hiirei

yabuhika

[#yabuhika, angst, death-theme]

“Kalau aku—”

“Tidak,” potong Yabu, cepat.

Hikaru menghentikan kalimatnya, seperti biasa, sebab menurutnya masih ada waktu lain dia bisa menanyakan hal itu. Yabu juga belum siap. Atau, sebenarnya, tidak akan siap. Lelaki itu tidak akan mau menerima.

Hening mengisi ruangan yang tak seberapa itu. Kedua lelaki di sana tidak ada yang berusaha untuk membuka suara lagi. Biasanya juga begitu. Biasanya menunggu sampai salah satu beranjak dari ruangan. Atau menunggu ponsel salah satu dari mereka berdering.

Atau Hikaru akan meraih remote, menyalakan televisi dan mencari acara yang menarik, membiarkan televisi yang berbicara dan menghapus kecanggungan yang ada.


“Yabu.”

Si pemilik nama menoleh dari tumpukan kertas yang sibuk dia baca satu per satu, nantinya harus dia bubuhkan tanda tangan beberapa. Pulpen yang dipegangnya dia taruh. Walau wajahnya tetap sama kusut ketika membaca tulisan dari kertas-kertas itu, kini ada sorot cemas saat menatap Hikaru.

“Ya?” tanya Yabu, suaranya sedikit tak keluar karena dia sudah lama diam.

Hikaru menatapnya sebentar. Sekarang memang bukan momen yang tepat untuk pertanyaannya, tapi dia tidak punya kegiatan lain selain berbicara dengan Yabu di tengah malam.

“Kalau nanti aku—”

“Tidak sekarang,” Yabu memotongnya lagi. “Tidak.”

Menghela napas, Hikaru kembali menutup mulutnya. Yabu pun tidak dapat kembali fokus pada kertas-kertas yang baru setengah dia baca. Pada akhirnya, Yabu memilih untuk keluar dari ruangan, membiarkan kertas-kertas itu masih berserakan di atas meja, meninggalkan Hikaru sendirian di sana.


Sore itu, mereka memutuskan untuk pergi ke luar. Tidak lagi berada di dalam ruangan yang semakin terasa sempit. Bebas dari keheningan yang hanya bisa diisi oleh suara televisi.

Sore itu, burung-burung terbang mengisi langit sesekali. Dalam sekelompok yang membentuk formasi. Sesekali mereka singgah pada pohon-pohon yang ada. Sesekali melirik Hikaru dan Yabu dengan mata yang penuh tanya sebelum kembali mengepakkan sayapnya.

Sore itu, Hikaru tidak bisa lagi menunda pertanyaannya.

“Yabu,” Hikaru menatap lelaki yang sedang sibuk menumpuk kayu-kayu untuk api unggun nanti. Dia tidak terlalu pandai melakukannya. Hikaru tahu betul seharusnya dia yang menyiapkan segalanya. Sayangnya, kali ini dia tidak bisa.

“Ya?”

Lucu, sebenarnya, karena bukan kali pertama atau kedua Hikaru melontarkan pertanyaan ini. Semua selalu dia awali dengan memanggil namanya, memberikannya pertanda dulu agar tahu apa yang Hikaru ingin ucapkan. Tidak memberi tanda juga sebetulnya Yabu pasti tahu. Lelaki itu mengenalnya lebih dari dirinya sendiri. Namun Yabu tidak pernah berubah, selalu menjawab panggilannya dengan suara dan intonasi yang sama.

“Aku tidak bisa menunggu lagi.” Hikaru dapat melihat sorot lain dalam tatapan Yabu. “Aku harus mendapat jawabanku.”

Yabu menaruh kayu yang dia pegang, membiarkannya tertumpuk di tengah-tengah mereka. Pemantik yang dia bawa kembali dimasukkan ke dalam saku. Tatapannya tidak berani mendekati Hikaru.

Tidak pernah ada momen yang pas. Karena Yabu tidak pernah siap. Begitu juga Hikaru. Namun ini bukan sesuatu yang dapat mereka tentukan.

“Kalau aku, nanti,” Hikaru menarik napas dalam-dalam, “nanti aku mati, butuh waktu berapa lama untukmu melupakanku?”

Suaranya pecah, rasanya sedikit tidak jelas di beberapa kata, tapi dia yakin Yabu mengerti. Bukan kali pertama dia menanyakan kalimat itu. Bukan kali pertama Yabu akan terdiam, tidak tahu balasan yang dapat dia beri, karena ... bagaimana? Bagaimana dia bisa lupa?

“Hikaru, aku—”

“Kamu tidak akan lupa,” helaan napas panjang Hikaru berikan, “tapi kamu harus lupa. Kamu harus bisa lupa.”

Kini Yabu menatapnya, diam, tidak membalas ujarannya. Hikaru tahu memori dirinya di dalam pikiran Yabu bukan dalam kendalinya, tapi dia ingin lelaki itu bisa lupa. Lupa, lalu melanjutkan hidupnya seperti yang seharusnya.

