hiirei

takaki

[#yabu, #takaki, #inoo, dan #hikaru dalam #siblingau dengan umur inoo (10) dan hikaru (7) + yabu (14) dan takaki (12)]

Pada suatu masa, Hikaru sempat bergantung pada Kei.

Read more...

[#hikaru dan #daiki (+ #takaki), sibling au dengan umur hika (17) dan daiki (15), bahasa indonesia.]

Minggu itu, Hikaru dan Daiki yang mendapat tugas belanja.

Yuya sempat menatap ragu keduanya ketika mereka meminta kunci motor. Hikaru, baru saja berulang tahun beberapa bulan lalu, sudah mendapat kartu untuk mengemudi. Umur kartu itu belum lama. Hikaru baru saja lolos tes dan mendapatkannya minggu lalu.

Oleh karena itu, Yuya sedikit mempertimbangkan kondisi.

Yuya sendiri yang mengajari Hikaru mengendarai motor. Dia yang selalu ada ketika Hikaru panik untuk menyalip atau masuk ke jalur jalan raya. Dia yang ada ketika tangan Hikaru goyang, membuat motor mereka oleng, dan hampir menyentuh aspal. Dia juga yang ada ketika Hikaru mengambil tes mengemudi.

Dengan beberapa rayuan dan bujukan Daiki, serta Hikaru yang meyakinkan Yuya, akhirnya kunci itu diberikan. Tentu dengan peringatan yang diulang-ulang oleh si anak kedua, dijawab dengan anggukkan kedua adiknya.

Kei sempat melirik mereka curiga, sedikit meledek agar mereka tidak jatuh. Sayang soalnya, motor mereka baru saja dicuci olehnya.

Perjalanan dari rumah ke toko terdekat mereka lalui dengan mulus. Tidak ada hambatan, tangan Hikaru yang bergetar, atau kecemasan yang diutarakan si pengemudi. Daiki merasa lega. Dia sudah siap untuk menjadi mental support Hikaru hari ini, tapi akan lebih baik lagi jika kakaknya memang tidak membutuhkannya.

Daftar belanjaan yang diberi Kota sehari lalu berisi aneka barang. Mulai dari barang yang memang habis dan butuh dibeli, sampai barang-barang tidak jelas yang berasal dari permintaan tiga bungsu. Daiki dan Hikaru saling menatap. Sepakat untuk tidak sengaja melupakan barang-barang tidak penting itu. Kalau adik-adik mereka protes, mereka bisa pergi membeli semuanya sendiri.

“Kok jadi sebanyak ini, ya,” ucap Daiki, menjinjing tas belanjaan di tangan kanan dan kiri. Bawaan Hikaru tidak seberapa, takut oleng jika jinjingan pada stang motor terlalu berat.

“Soalnya memang banyak yang habis, kan,” Hikaru meliriknya, tidak menawarkan bantuannya untuk membawa sampai parkiran.

Sampai pada motor mereka, Hikaru mencantelkan jinjingannya pada kaitan stang motor. Namun, beberapa saat kemudian, dia meraih ke dalam jinjingan itu, mengeluarkan plastik khusus berisi telur.

“Kayaknya jangan di situ,” Hikaru menoleh pada Daiki, “takut kesenggol-senggol, nanti pecah.”

“Tasku udah penuh, gak bisa masuk,” protes Daiki, “yang ada jatuh di jalan nanti.”

Namun, belum sampai Daiki selesai berbicara, Hikaru tampak punya rencana lain. Dia membuka jok motor, lalu menaruh plastik telur itu di dalam bagasi. Untungnya, tempat itu pas, tidak ada telur yang harus tergencet ketika jok kembali ditutup.

“Ah, tapi mesinnya nanti panas, ya. Telurnya bakal jadi ayam, gak, ya?”

“Mana ada!” Daiki sebal, lebih kesal karena omongan kakaknya didengar beberapa orang yang lewat dan membuat mereka tertawa. Sebenarnya, dia juga ingin tertawa, tapi wajah Hikaru yang polos membuatnya refleks memarahi si kakak. “Udah, ayo, pulang.”

Selama perjalanan pulang, Daiki berdoa agar tidak ada apa-apa. Hikaru mengendarai dengan kecepatan sedang, atas perintah Daiki karena dia tetap harus menjinjing tas belanjaan di atas motor. Agak frustasi juga, kalau boleh jujur, karena tangannya terasa panas dan berkeringat, takut-takut jadi licin dan tasnya lepas dari pegangan.

