hiirei

chinen

[#yamada, #yuto, #chinen, #daiki, dan #hikaru; sibling au dengan umur chinen 4 dan tiap bocah beda 2 tahun; sick fic sebagai pelarian atas tidak adanya ide nulis; bahasa indonesia.]

Hal yang paling ditakuti oleh mereka adalah Kota yang sakit.

Namun, hari itu membuktikan ketakutan mereka tidak seberapa dibanding kenyataan yang mereka hadapi.

Tidak hanya Kota, Yuya dan Kei juga sakit. Mereka bertiga pulang basah kuyup dua malam lalu karena menerjang hujan badai yang tidak berhenti sampai keesokan harinya. Walau sudah diberi pencegah sakit seperti air hangat yang disodorkan setiap setengah jam, tubuh ketiganya tetap tidak kuat.

Untungnya, musim ujian sudah terlewati. Ketiganya dapat tenang memakai jatah absen untuk beristirahat penuh di rumah.

Sialnya, bagi tiga bocah cilik, artinya Hikaru yang mengambil alih. Kalau Hikaru yang memegang perintah, artinya ada saja omelan yang mereka dapatkan.

“Kalian diam saja di rumah, oke?” Hikaru menoleh, memastikan ketiga adik kecilnya itu mendengarnya. “Jangan keluar, jangan buka pintu kalau ada tamu, jangan melakukan hal-hal aneh.”

Yuto sebenarnya gatal ingin menyuruh Hikaru berhenti menggunakan kata “jangan”, tapi Ryosuke meliriknya tajam. Tanda dia harus diam dan mengangguk saja. Bagi Yuto, Ryosuke tidak jauh beda dengan Hikaru. Galak, tapi dengan cara yang berbeda.

Yuri sebenarnya sudah tidak mendengarkan sejak Hikaru membuka mulutnya. Kepalanya otomatis tergerak untuk mengangguk karena Hikaru menatapnya dengan sedikit melotot. Dalam hati, dia tahu Ryosuke akan mengingatkannya juga jika ada sesuatu yang Hikaru larang.

Ryosuke memberi senyum manis, tampak berbeda dari kedua adiknya. Hikaru sempat menatapnya awas, curiga dia punya rencana macam-macam, tapi Ryosuke membuatnya yakin tidak ada intensi aneh-aneh.

“Kalau ada apa-apa, tanya Daiki,” Hikaru berkata sebelum menutup pintu, “tadi dia ada di kamarnya.”

Betul Daiki ada di kamarnya. Hanya saja, kakak mereka satu itu tidak sadarkan diri. Tertidur pulas setelah lelah kerja rodi membereskan rumah dengan Hikaru pagi tadi. Tidak ada yang dapat membangunkan Daiki selain alam.

Dan karena itulah mereka beranjak ke dapur.

“Kenapa enggak kak Hikaru aja yang masak nanti?” tanya Yuto sambil memberikan Ryosuke panci yang diminta.

“Karena kita mau kasih kejutan.” Ryosuke menatap kedua adiknya. “Sesekali, kita harus jadi yang jagain kakak-kakak kita.”

Mendengar kata-kata Ryosuke, Yuto terpukau. Mudah saja memang membuat Yuto semangat mengerjakan sesuatu. Yuri, sih, tidak termotivasi. Tapi tidak salah juga mengerjakan sesuatu dengan kedua kakaknya.

“Yuri, coba ambil buku resep di ruang tv.”

Yuri mengangguk, kakinya langsung berjalan menuju tempat pencarian. Ryosuke beralih pada adik satunya lagi, kini dengan senyum sumringah setelah semangat.

“Kau, ambilkan barang-barang di tempat tinggi.”

“Ehhh?” Yuto kecewa. “Kenapa hanya ambilkan barang?”

Ryosuke menatap lama adiknya. Dia tidak mau terang-terangan mengatakan bahwa Yuto yang paling tinggi dari mereka bertiga, tapi memang itu alasannya dia mengiyakan tawaran Yuto untuk membantu.

“Karena kamu pecicilan, nanti dapurnya berantakan,” jawab Ryosuke final, mengalihkan pandangannya pada Yuri yang memberinya buku resep.

Sejenak, mereka bekerja dalam ketenangan. Yuto hanya bergerak ketika mendapat perintah dari Ryosuke. Yuri pun tidak banyak komentar. Ryosuke pada mode normal sudah cukup galak, kalau sedang memasak akan lebih menyalak.

Masakan yang dibuat sebenarnya sederhana. Krim sup jagung dengan irisan ayam yang tebal-tebal. Ryosuke belum pernah mencoba sebelumnya, tapi tahapan yang ditulis dalam buku resep tidak terlalu sulit.

Walau begitu, tatapan cemasnya tetap terpancar menunggu Yuri mencicipi sup tersebut.

“Gimana?” tanya Ryosuke, setengah tidak sabar karena Yuri tidak berkata apa-apa.

“Hmm,” Yuri melirik Yuto yang ingin mencicipi juga, “biasa saja, sih. Coba Yuto yang cicip.”

Tatapan cemas itu beralih pada Yuto. Memang, tidak banyak yang dapat diharapkan dari Yuri ketika mencicipi makanan. Semua terasa biasa saja kecuali masakan Kei yang dibuat dalam sekali setiap purnama biru.

“Ah!” Yuto tersenyum lebar, menularkannya pada wajah Ryosuke. “Enak kok.”

“Apanya yang enak?”

Ketiganya terkesiap, dengan cepat menoleh pada sumber suara. Berdiri di sekat dapur dan ruang makan, Daiki menatap mereka bertiga dengan cengiran lebar. Rambutnya berdiri hampir ke segala arah. Tanda Daiki baru saja bangun.

