taeyangbii


Sudah lebih dari lima kali Ibu Hongseok mendengar hela napas berat dari sang anak, hal itu pun membuat wanita itu berdecak sebal karena sangat mengganggu kegiatannya membaca novel.

“Kamu itu ada masalah hidup apa!?” Tanya sang Ibu dengan nada kesal sembari membanting novel ke sofa.

Hongseok terkejut saat merasakan tepukan keras dari sang Ibu yang mendarat di punggungnya, badan kekar Hongseok sedikit terdesak ke depan karena dirinya sedari tadi tidak fokus.

“A-apa?” Hongseok balik bertanya kepada sang Ibu yang duduk di sofa, sementara dirinya duduk sambil bersandar pada badan sofa di samping kaki Ibunya.

“Kamu hela napas mulu, kenapa? Kenapa lihatin keponakan kamu makan cookies sampai segitunya, hah?”

“Mau makan cookies juga,” jawab Hongseok lemah.

“Ya, makan!”

“Kan belum cheating day, Ma. Gimana dong?”

Giliran sang Ibu yang menghela napas berat, anak bungsunya ini mau bagaimanapun selalu berhasil membuat dirinya kesal, “makan 2 potong cookies enggak akan bikin kamu naik jadi 5 kilogram, Hongseok!” Rasanya Ibu Hongseok ingin menarik rambut sang anak supaya sadar dan tidak terlalu obses dengan program dietnya.

“Tapi kalau makan setoples gitu, gimana?”

“Siapa yang suruh kamu makan sebegitu banyak, siapa!? Lagi pula itu punya keponakan kamu pun, bisa-bisanya kamu iri!”

Sang keponakan yang sedari tadi ditatap dan dibicarakan oleh Hongseok mengerjap polos, anak perempuan berusia 5 tahun itu terlihat bingung saat sang Paman menatap dirinya dengan tatapan sendu. Si kecil yang duduk dihadapan Hongseok dan terpisah oleh meja itu pun sedikit mendekat, “Paman, mau?” Tawarnya kepada Hongseok.

“Enggak, kamu aja yang makan.”

“Enak, lho!” Sang keponakan masih gigih menawarkan Hongseok.

Hongseok melirik Ibunya yang masih terlihat jengkel, “tuh ditawarin, makan!” Sinis sang Ibu. Mau tak mau Hongseok pun mengambil biskuit dari keponakannya, “dimakan bukan dipandangin!” Lagi Ibu Hongseok membuka suara, hal itu sontak membuat Hongseok memakan biskuit yang bertabur cokelat dan kacang kenari itu dalam satu gigitan penuh.

“Enak, 'kan?” Tanya sang keponakan antusias.

Ingin rasanya Hongseok menangis saja, cita rasa manis yang pas dari cokelat dan renyah dari adonan biskuit bercampur kacang kenari, seakan pecah dan menari-nari memenuhi lidah Hongseok, bahkan Hongseok sampai memejamkan matanya saking merasa biskuit yang dimakannya begitu nikmat.

“Paman? Paman Hongseok!?” Hentakan meja dari tangan keponakannya membuat Hongseok tersadar, ia menaikan alisnya seakan bertanya 'ada apa?', “enak, nggak?” Tanya keponakan Hongseok.

“Enak! Cookiesnya beli di mana, nih?”

“Buatan Mommy! Paman mau lagi?” Disodorkannya toples berukuran sedang yang masih berisi banyak biskuit ukuran kecil.

Tanpa rasa malu Hongseok mengambil lagi biskuit tersebut dan memakannya dengan lahap, sang Ibu yang sedari tadi memperhatikan anak dan cucunya hanya dapat berdengus geli, “siapa tadi yang katanya enggak mau makan cookies karena belum cheating day,” gumam sang Ibu membuat Hongseok meringis dalam kunyahannya.

Baik Hongseok maupun keponakannya, keduanya sibuk memakan biskuit di dalam toples hingga tersisa 3 buah lagi, tak lama datang kakak ipar Hongseok, istri dari kakak laki-lakinya sambil membawa toples dengan ukuran yang sama.

“Daisy, Mommy bilang apa soal cookiesnya, jangan makan semuanya dulu, 'kan? Kenapa sudah sisa 3 buah?” Tanya wanita yang lebih muda berada di sana.

“Tadi Daisy bagi-bagi sama paman Hongseok, Mom! Paman Hongseok kepengen cookies,” jawab jujur anak perempuan itu.

Kakak ipar Hongseok menggelengkan kepalanya, “kenapa kamu makan punya Daisy? Nih, Kakak ada buatin khusus kamu yang rendah kalori! Kamu 'kan lagi diet,” kakak ipar Hongseok memberikan toples yang ia pegang kepada Hongseok.

“Kok Kakak tau?” Tanya Hongseok heran, dan yang ditanyai hanya kode menunjuk Ibu mertuanya dengan ujung bibirnya. Hongseok balik badan dan langsung memeluk Ibunya, “aaa- Ibu sayang Hongseok, 'kan? Ibu peduli sama aku, 'kan? Makanya kasi tau kakak ipar supaya buatin cookies khusus aku, iya, 'kan?”

“Udah, diam. Puas dapat cookiesnya? Jangan lupa kasi Hyunggu!”

Ah- benar, Hyunggu. Hongseok nyaris melupakan kekasih kecilnya yang sudah ia pacari selama 5 tahun terakhir ini, mereka memulai perjalanan kisah cinta ini saat awal Hyunggu masuk ke perguruan tinggi di mana kala itu Hongseok adalah senior Hyunggu. Tapi sekarang keduanya telah lulus dan memiliki pekerjaan masing-masing, Hongseok yang bekerja di salah satu Bank, sedangkan Hyunggu membuka bisnis pakaian khusus di kalangan anak muda seusianya.

Keduanya sudah tinggal bersama selama 2 tahun, ide ini berawal dari Hongseok yang selalu mendengar keluhan Hyunggu terhadap teman-teman satu kostannya yang selalu berisik dan tidak sesuai dengan dirinya, sudah lama Hyunggu menahan itu semua membuat Hongseok sebagai sang kekasih tak tega, sehingga keduanya pun berinisiatif membeli apartemen bersama.

Hari libur biasanya Hongseok dan Hyunggu pulang ke rumah orang tua Hongseok, akan tetapi pada hari ini Hyunggu tidak ikut karena ada acara reuni dengan angkatan SMAnya, sehingga hanya Hongseok yang ke rumah orang tuanya.

“Punya Hyunggu yang ada cokelatnya sama kayak punya Daisy, punya kamu yang enggak ada cokelat ya, Hong,” sang kakak ipar memberitahu.

“Kenapa enggak di pisahin aja, kak?”

“Ribet, toplesnya cuma ada satu aja!”

“Iya, iya, makasih banyak!”


Sore harinya Hongseok sudah kembali ke apartemennya, begitu juga Hyunggu yang baru saja menelpon Hongseok untuk memberitahu jika dirinya sudah di perjalanan pulang.

Sedari tadi Hongseok masih setia memeluk toples berisikan biskuit, di dalam pikirannya Hongseok sudah membayangkan biskuit yang akan ia makan menggunakan yogurt atau susu low fat andalannya. Tanpa sadar Hongseok tersenyum senang membayangkan hal itu, “mandi dulu kali ya baru mulai makan,” Hongseok meletakan toplesnya di meja ruang tengah dan pergi ke kamar mandi.

Saat Hongseok mandi, tak lama Hyunggu sampai juga di apartemen, “kakak sayang! Hyunggu pulang!” Teriaknya dari depan pintu, namun tidak ada jawaban, “oh, mungkin lagi mandi,” gumamnya dan berlari kecil menuju ruang tengah untuk merebahkan diri di sofa.

Tak sengaja mata Hyunggu melihat toples biskuit milik Hongseok tadi, seketika wajah Hyunggu langsung sumringah. Di urungkannya niat dia untuk merebahkan badan di sofa, Hyunggu memilih mengambil toples itu dan di bukanya untuk memakan biskuit yang menggoda seleranya.

“Pasti buatan kakak, nih!” Ujarnya semangat. Di ambilnya biskuit tanpa cokelat yang seharusnya untuk Hongseok, seketika mata Hyunggu melebar, terkejut saat merasakan biskuit yang tidak begitu manis, hanya mengandalkan manis dari kismis, “kok enak, sih!?” Hyunggu buru-buru menghabiskan biskuit yang sebelumnya ia makan dan mengambil lagi biskuit yang baru.

Tanpa sadar Hyunggu sudah memakan banyak biskuit khusus untuk Hongseok, hingga hanya tersisa 3 buah saja. Sedangkan biskuit cokelat khusus dirinya masih banyak, karena ia baru memakan 2 buah. Hongseok yang sudah terlihat segar sehabis mandi mengernyit saat melihat gerak-gerik kekasih kecilnya menutup toples dan meletakan kembali di atas meja.

“Kamu kapan sam- WHAT!?” Teriakan Hongseok mengejutkan Hyunggu dan membuat dirinya terperanjat. “Kamu habisin semua cookiesnya!?” Tanya Hongseok kepada Hyunggu, sedangkan yang ditanya hanya dapat mengangguk.

“Itu punya aku! Kenapa kamu makan punya aku, Hyunggu!? Punya kamu yang cokelat!”

“Hah? Gimana?”

“Kakak buatin untuk aku yang tanpa cokelat, itu khusus untuk aku yang diet! Kenapa kamu makan!? Itu punya aku!” Nada bicara Hongseok terdengar emosi, hal itu membuat Hyunggu sedikit tersinggung.

“Kenapa sih ngomongnya gitu!? Itu ada aku sisain tiga, kamu kan bisa makan punya aku!”

“Tapi punya kamu manis, bayangin berapa kalori yang bakal aku makan!”

“Jangan berlebihan! Cuma cookies doang, kak!”

“Tapi aku udah senang kakak buatin khusus aku! Kenapa kamu makan tanpa tanya aku dulu!”

“Biasanya 'kan punya kakak, punya aku juga! Kenapa kali ini di beda-bedain begini!?”

“Kali ini beda! Aku udah bayangin bakal makan cookies itu enak-enak, taunya cuma sisa tiga!”

“Ya sudah, tinggal beli aja yang sama apa susahnya sih!?”

“Jelas beda, lah! Itu 'kan buatan sendiri!”

Hyunggu menghentakan kakinya ke lantai dan berdecak sebal, “terserah kamu! Terserah dengan segala obses diet kamu! Padahal makan yang satunya juga gapapa, orang dia sama enggak manisnya kok, belum apa-apa sudah marahin aku!” Hyunggu pun beranjak dair ruang keluarga, dirinya sengaja menyenggol keras pundak Hongseok dan masuk ke dalam kamar dengan membanting keras pintu itu.

“Jangan rusakin pintu lagi, Hyunggu!”

Suka-suka aku!” Teriak Hyunggu dari dalam kamar.

Laki-laki yang tertua hanya dapat menghela napas kasar, ditatapnya toples yang sudah menyurut isinya, “yah ..., mau gimana lagi?” Pasrahnya.

Hingga malam datang keduanya tidak ada berbicara satu sama lain, masih tetap menahan ego masing-masing hanya karena perkara biskuit saja keduanya bisa perang dingin seperti ini.

Hyunggu sibuk menyiapkan makan malam, sedangkan Hongseok menatap bosan televisi di hadapannya, tidak ada acara yang menarik. Biasanya jam segini ia akan memeluk Hyunggu, bercanda bersama, bercerita hal-hal menarik yang terjadi. Namun, karena sepotong biskuit hal itu tidak akan terjadi malam ini, Hongseok kembali merasa kesal mengingat biskuit yang habis di makan oleh Hyunggu.

Beberapa menit kemudian Hongseok melihat kekasihnya berlalu begitu saja tanpa ada niat menoleh sedikit pun pada Hongseok, yang termuda masuk ke dalam kamar meninggalkan Hongseok sendirian di ruang tengah.

Tenggorokan Hongseok terasa kering, sehingga ia dengan malas berjalan ke arah dapur untuk mengambil air, saat di dapur matanya tak sengaja melihat semangkuk sup makaroni yang masih mengeluarkan asap terhidang di atas meja makan. Hongseok melihat mangkuk lain milik Hyunggu yang berwarna ungu dan ternyata sudah berada di rak cuci piring tanda Hyunggu sudah makan duluan, Hongseok menghela napas pasrah, “apa aku keterlaluan ya tadi sore?” Gumam Hongseok dan ia pun memilih makan sup di atas meja.


Pukul 11 malam, Hongseok mulai merasa kantuk, dirinya terlalu asik menonton film dari salah satu serial Marvel membuatnya lupa jika besok hari Senin dimana dirinya kembali bekerja. Hongseok pun mematikan televisi dan lampu, kemudian masuk ke dalam kamar, agak terkejut melihat kamar yang sudah gelap, penerangan remang-remang hanya dari lampu tidur kecil. Dapat Hongseok lihat punggung kecil Hyunggu yang terlihat tenang dalam tidurnya, merasa sedikit janggal karena biasa Hyunggu akan memeluknya setiap tidur, namun malam ini tidur Hongseok akan terasa sedikit 'sepi'.

Perlahan Hongseok naik ke atas kasur, takut membangunkan kesayangannya, di intipnya Hyunggu yang tidur menghadap dinding, “good night” bisiknya pelan dan mengambil posisi tidur menghadap punggung Hyunggu.

Keesokan paginya tidur Hongseok terusik saat mendengar suara berisik dari luar kamar, sedikit mengerang dan membuka mata dengan terpaksa untuk melihat waktu, Hongseok merengut saat melihat jam baru menunjukan pukul 6 sedangkan dirinya masih ada waktu 2 jam lagi sebelum masuk kerja.

“Ribut apa sih?” Gumamnya penasaran, baru saja Hongseok ingin memanggil Hyunggu, ia baru sadar jika disampingnya kosong, “hah- kemana?” Hongseok langsung terduduk di atas kasurnya.

Hongseok menampar pelan pipinya agar segera sadar, ia usak kasar rambutnya karena kesal tidurnya terganggu dan Hyunggu tidak ada di sampingnya. Mau tak mau Hongseok keluar kamar untuk melihat sumber keributan yang berasal dari arah dapur, “Hyunggu?” Panggilnya tak yakin saat melihat sosok yang tak asing sibuk di dapur.

Beberapa mangkuk kotot, tepung, timbangan dan kismis? Hongseok mengernyit, “sayang, ngapain?” Tanya Hongseok penasaran.

Sosok yang dipanggil pun balik badan, sedikit terperanjat melihat Hongseok telah bangun, “kok sudah bangun?” Tanyanya balik.

“Aku dengar suara berisik, kamu ngapain?”

“Oh- maaf ya, berisik banget? Kamu tidur lagi aja, masih keawalan buat siap-siap.”

“Kamu bikin apa?” Hongseok tidak menyerah, ia masih tetap bertanya apa yang di lakukan oleh sang kekasih, di hampirinya Hyunggu lebih dekat, dan Hongseok melihat adonan yang sudah dibentuk bulat, siap di pangang dalam oven, “Hyunggu...,” Hongseok menatap kekasihnya yang hanya diam membiarkan Hongseok memeriksanya.

Keduanya saling bertatapan, tak ada satu pun yang ingin membuka suara, “Hyunggu, kamu-”

“Maaf ..., aku minta maaf kejadian kemarin, aku sadar aku kekanakan, aku egois, seharusnya aku enggak main asal makan. Jadi, kemarin aku telepon kakak, aku ceritain dan jelasin ke kakak, aku minta resep dari kakak buat bikin baru khusus kamu. Aku enggak tau rasanya bakal enak, at least aku udah coba-” Hyunggu menghentikan penjelasannya saat Hongseok menariknya ke dalam pelukan yang begitu erat, dapat Hyunggu rasakan ciuman dalam Hongseok berikan di kepalanya.

“Kamu bangun dari jam berapa?” Tanya Hongseok.

“Baru dari jam 5.30 kok, udah siang-”

“Hyunggu! Jangan bilang kamu pergi belanja sendirian ke toko 24 jam di tepi jalan sana?” Hongseok menggenggam pundak Hyunggu, menatap tajam kekasihnya. Bukannya merasa takut, Hyunggu mengangguk polos, membuat Hongseok menghela napas kasar, “kalau kamu kenapa-kenapa gimana!? Jangan nekat!”

“Iya, iya, maaf ..., aku merasa bersalah, jadi maksud aku mau bikin buat kamu, supaya bisa kamu makan pas sarapan.”

Ditangkupnya pipi Hyunggu, diusapnya kedua pipi berisi yang sedikit merona karena dingin itu dengan jempolnya, “harusnya aku yang minta maaf, bukan kamu. Harusnya aku yang sadar disini aku terlalu kekanakan, enggak seharusnya aku bentak dan marahin kamu hanya karena ini.”

“Kita sama-sama salah, impas 'kan?” Hyunggu tersenyum manis, tangannya memeluk pinggang kekasihnya.

Hongseok mengecup ujung hidung Hyunggu, kemudian turun mengecup bibir favoritnya bertubi-tubi hingga mengeluarkan bunyi.

“Pelan-pelan!” Hyunggu menepuk pinggang Hongseok, empunya hanya terkekeh geli.

“Masukin oven sana cookiesnya, aku mau coba buatan kamu,” Hongseok mengelus leher kekasihnya lembut.

“Mau sekalian aku buatin kopi untuk sarapan?”

“Boleh.”

Giliran Hyunggu yang mengecup bibir kekasihnya, dipeluknya Hongseok erat seakan tak bertemu selama setahun, “aku semalam kedinginan enggak dipeluk kamu,” rengek Hyunggu.

“Aku peluk kamu kok, kamu aja yang enggak sadar.”

“Kapan? Enggak ada, ih!”

“Ada, kamu aja tidurnya nyenyak, ngorok lagi!”

“Ih, mana ada!” Hyunggu mendorong dada Hongseok kesal, “sana mandi! Bau! Udah jam 7 tuh, nanti telat lagi.” Ditepuknya gemas pantat Hongseok dan melanjutkan kegiatannya membuat cookies.

Setelah beberapa menit berlalu, saat Hongseok kembali lagi ke dapur suasana dapur sudah lebih rapi, aroma kopi menyeruak memenuhi dapur, dapat Hongseok lihat beberapa biskuit sudah di hidangkan pada piring kecil dengan di dampingi secangkir kopi.

“Eh tumben cepat siap-siapnya? Gantengnya pacar aku!” Hyunggu terlihat senang melihat Hongseok dengan kemeja biru lautnya dan celana denim yang bewarna hampir senada, “ayo duduk cobain cookies aku!” Hyunggu menarik Hongseok agar duduk di kursinya, sedangkan tangan lainnya memegang segelas susu.

“Coba susunya di letakin dulu, tuh susunya netes kemana-mana!”

“Ih ngomel mulu! Kenapa sih!?”

Hongseok menggelengkan kepalanya pasrah, ia menyeruput kopinya terlebih dahulu, kemudian mengambil biskuit yang di buat oleh Hyunggu, “enak nggak, nih?” Tanya Hongseok memastikan, Hyunggu yang baru saja duduk di depan Hongseok pun merengut.

“Cobain dulu! Kalau nggak enak yaudah buang!”

“Astaga, cuma nanya, lho?”

“Makanya makan!”

Tidak mau berdebat lebih panjang, Hongseok memutuskan untuk memakan biskuitnya. Hyunggu menatap kekasihnya penasaran dan penuh harap, “gimana?” Tanya Hyunggu.

“Coba kamu dekatan sama aku sini, maju lagi coba,” Hongseok menarik tangan Hyunggu agar mendekat. Sedangkan Hyunggu menurut saja seperti anak kucing, tatapannya seakan bertanya 'kenapa?'. Tiba-tiba Hongseok mengecup bibir Hyunggu, “gimana kalau kamu tambah bisnis bikin cemilan begini?”

“Hah? Gimana-gimana?” Hyunggu mengerjapkan matanya bingung.

“Aku suka, enak, enak sekali, bahkan rasanya lebih enak dari punya kakak. Kamu yakin ini resep yang sama? Kenapa bisa lebih enak dari buatan kakak?”

Hyunggu tersipu, ia memukul manja pundak kekasihnya, “jangan gitu! Kamu bohong 'kan biar aku senang?”

“Serius! Ini benaran enak lho sayang!”

“Seratus dari seratus!?”

“Dua ratus!”

“Aaa~! Kakak jangan bohong! Aku tadi pas cobain enak sih, tapi enggak seberlebihan kamu, lho!”

“Pokoknya ini bakal jadi cemilan favorit aku, jangan bilang kakak ya kalau punya kamu lebih enak,” Hongseok mencolek hidung Hyunggu dan kembali mengecup bibir manis itu.

Merasa gemas Hyunggu menangkup pipi Hongseok, ditekannya pipi itu hingga bibir yang tertua maju seperti bebek, “terima kasih sayang, terima kasih sudah suka, habisin ya cookiesnya, ini bonus dari aku!” Hyunggu mencium bibir Hongseok, sedikit digigitnya bibir tebal itu karena merasa gemas. Hongseok yang mendapat bonus dari Hyunggu tersenyum miring disela ciumannya, dipeluknya pinggang ramping Hyunggu, ditariknya agar semakin menempel pada dirinya.

“Sudah bonusnya?” Hongseok yang pertama melepaskan ciuman keduanya.

“Memang mau apa lagi?”

“Ya cuma nanya, 30 menit lagi aku masuk kerja ini. Gimana dong kamu masih peluk leher aku?”

“Kamu juga kenapa masih peluk pinggang aku?”

Keduanya tertawa geli, Hyunggu pun merapikan kerah kemeja dan rambut Hongseok, “semangat kerjanya ya, Sayang. Kamu mau bawa cookiesnya ke kantor?”

“Engga, simpan di rumah, aku enggak rela bagi-bagi cookies terenak buatan pacar aku di makan orang kantor.”

“Mulai deh, mulai! Suka banget berlebihan gini!”

“Hehehe, ya sudah aku pergi kerja dulu ya sayang,” Hongseok menghabiskan kopi dan biskuitnya, kemudian berdiri dari posisinya.

“Hati-hati di jalan ya, semangat kerjanya!” Hyunggu mengecup pipi Hongseok.

Pelukan terakhir Hongseok berikan kepada Hyunggu, tak lupa kecupan di dahi dan elusan di kepala juga Hongseok berikan kepada kekasihnya.

I love you, Hyunggu.”

Love you more, Hong.”

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


written by taeyangbii


Pagi ini matahari tampak malu-malu untuk muncul dan memilih berlindung di balik awan mendung, namun hal itu tidak membuat semangat seorang bocah 5 tahun yang sedang berjalan di gandeng oleh sang Ayah menuju Taman Kanak-kanak menyurut.

Esa namanya, bocah manis yang di adopsi oleh pasangan Seungwoo dan Seungyoun sejak bayi ini tumbuh dengan sangat baik, dirinya benar-benar pintar dan ramah kepada semua orang.

“Daritadi Papa lihat Esa semangat sekali, ada apa?” Tanya Seungyoun kepada buah hati kesayangannya.

“Hari ini Esa belajar gambar! Esa senang warna-warna!”

“Esa nanti mau gambar apa?”

“Ndak tau, tapi Esa mau gambar yang banyak warnanya!”

Seungyoun tersenyum dan mengusak kepala bocah itu, sudah menjadi rutinitas Seungyoun setiap pagi untuk mengantar Esa sekolah. Sedangkan sang suami -Seungwoo-, hanya dapat sesekali mengantar bila tugasnya di Rumah Sakit mendapat jadwal pada siang atau sore hari. Seungwoo bekerja sebagai perawat di bagian Instalasi Gawat Darurat, sehingga dirinya begitu sibuk, sedangkan Seungyoun bekerja sebagai seorang guru Sekolah Dasar yang jadwal mengajarnya hanya sampai jam 12 siang, sehingga dirinya dapat mengantar dan menjemput Esa.

Sesampainya di Taman Kanak-kanak, Esa di sambut oleh wanita yang kurang lebih seumuran Seungyoun, “selamat pagi Esa! Siap belajar untuk hari ini?” Tanya wanita tersebut.

“Siap, Bu!” Jawab Esa semangat.

“Ayo masuk ke dalam kelas, jangan lupa lepas sepatu dan pakai sendal kelasnya ya, duduk yang rapi. Sebelumnya pamitan dulu sama Papanya, ya....”

“Iya, Bu,” Esa menatap Seungyoun yang jauh lebih tinggi dari dirinya, direntangkan lengan kecilnya kode minta dipeluk, “Esa masuk dulu ya, Pa!”

Seungyoun berlutut menyamakan tingginya dan memeluk Esa erat, “belajar yang benar ya, jadi anak baik dan pintar, nurut apa kata ibu guru, ya?” Esa mengangguk dan mengecup kedua pipi Seungyoun, kemudian masuk ke dalam kelas. “Tolong jagain Esa ya, Bona,” ujar Seungyoun kepada guru Esa yang kebetulan adalah teman Seungyoun semasa sekolah.

“Tenang saja pasti aku jagain, hati-hati di jalan ya Seungyoun.”

