belanja
[#hikaru dan #daiki (+ #takaki), sibling au dengan umur hika (17) dan daiki (15), bahasa indonesia.]
Minggu itu, Hikaru dan Daiki yang mendapat tugas belanja.
Yuya sempat menatap ragu keduanya ketika mereka meminta kunci motor. Hikaru, baru saja berulang tahun beberapa bulan lalu, sudah mendapat kartu untuk mengemudi. Umur kartu itu belum lama. Hikaru baru saja lolos tes dan mendapatkannya minggu lalu.
Oleh karena itu, Yuya sedikit mempertimbangkan kondisi.
Yuya sendiri yang mengajari Hikaru mengendarai motor. Dia yang selalu ada ketika Hikaru panik untuk menyalip atau masuk ke jalur jalan raya. Dia yang ada ketika tangan Hikaru goyang, membuat motor mereka oleng, dan hampir menyentuh aspal. Dia juga yang ada ketika Hikaru mengambil tes mengemudi.
Dengan beberapa rayuan dan bujukan Daiki, serta Hikaru yang meyakinkan Yuya, akhirnya kunci itu diberikan. Tentu dengan peringatan yang diulang-ulang oleh si anak kedua, dijawab dengan anggukkan kedua adiknya.
Kei sempat melirik mereka curiga, sedikit meledek agar mereka tidak jatuh. Sayang soalnya, motor mereka baru saja dicuci olehnya.
Perjalanan dari rumah ke toko terdekat mereka lalui dengan mulus. Tidak ada hambatan, tangan Hikaru yang bergetar, atau kecemasan yang diutarakan si pengemudi. Daiki merasa lega. Dia sudah siap untuk menjadi mental support Hikaru hari ini, tapi akan lebih baik lagi jika kakaknya memang tidak membutuhkannya.
Daftar belanjaan yang diberi Kota sehari lalu berisi aneka barang. Mulai dari barang yang memang habis dan butuh dibeli, sampai barang-barang tidak jelas yang berasal dari permintaan tiga bungsu. Daiki dan Hikaru saling menatap. Sepakat untuk tidak sengaja melupakan barang-barang tidak penting itu. Kalau adik-adik mereka protes, mereka bisa pergi membeli semuanya sendiri.
“Kok jadi sebanyak ini, ya,” ucap Daiki, menjinjing tas belanjaan di tangan kanan dan kiri. Bawaan Hikaru tidak seberapa, takut oleng jika jinjingan pada stang motor terlalu berat.
“Soalnya memang banyak yang habis, kan,” Hikaru meliriknya, tidak menawarkan bantuannya untuk membawa sampai parkiran.
Sampai pada motor mereka, Hikaru mencantelkan jinjingannya pada kaitan stang motor. Namun, beberapa saat kemudian, dia meraih ke dalam jinjingan itu, mengeluarkan plastik khusus berisi telur.
“Kayaknya jangan di situ,” Hikaru menoleh pada Daiki, “takut kesenggol-senggol, nanti pecah.”
“Tasku udah penuh, gak bisa masuk,” protes Daiki, “yang ada jatuh di jalan nanti.”
Namun, belum sampai Daiki selesai berbicara, Hikaru tampak punya rencana lain. Dia membuka jok motor, lalu menaruh plastik telur itu di dalam bagasi. Untungnya, tempat itu pas, tidak ada telur yang harus tergencet ketika jok kembali ditutup.
“Ah, tapi mesinnya nanti panas, ya. Telurnya bakal jadi ayam, gak, ya?”
“Mana ada!” Daiki sebal, lebih kesal karena omongan kakaknya didengar beberapa orang yang lewat dan membuat mereka tertawa. Sebenarnya, dia juga ingin tertawa, tapi wajah Hikaru yang polos membuatnya refleks memarahi si kakak. “Udah, ayo, pulang.”
Selama perjalanan pulang, Daiki berdoa agar tidak ada apa-apa. Hikaru mengendarai dengan kecepatan sedang, atas perintah Daiki karena dia tetap harus menjinjing tas belanjaan di atas motor. Agak frustasi juga, kalau boleh jujur, karena tangannya terasa panas dan berkeringat, takut-takut jadi licin dan tasnya lepas dari pegangan.
“Hikaru,” Daiki memanggil, sedikit berteriak karena jalanan ramai.
Sayangnya, suara Daiki terlalu keras dan tiba-tiba, membuat kakaknya terkejut. Tangan Hikaru refleks memutar gas, membuat tubuh mereka sedikit tertarik ke belakang.
“Hikaru!” Daiki kembali berseru, sama sekali tidak membantu kakaknya yang sudah panik dan tidak tergerak untuk mengurangi kecepatan.
Beberapa kendaraan lain yang tadinya jauh, kini semakin dekat, bahkan Hikaru dapat menyusul dan mendahului mereka. Sesekali, terdapat beberapa klakson sebab Hikaru menyalip mereka yang memberi sein, tidak memperhatikan orang-orang yang memberi tanda berbelok.
“P-pelan-pelan,” mau tak mau, Daiki harus memandu kakaknya, tidak bisa juga minta Hikaru untuk mengerem mendadak dan membuat mereka jatuh, “pelan-pelan lepas gasnya.”
Daiki tidak yakin seberapa jelas Hikaru mendengarnya, namun perlahan dia merasakan kecepatan mereka berkurang. Jantungnya mulai sedikit tenang, walau masih berdegup kacau takut-takut Hikaru terkejut lagi.
Untungnya, sisa perjalanan pulang berlalu baik-baik saja. Hikaru tidak lagi terkejut, Daiki bungkam agar tidak mengagetkannya.
Ketika kakinya menyentuh halaman rumah, Daiki menghela napas panjang. Senyum lebar muncul. Dia masih hidup!
Mematikan mesin motor, Hikaru menoleh pada adiknya. Cengiran ada pada wajahnya dengan sedikit teror masih mewarnai ekspresi. Daiki tidak punya hati untuk mengomeli kakaknya. Dia juga sama-sama salah.
Mengambil belanjaan, serta tidak melupakan telur di bagasi, mereka berjalan menuju rumah.
“Gak jadi ayam, ya, ternyata,” ujar Hikaru, memecahkan keheningan di antara mereka.
Daiki hanya bisa tertawa lepas.