krim sup
[#yamada, #yuto, #chinen, #daiki, dan #hikaru; sibling au dengan umur chinen 4 dan tiap bocah beda 2 tahun; sick fic sebagai pelarian atas tidak adanya ide nulis; bahasa indonesia.]
Hal yang paling ditakuti oleh mereka adalah Kota yang sakit.
Namun, hari itu membuktikan ketakutan mereka tidak seberapa dibanding kenyataan yang mereka hadapi.
Tidak hanya Kota, Yuya dan Kei juga sakit. Mereka bertiga pulang basah kuyup dua malam lalu karena menerjang hujan badai yang tidak berhenti sampai keesokan harinya. Walau sudah diberi pencegah sakit seperti air hangat yang disodorkan setiap setengah jam, tubuh ketiganya tetap tidak kuat.
Untungnya, musim ujian sudah terlewati. Ketiganya dapat tenang memakai jatah absen untuk beristirahat penuh di rumah.
Sialnya, bagi tiga bocah cilik, artinya Hikaru yang mengambil alih. Kalau Hikaru yang memegang perintah, artinya ada saja omelan yang mereka dapatkan.
“Kalian diam saja di rumah, oke?” Hikaru menoleh, memastikan ketiga adik kecilnya itu mendengarnya. “Jangan keluar, jangan buka pintu kalau ada tamu, jangan melakukan hal-hal aneh.”
Yuto sebenarnya gatal ingin menyuruh Hikaru berhenti menggunakan kata “jangan”, tapi Ryosuke meliriknya tajam. Tanda dia harus diam dan mengangguk saja. Bagi Yuto, Ryosuke tidak jauh beda dengan Hikaru. Galak, tapi dengan cara yang berbeda.
Yuri sebenarnya sudah tidak mendengarkan sejak Hikaru membuka mulutnya. Kepalanya otomatis tergerak untuk mengangguk karena Hikaru menatapnya dengan sedikit melotot. Dalam hati, dia tahu Ryosuke akan mengingatkannya juga jika ada sesuatu yang Hikaru larang.
Ryosuke memberi senyum manis, tampak berbeda dari kedua adiknya. Hikaru sempat menatapnya awas, curiga dia punya rencana macam-macam, tapi Ryosuke membuatnya yakin tidak ada intensi aneh-aneh.
“Kalau ada apa-apa, tanya Daiki,” Hikaru berkata sebelum menutup pintu, “tadi dia ada di kamarnya.”
Betul Daiki ada di kamarnya. Hanya saja, kakak mereka satu itu tidak sadarkan diri. Tertidur pulas setelah lelah kerja rodi membereskan rumah dengan Hikaru pagi tadi. Tidak ada yang dapat membangunkan Daiki selain alam.
Dan karena itulah mereka beranjak ke dapur.
“Kenapa enggak kak Hikaru aja yang masak nanti?” tanya Yuto sambil memberikan Ryosuke panci yang diminta.
“Karena kita mau kasih kejutan.” Ryosuke menatap kedua adiknya. “Sesekali, kita harus jadi yang jagain kakak-kakak kita.”
Mendengar kata-kata Ryosuke, Yuto terpukau. Mudah saja memang membuat Yuto semangat mengerjakan sesuatu. Yuri, sih, tidak termotivasi. Tapi tidak salah juga mengerjakan sesuatu dengan kedua kakaknya.
“Yuri, coba ambil buku resep di ruang tv.”
Yuri mengangguk, kakinya langsung berjalan menuju tempat pencarian. Ryosuke beralih pada adik satunya lagi, kini dengan senyum sumringah setelah semangat.
“Kau, ambilkan barang-barang di tempat tinggi.”
“Ehhh?” Yuto kecewa. “Kenapa hanya ambilkan barang?”
Ryosuke menatap lama adiknya. Dia tidak mau terang-terangan mengatakan bahwa Yuto yang paling tinggi dari mereka bertiga, tapi memang itu alasannya dia mengiyakan tawaran Yuto untuk membantu.
“Karena kamu pecicilan, nanti dapurnya berantakan,” jawab Ryosuke final, mengalihkan pandangannya pada Yuri yang memberinya buku resep.
Sejenak, mereka bekerja dalam ketenangan. Yuto hanya bergerak ketika mendapat perintah dari Ryosuke. Yuri pun tidak banyak komentar. Ryosuke pada mode normal sudah cukup galak, kalau sedang memasak akan lebih menyalak.
Masakan yang dibuat sebenarnya sederhana. Krim sup jagung dengan irisan ayam yang tebal-tebal. Ryosuke belum pernah mencoba sebelumnya, tapi tahapan yang ditulis dalam buku resep tidak terlalu sulit.
Walau begitu, tatapan cemasnya tetap terpancar menunggu Yuri mencicipi sup tersebut.
“Gimana?” tanya Ryosuke, setengah tidak sabar karena Yuri tidak berkata apa-apa.
“Hmm,” Yuri melirik Yuto yang ingin mencicipi juga, “biasa saja, sih. Coba Yuto yang cicip.”
Tatapan cemas itu beralih pada Yuto. Memang, tidak banyak yang dapat diharapkan dari Yuri ketika mencicipi makanan. Semua terasa biasa saja kecuali masakan Kei yang dibuat dalam sekali setiap purnama biru.
“Ah!” Yuto tersenyum lebar, menularkannya pada wajah Ryosuke. “Enak kok.”
“Apanya yang enak?”
Ketiganya terkesiap, dengan cepat menoleh pada sumber suara. Berdiri di sekat dapur dan ruang makan, Daiki menatap mereka bertiga dengan cengiran lebar. Rambutnya berdiri hampir ke segala arah. Tanda Daiki baru saja bangun.
Tanpa menunggu jawaban dari ketiga adiknya, Daiki beralih pada panci yang masih di atas kompor. Uap panas segera keluar ketika Daiki membuka tutupnya.
“Memangnya Hikaru bolehin kalian masak?” tanya Daiki, tapi tangannya mengambil sendok yang tergeletak tak jauh darinya. Mengambil sedikit dari dalam panci, Daiki ikut mencicipi krim sup itu.
“Ih, curang,” Yuto mendorong pelan Daiki, “harusnya tadi Daiki ikut masak.”
“Kan aku tadi beresin rumah,” Daiki membela diri sambil mengambil mangkuk, siap menyendokkan krim sup itu ke dalamnya, “jadi adil, dong, kalian yang masak.”
Yuri ikut protes, ditambah Yuto yang semakin mengoceh tak mau kalah. Sambil tertawa menanggapi adik-adiknya, Daiki mengambil mangkuk lagi, membantu Ryosuke menyiapkan untuk ketiga kakak mereka yang sakit.
Hikaru pulang ketika semua mangkuk tersedia di atas meja, disusul dengan hujan deras yang kembali turun. Porsi krim sup sesuai dengan jumlah mereka sehingga tak ada yang bisa menambah.
Untuk sesaat, Hikaru sadar ketiga adiknya itu masak tanpa bilang-bilang, tapi Kota dengan lemas menyuruhnya duduk. Bukan berarti ketiga bungsu itu akan lolos dari omelan.
Namun setidaknya, mereka dapat mencicipi krim sup dulu, mumpung masih hangat di saat udara dingin hujan mengisi rumah.