Setelah Seungyoun pergi, Bona kembali menunggu kedatangan murid lain hingga semua murid datang dan bersiap untuk memulai pelajaran. Saat masuk ke dalam kelas, seperti biasa suasana kelas ramai akan suara anak-anak, ada yang berlarian, ada yang menganggu temannya yang lain, tapi hanya satu anak yang selalu duduk diam, memperhatikan anak lainnya, ya anak itu adalah Esa. Bona tersenyum lembut menatap anak temannya itu, tidak seperti anak lainnya Esa selalu menurut jika diberitahu.

“Selamat pagi anak-anak! Ayo duduk dulu yang rapi sebelum kita belajar menggambar!”

Seluruh anak pun duduk di kursinya dengan rapi, Bona tersenyum gemas melihat tingkah murid-muridnya.

“Kalian sudah siapkan buku gambar dan crayon?”

“Sudah, Bu!!” Jawab seluruh murid dengan semangat.

“Sebelumnya Ibu mau tanya, ada yang tau kalau hari ini hari apa?”

“Hari selasa, Bu!” Jawab salah satu murid laki-laki yang duduk di samping Esa.

“Ya benar, tapi kalian tau hari ini memperingati hari apa?”

Semua murid terdiam, “tidak ada yang tau?” Tanya Bona sekali lagi.

Tiba-tiba Esa mengangkat tangannya, “Hari Ibu, Bu!” Jawab Esa.

“Ya benar! Esa tau darimana kalau ini Hari Ibu?”

“Dari Papa, tadi Esa lihat anak di samping rumah Esa kasi hadiah ke Mamanya, Bu.”

“Hari Ibu itu apa, Bu?” Tanya anak lainnya.

“Jadi, Hari Ibu adalah hari dimana kita merayakan dan berterima kasih kepada Ibu kita karena sudah hadir dan menyayangi kita. Siapa yang sayang sama Ibunya?”

“Saya!!” Teriak hampir seluruh seisi kelas, kecuali Esa dan seorang bocah perempuan di hadapan Esa.

“Ibu, kalau Mama sudah pergi apa boleh merayakan Hari Ibu?” Tanya bocah perempuan itu.

“Boleh, tentu saja boleh! Jadi, hari ini untuk merayakan Hari Ibu kalian bebas menggambar apapun untuk di berikan kepada ibu kalian sebagai hadiah. Kalian mengerti?”

“Iya, Bu!!”

“Ayo mulai menggambar!”

Para murid mulai serius menggambar, Bona memperhatikan satu-satu muridnya yang sibuk dengan berbagai macam warna crayon, “Hani menggambar apa?” Tanya Bona pada murid perempuan dengan rambut yang dikepang dua menggunakan pita berwarna merah muda.

“Bunga matahari, Bu. Kata Ayah dulu sebelum Ibu pergi, ibu Hani menyukai bunga matahari, jadi Hani ingin memberikan Ibu bunga matahari!”

“Gambarnya cantik, cantik seperti Hani. Ibu Hani pasti senang menerima hadiah dari Hani,” Bona mengusak kepala anak muridnya.

“Terima kasih, Bu!”

Bona berjalan ke meja selanjutnya, terlihat 2 anak laki-laki yang satu terlihat serius menggambar, berbanding terbalik dengan anak laki-laki di sampingnya yang hanya terdiam melihat teman sebangkunya menggambar.

“Pyo gambar apa?”

“Gambar waktu Pyo liburan ke pantai sama ayah dan ibu. Ibu bilang dia senang liburan seperti ini dan ingin liburan lagi, jadi Pyo ingin memberikan gambar ini agar Ibu senang!”

“Pintarnya, gambar Pyo juga bagus, warna pantainya warna apa?”

“Warna biru, Bu!”

“Mataharinya?”

“Kuning!”

“Pintarnya, lanjut gambar ya, Pyo.”

Bona beralih ke anak di sebelah Pyo, “Esa ..., kenapa tidak menggambar?”

“Hm? Esa kan tidak punya Ibu, Bu. Dari kecil Esa sama Ayah dan Papa, memangnya boleh ya merayakan Hari Ibu?”

Mendengar pertanyaan polos muridnya membuat hati Bona terenyuh, “tentu saja boleh, Esa sayang Ayah dan Papa, 'kan?”

“Sayang! Sayang sekali!”

“Kalau begitu Esa juga boleh ikut menggambar, karena Esa menyayangi orang tua Esa, berkat Ayah dan Papa Esa bisa di sini dan bertemu teman-teman. Walaupun tidak ada Ibu, Esa senang dan sayang Ayah sama Papa, 'kan?”

“Hmm! Jadi, Esa boleh gambar ya, Bu?”

“Boleh! Sangat boleh! Esa mau gambar apa untuk Ayah sama Papa, sebagai bentuk sayang dan terima kasih?”

“Esa bingung, Bu...,” jawab Esa lemah.

“Coba Esa pikirkan atau ingat-ingat apakah ada sesuatu yang Ayah dan Papa Esa sukai?”

Anak laki-laki itu tampak berpikir, kemudian menatap sang Guru, “ada, Bu. Ayah sama Papa suka ikan.”

“Bagaimana kalau Esa menggambar ikan?”

“Di dalam akuarium? Terus ada batu warna-warni!”

“Nah itu bagus! Ayo gambar, supaya bisa kasi ke Ayah sama Papa, ya?”

Esa pun akhirnya kembali ceria seperti sebelumnya, dirinya langsung menggambar setelah mendapat izin dari Bona.

🎁

Siang harinya Seungyoun telah menunggu kepulangan Esa di ruang tunggu, hari ini dirinya dapat pulang lebih awal karena sekolah mengadakan acara khusus Hari Ibu. Dirinya termenung mengingat wajah Esa yang terlihat iri saat menatap anak tetangga yang memberikan hadiah kepada Ibunya.

Bagaimana pun Esa pasti ingin merasakan memiliki seorang Ibu, sayangnya anak itu harus di tinggal oleh sang Ibu sejak ia di lahirkan ke muka bumi. Kala itu Seungwoo yang mendengar kabar bahwa ada seorang bayi lahir tanpa seorang Ibu dan Ayahnya tak dapat merawat, membuat hati Seungwoo tergerak untuk mengadopsi Esa. Hubungan pernikahan mereka bahkan baru seumur jagung, tapi baik Seungwoo maupun Seungyoun berani mengambil resiko untuk membesarkan Esa, tentu saja setelah mendapat persetujuan dari masing-masing keluarga besar.

“Papa!” Teriakan Esa menyadarkan Seungyoun dari lamunannya, bocah itu langsung memeluk Seungyoun erat seakan Seungyoun akan pergi bila dirinya melepaskan pelukan.

“Bagaimana belajarnya hari ini, Esa senang?”

“Senang, Pa!”

Tak lama Bona menyusul sambil membawa tas kecil milik Esa, “Esa kamu ketinggalan tas lagi,” ujar guru muda tersebut. Esa yang menyadari perbuatannya menyengir, “kamu terlalu semangat lihat Papa kamu sudah jemput, ya?” Bona mengacak rambut muridnya.

“Hehehe terima kasih, bu Guru!” Esa menunduk sopan dan mengambil tas miliknya dari Bona.

“Tumben pulang awal?” Tanya Bona kepada Seungyoun.

“Sekolah ada acara jadi bisa pulang awal. Bagaimana Esa hari ini?”

“Esa ada siapin hadiah buat kamu, iya 'kan Esa?”

“Wah- hadiah apa, itu?” Tanya Seungyoun penasaran kepada anaknya.

“Rahasia! Hadiahnya buat Papa sama Ayah!”

“Hmmm..., sekarang sudah pintar main rahasia, ya?” Seungyoun mengelus pipi tembam Esa, sedangkan empunya tersenyum malu.

“Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Bona. Esa, pamitan dulu sama bu Gurunya.”

“Terima kasih, bu Guru!” Esa kembali menunduk sopan dan langsung menggandeng tangan sang Ayah.

“Hati-hati di jalan Esa!”

Esa melambaikan tangannya sembari berjalan keluar lingkungan sekolah bersama Seungyoun, “Esa mau makan apa hari ini?” Tanya Seungyoun di tengah perjalanan.

“Esa mau sop ayam, boleh?”

“Boleh! Esa sop ayamnya mau pakai apa? Wortel, kentang, jagung, iya? Kayak biasa Papa bikin?”

“Huum!”

“Ayo cepat kita jalan!” Bukannya berjalan, namun Esa berlari sambil menarik tangan Seungyoun, “Esa jangan lari!”

Sesampainya di rumah, Esa langsung masuk ke dalam kamarnya untuk mengganti pakaian rumahan, “habis ganti baju jangan lupa cuci tangan dan kakinya Esa!” Ujar Seungyoun.

“Iya, Papa!”

Ayah muda ini pun mulai menyiapkan bahan makanan untuk membuat sop ayam, saat tiba-tiba Esa datang dan memeluk kaki Seungyoun.

“Papa, Esa mau bantu!”

“Esa tunggu Papa saja, ya?”

“Tap-”

Ayah pulang!”

Kedua ayah dan anak tersebut saling bertatapan satu sama lain dengan terkejut, “ayah kok sudah pulang?” Tanya Esa heran.

“Coba kamu cek dulu,” perintah Seungyoun kepada Esa.

Si kecil pun berlari menuju pintu depan dan terkejut melihat sang Ayah sudah pulang, masih dengan baju perawatnya, “Ayah!” Baru saja Esa ingin memeluk sang Ayah namun Seungwoo langsung mundur.

“Jangan peluk dulu! Ayah belum mandi sayang, tunggu di dapur sama Papa, ya? Ayah mandi dulu.”

“Baik, Ayah!” Esa kembali berlari ke dapur, “Papa! Ayah benaran pulang!” Ujarnya antusiasi sambil meloncat-loncat kecil bagaikan anak kelinci.

“Ayah lagi mandi, ya? Kalau begitu Esa duduk manis di kursi ya, Papa sebentar lagi selesai masak.” Seungyoun menunda kegiatan memasaknya sejenak untuk membantu Esa duduk di kursi khusus, kemudian lanjut lagi memasak.

Beberapa menit kemudian Seungyoun dapat mencium aroma khas wangi mint yang segar dari Seungwoo, dapat ia rasakan lengan panjang memeluknya dari belakang dan sebuah kecupan mendarat di kepalanya, “masak apa, hm?” Tanya Seungwoo.

“Masakin sop ayam untuk Esa. Kamu tumben pulang awal?”

“Ganti jam jaga di percepat karena ada tambahan tenaga dari anak-anak kuliah praktek.”

“Syukurlah kamu pulang awal, Esa katanya mau kasi hadiah buat kita tuh!”

Ujung bibir Seungwoo naik membentuk sebuah senyuman lebar, “anak Ayah mau kasi apa, nih?” Seungwoo duduk di samping Esa dan mengusak rambut anaknya.

“Ada deh! Rahasia! Hehehehe.”

“Kok main rahasia-rahasia?”

“Biar jadi kejutan!”

Merasa gemas Seungwoo pun menarik pipi Esa, “lucunya, lucu sekali anak Ayah sudah besar!”

“Aaa! Papa tolongin Esa, pipi Esa sakit!”

“Sayang..., jangan gangguin anaknya sehari aja bisa, engga?”

Sang pelaku terkekeh mendengar rengekan dan omelan suaminya, hal seperti ini lah yang selalu membuat Seungwoo ingin pulang awal. Karena Seungyoun dan Esa bagaikan obat penghilang rasa lelah di kala sibuknya menjaga di Rumah Sakit.

“Cuci tangan dulu baru makan!” Seungyoun datang membawa semangkuk besar sup ayam dan menghidangkannya di meja makan.

Seungwoo segera menggendong Esa menuju wastafel dan mencuci tangan bersama, keluarga kecil ini pun langsung mengambil posisi masing-masing untuk makan.

“Sebelum makan kita harus apa?” Tanya Seungwoo kepada Esa.

“Baca doa!”

Dipimpin oleh Seungwoo, keluarga kecil ini berdoa terlebih dahulu sebelum akhirnya mulai makan. Selesai menikmati makan siang Seungwoo, Seungyoun dan Esa memilih bersantai di ruang keluarga dengan Seungwoo yang duduk merangkul Seungyoun dan Esa yang bersandar pada dada Seungwoo di antara pasangan suami-suami ini.

“Jadi, kapan Esa mau kasi hadiahnya?” Tanya Seungyoun.

“Oh iya! Sebentar, ya!” Kaki kecil itu berlari ke kamar dan kembali sambil membawa tas sekolahnya yang bergambar karakter Buzz. Sedangkan kedua orang tuanya diam memperhatikan gerak-gerik si kecil. “Esa tadi belajar menggambar dan hari ini di suruh gambar untuk hadiah Hari Ibu,” Esa mulai menjelaskan niatnya kepada orang tuanya.

Mendengar Hari Ibu dari mulut si kecil, baik Seungwoo maupun Seungyoun keduanya saling berpandangan satu sama lain dengan tatapan sendu, “Esa...,” panggil Seungwoo lembut.

“Tunggu! Esa gapapa kok Ayah! Kata ibu Guru, Esa juga boleh gambar buat Ayah sama Papa. Jadi, Esa gambar ikan buat Ayah sama Papa, ini!” Esa memberikan gambarnya kepada Seungwoo, ditatapnya gambar ikan dalam akuarium itu oleh Seungwoo, “ibu Guru bilang, walau engga ada Ibu Esa tetap bisa kasi hadiah, karena Esa sayang sama Ayah dan Papa, Esa mau ucapin terima kasi untuk Ayah sama Papa!”

Seungyoun tak dapat menahan tangis harunya, ia pun langsung berlutut di hadapan Esa dan memeluk erat anaknya, “terima kasih, Papa sama Ayah yang harusnya berterima kasih karena Esa sudah hadir untuk Papa sama Ayah, Esa malaikat kecil Papa sama Ayah,” Seungyoun menangkup pipi Esa, mengelus kedua pipi itu dengan jempolnya.

“Papa kenapa nangis?” Tanya Esa mengusap air mata Seungyoun.

“Papa senang, Papa senang sekali bisa miliki Esa di dunia ini. Esa kesayangan Papa dan Ayah.”

“Esa juga senang! Esa bisa rayain Hari Ibu tanpa Ibu, tapi Esa punya 2 Ayah yang sayang sama Esa!”

Ayah dan anak itu saling berpelukan lagi, Seungwoo sedari tadi menatap momen manis dua kesayangannya tak sadar juga ikut menitihkan air mata, dirinya mendekat untuk memeluk Seungyoun dan Esa, dikecupnya kepala Seungyoun dan Esa secara bergantian.

“Ayah sayang kalian berdua, Ayah juga mau bilang terima kasih sudah hadir untuk Ayah,” Seungyoun merentangkan tangannya, membalas pelukan Seungwoo, sehingga Esa merasakan pelukan dari kedua orang tuanya.

“Esa sayang Ayah ..., Esa sayang Papa....” ucap Esa lembut.

“Kami berdua sayang Esa!” Jawab Seungwoo dan Seungyoun serentak.

“Ngomong-ngomong, kenapa Esa gambar ikan?” Tanya Seungyoun.

“Ayah sama Papa waktu itu mau pelihara ikan, 'kan? Jadi, Esa kasi hadiah ikan hehehe. 'Kan Esa engga punya uang buat beli ikan asli.”

“Astaga! Ayo kita beli ikan yang asli,” Seungwoo mengacak rambut Esa gemas.

“Serius!? Ayo Ayah!”

“Sana siap-siap dulu,” Seungyoun menepuk pantat Esa dan membiarkan anaknya pergi ke kamar.

Sepasangan suami-suami itu pun saling bertatapan, Seungyoun secara tiba-tiba memberikan kecupan di bibir Suaminya, “terima kasih sudah bawa Esa di antara kita, Woo.”

“Terima kasih untuk kamu yang sudah besarin Esa jadi sepintar sekarang.”

“Kita, Woo. Kita yang sama-sama membesarkan Esa.”

Keduanya berpelukan dengan erat, Seungwoo mengecup berkali-kali kepala Suaminya, “aku sayang kamu,” bisiknya disela kecupan pada kepala Seungyoun.

Aku juga, aku lebih sayang kamu.”

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii


Kedatangan Seungyoun dan Hyunggu di café biasa tempat mereka berkumpul besertaan dengan kedatangan Jamie dan Nathan, “lah tumben bareng?” tanya Jamie kepada dua laki-laki manis yang berbeda tinggi badan dihadapannya.

“Biasa princess minta jemput, alasan bilang biar Hongseok engga bolak-balik,” jawab Seungyoun dengan nada jengkel.

“Udah dibilang nanti gua ganti uang bensin! Liat deh teman lu, semenjak ada pacar benaran berubah jadi perhitungan!” Hyunggu malah mengompori.

“Siapa yang per-“

“Udah mending masuk, ngapain sih ngobrol di parkiran?” Nathan segera menarik 3 lengan teman-temannya untuk masuk ke dalam café.

Malam ini suasana café tidak begitu ramai, mungkin karena hari kerja orang-orang lebih memilih bersantai di rumah daripada menghabiskan waktu di café. Nathan melihat Vernon yang sudah duduk di kursi yang selalu mereka duduki, “udah lama?” tanya Nathan saat menghampiri Vernon masih dengan tangannya menggenggam 3 lengan temannya yang lain.

“Habis dapat 3 kucing darimana?” tanya Vernon geli melihat ketiga temannya pasrah ditarik oleh Nathan.

“Di parkiran tadi lagi berantem, lumayan dibawa kesini aja buat Menuhin meja.”

Seungyoun yang pertama menepis genggaman Nathan dan memilih duduk di dsamping Vernon, di susul oleh Hyunggu dan Jamie yang duduk bersebalahan di hadapan Vernon. Nathan terdiam melihat masing-masing kursi sudah terisi, “tinggal duduk aja bukan disuruh milih kubu!” sarkas Jamie kepada Nathan, laki-laki itu pun memilih duduk di samping Seungyoun.

“Bebas pesan apa aja, kalau duitnya kurang Hyunggu yang gua suruh bantu cuci piring,” Seungyoun memberikan buku menu yang sudah tersedia di atas meja.

“Lu ada dendam apa sih Kak sama gua?” gerutu Hyunggu dengan wajah merengutnya.

“Engga ada, suka aja gangguin lu. Mana tau lusa lu nikah, udah ngga ada yang bisa gua gangguin lagi, ya, ‘kan?”

“Hah- Hyunggu mau nikah? Woi kok lu ngga kasi tau!?” Vernon menendang kaki Hyunggu dari bawah meja.

“Mana ada! Kak Uyon tuh sembarangan aja nyebar gosip! Gua masih mau lanjut S2 lagi, masih lama!”

“Emang kenapa lanjut S2 sama nikah? Nikah mah nikah aja kali,” sahut Jamie sembari membaca daftar menu.

“Jangan bahas nikah dulu, disini ada yang masih belum jelas hubungannya,” sindir Nathan kepada Seungyoun di sampingnya. Sedangkan yang di sindir pura-pura tidak mendengar dan melihat kea rah lain sambil bersenandung tidak jelas.

“Eh, iya! Lupa gua ada yang masih ranah pendekatan, gimana lu sama Mas Mas itu?” tanya Jamie.

“Pesan dulu baru gua cerita!”

“Permisi mau pesan!!” teriak Hyunggu antusias kepada pelayan sesaat setelah Seungyoun mengatakan ingin bercerita setelah mereka selesai memesan.

Seungyoun mendengus tak percaya melihat tingkah teman-temannya yang sangat tertarik akan hubungannya bersama Seungwoo, “gua heran kalian kok semangat banget dengan hubungan gua sama Seungwoo? Pas gua sama mantan sebelumnya juga engga gini banget?”

“Beda, kalau mantan yang dulu tetap aja dia nyerah atas hubungan kalian, kalau ini kan udah pasti serius,” jawab Hyunggu.

“Atas dasar apa lu yakin Seungwoo serius? Pasti serius?”

“Atas dasar insting gua, mau apa lu? Gua sih udah mulai merasakan hal baik nih, ya walau engga tau kedepannya ada apa ya, tapi sejauh ini lancar-lancar aja gua rasainnya.”

“Gua juga sih, di awal dulu lu sama mantan gua tau endingnya lu sama dia bakal putus. Berapa kali dia sering bilang lu anak kecil dulu? Padahal Hongseok sama Hyunggu aja beda 4 tahun tapi Hongseok ngga pernah masalah, tuh? Mikir!” Jamie menimpali dengan berbagai petuahnya.

“Sejak kapan teman-teman gua sekarang jadi peramal?” tanya Nathan sarkas.

“Padahal nenek gua turunan mama Loren aja gua diam,” sambung Vernon.

Semuanya terdiam, satu-satu menyebutkan pesanan mereka dan kembali ke dalam obrolan yang tadi sempat terputus.

“Jadi, udah sejauh apa sampai 3 hari lu ngilang?” Nathan kembali membuka obrolan.

“Ya sejauh mengenal satu sama lain aja sih, chat, tadi telepon juga, let it flow aja gitu.”

“Engga ada apa gitu? Maksudnya ngomongin hal serius atau apa?” tanya Jamie, sebagai perempuan satu-satunya di pertemanan mereka tak heran dia yang selalu lebih perhatian dan ingin tahu atas hubungan temannya ini.

“Mau nikah adat apa? Mau nikah gimana, orang tua gimana maksud lu? Belum lah! Ya kali baru aja mulai, tapi waktu itu dia udah ketemu sama Mama sih, respon Mama baik malah pas pulang Mama rela engga tidur hanya karena mau kepo soal Seungwoo.”

“Tante aja udah lampu hijau!” Hyunggu menyambar obrolan yang tertua.

“Ya, so far sih baik aja respon Mama. Dibandingkan pas gua bawa mantan yang dulu, Mama lebih semangat pas ketemu Seungwoo sih. Diluar pekerjaannya yang memang bisa dibilang udah tetap, penghasilan yang lumayan, ibaratkan bisa menunjang hidup gua lebih lama, Mama juga suka sama attitude dia sebagai orang yang dekat sama gua,”

“Obrolan dia juga masuk ke Mama, langsung klop aja gua liatnya. Mama juga bilang Seungwoo bahkan engga ada sedikit pun pura-pura atau apa sih bilangnya coba jadi orang lain- jaim! Nah jaim gitu sama Mama, biasa aja dia walau keliatan gugup tapi ya Seungwoo oke-oke aja, sih.”

“Gila sih baru kali ini gua dengar lu ngomong sepanjang ini perihal cowok doang,” ucap Jamie dan di setujui oleh seluruh teman mereka di sana.

“Salah, ya?” tanya Seungyoun tak enak hati.

“Engga, lah! Malahan bagus, lu juga cerita bukan dari sisi lu tapi dari sisi orang terdekat lu. Apalagi kalau udah orang tua ngomong berarti benar, udah valid secara objek dan subjektif, kalau dengar dari sisi pandang lu kan jelas baik semua, tuh!”

“Kalian tau sendiri semenjak putusnya gua terakhir itu gua jadi agak takut buat mulai hubungan, apalagi kalau di mulainya tuh pure dari sisi gua aja, kalian bahkan pernah jauhin gua karena gua terlalu mendewakan dia. Sekarang gua belajar, lebih mau dekat orang dan melihat penilaian dari orang terdekat dulu, baru akhirnya gua yakin bakal dekat sama dia.”

“Bagus lu belajar dari kesalahan lama, Jamie bilang Seungwoo baik, Hyunggu juga gitu. Tinggal gua sama Vernon aja yang belum ketemu, tapi gua yakin si Seungwoo ini memang good boy ya dan lu layak dapatin dia,” ucap Nathan terdengar lembut dan santai, namun membuat hati Seungyoun tenang seperti sudah diberi lampu hijau dari semua orang terdekatnya.

“Makasih banyak lu semua udah dukung gua, nemanin struggle gua sampai akhirnya di titik ini lagi.”

“Santai kali, ‘kan memang itu gunanya teman? Bahkan gua rasa kita bukan teman lagi, udah jadi keluarga iya ga, sih?” Vernon akhirnya buka suara setelah sedari tadi menjadi pengamat.

“Iya lah! Bayangin Ver, lu sama gua udah dari SD bareng apa engga bosan lu liat gua?” tanya Hyunggu.

“Bosan sih, tapi yaudah lah ya Hyunggu hanya ada satu di sini. Agak langka dapat teman modelan lu,” Vernon terkekeh saat gumpalan tisu bekas mengelap meja menyapa pipinya.

Tak lama pesanan mereka semua pun datang, Hyunggu dan Vernon berdebat hanya karena merebutkan daging burger siapa yang lebih besar, sedangkan Jamie sudah duduk manis menikmati pastanya, Seungyoun dan Nathan masing-masing memilih memesan pizza dengan ukuran personal.

“Lu kalau chat sama Seungwoo ngobrolin apa, Youn?” tanya Vernon tiba-tiba.

“Kerjaan, kegiatan harian, kita jarang sih yang intens harus chat, ‘kan dia juga kerja ya apalagi kayak hari ini dia sibuk seharian di studio fotoin orang sampai engga ada chat gua makanya telpon aja gitu, lebih suka habisin waktu secara langsung gitu aja sih gua sama Seungwoo.”

