hiirei

daiki

[#hikaru dan #daiki (+ #takaki), sibling au dengan umur hika (17) dan daiki (15), bahasa indonesia.]

Minggu itu, Hikaru dan Daiki yang mendapat tugas belanja.

Yuya sempat menatap ragu keduanya ketika mereka meminta kunci motor. Hikaru, baru saja berulang tahun beberapa bulan lalu, sudah mendapat kartu untuk mengemudi. Umur kartu itu belum lama. Hikaru baru saja lolos tes dan mendapatkannya minggu lalu.

Oleh karena itu, Yuya sedikit mempertimbangkan kondisi.

Yuya sendiri yang mengajari Hikaru mengendarai motor. Dia yang selalu ada ketika Hikaru panik untuk menyalip atau masuk ke jalur jalan raya. Dia yang ada ketika tangan Hikaru goyang, membuat motor mereka oleng, dan hampir menyentuh aspal. Dia juga yang ada ketika Hikaru mengambil tes mengemudi.

Dengan beberapa rayuan dan bujukan Daiki, serta Hikaru yang meyakinkan Yuya, akhirnya kunci itu diberikan. Tentu dengan peringatan yang diulang-ulang oleh si anak kedua, dijawab dengan anggukkan kedua adiknya.

Kei sempat melirik mereka curiga, sedikit meledek agar mereka tidak jatuh. Sayang soalnya, motor mereka baru saja dicuci olehnya.

Perjalanan dari rumah ke toko terdekat mereka lalui dengan mulus. Tidak ada hambatan, tangan Hikaru yang bergetar, atau kecemasan yang diutarakan si pengemudi. Daiki merasa lega. Dia sudah siap untuk menjadi mental support Hikaru hari ini, tapi akan lebih baik lagi jika kakaknya memang tidak membutuhkannya.

Daftar belanjaan yang diberi Kota sehari lalu berisi aneka barang. Mulai dari barang yang memang habis dan butuh dibeli, sampai barang-barang tidak jelas yang berasal dari permintaan tiga bungsu. Daiki dan Hikaru saling menatap. Sepakat untuk tidak sengaja melupakan barang-barang tidak penting itu. Kalau adik-adik mereka protes, mereka bisa pergi membeli semuanya sendiri.

“Kok jadi sebanyak ini, ya,” ucap Daiki, menjinjing tas belanjaan di tangan kanan dan kiri. Bawaan Hikaru tidak seberapa, takut oleng jika jinjingan pada stang motor terlalu berat.

“Soalnya memang banyak yang habis, kan,” Hikaru meliriknya, tidak menawarkan bantuannya untuk membawa sampai parkiran.

Sampai pada motor mereka, Hikaru mencantelkan jinjingannya pada kaitan stang motor. Namun, beberapa saat kemudian, dia meraih ke dalam jinjingan itu, mengeluarkan plastik khusus berisi telur.

“Kayaknya jangan di situ,” Hikaru menoleh pada Daiki, “takut kesenggol-senggol, nanti pecah.”

“Tasku udah penuh, gak bisa masuk,” protes Daiki, “yang ada jatuh di jalan nanti.”

Namun, belum sampai Daiki selesai berbicara, Hikaru tampak punya rencana lain. Dia membuka jok motor, lalu menaruh plastik telur itu di dalam bagasi. Untungnya, tempat itu pas, tidak ada telur yang harus tergencet ketika jok kembali ditutup.

“Ah, tapi mesinnya nanti panas, ya. Telurnya bakal jadi ayam, gak, ya?”

“Mana ada!” Daiki sebal, lebih kesal karena omongan kakaknya didengar beberapa orang yang lewat dan membuat mereka tertawa. Sebenarnya, dia juga ingin tertawa, tapi wajah Hikaru yang polos membuatnya refleks memarahi si kakak. “Udah, ayo, pulang.”

Selama perjalanan pulang, Daiki berdoa agar tidak ada apa-apa. Hikaru mengendarai dengan kecepatan sedang, atas perintah Daiki karena dia tetap harus menjinjing tas belanjaan di atas motor. Agak frustasi juga, kalau boleh jujur, karena tangannya terasa panas dan berkeringat, takut-takut jadi licin dan tasnya lepas dari pegangan.

“Hikaru,” Daiki memanggil, sedikit berteriak karena jalanan ramai.

Sayangnya, suara Daiki terlalu keras dan tiba-tiba, membuat kakaknya terkejut. Tangan Hikaru refleks memutar gas, membuat tubuh mereka sedikit tertarik ke belakang.

“Hikaru!” Daiki kembali berseru, sama sekali tidak membantu kakaknya yang sudah panik dan tidak tergerak untuk mengurangi kecepatan.

Beberapa kendaraan lain yang tadinya jauh, kini semakin dekat, bahkan Hikaru dapat menyusul dan mendahului mereka. Sesekali, terdapat beberapa klakson sebab Hikaru menyalip mereka yang memberi sein, tidak memperhatikan orang-orang yang memberi tanda berbelok.

“P-pelan-pelan,” mau tak mau, Daiki harus memandu kakaknya, tidak bisa juga minta Hikaru untuk mengerem mendadak dan membuat mereka jatuh, “pelan-pelan lepas gasnya.”

Daiki tidak yakin seberapa jelas Hikaru mendengarnya, namun perlahan dia merasakan kecepatan mereka berkurang. Jantungnya mulai sedikit tenang, walau masih berdegup kacau takut-takut Hikaru terkejut lagi.

Untungnya, sisa perjalanan pulang berlalu baik-baik saja. Hikaru tidak lagi terkejut, Daiki bungkam agar tidak mengagetkannya.

Ketika kakinya menyentuh halaman rumah, Daiki menghela napas panjang. Senyum lebar muncul. Dia masih hidup!

Mematikan mesin motor, Hikaru menoleh pada adiknya. Cengiran ada pada wajahnya dengan sedikit teror masih mewarnai ekspresi. Daiki tidak punya hati untuk mengomeli kakaknya. Dia juga sama-sama salah.

Mengambil belanjaan, serta tidak melupakan telur di bagasi, mereka berjalan menuju rumah.

“Gak jadi ayam, ya, ternyata,” ujar Hikaru, memecahkan keheningan di antara mereka.

Daiki hanya bisa tertawa lepas.

[#daiki dan #inoo, sekolahan au, bahasa indonesia.]

Daiki tidak terlalu suka hantu, tapi tidak takut juga. Sayangnya, semesta memaksanya untuk hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk tembus tembok itu.

Benar, semua orang di muka bumi ini juga sebetulnya hidup berdampingan. Pada pojok-pojok ruangan, tempat gelap, atau bahkan lorong yang sepi—semua manusia juga pasti pernah berpapasan dengan mereka.