Tanpa menunggu jawaban dari ketiga adiknya, Daiki beralih pada panci yang masih di atas kompor. Uap panas segera keluar ketika Daiki membuka tutupnya.

“Memangnya Hikaru bolehin kalian masak?” tanya Daiki, tapi tangannya mengambil sendok yang tergeletak tak jauh darinya. Mengambil sedikit dari dalam panci, Daiki ikut mencicipi krim sup itu.

“Ih, curang,” Yuto mendorong pelan Daiki, “harusnya tadi Daiki ikut masak.”

“Kan aku tadi beresin rumah,” Daiki membela diri sambil mengambil mangkuk, siap menyendokkan krim sup itu ke dalamnya, “jadi adil, dong, kalian yang masak.”

Yuri ikut protes, ditambah Yuto yang semakin mengoceh tak mau kalah. Sambil tertawa menanggapi adik-adiknya, Daiki mengambil mangkuk lagi, membantu Ryosuke menyiapkan untuk ketiga kakak mereka yang sakit.

Hikaru pulang ketika semua mangkuk tersedia di atas meja, disusul dengan hujan deras yang kembali turun. Porsi krim sup sesuai dengan jumlah mereka sehingga tak ada yang bisa menambah.

Untuk sesaat, Hikaru sadar ketiga adiknya itu masak tanpa bilang-bilang, tapi Kota dengan lemas menyuruhnya duduk. Bukan berarti ketiga bungsu itu akan lolos dari omelan.

Namun setidaknya, mereka dapat mencicipi krim sup dulu, mumpung masih hangat di saat udara dingin hujan mengisi rumah.

[#yabu, #chinen, dan lainnya. sibling au dengan umur chinen 7 dan yabu 21. bahasa indonesia.]

“Aku tidak bisa antar atau jemput Yuri lagi,” Yuya berkata suatu malam sambil menatap Kota, “aku harus kerja pagi.”

Yuya adalah sopir andalan keluarga. Sejak dapat kartu SIM, Yuya yang bertugas mengantar mereka ke berbagai tempat, baik untuk liburan dan jalan-jalan maupun untuk ke sekolahan. Sebelumnya, Kota akan menggeret mereka menaiki angkutan umum karena si sulung tidak berani menyetir.

Dan mungkin tidak akan pernah.

Tidak, kecuali terpaksa.

“L-lalu siapa yang harus antar dia?” Kota bertanya, berharap Yuya sudah punya alternatif.

Dari mereka yang masih sisa di sekolah, Yuri yang harus diantar dan jemput sebab sekolah mereka menetapkan aturan baru untuk anak SD kelas 1. Orang tua atau wali diharuskan mengantar sampai depan gerbang dan menjemputnya kembali di siang hari. Kota yang menandatangani surat aturan tersebut, menyatakan setuju dan bersedia mengantar-jemput Yuri.

Yuya sempat melirik ke beberapa tempat sebelum pandangannya kembali ke Kota. “Kau.”

“Aku?” Kota tertawa pelan, menganggap adiknya bercanda. “Tidak mungkin.”

Kota kira, Yuya adalah adiknya yang paling pengertian dan berhati malaikat. Ternyata tidak juga. Yuya betulan melempar tanggung jawab untuk menjadi jemputan Yuri padanya, tidak memberikan ruang untuk diskusi sebab Yuya sudah menandatangani kontrak kerja. Sama seperti Kota yang menandatangani surat aturan sekolah.

Ketika yang lain tahu Kota harus mengantar Yuri, hampir semuanya tertawa. Yuto yang tertawa paling keras dan disusul Ryosuke yang memang jadi duo tanpa akhlak dengan Yuto.

Yuri senang saja, tidak pernah punya masalah akan siapa yang mengantarnya. Diantar Yuya memang enak, dia bisa pamer pada teman-teman lainnya karena punya kakak yang keren layaknya model-model untuk motor gede di majalah-majalah. Mungkin dia akan menemukan hal lainnya untuk dipamerkan ketika diantar Kota.

Hikaru dan Daiki yang sempat memberikan tatapan tidak yakin. Mereka pernah berkesempatan dibonceng Kota beberapa waktu lalu dan mereka tidak bisa bilang pengalaman itu pengalaman yang baik.

Kemampuan mengendarai Kota memang tidak separah tahap masuk rumah sakit. Tidak juga seburuk lecet-lecet yang sembuh seminggu lebih. Namun juga belum memasuki tahap dapat dipercaya tidak mengundang klakson dari pengendara lain.

Walau begitu, bukan berarti Hikaru dan Daiki dapat menggantikan Kota. Mereka masih di bawah umur, belum memiliki SIM, dan tidak mungkin lolos dari mata polisi di pinggir jalan. Apalagi Daiki tidak pernah dipercaya orang asing sebagai lebih dari anak SD.

Pilihan masuk akal selain Yuya adalah Kei. Dibanding Kota, kemampuan mengendarai Kei masih lebih dapat dipercaya. Sayangnya, Kei bukan orang yang dapat dipercaya.

Pernah dalam kesempatan lain ketika Yuya sakit, Kei menjadi penggantinya mengantar Yuri. Beberapa jam kemudian, Kota mendapat panggilan dari sekolah, menanyakan keberadaan Yuri yang absen. Ternyata si anak ketiga itu mengajak Yuri jalan-jalan keliling kota, lalu memakan es krim yang terkenal di sudut kota.

Jadi, memang, pilihan yang paling benar hanya Kota.

“Kau yakin?” Kei bertanya, menatap keduanya yang siap berangkat dari tempatnya di sofa.

