Lembayung senja elok menggengam pantulan jingga di air danau yang tidak beriak. Suasana disekitar sunyi, sebab malam mulai menjelang. Suara-suara sumbang dari manusia yang melakukan kegiatan santai di taman terdengar sendu, sesuai suasana hatinya yang sedang layu.
Burung-burung bersuara riang kembali ke sangkar mereka masing-masing. Riuh angin disekitar menyentuh kulitnya yang seakan-akan rapuh. Tidak banyak yang bisa benar-benar memahaminya disana. Itulah yang membuatnya memilih menghabiskan hari terakhir dari janjinya, untuk tidak menangis karena cinta yang sudah berpaling pergi.
Osamu menghela napas kasar ketika akhirnya mengizinkannya pergi ke taman kota sendirian. Tempat yang selalu menjadi kesukaannya bersinggah kala hati resah. Wajahnya lurus tenang menghadap matahari yang hendak tenggelam jauh. Hingga semakin waktu berlalu, senja akhirnya hanya bisa meninggalkan bekas-bekasnya sebelum benar-benar ditelan malam.
Dia hanya membawa ponsel dan kartu bus ditangannya. Tidak ada uang sama sekali, dan entah bagaimana dia merasa lapar sekarang. Semenjak berita perselingkuhan kekasihnya, dia hanya makan beberapa suap sebelum akhirnya akan memuntahkan sedikit makanan itu. Kepalanya sakit, tubuhnya menjadi lemah, dan dirinya sudah hampir tidak kuat menahan diri untuk makan apapun sekarang.
Ketenangannya terusik karena terlalu lapar. Dia menoleh kesana kemari mencari stand makanan yang siapa tahu ada disekitarnya. Dia akan makan dulu, soal membayar dia akan menghubungi Osamu. Rumah mereka tidak jauh dari sini. Jika penjual itu keberatan karena tidak ada uanh dimuka, maka dia akan memberikan ponselnya sebagai jaminan.
Tapi dari seluas itu taman kota, dia tidak bisa menemukan stand makanan apapun disekitarnya. Menghela napas kesal, dia begitu malas untuk pergi mencari dengan kakinya. Alhasil dia akhirnya berpikir untuk menghubungi kembarannya, guna membawakannya makanan enak untuk dia makan.
Ketika hendak membuka ponselnya, sebuah suara yang tidak familiar terdengar dari belakangnya.
“Apa yang kamu lakukan sendirian disini?”
Atsumu menoleh, matanya terbelalak ketika melihat siapa gerangan orang yang berbicara dengannya itu. Pria tinggi dengan aroma feromon yang samar, kulitnya putih pucat, penampilannya sangat menarik dengan balutan setelan hitam sesuai dengan auranya yang memukau dan jantan.
Atsumu terperangah untuk sesaat, sebelum akhirnya menyadarkan dirinya sendiri. Dia merasa panas di wajahnya, namun bukan karena tangisannya beberapa hari terakhir. Melainkan karena dia telah berbuat tidak baik pada Sakusa Kiyoomi di obrolan mereka beberapa hari yang lalu, sampai-sampai pria itu tidak lagi menghubunginya.
Mereka tidak bertengkar, tapi Atsumu merasa telah mempermalukan Sakusa Kiyoomi karena dengan lantang menolaknya untuk seseorang yang telah berselingkuh di belakangnya. Betapa malunya dia kalau Sakusa Kiyoomi tahu hal itu.
“Kak Sakusa..”
“Kenapa kamu disini sendirian?” Suaranya santai. “Gak ditemenin pacarmu itu?”
Pria itu menekan kata 'pacar' dengan penekanan yang begitu menyesakkan di dadanya. Atsumu menunduk, tidak berani untuk berbohong atau setidaknya menyangkal pria itu.
“Apa dia sudah membongkar hubungannya? Kupikir kekasihnya itu sering mengunggah foto bersama laki-laki itu akhir-akhir ini.”
