hiirei

yamada

[#yamada, #yabu, dan #yuto. non-idol au. bahasa indonesia.]

Setelah tertidur sekian hari, Yamada terbangun sebagai seorang pembunuh.

Atau setidaknya, demikian yang dia tangkap dari penjelasan Yuto. Temannya sejak masa mengeja kata itu bahkan tidak dapat menatapnya. Pandangannya tertuju pada lembaran kertas yang dia bawa, berkas-berkas yang menyatakan Yamada bersalah atas tindak pembunuhan.

Selain Yuto yang berperan sebagai pengacaranya, dia juga bertemu seorang utusan dari pihak kepolisian. Yabu namanya, kebetulan dia yang menerima telepon laporan.

Laporan yang diberikan oleh Yamada sendiri.

Menurut perkataan Yabu, dia mendapat telepon dari Yamada yang berada di tempat kejadian. Yamada melaporkan perbuatannya sendiri, dengan nada yang datar, kalimat yang singkat, dan tidak lama menutup panggilannya sebelum Yabu dapat bertanya lebih banyak.

Ketika Yabu berada di tempat kejadian, Yamada ada di sana. Tidak jauh dari korban, Yamada tidak sadarkan diri dengan ponsel dalam genggaman.

Setelah diselidiki, mereka menemukan bukti pendukung lainnya yang membuktikan bahwa Yamada memang membunuh Takaki Yuya, di kediaman lelaki itu, seminggu lalu. Yamada ditempatkan pada rumah sakit kepolisian hingga saat ini.

Yabu datang karena dia ingin mengetahui motif Yamada. Pihak kepolisian, termasuk Yabu, tidak menemukan hubungan antara Yamada dan Takaki. Mereka tidak mengenal, tidak punya kenalan yang mengenal, tidak hidup di area yang sama, tidak pernah bertemu di tempat sekolah atau kerja yang sama ... rasanya tidak ada hubungan.

Oleh karena itu, Yabu datang dengan harapan Yamada menjawabnya. Apakah Yamada hanya ingin membunuh orang malam itu? Apakah Takaki hanya korban yang Yamada pilih secara acak? Atau sebenarnya mereka memiliki hubungan rahasia?

Sayangnya, Yamada sendiri tidak tahu.

Dalam ingatannya, tidak ada peristiwa seperti yang Yabu dan Yuto jelaskan. Yang terakhir dia ingat, dia sedang berada di apartemennya, duduk di atas sofa sambil menonton tv.

Yamada sempat tertawa.

Setelah Yuto menjelaskan keadaannya, dengan nada yang tidak terdengar seperti Yuto, Yamada pikir temannya itu hanya berakting. Sebagai pengacara yang andal, Yuto pintar berpura-pura, agar lawan bicaranya yakin dengan kata-kata yang dia ucapkan.

Namun, Yamada tidak merasa hari ini ulang tahunnya. Tidak juga merasakan pertanda Yuto akan ikut tertawa dengannya. Tidak juga merasa tempat sekitarnya ini hanya bohongan.

Kedatangan Yabu membuat semua semakin nyata. Yamada tidak pernah melihat Yabu sebelumnya. Lelaki itu juga tidak terlihat seperti teman Yuto. Lagipula, Yuto akan selalu memperkenalkannya pada semua temannya. Setidaknya, seharusnya nama Yabu muncul satu-dua kali dalam percakapan mereka jika mereka memang saling kenal.

Tentu ucapan Yamada tidak dipercaya.

“Yuto.” Yamada mencoba membuat temannya itu memandang dia, tapi tatapan Yuto tidak berani mendekatinya. “Kau juga tidak percaya?”

Yuto tidak menjawab.

Lucunya, setelah dua orang itu pergi meninggalkan Yamada sendirian dengan pikirannya, ada seorang lelaki yang datang.

Yamada tidak merasa pernah mengenal lelaki itu sebelumnya. Lelaki itu juga tidak memperkenalkan dirinya.

“Ryosuke,” ucap lelaki tersebut, mendudukkan diri pada kursi di samping kiri ranjangnya, “kau tidak ingat aku?”

Sedikit enggan tapi merasa dia harus menjawab, Yamada menggelengkan kepalanya. Senyum lelaki itu tidak berubah, namun tatapannya sedikit meneduh ketika melihat respons Yamada.

“Baiklah, tidak apa-apa.” Lelaki itu melihat ke sekeliling ruangan. Matanya menatap satu per satu benda yang ada—tidak banyak, hanya kursi, ranjangnya, meja dengan vas bunga yang kosong, dan lemari kecil untuk pakaiannya. Pada pojok ruangan, terdapat pintu untuk masuk ke toilet. “Kita punya banyak waktu untuk mengenal kembali.”

“Kamu,” Yamada merasa senyum lelaki itu semakin janggal, “siapa? Mengapa aku tidak mengingatmu?”

Lelaki itu menghela napas, lalu berdiri—agaknya lucu bagi Yamada melihat lelaki yang lebih pendek darinya—dan berjalan menuju pintu keluar. Dia berhenti lama sambil memegang kenop pintu, membiarkan Yamada menunggunya dalam hening.

“Aku akan bawakan bunga nanti,” ucapnya, tidak menjawab pertanyaan Yamada. Dia menoleh, tetap dengan ekspresi yang sama ketika dia datang, lalu membuka pintu.

Dan dia pergi.

Tidak perlu banyak waktu berpikir untuk menghubungkan koneksi lelaki itu dengannya. Terlebih, ruangan rumah sakit yang tidak seberapa membuatnya bosan. Memaksa otaknya untuk memikirkan sesuatu demi menghiburnya.

Kalau Yamada tidak mengingatnya, juga tidak mengingat kejadian yang Yabu dan Yuto jelaskan, maka jawabannya hanya satu.

Lelaki itu ada hubungannya dengan pembunuhan yang dia lakukan.

[#yamada, #yuto, #chinen, #daiki, dan #hikaru; sibling au dengan umur chinen 4 dan tiap bocah beda 2 tahun; sick fic sebagai pelarian atas tidak adanya ide nulis; bahasa indonesia.]

Hal yang paling ditakuti oleh mereka adalah Kota yang sakit.

Namun, hari itu membuktikan ketakutan mereka tidak seberapa dibanding kenyataan yang mereka hadapi.

Tidak hanya Kota, Yuya dan Kei juga sakit. Mereka bertiga pulang basah kuyup dua malam lalu karena menerjang hujan badai yang tidak berhenti sampai keesokan harinya. Walau sudah diberi pencegah sakit seperti air hangat yang disodorkan setiap setengah jam, tubuh ketiganya tetap tidak kuat.

Untungnya, musim ujian sudah terlewati. Ketiganya dapat tenang memakai jatah absen untuk beristirahat penuh di rumah.

Sialnya, bagi tiga bocah cilik, artinya Hikaru yang mengambil alih. Kalau Hikaru yang memegang perintah, artinya ada saja omelan yang mereka dapatkan.

“Kalian diam saja di rumah, oke?” Hikaru menoleh, memastikan ketiga adik kecilnya itu mendengarnya. “Jangan keluar, jangan buka pintu kalau ada tamu, jangan melakukan hal-hal aneh.”

Yuto sebenarnya gatal ingin menyuruh Hikaru berhenti menggunakan kata “jangan”, tapi Ryosuke meliriknya tajam. Tanda dia harus diam dan mengangguk saja. Bagi Yuto, Ryosuke tidak jauh beda dengan Hikaru. Galak, tapi dengan cara yang berbeda.

Yuri sebenarnya sudah tidak mendengarkan sejak Hikaru membuka mulutnya. Kepalanya otomatis tergerak untuk mengangguk karena Hikaru menatapnya dengan sedikit melotot. Dalam hati, dia tahu Ryosuke akan mengingatkannya juga jika ada sesuatu yang Hikaru larang.

Ryosuke memberi senyum manis, tampak berbeda dari kedua adiknya. Hikaru sempat menatapnya awas, curiga dia punya rencana macam-macam, tapi Ryosuke membuatnya yakin tidak ada intensi aneh-aneh.

“Kalau ada apa-apa, tanya Daiki,” Hikaru berkata sebelum menutup pintu, “tadi dia ada di kamarnya.”

Betul Daiki ada di kamarnya. Hanya saja, kakak mereka satu itu tidak sadarkan diri. Tertidur pulas setelah lelah kerja rodi membereskan rumah dengan Hikaru pagi tadi. Tidak ada yang dapat membangunkan Daiki selain alam.