Hanya saja, manusia lain punya keberkatan atas ketidaktahuan.

Daiki, sialnya, diberi anugerah berupa penglihatan.

Makhluk-makhluk itu ada di hampir segala tempat. Dia sudah hilang hitungan akan kali terkejut mendapati pemandangan yang tidak normal. Apalagi di saat-saat yang tidak tepat.

Beberapa kali, dia ingin sekali marah. Segala makhluk itu tahu dia dapat melihat mereka. Tentu karena ulahnya sendiri, seringkali tidak sengaja bertemu pandang dengan mereka. Bukan karena dia ingin, tapi karena dia sendiri tidak terlalu dapat membedakan mana yang hidup dan mati.

Sekilas, mereka tidak terlalu berbeda. Pada wujud normal, mereka akan terlihat sesuai rupa ketika hidup. Mereka akan berjalan, lari, duduk—semuanya terlihat sama.

Yang beda adalah reaksi mereka ketika bertatapan dengan Daiki.

Mereka akan terlihat senang, lalu mengejar-kejar Daiki tanpa henti. Sulitnya menjadi makhluk hidup, tidak banyak tempat untuk bersembunyi. Tidak ada kekuatan untuk menghilangkan diri. Jadi, tentu, dia harus terus berlari.

Tidak hanya melihat yang sudah tiada, Daiki juga dapat merasakan pertanda orang-orang yang hidup akan mendekati ajal. Mungkin keseringan berinteraksi dengan kematian membuatnya punya ikatan dekat. Namun bukan berarti mendapat bocoran rahasia alam adalah hal menyenangkan.

Sebab mungkin, jika Daiki hanyalah manusia normal, dia tidak harus repot-repot mengatur ekspresinya ketika berhadapan dengan si murid baru.

Awalnya, Daiki tidak terlalu sadar bahwa pertanda tersebut menunjukkan kematian akan menjemput seseorang. Dia pikir, aura gelap yang menyelimuti seseorang hanyalah gambaran perasaan orang tersebut. Atau mungkin hantu yang menempel. Terlalu banyak agenda gaib yang membuatnya lelah untuk peduli.

Setelah berturut-turut mendengar kabar kematian terkait orang-orang itu, Daiki sadar bahwa aura gelap yang dia lihat bukan sebatas perasaan atau hantu. Yang dia lihat adalah kematian itu sendiri, menjerat orang beberapa waktu sebelum mereka mati.

Dan, sialnya, dia melihat aura itu pada si murid baru.

“Ada apa?” Murid baru itu, Inoo namanya, bertanya. Tanpa sadar, Daiki menatapnya terlalu lama dalam diam.

“Tidak,” Daiki mengalihkan pandangannya, “tidak ada apa-apa.”

Kau hanya akan mati sebentar lagi, pikir Daiki. Bukan berarti dia dapat mengatakan atau mencegahnya juga. Semua yang diatur alam tidak dapat dia ganggu.

Sama halnya takdir Daiki ke depannya, yang tanpa dia ketahui akan terikat dengan si murid baru lebih jauh dari yang dia kira.

[#yamada, #yuto, #chinen, #daiki, dan #hikaru; sibling au dengan umur chinen 4 dan tiap bocah beda 2 tahun; sick fic sebagai pelarian atas tidak adanya ide nulis; bahasa indonesia.]

Hal yang paling ditakuti oleh mereka adalah Kota yang sakit.

Namun, hari itu membuktikan ketakutan mereka tidak seberapa dibanding kenyataan yang mereka hadapi.

Tidak hanya Kota, Yuya dan Kei juga sakit. Mereka bertiga pulang basah kuyup dua malam lalu karena menerjang hujan badai yang tidak berhenti sampai keesokan harinya. Walau sudah diberi pencegah sakit seperti air hangat yang disodorkan setiap setengah jam, tubuh ketiganya tetap tidak kuat.

Untungnya, musim ujian sudah terlewati. Ketiganya dapat tenang memakai jatah absen untuk beristirahat penuh di rumah.

Sialnya, bagi tiga bocah cilik, artinya Hikaru yang mengambil alih. Kalau Hikaru yang memegang perintah, artinya ada saja omelan yang mereka dapatkan.

“Kalian diam saja di rumah, oke?” Hikaru menoleh, memastikan ketiga adik kecilnya itu mendengarnya. “Jangan keluar, jangan buka pintu kalau ada tamu, jangan melakukan hal-hal aneh.”

Yuto sebenarnya gatal ingin menyuruh Hikaru berhenti menggunakan kata “jangan”, tapi Ryosuke meliriknya tajam. Tanda dia harus diam dan mengangguk saja. Bagi Yuto, Ryosuke tidak jauh beda dengan Hikaru. Galak, tapi dengan cara yang berbeda.

Yuri sebenarnya sudah tidak mendengarkan sejak Hikaru membuka mulutnya. Kepalanya otomatis tergerak untuk mengangguk karena Hikaru menatapnya dengan sedikit melotot. Dalam hati, dia tahu Ryosuke akan mengingatkannya juga jika ada sesuatu yang Hikaru larang.

Ryosuke memberi senyum manis, tampak berbeda dari kedua adiknya. Hikaru sempat menatapnya awas, curiga dia punya rencana macam-macam, tapi Ryosuke membuatnya yakin tidak ada intensi aneh-aneh.

“Kalau ada apa-apa, tanya Daiki,” Hikaru berkata sebelum menutup pintu, “tadi dia ada di kamarnya.”

Betul Daiki ada di kamarnya. Hanya saja, kakak mereka satu itu tidak sadarkan diri. Tertidur pulas setelah lelah kerja rodi membereskan rumah dengan Hikaru pagi tadi. Tidak ada yang dapat membangunkan Daiki selain alam.

Dan karena itulah mereka beranjak ke dapur.

“Kenapa enggak kak Hikaru aja yang masak nanti?” tanya Yuto sambil memberikan Ryosuke panci yang diminta.

“Karena kita mau kasih kejutan.” Ryosuke menatap kedua adiknya. “Sesekali, kita harus jadi yang jagain kakak-kakak kita.”

Mendengar kata-kata Ryosuke, Yuto terpukau. Mudah saja memang membuat Yuto semangat mengerjakan sesuatu. Yuri, sih, tidak termotivasi. Tapi tidak salah juga mengerjakan sesuatu dengan kedua kakaknya.

“Yuri, coba ambil buku resep di ruang tv.”

Yuri mengangguk, kakinya langsung berjalan menuju tempat pencarian. Ryosuke beralih pada adik satunya lagi, kini dengan senyum sumringah setelah semangat.