Kalimat Sakusa yang terdengar bernada acuh membuat matanya membola lebar. Tidak menyangka Sakusa Kiyoomi akan mengatakan hal itu. Sejauh mana pria itu tahu? dan sekeras apa tawanya akan berlangsung untuk menertawakannya yang menyedihkan.
“Apa kamu tidak ingin bertanya dari mana saya tahu?” Sakusa berbicara lagi, sembari dengan santai duduk di sampingnya.
Atsumu memperhatikan gerak-gerik pria itu dengan mata yang sudah hampir meloloskan air matanya. Dia kemudian bertanya pelan, “Kenapa??”
Sakusa Kiyoomi bersandar menyamankan diri di situasi yang sangat tidak menyenangkan ini. Pria itu bersikap santai, seolah-olah mereka sudah lama saling mengenal dekat. Hanya Atsumu yang terus tanpa sadar menunduk menahan diri dari dominasi kuat seorang Sakusa Kiyoomi.
Begitu menakjubkan!
Tubuhnya merespon takut, meskipun feromon Sakusa Kiyoomi tercium tidak sekuat di hari pertama mereka bertemu. Pria itu nampak seperti seseorang yang memang hanya ingin bersantai, di dekat Atsumu yang sedang galau karena putus cinta.
“Mereka sudah memutuskan pertunangan sejak setahun yang lalu.” Pria itu memulai penjelasannya. “Itu berarti sudah setahun berlalu sejak kamu diselingkuhi.”
“Ba-bagaimana anda bisa tahu?”
Sakusa Kiyoomi menoleh ke arahnya dengan tatapam tajam, membuat Atsumu tersentak sedikit karena rasa takut datang menabrak selurub tubuhnya. Dari ujung kakinya, dia bisa merasakan ngilu yang teramat sakit hanya karena Sakusa Kiyoomi melayangkan tatapan tajam ke arahnya. Padahal Atsumu tidak mengatakan sesuatu yang bisa mengundang amarah, tapi pria ini malah melototinya hingga dirinya merasa takut.
“Panggil aku kakak.” Katanya dingin.
Atsumu terdiam, matanya berkedip berkali-kali sampai akhirnya bisa memahami situasi. Dia tadi menggunakan kata 'anda' bukan 'kakak' seperti yang sebelumnya dia lakukan. Atsumu merasa lega di dalam hati, karena ternyata mata tajam Sakusa Kiyoomi tidak ditunjukkan sebagai ajakan berkelahi.
“Maaf kak..”
Sakusa Kiyoomi menghela napas, kemudia dia melanjutkan bicaranya. “Haru Hiyashi awalnya berniat mengincarku, tetapi ibuku tidak suka padanya.”
“Kenapa?”
“Karena dia bukan yang ibuku mau.” Sakusa Kiyoomi menaikkan bahunya acuh. “Ibuku tidak begitu menyukai keluarganya, apalagi nyonya Hiyashi. Begitu-begitu ibuku juga ingin yang terbaik untukku.”
“Ah begitu..” suaranya sedikit lemah. “Jadi itu kenapa dia beralih ke kak Meian?”
“Kamu manggil Meian Shugo dengan sebutan kakak?” Sakusa Kiyoomi berbicara seolah dia tidak terima.
“Eh? Ada yang salah kah?”
Sakusa Kiyoomi memutar bolanya malas. Atsumu merasa alpha satu ini agak aneh. Dia sering terlihat marah, namun tidak marah. Atsumu tidak bisa mengerti pria ini sama sekali. Lagi pula apa salahnya memanggil mantan kekasihnya itu dengan sebutan 'kakak juga? Toh memang Meian Shugo lebih tua darinya.
“Jangan panggil dia kakak lagi, gak cocok.”
“Jadi?”
“Panggil aja anjing atau apapun itu.” Jawabnya santai.