Kota membalas tatapannya setelah dia selesai memasang sepatu, lalu menunggu si bungsu untuk mengambil tasnya di ruang makan.

“Tidak,” jawab Kota jujur, “tapi aku lebih tidak yakin dengan kau.”

Dan hari itu, Kota mengendarai motor lagi setelah sekian lama. Berita baiknya, tidak ada luka sedikitpun. Berita buruknya, Yuri harus mencari helm yang kedap suara untuk meredam klakson yang menghantuinya.

[#yabu, #hikaru, dan #chinen, sibling au; yabu (15), hikaru (8), chinen (5 bulan), bahasa indonesia.]

“Tenang saja,” suara Yabu terdengar dari lantai bawah, “kamu bisa, Hikaru.”

Hikaru mencibir mumpung yang paling tua tidak dapat melihatnya. Tatapannya tertuju pada adiknya yang terbaring di atas kasur, kedua mata kecil membalas tatapannya. Dia tahu anak bayi belum dapat banyak berekspresi, tapi dia juga yakin adiknya ini setengah menghakiminya melalui tatapan itu.

“Kamu saja, Kota!” Tidak ada sapaan 'kak' yang biasanya dia pakai, sengaja agar kakaknya itu lebih mengerti situasi.

Menunggu dalam hening, dia tidak lagi mendengar sahutan dari kakaknya. Mungkin karena sibuk memasukkan cucian ke dalam mesin (seharusnya Kei yang bertugas mencuci hari ini, tapi dia kabur pagi-pagi buta). Mungkin karena sengaja agar Hikaru tidak protes lagi.

Beberapa menit lalu, adik bungsunya ini menangis. Hanya ada Hikaru dan Kota di rumah. Yuya pergi ke pantai. Kei kabur. Daiki dan Ryosuke berlomba lari menuju taman bermain. Yuto sibuk mengusik anak tetangga.

Normalnya, Kota yang mengurus si bungsu. Hikaru kikuk sendiri kalau dihadapi dengan suara tangis, lebih-lebih kalau dari adiknya. Daiki, Ryosuke, dan Yuto biasanya akan sengaja menangis agar Hikaru berhenti ngomel. Kalau sudah begitu, dia akan menghela napas panjang dan minta maaf setengah niat, sebenarnya gatal ingin menjotos ketiga adiknya, tapi tidak tega juga karena masih kecil.

Kalau dengan Yuri, Hikaru tidak tahu harus bagaimana.

Kota berkali-kali mengajarkannya. Sejak Daiki lahir dan menjadi adik pertama Hikaru, Kota selalu mengajaknya untuk mencoba menggendong si bayi. Tapi Hikaru akan menyerah duluan, baik karena adiknya berat maupun karena bayi punya kebiasaan menangis ketika dia pegang.

Namun hari ini, Kota harus membereskan rumah. Hikaru sebenarnya ingin saja jika mereka bertukar tugas. Sayangnya, Kota menolak. Dia hanya diberi satu tugas: menggendong adiknya.

Yuri lebih banyak tertidur kalau menjelang siang seperti ini. Tangisan beberapa saat lalu bisa jadi dikarenakan Kota terlalu keras membuka mesin cuci.

Jadi, sebenarnya, tugas Hikaru sederhana. Menggendong adiknya dan membuatnya kembali tertidur.

Namun kini Yuri tidak lagi menangis. Lelah sendiri karena tidak mendapat respons apa-apa dari Hikaru. Hikaru sempat mau membiarkannya saja dan beranjak keluar kamar. Begitu dia berdiri, tangis Yuri akan kembali melengking.

Seakan mempermainkan dia.

“Kamu mau ditemani saja, begitu?” Hikaru mencoba bertanya. “Tapi aku gak mau gendong.”

Mendengar kata terakhir dari Hikaru, Yuri kembali menangis. Mungkin di situasi lain, Hikaru dapat tertawa dengan reaksi adiknya. Tapi karena dia yang harus menghadapi masalah ini, tawa jauh dari ekspresinya.

“Aku gak mau.” Hikaru mengulang, suaranya mencoba melawan tangisan si bungsu. “Gak bisa.”

Hikaru pikir, volume tangis adiknya sudah kencang. Tapi lama-kelamaan rasanya semakin besar, mungkin bisa terdengar sampai taman bermain yang jaraknya beberapa ratus meter.

Menarik napas dalam-dalam, Hikaru mencoba meredam emosinya. Mungkin kesal pada Kota. Mungkin kesal karena dia tidak mau menggendong bayi. Tapi bisa gila juga kalau mendengar tangis ini terus-menerus.

“Baiklah,” Hikaru menghela napas kalah, “tapi kau harus tidur setelah kugendong.”

Tangis Yuri sedikit mereda mendengar ucapan Hikaru. Kedua matanya menatap Hikaru dengan tanya, melirik sana kemari pada fitur wajahnya.

Setelah menghitung dalam hati, Hikaru memantapkan diri untuk mengulurkan kedua tangannya. Yuri tidak seberat Daiki atau Ryosuke ketika berumur lima bulan. Bukan berarti jadi lebih mudah baginya. Dia justru jadi takut adiknya itu bisa lepas dari pegangannya dan jatuh. Semoga saja tidak.

Menyandarkan badan adiknya pada badannya, satu tangannya mengusap pelan punggung si bungsu. Dia melangkah kecil mengitari ruangan, menggoyangkan tubuh Yuri pelan agar adiknya mengantuk.

Perlahan, dia menggumamkan lagu pengantar tidur yang dia tahu. Dia merasakan gerakan kecil pada punggungnya, rasanya sedikit geli, tapi lucunya dia tidak keberatan.