“Ya seumuran Seungwoo mah emang mending ketemuan langsung daripada chat, kecuali kayak gua yang harus LDR makanya mau engga mau chat, toh sekarang kak Hongseok lagi ada disini gua juga milih ketemu langsung,” sahut Hyunggu kala memakan kentang gorengnya.

“Oh ya, gua baru ingat Hongseok sama Seungwoo seumuran, satu circle juga ya. Apa sih rasanya pacaran sama om-om?” Pertanyaan Jamie sontak mendapat tatapan sinis dari Hyunggu dan Seungyoun, dua laki-laki tersisa yang mendengar pertanyaan Jamie sudah tertawa tepingkal-pingkal akan fakta yang ada. “Lho- kok natap gua begitu, benaran udah usia om-om kan?”

“Baru 26 tahun ya!” teriak Seungyoun dan Hyunggu bersamaan.

“4 tahun lagi 30 ya!” Jamie melakukan pembelaan.

Boomer ngga?” tanya Vernon.

“Kak Hongseok sih engga, oh kadang boomer sih, tapi engga seboomer bang Sungjoo,” jawaban Hyunggu mendapat anggukan setuju dari Seungyoun.

“Jawaban yang sama dari gua, Seungwoo tu kalem, pendiam, jahilnya juga diam-diam. Heran deh gua dia beberapa hari ini panggil gua sayang mulu, kenapa coba?”

Semua mata langsung tertuju kepada Seungyoun, “serius? Demi!?” Hyunggu melebarkan matanya.

“Ya- memang kenapa?”

“Udah pasti sih ini! Udah valid! Bang Seungwoo sesuka dan seserius itu sama lu, Kak! Setau gua bahkan bang Seungwoo engga pernah ngegas bilang sayang ke mantannya, lah ini? Pacaran belum, ‘kan? Tapi udah sayang-sayang aja,” jawab Hyunggu mengebu-ngebu.

“Oh iya soal mantannya dia ada cerita tuh!”

“Lu ada cerita soal mantan lu?” tanya Nathan.

“Pasti ada lah! Udah obrolin itu kita, biar saling kenal dan tau masa lalu aja.”

“Balik ke sayang woi! Seriusan Seungwoo bilang gitu?” tanya Jamie dan Seungyoun hanya berdeham bosan, “kode sih itu, kode emang lu secara ngga langsung di klaim sama dia kalau lu milik dia, nah tinggal tunggu lu aja lagi kapan emang siap dan mau jadian sama dia, ya ngga, Ggu?” tanya Jamie kepada Hyunggu dan dijawab anggukan.

“Agak aneh sih dipanggil sayang tapi belum ada apa-apa, agak ga suka karena belum ada apa-apa udah sayang-sayang.”

“Namanya juga bapak-bapak, makanya beri kepastian atau ya minimal lu iyain aja kalau dia panggil sayang, biar dia paham oh lu udah menerima dia,” saran Vernon, semua yang ada di meja bersorak bangga, bahkan Jamie bertepuk tangan, “kenapa?” tanya Vernon bingung.

“Gapapa, Vernon diam-diam sarannya selalu ngena ya padahal gagal jadian sama anak teater yang itu tuh!” Jamie sengaja mengejek Vernon dan mendapat tatapan sinis dari laki-laki keturunan barat itu.

“Ada yang mau pizza gua, ngga?” tanya Nathan di sela acara –mari mengganggu Vernon-.

“MAU!” Teriak Hyunggu dan Jamie bersamaan dan langsung mengambil pizza milik Nathan.

As long as you are happy, then just enjoy it. We all always support you, Youn,” bisik Nathan kepada Seungyoun dan Seungyoun tersenyum lembut menatap temannya.

Thank you,” balasnya pelan.

TW: Toxic relationship & violence


Pukul 19.20 Seungwoo sampai di kediaman Seungyoun, saat dirinya baru saja keluar dari mobil tak lama datang mobil sedan putih berhenti tepat di depan mobilnya. Seungwoo terdiam di samping mobilnya untuk melihat siapa yang datang ke rumah Seungyoun, wajah Seungwoo tampak penasaran menunggu orang yang datang itu lama turun dari mobil.

Sesaat setelah itu keluar lah seorang wanita yang membawa cukup banyak barang, dari paper bag, hingga tempat bekal yang tersusun menjadi satu. Wanita tersebut terlihat mirip dengan Seungyoun, “mama Seungyoun, ya?” batin Seungwoo.

Baik Seungwoo maupun wanita itu saling bertatapan satu sama lain, “cari siapa?” tanya wanita itu kepada Seungwoo.

Seungwoo langsung tersadar dan tersenyum ramah, “mau jemput Seungyoun, tante. Tadi udah janji mau pergi,” jawab Seungwoo yang berusaha terdengar santai walau sebenarnya jantung Seungwoo berdetak kencang seperti habis berlari mengelilingi lapangan bola.

“Oalah…, yaudah masuk dulu yuk! Seungyoun tadi tante suruh engga kemana-mana soalnya hehehe.” Wanita itu pun jalan terlebih dahulu dan Seungwoo mengikuti dibelakangnya. “Uyon! Ada temannya jemput!” terdengar suara kaki tergesa-gesa mendatangi pintu depan, Seungwoo terkekeh melihat Seungyoun terlihat panik saat mengetahui Seungwoo datang bersama ibunya.

“Ngapain kamu lari-lari?” tanya sang Ibu heran.

“Eh- e-engga, kok mama udah datang?”

“Emang kenapa? Kamu sengaja mau pergi tanpa dilihat sama Mama, ya? Dasar!” Ibu Seungyoun menarik gemas hidung anaknya, dan memberikan barang yang tadi ia bawa kepada Seungyoun. “Bawa ke dapur dulu baru pergi, ya! Ngomong-ngomong Mas ini namanya siapa? Tante baru lihat.” Tanya Ibu Seungyoun kepada Seungwoo yang masih setia berdiri di depan pintu.

Seungwoo mendekat dan menjabat tangan ibu Seungyoun sebagai rasa hormat, “saya Seungwoo, Tante. Mungkin sebelum Tante sudah dengar nama saya dari Seungyoun.”

“Oh…, jadi kamu yang namanya Seungwoo. Terima kasih loh roti isinya waktu itu! Tante sampai coba bikin sendiri tapi malah rasanya engga sama hahaha.”

Bagi Seungwoo wanita yang ada dihadapannya ini terlihat sangat cantik, anggun dan pembawaannya lembut. Seungwoo benar-benar melihat sosok Seungyoun di dalam diri wanita ini, “syukurlah kalau Tante suka, kapan-kapan nanti saya kirim lagi kesini. Itu kebetulan bisnis teman saya, baru buka jadi saya sekalian bantu usaha teman juga, eh rupanya Tante suka.”

“Oh, ya? Dimana tuh lokasinya, dia café gitu?”

“Iya café gitu, Tante. Kalau Tante suka suasana klasik, tenang, atau banyak tanaman saya rasa Tante bakal suka disana. Teman saya awalnya hobi tanaman gitu, terus nikah kebetulan sama barista jadi ya namanya anak muda ya Tante, jadi bikin bisnis gitu deh.”

“Bukan Sungwoon, kan? Karena Seungyoun pernah bilang sama Tante kamu juga temannya Sungwoon.”

“Hehehe bukan tante, ini teman saya yang lain.”

“Ekhem! Asik nih sampai aku dilupain?” Seungyoun sengaja datang dan menyenggol pundak Ibunya.

“Kenapa, hm? Kamu iri Mama asik ngobrol sama Seungwoo?”

“Ih! Ngapain? Sana ayo Mama aja yang ngobrol, aku bisa nungguin sampai Mama puas.”

Ibu Seungyoun mengacak gemas rambut anaknya dihadapan Seungwoo, “simpan dulu obrolan kita ya, Woo. Pergi gih sama Seungyoun, kalau dia ngerepotin marahin aja, jangan dimanjain ya ntar kebiasaan dia nih.”

“Hahaha iya Tante, tenang aja kalau dia ngerepotin paling nanti saya tinggalin aja di tengah jalan.”

“Ide bagus! Tante udah dari lama memang mau buang dia di tengah jalan.”

“Mama ih! Kok malah satu tim sama mas Seungwoo, sih!?” Seungyoun menghentakan kaki layaknya anak kecil merajuk.

“Udah sana pergi keburu malam! Hati-hati dijalan ya,” ibu Seungyoun mendorong pelan anaknya agar mendekati Seungwoo.

“Saya izin bawa anaknya dulu ya Tante, nanti bakal saya balikin dalam keadaan mulus lagi.”

“Hahaha iya Seungwoo, malah tante yang takut kamu lecet gara-gara Seungyoun.”

“Mama aku ngambek ya!?”

“Ngambek aja jangan pulang ya kamu!?”

Seungwoo terkekeh dan sedikit menarik tangan Seungyoun agar keluar mengikuti dirinya, “saya permisi, Tante!” ucap Seungwoo ramah dan menunduk sopan.

“Mama aku pergi dulu, jangan tungguin takutnya pulang malam. Mama tidur aja kalau capek!”

“Iya bawel, have fun!” ibu dan anak ini saling melambaikan tangan satu tangan lain hingga berhenti saat pintu tertutup.

Seungwoo dan Seungyoun saling berpandangan, kemudian keduanya terkekeh geli, “Mama kamu jahil juga ya?”

“Paling jago ngomel, paling jahil, tapi paling sayang sama aku!”

Seungwoo mengelus kepala Seungyoun dan merangkulnya untuk berjalan menuju mobilnya, saat berada di dalam mobil Seungyoun langsung memasang sabuk pengamannya padahal Seungwoo baru saja ingin mendekatinya untuk memasangkan sabuk pengaman kepada dirinya. “Eh- ada apa, Mas?” tanya Seungyoun bingung saat wajah Seungwoo dekat dengan wajahnya.

“Gapapa, tadi ada liat nyamuk di pipi kamu,” Seungwoo mengelus pipi Seungyoun sekilas dengan jempolnya dan menyalakan mesin mobil. Sedangkan Seungyoun menepuk pelan pipinya dan melihat ke sekitar mobil.

“Emang bisa ya nyamuk masuk?”

“Bisa, kamu yang bawa.”

“Mas jangan ikutan jahil kayak Mama, dong!” Seungyoun memukul pelan lengan Seungwoo.

“Hahaha ya lagian pertanyaanmu itu loh ada-ada aja. Kamu ada pengen makan sesuatu ngga?” Tanya Seungwoo sesaat setelah mobil mulai berjalan.

“Hmm..., aku pengen ramen deh, Mas. Gimana?”

“Boleh, aku tau ada tempat ramen enak.” Seungwoo langsung mengendarai mobilnya menuju tempat yang di maksud.


Seungwoo membawa Seungyoun ke kedai ramen yang terletak di salah satu gang tengah kota, mereka harus berjalan kaki untuk menuju ke kedai tersebut karena mobil tak dapat masuk.

Saat masuk ke dalam kedai ramen, Seungyoun berdecak kagum melihat interior kedai ramen tersebut terasa asli seperti di negara asalnya.

“Otentik banget Mas tempatnya.”

“Rasanya juga enak banget, loh! Aku yakin kamu bakal ketagihan. Duduk sana, yuk?” Seungwoo menunjuk sudut ruangan dekat dengan jendela.

Seungyoun mengangguk dan jalan terlebih dahulu sambil menggenggam tangan Seungwoo tanpa sadar seperti sudah terbiasa.

Keduanya duduk saling berhadapan, kemudian datang pelayan membawakan daftar menu, “kamu tahan pedas ngga?” Tanya Seungwoo.

“Engga begitu, tapi ya suka. Ada rekomendasi ya, Mas?”

“Ada nih, aku biasanya pesan kuah kari terus ada katsunya. Kamu mau? Terus tingkat pedasnya bisa request.”

“Yaudah aku itu deh! Tadi aku liat kayaknya ada tambahan katsu gitu ya?”

“Iya, ebi furainya juga enak. Mau?”

“Mau-mau! Hehehe...,” Seungyoun terkekeh merasa dirinya lucu mengiyakan semua yang Seungwoo sarankan.

“Minumnya?”

“Air mineral!”

Seungwoo menyebutkan pesanan keduanya kepada pelayan, “kamu mau biasa apa jumbo, Youn?”

“Hmm..., jumbo aja deh aku kebetulan lapar.”

Setelah selesai memesan Seungwoo dengan iseng menggenggam tangan Seungyoun yang menganggur di atas meja. “Apa nih pegang-pegang?” Tanya Seungyoun dengan senyum jahilnya.

“Mau pegang aja, kangen.”

“Ih! Tumben banget?” Seungyoun terkekeh dan mengusak buku jari Seungwoo dengan jempolnya.

“Gara-gara tadi aku fotoin orang, cewek kan, ter-”

“Cantik, ya?” Tanya Seungyoun memotong pembicaraan Seungwoo.

“Cantik lah, kan cewek?” Seungwoo menaikan sebelah alisnya.

“Oh iya sih, benar juga. Terus kenapa ceweknya?”

“Ceweknya bawa kucing, tadi dia foto katanya buat ulang tahun kucing peliharaannya. Udah booking dari 1 bulan lalu malah, mantap ga tuh?”

“Cewek mah kalau niat banget apalagi sama hal kesayangannya memang gitu! Terus apa hubungannya sama kangen aku?”

“Iya, kucingnya warna apa ya tadi putih tapi agak kuning, krem gitu Youn. Terus muka kucingnya mirip kamu, gemes banget, mana jinak juga. Tadi aku sempat main sama kucingnya, engga salah aku nama kucing mingming.”

Seungyoun merengut kesal, ia menarik tangan Seungwoo untuk digigit namun Seungwoo langsung menarik cepat tangannya sambil tertawa.

“Lapar sih lapar, jangan tangan aku dimakan!”

“Habis nyebelin banget, masa aku disamain dengan kucing!”

“Memang mirip loh, sayang.”

Keduanya terdiam, Seungwoo bahkan lebih terkejut dengan perkataannya barusan. Sudah menjadi kebiasaan di keluarganya jika ada hal yang menggemaskan akan mengatakan 'sayang', tetapi saat ia menyebutkan itu untuk Seungyoun rasanya sedikit berbeda. Sedangkan Seungyoun sendiri jantungnya sudah tidak karuan, dirinya menoleh ke arah lain dan menahan senyum malunya, sama terlihat rona merah di pipinya dan Seungwoo mengigigt bibirnya menahan gemas.

“Senang dibilang sayang jujur aja, Youn.”

Seungyoun menatap Seungwoo sengit, “mana ada! Aku juga tau kok sayangnya bukan sayang itu!”

“Kalau sayang itu, gimana?” Seungwoo menaik turunkan alisnya.

“Diem ya!” Seungyoun menunjuk wajah Seungwoo dengan wajah kesalnya, namun warna merah yang semakin terlihat jelas di kedua pipi Seungyoun tak dapat menyembunyikan perasaan yang sedang ia rasakan sekarang.

“Diem loh, aku?”

“Mulutnya diam!”

“Engga bisa, lah! Gimana nanti aku makan?”

“Jangan ngomong, diam!”

Seungwoo tertawa geli dengan sikap Seungyoun, rasanya ingin ia peluk dengan erat dan tak ingin melepaskannya.

“Permisi, pesanannya....” akhirnya datang pelayan membawakan pesanan keduanya.

Sekali lagi Seungyoun dibuat kagum dengan pesanannya yang datang, semangkuk besar ramen yang berisi berbagai macam isian, dimulai dari telur, rumput laut kering, jagung, bakso ikan, dan terakhir potongan daging goreng besar yang dilapisi tepung, terlihat renyah dan mengugah selera. Tak lupa kuah kari yang terlihat kental dengan asap yang menari-nari disekitar mangkuk menandakan ramen tersebut masih hangat, waktu yang tepat untuk segera mencicicpinya. Tanpa sadar Seungyoun menelan saliva menatap ramen miliknya, “dimakan bukan ditatap. Sampai ngiler gitu ih!” Seungwoo menegur Seungyoun.

Merasa dipergoki, Seungyoun pura-pura seperti tidak terjadi apa-apa dan mengambil foto ramennya terlebih dahulu, “baunya aja udah enak, Mas!” Ujar Seungyoun antusias.

“Yaudah buruan dimakan, jangan lupa doa dulu ntar kesedak, lho!”

Keduanya berdoa terlebih dahulu, setelah itu langsung menyantap ramen masing-masing. Seungwoo menatap Seungyoun yang menyeruput kuahnya terlebih dahulu, “gimana?” Tanya Seungwoo.

Seungyoun tak dapat berkata-berkata, ia menutup mulutnya dengan tangannya, matanya terbuka lebar menatap Seungwoo, “Mas! Woah- gila sih ini rasanya, woah!” Seungyoun menunjukan dua jempolnya dihadapan wajah Seungwoo kemudian melajutkan makannya lebih semangat lagi.

“Pelan-pelan, nikmati ramennya ya, Youn....”

Sakin fokusnya makan Seungyoun hanya mengangguk saja, tak peduli dengan keadaan sekitarnya, yang terpenting adalah ia harus menikmati ramennya dengan tenang. Tak lama ebi furai pesanan mereka pun datang, udang goreng berukuran besar yang dibalut tepung dengan saos mayones khusus itu terlihat menggoda untuk dicicipi. Tak ketinggalan salad dari kol dan wortel yang diiris tipis, disiram saos mayones sebagai pendampingnya.

“Mas, disini memang porsinya gede begini ya?”

“Iya, sebenarnya yang biasa juga banyak dan besar. Tapi aku juga udah biasa pesan jumbo sih, rasanya kalau pesan yang biasa suka kurang,” jelas Seungwoo.

“Gimana ngga kurang kalau begini enakanya, nih liat daging sapinya sebesar ini astaga! Pengen ngajakin anak-anak sama Mama kesini ah, pasti suka.”

“Mama kamu tu tipe yang suka nongkrong, ke tempat anak-anak muda gitu, ya?”

Seungyoun terkekeh dan mengangguk, “iya, Mas. Mama tu suka engga mau ketinggalan sama hal-hal anak muda, walau udah kepala empat malah jalan lima tapi jiwanya masih muda banget.”

“Tapi Mama kamu keliatan awet muda sih, aku juga baru sadar kamu mirip banget sama Mama kamu.”

“Memang mirip hehehe. Makanya dari kecil aku selalu dibilang anak Mama sampai kadang Papa cemburu kenapa muka aku lebih mirip Mama daripada Papa.”

“Kalau boleh tau, Papa kamu meninggal karena apa?”

“Kanker paru-paru, Papa perokok berat Mas, bahkan mendiang Papa udah mulai ngerokok dari SMP sampai aku gede. Makanya dulu aku ketahuan ngerokok pas SMA habis dimarahin, bahkan Mama yang ngga pernah mukul jadi mukul aku sambil nangis, ngerasa berdosa banget aku saat itu sama Mama.”

“Lagian kamu kenapa coba udah tau Papa kamu pergi karena itu malah ngerokok, hm?”

“Namanya juga penasaran! Emang Mas engga ngerokok apa?”

“Udah berhenti semenjak Fanfan lahir, kalau aku bau rokok engga boleh dekat sama keponakan.”

“Eh- berarti baru-baru ini dong?”

“Iya, memang baru-baru ini. Kadang-kadang kalau banyak pikiran, mumet, capek, ya masih sih cuma sebatang atau dua batang.”

Mereka melanjutkan makan hingga habis seperempat dari porsi jumbo yang tadi berikan, “mampu habisin?” Tanya Seungwoo.

“Mampu! Mau sampai titik kuah terakhir!”

Seungwoo mengambil satu ebi furai dengan sumpitnya dan mendekatkan ke mulut Seungyoun, “aaa...,” ucap Seungwoo seperti menyuapi anak kecil, dengan senyum malunya Seungyoun memakan udang itu dari suapan Seungwoo, “enak?” Tanya Seungwoo, yang ditanya mengangguk.

Benar saja, Seungyoun menghabiskan ramennya hingga kuah di dalam mangkuk tandas tak tersisa sedikit pun, jika bisa Seungyoun menjilat mangkuknya saja karena begitu nikmat. Setelah menghabiskan ramennya, Seungyoun juga memakan beberapa potong ebi furai dan menyisakan 2 untuk Seungwoo yang baru menyelesaikan makanananya.

“Kenyang?” Tanya Seungwoo saat melihat Seungyoun yang terdiam menggenggam gelasnya.

“Banget, perut aku penuh banget, rasanya engga mampu jalan. Nanti gendong aku ya, Mas?”

“Jalan sendiri, biar tu pipi kurus!”

“Ish! Mulai deh!” Seungyoun memukul lengan Seungwoo di atas meja. “Next time kita kesini lagi ya, Mas?”

“Boleh, ajakin Mama kamu sekalian.”

“Emang kamu tadi engga gugup apa mas ketemu sama Mama? Keliatannya langsung nyambung aja ngobrolnya.”

“Deg-degan kok aku, sempat gugup pas ketemu di luar, tapi Mama kamu langsung ramah sama aku jadi santai deh.”

“Ya Mama emang welcome sih sama orang baru, makanya si Jamie suka manja sama Mama aku.”

“Sering main-main ke rumah gitu, ya?”

“Lumayan, cuma sekarang pada sibuk masing-masing. Sibuk kerja, sibuk pacaran juga!”

Seungwoo terkekeh, “ya sama sih, kirain temanku doang yang gitu.”

“Kak Hong di pertemanan kalian sering pamer ga sih, kayak pacaran begini begitu?”

“Dia yang paling sombong pamer kalau lagi pacaran, padahal Sungwoon yang udah resmi duluan malah diam-diam aja.”

“Ih sama! Memang Hong sama Hyunggu udah paling cocok, jodoh!”

Saat asik mengobrol tiba-tiba datang seekor kucing menghampiri Seungwoo, “hai cotton!” Sapa Seungwoo kepada kucing berbulu putih bersih, terlihat gemuk dan manja pada Seungwoo.

“Lucunya! Kucing siapa, Mas?”

“Kucing pemilik kedai ini, jinak nih udah dari bayi sampai sekarang sebesar ini ada 5 tahun mungkin.” Seungwoo mengendong kucing putih itu, sengaja meletakannya di atas meja agar Seungyoun dapat ikut memegangnya.

“Mas suka kucing, ya?”

“Hmm, engga begitu sih cuma karena terbiasa jadinya suka.”

“Terbiasa gimana?” Seungyoun menatapnya penasaran.

Seungwoo tampak berpikir terlebih dahulu, “udah saatnya sekarang aja, ya?” batinnya. “Ekhem! Oke, jadi begini, sebelumnya aku cerita ini bukan ada maksud apa-apa ta-”

“Kucing sama mantan, ya?” Seungyoun memotong pembicaraan Seungwoo.

Seketika Seungwoo terdiam, “kok tau?” Tanyanya dengan nada heran.

“Aku mau pengakuan dosa,” Seungyoun menunduk sambil memainkan jarinya kalut di atas meja. Seungwoo terdiam menunggu kata yang akan Seungyoun ucapkan selanjutnya. “Aku tadi stalking akun Mas bahkan sampai bawah banget, aku ada liat Mas Seungwoo gendong seseorang dan kucing. Jadi, aku tanya sama bang Sungjoo itu siapa, bang Sungjoo hanya bilang mantan Mas aja tanpa beri penjeleasan lanjut, karena dia mau kita lebih terbuka.”

Seungwoo berdiri dari kursinya, ia membiarkan kucing yang di atas meja tadi pergi begitu saja. Seungyoun menatap Seungwoo kalut, dirinya takut jika Seungwoo akan marah dan menganggapnya aneh karena sudah berani ‘mengganggu’ privasinya, karena mau bagaimana pun Seungyoun dan Seungwoo belum ada hubungan apa-apa.

“Benar kamu ngelakuin itu?”

“I-iya, Mas. M-maaf kalau aku ganggu privasi kamu, maaf aku engga maksud apa-apa, aku ha-“

“Aku juga.”

“Gimana?” Seungyoun mengerjapkan matanya.

“Aku juga aneh, engga kamu aja. Aku juga stalking kamu, aku juga tanya sama Sungjoo soal postingan lama kamu. Kita impas, kan?” Seungwoo tersenyum dan memeluk kepala Seungyoun, sengaja ia pendam dengan gemas di perutnya.

Seungyoun yang merasa di baduti pun memukul pinggang Seungwoo, “Mas aku udah takut bakal marah!” teriakannya teredam.

“Hahaha emang paling enak ya jahilin kamu, tuh?”

Seungyoun mendorong Seungwoo agar menjauh, “aku bukan mainan ih! Jangan jahilin aku mulu!”

“Iya bayi, ngambek mulu dasar bayi!”

“Bukan bayi!”

Seungwoo pun memilih duduk disamping Seungyoun dan merangkul laki-laki manis itu, “jadi ada yang mau kamu tanyakan perihal mantan aku?”

“Ceritain semuanya, dari kalian ketemu, jadian, terus sekarang gimana?”