“Hikaru,” Daiki memanggil, sedikit berteriak karena jalanan ramai.

Sayangnya, suara Daiki terlalu keras dan tiba-tiba, membuat kakaknya terkejut. Tangan Hikaru refleks memutar gas, membuat tubuh mereka sedikit tertarik ke belakang.

“Hikaru!” Daiki kembali berseru, sama sekali tidak membantu kakaknya yang sudah panik dan tidak tergerak untuk mengurangi kecepatan.

Beberapa kendaraan lain yang tadinya jauh, kini semakin dekat, bahkan Hikaru dapat menyusul dan mendahului mereka. Sesekali, terdapat beberapa klakson sebab Hikaru menyalip mereka yang memberi sein, tidak memperhatikan orang-orang yang memberi tanda berbelok.

“P-pelan-pelan,” mau tak mau, Daiki harus memandu kakaknya, tidak bisa juga minta Hikaru untuk mengerem mendadak dan membuat mereka jatuh, “pelan-pelan lepas gasnya.”

Daiki tidak yakin seberapa jelas Hikaru mendengarnya, namun perlahan dia merasakan kecepatan mereka berkurang. Jantungnya mulai sedikit tenang, walau masih berdegup kacau takut-takut Hikaru terkejut lagi.

Untungnya, sisa perjalanan pulang berlalu baik-baik saja. Hikaru tidak lagi terkejut, Daiki bungkam agar tidak mengagetkannya.

Ketika kakinya menyentuh halaman rumah, Daiki menghela napas panjang. Senyum lebar muncul. Dia masih hidup!

Mematikan mesin motor, Hikaru menoleh pada adiknya. Cengiran ada pada wajahnya dengan sedikit teror masih mewarnai ekspresi. Daiki tidak punya hati untuk mengomeli kakaknya. Dia juga sama-sama salah.

Mengambil belanjaan, serta tidak melupakan telur di bagasi, mereka berjalan menuju rumah.

“Gak jadi ayam, ya, ternyata,” ujar Hikaru, memecahkan keheningan di antara mereka.

Daiki hanya bisa tertawa lepas.

[#takaki, #yabu, dan #inoo. superpower + sibling au. bahasa indonesia.]

Dunia ini penuh rahasia magis.

Sebagian besar, rahasia tersebut masuk ke dalam tubuh manusia dan memberikan kemampuan tambahan untuk sehari-hari. Beberapa mendapat kemewahan berlebih, namun dengan kekurangan yang membuatnya harus tahu waktu berhenti.

Dunia ini penuh magis, seperti kedua mata Kei yang berbinar mempelajari segalanya. Magis memang tersimpan pada kedua iris cokelat itu, mampu membaca lebih baik suasana ruangan dan mengingat hal secara detail lebih baik dari rata-rata.

Kemampuan Kei membuatnya mendapat undangan belajar di sekolah-sekolah ternama. Fasilitas yang mewah dan memadai, disertai brosur dengan foto-foto siswa yang terlihat bangga menunjukkan kemampuannya. Binar yang ada pada senyum para siswa itu tidak asing, sama persis seperti yang ada pada Kei.

Jadi, Yuya tidak mengerti ketika Kei memutuskan untuk menanyakan keputusannya.

“Tidak apa-apa,” jawab Kei ketika Yuya melemparkan pertanyaannya kembali, “aku hanya ingin kita bersama saja. Kau akan ikut Kota, kan?”

Tidak berbeda jauh dari Kei, Kota juga ikut mendalami magis yang ada di dunia. Semua informasi yang ada di dunia rasanya tersimpan pula pada pikiran Kota. Namun, hanya informasi-informasi penting yang bertahan lama dalam memorinya. Kota selalu lupa dengan detail-detail yang dia anggap tidak penting.

Untungnya, Kota juga dapat memperbaiki suasana dengan cepat. Walau sering mendapat teguran dari orang lain karena kecerobohannya, tidak ada yang benar-benar dapat marah padanya.

Kota, sebagai yang tertua di antara mereka, selalu berada di garda depan dalam berjalan melalui apapun. Kehidupan juga. Dan Yuya mendapati dirinya selalu mengikuti jejak Kota.