Atsumu meringis di dalam hati. Bagaimana bisa Sakusa Kiyoomi memiliki jawaban yang sama seperti jawaban Osamu waktu itu. Kembarannya itu juga marah dan tidak sudi jika mendengar dirinya memanggil Meian Shugo dengan sebutan kakak, yang jelas lebih terasa lembut.
“Gak boleh gitu..”
“Kenapa gak boleh?”
“Ya gak boleh aja,” Atsumu menghela napas panjang. “Kejahatan gak boleh dibalas kejahatan juga. Lebih baik menjauj aja dari biang masalah.”
“Jadi kamu sudah memutuskan untuk move on?”
Atsumu tertawa dengan pertanyaan itu. “Ya habis mau ngapain lagi? Kan memang harus segera move on. Lagian memang udah gak bisa dilanjutin lagi. Aku cuma merasa harus minta maaf, entah gimana aku mikirin ini dari kemarin.”
“Kenapa harus minta maaf?” Sakusa Kiyoomi bertanya dengan nada bingung.
“Aku merasa bersalah karena kak Meian-”
“Panggil anjing.”
Atsumu tertawa karena Sakusa Kiyoomi dengan kesal menyela pembicaraannya hanya karena dirinya lagi-lagi masih menyebutkan nama mantan kekasihnya dengan nada sedikit sayu.
“Meian aja gimana?”
“Ya itu lebih baik.” Acuhnya membalas.
“Aku merasa bersalah sama dia karena.. dia bilang dia selingkuh karena aku gak pernah bisa kasih apa yang dia mau.” Suaranya mulai bergetar.
“Apa itu?”
“Setiap kali dia rut, aku gak pernah disentuh. Dia bilang dia gak mau nyentuh aku karena mau lindungin aku, dan aku gak pantes untuk dirusak sebelum sah.” Satu air mata lolos. “Aku udah coba ngomong kalo itu hal yang wajar, tapi dia selalu nolak. Sampai beberapa bulan yang lalu, kami ke dokter bareng dan dokter jelasin kalau Meian mengalami syok feromon karena aku dominan. Tubuhnya jadi jauh lebih lemah, sampai-sampai dia akhirnya makin marah sama aku karena aku gegabah coba tenangin dia yang lagi rut sama feromonku.”
Penjelasannya terlalu panjang. Atsumu menoleh ke arah Sakusa Kiyoomi yang ternyata terus memperhatikannya. Dia tidak menyangka kalau pria itu akan mendengarkan ocehannya. Rasanya begitu menyenangkan, kala ada setidaknya seseorang yang mau mendengar ceritanya. Dia tidak bisa bercerita detail ini pada Osamu, karena kembarannya itu pasti akan lebih marah. Atsumu agak takut kalau Osamu akan nekat membakar kantor Meian seperti yang dia katakan sebelumnya.
Tetapi nampaknya Sakusa Kiyoomi sedikit berbeda responnya. Pria itu mendengarkan ceritanya dengan suara sunyi di sekitar taman. Malam semakin membentang gelap. Tiada lagi dari sisa senja yang tersisa. Lampu-lampu taman dinyalakan mengusir gulita. Suasana di taman ini begitu menenangkan, tak heran banyak yang membuang kelelahan mereka di taman kota ini.
“Terus kenapa kamu harus meminta maaf?” Tanyanya lagi.
“Hah?”
“Bukan salahmu kalo kamu sudah mencoba sebisamu untuk membuat alphamu merasa nyaman. Dia gak seharusnya menyalahkan keadaannya dengan menumbalkan kamu sebagai pelindung tamengnya.”
“Tapi aku udah gegabah..”
Terdengar Sakusa Kiyoomi menghela napas panjang sekali. Pria itu kemudian bergerak untuk berlutut di depannya. Atsumu kaget, namun dia tidam berniat sama sekali untuk menghindar dari pria itu.