“Kau, ambilkan barang-barang di tempat tinggi.”

“Ehhh?” Yuto kecewa. “Kenapa hanya ambilkan barang?”

Ryosuke menatap lama adiknya. Dia tidak mau terang-terangan mengatakan bahwa Yuto yang paling tinggi dari mereka bertiga, tapi memang itu alasannya dia mengiyakan tawaran Yuto untuk membantu.

“Karena kamu pecicilan, nanti dapurnya berantakan,” jawab Ryosuke final, mengalihkan pandangannya pada Yuri yang memberinya buku resep.

Sejenak, mereka bekerja dalam ketenangan. Yuto hanya bergerak ketika mendapat perintah dari Ryosuke. Yuri pun tidak banyak komentar. Ryosuke pada mode normal sudah cukup galak, kalau sedang memasak akan lebih menyalak.

Masakan yang dibuat sebenarnya sederhana. Krim sup jagung dengan irisan ayam yang tebal-tebal. Ryosuke belum pernah mencoba sebelumnya, tapi tahapan yang ditulis dalam buku resep tidak terlalu sulit.

Walau begitu, tatapan cemasnya tetap terpancar menunggu Yuri mencicipi sup tersebut.

“Gimana?” tanya Ryosuke, setengah tidak sabar karena Yuri tidak berkata apa-apa.

“Hmm,” Yuri melirik Yuto yang ingin mencicipi juga, “biasa saja, sih. Coba Yuto yang cicip.”

Tatapan cemas itu beralih pada Yuto. Memang, tidak banyak yang dapat diharapkan dari Yuri ketika mencicipi makanan. Semua terasa biasa saja kecuali masakan Kei yang dibuat dalam sekali setiap purnama biru.

“Ah!” Yuto tersenyum lebar, menularkannya pada wajah Ryosuke. “Enak kok.”

“Apanya yang enak?”

Ketiganya terkesiap, dengan cepat menoleh pada sumber suara. Berdiri di sekat dapur dan ruang makan, Daiki menatap mereka bertiga dengan cengiran lebar. Rambutnya berdiri hampir ke segala arah. Tanda Daiki baru saja bangun.

Tanpa menunggu jawaban dari ketiga adiknya, Daiki beralih pada panci yang masih di atas kompor. Uap panas segera keluar ketika Daiki membuka tutupnya.

“Memangnya Hikaru bolehin kalian masak?” tanya Daiki, tapi tangannya mengambil sendok yang tergeletak tak jauh darinya. Mengambil sedikit dari dalam panci, Daiki ikut mencicipi krim sup itu.

“Ih, curang,” Yuto mendorong pelan Daiki, “harusnya tadi Daiki ikut masak.”

“Kan aku tadi beresin rumah,” Daiki membela diri sambil mengambil mangkuk, siap menyendokkan krim sup itu ke dalamnya, “jadi adil, dong, kalian yang masak.”

Yuri ikut protes, ditambah Yuto yang semakin mengoceh tak mau kalah. Sambil tertawa menanggapi adik-adiknya, Daiki mengambil mangkuk lagi, membantu Ryosuke menyiapkan untuk ketiga kakak mereka yang sakit.

Hikaru pulang ketika semua mangkuk tersedia di atas meja, disusul dengan hujan deras yang kembali turun. Porsi krim sup sesuai dengan jumlah mereka sehingga tak ada yang bisa menambah.

Untuk sesaat, Hikaru sadar ketiga adiknya itu masak tanpa bilang-bilang, tapi Kota dengan lemas menyuruhnya duduk. Bukan berarti ketiga bungsu itu akan lolos dari omelan.

Namun setidaknya, mereka dapat mencicipi krim sup dulu, mumpung masih hangat di saat udara dingin hujan mengisi rumah.

[#yamada, #yuto, #chinen, dan #daiki alias empat kicik dengan umur daiki (9), yamada (7), yuto (5), chinen (3); sibling au yang udah dinamain tapi malu ditulis; bahasa indonesia.]

Hujan turun, deras.

Yuto merentangkan tangannya, membiarkan air hujan membasahi jemarinya, tertawa geli sendiri ketika merasakan air yang dingin. Berbeda dengannya yang tersenyum lebar melihat hujan, Ryosuke di sampingnya terlihat cemberut. Dalam hati menahan kesal karena prediksinya salah.

Ryosuke yang meyakinkan kedua saudaranya untuk pergi ke taman bermain. Dia pikir karena sebelumnya matahari bersinar terang dan langit cerah, mereka tidak akan membutuhkan payung atau jas hujan. Jadi, mengabaikan teriakan Hikaru untuk membawa kedua benda itu, Ryosuke mengajak Yuto dan Yuri berlomba untuk lari ke taman.

Itu dua jam lalu.

Sekarang, ketika mereka baru saja mau pulang, tiba-tiba hujan turun. Mereka akhirnya berteduh di salah satu terowongan perosotan yang ada, sementara anak-anak lainnya berlarian menuju rumah masing-masing.

“Gak mau lari juga?” Yuto menoleh ke Ryosuke, masih membiarkan tangannya basah didera hujan. “Kan rumah kita gak terlalu jauh.”

“Jangan.” Ryosuke menarik tangan Yuto yang hampir membasahi lengan kausnya. “Nanti sakit. Kalau sakit, gak ada yang bisa jagain kita. Yang lain kan lagi ujian.”

“Oh, pantes,” tangan Yuto kembali meraih air-air hujan, “kemarin kak Yuya marah pas aku ambil bukunya.”

“Kamunya aja nyebelin,” timpal Yuri, kakinya menendang-nendang angin, tidak sampai menyentuh atap perosotan. Sebenarnya dia ingin protes karena terowongan perosotan itu sempit, belum lagi Yuto tidak bisa diam bermain air hujan, ditambah Ryosuke yang sibuk menarik tangan Yuto. Yuri yang berada di tengah jadi saksi hidup perdebatan kecil kedua kakaknya.

Lelah, atau mungkin takut juga akan dijotos Ryosuke di tempat sempit, Yuto akhirnya menyerah. Tangannya yang basah dia lipat di atas pahanya, celana pendeknya menyerap bulir-bulir air yang menetes, sebagian membasahi bagian kecil celana Yuri.

Dingin juga, lama-lama.

“Tadi di rumah ada siapa aja, sih?” Yuto mulai membuka suara lagi, agaknya tidak suka dengan hening yang diisi suara hujan saja.

“Hikaru,” Ryosuke tampak berpikir, “mungkin Daiki juga? Kak Kei sama kak Kota pergi, kak Yuya tidak keluar kamar dari pagi.”