Mungkin salah. Mungkin juga tidak apa-apa, seperti kata Kei yang tak jauh berbeda dengannya. Mereka berdua tidak terlalu suka dengan ide perpisahan. Sehebat apapun magis di luar sana, mereka perlu tempat kembali yang pasti.

Masalahnya ada pada Yuya.

Dia tidak pernah menceritakan kemampuannya pada siapapun. Mereka juga tidak pernah bertanya. Mungkin berharap suatu saat Yuya akan lengah dan tidak sengaja memperlihatkannya pada mereka. Mungkin berharap suatu saat terdapat tanda yang jelas sebagai petunjuk dari kemampuan Yuya.

Menurut Yuya, kemampuannya tidak terlalu muluk-muluk. Namun bukan juga sesuatu yang mudah untuk diabaikan.

Dia tidak perlu banyak berlatih seperti Kota yang terus-terusan berbicara, Kei yang menatap lekat orang-orang sekitarnya, atau Hikaru yang menghabiskan terlalu banyak kanvas dalam sehari. Bukan juga seperti Daiki yang harus menghemat senyumnya, Ryosuke yang membuat halaman mereka seperti perkebunan, Yuto yang harus diam agar tidak membuat angin topan, atau Yuri yang tidak boleh menatap orang terlalu lama.

Untuknya, dia hanya perlu pergi ke pantai. Dalam diam menyaksikan ombak yang pasang surut. Menunggu matahari ditelan laut dan kembali bersinar keesokan hari.

Untuknya, dia butuh ketenangan. Karena dunia bagi Yuya bukan magis. Hanya ada panas terik matahari atau awan mendung. Kicauan burung pada musim semi atau salju dingin menjelang natal.

Untuknya, dunia magis terlalu berlebihan.

[#inoo, #takaki, dan satu orang lain. non-idol au. bahasa indonesia.]

Malam itu, listrik kembali padam.

Inoo tahu ini bukan mati listrik serempak sebab dia dapat melihat lampu menerangi jalan dari jendela. Bukan juga perkara listrik yang diputus karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Bukan juga karena tegangan terlalu tinggi karena hanya ada dia sendiri di rumah.

Dan hal ini bukan kali pertama terjadi.

“Takaki?” Inoo memanggil, tidak beranjak dari kasurnya. Dia tidak yakin Takaki sudah pulang sebab dia tidak mendengar suara pintu. Pesan terakhir dari Takaki juga mengatakan bahwa teman serumahnya itu akan pulang lebih dari tengah malam.

Sekarang masih pukul sembilan.

Inoo tidak pernah tahu alasan listrik rumah mereka yang tiba-tiba padam. Tetangga mereka tidak pernah punya keluhan yang sama. Penggunaan listrik mereka juga tidak banyak, terlebih jika hanya ada Inoo di rumah.

Awalnya, Inoo kira temannya itu mengerjai dia. Kali pertama listrik padam di rumah mereka bertepatan dengan ulang tahun Inoo. Pikirnya, Takaki berencana memberikannya kejutan. Namun Takaki sama bingungnya dengan dia.

Mereka berdua akhirnya mengecek saklar listrik, memastikan alasan listrik padam. Lucunya, saklar tersebut seakan sengaja dimatikan. Hanya butuh dinyalakan kembali. Tidak ada kerusakan lain.

Inoo sudah lama mengenal Takaki. Mereka bersama sejak SMP sampai sekarang. Keduanya memutuskan menyewa satu rumah bersama agar biaya lebih murah. Inoo tahu Takaki bukan tipe orang yang jahil, jadi dia tidak mencurigainya kali kedua dan ketiga hal tersebut terjadi.

Lalu siapa?

Tiga kali pertama listrik padam tanpa sebab, tidak ada hal aneh lainnya yang terjadi. Namun kali keempat dan seterusnya, mereka menemukan beberapa barang yang tiba-tiba muncul, khususnya di kamar Inoo.

Awalnya hanya berupa bunga, mulai dari setangkai hingga satu buket. Lalu berlanjut menjadi barang-barang yang Inoo tidak sengaja lihat dari etalase toko ketika dia pergi di siang hari. Beberapa barang itu memang ingin Inoo beli, namun urung karena dia merasa tidak terlalu memerlukannya atau menunggu waktu gajian datang.