Mungkin tidak seburuk itu juga.


“Hikaru, kau bisa gantian denganku sekarang.”

Kota menghela napas ketika tidak ada jawaban dari Hikaru. Mungkin adiknya kesal. Semoga saja tidak lama-lama.

Melangkahkan kaki menunju lantai atas, Kota sedikit heran. Rasanya sunyi sekali. Tidak ada tangisan apapun. Tidak ada suara Hikaru yang mungkin menggerutu kesal padanya.

Mengintip pelan dari pintu ruangan, Kota akhirnya tersenyum ketika melihat isi kamar.

Yuri si bungsu terlelap di atas kasur. Dalam dekapan Hikaru yang juga tertidur.

[#yamada, #yuto, #chinen, dan #daiki alias empat kicik dengan umur daiki (9), yamada (7), yuto (5), chinen (3); sibling au yang udah dinamain tapi malu ditulis; bahasa indonesia.]

Hujan turun, deras.

Yuto merentangkan tangannya, membiarkan air hujan membasahi jemarinya, tertawa geli sendiri ketika merasakan air yang dingin. Berbeda dengannya yang tersenyum lebar melihat hujan, Ryosuke di sampingnya terlihat cemberut. Dalam hati menahan kesal karena prediksinya salah.

Ryosuke yang meyakinkan kedua saudaranya untuk pergi ke taman bermain. Dia pikir karena sebelumnya matahari bersinar terang dan langit cerah, mereka tidak akan membutuhkan payung atau jas hujan. Jadi, mengabaikan teriakan Hikaru untuk membawa kedua benda itu, Ryosuke mengajak Yuto dan Yuri berlomba untuk lari ke taman.

Itu dua jam lalu.

Sekarang, ketika mereka baru saja mau pulang, tiba-tiba hujan turun. Mereka akhirnya berteduh di salah satu terowongan perosotan yang ada, sementara anak-anak lainnya berlarian menuju rumah masing-masing.

“Gak mau lari juga?” Yuto menoleh ke Ryosuke, masih membiarkan tangannya basah didera hujan. “Kan rumah kita gak terlalu jauh.”

“Jangan.” Ryosuke menarik tangan Yuto yang hampir membasahi lengan kausnya. “Nanti sakit. Kalau sakit, gak ada yang bisa jagain kita. Yang lain kan lagi ujian.”

“Oh, pantes,” tangan Yuto kembali meraih air-air hujan, “kemarin kak Yuya marah pas aku ambil bukunya.”

“Kamunya aja nyebelin,” timpal Yuri, kakinya menendang-nendang angin, tidak sampai menyentuh atap perosotan. Sebenarnya dia ingin protes karena terowongan perosotan itu sempit, belum lagi Yuto tidak bisa diam bermain air hujan, ditambah Ryosuke yang sibuk menarik tangan Yuto. Yuri yang berada di tengah jadi saksi hidup perdebatan kecil kedua kakaknya.

Lelah, atau mungkin takut juga akan dijotos Ryosuke di tempat sempit, Yuto akhirnya menyerah. Tangannya yang basah dia lipat di atas pahanya, celana pendeknya menyerap bulir-bulir air yang menetes, sebagian membasahi bagian kecil celana Yuri.

Dingin juga, lama-lama.

“Tadi di rumah ada siapa aja, sih?” Yuto mulai membuka suara lagi, agaknya tidak suka dengan hening yang diisi suara hujan saja.

“Hikaru,” Ryosuke tampak berpikir, “mungkin Daiki juga? Kak Kei sama kak Kota pergi, kak Yuya tidak keluar kamar dari pagi.”

Hening kembali hadir. Kalau-kalau Kota ada di rumah, mungkin kakak mereka itu sudah panik mencari, membawakan payung sambil berceramah sepanjang jalan pulang. Atau kakaknya akan menyuruh saudara yang lain untuk datang menjemput. Namun kalau Kota saja tidak ada, sisa Daiki dan Hikaru di rumah serta Yuya yang memendam diri di kamar, rasanya tidak ada harapan.

Suara hujan mendera tanah jadi sedikit membuat mereka mengantuk. Angin semilir menambah berat kedua mata. Yuri sudah tidak tahan, kedua matanya tertutup sementara kepalanya condong ke arah Yuto.

Melirik adiknya yang tertidur, Ryosuke mau tak mau merasa ingin tidur juga. Dia tahu harusnya dia yang terjaga dan membangunkan mereka nanti ketika hujan reda, tapi bunyi hujan masih kencang, deras, mungkin akan bertahan beberapa menit lagi.

Yuto sebetulnya ingin mengingatkan mereka akan cerita-cerita seram terkait penculikan atau hantu yang datang di saat hujan. Namun berat di pundaknya membuat dia urung, belum lagi lirikan Ryosuke yang tajam, seakan mengancamnya jika berbuat macam-macam dan membangunkan Yuri.

Menghela napas sepelan mungkin, dia mencoba untuk tertidur juga. Mungkin beberapa menit tidak apa-apa. Dia juga mudah terbangun, pasti akan sadar jika ada orang yang mendekati mereka.

“Dor!”

Tidak jadi menutup mata, mereka bertiga terlonjak mendengar suara kencang itu. Mereka kira petir datang, sempat takut akan kemungkinan petir menyambar perosotan yang mereka duduki, sebelum akhirnya kesal karena mendengar gelak tawa yang mereka kenal.

“Daiki!” Ryosuke memberikan tendangan ke arah kakaknya, yang tentu segera menjauhkan dirinya.