“Aku coba persingkat karena lumayan panjang, intinya aku sama dia teman SMA awalnya dia anaknya pemalu, aku ajakin dia berteman karena jujur kasihan banget kemana-mana sendirian, pas pertama masuk aja kelas 1 dia duduk sendirian, semua orang pada segan sama dia. Lama-lama berteman, ternyata dia jadi suka sama aku, waktu itu aku engga suka sama dia karena aku anggap dia teman aku aja, sampai akhirnya kelas 2 SMA kita pun jadian, itu juga dia yang nembak aku duluan.”

“Kok akhirnya di terima?”

“Aku habis ditolak sama orang lain, jadi aku iyakan ajakan pacaran dia.”

“Mas, kamu jahat lho jadiin dia pelampiasan!”

“Ya iya aku jahat, tapi kita lumayan lama bertahan pacarannya lho sampai sekitar 8 tahun mungkin.”

“Wah- terus putusnya baru-baru ini, dong?”

“Yah…, sekitar beberapa tahun ini lah. Itu juga karena udah benar-benar capek, aku udah benar-benar mau lepas dan kalau bisa engga ada hubungan lagi sama dia.”

“Kenapa, Mas?”

Toxic relationship, biasa anak-anak SMA bodoh yang labil, cuma jadi budak cinta tanpa mikirin apa-apa. Aku yang posesif, dia yang tukang atur, aku bahkan sampai engga ngenalin diri aku siapa karena begitu banyak diatur sama dia, dan dulu aku merasa kamu aja bisa atur aku, kenapa aku engga bisa posesif? Dulu aku kalau engga mau nurut sama dia bisa aja aku dipukul sama dia, akhirnya aku minta maaf dan nurut sama dia. Padahal awalnya dia keliatan baik, lugu, bahkan Mama aku aja, keluarga bahkan kakak aku suka, tapi manusia itu engga bisa ditebak sifat asli da nisi hatinya, jadi ya begitu…,” Pandangan Seungwoo tampak kosong, Seungyoun dapat merasakan perasaan sakit dan sedih, bahkan kenangan buruk hanya dari tatapan kosong itu, napas Seungwoo bahkan terdengar berat.

“Setiap dia atur aku, ya aku turuti. Jadi, kalau dia mau kemana-mana tanpa aku harus foto dulu, harus laporan dulu, aku takut kehilangan dia banget karena ibaratkan dunia aku berputar di dia, antara sayang dan takut dia bakal marah kemudian nyakiti aku lagi, baik fisik maupun hati aku. Kita terus begitu sampai kuliah, dia kesusahan saat kuliah, ibaratkan dari nol aku bantu dia sampai akhirnya dia sukses sekarang jadi hakim semua berkat aku.”

“Terus, apa yang terjadi, Mas?” Seungyoun menggenggam tangan Seungwoo dan meletakannya diatas pahanya.

“Dia selingkuh sama teman aku, teman yang bahkan nyata-nyata bisa dibilang teman baik semasama SMA, bahkan mereka udah lama main dibelakang aku sampai melebihi batas selama akhir-akhir masa kuliah, masa dimana aku bantu kesusahan dia sedangkan saat itu aku juga kesusahan. Belum lagi aku kuliah, cari uang, bahkan aku sama dia udah mau tunangan. Tapi Tuhan itu baik, walaupun aku hancur saat itu tau kenyataannya tapi aku bersyukur dijauhkan dari orang kayak begitu.”

“Gila, sumpah gila! Udah kasar, ngga tau diri pula! Terus sekarang masih kontakan atau gimana?”

“Udah engga lagi, cuma kadang-kadang aja curhat soal pacar dia yang hasil selingkuh itu, katanya mau nikah tapi banyak kendala. Apa ya bilangnya, caper mungkin? Kalau ada kesempatan apapun dia hubungi aku, engga jelas sih. Aku juga udah kepalang sakit hati, setahun lalu benar-benar hilang rasa respect aku sama dia, dengan seenaknya dia datang ke rumah orang tua aku, marah-marah bilang ke orang tua aku kalau aku engga tau diri, sombong, mentang-mentang sudah sukses malah sombong, engga mau pinjamin dia uang. Like, who fucking are you? Seenaknya aja marah di rumah orang, saat aku aja waktu itu lagi di Amerika.”

“Sinting! Mas demi apapun dia sinting!”

“Hahaha sabar Seungyoun, sabar…,” Seungwoo mengelus kepala Seungyoun, “selama 8 tahun, ternyata di balas begitu doang sama dia.”

“Emang sebelum sama dia Mas ada pacaran?”

“Ada, tapi pas SMP juga ya cinta-cintaan monyet gitu lah!”

“Terus kucing itu?”

“Oh itu, kan kita tinggal berdua selama kuliah. Dia bujuk oh bukan tepatnya maksa aku buat pelihara kucing, disaat aku tu engga suka melihara-melihara begitu. Akhirnya pas pelihara ya aku senang sih, tapi pas putus aku mau bawa pulang ke rumah orang tua aku juga engga bisa, soalnya Mama aku alergi bulu kucing, akhirnya di kasi ke orang yang memang mau adopsi dia.”

“Terus foto gendong-gendong itu?”

“Itu foto terakhir, paling terakhir kita liburan sampai akhirnya benar-benar putus yang putus engga ada hubungan apa-apa. Selama ini kita putus nyambung, kalau putus ya aku lari ke kostan Sungwoon, karena aku pasti bakal berantem sama mantan aku dan lagi dipukulin.”

Seungyoun menatap Seungwoo sedih, ia memeluk erat Seungwoo dari samping dan mengusak pipinya pada pundak lebar Seungwoo, “aku tau rasa cinta dan sayang tu bisa bikin bodoh bahkan ketergantungan, tapi hubungan kamu benar-benar seengga sehat itu, Mas. Aku salut kamu bisa bertahan dan akhirnya mau membuka hati lagi.”

“Aku yang harusnya terima kasih sama kamu, aku yang awalnya udah engga percaya kalau ada orang baik di dunia ini yang datang ke aku akhirnya pikiran aku kebuka.” Seungwoo mengelus pipi Seungyoun dengan jempolnya, keduanya saling bertatapan dan tersenyum satu sama lain. “Jadi, aku boleh giliran tanya kan?” tanya Seungwoo.

“Mau tanya apa?”

“Foto blur pakai emot love hitam itu siapa?”

Seungyoun terdiam, raut wajahnya seketika berubah, terlihat sendu namun dirinya berusaha untuk tersenyum sebaik mungkin menutupi sendu itu, “mantan aku, mantan terindah, mungkin? Mantan yang buat aku sadar kalau orang baik, orang yang kamu sayang, tapi bukan jodoh engga akan bisa bareng. Orang yang ngajarin aku buat nerima rasa ikhlas itu apa.”

“Seberarti itu, ya? Sampai sekarang masih belum move on?”

“Udah kok, jangan salah paham ya Mas fotonya emang belum sempat aku hapus aja, toh dia udah jadi bagian masa lalu aku.”

“Ada apa dalam hubungan kalian?”

“Ada dia yang buat aku bangkit dari terpuruknya aku. Jadi, aku sama dia ketemu pas aku kelas 3 SMA kalau engga salah, sebelumnya aku sempat pacaran sama seseorang, dari SMP sampai masuk SMA sama orang ini. Sayang aja balik lagi masih SMP, cinta-cintaan monyet engga jelas, bahkan bodohnya aku dulu kasi benda paling berharga aku ke dia di kelas 9 waktu itu, aku engga mikir apa-apa, yang aku pikir hanya enak dan dia pasti akan selalu sama aku. Nyatanya? Pas udah SMA dia ketemu yang lebih baik, dia selingkuh dan bahkan dengan kejamnya ngelakuin hal itu di rumahnya padahal dia tau aku mau ke rumahnya, di depan mata aku mereka berbuat hal itu, Mas.”

Seungwoo tak dapat berkata apa-apa, ia hanya mengelus pundak Seungyoun, mencoba menenangkannya karena dapat Seungwoo rasakan Seungyoun yang mulai emosi mengingat mantan masa SMP nya.

“Aku putus, aku galau, aku benci diri aku yang bisa dibilang udah kotor? Terus aku ikut bang Sungjoo gitu jalan-jalan ke pameran kampus dia, niat awalnya mau ngehibur diri sambil liat suasana kampus bagaimana sih kalau suatu saat aku kuliah? Terus engga sengaja ketemu dia ini, aku kira anak kampus situ, ternyata dia mahasiswa baru dari kampus lain yang kebetulan disitu ikut temannya, kita ketemu gara-gara engga sengaja nyambung aja bicarain soal music, ya begitulah akhirnya jadian.”

“Engga ada yang buruk, terus ada apa?”

“Dia mau nikah, sedangkan aku belum siap. Dia juga anggap aku ya anak kecil, adik yang dilindungi, bukan untuk ranah serius dan aku juga ngerti itu. Kita putus baik-baik bahkan dia minta maaf sama Mama, dia nangis sungkem sama Mama pas kita putus. Aku bahkan engga ada nangis sama sekali, tapi perihnya sampai 4 tahun baru sembuh. Pas dia nikah aku sama Mama juga di undang, dia keliatan bahagia, aku bisa apa? Selama ini orang datang ke aku cuma manfaatin aku, uang, status aku karena aku selalu jadi Ketua OSIS atau yang berkaitan dengan hal terkenal, tapi cuma dia..., cuma dia yang melihat aku pure.”

Giliran Seungwoo yang menarik Seungyoun kedalam pelukannya, dengan erat Seungwoo memeluk Seungyoun dan dapat dirinya rasakan hela napas berat Seungyoun didalam pelukannya.

“Pasti berat buat ikhlas, ya?”

“Putus itu selalu berat, mau dengan cara baik ataupun buruk, semuanya tentang perpisahan. Tapi, kalau memang itu jalan terakhir yang harus di ambil untuk mendapatkan hasil yang lebih baik di masa depan kenapa engga? Tuhan pasti punya rencananya sendiri pada setiap orang-orang, kan?”

Seungwoo tersenyum, ditepuknya dan diusaknya punggung Seungyoun, “kamu hebat udah bertahan sejauh ini.”

“Mas juga hebat, lebih hebat malah udah bertahan. Bayangin sesakit apa yang Mas lalui, bahkan sampai hampir engga percaya kalau ada orang baik? Aku harap dia bakal ngerasain penyesalan udah jahatin kamu, Mas.”

“Hush! Engga boleh ngomong begitu, biarin aja bakal ada balasannya kok. Mending kita fokus sama dunia kita aja, jangan peduliin yang lain.”

“Yaudah, Mas mau tanya apa?”

“Siapa Yibo, kamu sama dia keliatan manja banget?”

“Hahahaha ya ampun nanyain Yibo pula! Oke jadi Yibo itu….”

Keduanya menghabiskan waktu di kedai ramen hingga tengah malam dengan berbagi cerita satu sama lain, saling terbuka dan mengenal lebih jauh satu sama lain. Tak ada lagi batas di antara keduanya, tinggal menunggu waktu yang tepat kapan bahagia yang sesungguhnya akan datang menghampiri karena ini masih awal dari kisah keduanya.


Hujan masih berlomba-lomba turun seakan tak ingin berhenti, suasana rumah yang di huni oleh Ibu dan Anak ini tampak tenang, keduanya saling menikmati roti isi masing-masing yang di belikan oleh Seungwoo. Namun, Seungyoun berusaha untuk makan roti isinya dengan tenang, tetapi tatapan sang Ibu tak mengizinkan dirinya untuk makan dengan tenang, bahkan menelan saja rasanya gugup.

“Kenapa sih, Ma?” Tanya Seungyoun akhirnya menatap Ibunya.

“Gapapa, Mama suka rotinya enak. Bilangin sama Seungwoo, Seungwoo ini makasih ya,” jawab Ibu Seungyoun santai.

“Hm....”

Suasana menjadi sedikit mencair, Seungyoun menyeruput kopinya yang masih hangat.

“Kenal dimana?” Tanya Ibu Seungyoun tiba-tiba.

“Temen bang Sungjoo, ketemu di undangan bang Sungwoon.”

“Gimana bisa?”

“Hmm...,” Seungyoun sedikit ragu apakah ia harus menceritakan kejadian sebenarnya, tetapi ia tak bisa menyimpan rahasia dari Ibunya. “Mama jangan ketawa, ya?”

Ibu Seungyoun menghentikan makannya, “apa lagi yang kamu lakuin kali ini, Youn?”

Seungyoun menggaruk pipinya malu, “hehe jadi aku ngga sengaja nabrak dia di undangan, terus baju dia kotor gara-gara Uyon. Terus Uyon kasi deh baju Uyon sebagai ganti, soalnya badan kita kurang lebih sama. Eh rupanya dia ngajak ketemu mau balikin baju Uyon, lucunya ternyata dia tuh temennya bang Sungjoo, Ma! Aku engga nyangka sih sesempit itu, ketemunya orang itu lagi.”

“Seungyoun, kapan sih kamu ngga bikin ulah, hm?”

“Hehehe ya maaf, Ma! Tapi karena itu aku jadi deket sama dia, orangnya baik, asik juga diajak ngobrol, nyambung juga, beda 2 tahun sama aku.”

“Kerjanya apa?”

Photografer, itu Ma dia sama bang Sungwoon yang punya studio gede yang pernah aku cerita itu, loh! Tapi si Seungwoo ini dia ranahnya lebih sering ke luar kota, luar negeri gitu, Ma.”

Ibu Seungyoun mengangguk paham, wanita yang terlihat awet muda ini menghabiskan rotinya terlebih dahulu dan meminum kopinya hingga habis setengah cangkir.

“Kamu senang kenal dia?”

“Senang Ma....”

“Dia serius, apa sekedar dekat aja?”

Seungyoun kembali menatap Ibunya, ia pun tersenyum tipis, “kemarin aku pergi sama dia diajakin ke pameran, terus pas di pameran dia ngomong katanya tertarik sama aku dan mau serius. Jadi, semalam kita ada ngobrol gitu soal hubungan kita maunya gimana, aku jujur bilang kalau serius buat nikah mungkin belum, Mama tau sendiri aku masih takut buat hal begitu, tapi disatu sisi aku ya senang diajak serius. Terus Seungwoo bilang kita jalani aja pelan-pelan, saling mengenal satu sama lain, dia suruh aku pertimbangkan dulu, tapi aku rasa setengah yakin soal ini, kan namanya juga belajar ya, Ma? Jadi, ya gitu....”

Ibu Seungyoun tersenyum lembut, dibawanya tangan sang putra dalam genggamannya, “anak Mama udah dewasa ya, udah berani ngomongin hal serius. Mama percaya kamu pasti bisa buat ke jalan serius, hanya aja selama ini kamu selalu dipertemukan sama orang yang salah. Mama senang kalau kamu senang, Mama berharap Seungwoo benar-benar serius dengan omongannya, atau setidaknya dia jadi orang yang baik seperti yang kamu bilang.”

“Menurut Mama gimana, apa engga kecepatan?”

“Engga lah, umur kamu bisa dibilang udah cukup kalau kamu mau mulai serius, atau mungkin kalian pacaran atau sekedar teman dekat tapi yang memang serius untuk mengenal satu sama lain. Lagipula Mama belum ketemu atau lihat secara langsung Seungwoo ini gimana, tapi kalau anak Mama bilang baik dan bikin kamu senang, ya Mama percaya itu.”

“Kalau kejadian dulu terulang gimana, Ma?” Seungyoun mengeratkan genggamannya pada tangan sang Ibu.

“Ada Mama disini yang selalu siap jadi tamen kamu disaat anak Mama sedih dan terluka, tapi Mama ga akan rela biarkan Seungwoo nyakiti anak Mama satu-satunya, Mama bahkan bisa tampar Seungwoo atau ngehukum dia kalau memang dia berani nyakiti kamu.”

“Ma! Jangan ngada-ngada!”

“Eh, siapa yang ngada-ngada? Kamu anak Mama, udah Mama besarin susah-susah masa disakiti? Mama ngga mau kejadian seperti mantan kamu dulu-dulu itu ya! Cukup sekali aja, engga kedua kali! Kalau memang Seungwoo serius, temui Mama, minimal Mama harus liat gimana dia bersikap sama Mama.”

“Belum 24 jam loh, Ma!”

“Ya gapapa, suruh siapin diri aja bakal Mama tunggu kok kapan dia siap. Pokoknya Mama ngga mau cuma ngomong serius tapi engga dibuktikan, paham?”

“Hmm...,” Seungyoun bergumam malas, kemudian melanjutkan menghabiskan roti isinya.

“Jangan hmm hmm doang!”

“Iya Mamaku sayang, cantiknya Seungyoun, nanti Seungyoun kenalin sama Mas Seungwoo ya, Ma?”

“Oh- panggilanya Mas Seungwoo nih? Biasanya yang dipanggil Mas tuh cakep, bener ngga?” Ibu Seungyoun tersenyum jahil sengaja menggoda anaknya.

Pipi bulat Seungyoun yang dipenuhi dengan roti merona samar, buru-buru Seungyoun menelan roti isinya. “Y-ya, standar lah!”

“Standarnya kamu ini biasanya ganteng sih, duh jadi ngga sabar liat calon mantu Mama!”

“Ih Mama apa-apaan sih!? Belum tentu juga!”

“Aminin aja, kenapa sih!? Kalau memang jodoh kan ya jadi calon mantu Mama!”

“Kalau ngga jodoh?”

“Mengejar jodoh tuh harus ada usaha, belum apa-apa udah nyerah. Huu! Kalah kamu sama mendiang Papa kamu!”

“Curang ih nyamain dengan Papa!”

Sang Ibu tertawa geli, mengacak rambut kesayangannya, “Youn..., ngga nyangka Mama kamu udah ditahap ngomong begini lagi, dan jujur aja Mama lebih percaya dan yakin sama yang sekarang daripada sebelumnya. Dulu pas kamu ngomong begini ngga pernah Mama tanggapin serius, tapi kali ini Mama rasa udah saatnya.”

“Kenapa Mama seyakin itu?”

“Insting seorang ibu engga pernah salah, nak. Mama tau semua apa yang anak Mama lakukan, rasakan, tanpa kamu cerita pun Mama udah paham, tinggal nunggu aja kejujuran anak Mama. Bahkan Mama ngga nyangka kamu secepat ini buat ngomong tentang Seungwoo.”

“Aku juga engga tau sih Ma kenapa, tapi sama Seungwoo ini aku mau langsung ngomong aja sama Mama, tanpa aku mikir dua kali, bahkan aku mau ngomong begini biar semakin yakini diri aku, apa aku harus tetap maju buat sama Seungwoo?”

“Jalani nak, lakukan apa yang kamu mau. Engga ada salahnya belajar dan mengenal satu sama lain, Mama dukung kamu selagi itu buat kebaikan kamu.”

Seungyoun berdiri dari duduknya, dirinya pun berlari kecil menghampiri sang Ibu dan memeluknya erat. “Makasih Mamaku, makasih banyak udah jadi Mama aku, Mama benar-benar Mama terbaik yang Uyon miliki!” Seungyoun mencium pipi Mamanya berkali-kali.

“Kurangi manjanya, kamu juga mulai perbaiki diri kalau memang mau diseriusin!” Ibu Seungyoun menarik gemas hidung anaknya.

“Hehehe siap, Ma!”


Sekitar 30 menit menunggu, Seungwoo pun memberitahu Seungyoun jika dirinya sudah berada di depan studio. Tak ingin Seungwoo menunggu lebih lama, Seunyoun pun langsung keluar dari studio, tak lupa mengunci studio terlebih dahulu.

Dapat Seungyoun lihat Seungwoo berada di dalam mobilnya, melambaikan tangan ke arahnya, membuat Seungyoun tersenyum cerah dan masuk ke dalam mobil Seungwoo.

“Ketemu lagi kita.” Ucapan pertama yang Seungwoo katakan.

Seungyoun terkekeh geli, “apasih mas baru juga kemarin lalu ketemu!” Jawabnya sedikit tersipu.

“Kemarin lalu itu lama ngga aku tanya?”

“Ya, lama sih tapi kan tetap aja!”

“Haha iya ... iya ... jangan lupa seatbelt, Seungyoun.” Seungwoo melihat Seungyoun yang masih duduk belum memasang sabuk pengamannya.

“Oh iya, pantesan rasanya ada yang kurang!” Seungyoun menepuk dahinya terlebih dahulu dan memasang sabuk pengaman. Seungwoo yang melihat tingkah konyol Seungyoun hanya dapat terkekeh. “Kenapa ketawa? Iya, emang anaknya suka agak bego gitu ya mas, maafin nih.” Seungyoun sedikit cemberut karena malu.

Tak dapat menahan gemas Seungwoo mengacak rambut Seungyoun sambil tersenyum, “gapapa kok, siapa yang bilang bego, hm? Malah kamu lucu kalau begitu. Udah siap, kan?”

Pipi Seungyoun pun merona samar, ia menggigit bibirnya menahan senyuman dan mengangguk sebagai jawaban jika dirinya sudah siap.

Suasana jalan cukup ramai karena akhir pekan, orang-orang memilih pergi bersama keluarga, pacar atau pun teman. Biasanya Seungyoun akan pergi bersama anak MOLA atau temannya yang lain, namun hari ini tak ada satu pun yang mengajaknya pergi kecuali Seungwoo yang Seungyoun anggap adalah sebuah keberuntungan.

“Diam aja nih, laper ya?” Tanya Seungwoo.

“Eh- engga kok mas, liatin orang di jalan ramai banget kira-kira pada kemana.”

“Oh kirain laper, kalau laper kan singgah makan dulu kita.”

“Aku udah makan kok, mas belum makan ya?” Seungyoun menatap Seungwoo yang fokus menyetir.

Seungwoo melirik Seungyoun kemudian tersenyum, “udah, tadi aku sempatin ke càfe dulu ngopi sambil sarapan.”

“Emang mas Seungwoo tinggal sendiri, ya?”

“Iya, orang tua di daerah engga begitu suka suasana kota. Jadi, aku kerja di sini pisah sama orang tua.”

“Sama kayak kak Hongseok, dong?”

“Iya sama, nah orang tua aku sama orang tua Hongseok satu kota.”

“Oalah gitu... pantesan milih tinggal di sana, enak loh tempatnya aku pernah kesana!”

Seungwoo menatap Seungyoun saat mobil berhenti di lampu merah, “pasti sama Hyunggu, ya? Berarti kamu sama anak-anak lain lebih kenal kecuali sama aku?”

Seungyoun pun mengangguk, “makanya aku kaget pas tau mas temannya bang Sungjoo, sama lainnya. Karena aku emang engga pernah tau, bahkan kenal gitu loh, Mas.”

“Ya iya sih, wajar kamu kalau engga tau. Aku 2 tahun terakhir ini emang sibuk ke luar kota bahkan negara, jobnya agak meroket hehehe.” Seungwoo tersipu malu saat membicarakan job yang ia miliki, dirinya mengusak tengkuk canggung dan langsung mengalihkan perhatian kepada jalan di depan.

“Rezeki banget ya mas dapat job kemana-mana, lumayan banget buat hidup sendiri atau ngirim buat orang tua. Mas tipe yang begitu ngga?”

“Tipe gimana?”

“Uang hasil kerja dikasi ke orang tua, entah diminta atau emang Mas yang mau?”

“Oh itu, iya aku gitu kok. Walau orang tua aku selalu bilang jangan kasi mereka, tapi sebagai anak aku tetap kirim sih emang aku yang mau.”

“Sama dong! Aku kan cuma berdua di rumah sama Mama, walau Mama ada kerjaan pun aku tetap ada kasi Mama uang gitu. Bisa aja buat simpanan berobat atau apa, ya ngga Mas?”

“Iya Seungyoun bener, aku bahkan ada tabungan buat berobat orang tua aku, berobat aku juga sama ponakan aku.”

“Oh- Mas ada ponakan juga?”

“Ada Youn, umur 4 tahun, cewek, anak kakak. Tinggalnya di daerah sana sama orang tua.”

“Ih pasti lucu!” Nada bicara Seungyoun langsung antusias saat membicarakan anak kecil membuat Seungwoo tertarik.

“Kamu suka anak kecil?” Tanya Seungwoo.

“Suka, suka banget! Aku pengen banget punya saudara tapi ya gimana, aku anak tunggal begini. Bukannya punya adik malah abang sepupu semua.”

“Kamu kayaknya bakal suka sih sama anak kakak aku, suatu saat kalau memang ketemu. Pinter banget, mulutnya itu aduh ngoceh mulu, kadang aku kalau pulang suka capek sendiri nanggapinnya.”

“Aku suka anak yang begitu, Mas! Lain kali kalau memang dia datang ajak ketemu dong hehehe ya kalau mau sih....”

“Boleh kok, kapan-kapan ya ntar aku kenalin ke dia. Namanya Fany, dia panggil dirinya sendiri Fanfan, engga tau deh itu ajaran siapa.”

“Hahaha gemesnya! Mungkin lebih mudah aja gitu bilang Fanfan.”

“Iya kali, ya?” Seungwoo tampak berpikir sejenak dan mengangguk membenarkan pendapat Seungyoun.

“Kabar teman-teman Mas Seungwoo gimana, kado yang waktu itu Mas beli gimana, bang Sungwoon suka?” Kali ini Seungyoun memulai percakapan.