Takaki tidak percaya bahwa bukan Inoo yang membeli itu semua. Karena kalau bukan Inoo, dan bukan juga Takaki, artinya ada orang lain yang masuk dan menaruhnya. Artinya, ketika listrik padam dan mereka berdua keluar untuk menyalakan saklar, ada orang yang menyelinap masuk.

Inoo menarik napas dalam, sedikit menyesal tidak jadi tidur cepat malam itu. Kalau dia sudah tidur, setidaknya dia tidak harus jalan keluar dan menyalakan listrik sendiri. Apalagi dengan kemungkinan ada orang yang menyelinap masuk ....

Mendengarkan keadaan sekitar dalam gelap, tidak ada suara lain selain napasnya yang sedikit berat. Dia yakin sudah mengunci pintu depan beberapa waktu lalu. Jendela yang ada di sekitar rumah juga sudah dia tutup rapat. Haruskah dia berjalan keluar untuk menyalakan listrik atau menunggu Takaki saja?

Jarinya mengetuk-ketuk ponsel. Dia tidak terlalu masalah bertahan tanpa listrik untuk beberapa jam. Ada lampu darurat di kamarnya, cukup untuk memberinya penerangan sementara. Lagipula, dia bisa saja tidur setelah ini.

Memutuskan membiarkan Takaki yang menyalakan listrik, Inoo mengirimkan pesan untuk temannya. Balasan Takaki datang tidak lama, memberi tahu Inoo dia akan berusaha lebih cepat pulang.

Inoo kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dia ingin meraih lampu darurat yang ada di atas meja, tapi tidak ingin bergerak ke mana-mana juga. Dia tidak terlalu butuh suasana terang untuk tidur, jadi seharusnya tidak apa-apa jika dia tidak menggunakan lampu itu, kan?

Tangannya meraih earphone yang berada tak jauh dari posisinya. Suasana yang terlalu hening membuatnya tidak nyaman. Mungkin dengan musik menemaninya, dia akan lebih mudah tertidur. Berharap semua cepat berlalu dan dia akan bangun di pagi yang cerah.

Sayangnya, dengan kedua telinga diisi musik, Inoo tidak mendengar suara pintu kamar yang dibuka. Tidak juga mendengar pintu itu kembali ditutup.

Yang dia tahu hanyalah rasa seseorang naik ke atas kasurnya, mengisi sisi yang dia tidak tempati. Yang dia rasakan hanyalah tangan seseorang mendekapnya, menahan tangannya untuk meraih ponsel yang dia taruh di meja samping kasurnya.

Yang dia tahu hanyalah orang ini adalah orang yang selama ini menyelinap masuk setiap lampu padam.

[#takaki & #yuto + #inoo dikit, sibling au yang belum ada namanya, bahasa indonesia baku gak baku.]

“Yuuuyaaa.”

Yuya menghela napas. Tatapannya tetap tertuju pada lembaran soal di hadapannya, berusaha mengabaikan adiknya yang berdiri di sampingnya, memanggil namanya terus-menerus sejak sepuluh menit lalu.

Sesekali, Yuto akan diam, ikut menatap soal yang sedang dikerjakan Yuya. Walau begitu, tetap saja dia tidak bisa fokus. Napas Yuto di sisi wajahnya terlalu keras, mungkin memang sengaja, dan Yuya tidak bisa berpikir dengan distraksi seperti itu.

Kalau tidak mengerti tulisan di lembaran soal Yuya, Yuto akan mencolek-colek lengannya. Awalnya pelan, Yuya sedikit geli juga karena colekannya samar, tapi lama-kelamaan lebih seperti ditusuk jari-jari kecil.

Yuya tidak bisa protes. Tidak bisa menyuruhnya berhenti. Jika Yuya membuka mulutnya, secara otomatis dia akan menanggapi Yuto, dan adiknya akan lebih berisik ketika ditanggapi.

Jadi, Yuya diam. Dalam hati agak berharap Kei yang sedang duduk di sofa ruang tamu dapat membantunya. Biasanya Kei suka menimpali Yuto, setia mendengarkan celotehannya walau mungkin tidak sepenuhnya dia cermati juga. Namun sejak awal Yuto datang dan mengganggunya, Kei sama sekali tidak menoleh. Pandangannya tetap tertuju pada layar televisi yang menayangkan suatu film.