Kakak mereka datang, sendirian, tapi tangannya menenteng jas hujan yang dapat mereka pakai. Senyum di wajahnya masih ada, terlebih ketika melihat wajah mereka satu per satu yang masih diisi dengan kantuk.

“Bisa-bisanya tidur di sini,” Daiki menyodorkan jas hujan yang dia bawa, “kak Hikaru ngomel, tahu.”

“Hika? Ngomel?” Yuto bertanya, memasang kancing jas hujannya.

“Iya, ngomel. Kalian langsung kabur, kan, ketika dia suruh bawa jas hujan dan payung?” Daiki sedikit berjongkok, tangannya meraih jas hujan yang baru setengah dipakai Yuri, membantu adiknya untuk lebih cepat memakai benda itu.

“Tuh, kan, Ryo,” Yuto keluar dari terowongan perosotan itu, tudung jas hujan sudah dia pakai agar tidak kebasahan, “gara-gara kamu, sih.”

“Kok aku doang, kamu kan juga ikut lari,” bela Ryosuke, ikut keluar dan menghampiri Yuto. Daiki cepat-cepat melerai mereka, tidak ingin kena petuah juga jika kedua adiknya kembali dengan memar baru.

“Sudah, lagian kan kalian semua pergi, semuanya kena salah.” Daiki mengecek, memastikan tidak ada yang tertinggal sebelum menyuruh adik-adiknya berjalan duluan di depannya.

Yuto mengajukan protes lagi, begitu juga dengan Ryosuke yang masih membela diri. Yuri sempat ingin beralasan dapat memakai kartu “anak bungsu”-nya, tapi dia diingatkan kembali oleh Daiki bahwa kartu itu tidak mempan pada Hikaru.

Mengoceh sepanjang jalan, mereka berempat berjalan pulang di tengah hujan.

[#chinen, #inoo, dan #yabu; sibling au yang belum dinamain biar beda dari sibling au lainnya yang saya tulis; setting nambah beberapa tahun dari setting biasa, umur mereka jadi chinen (7), inoo (17), yabu (21).]

Hari temu guru dan orang tua adalah salah satu hari yang disukai Yuri. Memang, belum banyak hari serupa yang dia lalui. Dia baru saja masuk naik ke kelas dua, baru melewati hari temu ini beberapa kali ketika taman kanak-kanak dan tahun lalu saat masih kelas satu. Namun dia suka hari ini, karena dia bisa membawa salah satu kakaknya ke sekolah.

Tentu bukan Ryosuke atau Yuto, pastinya. Walau kedua kakaknya itu sangat antusias hingga berebut untuk datang, mereka belum cukup untuk menjadi pengganti orang tua Yuri di sekolah. Begitu juga dengan Daiki yang kelihatannya tak beda jauh dengan Ryosuke dan Yuto walau sudah berumur 13 tahun ini.

Pilihannya hanya antara Kota atau Kei. Yuya pernah datang, sekali, suatu hari ketika dia masih di taman kanak-kanak. Kakaknya itu juga antusias, menyemangatinya dengan senyum, tapi tidak jarang dia terlihat garang dan menakuti gurunya. Yuri tidak mengerti, karena yang dia lihat hanyalah aura kehangatan kakaknya. Mungkin pandangan orang lain berbeda. Apapun itu, Yuya tidak lagi datang ke hari temu seperti ini.

Kota tentu datang tanpa ditanya. Sebagai yang tertua, dia selalu datang ke hari temu siapapun, mulai dari Yuya, Kei, Hikaru, Daiki, Ryosuke, Yuto, dan juga dia, Yuri. Sesibuk apapun kakaknya, Yuri selalu akan melihat sosoknya di saat yang tepat, baik dengan senyum lebar yang tulus atau senyum lelah habis berlari dari rumah.

Namun, bagi Yuri, Kei mengalahkan Kota jika dia dapat memberikan peringkat akan siapa yang lebih baik untuk datang pada hari temu guru dan orang tua.

Dengan Kota, Yuri menemukan banyak halangan. Tidak boleh menjahili temannya (walau ketika hari biasa pun Yuri tetap akan jahil, lagipula hanya bercanda, temannya juga akan membalas kejahilannya). Tidak ada jajanan ketika jalan pulang ke rumah. Tidak boleh tidur di kelas. Rasa-rasanya, Kota lebih punya banyak peraturan dibanding gurunya sendiri.

Belum lagi ketika gurunya harus berbicara dengan Kota.

Di jalan pulang, sudah pasti Yuri akan mendengar ceramah panjang Kota. Tentu bukan karena marah atau tidak suka, tapi Kota hanya ingin mengingatkannya agar lebih baik lagi. Yuri mengerti, tapi bukan berarti dia suka.

Kalau dengan Kei, lebih banyak hal tidak terduga yang akan terjadi. Kakaknya yang satu ini justru akan memberikan tips untuk dapat tidur tanpa ketahuan guru. Atau memberinya saran untuk lebih jahil pada temannya. Kei juga punya cerita-cerita aneh yang dapat Yuri sampaikan kepada teman-temannya. (Tentu cerita-cerita ini berasal dari turun-temurun, semua kakaknya juga bersekolah di sini, dulu.)

Ketika pulang, Kei akan membawanya mampir ke toko swalayan. Yuri dapat memilih yang dia suka, asal bisa dihabiskan selama jalan pulang agar tidak ketahuan yang lain. Kei memang tidak akan menggendongnya, seperti jika Kota atau Yuya yang datang pada hari temu, tapi kakaknya akan mengajaknya singgah ke taman bermain terdekat.