Hening kembali hadir. Kalau-kalau Kota ada di rumah, mungkin kakak mereka itu sudah panik mencari, membawakan payung sambil berceramah sepanjang jalan pulang. Atau kakaknya akan menyuruh saudara yang lain untuk datang menjemput. Namun kalau Kota saja tidak ada, sisa Daiki dan Hikaru di rumah serta Yuya yang memendam diri di kamar, rasanya tidak ada harapan.

Suara hujan mendera tanah jadi sedikit membuat mereka mengantuk. Angin semilir menambah berat kedua mata. Yuri sudah tidak tahan, kedua matanya tertutup sementara kepalanya condong ke arah Yuto.

Melirik adiknya yang tertidur, Ryosuke mau tak mau merasa ingin tidur juga. Dia tahu harusnya dia yang terjaga dan membangunkan mereka nanti ketika hujan reda, tapi bunyi hujan masih kencang, deras, mungkin akan bertahan beberapa menit lagi.

Yuto sebetulnya ingin mengingatkan mereka akan cerita-cerita seram terkait penculikan atau hantu yang datang di saat hujan. Namun berat di pundaknya membuat dia urung, belum lagi lirikan Ryosuke yang tajam, seakan mengancamnya jika berbuat macam-macam dan membangunkan Yuri.

Menghela napas sepelan mungkin, dia mencoba untuk tertidur juga. Mungkin beberapa menit tidak apa-apa. Dia juga mudah terbangun, pasti akan sadar jika ada orang yang mendekati mereka.

“Dor!”

Tidak jadi menutup mata, mereka bertiga terlonjak mendengar suara kencang itu. Mereka kira petir datang, sempat takut akan kemungkinan petir menyambar perosotan yang mereka duduki, sebelum akhirnya kesal karena mendengar gelak tawa yang mereka kenal.

“Daiki!” Ryosuke memberikan tendangan ke arah kakaknya, yang tentu segera menjauhkan dirinya.

Kakak mereka datang, sendirian, tapi tangannya menenteng jas hujan yang dapat mereka pakai. Senyum di wajahnya masih ada, terlebih ketika melihat wajah mereka satu per satu yang masih diisi dengan kantuk.

“Bisa-bisanya tidur di sini,” Daiki menyodorkan jas hujan yang dia bawa, “kak Hikaru ngomel, tahu.”

“Hika? Ngomel?” Yuto bertanya, memasang kancing jas hujannya.

“Iya, ngomel. Kalian langsung kabur, kan, ketika dia suruh bawa jas hujan dan payung?” Daiki sedikit berjongkok, tangannya meraih jas hujan yang baru setengah dipakai Yuri, membantu adiknya untuk lebih cepat memakai benda itu.

“Tuh, kan, Ryo,” Yuto keluar dari terowongan perosotan itu, tudung jas hujan sudah dia pakai agar tidak kebasahan, “gara-gara kamu, sih.”

“Kok aku doang, kamu kan juga ikut lari,” bela Ryosuke, ikut keluar dan menghampiri Yuto. Daiki cepat-cepat melerai mereka, tidak ingin kena petuah juga jika kedua adiknya kembali dengan memar baru.

“Sudah, lagian kan kalian semua pergi, semuanya kena salah.” Daiki mengecek, memastikan tidak ada yang tertinggal sebelum menyuruh adik-adiknya berjalan duluan di depannya.

Yuto mengajukan protes lagi, begitu juga dengan Ryosuke yang masih membela diri. Yuri sempat ingin beralasan dapat memakai kartu “anak bungsu”-nya, tapi dia diingatkan kembali oleh Daiki bahwa kartu itu tidak mempan pada Hikaru.

Mengoceh sepanjang jalan, mereka berempat berjalan pulang di tengah hujan.

[#yamada dan #daiki, bocah au (yama 6 daiki 8), ficlet, bahasa indonesia.]

Kali pertama mereka bertemu, taman bermain itu masih gersang. Tidak ada mainan apapun walau dinamakan taman bermain. Hanya ada anak-anak seumuran mereka, membawa lompat tali, sepeda, congklak, atau mainan lainnya yang tidak dilarang dimainkan di rumah.

Daiki yang pertama kali membuka suara, mengajak Ryosuke bermain kelereng.

“Aku tidak punya kelereng,” Ryosuke merengut, “tidak bisa main.”

“Aku punya,” Daiki menyodorkan beberapa butir miliknya ke tangan Ryosuke, “aku bisa ajarkan.”

Tidak mendengar lanjutan protesnya, Daiki menarik tangan Ryosuke, berjalan menuju teman-temannya yang lain, butir-butir kelereng tersusun rapi di tengah mereka, siap dimainkan.

Pada akhir dari hari itu, Ryosuke cukup mengerti cara bermain kelereng. Butir yang dipinjamkan Daiki dia kembalikan sebab dia sudah punya lebih.

“Bagus kan? Kau jadi punya kelereng,” ucap Daiki sebelum melambaikan tangan, berlari ke arah berlawanan dari Ryosuke, sosoknya hilang ditelan langit senja.

Ryosuke menatap butir-butir kelereng miliknya dalam sebuah kantong yang diberikan Daiki. Sepuluh butir, semuanya cantik. Dia tidak pernah berpikir akan memilikinya kalau tidak karena paksaan Daiki tadi.


Kali kedua mereka bertemu, keesokan harinya, Ryosuke kembali merengut. Daiki pikir, dia selalu merengut, tidak peduli hari itu sedang cerah atau mendung.

Mengabaikan wajahnya yang tidak bersahabat dan membuat anak-anak lainnya melipir, Daiki mendekatinya, sama seperti kemarin.

“Aku tidak bisa naik egrang,” Ryosuke melirik pada benda panjang itu, bergidik membayangkan harus menaikinya, “terlalu tinggi.”

“Kan kau pendek,” Daiki menjawab tanpa pikir panjang, “kalau pakai ini, jadi tinggi.”

Ryosuke menatapnya tajam, tapi Daiki abai. Tinggi mereka tidak beda-beda amat. Mungkin sama, tapi bisa-bisanya yang lebih tua berkata dengan santai seperti itu.

“Tidak mau,” ucap Ryosuke lagi, berjalan menjauh dari Daiki dan sepasang egrang yang ada. Dia bahkan tidak tahu bagaimana Daiki bisa membawa benda sepanjang itu dan menaruhnya di taman. Seingatnya saat dia datang tadi benda itu belum ada.

“Ayolah,” Daiki menariknya, “kalau jatuh ya tinggal jatuh. Sakit, sih, tapi nanti bisa aku obati.”

Tangannya disodorkan sepasang egrang yang tingginya lebih dari dirinya. Tidak seberat yang dia pikirkan, tapi tetap saja dia tidak ingin menaiki benda ini.