Dan karena itulah mereka beranjak ke dapur.

“Kenapa enggak kak Hikaru aja yang masak nanti?” tanya Yuto sambil memberikan Ryosuke panci yang diminta.

“Karena kita mau kasih kejutan.” Ryosuke menatap kedua adiknya. “Sesekali, kita harus jadi yang jagain kakak-kakak kita.”

Mendengar kata-kata Ryosuke, Yuto terpukau. Mudah saja memang membuat Yuto semangat mengerjakan sesuatu. Yuri, sih, tidak termotivasi. Tapi tidak salah juga mengerjakan sesuatu dengan kedua kakaknya.

“Yuri, coba ambil buku resep di ruang tv.”

Yuri mengangguk, kakinya langsung berjalan menuju tempat pencarian. Ryosuke beralih pada adik satunya lagi, kini dengan senyum sumringah setelah semangat.

“Kau, ambilkan barang-barang di tempat tinggi.”

“Ehhh?” Yuto kecewa. “Kenapa hanya ambilkan barang?”

Ryosuke menatap lama adiknya. Dia tidak mau terang-terangan mengatakan bahwa Yuto yang paling tinggi dari mereka bertiga, tapi memang itu alasannya dia mengiyakan tawaran Yuto untuk membantu.

“Karena kamu pecicilan, nanti dapurnya berantakan,” jawab Ryosuke final, mengalihkan pandangannya pada Yuri yang memberinya buku resep.

Sejenak, mereka bekerja dalam ketenangan. Yuto hanya bergerak ketika mendapat perintah dari Ryosuke. Yuri pun tidak banyak komentar. Ryosuke pada mode normal sudah cukup galak, kalau sedang memasak akan lebih menyalak.

Masakan yang dibuat sebenarnya sederhana. Krim sup jagung dengan irisan ayam yang tebal-tebal. Ryosuke belum pernah mencoba sebelumnya, tapi tahapan yang ditulis dalam buku resep tidak terlalu sulit.

Walau begitu, tatapan cemasnya tetap terpancar menunggu Yuri mencicipi sup tersebut.

“Gimana?” tanya Ryosuke, setengah tidak sabar karena Yuri tidak berkata apa-apa.

“Hmm,” Yuri melirik Yuto yang ingin mencicipi juga, “biasa saja, sih. Coba Yuto yang cicip.”

Tatapan cemas itu beralih pada Yuto. Memang, tidak banyak yang dapat diharapkan dari Yuri ketika mencicipi makanan. Semua terasa biasa saja kecuali masakan Kei yang dibuat dalam sekali setiap purnama biru.

“Ah!” Yuto tersenyum lebar, menularkannya pada wajah Ryosuke. “Enak kok.”

“Apanya yang enak?”

Ketiganya terkesiap, dengan cepat menoleh pada sumber suara. Berdiri di sekat dapur dan ruang makan, Daiki menatap mereka bertiga dengan cengiran lebar. Rambutnya berdiri hampir ke segala arah. Tanda Daiki baru saja bangun.

Tanpa menunggu jawaban dari ketiga adiknya, Daiki beralih pada panci yang masih di atas kompor. Uap panas segera keluar ketika Daiki membuka tutupnya.

“Memangnya Hikaru bolehin kalian masak?” tanya Daiki, tapi tangannya mengambil sendok yang tergeletak tak jauh darinya. Mengambil sedikit dari dalam panci, Daiki ikut mencicipi krim sup itu.

“Ih, curang,” Yuto mendorong pelan Daiki, “harusnya tadi Daiki ikut masak.”

“Kan aku tadi beresin rumah,” Daiki membela diri sambil mengambil mangkuk, siap menyendokkan krim sup itu ke dalamnya, “jadi adil, dong, kalian yang masak.”

Yuri ikut protes, ditambah Yuto yang semakin mengoceh tak mau kalah. Sambil tertawa menanggapi adik-adiknya, Daiki mengambil mangkuk lagi, membantu Ryosuke menyiapkan untuk ketiga kakak mereka yang sakit.

Hikaru pulang ketika semua mangkuk tersedia di atas meja, disusul dengan hujan deras yang kembali turun. Porsi krim sup sesuai dengan jumlah mereka sehingga tak ada yang bisa menambah.

Untuk sesaat, Hikaru sadar ketiga adiknya itu masak tanpa bilang-bilang, tapi Kota dengan lemas menyuruhnya duduk. Bukan berarti ketiga bungsu itu akan lolos dari omelan.

Namun setidaknya, mereka dapat mencicipi krim sup dulu, mumpung masih hangat di saat udara dingin hujan mengisi rumah.

[#yamada, #hikaru, dan #inoo. sibling au dengan umur yamada 6, hikaru 10, dan inoo 12. bahasa indonesia.]

Ryosuke dikenal sebagai orang yang tahu jalan.

Mungkin karena terlalu sering berpetualang sejak kecil, alasannya bermain ke taman tapi melalangbuana hingga hutan kota seberang. Mungkin karena dia selalu bisa menemukan arah pulang tanpa kecuali. Mungkin karena wajahnya juga meyakinkan kalau ditanya.

Tapi sebenarnya tidak.

Ryosuke tidak tahu jalan.

Yang tahu tentang hal ini hanya beberapa saja. Umumnya orang-orang yang sudah tersasar karena arahan dari Ryosuke. Tentu mereka tidak bisa memberikan umpan balik atau komentar mengenai reputasi Ryosuke sebagai penunjuk jalan sebab mereka tidak terlihat lagi di sekitar.

Yang tahu tentang hal ini di keluarga hanya Hikaru dan Kei.

Kei tentu tahu, karena dia tahu segala aib keluarga, baik karena memang diberitahu maupun karena tahu sendiri. Tanpa harus banyak memperhatikan, dia tahu Ryosuke tidak benar-benar paham ketika ditanya arah jalan. Sebagai mantan bocah yang suka berpetualang juga, Kei lebih punya memori kuat terkait jalan.

Begitu juga dengan Hikaru, teman kabur-kaburan Kei. Kalau Kei sudah berjalan tanpa suara, Hikaru akan tahu. Kedua pandangan mereka akan bertemu ketika Kei akan keluar rumah dan Hikaru menangkapnya basah dari tangga atas. Akhirnya, Hikaru selalu pergi mengikuti Kei dan hapal jalanan.

Jadi, tentu, Hikaru tahu ketika seseorang buta arah seperti Ryosuke.

“A-anu, permisi,” seseorang berkata cukup keras, membuat ketiganya menoleh, “saya ingin pergi ke tempat ini.”

Orang itu menyodorkan secarik kertas bertuliskan alamat. Hikaru yang mengambilnya, sebab dia tahu Kei tidak pernah inisiatif mengambil jika diulurkan sesuatu. Tangan Ryosuke tidak akan sampai untuk mengambilnya.

“Aku tahu,” Ryosuke berkata, wajahnya serius dan terlihat tampak bisa dipercaya, “tinggal lewat belokan itu, lurus terus, nanti ada di sana.”

Hikaru dan Kei menatap Ryosuke heran. Lihat alamatnya saja tidak, kok bisa-bisanya memberi petunjuk arah?

Entah bagaimana, orang itu percaya saja. Tatapannya teralihkan pada arah yang ditunjuk Ryosuke sebelumnya, mengangguk-angguk mengerti.

“Bukan, bukan,” Hikaru memotong, membuat perhatian orang itu kembali pada mereka, “harusnya ke arah sana, lurus sampai ada pertigaan dan belok kanan. Tidak lama, nanti akan ada gedung dengan tulisan ini.”

Orang itu tampak bingung. Arah yang ditunjuk Hikaru bertolak dengan yang diberikan Ryosuke. Tatapan orang itu beralih pada Hikaru yang terlihat tidak meyakinkan, lalu pada Ryosuke yang ekspresinya tidak berubah.

Hanya tersenyum sambil mengucap terima kasih, orang itu mengambil kertas yang dia berikan pada Hikaru, lalu berjalan cepat ke arah yang ditunjuk Ryosuke. Hikaru ingin memanggilnya, tapi kecepatan jalan orang itu membuatnya jelas tidak ingin berurusan dengan mereka lagi.

Melirik Kei yang diam saja, Hikaru memelototi Ryosuke yang juga tidak bereaksi apa-apa.

