eden?”

You and Eden are most important things of my life, you know it, right?” Hongseok mencolek hidung Hyunggu.

Keduanya kembali berciuman lagi hingga Eden masuk ke antara keduanya membuat Hongseok dan Hyunggu melepaskan pangutan mereka, “yum! Din yum!” Eden menunjuk pipinya ingin dicium juga. Kedua orang tua muda ini tertawa geli dan serentak mencium pipi Eden.

I love you,” gumam Hongseok.

I know, me too honey,” Hyunggu tersenyum lembut.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii


Hari Natal sudah di depan mata, seharusnya malam ini menjadi makan malam keluarga Han Seungwoo untuk merayakan malam natal dan ulang tahun dirinya, namun nasib berkata lain, Seungwoo yang bekerja sebagai dokter bedah mendapat panggilan dan mengharuskannya segera ke rumah sakit karena ada pasien darurat.

“Jadi, kamu bakal pulang pagi?” Tanya Seungyoun di sela kesibukannya membantu menyiapkan barang suaminya ke dalam tas.

Seungwoo yang berganti pakaian pun menoleh, “ya mau gimana lagi? Tapi besok pagi aku janji bakal kosong kok sampai 2 hari ke depan.”

“Jangan janji, terakhir kamu ngomong begitu berakhir Eunsang kecewa dan milih pergi jalan sama Jinhyuk, Wooseok.”

“Maaf, waktu itu mendadak sekali, Sayang.”

Seungyoun menghampiri Seungwoo yang sudah siap dengan seragam dokternya, diberikannya tas berisi perlengkapan sang suami, “hati-hati ya, Sayang,” ujar Seungyoun lembut.

“Hati-hati di rumah sama Eunsang ya,” Seungwoo mengecup dahi Seungyoun.

Keduanya keluar dari kamar, bersamaan dengan Eunsang yang juga keluar dari kamarnya tepat di depan kamar kedua Ayahnya.

“Loh, Ayah jaga? Bukannya kita mau makan di luar?” Pertanyaan Eunsang membuat Seungwoo tanpa sadar meringis, jagoannya sudah siap dengan sweater rajut berwarna lilac buatan suaminya.

“Maaf ya sayang, Ayah di telpon mendadak. Besok Ayah janji bakal pergi, ya?” Seungwoo memluk Eunsang erat, kemudian langsung pergi.

“Jangan cemberut...,” Seungyoun mengelus dagu anaknya dan menyusul sang suami yang bersiap pergi.

Melihat kepergian Ayahnya, Eunsang menghela napas berat dan masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu. Bocah 15 tahun itu tampak kecewa dan gusar, di bukanya sweater yang ia kenakan dan di lempar sembarang arah.

“Begini lagi! Begini lagi! Kalau memang enggak bisa jangan bilang janji!” Amuk Eunsang dan langsung merebahkan diri ke kasur dengan napas yang memburu.

Seungyoun yang mendengar ribut-ribut dari dalam kamar anaknya pun segera menyusul, “Eunsang! Papa masuk, ya!” Saat pintu terbuka Eunsang membalik badannya dan membungkus dirinya dengan selimut.

Papa muda ini tersenyum tipis, memaklumi kekesalan sang anak yang selalu saja di beri harapan palsu oleh suaminya, “kali ini kamu mau marah dengan cara apa? Banting sweater buatan Papa?” Seungyoun mengambil sweater lilac di lantai dan duduk di tepi kasur Eunsang sambil melipat sweater tersebut.

Mau banting kado buat Ayah!”

“Salah kadonya apa? Lagipula memang kamu sudah beli?”

Eunsang sudah beli duluan, pakai uang tabungan sendiri!”

Mata Seungyoun melebar, ditariknya selimut Eunsang dan dibaliknya badan jangkung kesayangannya, “kapan? Kenapa kamu nggak bilang Papa!?”

Sang anak merengut menatap Papanya, “kenapa bilang-bilang? Eunsang 'kan mau bisa sendiri juga!”

“Kamu dapat uang dari siapa!?”

“Nenek sebelah rumah, bayaran Eunsang jagain kucing-kucingnya!”

Sontak Seungyoun tertawa dan memeluk anaknya gemas, “astaga nak ..., pantasan Papa heran kenapa kamu setiap siang sampai sore di rumah Nenek. Selama ini Papa kirain kamu temanin si Nenek, rupanya ada hal lain, hm?” Seungyoun mengelus kepala anaknya.