Pernah sekali mereka tidak sengaja tertidur di salah satu permainan yang ada di sana. Untungnya, taman itu sepi dan tidak ada anak lain bermain. Ketika mereka bangun, langit sudah senja, terdapat banyak panggilan tidak terjawab di ponsel Kei. Tentu mereka disambut dengan ceramahan Kota (walau lebih banyak Kei yang diberikan petuah), tapi Yuri tidak keberatan jika melakukannya lagi.

Sebagai anak paling kecil, yang disayang pula dengan semua kakaknya, Yuri merasa masing-masing kakaknya punya sisi lebih tersendiri. Untuk hari temu seperti ini, atau untuk hari-hari lainnya yang ingin dia isi dengan sesuatu yang menarik, dia tahu dia dapat mengandalkan Kei. Kota pasti akan mengingatkannya untuk tidak meniru segala hal yang dilakukan Kei sebab Yuri juga paham ada banyak masalah yang pernah Kota tangani karena Kei.

Yuri mengerti, tapi bukan berarti dia akan menurut.

[#yabu, #yamada, #yuto, & #chinen. yang lain ada sih tapi sedikit. sibling au dengan jarak masing-masing dua tahun jadi yabu (17), yamada (7), yuto (5), chinen (3). ficlet.]

Yabu tidak tahu apakah memiliki tujuh adik dapat dikatakan berkah atau malapetaka.

Tentu dia sayang mereka semua. Semenyebalkan apapun tingkah mereka, Yabu tetap akan menjadi kakak yang baik dan sabar, menuntun mereka semua untuk tetap bertahan tanpa ada baku hantam terlalu lama. Terlebih pada tiga yang terkecil—Daiki menolak disebut sebagai bocah lagi karena kini dia sudah berumur sembilan—walau sebenarnya ketiga itu yang lebih berbahaya dari adik Yabu yang lain.

Yamada tidak suka diberi penolakan. Kalau mendengar kata negasi, dia langsung meninggikan suara, meminta alasan yang jelas, dan akan memberikan argumen jika dia sedang cukup keras kepala. Tidak mau mengalah pada siapa saja kecuali Chinen.

Chinen sebagai yang terlahir terakhir rasanya datang sebagai mantra tolak untuk Yamada. Segala sifat Yamada pada umumnya tidak berlaku pada Chinen. Berbicara dengan nada tinggi? Tidak. Mengamuk jika diberi penolakan? Tidak. Mau mengalah? Iya. Yabu cukup terpukau dengan besarnya pengaruh eksistensi Chinen terhadap Yamada.

Sisanya Yuto sebagai anak yang berada di tengah keduanya. Suka ribut, berisik, tidak bisa diam kecuali diberi ponsel dengan memori kosong untuk memotret atau kamera sungguhan. Biasanya ada saja tingkahnya untuk mengajak ribut Yamada. Sama-sama punya sifat tak mau mengalah, keduanya selalu harus dilerai agar insiden baku hantam keluarga ini tidak memiliki sekuel.

Insiden pertama terjadi ketika ketiga adiknya itu belum ada di rumah ini sehingga terkadang adik-adiknya itu tidak percaya. Ceritanya juga terdengar tidak masuk akal; Inoo menendang Yabu, dibalas Yabu melayangkan tinju pada Inoo, lalu Takaki ikut-ikutan menyerang mereka berdua, disusul Hikaru dan Daiki yang saling bekerja sama melemparkan tangan. Aneh, karena Inoo tidak terlihat sebagai tipe yang melayangkan kaki duluan dalam pertengkaran.

Begitulah. Itu cerita untuk lain kali.

Kali ini, Yabu punya masalah lain untuk dia pikirkan.

“Kak Yabu mau keluar?” tanya Chinen, jemarinya meremat celana Yabu dan menariknya, dengan cepat mengambil perhatian si kakak.

“Ah,” Yabu menoleh ke sekelilingnya, menemukan tatapan minta maaf dari Takaki yang seharusnya menjaga Chinen, “tidak, kok. Aku tidak mau keluar.”

Yabu harus keluar. Setengah jam lalu, bosnya memanggil agar dia datang pada jadwal siang, menggantikan salah seorang pekerja lain yang izin tidak dapat hadir. Ada bonus yang dijanjikan sehingga dia langsung saja mengiyakan.

Dia tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan adiknya.

“Tapi kok pakai baju rapi?”

Dalam hati, Yabu menghela napas panjang. Kemunculan suara Yuto biasanya akan diikuti dengan suara Yamada. Sesuai dugaannya, adiknya yang satu itu tak lama berdiri di samping Yuto, menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Iya, itu baju perginya.” Yamada kembali beralih menatap kedua mata Yabu. “Mau pergi ke mana?”

Tidak mungin Yabu bisa menjawab. Ketiga adiknya itu pasti akan ikut. Berdasarkan pengalamannya membawa adik ke tempat kerja, tidak ada hal baik yang akan datang jika mereka ada di sana. Walau bosnya mengerti keadaannya, dia tetap saja merasa tidak enak.

“Gak kok, dia gak pergi,” muncul suara Inoo, berdiri di belakang Yamada dan Yuto, “cuma sedang coba-coba baju saja.”

Yuto tampak puas dengan jawaban Inoo. Begitu juga dengan Chinen yang memang biasanya mengiyakan saja perkataan Inoo, tak peduli seberapa janggal kata-kata yang diucapkan. Namun kali ini kata-katanya cukup bagus, tidak aneh, dan bisa diterima. Yabu merasa bangga juga adiknya yang satu itu bisa benar walau hanya pada waktu tertentu.

“Yang benar?” Yamada bertanya, jelas tidak puas. Yabu memang suka sekali diuji kesabarannya oleh Yamada.

