hiirei

pubgau

[#yamada, #chinen, #daiki. #pubgau. bahasa indonesia.]

“Chinen,” Daiki berbisik, melangkah pelan untuk memberi jarak dari satu temannya yang terus berjalan tanpa menoleh. “Sepertinya kalau bisa membunuh rekan, aku sudah mati, ya.”

Yang diajak bicara memandang Daiki, kemudian melirik pada yang berjalan di depan. Kedua bahunya terangkat. “Bisa jadi.”

.

Sejak awal mereka memasuki lobi permainan, Yamada sudah menatap Daiki tajam. Mungkin pakaiannya, sebab Daiki terlihat terlalu mencolok dengan set baju berwarnya jingga. Salah dia juga, lupa mengganti pakaiannya sebelum menyatakan siap.

“Kita akan turun di mana?” tanya Chinen, memecahkan keheningan yang hampir mencekik Daiki. Pandangan sinis Yamada beralih menjadi netral ketika dia melirik Chinen.

“Aku selalu turun di Pochinki,” Yamada mendengus, “namun rasanya agak mustahil sebab kuyakin Daiki akan tewas duluan.”

Protes hampir keluar dari mulut yang diejek, tapi ucapan Yamada tidak sepenuhnya salah. Dia selalu menghindari tempat tersebut. Terlalu banyak pemain yang turun di sana, belum lagi jika dia kalah cepat saat merebut senjata.

Setelah beberapa pertimbangan, serta beberapa gerutu dari Yamada, akhirnya mereka memutuskan untuk turun dekat daerah Quarry. Memberi aba-aba pada kedua temannya, Yamada memandu timnya untuk terjun, tak lama setelah permainan dimulai. Daiki dapat melihat beberapa pemain lain ikut turun, namun memilih tempat landas yang berbeda dengannya.

Mendarat dengan selamat, mereka bertiga langsung berpencar ke rumah terdekat. Daiki berharap cepat menemukan senjata, sebab dia tahu jika mati duluan, Yamada akan mengomel tanpa habis. Melirik dari jendela, dia melihat dua rekannya berada di rumah seberang. Chinen sudah mengenakan pakaian baru, di punggungnya sudah ada tas, serta senapan di tangan.

Suara tembakan terdengar, beberapa ada yang jauh, sisanya cukup dekat. Daiki mengambil amunisi yang dia temukan, beruntung mendapat AK47 yang biasa dia gunakan. Apapun akan dia pakai untuk saat ini.

Menelusuri tempat lain, mereka mendapat barang-barang yang mereka butuhkan; granat, supresor, flash hider, dan lainnya. Sejauh ini, belum ada musuh yang terlihat. Tidak banyak yang turun di daerah ini walau banyak barang bagus yang dapat ditemukan. Pilihan yang cukup baik, menurut Yamada, bagi mereka bertiga yang punya Daiki sebagai teman tim.

“Yamada,” tiba-tiba Daiki menyebut namanya dalam bisikan, “ada musuh.”

Mengintip dari scopenya, dia membidik ke titik yang Daiki tandai. Benar, ada dua musuh di rumah yang terletak di seberang mereka. Keduanya sibuk mengumpulkan barang, tidak terlihat menyadari keberadaan mereka yang sudah merunduk sembunyi di bagian bawah jendela.

“Kau tembak satu, aku tembak yang lainnya?” Daiki setengah bertanya. Inginnya menyuruh, tapi tidak yakin Yamada mau menurutinya.

Yamada tampak berpikir sebentar. Tidak ada yang salah juga menyuruh Daiki membunuh satu sementara dia menembak yang satu lagi, walau dia lebih yakin kalau Chinen yang menembak.

“Baiklah.” Yamada menggerakkan senjatanya sedikit, mencoba membuat dirinya lebih nyaman.

Dia dapat merasakan Daiki tersenyum lebar sebelum ikut mengintip dari scopenya sendiri, membidik musuh dari jendela di sisi yang lain. Menarik napas, Yamada mengikuti gerak musuhnya, menunggu waktu yang tepat untuk melepaskan peluru.

Sayangnya, Yamada tidak sempat melumpuhkan musuhnya karena dikejutkan suara yang terlalu keras. Pada detik dia mendengar tembakan di dekatnya, dia menyesali keputusannya untuk mengiyakan rencana Daiki.

“Kau tidak pasang supresor?!” Dia tidak peduli suaranya terlalu keras sampai mengalahkan suara tembakan dari senjata Daiki. Gemas. Sebal. Yang dia tahu, dia ingin memukul kepala rekannya itu.

“Sepertinya belum,” Daiki menjawab dengan pelan, terlihat menyesal, “masih ada di tasku.”

Yamada ingin memberinya omelan panjang, tapi semuanya terpotong karena peluru berdatangan ke arah mereka. Posisi mereka sudah jelas terlihat oleh lawan, terlebih kini mereka tidak lagi bersembunyi di balik tembok.

Tanpa banyak bicara lagi, Yamada kembali pada senjatanya sendiri, mencari kembali posisi lawan, membalasnya dengan memberikan beberapa tembakan sampai lawan tersebut sekarat dan tidak bisa dipulihkan kembali.

Chinen menoleh ke arah Daiki ketika mereka keluar dari tempat tersebut, berlari menuju ke tempat lain setelah menghabisi lawan mereka sebelumnya. Daiki membalas tatapannya, lalu melirik Yamada yang memandu jalan mereka.

“Sepertinya kalau bisa membunuh rekan, aku sudah mati, ya.”

Kedua bahu Chinen terangkat, ikut melirik ke arah Yamada di depan mereka. “Bisa jadi. Tenang saja, nanti aku yang memulihkanmu.”