“Atau,” Daiki menatapnya dari atas, sudah berhasil naik ke egrang miliknya sendiri, “kau terlalu takut, ya? Tidak apa-apa, sih. Walau tidak ada menang atau kalah di sini, kau terhitung kalah kalau tidak naik.”

Mungkin Daiki tahu cara memprovokasi anak seperti dia. Mungkin Daiki memang pintar untuk mengajak orang melakukan hal sesuai keinginannya. Apapun itu, Ryosuke akhirnya sebal. Sebal artinya dia akan melawan. Melawan artinya dia akan menaiki egrang itu.

Pada akhir hari itu, Ryosuke jatuh beberapa kali setelah menaiki egrang. Daiki harus menahannya untuk tidak lagi naik setelah kakinya berdarah, mengatakan dia sudah menang dan Daiki salah.

Sesuai perkataannya, Daiki pulang mengambil obat merah dan perban untuk lukanya, mengobatinya dengan pelan sambil menahan tendangan yang Ryosuke berikan. Refleks, katanya, tapi Daiki tahu ada kekesalan lain yang tersimpan dalam setiap tendangan.


Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk bertemu di taman itu. Pada waktu yang sama, Daiki akan datang membawa mainan baru. Ryosuke akan menunggunya di titik yang sama, walau sebenarnya Daiki dapat menemukannya dengan mudah karena taman itu tidak seberapa luas. Mereka akan bermain sampai sore tiba. Daiki akan berlari ke arah yang berlawanan, sementara Ryosuke menatap sosoknya sampai hilang sebelum kembali ke rumah.

Lama-kelamaan, taman bermain itu mulai diisi. Mainan pertama kali yang hadir adalah ayunan, baik yang dapat dinaiki sendiri maupun dengan orang banyak. Tentu, Daiki dan Ryosuke jarang mendapat giliran. Ada banyak anak lain yang berebutan, mereka tidak terlalu ingin menaikinya selagi punya mainan sendiri yang dapat dimainkan.

Ryosuke lebih banyak menolak. Hampir semua mainan yang Daiki bawa akan ditolaknya, lalu Daiki harus membujuknya dengan kata-kata manis. Jika tidak mempan, Daiki akan mengejeknya, karena Ryosuke paling lemah ketika dihadapi ejekan. Tidak mau kalah. Daiki akan tersenyum lebar ketika Ryosuke akhirnya mengiyakan dan menjadi kompetitif. Pada sebagian besar waktu, Daiki membiarkan Ryosuke menang.

Kalau hari sudah dirasa larut dan mereka harus pulang, Daiki biasanya mengakhiri permainan dengan memberikan benda yang mereka mainkan. Ryosuke juga akhirnya mengerti. Jika Daiki sudah menyodorkan barang atau berjalan menjauh tanpa mengambil barangnya, artinya permainan mereka berakhir. Daiki akan melambaikan tangannya, Ryosuke tidak.

Pada esok hari, permainan mereka akan berlanjut. Mereka tidak pernah berjanji untuk bertemu esok hari. Semua terasa seperti rutinitas dan keharusan bahwa esok akan datang dan mereka akan bertemu lagi.

Tidak pernah.

Kecuali sore itu.

“Ryosuke,” Daiki memanggilnya, nadanya halus dan volume suaranya lebih pelan, “janji, ya.”

“Janji apa?”

“Janji besok bertemu lagi.”

Mereka tidak pernah berjanji. Tanpa janji, mereka tetap bertemu pada hari esok yang datang.

“Untuk apa? Selama ini juga selalu bertemu.”

“Janji saja dulu,” Daiki mendesaknya, “janji kamu akan menungguku seperti biasa.”

Dia tidak mengerti. Namun dia pikir tidak ada salahnya juga jika harus berjanji sesekali.

“Baiklah, aku janji.”

“Oke.”

Setelahnya, Daiki diam. Langit sudah mulai sore, warnanya keunguan dengan corak jingga dari matahari. Bulan sudah mau muncul di sisi lain.

“Sampai jumpa, Ryosuke.”

Dia tidak mengira Daiki akan mengucapkan hal itu. Ketika dia sadar, Daiki sudah berlari ke arah rumahnya, tanpa melambaikan tangan seperti biasanya. Walau begitu, dengan rasa janggal, Ryosuke tetap menatap sosoknya sampai menghilang.


Ryosuke duduk di tempat yang sama.

Beberapa anak yang biasa bermain di sana juga datang. Tidak hanya ada ayunan, kini taman itu juga dilengkapi oleh permainan lainnya seperti jungkat-jungkit, perosotan, dan lainnya. Taman itu juga lebih rapi, tidak ada lagi tanaman liar atau batu kerikil yang dapat membuat luka jika terjatuh.

Banyak yang berubah di sana. Sekitar taman bermain itu bukan lagi lahan kosong yang belum dimiliki orang. Kini, terdapat bangunan-bangunan asing yang rasanya janggal berdiri di dekat taman anak-anak seperti ini.

Banyak yang berubah. Namun Ryosuke tetap sama.

Dia tetap menunggu di tempat yang sama. Pada waktu yang sama juga.

Daiki pun sama, tidak pernah lagi kembali setelah Ryosuke harus berjanji menunggunya.

Hari ini, Ryosuke masih menunggu esok.

[#yamada, #hikaru, #daiki. sibling au dengan perbedaan umur yang sama. ficlet.]

Termasuk dalam anak yang berada di tengah membuat Yamada suka memberikan peraturan di rumah mereka. Yang lebih muda tentu akan mengiyakan perkataannya saja. Yang lebih tua pun akhirnya tidak menolak karena dia lebih galak, bahkan jika dibandingkan oleh Takaki yang baru dibangunkan.

Ketika beberapa orang yang lebih tua (sebut saja Takaki, Yabu, dan Hikaru) mulai iseng mencoba rokok, Yamada tentu mengambil langkah untuk menghentikan mereka. Dia suka lingkungan yang bersih dan sehat sehingga dia tidak menerima adanya asap rokok di rumah.

Tentu tidak mudah, baik bagi Yamada maupun ketiga lelaki yang lebih tua maupun kakak-adik yang lain, yang terpaksa harus ikut mendengarkan omelan Yamada di tiap kesempatan.

Kali ini, sayangnya, Daiki yang kena sial. Dia tidak ikut-ikutan merokok ketika ditawarkan oleh Takaki, bahkan ketika diejek oleh Hikaru karena dia tidak berani mencoba dan takut pada Yamada. Bukan itu, sih, alasannya. Dia merasa sudah punya kopi, sudah cukup hidupnya dengan latte setiap pagi, tak perlu puntungan rokok di antara jari dan asapnya di dalam paru-paru.