“Iya, benar.” Inoo menjawab dengan nada yang sama, tidak mengubah ekspresinya agar Yamada lebih percaya. Sayangnya, Yamada sedang keras kepala, tidak mau menerima alasan yang diberikan kakaknya semudah itu.

“Gak mungkin.” Ruangan itu kini hanya diisi oleh Yamada, Yabu, dan Inoo. Yuto dan Chinen, serta Takaki yang sempat ikut berdiri di sana, kembali masuk ke kamar Hikaru, mengusik pemilik kamar yang mengerjakan tugas.

“Kenapa tidak mungkin?” Yabu bertanya setelah hening beberapa saat. Melirik arlojinya, dia harus berlari jika bisa keluar dari sini.

Yamada tampak berpikir, menatap lekat segala yang Yabu kenakan. Kalau saja dia sedang tidak dikejar waktu, Yabu mungkin akan tertawa karena aneh rasanya melihat wajah anak umur tujuh dengan ekspresi terlalu serius.

“Kencan,” ujar Yamada, akhirnya, “kak Yabu mau kencan, ya?!”

Pertanyaan itu kembali membawa Yuto dan Chinen menghampiri mereka, tentu diikuti Hikaru serta Takaki yang tak sengaja mendengar. Bahkan Daiki yang berada di ruangan lain ikut terkejut dan masuk ke dalam kerumunan adiknya.

“Kencan? Kak Yabu kencan?”

“Kok bisa ada yang mau sama kak Yabu?”

“Kok kak Yabu gak cerita kalau sudah ketemu perempuan?!”

Menahan diri untuk tidak memutar kedua bola matanya dan berteriak, Yabu menarik napas dalam-dalam. Tangannya dengan cepat meraih kenop pintu, membuka dan menutupnya dalam hitungan detik, lalu berlari kencang dari sana. Dia mendengar sahutan adik-adiknya dari jauh, tapi sepertinya tidak ada yang menyusulnya.

Tidak peduli. Urusan adiknya nanti saja dia atasi ketika pulang.

[#yamada, #chinen, #daiki. #pubgau. bahasa indonesia.]

“Chinen,” Daiki berbisik, melangkah pelan untuk memberi jarak dari satu temannya yang terus berjalan tanpa menoleh. “Sepertinya kalau bisa membunuh rekan, aku sudah mati, ya.”

Yang diajak bicara memandang Daiki, kemudian melirik pada yang berjalan di depan. Kedua bahunya terangkat. “Bisa jadi.”

.

Sejak awal mereka memasuki lobi permainan, Yamada sudah menatap Daiki tajam. Mungkin pakaiannya, sebab Daiki terlihat terlalu mencolok dengan set baju berwarnya jingga. Salah dia juga, lupa mengganti pakaiannya sebelum menyatakan siap.

“Kita akan turun di mana?” tanya Chinen, memecahkan keheningan yang hampir mencekik Daiki. Pandangan sinis Yamada beralih menjadi netral ketika dia melirik Chinen.

“Aku selalu turun di Pochinki,” Yamada mendengus, “namun rasanya agak mustahil sebab kuyakin Daiki akan tewas duluan.”

Protes hampir keluar dari mulut yang diejek, tapi ucapan Yamada tidak sepenuhnya salah. Dia selalu menghindari tempat tersebut. Terlalu banyak pemain yang turun di sana, belum lagi jika dia kalah cepat saat merebut senjata.

Setelah beberapa pertimbangan, serta beberapa gerutu dari Yamada, akhirnya mereka memutuskan untuk turun dekat daerah Quarry. Memberi aba-aba pada kedua temannya, Yamada memandu timnya untuk terjun, tak lama setelah permainan dimulai. Daiki dapat melihat beberapa pemain lain ikut turun, namun memilih tempat landas yang berbeda dengannya.

Mendarat dengan selamat, mereka bertiga langsung berpencar ke rumah terdekat. Daiki berharap cepat menemukan senjata, sebab dia tahu jika mati duluan, Yamada akan mengomel tanpa habis. Melirik dari jendela, dia melihat dua rekannya berada di rumah seberang. Chinen sudah mengenakan pakaian baru, di punggungnya sudah ada tas, serta senapan di tangan.

Suara tembakan terdengar, beberapa ada yang jauh, sisanya cukup dekat. Daiki mengambil amunisi yang dia temukan, beruntung mendapat AK47 yang biasa dia gunakan. Apapun akan dia pakai untuk saat ini.

Menelusuri tempat lain, mereka mendapat barang-barang yang mereka butuhkan; granat, supresor, flash hider, dan lainnya. Sejauh ini, belum ada musuh yang terlihat. Tidak banyak yang turun di daerah ini walau banyak barang bagus yang dapat ditemukan. Pilihan yang cukup baik, menurut Yamada, bagi mereka bertiga yang punya Daiki sebagai teman tim.

“Yamada,” tiba-tiba Daiki menyebut namanya dalam bisikan, “ada musuh.”

Mengintip dari scopenya, dia membidik ke titik yang Daiki tandai. Benar, ada dua musuh di rumah yang terletak di seberang mereka. Keduanya sibuk mengumpulkan barang, tidak terlihat menyadari keberadaan mereka yang sudah merunduk sembunyi di bagian bawah jendela.

“Kau tembak satu, aku tembak yang lainnya?” Daiki setengah bertanya. Inginnya menyuruh, tapi tidak yakin Yamada mau menurutinya.

Yamada tampak berpikir sebentar. Tidak ada yang salah juga menyuruh Daiki membunuh satu sementara dia menembak yang satu lagi, walau dia lebih yakin kalau Chinen yang menembak.