“Kak Yuyaa,” Yuto kembali memanggilnya, “memangnya kakak gak capek baca soal terus?”

Tentu saja capek. Dia tidak benar-benar ingin mengerjakan soal ini juga, kalau dia mau. Namun tenggat tugasnya besok, mau tak mau harus dia kerjakan sekarang untuk mendapat nilai. Dia tidak ingin Kota mengomelinya lagi sepanjang satu jam penuh hanya karena dia lupa menyerahkan tugasnya beberapa waktu lalu.

Dan tentu dia lebih capek lagi sekarang, dengan Yuto mengganggunya.

Mencoba menahan helaan napas, Yuya membaca ulang soal yang dia kerjakan. Yuto, menyadari dia mengabaikannya lagi, mulai memberikan wajah sedihnya sambil menaruh wajahnya di meja agar Yuya dapat melihatnya.

Perlahan, dia tidak tega juga. Hari ini, Ryosuke dan Yuri sedang diajak pergi dengan Kota dan Daiki. Yuto yang dibangunkan sebelumnya menolak ikut karena masih setengah sadar, lalu menyesal setelah dia benar-benar bangun dan tahu kalau dia ditinggal pergi. Hikaru sedang ada kerja kelompok, pergi bersama yang lainnya. Tersisa Yuya yang mengerjakan tugas dan Kei yang menonton televisi di rumah.

“Yuuyaa,” Yuto mulai meremat lengan bajunya, menariknya pelan, “soalnya susah, ya? Habisnya dari aku datang masih belum dikerjakan juga.”

Terdengar tawa dari arah ruang tamu, tapi cepat-cepat dialihkan menjadi suara batuk. Yuya memutar bola matanya. Kei pasti sengaja membiarkan Yuto mengganggunya, mungkin bahkan dia yang menyuruh Yuto. Menyebalkan.

“Sebentar saja, deh,” jari-jari itu mencolek lengannya, “sebentar saja, nanti kak Yuya bisa ngerjain soalnya lagi.”

Yuya tidak bisa mempercayai kalimat itu sepenuhnya. Bukan kali pertama Yuto mengganggunya, jadi bukan hal baru mendengar kalimat itu diucapkan. Walau begitu, dia sudah lelah juga menatap soal ini, belum menemukan jawabannya juga. Tidak ada salahnya dia meluangkan waktu sebentar untuk menanggapi adiknya.

Menaruh pulpennya di atas meja, Yuya akhirnya menoleh ke arah Yuto. Senyum lebar muncul di wajah adiknya, senang akhirnya dia berhasil juga mendapat perhatian Yuya.

“Apa?” tanya Yuya.

“Ini,” Yuto menaruh sesuatu di atas meja Yuya, di atas lembaran soalnya, “aku menangkapnya tadi.”

Tidak butuh waktu lama untuk Yuya menyadari benda yang ditaruh adiknya. Tidak butuh melihat jelas juga. Yang Yuya tahu, benda itu punya tanduk serta kaki yang cukup panjang. Cukup dengan mengetahui dua hal itu, dia langsung berdiri dari kursinya dan berlari keluar kamar disertai jeritan.

“Ih, kak Yuya,” Yuto mengambil benda itu, kumbang badak, dan menaruhnya di atas telapak tangan sambil berjalan menyusul Yuya, “jangan teriak gitu, nanti dia takut.”

Tentu Yuya segera berlari menjauh, tidak ingin Yuto mendekatinya selagi kumbang itu masih ada. Kei yang kini memperhatikannya tersenyum lebar, persis sama seperti senyuman Yuto.

“Kamu, ya,” Yuya menatap Kei sebentar, atensinya tetap dia beri pada Yuto agar tetap menjaga jarak mereka, “kamu yang kasih ide, kan?”

“Kupikir kamu butuh refreshing dari mengerjakan tugas,” Kei menjawab tanpa merasa bersalah, “lihat alam sesekali, Yuya.”

Yuya tidak sempat membalas karena Yuto mulai berlari ke arahnya. Dia hanya berharap Kota atau Hikaru cepat datang, karena hanya mereka berdua yang dapat dia harapkan untuk menolongnya.