Namun malam itu, Hikaru memintanya untuk menemani pergi beli rokok. Tidak jauh tempatnya, tapi Hikaru beralasan ingin memiliki quality time bersama Daiki. Tentuk bukan karena gang di depan rumah mereka sedang ditempati banyak kucing jalanan.

Hikaru tidak punya saku, tidak di celana atau kausnya. Daiki punya, sebenarnya, tapi tidak mau bajunya bau rokok. Namun Hikaru sudah menyodorkan rokok dan koreknya, membuatnya mau tak mau harus memegang dua benda itu sampai pulang ke rumah. Melirik bungkus rokok yang dibeli, dia menahan tawa. Gambar paru-paru yang rusak pada bungkus itu ternyata tidak cukup untuk menghentikan yang lebih tua untuk berhenti merokok.

Sayangnya, karena gambar itu juga, Daiki tidak menyadari langkah mereka sudah mendekati rumah. Daiki tidak melihat Yamada yang keluar dari pintu, tatapan lekat pada mereka berdua, terlebih pada benda yang ada di dalam genggaman dia.

“Rokok?” Daiki sontak menoleh, terkejut dengan suara Yamada. “Kalian pergi, berdua, malam-malam seperti ini hanya untuk rokok?”

“Ah, itu,” Hikaru mematikan puntung rokok di tangannya. Daiki merasa beruntung lelaki itu tidak refleks membuangnya ke tanah. Tentu Yamada akan lebih sebal lagi. “Itu, Yamada—”

“Cepat habiskan.”

“Hah?”

Daiki menatap Yamada tidak mengerti, lalu melirik Hikaru yang sama tidak paham dengan perkataan adik mereka.

“Habiskan. Semuanya, semua yang ada di dalam bungkus itu,” ulang si adik, jarinya menunjuk pada bungkus yang Daiki pegang.

“Tapi, Yamada, ini kan baru dibeli,” Daiki membuka suara, “aku juga tidak pernah merokok. Hanya menemani dia.”

Adiknya menatap lama Daiki, membuatnya sedikit menelan ludah. Apa dia harus jadi perokok sekarang? Namun Yamada tentu tidak mau membuatnya jadi perokok, kan?

Menghela napas, tatapan Yamada beralih pada yang lebih tua di antara mereka. “Ya sudah. Hika, habiskan.”

Biasanya, biasanya, ketika dalam mode biasa saja, Yamada akan memanggil mereka dengan “kak”. Jadi terlihat sopan sedikit, walau Yamada akan cepat memanggil mereka dengan nama saja ketika dalam situasi bercanda atau marah. Seperti saat ini.

Tidak melihat adanya ruang untuk argumen, Hikaru mengambil bungkus dan rokok dari tangan Daiki. Satu per satu dia isap, semakin lama semakin cepat karena tatapan Yamada semakin tidak ramah. Malam ini juga semakin dingin, ingin cepat masuk ke dalam rumah.

Ketika puntung terakhir Hikaru habiskan, Daiki menghela napas lega. Akhirnya, mereka bisa kembali masuk. Dia ingin cepat tidur saja dan melupakan kesialannya ini. Kakinya mulai mati rasa.

“Sekarang lari. Tiga putaran dari sini ke toko kalian membeli rokok.”

Daiki dan Hikaru kembali menatap Yamada dengan heran. Lari? Adik mereka ini menyuruh mereka untuk lari?

“Tidak hanya Hikaru, Daiki juga.” Yamada tersenyum manis. “Kakimu pasti mati rasa, kan?”

Senyum adik mereka memang manis. Manis seperti iblis.

[#hikaru & #daiki. ficlet.]

“Jadi, kenapa aku?” tanya Daiki sambil memasang sabuk pengaman. Matanya melirik ke sekeliling; jalanan tentu sepi di saat dini hari seperti ini, hanya beberapa mobil yang tahu destinasi jelas sesekali lewat, tidak seperti mereka saat ini.

“Karena kau yang mengangkat panggilanku,” jawab Hikaru dengan nada ringan, kedua tangan berada di setir sementara dia mengecek lampu dan memastikan kuncinya tidak salah masuk.

Beberapa menit lalu, Daiki dibangunkan oleh suara ponselnya yang terus-menerus berdering. Aneh, memang, karena dia biasanya tidak akan terbangun dengan suara alarm-nya yang dapat membangunkan tetangga apartemennya. Mungkin memang takdir dia harus berada di sini, di kursi penumpang, menemani Hikaru belajar menyetir.

Sudah lama Hikaru membahas masalah ini, sebenarnya. Dia selalu mengatakan keinginannya belajar mengemudi di setiap kesempatan yang ada. Daiki tentu sudah sering mendengar juga, sesekali menimpalinya untuk langsung saja belajar daripada terus-terusan merengek kepada mereka.

Tampaknya, Daiki juga yang menjadi penumpang pertama Hikaru di antara teman mereka yang lain.

“Ya sudah, ayo, jalan,” Daiki menyandarkan tubuhnya ke sandaran, “setidaknya kau pasti sudah pernah mencoba, kan? Sebelum ini, maksudku.”

Tidak ada jawaban dari Hikaru. Daiki menoleh, memperhatikan temannya yang masih sibuk menatap ke sekelilingnya, seakan tidak yakin dan merasa ada yang kurang.

“Hikaru,” panggil Daiki, “kau sudah pernah belajar, kan? Ini bukan yang pertama kali, kan?”

Alih-alih dengan kata, Hikaru memberinya jawaban dengan aksi; gas diinjak dan mobil bergerak maju dengan kecepatan sedang.

Tentu Daiki semakin tidak tenang. Mobil melaju terlalu cepat baginya untuk seorang pemula bagi Hikaru. Jika temannya menginjak gas terlalu dalam seperti ini, dia tidak bisa membayangkan ketika temannya mendadak menginjak rem.

“Tenang, tenang,” Daiki berkata, “semua akan baik-baik saja.”

Mendengarnya, Hikaru melirik dari ujung matanya, “Ah, menurutmu begitu? Kita akan baik-baik saja, kan?”

“Aku bukan bicara denganmu!” Daiki berpegangan pada sabuk pengamannya. “Aku sedang meyakinkan diriku sendiri!”

Untungnya, jalanan yang mereka pilih tidak memiliki belokan. Belum saja. Daiki pernah mendengar jalan ini dipakai sesekali oleh orang yang baru mengemudi karena tidak banyak rintangan dan luas, tapi dia tidak yakin Hikaru seharusnya langsung memakai jalan raya seperti ini. Sepi, memang, tapi tetap saja dia merasa tidak aman.