“Memangnya kamu tahu ke sana itu ke arah mana?” Hikaru menunjuk ke arah yang diberikan Ryosuke.

Adiknya itu mendongak sedikit untuk menatapnya. “Tidak, sih, tapi menurut perasaanku arah yang benar ke sana.”

Tanpa menunggu omelan Hikaru, Ryosuke cepat-cepat berlari ke arah sebaliknya, ke arah rumah. Arah yang satu-satunya diketahui Ryosuke dengan benar selain taman bermain.

“Kau juga,” Hikaru beralih pada kakaknya, “kok diam saja?”

Kei menatap Hikaru, lalu pada adik mereka yang sudah jauh berlari dari mereka.

“Sesekali.”

Tanpa penjelasan lebih, Kei mulai melangkahkan kakinya kembali, menyusul Ryosuke dengan langkah yang tak seberapa. Hikaru menghela napas panjang. Tidak ada yang benar.

[Lebih kesalnya lagi, ketika mereka pulang dan Hikaru menceritakan kejadian itu pada yang lain, semuanya percaya pada Ryosuke. Tidak ada yang tahu kebenarannya kecuali Hikaru dan Kei, tapi Kei juga tidak punya usaha untuk meluruskan asumsi yang salah ini.

Jadi, Ryosuke tetap dianggap sebagai penunjuk jalan andal dalam keluarga.]

[#yamada, #yuto, #chinen, dan #daiki alias empat kicik dengan umur daiki (9), yamada (7), yuto (5), chinen (3); sibling au yang udah dinamain tapi malu ditulis; bahasa indonesia.]

Hujan turun, deras.

Yuto merentangkan tangannya, membiarkan air hujan membasahi jemarinya, tertawa geli sendiri ketika merasakan air yang dingin. Berbeda dengannya yang tersenyum lebar melihat hujan, Ryosuke di sampingnya terlihat cemberut. Dalam hati menahan kesal karena prediksinya salah.

Ryosuke yang meyakinkan kedua saudaranya untuk pergi ke taman bermain. Dia pikir karena sebelumnya matahari bersinar terang dan langit cerah, mereka tidak akan membutuhkan payung atau jas hujan. Jadi, mengabaikan teriakan Hikaru untuk membawa kedua benda itu, Ryosuke mengajak Yuto dan Yuri berlomba untuk lari ke taman.

Itu dua jam lalu.

Sekarang, ketika mereka baru saja mau pulang, tiba-tiba hujan turun. Mereka akhirnya berteduh di salah satu terowongan perosotan yang ada, sementara anak-anak lainnya berlarian menuju rumah masing-masing.

“Gak mau lari juga?” Yuto menoleh ke Ryosuke, masih membiarkan tangannya basah didera hujan. “Kan rumah kita gak terlalu jauh.”

“Jangan.” Ryosuke menarik tangan Yuto yang hampir membasahi lengan kausnya. “Nanti sakit. Kalau sakit, gak ada yang bisa jagain kita. Yang lain kan lagi ujian.”

“Oh, pantes,” tangan Yuto kembali meraih air-air hujan, “kemarin kak Yuya marah pas aku ambil bukunya.”

“Kamunya aja nyebelin,” timpal Yuri, kakinya menendang-nendang angin, tidak sampai menyentuh atap perosotan. Sebenarnya dia ingin protes karena terowongan perosotan itu sempit, belum lagi Yuto tidak bisa diam bermain air hujan, ditambah Ryosuke yang sibuk menarik tangan Yuto. Yuri yang berada di tengah jadi saksi hidup perdebatan kecil kedua kakaknya.

Lelah, atau mungkin takut juga akan dijotos Ryosuke di tempat sempit, Yuto akhirnya menyerah. Tangannya yang basah dia lipat di atas pahanya, celana pendeknya menyerap bulir-bulir air yang menetes, sebagian membasahi bagian kecil celana Yuri.

Dingin juga, lama-lama.

“Tadi di rumah ada siapa aja, sih?” Yuto mulai membuka suara lagi, agaknya tidak suka dengan hening yang diisi suara hujan saja.

“Hikaru,” Ryosuke tampak berpikir, “mungkin Daiki juga? Kak Kei sama kak Kota pergi, kak Yuya tidak keluar kamar dari pagi.”

Hening kembali hadir. Kalau-kalau Kota ada di rumah, mungkin kakak mereka itu sudah panik mencari, membawakan payung sambil berceramah sepanjang jalan pulang. Atau kakaknya akan menyuruh saudara yang lain untuk datang menjemput. Namun kalau Kota saja tidak ada, sisa Daiki dan Hikaru di rumah serta Yuya yang memendam diri di kamar, rasanya tidak ada harapan.

Suara hujan mendera tanah jadi sedikit membuat mereka mengantuk. Angin semilir menambah berat kedua mata. Yuri sudah tidak tahan, kedua matanya tertutup sementara kepalanya condong ke arah Yuto.

Melirik adiknya yang tertidur, Ryosuke mau tak mau merasa ingin tidur juga. Dia tahu harusnya dia yang terjaga dan membangunkan mereka nanti ketika hujan reda, tapi bunyi hujan masih kencang, deras, mungkin akan bertahan beberapa menit lagi.

Yuto sebetulnya ingin mengingatkan mereka akan cerita-cerita seram terkait penculikan atau hantu yang datang di saat hujan. Namun berat di pundaknya membuat dia urung, belum lagi lirikan Ryosuke yang tajam, seakan mengancamnya jika berbuat macam-macam dan membangunkan Yuri.

Menghela napas sepelan mungkin, dia mencoba untuk tertidur juga. Mungkin beberapa menit tidak apa-apa. Dia juga mudah terbangun, pasti akan sadar jika ada orang yang mendekati mereka.

“Dor!”

Tidak jadi menutup mata, mereka bertiga terlonjak mendengar suara kencang itu. Mereka kira petir datang, sempat takut akan kemungkinan petir menyambar perosotan yang mereka duduki, sebelum akhirnya kesal karena mendengar gelak tawa yang mereka kenal.

“Daiki!” Ryosuke memberikan tendangan ke arah kakaknya, yang tentu segera menjauhkan dirinya.

Kakak mereka datang, sendirian, tapi tangannya menenteng jas hujan yang dapat mereka pakai. Senyum di wajahnya masih ada, terlebih ketika melihat wajah mereka satu per satu yang masih diisi dengan kantuk.

“Bisa-bisanya tidur di sini,” Daiki menyodorkan jas hujan yang dia bawa, “kak Hikaru ngomel, tahu.”

“Hika? Ngomel?” Yuto bertanya, memasang kancing jas hujannya.

“Iya, ngomel. Kalian langsung kabur, kan, ketika dia suruh bawa jas hujan dan payung?” Daiki sedikit berjongkok, tangannya meraih jas hujan yang baru setengah dipakai Yuri, membantu adiknya untuk lebih cepat memakai benda itu.

“Tuh, kan, Ryo,” Yuto keluar dari terowongan perosotan itu, tudung jas hujan sudah dia pakai agar tidak kebasahan, “gara-gara kamu, sih.”

“Kok aku doang, kamu kan juga ikut lari,” bela Ryosuke, ikut keluar dan menghampiri Yuto. Daiki cepat-cepat melerai mereka, tidak ingin kena petuah juga jika kedua adiknya kembali dengan memar baru.

“Sudah, lagian kan kalian semua pergi, semuanya kena salah.” Daiki mengecek, memastikan tidak ada yang tertinggal sebelum menyuruh adik-adiknya berjalan duluan di depannya.

Yuto mengajukan protes lagi, begitu juga dengan Ryosuke yang masih membela diri. Yuri sempat ingin beralasan dapat memakai kartu “anak bungsu”-nya, tapi dia diingatkan kembali oleh Daiki bahwa kartu itu tidak mempan pada Hikaru.

Mengoceh sepanjang jalan, mereka berempat berjalan pulang di tengah hujan.

[#yamada dan #daiki, bocah au (yama 6 daiki 8), ficlet, bahasa indonesia.]

Kali pertama mereka bertemu, taman bermain itu masih gersang. Tidak ada mainan apapun walau dinamakan taman bermain. Hanya ada anak-anak seumuran mereka, membawa lompat tali, sepeda, congklak, atau mainan lainnya yang tidak dilarang dimainkan di rumah.

Daiki yang pertama kali membuka suara, mengajak Ryosuke bermain kelereng.

“Aku tidak punya kelereng,” Ryosuke merengut, “tidak bisa main.”