[ #takaki, #yabu, dan yang lainnya; sibling au; bahasa indonesia.] [note: baru sadar kan mestinya karena sekeluarga jadi nama belakangnya sama ... jadi mulai sekarang semua disebut dengan nama depan :)]

Yuya cinta dengan laut. Atau pantai dengan pasir seratnya. Atau laut dan pantai dengan ketenangannya yang tak bisa dia dapatkan di rumah.

Tinggal bersama tujuh kepala lain bukan hal mudah. Rumah mereka tidak sempit-sempit amat, cukup untuk masing-masing anggota punya kamar sendiri, sangat memungkinkan mereka hidup dalam kotak masing-masing.

Namun keluarganya tidak mengerti batas privasi. Pintu tertutup bukan menjadi pertanda untuk dijauhi, melainkan untuk diketuk dan didobrak, khususnya oleh adik-adik kecilnya yang suka kurang ajar. Tidak sekali dua-kali Yuya mengomel, meneriaki mereka untuk keluar, serta mengejar mereka jika ada barangnya yang diambil. Walau umurnya sudah menginjak belasan dan dia harus bersikap dewasa sebagai anak kedua, bukan berarti dia menghentikan sikapnya itu.

Jadi, dalam upaya mengurangi aura negatif di rumah, serta menghindari tatapan kakaknya yang meminta agar dia menahan diri untuk tidak baku hantam, dia pergi. Sesekali naik kereta tanpa tahu tujuannya, berusaha terlihat tidak tersesat ketika turun di tempat asing, lalu mencari-cari jalan pulang alternatif sebelum malam tiba. Sayangnya, Yuya tidak punya banyak keberuntungan. Mayoritas upayanya berakhir dengan Yabu menjemputnya, lalu mendengar omelan si kakak yang panjang lebar di jalan pulang.

Kali lain, dia mengunjungi pantai yang sebenarnya cukup jauh dari rumah. Butuh perjalanan dua jam untuk sampai di sini; naik bus umum, dilanjutkan kereta ke stasiun terdekat, lalu berjalan sepuluh menit untuk sampai ke tepi pantai.

Pantai itu pertama kali dia datangi dengan Yabu, beberapa tahun lalu dengan sembunyi-sembunyi, meninggalkan yang lain tanpa kata di rumah.

“Ini bisa jadi tempatmu,” Yuya ingat Yabu berucap dulu, “kalau kau ingin cari tenang, pergilah ke sini. Jadi aku tidak perlu repot mencarimu.”

Dia ingat suara Yabu dibalut dengan kekesalan yang dibuat-buat. Menurutnya, Yabu hanya khawatir dia akan pergi terlalu jauh dan kakaknya tidak bisa menemukannya. Atau mungkin, Yabu hanya tahu bahwa dia suka pantai dan sudah lama ingin menemukan tempat yang bagus untuk menyendiri.

Yabu tahu segalanya, bahkan hal-hal yang tidak terucap. Agak mengerikan, menurut Yuya.

“Kak Yuyaa,” dia merasakan lengannya dicolek jemari kecil, “katanya mau berselancar. Ayoo.”

Menoleh ke sampingnya, dia dihadapi oleh Yuri, jemarinya masih mencolek-colek pelan lengannya. Di belakangnya, ada Daiki dan Yuto yang punya tatapan sama; berbinar, menunggu kesempatan untuk diajak dan diajari cara berselancar.

“Kamu, sih, lihat saja,” Yuto menyambar, melirik pada adik bungsu mereka, “nanti kamu tenggelam.”

“Aku sudah bisa berenang!” bela Yuri, menoleh pada kakaknya dengan wajah sedikit sebal. Yuya ingin tertawa; mudah rasanya sebal dengan Yuto, padahal tidak ada yang salah dengan perkataannya.

“Tapi kamu kan masih pendek. Airnya kan dalam.”

Tentu topik ini bukan topik yang baik untuk dibicarakan. Walau paling kecil, Yuri sudah tahu cara melawan pada Yuto yang lebih besar darinya. Yuto sendiri tidak pernah belajar dari pengalaman, selalu saja memancing Yuri di setiap kesempatan yang ada, lalu mengadu pada yang lain ketika adik bungsu mereka mulai menyerang.

“Kak Yuyaa,” Yuto berlari cepat, menjadikan tubuh Yuya sebagai tameng dari Yuri, “dia galak!”