“Tarik sedikit kakimu,” Daiki kembali membuka mulutnya, mencoba membantu temannya dan membantu dirinya untuk bisa hidup lebih lama, “jangan menginjak terlalu dalam, pelan-pelan saja dulu.”

Hikaru mengangguk, mengikuti perkataan Daiki. Laju mobil sedikit melamban, membuat Daiki sedikit bersyukur dan menghela napas lega.

Sayangnya, terlalu cepat untuk Daiki merasa aman. Dia melihat ada tanda jalan sedikit melengkung, berbelok sedikit ke arah kanan. Menelan ludah, dia melirik Hikaru yang tampak tak menyadari tanda jalan sebelumnya.

“Hikaru, kau bisa belok, kan?”

“Belok?” Hikaru meliriknya. “Tidak tahu. Kan belum pernah.”

Tentu saja. Daiki seharusnya sudah tahu jawabannya.

“Pelan-pelan saja putar kemudinya ketika kau lihat jalanan akan berbelok. Jangan langsung dibanting.”

“Oke.”

Perlahan, jalan yang sedikit berbelok terlihat. Daiki melirik temannya yang tampak tenang saja, kedua tangannya memutar pelan kemudi, membuat mobil mereka mulus melewati jalan dan kembali ke jalan lurus.

“Daichan, aku bisa,” ujar Hikaru, nadanya sedikit bergetar.

Sebenarnya ini hal biasa saja, terlebih untuk Daiki yang sudah lama bisa mengemudi. Namun karena temannya ini baru saja melakukannya dengan baik, untuk pertama kali pula, dia ikut tersenyum lebar.

Terlalu senang sebelum perjalanan berakhir bukanlah hal yang baik. Karena terlalu senang, Hikaru tanpa sadar menginjak gas terlalu dalam, menambah laju mobil lebih cepat dari awal mereka berjalan.

“Daichan, terlalu cepat!” Hikaru panik. “Rem, Daichan, rem!”

“Kan kamu yang mengemudi!” Mau tak mau, Daichan pun ikut berteriak dengan panik. “Kamu yang harus ngerem!”

Kembali ke mode panik, kedua tangan Daiki kembali menggenggam sabuk pengaman. Pulang nanti, mau temannya protes atau tidak, dia yang akan membawa mobil sampai kembali ke rumah.

[#yamada, #chinen, #daiki. #pubgau. bahasa indonesia.]

“Chinen,” Daiki berbisik, melangkah pelan untuk memberi jarak dari satu temannya yang terus berjalan tanpa menoleh. “Sepertinya kalau bisa membunuh rekan, aku sudah mati, ya.”

Yang diajak bicara memandang Daiki, kemudian melirik pada yang berjalan di depan. Kedua bahunya terangkat. “Bisa jadi.”

.

Sejak awal mereka memasuki lobi permainan, Yamada sudah menatap Daiki tajam. Mungkin pakaiannya, sebab Daiki terlihat terlalu mencolok dengan set baju berwarnya jingga. Salah dia juga, lupa mengganti pakaiannya sebelum menyatakan siap.

“Kita akan turun di mana?” tanya Chinen, memecahkan keheningan yang hampir mencekik Daiki. Pandangan sinis Yamada beralih menjadi netral ketika dia melirik Chinen.

“Aku selalu turun di Pochinki,” Yamada mendengus, “namun rasanya agak mustahil sebab kuyakin Daiki akan tewas duluan.”

Protes hampir keluar dari mulut yang diejek, tapi ucapan Yamada tidak sepenuhnya salah. Dia selalu menghindari tempat tersebut. Terlalu banyak pemain yang turun di sana, belum lagi jika dia kalah cepat saat merebut senjata.

Setelah beberapa pertimbangan, serta beberapa gerutu dari Yamada, akhirnya mereka memutuskan untuk turun dekat daerah Quarry. Memberi aba-aba pada kedua temannya, Yamada memandu timnya untuk terjun, tak lama setelah permainan dimulai. Daiki dapat melihat beberapa pemain lain ikut turun, namun memilih tempat landas yang berbeda dengannya.

Mendarat dengan selamat, mereka bertiga langsung berpencar ke rumah terdekat. Daiki berharap cepat menemukan senjata, sebab dia tahu jika mati duluan, Yamada akan mengomel tanpa habis. Melirik dari jendela, dia melihat dua rekannya berada di rumah seberang. Chinen sudah mengenakan pakaian baru, di punggungnya sudah ada tas, serta senapan di tangan.

Suara tembakan terdengar, beberapa ada yang jauh, sisanya cukup dekat. Daiki mengambil amunisi yang dia temukan, beruntung mendapat AK47 yang biasa dia gunakan. Apapun akan dia pakai untuk saat ini.

Menelusuri tempat lain, mereka mendapat barang-barang yang mereka butuhkan; granat, supresor, flash hider, dan lainnya. Sejauh ini, belum ada musuh yang terlihat. Tidak banyak yang turun di daerah ini walau banyak barang bagus yang dapat ditemukan. Pilihan yang cukup baik, menurut Yamada, bagi mereka bertiga yang punya Daiki sebagai teman tim.

“Yamada,” tiba-tiba Daiki menyebut namanya dalam bisikan, “ada musuh.”

Mengintip dari scopenya, dia membidik ke titik yang Daiki tandai. Benar, ada dua musuh di rumah yang terletak di seberang mereka. Keduanya sibuk mengumpulkan barang, tidak terlihat menyadari keberadaan mereka yang sudah merunduk sembunyi di bagian bawah jendela.

“Kau tembak satu, aku tembak yang lainnya?” Daiki setengah bertanya. Inginnya menyuruh, tapi tidak yakin Yamada mau menurutinya.

Yamada tampak berpikir sebentar. Tidak ada yang salah juga menyuruh Daiki membunuh satu sementara dia menembak yang satu lagi, walau dia lebih yakin kalau Chinen yang menembak.

“Baiklah.” Yamada menggerakkan senjatanya sedikit, mencoba membuat dirinya lebih nyaman.

Dia dapat merasakan Daiki tersenyum lebar sebelum ikut mengintip dari scopenya sendiri, membidik musuh dari jendela di sisi yang lain. Menarik napas, Yamada mengikuti gerak musuhnya, menunggu waktu yang tepat untuk melepaskan peluru.

Sayangnya, Yamada tidak sempat melumpuhkan musuhnya karena dikejutkan suara yang terlalu keras. Pada detik dia mendengar tembakan di dekatnya, dia menyesali keputusannya untuk mengiyakan rencana Daiki.