“Aku punya,” Daiki menyodorkan beberapa butir miliknya ke tangan Ryosuke, “aku bisa ajarkan.”

Tidak mendengar lanjutan protesnya, Daiki menarik tangan Ryosuke, berjalan menuju teman-temannya yang lain, butir-butir kelereng tersusun rapi di tengah mereka, siap dimainkan.

Pada akhir dari hari itu, Ryosuke cukup mengerti cara bermain kelereng. Butir yang dipinjamkan Daiki dia kembalikan sebab dia sudah punya lebih.

“Bagus kan? Kau jadi punya kelereng,” ucap Daiki sebelum melambaikan tangan, berlari ke arah berlawanan dari Ryosuke, sosoknya hilang ditelan langit senja.

Ryosuke menatap butir-butir kelereng miliknya dalam sebuah kantong yang diberikan Daiki. Sepuluh butir, semuanya cantik. Dia tidak pernah berpikir akan memilikinya kalau tidak karena paksaan Daiki tadi.


Kali kedua mereka bertemu, keesokan harinya, Ryosuke kembali merengut. Daiki pikir, dia selalu merengut, tidak peduli hari itu sedang cerah atau mendung.

Mengabaikan wajahnya yang tidak bersahabat dan membuat anak-anak lainnya melipir, Daiki mendekatinya, sama seperti kemarin.

“Aku tidak bisa naik egrang,” Ryosuke melirik pada benda panjang itu, bergidik membayangkan harus menaikinya, “terlalu tinggi.”

“Kan kau pendek,” Daiki menjawab tanpa pikir panjang, “kalau pakai ini, jadi tinggi.”

Ryosuke menatapnya tajam, tapi Daiki abai. Tinggi mereka tidak beda-beda amat. Mungkin sama, tapi bisa-bisanya yang lebih tua berkata dengan santai seperti itu.

“Tidak mau,” ucap Ryosuke lagi, berjalan menjauh dari Daiki dan sepasang egrang yang ada. Dia bahkan tidak tahu bagaimana Daiki bisa membawa benda sepanjang itu dan menaruhnya di taman. Seingatnya saat dia datang tadi benda itu belum ada.

“Ayolah,” Daiki menariknya, “kalau jatuh ya tinggal jatuh. Sakit, sih, tapi nanti bisa aku obati.”

Tangannya disodorkan sepasang egrang yang tingginya lebih dari dirinya. Tidak seberat yang dia pikirkan, tapi tetap saja dia tidak ingin menaiki benda ini.

“Atau,” Daiki menatapnya dari atas, sudah berhasil naik ke egrang miliknya sendiri, “kau terlalu takut, ya? Tidak apa-apa, sih. Walau tidak ada menang atau kalah di sini, kau terhitung kalah kalau tidak naik.”

Mungkin Daiki tahu cara memprovokasi anak seperti dia. Mungkin Daiki memang pintar untuk mengajak orang melakukan hal sesuai keinginannya. Apapun itu, Ryosuke akhirnya sebal. Sebal artinya dia akan melawan. Melawan artinya dia akan menaiki egrang itu.

Pada akhir hari itu, Ryosuke jatuh beberapa kali setelah menaiki egrang. Daiki harus menahannya untuk tidak lagi naik setelah kakinya berdarah, mengatakan dia sudah menang dan Daiki salah.

Sesuai perkataannya, Daiki pulang mengambil obat merah dan perban untuk lukanya, mengobatinya dengan pelan sambil menahan tendangan yang Ryosuke berikan. Refleks, katanya, tapi Daiki tahu ada kekesalan lain yang tersimpan dalam setiap tendangan.


Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk bertemu di taman itu. Pada waktu yang sama, Daiki akan datang membawa mainan baru. Ryosuke akan menunggunya di titik yang sama, walau sebenarnya Daiki dapat menemukannya dengan mudah karena taman itu tidak seberapa luas. Mereka akan bermain sampai sore tiba. Daiki akan berlari ke arah yang berlawanan, sementara Ryosuke menatap sosoknya sampai hilang sebelum kembali ke rumah.

Lama-kelamaan, taman bermain itu mulai diisi. Mainan pertama kali yang hadir adalah ayunan, baik yang dapat dinaiki sendiri maupun dengan orang banyak. Tentu, Daiki dan Ryosuke jarang mendapat giliran. Ada banyak anak lain yang berebutan, mereka tidak terlalu ingin menaikinya selagi punya mainan sendiri yang dapat dimainkan.

Ryosuke lebih banyak menolak. Hampir semua mainan yang Daiki bawa akan ditolaknya, lalu Daiki harus membujuknya dengan kata-kata manis. Jika tidak mempan, Daiki akan mengejeknya, karena Ryosuke paling lemah ketika dihadapi ejekan. Tidak mau kalah. Daiki akan tersenyum lebar ketika Ryosuke akhirnya mengiyakan dan menjadi kompetitif. Pada sebagian besar waktu, Daiki membiarkan Ryosuke menang.

Kalau hari sudah dirasa larut dan mereka harus pulang, Daiki biasanya mengakhiri permainan dengan memberikan benda yang mereka mainkan. Ryosuke juga akhirnya mengerti. Jika Daiki sudah menyodorkan barang atau berjalan menjauh tanpa mengambil barangnya, artinya permainan mereka berakhir. Daiki akan melambaikan tangannya, Ryosuke tidak.

Pada esok hari, permainan mereka akan berlanjut. Mereka tidak pernah berjanji untuk bertemu esok hari. Semua terasa seperti rutinitas dan keharusan bahwa esok akan datang dan mereka akan bertemu lagi.

Tidak pernah.

Kecuali sore itu.

“Ryosuke,” Daiki memanggilnya, nadanya halus dan volume suaranya lebih pelan, “janji, ya.”

“Janji apa?”

“Janji besok bertemu lagi.”

Mereka tidak pernah berjanji. Tanpa janji, mereka tetap bertemu pada hari esok yang datang.

“Untuk apa? Selama ini juga selalu bertemu.”

“Janji saja dulu,” Daiki mendesaknya, “janji kamu akan menungguku seperti biasa.”

Dia tidak mengerti. Namun dia pikir tidak ada salahnya juga jika harus berjanji sesekali.

“Baiklah, aku janji.”

“Oke.”

Setelahnya, Daiki diam. Langit sudah mulai sore, warnanya keunguan dengan corak jingga dari matahari. Bulan sudah mau muncul di sisi lain.

“Sampai jumpa, Ryosuke.”

Dia tidak mengira Daiki akan mengucapkan hal itu. Ketika dia sadar, Daiki sudah berlari ke arah rumahnya, tanpa melambaikan tangan seperti biasanya. Walau begitu, dengan rasa janggal, Ryosuke tetap menatap sosoknya sampai menghilang.


Ryosuke duduk di tempat yang sama.

Beberapa anak yang biasa bermain di sana juga datang. Tidak hanya ada ayunan, kini taman itu juga dilengkapi oleh permainan lainnya seperti jungkat-jungkit, perosotan, dan lainnya. Taman itu juga lebih rapi, tidak ada lagi tanaman liar atau batu kerikil yang dapat membuat luka jika terjatuh.

Banyak yang berubah di sana. Sekitar taman bermain itu bukan lagi lahan kosong yang belum dimiliki orang. Kini, terdapat bangunan-bangunan asing yang rasanya janggal berdiri di dekat taman anak-anak seperti ini.

Banyak yang berubah. Namun Ryosuke tetap sama.

Dia tetap menunggu di tempat yang sama. Pada waktu yang sama juga.

Daiki pun sama, tidak pernah lagi kembali setelah Ryosuke harus berjanji menunggunya.

Hari ini, Ryosuke masih menunggu esok.

[#yuto, #keito, & #yamada; zombie au; warning violence; angst?]

Dunia kacau.

Yuto tidak tahu alasan semua ini bermula. Dia juga tidak yakin jika ini bukan sekadar mimpi dan dia lupa caranya untuk bangun. Yang dia ingat adalah Yamada menggedor pintu apartemennya suatu siang, membawa ransel yang terlihat lebih besar dari badannya sendiri, wajahnya kaku dan ekspresinya sama sekali tidak ramah.

“Kita harus pergi,” Yamada berkata waktu itu, sibuk menyodorkan tas paling besar yang dia temukan di kamar Yuto, mengisinya dengan segala makanan yang ada di lemari dan kulkas serta beberapa pakaian yang diambil secara acak, “pakai bajumu yang paling nyaman tapi aman, yang bisa menutupi badanmu. Bawa jaket kulitmu, sepatu yang paling bagus dan bisa kau pakai lari.”