“Baik semua, waktu itu barangnya datang pagi-pagi ya, Istri si Sungwoon kesenangan langsung dipakai, bahkan dipajang di ruang tengah hahaha.”

“Syukurlah suka, karena emang bagus, simple, aku pengen begitu lagi nambah satu di rumah tapi mama pasti bakal marah.”

“Kok gitu?”

“Rumah kami udah penuh Mas hehehe. Barang aku sama barang Mama tu banyaknya udah saingan gitu, emang hobi kita juga belanja, beli barang-barang unik gitu, entah baju, lukisan, tanaman, pokoknya kalau unik beli.”

“Wah- enak dong satu selera gitu sama Mama?”

“Hmm... ya bisa dibilang enak, sih. Kadang ada barang Mama yang aku pakai hehehe.”

“Astaga ada-ada aja, apa engga marah mama kamu?”

“Pernah topi Mama aku pakai ya, eh ketahuan habis diomelin dong aku nya hahaha.” Seungyoun tertawa geli dan santai menceritakan semuanya kepada Seungwoo seakan keduanya sudah sangat lama kenal.

Seungwoo menanggapi cerita Seungyoun dengan senyuman lembut khasnya, sesekali ia pun ikut berbagi cerita bersama Seungyoun selama perjalanan menuju pameran.

Sesampainya di lokasi pameran yang berada di salah satu gedung di tengah kota, Seungyoun terperangah melihat begitu banyak mobil memenuhi tempat parkir. “Ada tempat ga, Mas?” Tanya Seungyoun.

“Ada tapi kayaknya agak jauh, kamu gapapa?”

“Gapapa sih, tuh di sana aja, Mas! Agak teduh juga,” Seungyoun menunjuk salah satu tempat kosong yang agak jauh dengan pintu masuk, namun tampak teduh.

Seungwoo pun mengikuti arahan Seungyoun, dibantu oleh Seungyoun untuk melihat ke arah belakang dan samping mobil, akhirnya mobil Seungwoo pun terparkir dengan rapi. Keduanya keluar mobil bersamaan dan langsung merasakan panas, “aku ga nyangka panasnya gini banget!” Ujar Seungyoun.

“Perasaan di dalam mobil adem aja,” sambung Seungwoo.

“Mas, mobil kan ada AC. Gimana, sih!?” Seungyoun mendorong pundak Seungwoo gemas, membuat empunya terkekeh sambil membetulkan posisi tas yang ia bawa hampir terjatuh.

Saat sedang berjalan, secara tiba-tiba Seungwoo menarik tangan Seungyoun agar mendekat padanya, “awas mobil!” Teriak Seungwoo membuat Seungyoun terkejut dan reflek memeluk lengan Seungwoo.

Mobil yang hampir menabrak Seungyoun itu langsung berlalu begitu saja, “bawa mobil yang benar dong! Udah tau ada orang jalan malah ngebut, cih!” Seungwoo pun menjadi emosi sendiri dibuatnya, sedangkan Seungyoun masih memeluk lengan Seungwoo karena shock dirinya hampir tertabrak. “Kamu gapapa kan, Youn?” Seungwoo menggenggam pundak Seungyoun dan menatapnya.

“Gapapa, Mas. Cuma kaget aja, tadi perasaan kosong kok tiba-tiba muncul mobil.”

“Yaudah kamu sini deketan sama aku aja, jangan lepas pegangannya.” Seungwoo menggenggam sekilas pergelangan tangan Seungyoun yang memeluk lengannya.

Sepanjang perjalanan masuk ke kawasan pameran Seungyoun masih setia memeluk lengan Seungwoo, keduanya terlihat seperti sepasang kekasih yang memiliki hubungan manis. Tak sekali, dua kali, orang-orang menatap mereka namun, Seungwoo dan Seungyoun tak peduli dan masuk saja ke dalam gedung pameran.

“Woah-” kagum Seungyoun saat memasuki gedung dan disambut berbagai macam cahaya berwarna yang dihasilkan dari gambar 2 dimensi dan dipancarkan oleh proyektor. “Wajar sih ramai, aesthetic banget ini,” ujar Seungyoun dan tak sadar sudah melepaskan pelukannya pada lengan Seungwoo.

Dalam hati Seungwoo rasanya sedikit tak rela saat Seungyoun melepaskan pelukan pada lengannya, tetapi saat melihat mata berbinar Seungyoun yang tampak bahagia membuat Seungwoo tanpa sadar ikut tersenyum, “cantik...” gumam Seungwoo.

Seungyoun menoleh tak sengaja mendengar ucapan Seungwoo, “apanya yang cantik, Mas?”

“A-ah? Oh, itu cantik bunga di depan kamu. Mau foto? Aku ada bawa kamera nih!” Seungwoo mengeluarkan kamera dari dalam tasnya.

Seungyoun berlari kecil menuju gambar bunga yang memenuhi dinding putih sebagai media, Seungyoun tenggelam di dalam cahaya penuh bunga tersebut, Seungwoo dengan cekatan langsung mengambil foto Seungyoun. “Mau lagi, ngga?” Tanya Seungwoo.

“Sekali lagi!” Ucap Seungyoun dan merubah gayanya.

“Udah, yuk liat yang lain lagi,” Seungwoo menjulurkan tangannya tepat dihadapan Seungyoun, membuat pria manis dihadapannya mengernyit. “Disini ramai, pegang tangan aku takut kita kepisah,” Seungwoo menjelaskan.

Seungyoun menahan senyumnya, dengan malu-malu dirinya menggenggam tangan Seungwoo. Saat merasakan tangan Seungyoun sudah dalam genggaman, Seungwoo pun mengeratkan genggamannya pada Seungyoun dan berjalan untuk melihat sudut gedung lain yang masih belum mereka telusuri.

“Mas, liat deh di atas ada awan gitu,” Seungyoun menunjuk ke atas dimana gambar awan terlihat bergerak seakan nyata.

“Di kaki kamu bahkan ada bunga mataharinya,” ujar Seungwoo saat melihat ke arah kaki mereka.

Seungyoun yang baru menyadari hal itu pun berteriak antusias, “sunflower!” Dirinya mengeluarkan ponsel untuk mengambil foto bunga matahari pada kakinya. “Mas engga mau foto?” Tanya Seungyoun.

“Engga, aku lebih suka fotoin daripada di foto.”

“Ih jangan gitu, lah! Ayo kita foto mumpung disini! Hmm... nah itu ayo ke bagian ombak,” Seungyoun menarik tangan Seungwoo menuju ke gambar ombak. “Cepet Mas sana berdiri, biar aku fotoin!” Seungyoun mengambil kamera di tangan Seungwoo dan mendorong pria lebih tua darinya, agar tenggelam pada gambar ombak yang bergerak.

“Aku harus apa?” Tanya Seungwoo bingung.

“Berdiri aja udah cakep! Siap-siap ya...” Seungyoun pun bersiap udah membidik Seungwoo dengan kemaren namun Seungwoo terlihat kaku berdiri disana. “Mas, kenapa tegang?”

Bukan tanpa alasan Seungwoo seperti itu, dirinya cukup terkejut saat dipuji oleh Seungyoun, entah itu hanya reflek atau memang benar ingin Seungyoun ucapkan akan tetapi Seungwoo sudah sangat senang dibuatnya.

“G-gapapa, aku emang suka kaget kalau mau difotoin. Kameranya udah siap?” Tanya Seungwoo dan Seungyoun mengangguk. Akhirnya Seungwoo berusaha lebih relax berdiri di depan kamera.

“Wah- Mas hasilnya bagus, loh! Tolong fotoin pakai ponsel aku dong, Mas!” Seungyoun berlari menghampiri Seungwoo dan memberikan kamera beserta ponsel miliknya.

Tak jauh berbeda dengan Seungwoo, Seungyoun pun memilih hanya berdiri dengan santai di ombak tersebut. Seungwoo menatap hasil foto yang ia ambil, kemudian tersenyum lagi.

“Kenapa Mas, jelek ya?” Tanya Seungyoun.

“Engga, bagus kok. Mau lagi?”

“Satu aja! Ke tempat lain lagi, ayo!” Seungyoun mengambil kembali ponselnya dan menarik tangan Seungwoo untuk melihat sudut ruangan lain.

Saat sedang berjalan ditengah keramaian, tanpa sengaja ada seorang anak kecil berusia sekitar 5 tahun menabrak kaki Seungyoun. “Maaf!” Ujar anak perempuan itu.

“Hei, kamu sama siapa disini?” Tanya Seungyoun lembut dan berlutut agar tinggi keduanya setara.

“Sama kakak, tapi kakak pergi sama temannya.”

“Kakaknya mana?” Seungyoun mengelus rambut anak dihadapannya, sambil menangkup pipi bulat anak itu.

Anak itu pun menunjuk ke arah kumpulan anak-anak muda yang asik sendiri tak menghiraukan keadaan sekitar, Seungyoun menghela napas dan menatap Seungwoo yang melihatnya bingung. “Kenapa?” Tanya Seungwoo dengan gerakan bibir.

Namun Seungyoun hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum lembut kepada anak yang masih setia berdiri dihadapannya, bahkan anak itu menggenggam tangan Seungyoun seakan tak mau berpisah.

“Mau foto sama kakak, ngga?”

“Mau! Aku belum ada foto.”

“Foto disitu, mau?” Seungyoun menunjuk ke arah gambar ilalang dengan awan bergerak dan anak itu pun mengangguk semangat.

“Mas tolong fotoin aku sama dia dong,” Seungyoun mengandeng tangan anak itu menuju tempat yang ia maksud, Seungwoo mengangguk sambil tersenyum mengikuti keduanya.

“Itu kamu bawa anaknya, kakaknya apa engga nyariin?” Tanya Seungwoo.

“Dia aja sibuk sama temannya, biarin aja sengaja aku kerjain, biar dia ntar panik cari adiknya.”

“Kamu nih ya...,” Seungwoo mengusak kepala Seungyoun gemas.

“Mau gimana gaya fotonya?” Tanya Seungyoun saat sudah sampai di spot foto yang mereka mau.

“Hmm... gatau?” Jawab anak itu dengan mata berbinar polosnya yang bagaikan boneka.

Seungyoun mencubit pelan pipi anak itu dan langsung digendongnya bagaikan anak koala, Seungwoo terkekeh dan mengambil foto dari setiap gerakan yang Seungyoun dan anak itu lakukan.

“Senyum ke kamera!” Seungyoun menunjuk arah kamera, anak itu pun tertawa sambil memeluk leher Seungyoun. “Udah diambil semua fotonya, Mas?”

“Sudah, lucu banget kalian.” Seungwoo menunjukan hasil fotonya tadi kepada Seungyoun dan anak yang masih digendongannya.

“Ih gemesnya, tuh liat lucunya kamu!” Seungyoun mengelus pipi anak dalam gendongannya, membuat anak itu tersipu malu.

Olif! Ol- Olif! Kakak cariin kamu daritadi!” Tiba-tiba datang perempuan yang wajahnya terlihat mirip dengan anak yang Seungyoun gendong.

“Kakak!” Anak kecil itu pun turun dari gendongan Seungyoun, “kak aku tadi foto sama kakak itu! Bagus!” Ujarnya pada sang Kakak.

Si Kakak pun menatap Seungyoun dan Seungwoo secara bergantin, “oh- kak Seungwoo anak ninety four, kan?” Tanyanya dengan wajah terkejut.

“Iya saya...,” jawab Seungwoo ramah.

“Wah makasih banyak kak repot-repot fotoin adik saya! Kakak ini juga, maaf ya ngerepotin...,” ia pun menunduk sopan kepada Seungwoo dan Seungyoun.

“Lain kali jagain adiknya ya, tempat ramai gini rawan hilang, atau bisa aja diculik,” Seungyoun menasehati.

“Iya kak, maaf..., saya tadi asik main sama teman saya. Sekali lagi makasih ya, Kak!”

“Iya gapapa...,” jawab Seungyoun dan menepuk kepala si Kakak.

“Kamu sekolah apa kuliah?” Tanya Seungwoo.

“Sekolah, SMA kelas 2 kak. Kenapa?”

“Oh, gapapa... nanti kalau mau ambil foto adik kamu email aku aja ya, kalau tau saya berarti tau akun sosial media saya kan?”

“Tau kak, tau! Nanti saya email kakak..., Olif bilang makasih dulu.”

“Kakak-kakak makasih udah mau foto sama Olif!”

Seungyoun mengelus kepala Olif, dirinya tak dapat menahan senyuman melihat bocah menggemaskan ini. “Makasih ya mau sama kakak, hati-hati ya jangan kabur sendirian, pegang erat tangan kakaknya, ya?”

“Iya kak!”

“Saya permisi dulu, makasih semuanya....” dua saudara itu pun pergi meninggalkan Seungwoo dan Seungyoun.

Setelah perginya dua saudara itu Seungwoo dan Seungyoun saling bertatapan, keduanya pun terkekeh geli. “Sekarang aku percaya kamu secinta itu sama anak kecil,” ujar Seungwoo.

“Emang tadi engga meyakinkan, Mas?”

“Aku kira kamu cuma sekedar ya suka aja gitu, engga yang sampai ada anak nyasar aja kamu sayang-sayang.”

“Hehehe iya Mas, aku sesuka itu banget sama anak-anak. Bahkan mama pernah sebel sama aku gara-gara aku suka main sama anak orang, takutnya orang tua si anak engga suka gitu....”

“Ya kalau kamu ga ada niat nyulik sih gapapa.”

“Engga lah, Mas!”

Seungwoo terkekeh, dia pun menggenggam tangan Seungyoun dan berjalan lagi mengitari lokasi terakhir sebelum menuju pintu keluar. Di lokasi terakhir ternyata lebih sepi, bahkan tak ada satu pun orang disana. Ruangan itu seperti lorong, kiri kanan terdapat gambar hamparan bunga mawar, dengan air yang jatuh membasahinya, Seungwoo dan Seungyoun bagai terjebak di kebun mawar.

“Cantik...,” gumam Seungyoun berbisik, matanya fokus melihat bunga mawar yang bergerak seperti menghipnotis.

Seungwoo bukannya fokus kepada bunga namun lebih memilih menatap garis wajah Seungyoun dari samping. Hidung dengan ujung yang bulat membuatnya terlihat lucu, pipi berisi dan bibir yang sedikit terbuka, menambah kesan manis dan indah dimata Seungwoo. Dirinya pun perlahan menggenggam tangan Seungyoun, membuat sang empu menoleh ke arahnya, “ada apa, Mas?” Tanya Seungyoun diiringi senyuman.

“Kamu senang?”

“Senang, senang sekali. Makasih ya, Mas....”

Seungwoo mengeratkan genggamannya, “kamu engga masalah kan dari tadi aku genggam tangannya?”

“Engga lah, aku juga genggam tangan mas Seungwoo, kan?”

“Kamu engga merasa terganggu, kan?”

Seungyoun menggeleng, “aku nikmati setiap momen ini, it means a lot to me, Mas....” ia memberikan senyuman terbaiknya kepada Seungwoo.

Seungwoo menarik Seungyoun mendekat, mengelus kepala Seungyoun untuk merapikan anak rambut yang menutupi mata indah Seungyoun. “Aku senang kamu nikmati ini semua, aku senang seharian bisa habisin waktu sama kamu. Karena kalau boleh jujur, aku tertarik sama kamu, Seungyoun....”

Seketika senyuman di wajah Seungyoun lenyap untuk sepersekian detik, “hm?” Gumam Seungyoun, wajahnya sirat akan kebingungan dan penuh tanya.

“Aku, suka..., aku tertarik sama kamu, awalnya aku pikir cuma sekedar suka aja, tapi setelah tau kamu, liat kamu lebih lama apalagi pas photoshoot waktu itu aku jadi makin tertarik sama kamu. Aku mau dekat sama kamu, dekat yang menuju serius, engga cuma sekedar kenal, dekat, ngga ada kemajuan, itu pun kalau kamu engga keberatan.”

Genggaman keduanya masih bertahan, bahkan Seungyoun tanpa sadar meremas tangan Seungwoo karena merasa gugup, degup jantungnya begitu kencang, takut jika akan terdengar oleh Seungwoo. Namun, Seungyoun hanya tersenyum, tidak menjawab apa-apa, Seungwoo mengerjapkan matanya bingung, pikirannya kalut apa maksud dari senyuman itu.

“Udah sore, pulang yuk Mas?” Ujar Seungyoun.

Seungwoo tersenyum tipis dan mengangguk menuruti permintaan Seungyoun.


Alarm berbunyi menandakan sudah jam 8 pagi saatnya untuk bangun dan memulai aktivitas. Hyunggu menggeliat di atas kasurnya masih dengan wajah mengantuk, mematikan alarm yang berbunyi nyaring memenuhi seisi kamar. Setelah keadaan kamar kembali sepi Hyunggu kembali memejamkan mata lagi, kemudian membukanya dan menatap langit-langit kamar yang remang karena tirai jendela masih belum dibuka, sedangkan cahaya matahari sudah berebut untuk masuk ke dalam kamarnya.

“Jam berapa, Sayang?” Tanya suara parau dari sebelah Hyunggu.

“Jam 8, Kak. Yuk bangun!” Hyunggu mengelus pipi kemudian turun ke leher hingga ke dada telanjang orang disampingnya.

Bukannya bangun yang dipanggil kak ini pun malah menarik Hyunggu ke dalam pelukannya, mendekap tubuh kecil Hyunggu erat sehingga pipi Hyunggu dapat merasakan dada hangat yang sudah terbentuk sempurna karena hasil olahraga setiap minggu.

“Kak Hongseok bangun ih malah tidur lagi!” Hyunggu memukul pelan pundak Hongseok.

Morning kiss dulu baru aku mau bangun.” Hongseok masih memejamkan matanya dan mendekatkan wajahnya pada Hyunggu.

“Modus banget!” Walaupun berkata demikian Hyunggu tetap menuruti perintah, ia menangkup pipi Hongseok dan mengecup bibir Hongseok beberapa kali hingga mengeluarkan suara. “Morning hubby!”

Akhirnya Hongseok membuka matanya, ia ikut tersenyum melihat wajah sang suami yang menyambutnya dengan senyuman. “Morning my little baby.” Hongseok mengusak hidungnya ke pipi berisi Hyunggu dan mengecup dahinya.

Hongseok dan Hyunggu merupakan pasangan pegantin yang baru saja menikah 2 tahun ini. Keduanya tak sengaja bertemu di Paris saat liburan dan bagaikan takdir mereka kembali bertemu lagi di satu pesawat yang sama dengan tujuan negara yang sama saat hendak pulang.

Keduanya pun semakin dekat dan mengenal satu sama lain, kemudian keduanya berpacaran selama 3 tahun, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah dan tinggal di salah satu rumah sederhana tidak begitu besar namun juga tidak begitu kecil, cukup untuk keduanya tinggal bersama, rumah mereka memiliki halaman yang cukup luas untuk Hyunggu menanam bunga karena dirinya sangat terobsesi dengan makhluk hidup cantik tersebut.

“Ayo bangun, kita harus buka toko!” Hyunggu menepuk dada suaminya perlahan kode agar pelukannya dilepas.

Sedikit tak rela Hongseok pun melepaskan pelukannya, membiarkan sang suami beranjak dari kasur untuk membuka tirai jendela.

Seketika seluruh cahaya matahari pun masuk ke dalam kamar mereka dan menerangi seluruh sudut kamar tanpa terkecuali, hari ini begitu cerah bahkan Hyunggu dapat melihat burung-burung asik bermain di atas pohon ceri yang ia tanam bersama Hongseok, langit pun begitu bersih berwarna biru muda, semua hal yang Hyuggu lihat semakin membuat suasana hatinya naik.

“Hari yang cerah untuk merangkai bunga Sayang, ayo bangun!” Hyunggu kembali mendekat ke arah Hongseok mengecup sekilas bibir suaminya sambil tangan lentiknya mengelus perut berotot Hongseok.

Can you give me five minutes, baby?”

No! Mending kamu bangun, terus langsung mandi biar engga makin ngantuk.”

Hongseok menarik tangan Hyunggu yang masih setia berada diatas perutnya, ia dekatkan tangan itu pada bibirnya dan mengecup setiap ruas jari Hyunggu kemudian diletakannya pada pipinya.

“Mau dielus begini ...,” Hongseok memejamkan matanya merasakan tangan Hyunggu berada dipipinya.

“Kakak jangan mulai manja ya, alasan kamu aja biar bisa tidur lagi kan?”

Merasa tertangkap basah Hongseok terkekeh, ia pun kembali membuka matanya. “5 menit ya?” Hyunggu dengan gemas mencubit pipi Hongseok.

“5 menit engga ada tambahan lagi!”

I love you baby!” Teriak Hongseok bahagia. Sedangkan Hyunggu hanya dapat menggelengkan kepalanya sudah terlalu biasa dengan tingkah suaminya yang kadang suka kekanak-kanakan.

Sebelum memulai aktivitas Hyunggu menyempatkan diri untuk membuat sarapan, sebelumnya ia sudah mandi terlebih dahulu dan sengaja menempelkan tangannya yang basah dan terasa dingin karena air sehabis mandi pada pipi Hongseok, agar suaminya terbangun. Berakhir dengan Hongseok yang merengek padanya dan terpaksa bangun untuk mandi.

Saat Hyunggu sedang serius memotong tomat tiba-tiba Hongseok datang dan memeluknya dari belakang, membuat Hyunggu terperanjat karena terkejut. “Kebiasaan suka bikin kaget, kalau jari aku kepotong gimana!?” Hyunggu memukul kesal lengan Hongseok yang melingkari pinggangnya.

Bukannya merasa bersalah, Hongseok terkekeh dan mengecup pipi, leher serta pundak Hyunggu. “Ya, maaf, lagian kamu serius banget potong tomatnya?”

“Aku tadi sambil ngebatin tomatnya segar-segar semua, kira-kira kapan ya bisa pergi ke pasar lagi?”

“Besok?”

“Emang kamu bangun? Ini aja udah siang jam 8 kamu masih ngeluh, apalagi aku minta bangun jam 6, hm?” Hyunggu menolehkan wajahnya pada sang suami.

Keduanya saling bertatapan dengan jarak wajah yang begitu dekat. Hongseok mengambil kesempatan untuk mencuri kecupan kecil dibibir Hyunggu.

“Aku yang bikin kopi, ya?” Hongseok bertanya setelah melepaskan pelukannya.

Ice latte!” Jawab Hyunggu antusias.

Keduanya pun fokus dengan kegiatan masing-masing, Hyunggu yang sedang memanggang daging asap dan roti, sedangkan Hongseok yang menyiapkan kopi untuk keduanya. Selalu seperti ini suasana pagi pasangan pengantin muda ini, terkadang hanya Hongseok yang menyiapkan sarapan, begitu juga sebaliknya Hyunggu yang menyiapakan segalanya atau malah keduanya tidak masak sama sekali dan pergi sarapan diluar sekaligus menghabiskan waktu berduaan.

“Saladnya mau pakai keju apa engga hari ini, Kak?” Tanya Hyunggu saat baru saja menyelesaikan salad yang ia buat.

“Engga usah, udah ada mayo juga kamu olesin ke roti, kan?” Tanya Hongseok dan Hyunggu mengangguk sebagai jawaban.

Akhirnya mereka pun sarapan, Hyunggu menyeruput kopinya terlebih dahulu sebelum makan, sedangkan Hongseok sudah mengambil satu gigitan roti isi buatan Hyunggu. “Ini roti yang kemarin kamu beli? Enak juga dipanggang gini,” ucap Hongseok disela mengunyah rotinya.

“Iya yang kemarin, seenak itu?”

“Cobain dulu makanya dari tadi kamu malah asik ngopi. Iya tau, kopi buatan aku enak bikin nagih.”

“Mulai deh percaya dirinya tinggi!” Hyunggu merengut ke arah Hongseok dan mulai memakan roti isinya. “Eh iya enak dong hehehe lebih enak dari yang biasa kita beli udah jadi.”

“Hari ini kamu engga ada orderan khusus, kan?” Tanya Hongseok.

“Engga ada, minggu depan baru ada jadi kita ntar ke pasar bunga ya, Kak?

“Hmm ....”


Sudah pukul 9.30 saatnya Hongseok dan Hyunggu berangkat untuk membuka toko. Kembali dengan obsesinya terhadap bunga, di tahun pertama pernikahan mereka Hyunggu meminta kepada Hongseok untuk membuka toko bunga dimana ia sendiri yang akan merangkai bunga-bunga tersebut, Hongseok menuruti permintaan Hyunggu sehingga dirinya pun mencari toko yang tidak begitu jauh dari pusat kota.

Berawal dari usaha kecil akhirnya toko bunga yang diberi nama Daisy itu pun menjadi semakin banyak dikenal dan terbilang sukses, walau baru berjalan selama setahun. Cukup banyak orang-orang yang menggunakan jasa Hyunggu untuk keperluan photoshoot atau hanya sekedar merangkai bunga dalam skala besar untuk sebuah acara. Hongseok yang lulusan manajemen bisnis pun turut membantu suaminya dalam mengatur semua bisnis yang dijalani, disela kesibukan dirinya juga menjalani bisnis rumah makan yang sudah lama ia jalani turun temurun dari keluarga.