Eunsang melepaskan pelukan Seungyoun dan bangun dari posisi baringnya, “Eunsang 'kan pengen gitu kasi hadiah hasil usaha Eunsang, tapi Eunsang kesal Ayah selalu begini. Kenapa sih harus janji kalau memang enggak bisa di tepati? Kenapa juga harus panggil Ayah, emangnya enggak ada Dokter lain apa selain Ayah!?”

Mendengar omelan jagoannya, Seungyoun mengelus kepala dan pundak Eunsang, “ini semua 'kan juga bukan kemauan Ayah, nak. Ayah juga sedih kok enggak bisa menepati janjinya, tapi sudah resiko pekerjaan. Memang ada Dokter lain, tapi kalau Ayah yang dipanggil artinya pekerjaan Ayah bagus dan di percaya, 'kan? Harusnya Eunsang bangga dan berdoa yang baik untuk Ayah, ditambah Ayah hari ini ulang tahun lho, kamu yakin mau marah sama Ayah? Kasihan Ayah di hari ulang tahunnya harus tetap ke Rumah Sakit.”

Setelah mendengar penjelasan Papanya, Eunsang jadi merasa bersalah sempat kesal dan menggerutu kesal kepada Ayahnya, harusnya ia lebih dewasa lagi menyikapi hal ini, mengingat hari ini juga ulang tahun Ayahnya akan tetapi sang Ayah harus memperjuangkan nyawa seseorang disana, semakin membuat hati Eunsang pilu.

“Nak, Eunsang, mikirin apa, hm?” Seungyoun mengelus pipi anaknya.

“Enggak, Eunsang ngerasa bersalah sama Ayah tadi sempat marah-marah. Jadi, kita ngapain nih, Pa?”

“Ayah bilang bakal pulang besok, gimana kalau kita bikin pohon natal sendiri dari batang pohon yang kemarin kamu dapat di belakang rumah?”

“Hah- emang bisa, Pa?”

“Bisa! Semuanya bisa kalau di tangan Papa. Ayo siap-siap kita beli perlengkapan sambil makan malam di luar!”

Walaupun terlihat bingung namun Eunsang tetap menuruti apa kata Seungyoun, ia kembali memakai sweater lilacnya sedangkan Seungyoun pun sudah keluar dari kamar sang anak untuk bersiap-siap.

🎄

Setelah makan malam Seungyoun dan Eunsang pun ke toko perlengkapan hiasan natal, beruntung toko langganan mereka masih buka walau di malam natal begini.

“Silahkan! Mau cari apa?”

“Ada buah cemara kering sama daun-daun hias tempel?” Tanya Seungyoun kepada salah satu pegawai toko.

“Ada Tuan, mau berapa bungkus?”

“Masing-masing satu, tolong daunnya yang warna putih bening, oh ya tolong sekalian lampu hias kecil.”

“Baiklah Tuan, mohon ditunggu sebentar akan saya ambilkan sesuai permintaan.”

Eunsang menatap Ayahnya, “mau bikin gimana sih, Pa?”

“Udah kamu tenang aja, ini hadiah dari kita berdua untuk Ayah.”

“Memang Papa sudah beli kado untuk Ayah?”

“Sudah dong! Memangnya kamu saja yang bisa?”

Eunsang merengut kesal digoda oleh Papanya sendiri.

“Permisi Tuan, silahkan di cek terlebih dahulu,” pegawai tadi memberikan sebuah keranjang berisi barang yang Seungyoun inginkan.

“Oh iya, sudah lengkap dan sesuai semua. Terima kasih!” Seungyoun tersenyum cerah, “Eunsang, ayo?” Panggil Seungyoun kepada anaknya yang asik melihat deretan pita warna warni.

“Pa, mau beli pita nggak?” Tanya Eunsang.

“Untuk apa?”

“Beli aja ya, hijau sama merah. Bando tanduk kijang ini juga, ya?”

“Mau ngapain kamu?”

“Aku juga punya ide!” Eunsang mengambil 2 pita berbeda warna dan 2 bando tanduk kijang, kemudian memasukannya ke dalam keranjang.

Setelah membayar, keduanya segera pulang untung menghias pohon natal. Eunsang mengambil batang pohon di garasi yang sengaja ia ambil dari halaman belakang untuk hiasan, dibawanya batang itu ke ruang tengah dimana ada Seungyoun yang sudah sibuk mengelap vas bunga.