Wajah mereka saling menatap, dimana obsidian tanpa gemerlap cahaya itu dengan tajam melihat jauh ke dalam batu amber di matanya. Mereka saling melihat lekat ke dalam diri masing-masing. Tanpa ada mulut yang bersuara, hembusan napas lembut terarah panas menimbulkan sensasi geli menyenangkan.
“Gak ada yang salah dari apa yang kamu lakukan. Dia yang tidak bisa menerima dirinya, gak berhak menyalahkan sesuatu yang orang lain coba berikan untuk menutupi kekurangannya.” Suaranya membuai, hingga Atsumu semakin terlena dan membiarkan pria itu menggenggam kedua tangannya. “Setidaknya kamu sudah mencoba sebisamu untuknya. Gak perlu merasa bersalah untuk orang yang bahkan gak bisa menghargai kebaikanmu.”
“Tapi-”
Sakusa Kiyoomi dengan cepat menutup mulutnya. Pria itu dengan lembut mengelus rambutnya dengan satu tangannya yang lain setelah akhirnya Atsumu diam dan menangis keras. Air mata tak terbendung sakit terasa begitu pilu. Di malam yang dingin, angin semilir lembut tak jua menyembuhkan sakit hati. Seseorang dengan kudanya datang, menghangatkan luka perih dari irisan menyakiti relung hati.
Dia mengingat kebahagiaan yang pernah terjadi di antara dirinya dan Meian sejauh hubungan mereka berlangsung. Pengkhianatan yang Meian lakukan tak lain dan tidak bukan juga merupakan kesalahan yang dia lakukan. Orang lain tidak mempermasalahkan itu, tapi ketidaksempurnaannya dalam berpikir justru menjadi penyebab utama Meian berpaling darinya. Setidaknya itu adalah rasa bersalah yang akan terus membekas menjadi luka di hati terdalamnya.
Sakusa Kiyoomi dengan tenang menenangkannya yang menangis keras. Pria itu berkata dengan lembut, “Menangislah hari ini. Ini adalah hari terakhir kamu boleh menangisi hubungan yang sudah usai ini. Jangan biarkan rasa bersalah menghantui pikiranmu, karena bagaimanapun hidup akan terus berjalan sebagaimana mestinya.”
Atsumu dengan sadar kemudian dibawa kedalam pelukan pria itu. Hangatnya pelukan di malam temaran lampu taman terasa menyenangkan. Sakusa Kiyoomi pun sengaja mengeluarkan feromonnya yang lembut dan membuai. Aroma jantan yang biasanya terasa mencengkam entah bagaimana tercium lembut, sampai perlahan-lahan Atsumu menjadi lebih tenang.
Berlalu waktu berlalu, rasa lapar yang tadi menghantuinya pun akhirnya hilang ditelan perih. Atsumu memeluk Sakusa Kiyoomi dengan erat. Pria itu pun tanpa lelah menjadi tempat bersandar untuknya. Napas mereka mulai saling teratur, namun Atsumu bisa mendengar degub jantung Sakusa Kiyoomi yang terdengar seperti genderang perang.
Apa yang Sakusa Kiyoomi rasakan saat ini? Kenapa jantungnya berdetak kencang sekali.
Atsumu bertanya-tanya dalam hatinya, yang pada akhirnya hanya menjadi pertanyaan tanpa tempat berlabuh atau siapapun bisa menjawab. Dia malu dan sejujurnya tidak mau untuk beranjak dari pelukan Sakusa Kiyoomi. Dia bahagia, dan merasa aman berada di pelukan pria ini. Sedikit demi sedikit rasa sakitnya hilang, tergantikan dengan perasaan malu hingga wajahnya memerah.
Merasa dia akhirnya bisa lebih tenang, Sakusa Kiyoomi berkata, “Apa kamu sudah makan malam?”
Perutnya berbunyi ketika mendengar pertanyaan itu. Atsumu tidak bisa mengontrol perutnya yang kelaparan untu protes meminta makan, jadi suara kelaparan itu keluar begitu saja tanpa aba-aba. Wajahnya semakin memerah panas. Rasanya Atsumu ingin menghilang dari muka bumi di saat itu juga.