Akhirnya setelah menghabiskan waktu lebih kurang 20 menit kedua pasangan ini sampai di toko bunga kesayangan Hyunggu, toko bunga yang berada di salah satu gang tengah kota dengan interiornya didominasi oleh kayu dan penuh akan bunga, baik bunga segar yang disimpan dalam lemari pendingin khusus hingga bunga kering, toko yang tidak begitu besar namun juga tidak begitu kecil ini sangat nyaman dan pas.

“Selamat pagi anak-anak kesayanganku!” Sapa Hyunggu saat memasuki toko.

Anak-anak kesayangan yang ia maksud adalah bunga-bunga, hal ini sudah menjadi kebiasaan Hyunggu yang selalu menganggap bunga-bunga adalah anaknya. Hyunggu langsung memeriksa bunga di dalam lemari pendingin, ia tersenyum cerah melihat berbagai macam bunga masih terlihat segar. Sedangkan Hongseok bertugas membersihkan toko, menghilangkan debu dilantai, meja serta jendela. Toko dibuka setiap pukul 11, masih ada banyak waktu untuk keduanya membersihkan dan menyiapkan toko.

“Kak, bantu aku!”

Hongseok yang sedang mengelap jendela melihat ke arah suaminya yang sedikit kesusahan membawa pot bunga besar yang sengaja ia tanam untuk menghias toko.

“Udah tau engga kuat jangan maksain ntar sakit lagi lututnya, gimana?” Hongseok langsung mengambil alih membawa pot besar itu dan meletakan diluar toko.

“Ya, makanya aku minta bantu suami aku sendiri!”

Hongseok mengacak gemas rambut Hyunggu kemudian kembali memindahkan sisa pot lainnya keluar toko, sedangkan Hyunggu sibuk mengeluarkan beberapa bunga dari dalam lemari pendingin, ia pun mengeluarkan bunga dari dalam vas yang diberi air agar bunga selalu segar.

Melihat suaminya yang cukup banyak melakukan pekerjaan, Hongseok pun segera menyelesaikan pekerjaannya membersihkan jendela dan menghampiri Hyunggu yang sibuk mencuci vas bunga, “udah kamu keluarin bunga sama bersihin gunting, pisau, aja biar aku yang bersihin ini.” Hongseok menarik Hyunggu menjauh dari tempat pencucian.

“Eh, tunggu! Nanggung itu aku masih nyuci!”

“Udah biar aku yang lanjutin.” Hongseok mengecup kepala Hyunggu dan meneruskan pekerjaan Hyunggu.

Hyunggu terkekeh melihat suaminya, ia membilas tangannya terlebih dahulu dari sabun, diperhatikan sang suami yang begitu serius memberishkan vas bunga, Hyunggu menyempatkan diri mengecup pipi Hongseok saat selesai membersihkan tangannya, “makasih banyak sayang,” ucapnya lembut.

Hongseok tersenyum tipis, “no problem.”

Tepat pukul 11 toko pun dibuka, Hyunggu sibuk menatap pantulan dirinya pada cermin memastikan jika baju dan apron yang ia kenakan sudah rapi. “Pasangin dong!” Hongseok menyodorkan apron berwarna ungu dengan lambang bunga aster itu kepada Hyunggu.

“Biasa juga pakai sendiri, manja banget kamu hari ini, hm?” Hyunggu menepuk gemas pantat suaminya dan mengambil apron tersebut.

“Ya, kapan lagi bisa minta manja sama kamu? Kan biasanya kamu terus yang manja.”

Hyunggu terkekeh, ia mengalungkan apron tersebut pada leher suaminya, tak lupa mengikat tali dibagian pinggang. Karena posisi keduanya saling berhadapan Hyunggu pun mengikat tali apron dengan cara memeluk Hongseok.

“Kamu pakai parfum aku ya, Kak!?” Hyunggu langsung menggenggam pundak Hongseok guna menatap sang suami penuh selidik.

“Yahh- ketahuan deh hehe...,” Hongseok hanya dapat menyengir.

“Hobi banget sih pakai parfum aku!?”

“Kan aku ke toko bunga, ntar kalau pakai parfum aku kamu bilang baunya bakal mengganggu anak-anak kamu lagi?”

“Tapi engga harus parfum kesukaan aku juga ih!” Hyunggu memukul pundak Hongseok, membuat sang empu tertawa geli dan memeluk erat Hyunggu.

“Iya, iya ... ntar aku ganti, aku beliin yang ukuran besar deh!” Hongseok menangkup pipi Hyunggu gemas.

Baru saja Hongseok ingin mengecup bibir Hyunggu tiba-tiba suara lonceng tanda ada pelanggan masuk menghentikan kegiatannya.

“Selamat datang!” Sapa Hyunggu dan mendorong suaminya agar tidak menghalangi dirinya. “Ada yang bisa saya bantu tuan?” Tanya Hyunggu ramah kepada pelanggan pertama mereka.

“Hmm ..., kira-kira bunga yang cocok untuk orang sakit apa, ya?” Tanya pelanggan itu.

“Kalau boleh tau siapa yang sakit, apakah keluarga atau kekasih?”

“Kekasih saya, dia masuk rumah sakit kemarin karena maag kronis.”

“Oh, I'm sorry for hear that, pasti kekasih anda sangat kesusahan menerima makanan dan menjadi lemah.” Hyunggu tampak sedih mendengarnya.

“Ya begitulah, saya sangat sedih melihatnya dia terlalu stress karena pekerjaan sehingga selalu melewatkan makan. Kira-kira kalau saya kasi bunga apa bisa membantu? Saya ingin membuat stress dan moodnya sedikit membaik, sejak semalam masuk Rumah Sakit wajahnya tampak sedih.”

“Tentu saja bisa tuan! Apakah tuan ingin rekomendasi saya, jika untuk orang sakit pilihan terbaik selalu bunga matahari, aster dan anyelir tuan. Bunga matahari lambang kehangatan, bisa membawa suasana menjadi ceria dan semangat sembuh untuk orang yang sakit.

“Bunga aster sendiri lambang kesabaran dan kasih sayang, agar kekasih tuan bisa sabar menghadapi sakitnya. Terakhir bunga anyelir bisa membawa ketenangan dan kedamaian bagi kekasih tuan yang sedang sakit.”

Pelanggan itu tampak berpikir sejenak, “kalau begitu saya mau bunga matahari dan anyelir masing-masing 8 tangkai.”

“Mau pakai kombinasi bunga kecilnya, Tuan?”

“Boleh, tolong buat seindah mungkin.”

Hyunggu pun tersenyum lembut, “baik tuan mohon ditunggu sebentar.” Hyunggu pun langsung pergi ke tempat penyimpanan bunga, “sayang tolong siapkan kertas warna coklat dan pink, ya!” Perintah Hyunggu kepada Hongseok.

Hongseok yang sedari tadi hanya berdiri di balik meja melihat suaminya melayani pelanggan pun bergerak, ia menyiapkan kertas bungkus sesuai dengan perintah sang suami, tak lupa juga Hongseok mengambil pita berwarna krem dan putih.

“Kalian pasangan pengantin?” Tanya pelanggan itu kepada Hongseok.

“Iya Tuan sudah 2 tahun kami menikah,” jawab Hongseok ramah.

“Wah- hebat ya bisa jalani bisnis sama-sama begini.”

“Haha bukan hal yang spesial tuan, suami saya sesekali membantu disini jika tidak sibuk. Kalau boleh tau, pekerjaan tuan apa?” Tanya Hyunggu di sela-sela ia mengerjakan rangkaian bunga.

“Saya seorang dosen, kebetulan waktu mengajar sudah habis jadi saya baru bisa ke Rumah Sakit menjenguk kekasih saya lagi.”

“Ah begitu, kekasih tuan pasti sangat beruntung memiliki kekasih yang perhatian seperti tuan.” Ucapan Hyunggu membuat pelanggan itu tersenyum malu. “Sudah selesai tuan, silahkan bunganya.” Hyunggu memberikan 2 rangkaian bunga kepada si pelanggan.

“Berapa?” Tanya tuan itu kepada Hongseok yang memang bertugas menjaga kasir.

Hongseok menyebutkan nominal seluruh rangkaian bunga dan memberikan kembalian dari uang yang diberikan pelanggan tadi, “terima kasih, Tuan....” Ujar Hongseok secara sopan.

“Semoga kekasih anda cepat sembuh, Tuan!” Hyunggu membungkuk sopan.

Pelanggan pertama pun tersenyum lembut sambil mengucapkan terima kasih meninggalkan toko bunga. “Kalau aku sakit kamu bawain aku bunga gitu ngga?” Tanya Hyunggu tiba-tiba.

“Loh kan pernah aku bawain kamu bunga pas sakit.”

“Hah- kapan?” Hyunggu mengerutkan dahinya.

“Masa lupa yang aku bawa bunga aster satu pot kecil, terus kamu malah ngomel soalnya aku ngotorin Rumah Sakit.”

Hyunggu coba mengingat kejadian yang dimaksud oleh Hongseok, ia pun langsung tertawa dan memukul lengan Hongseok saat dirinya sudah ingat, “yang aku kecelakaan itu ya? Lagian kamu ngapain juga bawa-bawa pot segala ih!”

“Ya kan biar beda, Sayang!” Hongseok menarik pipi Hyunggu gemas membuat empunya memukul tangan suaminya meminta dilepas.

Lonceng berbunyi lagi, pelanggan yang masuk sedikit terkejut melihat posisi pasangan suami ini. “Ah- maaf mengganggu, saya mau beli bunga?” Pelanggan itu tampak ragu.

“Selamat datang! Ada yang bisa saya bantu?” Hyunggu menepis tangan Hongseok dari pipinya.

“Saya mau satu bucket besar bunga mawar berwarna merah tua dan bisakah memasukan ini disela bunganya?” Pelanggan itu mengeluarkan kotak kecil bludru berwarna hitam.

Mata Hyunggu berbinar melihatnya, ia paham pelanggan dihadapannya ini ingin melamar. “Tentu saja bisa tuan! Apakah anda ingin melamar kekasih, anda?”

“A-ah bukan, saya ingin mengajak mantan istri saya rujuk.”

Hyunggu mengerjapkan matanya sejenak dan langsung tersenyum, “there is always a second chance for the person who keeps trying. Mohon tunggu sebentar tuan!” Hyunggu menyikut perut Hongseok kode agar disiapkan kertas pembungkus dengan ukuran besar.

Sembari menyiapkan kertas pembungkus Hongseok dapat melihat pelanggannya tampak gugup, “apa anda gugup tuan?” Tanya Hongseok.

“O-oh? Ya ..., begitulah.”

“Jangan khawatir tuan, saya mendoakan hasil terbaik untuk tuan.” Hongseok memberikan semangat pada pelanggan itu membuatnya menjadi sedikit tenang dan tersenyum. “Terima kasih atas doa dan dukungannya.”

Hyunggu pun mulai membungkus mawar yang banyak tersebut, Hongseok melihat suaminya sedikit kesusahan pun langsung bantu memegang rangkaian bunga mawar itu. “Aku aja yang pegang kamu langsung ikat aja dulu, itu udah aku siapin samping kamu.” Hyunggu tersenyum kepada suaminya dan mulai mengikatkan pita pada rangkaian bunga.

“Kalian saudara?” Tanya pelanggan itu.

Hyunggu terkekeh sejenak, “kami pasangan suami tuan.”

Pelanggan itu pun terkesiap, “wajah kalian mirip, awalnya saya kira saudara. Berarti benar ya katanya kalau mirip itu jodoh.”

“Haha sering kali orang-orang berkata begitu tuan.” Jawab Hongseok.

“Bisa berikan kotak cincinnya, Tuan?” Hyunggu meminta dengan sopan kotak hitam yang ia lihat tadi, dengan hati-hati Hyunggu menyelipkan kotak tersebut kedalam rangkaian bunga. “Sudah selesai tuan, silahkan.” Hyunggu memberikan rangkaian bunga mawar yang besarnya melebihi wajah kecilnya sendiri.

“Terima kasih banyak, berapa totalnya?”

Hongseok pun menghitung semua yang harus dibayar si pelanggan dan menyebutkan nominalnya. “Bisa pakai kartu?”

“Bisa tuan.”

Pelanggan itu memberikan kartunya kepada Hongseok dan diterima dengan sopan oleh Hongseok, “sudah tuan, terima kasih sudah membeli bunga kami.” Hongseok mengembalikan kartu milik si pelanggan.

“Semoga apa yang anda rencanakan berjalan lancar tuan, terima kasih!” Ujar Hyunggu dan tak lupa membungkuk sopan.

Pelanggan itu pun pergi, baik Hongseok maupun Hyunggu keduanya saling berpandangan satu sama lain. “Kira-kira diterima ga?” Tanya Hyunggu kepada suaminya.

“Diterima, dia ngga mungkin seberani itu kalau engga ada omongan sama mantan istrinya.”

“Semoga aja ya, habis dia keliatan gugup gitu aku yang ikutan gugup.”

Don't be baby, gimana kalau kita makan udah jam 1 siang nih.” Hongseok mengelus pipi Hyunggu.

“Kita pesan sushi, ya?” Pinta Hyunggu sambil memeluk pinggang suaminya manja.

Alright!” Hongseok mengeluarkan ponselnya dan memesan berbagai macam sushi untuk mereka berdua.

Sambil menunggu, Hyunggu mengeluarkan berbagai jenis bunga dari dalam pendingin, “mau ngapain?” Tanya Hongseok.

“Mau bikin little bouquet,” jawab Hyunggu singkat.

Hongseok menarik dua kursi untuk dirinya dan Hyunggu, “bikinnya sambil duduk sayang, dari tadi kamu berdiri.” Hyunggu tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit.

Saat sedang serius merangkai bunga tiba-tiba Hyunggu menghela napas berat, Hongseok yang asik menatapnya pun mengerutkan dahinya heran, “ada apa?” Tanya Hongseok.

“Aku lupa ambil beberapa pita sama bunga kering. Tolong ambilin dong suamiku hehe ...,” Hyunggu menggenggam tangan Hongseok untuk membujuk suaminya.

“Ya ampun aku kira apa, pasti males mau berdiri lagi, kan?”

“Nah itu tau, salah sendiri suruh aku duduk!”

Hongseok mengacak rambut Hyunggu dan mengambil semua jenis bunga kering yang tersedia dan semua jenis warna pita. “Banyak banget!?” Hyunggu terkejut melihat Hongseok memborong semua barang yang tersedia di toko.

“Biar kamu ga usah nyuruh aku bolak balik!”

“Kamu sendiri juga malas berdiri!” Hyunggu menarik gemas hidung Hongseok yang sudah kembali duduk disamping dirinya.

“Ini bunga apa?” Hongseok mengambil bunga yang terlihat seperti sanggul berwarna biru dan pink.

“Hydrangea,” jawab Hyunggu singkat sambil melirik suaminya yang memegang rangkaian bunga yang sudah jadi.

“Sanggul Jepang?” Hongseok memastikan dan Hyunggu mengangguk. “Kalau itu yang lagi kamu rangkai?”

“Lilac, kesukaan aku loh ini masa lupa!” Hyunggu memukul dada Hongseok kesal membuat suaminya terkekeh.

“Sengaja aja aku tu biar kamu kesel, kan lucu manyun gitu tuh liat udah mirip bebek.” Hongseok mencolek bibir bawah Hyunggu yang sengaja ia majukan.

“Engga mirip bebek!”

Hongseok kembali tertawa, sudah menjadi hobi membuat Hyunggu kesal seperti ini. “Aku mau bunga mawar yang peach itu dong sayang, apa namanya?” Hongseok menunjuk bunga disamping lengan Hyunggu.

Versilia rose, mau aku kombinasi pakai apa?”

“Apa aja asal bagus.”

Hyunggu pun merangkai bunga sesuai permintaan suaminya, tak lama lonceng berbunyi Hongseok sudah berdiri semangat mengira makanan mereka datang namun yang berdiri dihadapannya adalah perempuan yang sepertinya adalah mahasiswi.

“Ada yang bisa kami bantu?” Tanya Hongseok, Hyunggu langsung menoleh dan ikut berdiri. “Ada ya-”

“Saya mau itu.” Tunjuk perempuan itu pada rangkaian bunga yang ada ditangan Hyunggu. “Saya cari kemana-mana semua little bouquet versilia rose habis.”

Hyunggu mengerjapkan matanya, ia menatap sang suami yang juga menatap dirinya. “Tapi bu-”

“Bisa nona! Anda beruntung ini baru saja selesai dirangkai dan kebetulan stock terakhir kami.” Hongseok mengambil bunga itu dari tangan Hyunggu dan memberikannya pada pelanggan yang tampak senang akhirnya mendapatkan apa yang ia inginkan.

Hyunggu tersenyum dengan terpaksa kepada pelanggan, “semoga anda suka nona,” ujarnya.

Setelah selesai membayar dan pelanggan itu pergi Hyunggu menatap sinis Hongseok, “kenapa dikasi itu kan buat kamu!” Hyunggu menghentakan kakinya kesal.

Hongseok tersenyum, meletakan tangannya pada kedua pundak Hyunggu. “Kamu sendiri pernah bilang sama aku siapapun yang butuh bunga akan kamu kasi supaya mereka senang, aku selalu ingat perkataan kamu dan aku berusaha buat pelanggan kita senang.”

“Tapi itu kan udah udah aku rangkai khusus kamu ...,” Hyunggu menunduk sedih membuat Hongseok tak tega dan memeluk erat suaminya.

“Jangan sedih, nanti kita cari bunganya lagi ya? Nanti aku minta rangkai yang besar banget, oke?” Hongseok menangkup pipi Hyunggu agar menatap dirinya.

Mata Hyunggu tampak berlinang dan ia pun mengangguk, “jangan sedih dong sayang, aku gapapa kok. Daripada bunga mawar tadi aku udah punya bunga lilac aku sendiri nih lagi aku peluk.” Hongseok mengusak punggung Hyunggu dan mengecup dahi laki-laki kecil didalam pelukannya.

God why I love him.” Hyunggu mendengus geli setelah mengatakan hal tadi dan mengeratkan pelukannya sedangkan Hongseok sudah tertawa geli.

Lonceng berbunyi lagi, keduanya melepaskan pelukan dan melihat siapa yang datang. “Let's eat!” Teriak Hongseok.


Pukul 15.30 Hyunggu sudah mulai membereskan beberapa barang di toko, Hongseok bahkan sudah memasukan bunga ke dalam toko, 30 menit lagi toko akan tutup sehingga keduanya bersiap-siap.

Saat Hyunggu sedang menyapu toko ia melihat seorang pria mengendong bayi perempuan dan menggandeng anak laki-laki yang berusia sekitar 4 tahun. Pria itu tampak mengintip-intip isi toko dan ragu untuk masuk ke dalam toko bunga, Hyunggu pun meletakan sapunya dan keluar dari toko membuat Hongseok yang sedang membereskan beberapa kertas dan pita menoleh kepada sang suami.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan? Hai, sayang ...,” Hyunggu mengelus kepala anak laki-laki yang menatapnya lucu berdiri tak jauh dari kakinya.

“Apakah tokonya sudah tutup?”

“Belum tuan kami sedang beres-beres, apa tuan ingin membeli bunga?”

“Ibu ulang tahun, ayah mau beli bunga!” Jawab anak laki-laki itu.

Hyunggu terkekeh dan mempersilahkan keluarga kecil itu masuk, “sayang liat ada bayi!” Ujar Hyunggu bersemangat saat memasuki toko.

Hongseok pun menoleh dan melambaikan tangannya, “aaa- lucunya. Sudah berapa bulan tuan?” Tanya Hongseok.

“Sudah 8 bulan, kira-kira bunga untuk ulang tahun cocoknya apa ya?”

“Kebanyakan orang memberikan mawar, tapi saya sarankan mawar putih adalah pilihan terbaik.”

“Baiklah saya mau bunga mawar 10 tangkai, ditambah hiasan dan pita berwarna merah.”

“Mohon tunggu sebentar, Tuan.” Hyunggu mengeluarkan persediaan bunga mawar putih dan langsung membungkusnya dengan cekatan, sesekali ia mencoba membuat bayi digendongan ayahnya tertawa. “Aigoo– lucunya, senyumnya manis sekali!” Ujar Hyunggu dan mencoba menggenggam kaki kecil bayi itu.

Hongseok melihat sang kakak yang sibuk mengelilingi toko buka, ia pun menghampirinya dan berlutut didepan anak tersebut. “Nama kamu siapa?” Tanya Hongseok kepada anak itu.

“Wooseok-ie!” Jawabnya antusias.

“Wooseok-ie, beli bunga untuk siapa?”

“Untuk ibu, ibu ulang tahun jadi ayah mau kasi ibu bunga!”

“Wooseok-ie sudah ada hadiah belum buat ibunya, masa cuma ayah doang?”

Anak bernama Wooseok itu menggelengkan kepalanya, “kalau Wooseok-ie mau kasi hadiah bagusnya hadiah apa, Kak?” Tanya Wooseok pada Hongseok.

Hongseok melihat ke sekitar toko, “hmm sebentar.” Ia pun beranjak dan membuka lemari pendingin untuk mengambil 2 tangkai bunga tulip merah kemudian Hongseok mengikat dua tangkai bunga itu dengan pita berwarna putih.

“Ini untuk Wooseok-ie kasi ke ibunya, ucapin selamat ulang tahun dan jangan lupa bilang sayang sama ibu, ya?” Hongseok memberikan bunga tulip merah itu kepada Wooseok.

Wooseok tersenyum cerah menerima bunga dari Hongseok, balita itu mengangguk semangat. “Makasih kak! Ayah aku dikasi bunga untuk ibu!” Wooseok berlari menghampiri sang ayah yang juga sudah memegang rangkaian bunga mawar putihnya.

“Wah- udah bilang makasih belum?”

“Sudah, Ayah!”

Hyunggu dan Hongseok tersenyum gemas melihat kepolosan Wooseok. “Jadi semuanya berapa dengan tulip ini.”

“Tulipnya sengaja saya berikan untuk Wooseok, Tuan.” Hongseok pun hanya menghitung total bunga mawar yang sang ayah beli.

“Wah- terima kasih banyak tuan sudah berbaik hati dengan anak saya.”

“Tidak masalah tuan, kami senang memberikan bunga agar para pelanggan bahagia dengan bunga dari kami.”

Sang ayah pun membayar bunga yang ia beli, sambil menunggu kembalian Hyunggu sibuk bermain dengan sang bayi dan tentu saja Wooseok.

“Sehat selalu ya anak manis, Wooseok-ie jadi abang yang kuat jagain adiknya, ya?”

“Iya, Kak!”

“Sudah Wooseok, ayo pulang kasian ibu dirumah sendirian.”

“Kakak aku pulang dulu ya, makasih bunganya!”

Hongseok menyodorkan tangannya, “hi-five dulu!” Wooseok pun mengadukan tangan mungilnya dengan Hongseok dan menghasilkan suara yang nyaring. “Good boy!” Hongseok mengusak kepala Wooseok.

Sedangkan Hyunggu berlutut dan memeluk Wooseok sekilas, “hati-hati ya pulangnya salam buat ibu kamu bilang selamat ulang tahun dari kakak.”

“Baik, Kak!”

“Terima kasih tuan, sampai jumpa anak manis!” Hyunggu menyempatkan diri menggenggam tangan si bayi kecil.

Senyuman pun tak lepas dari wajah Hongseok dan Hyunggu, keduanya sama-sama menyukai anak kecil terutama Hyunggu. “Kapan ya kita bisa gitu?” Hyunggu bertanya pada Hongseok.

Soon will be ya, Sayang.” Hongseok merangkul suaminya dan mengecup dahi Hyunggu lembut.

“Saatnya tutup yeay! Hari ini rasanya lama banget, iya ngga sih, apa cuma aku?” Hyunggu mengganti tulisan di pintu dari open menjadi closed.

“Karena lumayan banyak pelanggan, ditambah kamu juga ngerangkai bunga sayang.”

Hyunggu pun menghampiri Hongseok dan memeluk erat leher suaminya, “thank you, you've worked hard today.” Hongseok pun membalas pelukan Hyunggu tak kalah erat, bahkan ia sedikit menggendong Hyunggu dan membawanya berputar sehingga mengundang tawa dari Hyunggu.

I'm proud of you today.” Hongseok mencium lembut bibir Hyunggu.

I love you so much!”

So do I, I love you even more.”

Keduanya tersenyum satu sama lain dan berpelukan kembali sebelum mereka pulang.

“Jadi, malam ini kita mau makan apa?” Tanya Hongseok.

“Aku mau kari, bayangin kari dengan katsu!”

“Oke call! Ayo kita makan kari.” Hongseok merangkul Hyunggu keluar toko, tak lupa mengunci toko terlebih dahulu dan pergi untuk makan malam sekaligus pulang ke rumah.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii


Sesuai perintah dan perjanjian tepat pukul 2 siang Seungyoun sudah berada di depan apartemen Jamie menunggu sang sahabat di dalam mobil. Tak lama setelah Seungyoun mengirim pesan kepada Jamie memberitahu jika dirinya sudah berada di depan apartemen perempuan itu pun datang dan langsung masuk ke dalam mobil.