“Aku gak galak kalau kamunya gak nyebelin!”

Melirik pada adiknya yang lain, Yuya melihat Daiki masih berdiri di tempat awalnya, matanya mengikuti pergerakan kedua adik mereka secara bergantian. Lebih-lebih dari Yuya, Daiki lebih pintar dalam menyelesaikan pertengkaran, khususnya yang seperti ini.

“Sudah, sudah,” Daiki akhirnya mengulurkan tangan, meraih Yuri dan menghentikan pergerakannya. Kedua tangan masih memegang Yuri, tatapannya beralih pada sosok di balik Yuya. “Yuto, minta maaf dulu.”

“Tapi aku kan gak salah,” Yuto menolehkan kepalanya agar melihat Daiki dan Yuri, “dia gak bakal diajak berselancar, kan?”

Mendengar pertanyaan Yuto, tatapan Daiki beralih pada Yuya. Bukan keputusan Daiki untuk mengajak atau meninggalkan Yuri. Yang akan mengajari mereka berselancar adalah Yuya, jadi dia juga yang harus membuat keputusan.

Awalnya, Yuya hanya ingin berselancar sendiri. Dia sudah berencana sejak ujian sekolah dilaksanakan, kira-kira dua minggu lalu. Ingin memberi hadiah pada diri sendiri, dia menggunakan uang tabungannya untuk membeli papan selancar (tentu hal ini juga sudah disetujui Yabu).

Sayangnya, kemarin rencana berselancarnya ini ketahuan. Bukan oleh Yabu, bukan juga oleh papan selancar yang dia beli, melainkan Kei yang tiba-tiba keceplosan saat makan malam.

“Eh? Kukira kita akan pergi bersama,” ucap Kei, wajah tanpa ekspresi signifikan yang dapat Yuya ketahui, membuatnya merasa mungkin adiknya ini mempermainkannya. “Habisnya dua minggu ini kau terlihat seperti orang yang bersiap-siap ingin ke pantai.”

Selain Yabu yang punya insting tahu segalanya, Kei juga mewarisi pengetahuan serupa. Ada saja yang dia ketahui, tapi selalu terlihat seakan tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba saja suatu saat akan diumumkan kepada seluruh anggota keluarga mereka. Lebih mengerikan dari Yabu.

Karena itulah, hari ini semuanya ikut pergi. Adik-adiknya tentu bersemangat, terlebih ketika melihat papan selancarnya yang baru. Daiki dan Yuto langsung mendesaknya untuk mengajarkan mereka, terus-menerus sejak kemarin, sampai Yuya mengiyakan karena tidak tahan dengan suara mereka.

Rencananya dia akan diam-diam saja berselancar. Ketika yang lain sibuk makan atau ganti baju, dia sudah berencana untuk kabur dengan papan selancarnya, lalu berselancar sendiri. Tidak peduli jika adik-adiknya akan nekat menyusul. Selama ada Yabu, situasi pasti akan aman dan kakaknya pasti akan menahan adik-adiknya untuk menyentuh air terlalu dalam.

Sayangnya, rencana yang dia buat biasanya selalu digagalkan oleh adik-adiknya.

“Yuri boleh ikut,” Yuya menghela napas panjang, disambut dengan sorakan gembira si bungsu dan protes dari adik di belakangnya, “nanti satu papan denganku. Asal jangan banyak bergerak ketika sudah di tengah-tengah, ya.”

Papan selancar yang awalnya hanya satu untuk Yuya akhirnya menjadi dua. Yabu membeli satu lagi, tahu adik-adiknya pasti ingin mengikuti Yuya ke laut.

“Okee!” Yuri tersenyum lebar. “Ayo, ayo!”

Menghela napas kembali, Yuya mengambil papan selancarnya dan berjalan ke arah laut. Lautnya yang hening kini dicampur oleh keluarganya yang bising.

[#inoo, #takaki, dan slight #yabuhika serta onesided #yabunoo. sudah jelas lah ya ini ke mana arahnya. rpg au.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Satu peran dalam grup mereka umumnya dipegang oleh satu orang.

Misalnya peran fighter yang hanya dimiliki Yamada. Atau Yabu yang hanya menjadi paladin satu-satunya. Begitu juga dengan Daiki yang menjadi healer mereka. Semuanya dipegang oleh satu orang.