“Kenapa?” Yuto bertanya, tapi tetap melakukan yang disuruh oleh temannya. Perasaannya jadi tidak enak, terlebih ketika Yamada mematikan televisi yang tadi dia biarkan menyala selagi tidur, menutup jendela dengan tirai, lalu menatapnya dengan teror yang dia lewati ketika melihat Yamada pertama kali.

“Entah, aku ... tidak yakin,” jawabnya, menghela napas panjang sambil mendudukkan diri di depan Yuto yang memasang sepatu, “semuanya jadi gila. Aneh. Seperti ... zombie?”

Yuto berhenti mengikat tali sepatunya. Matanya berkedip beberapa kali, senyum mengembang di bibirnya, merasa temannya ini bercanda. Namun ekspresi Yamada tidak berubah, masih cemas, tidak ikut tertawa dengannya.

“Kau,” Yuto mencoba menghilangkan rasa janggal dalam hatinya, “kau bercanda, kan? Tidak mungkin zombie betulan ada, kan?”

Temannya menghela napas lagi. Tidak ada tanda-tanda Yamada akan tertawa atau mengatakan ini semua hanya lelucon. Yuto ingin meyakinkan dirinya bahwa Yamada pintar sandiwara, jadi masih ada kemungkinan temannya ini berbohong, hanya bermain-main dengannya walau tidak pernah juga Yamada berbuat seperti ini sebelumnya.

“Kalau nanti kita keluar, kau akan lihat sendiri.”

Tidak menunggu respons Yuto lagi, Yamada beranjak dari tempatnya, mengambil ransel yang sudah dia isi tadi dan menyerahkannya pada Yuto. Tidak tahu kata-kata yang harus dia ungkapkan, Yuto menerima ransel itu dalam diam, begitu juga dengan topi dan masker yang disodorkan Yamada sebelum mereka berdua berjalan menuju pintu.

Yamada memberinya aba-aba untuk menunggu. Yuto hanya mengangguk, dalam hati jantungnya berdebar tidak karuan. Kalau Yamada tidak bercanda, mungkin dunia ini betulan sedang diisi zombie. Dari pengalamannya menonton film dengan tema serupa, tidak ada yang baik dalam dunia seperti itu.

Kenop pintu diputar sepelan mungkin, dibuka sedikit untuk Yamada mengintip, melihat kondisi di luar. Setelah melihat sekeliling, Yamada kembali menatap Yuto, memberinya tanda untuk bersiap keluar.

Semua masih terlihat biasa saja. Tidak ada yang berubah dari lorong apartemen atau sekelilingnya kecuali beberapa pintu yang dibiarkan terbuka, memperlihatkan isi apartemen yang sedikit kacau dan berantakan. Mungkin pemiliknya tahu kondisi seperti Yamada, lalu cepat-cepat berkemas dan pergi. Mungkin.

Mereka menggunakan tangga darurat walau lift masih berfungsi normal. Yamada tidak mau mengambil risiko. Tangga darurat juga tidak sepenuhnya bagus digunakan, tapi setidaknya mereka dapat berlari jika bertemu dengan situasi yang tidak menyenangkan.

Ketika sudah berada di luar gedung apartemen, Yuto baru merasa ada masalah yang serius. Orang-orang berlarian, panik, teriakan mengisi pendengarannya, tidak ada kata-kata dari teriakan itu yang dapat dia dengar jelas. Padahal rasanya, malam tadi Yuto masih berjalan di tempat yang sama dan semuanya baik-baik saja.

Sejak hari itu, dia hanya bersama Yamada. Ketika Yuto menanyakan keberadaan yang lain, Yamada tidak punya jawaban yang pasti. Dia hanya tahu bahwa hari itu Chinen, Keito, dan Daiki sedang pergi bersama. Yabu dan Hikaru punya jadwal kerja di tempat yang sama. Lalu seingatnya Takaki dan Inoo punya janji makan di waktu yang sama ketika Yamada datang ke tempat Yuto.

Tidak ada jaminan mereka semua tetap bersama atau bahkan masih hidup. Tak lama setelah Yamada dan Yuto pergi pada siang itu, jaringan komunikasi terputus. Atau diputus, mereka juga tidak mengerti. Tidak ada cara untuk menghubungi yang lain. Mereka juga tidak yakin yang lain akan tetap berada di tempat yang sama jika mereka mendatangi kediaman masing-masing.

Tidak ada apapun.

Sampai sekarang.

Lama sejak dia berpindah-pindah tempat dengan Yamada, Yuto tidak lagi asing dalam menghadapi zombie. Awalnya memang menakutkan, sedikit gila, tapi mereka perlahan mulai belajar menanganinya. Membunuhnya. Melupakan sejenak fakta bahwa zombie yang mereka temui juga awalnya hanya manusia, seperti mereka, hanya sial dan terkena infeksi yang menyebar dalam tubuhnya. Mengingatkan diri masing-masing bahwa mereka harus bertahan agar tidak berubah menjadi mereka.

Dia mulai paham cara menghadapinya, memberikan serangan dalam satu gerak agar tidak membiarkan zombie itu bertahan lama dan kesakitan, walau mereka juga tidak yakin zombie dapat merasakan sakit. Dia paham ada kalanya harus lari sebab kondisi tidak memungkinkannya untuk menyerang tanpa terkena cakaran atau gigitan. Dia paham cara untuk menarik perhatian zombie itu agar membantu Yamada mendapat ruang gerak ketika terpojok.

Dia paham.

Yang dia tidak pahami adalah sekarang, di hadapannya, berdiri sosok yang dia kenali walau tidak lagi serupa seperti yang ada dalam ingatannya.

“K-Keito,” Yuto mengambil langkah mundur, mencoba menahan tangannya yang bergetar, memarahi dirinya sendiri untuk tidak memeluk sosok itu, “ini aku.”

Mungkin hanya imajinasinya, hanya khayalannya karena merindukan lelaki itu terlalu lama, tapi dia yakin sosok yang ada di depannya ini adalah Keito. Dia yakin sosok itu sempat mendengarnya ketika namanya disebut. Dia yakin pisau yang ada di dalam genggamannya tidak harus dia pakai.

“Yuto, itu bukan dia.” Yamada, berada tak jauh dari samping Yuto, mencoba menyadarkannya. Sayangnya, saat ini dia tidak dapat mendengar rasa yakin dari perkataan temannya. Meliriknya sedikit, pandangan Yamada juga tertuju pada sosok di hadapan mereka, ekspresinya tidak dapat Yuto jelas lihat di balik masker dan topi yang dikenakan.

“Kau yakin? Kalau kau yakin, kau harus menatapku dan mengulang perkataanmu.”

Tidak ada suara lagi dari Yamada setelah Yuto mengucapkan kalimat itu. Tidak ada pergerakan lain yang berarti selain langkah mundur dari mereka berdua dan sosok itu yang menggeret kakinya untuk mendekatkan diri. Tidak ada keinginan untuk beranjak, tapi mereka ingin cepat keluar dari situasi ini.

Dari ujung matanya, Yuto melihat Yamada perlahan mengangkat kedua tangannya. Revolver dalam tangannya ditujukan pada sosok di hadapan mereka. Walau bergetar, Yamada sudah ada dalam posisi siap melepaskan peluru.

“Yamada,” suara Yuto terdengar berat oleh rasa putus asa, pecah akan segala harapan, “Yamada, kalau sampai kamu menarik pe—”

“Lalu apa?” Yamada memotongnya. “Apa solusi terbaikmu? Kita biarkan dia di sini, kemungkinan akan dibunuh juga dengan orang lain, dan menderita sendirian?”

Mereka sudah pernah bertemu dengan orang lain yang justru senang dalam kondisi seperti ini. Para maniak yang suka membunuh tidak sedikit muncul, menikmati proses memberantas zombie yang mereka temui. Tidak ada jaminan orang-orang itu tidak akan menemui sosok di hadapan mereka jika mereka lari sekarang.

Namun bukan berarti dia juga ingin membunuhnya. Tidak pernah ingin.