“Udah lama?” Tanya Jamie.

“Barusan aja, tumben lu cakep pakai segala rok begini?” Seungyoun menatap Jamie heran dengan crop top sabrina berwarna merah di padu dengan rok denim sebatas lutut dengan banyak kancing dibagian depannya. Berbanding terbalik dengan Seungyoun yang terlihat lebih santai dengan kaos dasar putih yang penuh corak cat warna-warni dan celana katun hitam pendek.

“Emang gua cakep! Mau pergi lagi habis pemotretan.

“Kemana?”

“Kepo banget lu pacar juga bukan.”

Seungyoun mendengus sambil memutar bola matanya malas, ia pun segera menjalankan mobilnya menuju lokasi foto sesuai dengan arahan Jamie.

“Lu mau ketemu Seungwoo kok penampilan lu begini.”

“Ya emang Seungwoo siapa gua coba? Udah mending gua begini biasa juga pake kolor!”

“Emang ga tau malu pantesan aja jomblo mulu, pacaran juga ga bertahan lama.”

“Bacot ya anda, cepet turun!”

Seungyoun mematikan mesin mobil saat sudah rapi memarkirkan mobil dan keluar terlebih dahulu tanpa menunggu Jamie. “Kok sepi?” Tanya Seungyoun melihat keadaan toko dari brand yang bekerja sama dengan Jamie sekaligus tempat pemotretan akan berlangsung.

“Semua pada di lantai 2, yuk!” Jamie memimpin jalan dan diikuti oleh Seungyoun.

Suasana di lantai 2 ternyata lebih ramai daripada di bawah, semua orang sibuk mempersiapkan segala peralatan untuk foto, ada juga yang menyiapkan alat makeup dan juga busana yang akan Jamie kenakan.

“Lah tumben cepet kalian datang kirain mau singgah kemana dulu?” Datang manajer Jamie dengan wajah heran.

“Engga kak langsung kesini aja, oh iya ntar tolong beliin kopi buat yang udah kerja hari ini ya. Sama Seungyoun aja tuh!” Jamie memberitahu manajernya sambil melirik Seungyoun.

“Maksud lu gua hari ini jadi asisten manajer lu gitu? Emang bener-bener ya lu mengeksploitasi sahabat sendiri!” Seungyoun mendorong kepala Jamie kesal. “Halah Youn bahasa lu kek iye-iye aja, udah ah gua mau siap-siap!” Baru saja Jamie ingin pergi dirinya dikejutkan dengan Seungwoo yang menghampiri mereka.

“Seungyoun!?” Seungwoo tampak terkejut, begitu pula dengan Seungyoun yang ikut terkejut karena reaksi Seungwoo. “Hai mas! Ketemu lagi kita hehehe.” Ujar Seungyoun malu sambil mengusak tengkuknya canggung.

“Kamu kok bisa disini?” Tanya Seungwoo heran.

“Oh- ini Jamie sahabat aku hari ini dia minta temenin kesini, eh ternyata ada maa Seungwoo.” Seungyoun merangkul Jamie, menepuk-nepuk kepala sahabatnya layaknya anak kecil.

Seungwoo tersenyum kecil, “ah- pantesan. Jangan bilang anak MOLA Music juga?”

“Iya kebetulan kita sahabat dan anak MOLA Music kak Seungwoo.” Jamie menjawab terlebih dahulu. “Gua tinggalin gapapa kan Youn? Gua mau siap-siap, kak ayo!” Jamie menarik manajernya dan meninggalkan Seungyoun bersama Seungwoo.

Keduanya terdiam saling memperhatikan satu sama lain, sama seperti dirinya Seungwoo tampak santai dengan kaos hitam dan jeans hitam pula tapi entah mengapa rasanya hari ini Seungwoo tampak lebih tampan dan fresh dimata Seungyoun.

“Dari jam berapa disini mas?” Tanya Seungyoun memulai percakapan.

“Hmm sekitar jam 1 gitu habis makan siang. Ngomong-ngomong kamu udah makan? Jangan ngopi doang lho!”

Seungyoun tertawa kecil menggelengkan kepalanya, “engga kok mas kali ini aku makan 2 kali malah. Soalnya ada mama, engga ada kerjaan juga jadi tidur lebih awal bangun juga awal.”

“Syukurlah kalau gitu, habis ini kamu mau kemana?”

“Langsung pulang mas engga ada kerjaan juga, ini kebetulan aja Jamie minta temenin aku.”

“Baik banget jadi temen segala nemenin pemotretan begini.”

“Hehehe ya gapapa sesekali mas, selama ini aku engga pernah tau behind the scene Jamie kalau foto taunya hasil doang. Eh pas nemenin rupanya mas Seungwoo yang fotoin!” Seungyoun menyengir sambil menutup mulutnya, “ngga tau aja lu gua emang sengaja ikut biar liat elu.” Batin Seungyoun.

“Hahaha ya makanya aku kaget kok ada kamu, perasaan kamu engga ada ngomong apa-apa soal project ini. Emang ya dunia tu sempit banget, kalau tau pas kemaren Jamie temen kamu mau aku mintain nomornya.”

Seungyoun terkesiap, “buat apa?”

Melihat reaksi spontan Seungyoun, Seungwoo pun mengulum senyumnya. “Buat nanya-nanya soal kamu lah, biar aku lebih tau kamu ngga sekedar suka ngopi tanpa sarapan aja. Kalau nanya sama Hyunggu pasti nanti bocor ke Hongseok.”

Seungyoun tak dapat menahan rona dipipinya dan menutup wajahnya malu, “astaga ada-ada aja! Ngapain nanya ke Jamie kalau bisa nanya ke orangnya langsung, hm?” Seungyoun dengan sengaja menarik turunkan alisnya menggoda Seungwoo.

“Oh- kode banget biar ditanyain langsung nih?” Seungwoo pun tak mau kalah ia menyeringai menggoda Seungyoun.

“E-eh engga gitu! Ya kan maksudnya mumpung udah kenal aku kenapa engga tanya aja gitu loh!”

Seungwoo hanya mengangguk dan masih mempertahankan senyuman menggodanya, baru saja Seungyoun ingin menjawab lagi tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu dikakinya. Saat ia melihat ternyata seekor anjing berjenis corgi terlihat senang menggoyang-goyangkan ekornya meminta diambil.

Hi cutie! Kenapa kamu disini?” Seungyoun langsung berjongkok dan menggendong anjing tersebut. “Punya siapa nih mas?” Tanya Seungyoun.

Seungwoo melihat sekitar lokasi dan melihat salah satu stylist yang menatap kearah keduanya dengan tatapan lega. “Tuh punya stylist sini. Tadi dia asik sana sini lari hampir jatuhin lighting jadi sama tuannya dibawa masuk ke ruang makeup.”

“Hei kamu jangan nakal ya! Mainnya jangan jauh-jauh ntar dikurung lagi mau?” Seungyoun menatap mata anjing yang ada digendongannya, ia pun mengusak wajahnya pada kepala anjing tersebut. Seungwoo yang melihat interaksi Seungyoun bersama anjing itu pun tak dapat menahan senyumnya.

“Oh disini rupanya kamu ya! Ngaku lu Youn pasti lu ngehasut dia buat kesini kan?” Tiba-tiba Jamie datang dan langsung menuduh Seungyoun.

“Dih ngapain, anjing aja tau mana yang suka sama mereka mana yang serem. Pasti lu nakutin dia!” Jawab Seungyoun.

“Mana ada! Tadi gua asik main sama dia gegara ganti baju aja makanya dia kabur!”

Seungwoo mendengus geli melihat kedua orang ini berdebat, “kalian ngga pernah akur ya?” Tanyanya.

Jamie langsung menoleh dan tertawa geli, “maklum ya kak emang tiap hari kerjaan kita debat mulu.”

“Emang Jamie aja sih mas suka cari perkara.”

Jamie melabarkan matanya kesal, begitu pula Seungyoun yang tak mau mengalah. “Udah-udah, Jamie yuk kita mulai takenya. Tunggu dulu ya Youn kita kerja dulu, sekalian jagain si kecil ini biar ga nakal gangguin kerjaan aku.” Seungwoo mengelus anjing digendongan Seungyoun, tak sengaja elusan itu mengenai lengan Seungyoun.

“Siap mas, semangat kerjanya! Jamie jangan banyak tingkah lu ya bener-bener kerjanya!”

“Iya bawel!”

Seluruh staff yang berada disana tertawa mendengar interaksi Seungyoun dan Jamie.

Saat pemotretan berjalan, Seungyoun tampak asik bermain dengan corgi tadi disisi ruangan yang kosong agar tidak mengganggu proses pemotretan. “Jangan kabur shuut! Kamu ini aktif banget ya?” Seungyoun tampak sibuk sendiri mengaja corgi itu berbicara, digendong, diciumnya wajah corgi serta paw corgi itu.

“Tolong stylist rapiin rambutnya dikit.” Perintah Seungwoo disela-sela melakukan pemotretan, dirinya melirik ke arah Seungyoun yang asik dengan dunianya sendiri dan tanpa sadar Seungwoo tersenyum. Semua hal itu tak lepas dari pandangan Jamie dan perempuan ini pun tersenyum penuh arti.

Pemotretan terus berjalan, sudah 1 jam berlangsung dan Seungyoun tak bosan menunggu disana. Sambil bermain dengan corgi dirinya juga memperhatikan bagaimana Seungwoo melakukan pekerjaannya, jujur Seungyoun kagum dengan Seungwoo yang sedang bekerja. Dirinya tampak berbeda dan serius saat mengambil gambar dan memperhatikan tiap detail kecil.

Oh gini kalau Seungwoo kerja.” Batin Seungyoun yang tak sadar serius memperhatikan Seungwoo.

“Youn, Seungyoun!” Panggilan manajer Jamie membuatnya terperanjat. “Ya kak ada apa?” Tanyanya cepat.

“Yuk beli kopi bentar lagi udah masu selesai nih.”

“Oh ayo!” Seungyoun beranjak dan meletakan corgi yang ia pangku ke ruang makeup agar corgi itu tidak mengganggu karena semua orang sudah sibuk.

Sebelum pergi Seungyoun menyempatkan diri melihat lagi ke arah Seungwoo dan tak sengaja tatapan keduanya bertemu. Seungyoun sedikit gelagapan, tapi ia langsung tersenyum manis kepada Seungwoo dan Seungwoo membalasnya dengan kekehan.


Cukup lama Seungyoun pergi membeli kopi bersama manajer Jamie, kembalinya mereka ke lokasi ternyata semua orang sudah selesai dan mulai berkemas.

“Bantu bagiin kopinya ya?” Pinta manajer Jamie dan Seungyoun langsung membawa beberapa kopi ke ruang makeup dimana Jamie sedang menghapus riasannya. “Permisi, ini ada kopi silahkan diminum. Terima kasih atas kerja kerasnya hari ini!” Seungyoun meletakan kopi ke atas meja. “Wah- makasih banyak!” Ujar seluruh staff yang berada disana, Jamie tersenyum bangga melirik Seungyoun dari cermin.

“Youn ini kopi tinggal buat fotografernya, tadi kakak mau nyamperin tapi kayaknya dia sibuk. Kamu kayaknya kenal deket sama dia jadi kamu aja yang kasi.” Manajer Jamie menyerahkan satu cup kopi es kepada Seungyoun.

Seungyoun mengedikan bahunya, “oke.” Ujarnya singkat dan menghampiri Seungwoo yang sibuk membereskan peralatan kameranya. “Mas Seungwoo.” Panggilnya pelan.

Seungwoo langsung menoleh, “eh Seungyoun ada apa?” Seungwoo menghentikan kegiatannya.

“Ini mas kopi, makasih atas kerja kerasnya hari ini. Makasih juga udah bantu temen aku.” Seungyoun memberikan kopi kepada Seungwoo dan langsung disambut senang oleh Seungwoo. “Makasih ya, makasih juga buat Jamie yang udah kerja keras juga. Dia cepet ngerti arahan aku jadinya lancar deh hari ini.”

“Jamie tuh emang jago mas, dari kecil emang udah pinter jadi model. Eh itu temen mas udah dapet kopi?” Tanya Seungyoun tiba-tiba melihat salah satu laki-laki yang sibuk membereskan lighting.

Seungwoo menoleh ke arah yang dimaksud Seungyoun, “Subin udah dapat kopi?” Tanya Seungwoo pada laki-laki dipanggil Subin itu. Subin menoleh dan menggelengkan kepalanya.

Seungyoun langsung menyerahkan kopi kepada Subin, “makasih ya kerja kerasnya hari ini!” Subin pun tersenyum senang karena mendapatkan positif vibes dari Seungyoun.

Sedari tadi Seungwoo tersenyum melihat interaksi Seungyoun dengan para staff yang berada disini, bagaimana cara ia mengajak staff mengobrol, bagaimana cara ia menghargai para staff. Hal ini cukup jarang Seungwoo temukan pada setiap orang, Seungyoun benar-benar pribadi yang hangat dan baik membuat jantung Seungwoo tanpa sadar berdetak kencang melihat bagaimana senyuman manis Seungyoun bagaikan candu dan virus yang membuatmu juga ikut tersenyum saat melihatnya.

“Mas Seungwoo buruan diminum kopinya ntar esnya cair!”

“O-oh iya, iya iya ini diminum kok hehehe.”

“Ada yang mau dibantu beresin ngga mas?” Tanya Seungyoun.

“Engga usah, udah ada Subin asisten aku. Kamu semangat banget dari tadi aku liatin?”

“Hehehe aku mah emang suka aja interaksi begini sama orang-orang mas. Makanya aku suka kerja dengan siapapun, selain bisa ketemu temen baru bisa ketemu pengalaman baru.”

Seungwoo menatap mata Seungyoun yang tampak berbinar betapa bahagianya ia hari ini. “Mas? Mas Seungwoo kenapa natap aku begitu?” Tanya Seungyoun heran namun pipinya sudah merona.

“Gapapa, suka aja liat kamu seneng begini. Lain kali kalau aku ajakin kerja keluar begini mau?”

“Aku mah kalau diajakin dan selagi ga sibuk mau aja hehehe. Tapi aku ngga ganggu apa?”

“Engga kok santai lah.”

“Kalau gitu mau dong, mana tau dapat job keluar kota sekalian liburan. Tenang deh mas aku nanggung biaya aku sendiri kok!”

Seungwoo terkekeh dan menepuk kepala Seungyoun gemas, “tunggu aja next time ya?” Seungyoun sempat terdiam sebentar saat tangan Seungwoo menepuk kepalanya, ia hanya dapat menjawab dengan anggukan.

“Youn!” Panggil Jamie membuat Seungyoun dan Seungwoo langsung menoleh.

“Udah mau pulang?” Tanya Seungyoun dan Jamie mengangguk sambil menghampiri keduanya.

“Kak Seungwoo makasih banyak buat hari ini, next time kalau kita ada project atau kak Seungwoo butuh model bisa hubungi aku kok!”

“Oke sip kalau udah ditawarin begini boleh lah ntar kita kerja sama lagi ya.”

Jamie dan Seungwoo pun saling bersalaman, Seungyoun pun tiba-tiba langsung mengulurkan tangannya ke hadapan Seungwoo membuat Seungwoo heran.

“Aku mau juga salaman!”

“Hahaha ada-ada aja, ngga mau ngalah hm?” Seungwoo langsung menggenggam erat tangan Seungyoun. “Makasih ya Seungyoun buat hari ini.”

“Makasih juga ya mas Seungwoo.”

Keduanya asik menggenggam tangan satu sama lain membuat Jamie membuang arah pandangnya dan berdehem, “EKHEM!”

Keduanya langsung melepaskan genggaman tangan mereka, “yaudah kalau gitu aku sama Jamie pamitan pulang ya mas Seungwoo.”

“Iya hati-hati dijalan. Bye!”

“Bye kak! Makasih sekali lagi.” Jamie langsung menarik Seungyoun pergi.

Modus lu ya!?

Kaga ada anjir!

Perdebatan keduanya sempat didengar oleh Seungwoo dan hal itu membuatnya menggelengkan kepala serta tersenyum geli.

“Kak Seungwoo semuanya udah beres.” Ujar Subin sang asisten.

“Yaudah yuk balik ke kantor.”


Setiap hari minggu pagi Seungwoo akan pergi ke taman untuk menggambar sekedar menghilangkan penat dan stress selama bekerja. Hobi ini baru ia jalani selama 1 bulan terakhir, sebelumnya setiap hari minggu Seungwoo akan ke tempat gym dan menghabiskan setengah harinya disana untuk work out, karena sudah merasa bosan Seungwoo kembali menggambar seperti hobinya sewaktu SMA awalnya ia mengira sudah tidak bisa menggambar lagi ternyata dugaannya salah dirinya masih ahli dalam menggambar.

Sambil membawa tumblr berisi kopi dan tas ransel yang berisi peralatan menggambar Seungwoo pun pergi menuju taman yang berada di pusat kota menggunakan bis umum. Selama berpergian dirinya ditemani oleh musik jazz yang ia dengar melalui earphone, hal-hal kecil seperti ini selalu ampuh untuk menghilangkan stress Seungwoo.

Sesampainya di taman seperti biasa selalu banyak orang dengan berbagai kegiatannya, ada yang olahraga seperti jogging, bersepeda, ada juga yang membawa anaknya atau peliharaannya berjalan atau yang paling menarik perhatian Seungwoo adalah setiap hari minggu selalu ada perkumpulan orang-orang yang belajar bermain biola. Seungwoo pun mengambil duduk di kursi yang posisinya berada dibawah pohon tidak begitu jauh dengan perkumpulan orang-orang bermain biola tersebut, ia mulai mengeluarkan berbagai peralatan menggambarnya.

“Hai kak Woo ketemu lagi kita!” Sapa seseorang yang baru datang dan menggambil posisi disamping Seungwoo.

“Hai Dongpyo, kirain ngga bakal datang lagi.”

Dongpyo tersenyum, anak laki-laki yang berusia sekitar 17 tahun ini baru saja kenal dan bertemu dengan Seungwoo minggu lalu. Ia pun juga ikut menggambar seperti Seungwoo hanya saja ia baru melakukannya sekali hanya sekedar mencoba.

“Hehehe kemarin gambarnya aku tunjukin ke mama kata mama bagus, mama suka pohon yang aku gambar jadi ya aku balik lagi sama mama sekalian.”

“Oh ya? Mama kamu mana?”

“Jalan-jalan keliling taman kak hehehe.”

Seungwoo tersenyum dan melihat ke sekitar taman ada hal menarik apa yang akan ia gambat hari ini. Dahi Seungwoo mengernyit saat melihat seseorang membawa banyak balon sambil mengenakan kostum beruang.

“Pyo, sejak kapan ada begituan disini?” Tanya Seungwoo kepada Dongpyo.

Anak itu pun menoleh melihat yang dimaksud Seungwoo, “hm? Kayaknya baru deh kak.”

Seungwoo memperhatikan orang tersebut yang asik bermain dengan anak-anak, sesekali ia memeluk anak-anak yang berdatangan meminta balon ditangannya. Seungwoo terkekeh saat melihat orang dengan kostum beruang itu meloncat kecil dan berlari memutar menggoda anak-anak yang ingin balon.

Merasa mendapat ide Seungwoo segera menggoreskan pensilnya dibuku sketsa miliknya, diperhatikan orang berkostum beruang itu secara seksama kemudian ia menggambarnya dengan cekatan. Dongpyo sedikit mengintip apa yang Seungwoo gambar dan tersenyum cerah, “kok lucu sih kak?” Tanyanya.

“Lucu kan? Jarang-jarang kakak liat ada orang pakai kostum begini lagi. Menurut kamu berapa balon yang harus kakak gambar?” Tanya Seungwoo sambil mentap Dongpyo.

“Hmm 10 balon?”

“Siap! Kira-kira balonnya bisa bikin beruangnya terbang ngga?”

“Hahaha kak Seungwoo ada-ada aja, mana bisa!”

Baik Seungwoo maupun Dongpyo mereka sama-sama tertawa geli, kemudian Seungwoo melihat gambar milik Dongpyo. “Kamu gambar bunga yang mana?” Tanya Seungwoo.

“Tuh yang dibawah pohon hehehe. Bunga apa sih tuh namanya kak?”

“Engga tau, bunga matahari mini mungkin?”

Setelah mengobrol ringan dan saling tertawa keduanya kembali fokus menggambar. Setelah menghabiskan 40 menit, Seungwoo baru selesai menggambar beruang dengan menggenggam 2 buah balon. Saat ia menoleh lagi ke arah orang berkostum beruang itu berada ternyata sudah kosong tidak ada lagi keberadaannya, bahkan para anak-anak yang tadi merebut balon pun sudah tidak ada.

“Hah kok hilang?” Seungwoo bingung sendiri, ia melihat sekeliling taman pun tidak ada lagi. Tiba-tiba datang anak kecil yang membawa balon dan menepuk pundak Seungwoo, “kak!” Panggilanya.

Seungwoo dan Dongpyo menoleh, “ada apa?” Tanya Seungwoo. Anak itu pun memberikan balonnya kepada Seungwoo dan berlari menjauh saat Seungwoo menerima balonnya, “hei! Balonnya!” Teriak Seungwoo memanggil anak itu namun anak itu tak peduli.

“Kok kakak dikasi balon?” Tanya Dongpyo.

“Engga tau, kamu mau?” Seungwoo menyerahkan balonnya pada Dongpyo, baru saja Dongpyo ingin mengambil balonnya tak sengaja matanya melihat kertas di bagian ujung tali. “Kak coba liat deh ada kertas diujung talinya,” Dongpyo menunjuk kertas itu.

Seungwoo pun baru menyadarinya, ia langsung mengecek kertas tersebut yang terdapat sebuah tulisan. “Hello! Did you see me?” tulisan yang tertera dikertas itu.

Tak lama datang lagi anak yang lain dan memberikan balon kepada Seungwoo membuat Seungwoo mau tak mau meletakan buku sketsa dia ke atas kursi terlebih dahulu dan menerima balon keduanya, “I know you saw me!” tulisan kedua.

“Kak datang lagi!” ujar Dongpyo melihat dua anak kecil berlari kearah mereka.

“Kasi ke kakak ini aja.” Seungwoo langsung menunjuk ke arah Dongpyo dan diterima dengan baik oleh anak laki-laki itu, “ada tulisannya lagi?” Tanya Seungwoo.

“Ada kak! Hmm bentar yang ini tulisannya do you remember what day it is? satunya lagi it's not just sunday!

“Terus apa kalau bukan hari minggu?” Tanya Seungwoo dan Dongpyo mengkedikan pundaknya bingung.

Kemudian datang lagi tiga anak kecil lainnya tertawa dan memberikan 2 balon kepada Seungwoo dan 1 balon kepada Dongpyo.

Seungwoo membaca balon di tangan kanannya, “it's special day!” kemudian di tangan kirinya, “do you want you to know?” gumamnya membaca satu-satu tulisan dikertas tersebut.

Look behind you.” Ujar Dongpyo dan serentak Seungwoo maupun Dongpyo menoleh kebelakang, tepat dibelakang mereka ada orang berkostum beruang tadi membawa karton besar dengan tulisan Come here and hug me!

Seungwoo tertawa geli, “Pyo tolong pegang dulu.” Seungwoo memberikan semua balonnya pada Dongpyo dan menghampiri orang tersebut.

Saat Seungwoo sudah berdiri tepat dihadapan orang berkostum beruang itu, oran itu pun merentangkan tangannya menunggu Seungwoo memeluknya. Tapi bukannya memeluk orang itu Seungwoo tersenyum lebar dan membuka bagian kepala dari kostum beruang itu sehingga tampak wajah asli dibalik kostum itu. Seorang laki-laki dengan pipi berisi sedikit kemerahan karena panas berada didalam kostum, hidung bulat yang membuat kesan laki-laki itu terlihat imut, ditambah wajahnya merengut melihat ke arah Seungwoo.

“Kok dibuka!? Kan belum peluk! Kamu juga kenapa ga kaget!?” Orang itu langsung protes membuat Seungwoo semakin tertawa geli.

“Jadi ini kenapa ada kostum beruang didalam riwayat aplikasi belanja aku?” Seungwoo mengelus pipi orang itu.

“Ck! Kan bener pasti ketahuan duluan sama kakak kostum ini.”

“Ya kamu kenapa pakai aplikasi aku?”

“Aku kira itu punya aku, udah terlanjur pesan malah baru sadar punya kakak!”

Seungwoo mengacak gemas rambut orang itu, “kapan sih kamu engga teledor Seungyoun? Gimana mau kasi kejutan kalau dari awal aja aku udah tau ini kostum kamu cuma aku biarin aja pura-pura engga tau.”

“Percuma dong semua usaha aku?” Orang yang dipanggil Seungyoun itu menunduk lesu. Dirinya adalah kekasih Seungwoo yang sudah berpacaran selama 1 tahun ini.