“Janji, kau harus lupa.” Hikaru mencoba berkata final, tidak ingin ada penolakan lagi. Kalau dia tidak bisa mendapat jawabannya, Yabu tidak bisa mendapat aksi protes.

Karena siap tidak siap, mau tidak mau, bisa tidak bisa—semua bukan dalam kendali mereka.

[#inoo, #takaki, dan slight #yabuhika serta onesided #yabunoo. sudah jelas lah ya ini ke mana arahnya. rpg au.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Satu peran dalam grup mereka umumnya dipegang oleh satu orang.

Misalnya peran fighter yang hanya dimiliki Yamada. Atau Yabu yang hanya menjadi paladin satu-satunya. Begitu juga dengan Daiki yang menjadi healer mereka. Semuanya dipegang oleh satu orang.

Namun ketika membicarakan peran pemegang sihir, ada Hikaru dan Inoo dalam grup mereka.

Sihir mereka tidak persis sama. Diajarkan dari orang yang berbeda juga, tentunya, sebab sihir selalu unik. Diberikan secara turun-temurun, namun semua orang akan memiliki ciri khas sihirnya sendiri.

Dalam kasus mereka, Hikaru lebih bisa menggunakan sihirnya untuk memberi damage secara langsung. Bisa juga menimbulkan elemen-elemen secara kehendak. Dan yang paling membedakan adalah tongkat milik Hikaru. Selalu ada di saku jaketnya. Tidak terlalu diperlukan juga, sebenarnya, sebab Hikaru tetap bisa menggunakan sihirnya dengan tangan kosong. Namun dia ingin memberikan perbedaan antara dirinya dan Inoo.

Sedangkan untuk Inoo sendiri, dia sebenarnya bisa saja melakukan apa yang bisa dilakukan Hikaru. Dia juga bisa memakai elemen-elemen tertentu sebagai kekuatannya untuk memberikan damage pada lawan. Hanya saja, dia kekuatan fisiknya tidak sehebat Hikaru.

Jadi untuk membantunya, Inoo akhirnya lebih fokus dengan sihir summon. Memanggil makhluk dari dimensi yang dibuatnya sendiri untuk membantunya. Dia yang membuat makhluk-makhluk itu sendiri, diberi nama satu per satu.

Yang menjadi masalah untuk Inoo hanya satu; Hikaru dan Yabu.

Entah siapa yang membuat keputusan ini menjadi mutlak, namun Hikaru selalu dipasangkan dengan Yabu. Keduanya akan mendapat misi bersama dan tentu menghabiskan waktu lebih banyak bersama pula.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Inoo punya sedikit perasaan kepada ketua (tidak resmi) tim mereka. Dan kini, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa Yabu sudah memilih Hikaru sebagai pasangannya.

Inoo tidak terang-terangan mengeluh.

Namun Takaki, walau dikatakan sangat tidak peka ketika berkaitan dengan perasaan, mengerti betul apa yang dirasakan temannya itu.

Karena Yabu dan Hikaru sudah menjadi pasangan tidak terelakkan, Chinen dan Keito masuk ke dalam daftar berikutnya. Lalu ada Daiki dan Yamada, disertai Yuto yang malang karena seringkali harus mengalah dan ikut dengan keduanya.

Menyisakan Takaki dengan Inoo.

Takaki tidak pernah menanyakan langsung kepada Inoo. Jelas karena Inoo sendiri tidak mau menjawab. Langsung mengalihkan pembicaraan mereka ke hal lain.

Yang Takaki hanya bisa lakukan hanya satu; berbicara pada sihir milik Inoo.

Makhluk-makhluk yang baru diciptakan Inoo biasanya akan ada dalam dimensi mereka selama beberapa waktu. Nantinya akan hilang sendiri ketika Inoo terlalu lelah atau fokusnya hilang. Terkadang juga dapat datang sendiri tanpa dipanggil. Takaki belum begitu mengerti mengenai kedatangan tiba-tiba makhluk milik Inoo.

Takaki pikir, makhluk tersebut merupakan bagian dari Inoo. Lebih tepatnya bagian dari sihir Inoo, tapi pasti mereka juga membawa emosi sang pencipta, bukan?

Mereka tidak bisa bicara. Hanya bisa bersuara. Tidak berbeda jauh sebetulnya dari hewan pada umumnya. Bentuknya saja yang sedikit aneh dan tidak biasa (semua tergantung pada imajinasi Inoo).

Namun Takaki bisa menebak dari ekspresi yang terlihat di wajah makhluk-makhluk itu. Sebut Takaki gila tidak apa-apa, tapi dia selalu berpikir makhluk tersebut mengekspresikan apa yang tidak bisa Inoo tunjukkan.

Oleh karena itu, biasanya kalau sudah melihat salah satu makhluk milik Inoo dengan ekspresi terlampau sedih, Takaki akan merangkulnya. Kalau ukurannya kecil, maka dia akan memeluknya atau menaruhnya dalam pangkuan. Mengajaknya bicara mengenai apa yang tidak bisa dia bicarakan pada Inoo secara langsung.