Melihat sosok di hadapannya lagi, Yuto menghela napasnya yang bergetar. Dia yakin sosok ini adalah Keito. Walau tidak lagi serupa persis, dia ingat fitur-fiturnya; rambutnya yang hitam, lekuk hidungnya, jemarinya, segalanya. Dia yakin, tapi dia ingin lupa. Dia tidak ingin tahu bahwa yang dia tatap sekarang adalah Keito. Tidak ingin memikirkan kondisi Chinen dan Daiki, yang bersama Keito pada awal kekacauan ini, mungkin tak jauh berbeda dari Keito sekarang. Tidak ingin membayangkan kemungkinan harus menghadapi situasi yang sama dengan orang yang dia kenal lainnya di kemudian hari.

“Aku saja,” Yuto mendekat pada Yamada, mengambil revolver dari kedua tangannya, menggantikannya dengan pisau yang sedari tadi dia genggam, “biar aku saja.”

“Tapi, Yuto—” Yamada menatapnya, tak peduli dia mengalihkan pandangan dari sosok di hadapan mereka sejenak, “kau yakin?”

Tidak ada yang dia rasa yakin dalam situasi ini.

“Yakin.” Lucunya, suaranya terdengar jelas kali ini walau badannya bergetar, jantungnya terasa ingin meledak dan hancur.

Memposisikan revolver itu ke sosok di hadapannya, kepada Keito, Yuto menarik napas dalam.

[#yabu, #yamada, #yuto, & #chinen. yang lain ada sih tapi sedikit. sibling au dengan jarak masing-masing dua tahun jadi yabu (17), yamada (7), yuto (5), chinen (3). ficlet.]

Yabu tidak tahu apakah memiliki tujuh adik dapat dikatakan berkah atau malapetaka.

Tentu dia sayang mereka semua. Semenyebalkan apapun tingkah mereka, Yabu tetap akan menjadi kakak yang baik dan sabar, menuntun mereka semua untuk tetap bertahan tanpa ada baku hantam terlalu lama. Terlebih pada tiga yang terkecil—Daiki menolak disebut sebagai bocah lagi karena kini dia sudah berumur sembilan—walau sebenarnya ketiga itu yang lebih berbahaya dari adik Yabu yang lain.

Yamada tidak suka diberi penolakan. Kalau mendengar kata negasi, dia langsung meninggikan suara, meminta alasan yang jelas, dan akan memberikan argumen jika dia sedang cukup keras kepala. Tidak mau mengalah pada siapa saja kecuali Chinen.

Chinen sebagai yang terlahir terakhir rasanya datang sebagai mantra tolak untuk Yamada. Segala sifat Yamada pada umumnya tidak berlaku pada Chinen. Berbicara dengan nada tinggi? Tidak. Mengamuk jika diberi penolakan? Tidak. Mau mengalah? Iya. Yabu cukup terpukau dengan besarnya pengaruh eksistensi Chinen terhadap Yamada.

Sisanya Yuto sebagai anak yang berada di tengah keduanya. Suka ribut, berisik, tidak bisa diam kecuali diberi ponsel dengan memori kosong untuk memotret atau kamera sungguhan. Biasanya ada saja tingkahnya untuk mengajak ribut Yamada. Sama-sama punya sifat tak mau mengalah, keduanya selalu harus dilerai agar insiden baku hantam keluarga ini tidak memiliki sekuel.

Insiden pertama terjadi ketika ketiga adiknya itu belum ada di rumah ini sehingga terkadang adik-adiknya itu tidak percaya. Ceritanya juga terdengar tidak masuk akal; Inoo menendang Yabu, dibalas Yabu melayangkan tinju pada Inoo, lalu Takaki ikut-ikutan menyerang mereka berdua, disusul Hikaru dan Daiki yang saling bekerja sama melemparkan tangan. Aneh, karena Inoo tidak terlihat sebagai tipe yang melayangkan kaki duluan dalam pertengkaran.

Begitulah. Itu cerita untuk lain kali.

Kali ini, Yabu punya masalah lain untuk dia pikirkan.

“Kak Yabu mau keluar?” tanya Chinen, jemarinya meremat celana Yabu dan menariknya, dengan cepat mengambil perhatian si kakak.

“Ah,” Yabu menoleh ke sekelilingnya, menemukan tatapan minta maaf dari Takaki yang seharusnya menjaga Chinen, “tidak, kok. Aku tidak mau keluar.”

Yabu harus keluar. Setengah jam lalu, bosnya memanggil agar dia datang pada jadwal siang, menggantikan salah seorang pekerja lain yang izin tidak dapat hadir. Ada bonus yang dijanjikan sehingga dia langsung saja mengiyakan.

Dia tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan adiknya.

“Tapi kok pakai baju rapi?”

Dalam hati, Yabu menghela napas panjang. Kemunculan suara Yuto biasanya akan diikuti dengan suara Yamada. Sesuai dugaannya, adiknya yang satu itu tak lama berdiri di samping Yuto, menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Iya, itu baju perginya.” Yamada kembali beralih menatap kedua mata Yabu. “Mau pergi ke mana?”

Tidak mungin Yabu bisa menjawab. Ketiga adiknya itu pasti akan ikut. Berdasarkan pengalamannya membawa adik ke tempat kerja, tidak ada hal baik yang akan datang jika mereka ada di sana. Walau bosnya mengerti keadaannya, dia tetap saja merasa tidak enak.

“Gak kok, dia gak pergi,” muncul suara Inoo, berdiri di belakang Yamada dan Yuto, “cuma sedang coba-coba baju saja.”

Yuto tampak puas dengan jawaban Inoo. Begitu juga dengan Chinen yang memang biasanya mengiyakan saja perkataan Inoo, tak peduli seberapa janggal kata-kata yang diucapkan. Namun kali ini kata-katanya cukup bagus, tidak aneh, dan bisa diterima. Yabu merasa bangga juga adiknya yang satu itu bisa benar walau hanya pada waktu tertentu.

“Yang benar?” Yamada bertanya, jelas tidak puas. Yabu memang suka sekali diuji kesabarannya oleh Yamada.

“Iya, benar.” Inoo menjawab dengan nada yang sama, tidak mengubah ekspresinya agar Yamada lebih percaya. Sayangnya, Yamada sedang keras kepala, tidak mau menerima alasan yang diberikan kakaknya semudah itu.

“Gak mungkin.” Ruangan itu kini hanya diisi oleh Yamada, Yabu, dan Inoo. Yuto dan Chinen, serta Takaki yang sempat ikut berdiri di sana, kembali masuk ke kamar Hikaru, mengusik pemilik kamar yang mengerjakan tugas.

“Kenapa tidak mungkin?” Yabu bertanya setelah hening beberapa saat. Melirik arlojinya, dia harus berlari jika bisa keluar dari sini.

Yamada tampak berpikir, menatap lekat segala yang Yabu kenakan. Kalau saja dia sedang tidak dikejar waktu, Yabu mungkin akan tertawa karena aneh rasanya melihat wajah anak umur tujuh dengan ekspresi terlalu serius.

“Kencan,” ujar Yamada, akhirnya, “kak Yabu mau kencan, ya?!”

Pertanyaan itu kembali membawa Yuto dan Chinen menghampiri mereka, tentu diikuti Hikaru serta Takaki yang tak sengaja mendengar. Bahkan Daiki yang berada di ruangan lain ikut terkejut dan masuk ke dalam kerumunan adiknya.

“Kencan? Kak Yabu kencan?”

“Kok bisa ada yang mau sama kak Yabu?”

“Kok kak Yabu gak cerita kalau sudah ketemu perempuan?!”

Menahan diri untuk tidak memutar kedua bola matanya dan berteriak, Yabu menarik napas dalam-dalam. Tangannya dengan cepat meraih kenop pintu, membuka dan menutupnya dalam hitungan detik, lalu berlari kencang dari sana. Dia mendengar sahutan adik-adiknya dari jauh, tapi sepertinya tidak ada yang menyusulnya.

Tidak peduli. Urusan adiknya nanti saja dia atasi ketika pulang.

[#yamada, #hikaru, #daiki. sibling au dengan perbedaan umur yang sama. ficlet.]

Termasuk dalam anak yang berada di tengah membuat Yamada suka memberikan peraturan di rumah mereka. Yang lebih muda tentu akan mengiyakan perkataannya saja. Yang lebih tua pun akhirnya tidak menolak karena dia lebih galak, bahkan jika dibandingkan oleh Takaki yang baru dibangunkan.