“Engga ada kata percuma, aku kaget pas liat kamu tadi tiba-tiba hilang terus datang anak-anak kasi aku balon. Emang semuanya buat apa? Maaf aku engga tau ini hari apa Youn.” Seungwoo menatap Seungyoun dengan rasa bersalah.

Seungyoun menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, “gapapa kak aku tau kakak ga bakal inget makanya aku siapin kejutan ini walau ga sepenuhnya kejutan sih hehehe.”

“Jadi, ga mau kasi tau ini hari apa?”

“Peluk dulu!” Seungyoun kembali merentangkan tangannya sambil menghentakan kakinya seperti anak kecil.

Seungwoo pun akhirnya memeluk erat kekasihnya yang masih dalam balutan kostum beruang itu, “kamu keringetan sayang, habis ini langsung dilepasin ya kostumnya sebelum alergi kamu kambuh.” Seungwoo mengelus kepala Seungyoun yang berada dalam pelukannya.

“Hmm iya!” Seungyoun mengeratkan pelukannya.

Lama keduamya berpelukan hingga menjadi pusat perhatian orang-orang membuat Seungyoun malu dan melepaskan pelukannya.

“Kok dilepas duluan?” Tanya Seungwoo heran.

“Banyak yang liatin aku malu hehehe.”

Seungwoo ikut terkekeh dan menarik gemas hidung kekasihnya, “jadi ini hari minggu apa?”

“Minggu spesial! Hari ini 400 hari hubungan kita kak!”

Seungwoo melebarkan matanya terkejut, “lah seriusan!? Udah 400 hari aja?” Seungyoun menjawab dengan anggukan semangat, Seungwoo kembali memeluk erat kekasihnya dan memberikan kecupan bertubi-tubi dikepala Seungyoun membuat Seungyoun tertawa geli.

“Kak malu ih! Tuh dari tadi diliatin sama adek itu!” Seungyoun menunjuk Dongpyo yang sedari tadi kebingungan masih menggenggam balon yang Seungwoo berikan.

Seungwoo menoleh, ia pun menyengir malu sambil menggaruk tengkuknya canggung. “Maaf ya Pyo bikin bingung!”

“Kamu kenal?” Tanya Seungyoun.

“Temen kecil baru aku semenjak aku main ke taman ini, yuk kenalan!” Seungwoo menarik Seungyoun ke kursinya bersama Dongpyo. “Pyo kenalin ini pacar kakak namanya kak Seungyoun.”

Dongpyo tersenyum lebar, “halo kakak beruang kenalin aku Dongpyo!”

“Ah lucunya! Kamu gambar juga sama kak Seungwoo disini?”

“Iya kak, oh iya ini kak balonnya.” Dongpyo menyerahkan semua balonnya kepada Seungwoo.

“Maaf ya kak Seungwoo ngerepotin kamu pakai titipin balon segala.” Seungyoun menatap Dongpyo melas membuat Dongpyo tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “gapapa kok kak, aku liat kayaknya ada hari spesial ya? Selamat ya kak Seungwoo, kak Seungyoun!”

“Makasih ya Pyo!” Seungyoun mengelus kepala Dongpyo lembut membuat anak itu tersenyum malu-malu.

“Cepat lepas kostumnya terus kita pergi, aku mau nembus kesalahan aku lupa ini hari spesial kita.” Seungwoo memberikan balonnya kepada Seungyoun.

“Kok kasi balonnya ke aku!?”

“Kan aku mau beresin barang dulu, gimana sih?”

Seungyoun pura-pura tak mendengar dan membuang pandangannya ke arah lain sambil bersiul tak berdosa.

“Pyo maaf ya hari ini kamu lanjut sendiri dulu gambarnya kakak ada rencana dadakan.” Ucap Seungwoo sambil membereskan peralatannya.

“Gapapa kak Seungwoo have fun ya!”

Seungwoo tersenyum menyampirkan tas ranselnya di pundak dan kembali mengambil alih balon yang sedari tadi digenggam oleh Seungyoun.

“Udah yuk pergi.”

“Dongpyo?”

“Dia sama mamanya kesini.”

“Oalah, Pyo kakak pergi dulu ya minggu depan kalau kesini biar kenalan sama kakak pakai baju lebih layak.”

“Hehehehe siap kak!” Seungyoun dan Dongpyo saling melambaikan tangan satu sama lain, “kamu pakai mobil kan kesini?” Tanya Seungwoo dan Seungyoun pun mengangguk. Kedua pasangan itu pun meninggalkan taman dan menuju parkiran dimana letak mobil Seungyoun berada.

“GERAH BANGET ASTAGA!” Teriak Seungyoun penuh keluhan saat keduanya sudah duduk manis didalam mobil, kostum beruang sudah tak lagi dipakai dan tersimpan rapi didalam bagasi mobil bersama balon-balon yang tadi dibawa.

“Lagian kamu sok ide siang-siang gini panas malah pakai kostum beruang.”

“Ini masih pagi baru jam 10!”

“Ya santai dong jangan ngegas gitu, jadi mau kemana kita merayakan 400 hari jadian?”

“Aku mau es krim! Aku mau dibeliin bunga! Aku mau main seharian sama kamu!” Jawab Seungyoun bersemangat sambil memeluk lengan Seungwoo erat.

Seungwoo tersenyum mengusap peluh didahi Seungyoun, “kasihan sayang aku kepanasan demi 400 hari jadian kita. Apapun yang kamu mau aku turutin hari ini, semuanya aku kasi buat hadiah kamu udah berusaha kasi aku kejutan.”

“Kalau aku mau kamu?”

“Aku kan udah milik kamu, masa mau diminta lagi?”

“Harus! Aku mau kamu, maunya kamu, mau mau mau Seungwoo terus, titik!” Seungyoun menggenggam erat tangan Seungwoo.

Seungwoo menarik kekasihnya mendekat dan mengecup berkali-kali bibir ranum Seungyoun, “udah bawelnya? Jadi makan es krim?” Wajah Seungyoun langsung memerah hingga ke telinganya dan ia hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

“Oh iya aku baru inget ada bikin sesuatu tadi pas gambar.” Seungwoo mengambil tas yang berada dibelakang kemudian mengeluarkan buku sketsanya dan memberikannya kepada Seungyoun.

“Bikin apa?” Seungyoun pun membuka buku sketsa Seungwoo yang banyak oleh berbagai gambar, sampai dihalaman terakhir Seungyoun melebarkan matanya melihat gambar beruang membawa balon. “Ih gemesnya! Ini aku kan!?” Seungyoun berteriak gemas menatap Seungwoo meminta kepastian.

“Ya siapa lagi hari ini di taman ada beruang bawa balon?”

“Ah lucu! Nanti mau dong dipajang gitu gambarnya, dikasi bingkai ya?” Seungyoun menatap penuh harap dan Seungwoo mengangguk.

“Kamu yakin mau gitu aja gambarnya? Ga mau beruang pelukan tadi?”

Seungyoun berpikir terlebih dahulu, “boleh dua ngga kak?” Dirinya meminta dengan ragu.

Seungwoo pun menekan pipi Seungyoun gemas, “lucu banget pacar siapa sih? Jelas boleh lah! Gambar yang ditangan kamu aja masih harus aku tambahin lagi balonnya, kata Dongpyo harus ada 10 balon.”

“Hahaha gemes banget sih kalian berdua udah kayak temen lama. Ntar bikin lagi ya! Aku jadi modelnya deh dirumah pakai kostum lagi.”

“Jadi malam ini tidur di rumah aku, engga pulang rumah mama?”

“Iya dong kan 400 harian kita aku mau seharian sama kamu! Besok kamu udah kerja pulang sore lagi.” Seungwoo hanya dapat tersenyum mengelus pipi Seungyoun kemudian menyalakan mesin mobil.

Sebelum Seungwoo menjalankan mobilnya tiba-tiba Seungyoun mengecup pipinya sekilas, “I love you!” Seungwoo tersenyum dan mengecup dahi Seungyoun lembut, “I love you too, maaf walau aku ngga ingat ini hari apa at least I try my best for you baby.”

Seungyoun tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit dan menyandarkan kepalanya pada pundak Seungwoo membiarkan sang kekasih mulai menjalankan mobilnya menuju tempat makan es krim kesukaannya untuk merayakan 400 hari jadian mereka.

ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤㅤ ㅤ ㅤ ㅤ ㅤ

The End


Written by taeyangbii


Baru saja Seungyoun selesai memarkirkan mobilnya ia melihat mobil yang tak asing juga parkir disamping mobilnya. “mobil mas Seungwoo bukan sih?” gumamnya melihat mobil Range Rover berwarna hitam tersebut.

Tak lama keluar sang pemilik mobil dan benar saja itu Seungwoo, Seungyoun tersenyum dan buru-buru keluar dari mobil, “mas Seungwoo!” panggilnya, sontak membuat Seungwoo terperanjat dan menoleh ke arahnya. “Seungyoun! Baru sampai juga?” tanya Seungwoo dan dijawab dengan anggukan senang.

Seungyoun berjalan mendekat ke arah Seungwoo, “tadi kena macet?” tanya Seungyoun basa-basi sambil keduanya berjalan memasuki restoran sushi langganan Seungyoun.

“Macet dikit biasalah siang gini, kamu kok baru sampai emang studionya jauh ya?”

“Engga kok, deket malah cuma beda 2 blok doang dari sini Cuma karena aku pakai mobil kan harus muter dulu tadi lama di lampu merahnya.”

Restoran cukup ramai karena memasuki jam makan siang, Seungyoun berjalan terlebih dahulu untuk melihat apakah ada tempat kosong. “Kayaknya ga ada tempat kosong deh mas.”

“Permisi untuk berapa orang?” datang salah satu pelayan menghampiri keduanya.

“Buat 2 orang,” jawab Seungwoo.

“Silahkan tuan.” Pelayan itu pun menunjukan mereka tempat kosong yang sedikit dipojok terkesan intim namun nyaman secara bersamaan karena tidak begitu merasakan suasana ramai restoran, Seungwoo dan Seungyoun duduk saling berhadapan kemudian terkekeh geli padahal tidak ada hal yang lucu. “Silahkan dilihat terlebih dahulu menunya.”

“Mas kalau mau yang bukan sushi juga ada kok, ada udon, ramen, kari gitu kalau emang mas laper habis diskusi tadi,” Seungyoun memberikan saran.

“Engga begitu laper banget sih, sushi aja deh gapapa. Kamu tu harusnya makan banyak engga ada sarapan, minum kopi apa kenyangnya?”

“Apapun itu walau engga makan harus ngopi dulu mas.”

“Ngawur banget, ajaran siapa tuh?”

“Aku sendiri hehehehe.” Seungyoun terkekeh malu dan melihat ke buku menu.

“Pesen set ini aja Youn gimana, mba ini isinya macam-macam kan?” Tanya Seungwoo kepada pelayan.

“Iya pak, tapi dia isinya yang mentah semua kecuali belutnya. Kalau ini ada yang dimasak juga.”

Seungwoo dan Seungyoun saling berpandangan, seakan berbicara melalui tatapan mata. “Yaudah kami pesan ini 1 set, minumnya kamu mau apa Youn?” Tanya Seungwoo.

“Lemon tea aja.”

“Lemon tea nya 2 ya mba.”

Pelayan itu pun mengulang kembali pesanan mereka dan pergi, Seungyoun menatap Seungwoo yang sedari tadi memperhatikan sekeliling restoran.

“Kamu sering kesini Youn?” Tanya Seungwoo menatap dirinya.

“Lumayan sih, biasanya kalau weekend sama anak-anak kesini. Tempatnya enak, makanannya juga enak, apalagi kalau malam terus sambil minum bir seru loh mas!”

“Kuat minum kamu?”

“Lumayan sih hehehe. Emang mas ngga kuat minum?”

“Ya 2 gelas besar bisa lah, engga begitu kuat minum tapi bisa.”

“Lumayan loh 2 gelas, Hyunggu segelas aja bisa tepar tu anak.”

“Eh dia mah masih kecil kali wajar kalau ga kuat, kamu nih ya ....” Seungwoo menunjuk wajah Seungyoun dengan tatapan dibuat-buat seakan kecewa. Hal itu malah membuat Seungyoun tertawa geli menutup wajahnya, “hahaha sorry aku tu suka lupa dia muda dari aku loh mas.”

“Bisa-bisanya ya kamu Youn,” Seungwoo menggelengkan kepalanya dan terkekeh.

“Tadi diskusi project apa mas?” Tanya Seungyoun.

Brand fashion gitu, emang udah lama kerja sama cuma ini bahas tema baru aja sama ada model baru juga jadi diberi arahan gitu.”

“Oh gitu, berarti udah sering dong mas liat cewek-cewek cakep?” Seungyoun terlihat penasaran membuat Seungwoo tersenyum tipis, “ya sering udah biasa juga dari yang pakai pakaian sampai engga.”

“Demi!? Apa engga canggung tuh?”

“Mungkin karena udah biasa ya dan kerjaan aku kan bukan kemana-mana foto aja gitu jadi ya ... ya gitu sih?”

“Hmmm ... selama kerja pernah ada pengalaman apa ngga gitu?”

“Apa ya, oh pernah waktu itu aku sama tim aku mau prewedding di bukit. Kamu tau sendiri kan kalau pencahayaan di bukit itu mesti cepet ngejarnya kalau engga keburu gelap. Jadi kita udah janji nih jam sekian ya, gitu kan? Terus tim aku dua orang telat, pas naik ke bukit udah keburu kabut engga sesuai sama konsepnya. Akhirnya ganti konsep dadakan, disitu aku udah badmood banget tapi berusaha profesional buat fotoin client, pusing banget aku.”

Sepanjang cerita Seungyoun menatap Seungwoo dengan serius, dia sangat menikmati cerita yang Seungwoo sampaikan. “Habis itu kamu marah ngga mas?”

“Jelas marah, aku marahin semua tim disana pas udah pulang lagi ke kantor. Semenjak itu pada kapok kerja sama aku kalau suka telat aku juga kurang suka begitu jadi milih keluar-keluar aja.”

“Keluar negeri gitu pernah mas?”

“Pernah, Jepang, Hongkong sama Amerika sih.”

“Aku tebak, fashion week?”

Seungwoo menjetikan jarinya didepan wajah Seungyoun, “Yup! Bener banget, kehormatan banget sih bisa dapat project itu. Jadi kita ada kerja sama gitu sama salah satu majalah gitu, jadi aku direkrut buat kesana.”

“Ceritain lagi dong mas!” Seungwoo menangkup pipinya diatas meja seperti bunga matahari, Seungwoo yang melihatnya hanya bisa tertawa.

Vibesnya jelas beda ya luar negeri gitu, mereka gerakannya cepet banget ga ada celah gitu tapi disatu sisi aku seneng sih apalagi liat orang-orang yang datang, terus fotoin mereka baik candid, sadar kamera, apa ya cuci mata? Lihat style orang tuh beda-beda, disitu aku sambil belajar juga kalau seni, fashion dan hal semacam itu ga ada batasannya dan sangat luas.”

“Bener mas! Seni tuh seluas itu, kita bisa ekspresikan diri kita melalui seni, ntah itu musik, fashion, gambar, apapun itu ga ada batasannya itu juga kenapa aku masuk sekolah seni karena menurutku belajar itu engga mesti berpatokan pada literatur aja, kalau bisa cari cara lain untuk dapat ilmu dan pengalaman kenapa engga?”

Seungwoo bertepuk tangan pelan, ia akui pemikiran Seungyoun membuatnya kagum walau itu tak seberapa tapi baru kali ini ia bertemu dengan orang seperti Seungyoun.

“Kenapa tepuk tangan mas?” Seungyoun tersipu.

“Gapapa keren aja denger kamu ngomong begitu, ya mungkin karena kuliah aku kan bukan seni, emang ga ada jiwa seni juga.”

“Ih siapa bilang? Mas aja foto-fotoin gini itu seni tau! Coba aku tanya, kalah sendu, sedih, emosi, marah, pasti warna foto atau suasana foto yang mas ambil cenderung gelap, kalau bahagia lebih ke cerah kayak kuning, biru muda, hijau, pink. Disitu bisa kita liat gimana cara mas berpikir kalau tiap foto itu ada ceritanya sendiri. Iya ngga?”

Seungwoo berpikir sejenak kemudian mengangguk membenarkan. “Nah itu namanya juga seni mas! Inget kata aku barusan seni itu luas dan pakai cara apapun kita pelajari dan mengekspresikannya, kita bisa lihat dari berbagai sisi.”

“Iya sih bener juga kata kamu, tanpa sadar aku juga mikir hal-hal gitu. Aku ambil foto juga bisa buat sisi pandang orang berbeda-beda. Misal aku ambil foto anak kecil main hujan, bisa aja kamu mikir anak itu senang, bisa aja di aku mikir anak itu sedih. Gitu kan maksud kamu? Tinggal gimana aku ekspresikan foto yang aku ambil biar orang paham dengan cerita foto itu.”

Giliran Seungyoun yang menepuk tangannya, bahkan ia tersenyum senang hingga matanya ikut membentuk senyuman membuat Seungwoo betah memandangi wajah lucu itu.

“Permisi pesanannya.” Seorang pelayan datang membawakan seluruh pesanan mereka.

“Terima kasih!” Ujar Seungyoun ramah. Dirinya langsung mengambil sepasang sumpit mengelapnya menggunakan tisu basah dan memberikan kepada Seungwoo, “nih mas udah aku lap hehehe.”

“Eh aku kira itu buat kamu sendiri, makasih Seungyoun.” Seungwoo tersenyum mengambil sumpit dari Seungyoun.

“Coba gih mas, aku suka salmonnya sih disini manis gitu rasanya.” Seungyoun meletakan sepotong sushi salmon pada piring Seungwoo.

Seungwoo pun langsung memakannya, Seungyoun memperhatikan harap-harap cemas takut rekomendasi dirinya tidak begitu cocok pada Seungwoo. Namun senyum cerah dari wajah Seungwoo saat mengunyah sushi yang ia makan membuat hati Seungyoun lega.

“Enak kan mas?”

“Enak, bener kata kamu manis ikannya, kamu juga cepet makan gih malah aku yang duluan makan.”

“Hehehe aku pengen tau aja mas cocok apa engga, aku fotoin dulu makanannya gapapa kan mas?”

“Gapapa lah, emang kenapa? Kamu suka fotoin makanan gini ya?”

“Suka banget, selain buat aku sesekali upload di socmed fotoin makanan buat kenangan aja, aku pernah makan disini tanggal segini, terus kayak cuma liat fotonya doang aku jadi inget rasa makanannya gitu mas! Hehehehe.” Seungyoun sangat bersemangat saat berbicara dengan Seungwoo membuat yang diajak bicara pun jadi ikut tersenyum karena energi positif yang diberikan olehnya.

Setelah mengambil beberapa foto akhirnya Seungyoun pun makan, pipinya yang merona karena suhu udara yang panas mengembung saat makan membuatnya sangat menggemaskan. Seungwoo tak dapat menahan kekehannya sehingga mengundang tatapan heran dari Seungyoun, “ada apa mas?” Tanyanya.

“Pelan-pelan makannya Youn, pipi kamu udah mirip marmut tau ngga?”

“Masa sih? Hehehe maaf baru sadar ternyata aku laper juga mas.”

“Mau pesen makan lain ngga?”

“Engga usah ini udah lebih dari cukup, tapi aku mau pesenin buat mama juga ah pas pulang nanti.”

“Mama kamu juga suka sushi disini?”

“Suka, mama setipe dengan aku sih apa aja dimakan terus kalau udah enak satu tempat ya disitu aja makannya.”

“Kemarin aku pas nganterin kamu ke rumah ada mama kamu juga? Aku liat rumahnya kosong.”

“Emang kosong, kan mama aku pergi mas. Mama aku kalau aku mulai sibuk nah mama juga ikut nyibukin diri ke rumah tante gitu biar ga kesepian.”

Seungwoo mengernyit, “kesepian?”

“Hmm! Aku anak tunggal, papa aku udah meninggal sejak aku SMP mas.”

Seungwoo pun merasa tak enak setelah mendengar fakta yang baru saja ia dengar, “maaf ya Youn aku engga tau.”

“Gapapa kok mas udah lama juga, udah biasa aku hehehe. Jangan ngerasa bersalah kan mas aja baru kenal sama aku.”

Keduanya lanjut makan dalam diam, bukan diam dalam arti canggung tetapi memang saling menikmati makanan satu sama lain.

“Tadi di studio ngapain Youn?”

“Liat ada kerjaan masuk apa engga, bebas sih sebenarnya kita mau dimana aja cuma udah lama aja engga ngumpul di studio gitu. Sambil ngomong kerjaan ya ngobrol sama anak-anak.”

“Seru gitu ya kedengarannya.”

“Kerjaan mas Seungwoo juga ga kalah seru kok! Pasti enak jalan-jalan, dapat pengalaman baru, ambil foto disana disini dimana aja. Aku tu pengen loh mas jadi fotografer tapi sadar emang pasion aku bukan disitu, suka foto aja tapi ga profesional kayak mas Seungwoo.”

“Coba lihat hasil foto makanan kamu tadi.”

Seungyoun membuka galeri di ponselnya dan menunjukan foto makanan kepada Seungwoo, “gimana mas?” Tanyanya.

“Bagus loh ini, kamu tau mana anglenya, mana komposisi cahayanya. Pasti foto kamu yang lain ga kalah bagus.”

“Masa sih? Nih mas liat aku fotoin pantai!” Seungyoun bersemangat menunjukan foto lainnya kepada Seungwoo.

“Pantai di ujung selatan bukan sih?”

“Iya mas, pernah kesana juga?”

“Pernah piknik gitu ceritanya sambil kerja sama tim aku, cantik tempatnya pengen lagi aku kesana.”

“Sama mas aku juga pengen tapi lumayan jauh kalau impulsive gitu bakal susah.”

Seungyoun tanpa sadar menggeser foto di galerinya dan tak sengaja menampakan foto dirinya berdama Vernon di tepi pantai saling berangkulan.

“Siapa tuh?” Seungwoo menaikan alisnya seakan menggoda Seungyoun.

Seungyoun tersadar dan terkekeh geli, “ini salah satu anak di MOLA Music mas namanya Vernon seumuran Hyunggu tapi dia ada turunan bule gitu jadi ya keliatan dewasa.”

“Kalian ada berapa orang emangnya?”

“Berlima sama aku mas.”

Seungwoo mengangguk paham dan lanjut makan kembali, “kamu kalau emang suka jalan dan foto gitu bisa sesekali ikut aku shoot diluar gitu jalan atau sekedar kita jalan-jalan biasa cari objek.”

“Emang gapapa? Aku rasanya kayak terlalu ikut campur gitu urusan mas Seungwoo.”

“Gapapa lah kan aku yang ngajakin, santai aja aku kok bosnya.” Seungwoo menaikan alisnya sambil tersenyum sombong. “Aduh gayamu mas mentang-mentang bos ya!” Keduanya tertawa satu sama lain.


Setelah menghabiskan banyak waktu berdua akhirnya mereka pun selesai, keduanya sedang berada didepan kasir menunggu total biaya makanan yang mereka habiskan.

“Tadi ada tambahan 1 bungkus sushi ya?” Tanya sang kasir.

“Iya” “Ya” Jawab Seungyoun dan Seungwoo serentak membuat keduanya saling berpandangan dan tertawa geli lagi.

Saat sang kasir memberitahu nominal yang harus dibayar Seungwoo sudah duluan mengeluarkan kartunya, “aku aja yang bayar ya?”

“Kok gitu? Engga mau aku, kita kan makannya bareng jadi harus bagi dua dong mas!”

“Kan aku yang ajakin?”

“Tapi kan tempat aku nentuin jadi bayar setengah-setengah, mana ini juga ada makanan buat mama. Hm?” Seungyoun menatap Seungwoo penuh harap seperti anak anjing dan Seungwoo pun menyerah.

“Hmm iya iya udah bayar setengah-setengah.”

Akhirnya drama bayar membayar pun selesai, keduanya jalan ke parkiran bersamaan karena mobil keduanya bersebelahan, tentu saja. Seungwoo berdiri dihadapan Seungyoun dan membukakan pintu mobil milik Seungyoun, “makasih banyak buat makan siangnya dan sekilas ilmunya ya Youn, I enjoy it.”

“Aku juga mas, makasih banyak udah berbagi cerita dan pengalamannya ke aku.”

“Masih ada next time kan?” Seungwoo mentapa Seungyoun.

Seungyoun tersenyum dan mengangguk, “selalu ada next time mas, hubungi aja ya.” Seungyoun pun masuk ke dalam mobilnya dan pintu mobil ditutup oleh Seungwoo.

“Hati-hati ya mas Seungwoo pulangnya!” Seungyoun membuka kaca mobilnya.

“Iya Seungyoun kamu juga, udah sore nih bakal macet semoga aman-aman aja ya?”

“Oke mas! Aku duluan ya mas, dadah mas Seungwoo!” Seungyoun melambaikan tangannya pada Seungwoo dan pulang terlebih dahulu meninggalkan Seungwoo.

Next time ya.” Batin Seungwoo sambil tersenyum melihat mobil sedan itu mulai menjauh dari pengelihatan Seungwoo.