“Kau tidak pasang supresor?!” Dia tidak peduli suaranya terlalu keras sampai mengalahkan suara tembakan dari senjata Daiki. Gemas. Sebal. Yang dia tahu, dia ingin memukul kepala rekannya itu.

“Sepertinya belum,” Daiki menjawab dengan pelan, terlihat menyesal, “masih ada di tasku.”

Yamada ingin memberinya omelan panjang, tapi semuanya terpotong karena peluru berdatangan ke arah mereka. Posisi mereka sudah jelas terlihat oleh lawan, terlebih kini mereka tidak lagi bersembunyi di balik tembok.

Tanpa banyak bicara lagi, Yamada kembali pada senjatanya sendiri, mencari kembali posisi lawan, membalasnya dengan memberikan beberapa tembakan sampai lawan tersebut sekarat dan tidak bisa dipulihkan kembali.

Chinen menoleh ke arah Daiki ketika mereka keluar dari tempat tersebut, berlari menuju ke tempat lain setelah menghabisi lawan mereka sebelumnya. Daiki membalas tatapannya, lalu melirik Yamada yang memandu jalan mereka.

“Sepertinya kalau bisa membunuh rekan, aku sudah mati, ya.”

Kedua bahu Chinen terangkat, ikut melirik ke arah Yamada di depan mereka. “Bisa jadi. Tenang saja, nanti aku yang memulihkanmu.”

[#daiki, #yamada, & #yuto. rpg au.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Yuto menghela napas panjang.

Dia tidak pernah keberatan jika harus berpasangan dengan Daiki dan Yamada. Justru sedikit merasa beruntung sebab mereka bisa bertahan lebih lama dengan adanya Daiki sebagai healer.

Yang menjadi masalah utama tentu hubungan keduanya. Ada kalanya mereka akur, saling bahu-membahu mengalahkan musuh demi mencoret satu misi dari daftar tugas harian. Kalau sedang akur, kerja sama mereka sebenarnya bagus. Hampir menyaingi kombinasi Yabu-Hikaru kalau saja tidak diakhiri dengan Yamada memukul Daiki dengan ujung tumpul pedangnya.

Kali ini, Yuto sedang sedikit sial. Keduanya tidak berhenti mengejek satu sama lain. Terlebih Yamada, yang terlihat selalu sempat meneriakkan sesuatu walau sibuk lari ke sana kemari untuk menghindari serangan monster hutan itu.

Awalnya, Yuto sempat turut andil membantu Yamada. Memberikan beberapa serangan andalannya, berhasil mengalahkan satu monster dari tiga yang ada di sana.

Namun lama-kelamaan, Yamada semakin berapi-api sendiri. Begitu juga dengan Daiki. Seharusnya dia berperan sebagai pendukung namun justru berusaha memberikan damage juga untuk monster itu—tidak seberapa berpengaruh, menambah semangat Yamada untuk mengoloknya.

Menjaga jarak sedikit, Yuto memilih duduk di batu besar terdekat. Memandang kedua orang itu memberikan serangan pada monster tersebut dengan gerakan, mengucap ejekan pada satu sama lain.

Yuto berharap tim yang lain segera datang agar dia tidak sendirian di sini.

[#daiki, #chinen, & #yamada. setting sekolahan. daiki anak teladan :D] [ficlet, bahasa indonesia.]

Sebagai siswa teladan, tentu Daiki selalu mematuhi peraturan.

Seragamnya rapi. Dasi selalu dipakai. Celana panjangnya tidak ketat, begitu juga dengan kemejanya. Sepatu hitam bertali—dengan sedih harus menyimpan sepatu warna-warninya sebab sekolahnya negeri.

Isi tasnya juga tidak ada yang aneh-aneh. Buku pelajaran dibawa lengkap. Pulpen tidak terlalu lengkap, sih, soalnya mudah hilang kalau di sekolah. Jadi dia juga tidak mau bawa banyak, takut diambil.

Sebagai seorang teman, dia juga tidak sombong. Berteman tidak pilih-pilih. Suka menolong kalau ada yang kesusahan.

Misalnya seperti sekarang, ketika Yamada tidak membawa buku.

Sebenarnya, Chinen yang duduk sebangku dengan Yamada. Sewajarnya, dia yang berbagi buku. Namun Pak Hikaru agak galak. Disiplin orangnya, tidak suka kalau ada siswa yang telat mengumpulkan tugas atau membawa buku. Chinen, sebagai anak teladan lainnya, tidak mau kena masalah.

Menghela napas, dia akhirnya bertukar tempat duduk. Inoo yang duduk dengannya kini duduk dengan Chinen. Dia dengan Yamada.

Sayangnya, hari itu Pak Hikaru sedang sensi. (Memang setiap hari, sih, kalau menurut Daiki. Cuma hari ini agak lebih ekstra saja.) Ketika menyadari Daiki dan Yamada berbagi buku, omelan pun langsung keluar dari mulut pengajar itu.

“Bukannya sudah saya bilang harus bawa buku sendiri?” Semua pandangan tertuju pada keduanya. “Kalau tidak bawa buku, tidak usah hadir di kelas saya.”

Hening mengisi kelas itu. Daiki sedikit merasa kasihan pada temannya itu. Namun, Yamada justru menatapnya tajam. Tidak ada tanda-tanda dia akan berdiri dan keluar dari kelas sesuai perkataan guru mereka.

Menautkan alisnya, Daiki bertanya-tanya. Mengapa semuanya jadi menatap dia?

Terlalu lama diam, akhirnya Pak Hikaru berbicara lagi, “Ayo, cepat. Keluar kelas. Kamu memotong waktu belajar.”

Sama dengan teman-temannya, Pak Hikaru juga menatap dia. Satu buku dipegang oleh satu tangan. Satunya lagi sudah siap menulis di papan dengan spidol.

“T-tapi bukan saya, Pak.”

“Berarti Yamada?”

Daiki menatap temannya itu. Dalam hati ingin memarahinya, sebab dia harusnya tanggung jawab akan perilakunya sendiri.

Yang tidak diperkirakan Daiki adalah ujaran Chinen, “Bukan, Pak. Daiki, kok, yang tidak bawa buku.”

Rasanya Daiki ingin berteriak kencang. Kok jadi dia?

Namun tatapan teman sekelasnya sudah semakin menajam. Tidak tahan berlama-lama dalam situasi yang tidak enak ini. Begitu juga Pak Hikaru, wajahnya semakin lama semakin geram.

Menyerah, Daiki berdiri dari bangkunya—yang sebenarnya tempat duduk Chinen juga. Kakinya bergegas berjalan keluar, menghela napas ketika mendudukkan diri di lantai luar kelas.

Jadi salah dia, ya.