Ketika beberapa orang yang lebih tua (sebut saja Takaki, Yabu, dan Hikaru) mulai iseng mencoba rokok, Yamada tentu mengambil langkah untuk menghentikan mereka. Dia suka lingkungan yang bersih dan sehat sehingga dia tidak menerima adanya asap rokok di rumah.

Tentu tidak mudah, baik bagi Yamada maupun ketiga lelaki yang lebih tua maupun kakak-adik yang lain, yang terpaksa harus ikut mendengarkan omelan Yamada di tiap kesempatan.

Kali ini, sayangnya, Daiki yang kena sial. Dia tidak ikut-ikutan merokok ketika ditawarkan oleh Takaki, bahkan ketika diejek oleh Hikaru karena dia tidak berani mencoba dan takut pada Yamada. Bukan itu, sih, alasannya. Dia merasa sudah punya kopi, sudah cukup hidupnya dengan latte setiap pagi, tak perlu puntungan rokok di antara jari dan asapnya di dalam paru-paru.

Namun malam itu, Hikaru memintanya untuk menemani pergi beli rokok. Tidak jauh tempatnya, tapi Hikaru beralasan ingin memiliki quality time bersama Daiki. Tentuk bukan karena gang di depan rumah mereka sedang ditempati banyak kucing jalanan.

Hikaru tidak punya saku, tidak di celana atau kausnya. Daiki punya, sebenarnya, tapi tidak mau bajunya bau rokok. Namun Hikaru sudah menyodorkan rokok dan koreknya, membuatnya mau tak mau harus memegang dua benda itu sampai pulang ke rumah. Melirik bungkus rokok yang dibeli, dia menahan tawa. Gambar paru-paru yang rusak pada bungkus itu ternyata tidak cukup untuk menghentikan yang lebih tua untuk berhenti merokok.

Sayangnya, karena gambar itu juga, Daiki tidak menyadari langkah mereka sudah mendekati rumah. Daiki tidak melihat Yamada yang keluar dari pintu, tatapan lekat pada mereka berdua, terlebih pada benda yang ada di dalam genggaman dia.

“Rokok?” Daiki sontak menoleh, terkejut dengan suara Yamada. “Kalian pergi, berdua, malam-malam seperti ini hanya untuk rokok?”

“Ah, itu,” Hikaru mematikan puntung rokok di tangannya. Daiki merasa beruntung lelaki itu tidak refleks membuangnya ke tanah. Tentu Yamada akan lebih sebal lagi. “Itu, Yamada—”

“Cepat habiskan.”

“Hah?”

Daiki menatap Yamada tidak mengerti, lalu melirik Hikaru yang sama tidak paham dengan perkataan adik mereka.

“Habiskan. Semuanya, semua yang ada di dalam bungkus itu,” ulang si adik, jarinya menunjuk pada bungkus yang Daiki pegang.

“Tapi, Yamada, ini kan baru dibeli,” Daiki membuka suara, “aku juga tidak pernah merokok. Hanya menemani dia.”

Adiknya menatap lama Daiki, membuatnya sedikit menelan ludah. Apa dia harus jadi perokok sekarang? Namun Yamada tentu tidak mau membuatnya jadi perokok, kan?

Menghela napas, tatapan Yamada beralih pada yang lebih tua di antara mereka. “Ya sudah. Hika, habiskan.”

Biasanya, biasanya, ketika dalam mode biasa saja, Yamada akan memanggil mereka dengan “kak”. Jadi terlihat sopan sedikit, walau Yamada akan cepat memanggil mereka dengan nama saja ketika dalam situasi bercanda atau marah. Seperti saat ini.

Tidak melihat adanya ruang untuk argumen, Hikaru mengambil bungkus dan rokok dari tangan Daiki. Satu per satu dia isap, semakin lama semakin cepat karena tatapan Yamada semakin tidak ramah. Malam ini juga semakin dingin, ingin cepat masuk ke dalam rumah.

Ketika puntung terakhir Hikaru habiskan, Daiki menghela napas lega. Akhirnya, mereka bisa kembali masuk. Dia ingin cepat tidur saja dan melupakan kesialannya ini. Kakinya mulai mati rasa.

“Sekarang lari. Tiga putaran dari sini ke toko kalian membeli rokok.”

Daiki dan Hikaru kembali menatap Yamada dengan heran. Lari? Adik mereka ini menyuruh mereka untuk lari?

“Tidak hanya Hikaru, Daiki juga.” Yamada tersenyum manis. “Kakimu pasti mati rasa, kan?”

Senyum adik mereka memang manis. Manis seperti iblis.

[#yamada, #chinen, #daiki. #pubgau. bahasa indonesia.]

“Chinen,” Daiki berbisik, melangkah pelan untuk memberi jarak dari satu temannya yang terus berjalan tanpa menoleh. “Sepertinya kalau bisa membunuh rekan, aku sudah mati, ya.”

Yang diajak bicara memandang Daiki, kemudian melirik pada yang berjalan di depan. Kedua bahunya terangkat. “Bisa jadi.”

.

Sejak awal mereka memasuki lobi permainan, Yamada sudah menatap Daiki tajam. Mungkin pakaiannya, sebab Daiki terlihat terlalu mencolok dengan set baju berwarnya jingga. Salah dia juga, lupa mengganti pakaiannya sebelum menyatakan siap.

“Kita akan turun di mana?” tanya Chinen, memecahkan keheningan yang hampir mencekik Daiki. Pandangan sinis Yamada beralih menjadi netral ketika dia melirik Chinen.

“Aku selalu turun di Pochinki,” Yamada mendengus, “namun rasanya agak mustahil sebab kuyakin Daiki akan tewas duluan.”

Protes hampir keluar dari mulut yang diejek, tapi ucapan Yamada tidak sepenuhnya salah. Dia selalu menghindari tempat tersebut. Terlalu banyak pemain yang turun di sana, belum lagi jika dia kalah cepat saat merebut senjata.

Setelah beberapa pertimbangan, serta beberapa gerutu dari Yamada, akhirnya mereka memutuskan untuk turun dekat daerah Quarry. Memberi aba-aba pada kedua temannya, Yamada memandu timnya untuk terjun, tak lama setelah permainan dimulai. Daiki dapat melihat beberapa pemain lain ikut turun, namun memilih tempat landas yang berbeda dengannya.

Mendarat dengan selamat, mereka bertiga langsung berpencar ke rumah terdekat. Daiki berharap cepat menemukan senjata, sebab dia tahu jika mati duluan, Yamada akan mengomel tanpa habis. Melirik dari jendela, dia melihat dua rekannya berada di rumah seberang. Chinen sudah mengenakan pakaian baru, di punggungnya sudah ada tas, serta senapan di tangan.

Suara tembakan terdengar, beberapa ada yang jauh, sisanya cukup dekat. Daiki mengambil amunisi yang dia temukan, beruntung mendapat AK47 yang biasa dia gunakan. Apapun akan dia pakai untuk saat ini.

Menelusuri tempat lain, mereka mendapat barang-barang yang mereka butuhkan; granat, supresor, flash hider, dan lainnya. Sejauh ini, belum ada musuh yang terlihat. Tidak banyak yang turun di daerah ini walau banyak barang bagus yang dapat ditemukan. Pilihan yang cukup baik, menurut Yamada, bagi mereka bertiga yang punya Daiki sebagai teman tim.

“Yamada,” tiba-tiba Daiki menyebut namanya dalam bisikan, “ada musuh.”

Mengintip dari scopenya, dia membidik ke titik yang Daiki tandai. Benar, ada dua musuh di rumah yang terletak di seberang mereka. Keduanya sibuk mengumpulkan barang, tidak terlihat menyadari keberadaan mereka yang sudah merunduk sembunyi di bagian bawah jendela.

“Kau tembak satu, aku tembak yang lainnya?” Daiki setengah bertanya. Inginnya menyuruh, tapi tidak yakin Yamada mau menurutinya.

Yamada tampak berpikir sebentar. Tidak ada yang salah juga menyuruh Daiki membunuh satu sementara dia menembak yang satu lagi, walau dia lebih yakin kalau Chinen yang menembak.

“Baiklah.” Yamada menggerakkan senjatanya sedikit, mencoba membuat dirinya lebih nyaman.

Dia dapat merasakan Daiki tersenyum lebar sebelum ikut mengintip dari scopenya sendiri, membidik musuh dari jendela di sisi yang lain. Menarik napas, Yamada mengikuti gerak musuhnya, menunggu waktu yang tepat untuk melepaskan peluru.