“Baiklah.” Yamada menggerakkan senjatanya sedikit, mencoba membuat dirinya lebih nyaman.

Dia dapat merasakan Daiki tersenyum lebar sebelum ikut mengintip dari scopenya sendiri, membidik musuh dari jendela di sisi yang lain. Menarik napas, Yamada mengikuti gerak musuhnya, menunggu waktu yang tepat untuk melepaskan peluru.

Sayangnya, Yamada tidak sempat melumpuhkan musuhnya karena dikejutkan suara yang terlalu keras. Pada detik dia mendengar tembakan di dekatnya, dia menyesali keputusannya untuk mengiyakan rencana Daiki.

“Kau tidak pasang supresor?!” Dia tidak peduli suaranya terlalu keras sampai mengalahkan suara tembakan dari senjata Daiki. Gemas. Sebal. Yang dia tahu, dia ingin memukul kepala rekannya itu.

“Sepertinya belum,” Daiki menjawab dengan pelan, terlihat menyesal, “masih ada di tasku.”

Yamada ingin memberinya omelan panjang, tapi semuanya terpotong karena peluru berdatangan ke arah mereka. Posisi mereka sudah jelas terlihat oleh lawan, terlebih kini mereka tidak lagi bersembunyi di balik tembok.

Tanpa banyak bicara lagi, Yamada kembali pada senjatanya sendiri, mencari kembali posisi lawan, membalasnya dengan memberikan beberapa tembakan sampai lawan tersebut sekarat dan tidak bisa dipulihkan kembali.

Chinen menoleh ke arah Daiki ketika mereka keluar dari tempat tersebut, berlari menuju ke tempat lain setelah menghabisi lawan mereka sebelumnya. Daiki membalas tatapannya, lalu melirik Yamada yang memandu jalan mereka.

“Sepertinya kalau bisa membunuh rekan, aku sudah mati, ya.”

Kedua bahu Chinen terangkat, ikut melirik ke arah Yamada di depan mereka. “Bisa jadi. Tenang saja, nanti aku yang memulihkanmu.”

[#daiki, #chinen, & #yamada. setting sekolahan. daiki anak teladan :D] [ficlet, bahasa indonesia.]

Sebagai siswa teladan, tentu Daiki selalu mematuhi peraturan.

Seragamnya rapi. Dasi selalu dipakai. Celana panjangnya tidak ketat, begitu juga dengan kemejanya. Sepatu hitam bertali—dengan sedih harus menyimpan sepatu warna-warninya sebab sekolahnya negeri.

Isi tasnya juga tidak ada yang aneh-aneh. Buku pelajaran dibawa lengkap. Pulpen tidak terlalu lengkap, sih, soalnya mudah hilang kalau di sekolah. Jadi dia juga tidak mau bawa banyak, takut diambil.

Sebagai seorang teman, dia juga tidak sombong. Berteman tidak pilih-pilih. Suka menolong kalau ada yang kesusahan.

Misalnya seperti sekarang, ketika Yamada tidak membawa buku.

Sebenarnya, Chinen yang duduk sebangku dengan Yamada. Sewajarnya, dia yang berbagi buku. Namun Pak Hikaru agak galak. Disiplin orangnya, tidak suka kalau ada siswa yang telat mengumpulkan tugas atau membawa buku. Chinen, sebagai anak teladan lainnya, tidak mau kena masalah.

Menghela napas, dia akhirnya bertukar tempat duduk. Inoo yang duduk dengannya kini duduk dengan Chinen. Dia dengan Yamada.

Sayangnya, hari itu Pak Hikaru sedang sensi. (Memang setiap hari, sih, kalau menurut Daiki. Cuma hari ini agak lebih ekstra saja.) Ketika menyadari Daiki dan Yamada berbagi buku, omelan pun langsung keluar dari mulut pengajar itu.

“Bukannya sudah saya bilang harus bawa buku sendiri?” Semua pandangan tertuju pada keduanya. “Kalau tidak bawa buku, tidak usah hadir di kelas saya.”

Hening mengisi kelas itu. Daiki sedikit merasa kasihan pada temannya itu. Namun, Yamada justru menatapnya tajam. Tidak ada tanda-tanda dia akan berdiri dan keluar dari kelas sesuai perkataan guru mereka.

Menautkan alisnya, Daiki bertanya-tanya. Mengapa semuanya jadi menatap dia?

Terlalu lama diam, akhirnya Pak Hikaru berbicara lagi, “Ayo, cepat. Keluar kelas. Kamu memotong waktu belajar.”

Sama dengan teman-temannya, Pak Hikaru juga menatap dia. Satu buku dipegang oleh satu tangan. Satunya lagi sudah siap menulis di papan dengan spidol.

“T-tapi bukan saya, Pak.”

“Berarti Yamada?”

Daiki menatap temannya itu. Dalam hati ingin memarahinya, sebab dia harusnya tanggung jawab akan perilakunya sendiri.

Yang tidak diperkirakan Daiki adalah ujaran Chinen, “Bukan, Pak. Daiki, kok, yang tidak bawa buku.”

Rasanya Daiki ingin berteriak kencang. Kok jadi dia?

Namun tatapan teman sekelasnya sudah semakin menajam. Tidak tahan berlama-lama dalam situasi yang tidak enak ini. Begitu juga Pak Hikaru, wajahnya semakin lama semakin geram.

Menyerah, Daiki berdiri dari bangkunya—yang sebenarnya tempat duduk Chinen juga. Kakinya bergegas berjalan keluar, menghela napas ketika mendudukkan diri di lantai luar kelas.

Jadi salah dia, ya.