Apalagi saat Sakusa Kiyoomi dengan nada nakal tertawa, seperti dengan sengaja mengejeknya hingga rasa malu itu semakin meningkat membuat kepalanya mendidih. Atsumu dengan segala malunya, bergerak menjauh sebisa mungkin dari Sakusa Kiyoomi yang masih tanpa henti tertawa.
“Lepas!”
“Kamu belum makan berapa hari, hm?”
“Berisik!”
Sakusa Kiyoomi kembali menangkan kedua tangannya. Pria itu dengan santai menahannya yang mencoba lari. Lalu setelah Atsumu sedikit tenang, dia kemudian bergerak untuk membuka jas hitam mahalnya. Pria itu lalu menyampirkan jas itu ke tubuhnya. Aroma jantang yang lembut dan membuai langsung merasuki Atsumu hingga tubuhnya menjadi jauh lebih rileks.
Sakusa Kiyoomi kemudian dengan santai menggendong tubuhnya tanpa aba-aba, membuat Atsumu sedikit menjerit karena kaget. Suaranya yang cempreng dan aneh berhasil membuat Sakusa Kiyoomi semakin menertawakannya. Atsumu merasa kesal, dia memukul bahu pria itu hingga pria itu mengaduh kesakitan.
“Turun!” Teriaknya. “Aku bisa jalan sendiri!”
“Emang orang yang sudah gak makan berhari-hari masih bisa jalan?” Godanya semakin membuat Atsumu menggembungkan pipinya kesal.
“Berisik omi!”
“omi?”
Atsumu tanpa sadar malah memberikan nama panggilan aneh untuk seorang pria yang baru-baru ini dia kenal, dan pria yang baru saja menghiburnya dari kegalauan. Panggilan aneh, yang pasti membuat Sakusa Kiyoomi tidak nyaman.
“Ma-maaf..”
“Kenapa minta maaf?”
“Ka-karena panggil kakak...” dia berdehem sebentar. “Ah itu- omi..”
Sakusa mengerutkan keningnya, lalu tertawa pelan. Atsumu merasa wajah Sakusa Kiyoomi yang sedang tersenyum benar-benar memiliki kelembutan lain, yang membuat siapapun orang yang melihat kagum. Segaris senyuman tipisnya begitu memukau, sampai-sampai Atsumu tidak mampu mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Aku suka.”
“Eh?”
“Panggil aku gitu terus seterusnya.” Katanya seraya tersenyum.
“Ta-tapi itu aneh. “
“Kalo kamu yang manggil aku begitu gak aneh. Malah aku senang..” katanya bernada malu-malu.
Atsumu tersenyum, lengannya semakin erat memeluk leher alpha yang aromannya sangat enak itu. Dia membuka suara sangat pelan, yang bahkan angin sendiri tidak bisa menangkap jelas apa yang dia katakan.
“Terimakasih, omi..”
Malam itu Sakusa Kiyoomi membawanya makan ke salah satu restoran bintang lima di kota. Atsumu awalnya ingin menolak, namun keinginan Sakusa Kiyoomi yang ingin makan malam disana tidak bisa Atsumu tolak. Pada akhirnya mereka berdua makan disana dengan khidmat.
Sakusa Kiyoomi adalah orang yang aneh, tapi dia sangat baik. Personal branding yang dia lakukan setiap hari sebagai seorang Sakusa, ternyata sangat berbanding terbalik dengan apa yang Atsumu lihat malam itu. Sakusa Kiyoomi masih bisa bersikap santai, meskipun agak canggung.
Malam itu Atsumu diantarkan sampai kerumah dengan selamat, tanpa Atsumu berhasil menelan alkohol sama sekali. Bangun-bangun dia sudah lebih segar, karena tertidur sambil memeluk jas wangi Sakusa Kiyoomi.