Namun ketika membicarakan peran pemegang sihir, ada Hikaru dan Inoo dalam grup mereka.

Sihir mereka tidak persis sama. Diajarkan dari orang yang berbeda juga, tentunya, sebab sihir selalu unik. Diberikan secara turun-temurun, namun semua orang akan memiliki ciri khas sihirnya sendiri.

Dalam kasus mereka, Hikaru lebih bisa menggunakan sihirnya untuk memberi damage secara langsung. Bisa juga menimbulkan elemen-elemen secara kehendak. Dan yang paling membedakan adalah tongkat milik Hikaru. Selalu ada di saku jaketnya. Tidak terlalu diperlukan juga, sebenarnya, sebab Hikaru tetap bisa menggunakan sihirnya dengan tangan kosong. Namun dia ingin memberikan perbedaan antara dirinya dan Inoo.

Sedangkan untuk Inoo sendiri, dia sebenarnya bisa saja melakukan apa yang bisa dilakukan Hikaru. Dia juga bisa memakai elemen-elemen tertentu sebagai kekuatannya untuk memberikan damage pada lawan. Hanya saja, dia kekuatan fisiknya tidak sehebat Hikaru.

Jadi untuk membantunya, Inoo akhirnya lebih fokus dengan sihir summon. Memanggil makhluk dari dimensi yang dibuatnya sendiri untuk membantunya. Dia yang membuat makhluk-makhluk itu sendiri, diberi nama satu per satu.

Yang menjadi masalah untuk Inoo hanya satu; Hikaru dan Yabu.

Entah siapa yang membuat keputusan ini menjadi mutlak, namun Hikaru selalu dipasangkan dengan Yabu. Keduanya akan mendapat misi bersama dan tentu menghabiskan waktu lebih banyak bersama pula.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Inoo punya sedikit perasaan kepada ketua (tidak resmi) tim mereka. Dan kini, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa Yabu sudah memilih Hikaru sebagai pasangannya.

Inoo tidak terang-terangan mengeluh.

Namun Takaki, walau dikatakan sangat tidak peka ketika berkaitan dengan perasaan, mengerti betul apa yang dirasakan temannya itu.

Karena Yabu dan Hikaru sudah menjadi pasangan tidak terelakkan, Chinen dan Keito masuk ke dalam daftar berikutnya. Lalu ada Daiki dan Yamada, disertai Yuto yang malang karena seringkali harus mengalah dan ikut dengan keduanya.

Menyisakan Takaki dengan Inoo.

Takaki tidak pernah menanyakan langsung kepada Inoo. Jelas karena Inoo sendiri tidak mau menjawab. Langsung mengalihkan pembicaraan mereka ke hal lain.

Yang Takaki hanya bisa lakukan hanya satu; berbicara pada sihir milik Inoo.

Makhluk-makhluk yang baru diciptakan Inoo biasanya akan ada dalam dimensi mereka selama beberapa waktu. Nantinya akan hilang sendiri ketika Inoo terlalu lelah atau fokusnya hilang. Terkadang juga dapat datang sendiri tanpa dipanggil. Takaki belum begitu mengerti mengenai kedatangan tiba-tiba makhluk milik Inoo.

Takaki pikir, makhluk tersebut merupakan bagian dari Inoo. Lebih tepatnya bagian dari sihir Inoo, tapi pasti mereka juga membawa emosi sang pencipta, bukan?

Mereka tidak bisa bicara. Hanya bisa bersuara. Tidak berbeda jauh sebetulnya dari hewan pada umumnya. Bentuknya saja yang sedikit aneh dan tidak biasa (semua tergantung pada imajinasi Inoo).

Namun Takaki bisa menebak dari ekspresi yang terlihat di wajah makhluk-makhluk itu. Sebut Takaki gila tidak apa-apa, tapi dia selalu berpikir makhluk tersebut mengekspresikan apa yang tidak bisa Inoo tunjukkan.

Oleh karena itu, biasanya kalau sudah melihat salah satu makhluk milik Inoo dengan ekspresi terlampau sedih, Takaki akan merangkulnya. Kalau ukurannya kecil, maka dia akan memeluknya atau menaruhnya dalam pangkuan. Mengajaknya bicara mengenai apa yang tidak bisa dia bicarakan pada Inoo secara langsung.