Sayangnya, Yamada tidak sempat melumpuhkan musuhnya karena dikejutkan suara yang terlalu keras. Pada detik dia mendengar tembakan di dekatnya, dia menyesali keputusannya untuk mengiyakan rencana Daiki.

“Kau tidak pasang supresor?!” Dia tidak peduli suaranya terlalu keras sampai mengalahkan suara tembakan dari senjata Daiki. Gemas. Sebal. Yang dia tahu, dia ingin memukul kepala rekannya itu.

“Sepertinya belum,” Daiki menjawab dengan pelan, terlihat menyesal, “masih ada di tasku.”

Yamada ingin memberinya omelan panjang, tapi semuanya terpotong karena peluru berdatangan ke arah mereka. Posisi mereka sudah jelas terlihat oleh lawan, terlebih kini mereka tidak lagi bersembunyi di balik tembok.

Tanpa banyak bicara lagi, Yamada kembali pada senjatanya sendiri, mencari kembali posisi lawan, membalasnya dengan memberikan beberapa tembakan sampai lawan tersebut sekarat dan tidak bisa dipulihkan kembali.

Chinen menoleh ke arah Daiki ketika mereka keluar dari tempat tersebut, berlari menuju ke tempat lain setelah menghabisi lawan mereka sebelumnya. Daiki membalas tatapannya, lalu melirik Yamada yang memandu jalan mereka.

“Sepertinya kalau bisa membunuh rekan, aku sudah mati, ya.”

Kedua bahu Chinen terangkat, ikut melirik ke arah Yamada di depan mereka. “Bisa jadi. Tenang saja, nanti aku yang memulihkanmu.”

[#inoo & #yamada, the girl on the train-based au, #yabunoo + #yutoyama + #yamachine sebagai pairing] [untuk #Inoo31stbirthday]

Inoo suka memandang keduanya di pagi hari, setiap dia melewati kawasan itu dengan kereta.

Dia tidak mengenal mereka sungguhan, nama saja tidak tahu, hanya selalu melihatnya ketika kereta yang dia naiki melewati rumah mereka. Pada pagi-pagi saat dia berangkat terlalu siang, dia hanya akan melihat lelaki itu, sendiri, tetap berada di beranda lantai dua rumahnya, menatap pemandangan sekitarnya dengan senyum kecil.

Menurut Inoo, lelaki itu punya segalanya yang dia pernah miliki.

Dia juga pernah berada dalam posisi yang sama; rumah hangat yang selalu menjadi tempatnya berpulang, ketenangan dalam diri yang terpancar dari wajahnya, serta kekasih yang mencinta dan dicintanya.

Yabu, kekasihnya dulu, hampir sama tinggi dengan kekasih lelaki itu, rambut mereka sama-sama hitam dengan poni yang jatuh tepat sebelum alis mereka, senyum sama-sama lebar dan menenangkan. Mereka sama-sama akan memberi pelukan pagi, menaruh dagu mereka di atas kepala, kedua tangan tak akan dilepas sampai jarum jam menunjukkan mereka akan terlambat kerja.

Perbedaannya hanyalah Inoo pernah memiliki semuanya. Lelaki itu masih mempunyai apa yang tadinya dia punya. Inoo paham bagaimana perasaan lelaki itu, merasa segalanya akan baik-baik saja selama mereka memiliki satu sama lain, hatinya tidak lagi dipenuhi rasa gundah karena sudah mendapat apa yang dia cari.

Karena hal itulah Inoo suka memandangnya, suka melihat lelaki itu karena dia akan teringat kembali pada masa-masa ketika dia masih baik-baik saja. Lelaki itu bagai dongeng untuknya, tercipta sebagai wujud dari harapannya yang berhenti menjadi kenyataan.

Karena hal itulah, Inoo tidak mengerti ketika melihat lelaki itu berdiri di tempat yang sama bersama lelaki lain.

Lelaki lain itu tidak pernah dia lihat sebelumnya. Mereka berdua tersenyum, membicarakan sesuatu dengan jarak terlampau dekat, terlalu dekat bahkan ketika lelaki itu mendekap si lelaki lain dari belakang. Persis seperti cara kekasih lelaki itu mendekapnya.

Siapa dia? Mengapa lelaki itu justru bersama lelaki lain sekarang?

Padahal, pagi kemarin Inoo masih melihat mereka bersama, senyum masih ada di wajah masing-masing. Padahal selama ini, selama dua tahun Inoo memperhatikan mereka melalui kereta ini, tidak ada yang salah di antara mereka. Mungkin sesekali ada pertengkaran, sebab dia ingat pernah melihat lelaki itu tidak mau membalas sapaan kekasihnya, namun tak lama kemudian mereka pasti akan akur kembali.

Namun, jika sudah seperti ini, apakah mereka akan kembali baik-baik saja?

Inoo kehilangan Yabu dalam sekejap. Bukan karena mereka lelah, bukan karena mereka memutuskan untuk tidak bersama lagi suatu pagi, namun karena takdir senang mempermainkan mereka. Kecelakaan itu terjadi begitu cepat; satu kedipan dan detik selanjutnya dia berada dalam mimpi terburuknya. Dia berada di lokasi kejadian, bersama Yabu, namun hanya dia yang masih bernapas hingga kini.

Dia sudah kehilangan dongeng yang dia hidupi. Dia tidak mau harus kehilangan dongeng lainnya yang dapat dia saksikan setiap pagi. Dongeng lain yang membuatnya tetap waras menjalani hari karena percaya masih ada harapan bahagia selamanya di luar sana.

Hari itu, dia turun di stasiun tempat dia melihat lelaki itu tinggal. Dia mengeluarkan ponsel sembari setengah berlari, mengetikkan pesan singkat dengan ketikan acak pada Hikaru, meminta sahabatnya itu memundurkan pertemuan mereka sampai sore nanti.

Rumah lelaki itu terletak tak jauh dari stasiun, walau sempat membuat Inoo tersesat sedikit karena banyaknya gang kecil yang membuatnya terkecoh. Tampak depan rumah itu tak jauh dari yang dia bayangkan; garasi yang kini kosong, pagar yang tak menyampai pinggangnya, serta beberapa tanaman yang tertata rapi di halaman. Melirik pada kotak surat yang tersedia tak jauh dari pagar, Inoo mengingat nama mereka; Nakajima-Yamada.

Jari panjangnya menekan bel, tak lama terdengar sahutan dari dalam menyuruhnya untuk menunggu. Suaranya sedikit berbeda dari yang Inoo bayangkan, namun dia tidak terlalu keberatan.

“Ada yang bisa kubantu?” tanya lelaki itu, ternyata lebih pendek darinya, menatapnya dengan curiga.

“Siapa lelaki lain itu?” Kedua mata Inoo beralih ke dalam rumahnya. “Apa dia masih ada di sini?”

“Apa maksudmu?” Lelaki itu semakin curiga, menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Aku selalu melihatmu setiap pagi melalui jendela kereta.” Inoo memutuskan untuk memberinya sedikit penjelasan. “Aku selalu tahu kau tinggal bersama kekasihmu yang jangkung. Pagi ini kau bersama lelaki lain. Siapa dia?”

Lelaki itu tampak terkejut dengan penjelasannya, mengambil langkah mundur bersamaan dengan pintu yang hampir ditutup. “Kau penguntit? Berhenti memperhatikanku atau rumahku ... atau apapun yang ada di sini. Silakan pergi dan jangan kembali.”

“Kau tidak mengerti,” Inoo mendesak, mencoba menahan pintu itu agar tidak tertutup sepenuhnya, “jangan buang apa yang kau punya. Apa yang kurang dari kekasihmu? Aku yakin kalian bisa memperbaikinya.”

“Kau orang asing, kau tidak tahu apa-apa!” Nadanya meninggi, mendorong pintu dengan sekuat tenaga. “Ini bukan urusanmu. Pergi atau aku panggil polisi.”

Tidak punya banyak kekuatan untuk menahan, lelaki itu berhasil menutup pintu dan menguncinya kembali, meninggalkan Inoo di depan rumahnya. Tidak baik juga kalau lelaki itu betulan menelpon polisi dan melaporkannya. Inoo pun menghela napas dan melangkahkan diri keluar, menjauh dari rumah itu.

Bukan berarti dia akan menyerah. Dia akan mencari tahu siapa lelaki lain yang dia lihat dan mencari tahu alasan mengapa dia ada di sini bersama lelaki itu. Dia akan memperbaiki cerita ini.