“Pa jujur Eunsang masih clueless ini gimana?”

“Sini batangnya, sudah kamu lap kan?”

“Sudah, Pa.”

Seungyoun mengeluarkan daun yang tadi ia beli, “jadi daun-daun ini nanti di tempel ke batang ini. Coba bantu Papa kasi lem tembaknya,” Seungyoun menarik Eunsang agar duduk di hadapannya.

“Kasi lemnya dimana?”

“Di batangnya, nih begini,” Seungyoun memberikan contoh terlebih dahulu kepada Eunsang kemudian sang anak melanjutkan pekerjaannya.

“Sudah, Pa. Terus?”

“Masukin batangnya ke vas bunga ini, terus kamu masukin bunga cemara keringnya,” Seungyoun melakukan seperti apa yang ia katakan kepada Eunsang, kemudian Eunsang memasukan beberapa buah cemara ke dalam vas bunga.

“Oalah ternyata begini! Nanti baru di kasi lampu gitu?” Esa bertanya.

“Iya! Unik, 'kan?” Seungyoun tersenyum bangga dan Eunsang mengangguk semangat.

Setelah selesai, pohon natal khusus itu diletakan di tengah meja ruang tengah, sengaja dengan lampu di biarkan menyala.

“Kita biarin aja disitu sampai Ayah pulang, Pah?”

“Iya, pohon natal besarnya jangan dinyalain lampunya.”

“Oke!”

“Terus rencana kamu apa?”

🎄

Jauh di luar perkiraan ternyata Seungwoo pulang lebih awal, pukul 6.00 dirinya sudah menginjakkan kaki di rumah. Saat dirinya masuk ke dalam rumah, suasana rumah tentu saja masih sepi karena suami dan anaknya masih tidur, namun ada hal yang menyita perhatiannya. Lampu kerlap-kerlip dari pohon natal khusus yang terletak di atas meja membuat Seungwoo menghampirinya, dirinya tersenyum saat melihat sebuah note dijepit pada salah satu batang pohon dengan tulisan 'Happy birthday and Merry Christmas'.

How cute,” bisiknya pelan.

Tiba-tiba suara ledakan terdengar dari belakang, membuat Seungwoo terperanjat dan balik badan melihat apa yang terjadi, di hadapannya ada Seungyoun dan Eunsang menggunakan bando tanduk kijang, dengan masing-masing leher keduanya diikat pita layaknya sebuah hadiah, Seungyoun pita berwarna merah dan Eunsang pita berwarna hijau.

Happy birthday, Ayah!” Teriak keduanya dan langsung berlari memeluk Seungwoo.

Sang Ayah tertawa senang, direntangkan tangan panjang itu untuk memaluk erat dua kesayangannya, “kalian yang siapin ini semua?” Tanya Seungwoo dan kedua orang yang dipeluknya mengangguk. Seungwoo mengecup dahi Seungyoun dan kepala Eunsang, “makasih banyak, maaf Ayah kemarin ingkar janji, pasti kamu marah lagi sama Ayah, ya?” Seungwoo mengelus kepala Eunsang.

“Hampir sih, tapi kata Papa enggak boleh marah, gimana pun Ayah sudah menyelamatkan satu nyawa, apalagi semalam malam natal pasti Ayah sudah jadi santa untuk keluarga yang Ayah selamatkan nyawanya.”

“Pintar banget ngomongnya anak Ayah, hm?”

“Kapan mau kasi kado untuk Ayah?” Tanya Seungyoun kepada Eunsang.

“Oh iya! Sebentar ya Ayah,” Eunsang melepaskan pelukan Seungwoo dan berlari menuju kamarnya. Seungwoo yang beralih memeluk Seungyoun pun menatap sang suami penasaran.

“Aku juga enggak tau Eunsang mau kasi kamu apa, Sayang...,” Ujar Seungyoun lembut.

Tak lama Eunsang kembali sambil membawa bungkus kado berbentuk persegi dan besar, “itu apa?” Tanya Seungwoo.

“Buka aja, Ayah pasti suka!” Eunsang memberikan kado tersebut dan langsung di buka oleh Seungwoo.

Mata Seungwoo melebar melihat sebuah kepingan musik vinyl dari salah satu musik jazz lama yang ia inginkan namun belum sempat dibeli.

“Kamu tau darimana Ayah pengen ini?”

“Pas beli buku bulan lalu, aku lihat Ayah lama banget pegang vinyl itu, terus enggak Ayah beli. Jadi, aku pikir Ayah memang pengen itu, ditambah Ayah juga sibuk banget pasti enggak bisa belinya.”

“Sini peluk Ayah lagi!”

Eunsang sengaja mendorong badannya dengan kencang ke dalam pelukan Seungwoo, hal itu membuat Seungyoun langsung melepaskan diri dari pelukan Ayah dan anak itu, dirinya pun mengambil kepingan vinyl dan memutarnya di pemutar khusus vinyl.

Alunan musik jazz yang khas membuat suasana di dalam rumah terasa hangat dan atmosifr natal begitu kentara. Seungwoo tersenyum melihat Seungyoun yang perlahan menghampirinya dan mengeluarkan kotak kecil berwarna hijau, “kado dari aku,” ucapnya lembut sambil memberikan kotak itu kepada Seungwoo.

Tak ingin penasaran lebih lama Seungwoo membuka kotak tersebut dan terdapat sebuah gelang berwarna silver dengan liontin bulan kecil, di gelang tersebut juga terdapat namanya sendiri.

“Aku juga pakai,” Seungyoun menunjukan gelang yang sama kepada Seungwoo, akan tetapi milik Seungyoun di hias oleh liontin matahari.

“Eunsang pakai kalungnya!” Si anak tak mau mengalah dan menunjukan kalung dengan liontin berbentuk awan dengan nama Eunsang.

Seungwoo terkekeh dan kembali memeluk kedua kesayangannya, “terima kasih banyak untuk semuanya, tanpa hadiah pun kalian semua sudah jadi hadiah buat Ayah. Ayah sayang sama Eunsang, makasih ya Nak kadonya, bakal Ayah putar terus vinylnya,” Seungwoo mengecup kepala Eunsang kesekian kali, “buat kamu, terima kasih banyak sudah hadir dan selalu ada untuk aku, dukung aku, sampai Eunsang sudah sebesar ini. Kamu laki-laki terhebat yang memang di ciptakan untuk aku dan aku akan selalu cinta serta sayang sama kamu, Seungyoun...,” Seungwoo mengecup lembut dahi Seungyoun dan turun untuk mengecup bibir ranum itu.

Tak ada rasa malu keduanya melakukan hal itu di hadapan sang anak, sudah terlalu biasa, bahkan Eunsang akan merasa heran jika kedua orang tuanya tidak berbagi kemesaraan di hadapan dirinya.

Seungyoun dengan senang hati mengecup kembali bibir Seungwoo, keduanya tersenyum saat kecupan terlepas, “I love you too.”

“Ekhem! Gimana kalau Ayah sama Papa dansa? Musiknya pas lho!” Eunsang memberikan ide kepada 2 pria yang masih memeluk dirinya.

“Masih ingat dansa, 'kan?” Tanya Seungyoun kepada suaminya.

“Masih dong! Tapi pakaikan gelangnya dulu ke aku, masa kalian semua pakai aku enggak?”

“Jangan dilepas kecuali mau operasi, ya? Awas kalau sampai hilang!” Seungyoun memakaikan gelang hadiah pada pergelangan tangan kiri Seungwoo.

“Iya sayang, iya...,” Seungwoo mengecup ujung hidung Seungyoun.

Paham akan situasi, Eunsang pun melepaskan diri dari pelukan orang tuanya dan memilih duduk di sofa ruang tengah, sedangkan Seungwoo sudah menarik perlahan tangan Seungyoun agar memeluk lehernya, dan tangan lainnya sudah memeluk pinggang Seungyoun. Keduanya mulai bergerak mengikuti irama musik, dahi yang saling menyatu satu sama lain, sesekali Seungwoo mengecup bibir Seungyoun dan keduanya tersenyum bahagia.

Tak ada yang lebih bahagia menjadi seorang Han Seungwoo, ulang tahun di malam natal, mendapatkan kado ulang tahun dan natal terbaik dari suami yang hebat dan anak yang pintar, tentunya hal ini akan selalu Seungwoo ingat dan akan Seungwoo kenang hingga tua nanti, betapa berharganya keluarga kecil dia, hingga tak dapat di tukarkan oleh apapun kecuali nyawanya sendiri.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii