[#yabu, #takaki, #inoo, dan #hikaru dalam #siblingau dengan umur inoo (10) dan hikaru (7) + yabu (14) dan takaki (12)]
Pada suatu masa, Hikaru sempat bergantung pada Kei.
[#takaki, #yabu, dan #inoo. superpower + sibling au. bahasa indonesia.]
Dunia ini penuh rahasia magis.
Sebagian besar, rahasia tersebut masuk ke dalam tubuh manusia dan memberikan kemampuan tambahan untuk sehari-hari. Beberapa mendapat kemewahan berlebih, namun dengan kekurangan yang membuatnya harus tahu waktu berhenti.
Dunia ini penuh magis, seperti kedua mata Kei yang berbinar mempelajari segalanya. Magis memang tersimpan pada kedua iris cokelat itu, mampu membaca lebih baik suasana ruangan dan mengingat hal secara detail lebih baik dari rata-rata.
Kemampuan Kei membuatnya mendapat undangan belajar di sekolah-sekolah ternama. Fasilitas yang mewah dan memadai, disertai brosur dengan foto-foto siswa yang terlihat bangga menunjukkan kemampuannya. Binar yang ada pada senyum para siswa itu tidak asing, sama persis seperti yang ada pada Kei.
Jadi, Yuya tidak mengerti ketika Kei memutuskan untuk menanyakan keputusannya.
“Tidak apa-apa,” jawab Kei ketika Yuya melemparkan pertanyaannya kembali, “aku hanya ingin kita bersama saja. Kau akan ikut Kota, kan?”
Tidak berbeda jauh dari Kei, Kota juga ikut mendalami magis yang ada di dunia. Semua informasi yang ada di dunia rasanya tersimpan pula pada pikiran Kota. Namun, hanya informasi-informasi penting yang bertahan lama dalam memorinya. Kota selalu lupa dengan detail-detail yang dia anggap tidak penting.
Untungnya, Kota juga dapat memperbaiki suasana dengan cepat. Walau sering mendapat teguran dari orang lain karena kecerobohannya, tidak ada yang benar-benar dapat marah padanya.
Kota, sebagai yang tertua di antara mereka, selalu berada di garda depan dalam berjalan melalui apapun. Kehidupan juga. Dan Yuya mendapati dirinya selalu mengikuti jejak Kota.
Mungkin salah. Mungkin juga tidak apa-apa, seperti kata Kei yang tak jauh berbeda dengannya. Mereka berdua tidak terlalu suka dengan ide perpisahan. Sehebat apapun magis di luar sana, mereka perlu tempat kembali yang pasti.
Masalahnya ada pada Yuya.
Dia tidak pernah menceritakan kemampuannya pada siapapun. Mereka juga tidak pernah bertanya. Mungkin berharap suatu saat Yuya akan lengah dan tidak sengaja memperlihatkannya pada mereka. Mungkin berharap suatu saat terdapat tanda yang jelas sebagai petunjuk dari kemampuan Yuya.
Menurut Yuya, kemampuannya tidak terlalu muluk-muluk. Namun bukan juga sesuatu yang mudah untuk diabaikan.
Dia tidak perlu banyak berlatih seperti Kota yang terus-terusan berbicara, Kei yang menatap lekat orang-orang sekitarnya, atau Hikaru yang menghabiskan terlalu banyak kanvas dalam sehari. Bukan juga seperti Daiki yang harus menghemat senyumnya, Ryosuke yang membuat halaman mereka seperti perkebunan, Yuto yang harus diam agar tidak membuat angin topan, atau Yuri yang tidak boleh menatap orang terlalu lama.
Untuknya, dia hanya perlu pergi ke pantai. Dalam diam menyaksikan ombak yang pasang surut. Menunggu matahari ditelan laut dan kembali bersinar keesokan hari.
Untuknya, dia butuh ketenangan. Karena dunia bagi Yuya bukan magis. Hanya ada panas terik matahari atau awan mendung. Kicauan burung pada musim semi atau salju dingin menjelang natal.
Untuknya, dunia magis terlalu berlebihan.
[#inoo, #takaki, dan satu orang lain. non-idol au. bahasa indonesia.]
Malam itu, listrik kembali padam.
Inoo tahu ini bukan mati listrik serempak sebab dia dapat melihat lampu menerangi jalan dari jendela. Bukan juga perkara listrik yang diputus karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Bukan juga karena tegangan terlalu tinggi karena hanya ada dia sendiri di rumah.
Dan hal ini bukan kali pertama terjadi.
“Takaki?” Inoo memanggil, tidak beranjak dari kasurnya. Dia tidak yakin Takaki sudah pulang sebab dia tidak mendengar suara pintu. Pesan terakhir dari Takaki juga mengatakan bahwa teman serumahnya itu akan pulang lebih dari tengah malam.
Sekarang masih pukul sembilan.
Inoo tidak pernah tahu alasan listrik rumah mereka yang tiba-tiba padam. Tetangga mereka tidak pernah punya keluhan yang sama. Penggunaan listrik mereka juga tidak banyak, terlebih jika hanya ada Inoo di rumah.
Awalnya, Inoo kira temannya itu mengerjai dia. Kali pertama listrik padam di rumah mereka bertepatan dengan ulang tahun Inoo. Pikirnya, Takaki berencana memberikannya kejutan. Namun Takaki sama bingungnya dengan dia.
Mereka berdua akhirnya mengecek saklar listrik, memastikan alasan listrik padam. Lucunya, saklar tersebut seakan sengaja dimatikan. Hanya butuh dinyalakan kembali. Tidak ada kerusakan lain.
Inoo sudah lama mengenal Takaki. Mereka bersama sejak SMP sampai sekarang. Keduanya memutuskan menyewa satu rumah bersama agar biaya lebih murah. Inoo tahu Takaki bukan tipe orang yang jahil, jadi dia tidak mencurigainya kali kedua dan ketiga hal tersebut terjadi.
Lalu siapa?
Tiga kali pertama listrik padam tanpa sebab, tidak ada hal aneh lainnya yang terjadi. Namun kali keempat dan seterusnya, mereka menemukan beberapa barang yang tiba-tiba muncul, khususnya di kamar Inoo.
Awalnya hanya berupa bunga, mulai dari setangkai hingga satu buket. Lalu berlanjut menjadi barang-barang yang Inoo tidak sengaja lihat dari etalase toko ketika dia pergi di siang hari. Beberapa barang itu memang ingin Inoo beli, namun urung karena dia merasa tidak terlalu memerlukannya atau menunggu waktu gajian datang.
Takaki tidak percaya bahwa bukan Inoo yang membeli itu semua. Karena kalau bukan Inoo, dan bukan juga Takaki, artinya ada orang lain yang masuk dan menaruhnya. Artinya, ketika listrik padam dan mereka berdua keluar untuk menyalakan saklar, ada orang yang menyelinap masuk.
Inoo menarik napas dalam, sedikit menyesal tidak jadi tidur cepat malam itu. Kalau dia sudah tidur, setidaknya dia tidak harus jalan keluar dan menyalakan listrik sendiri. Apalagi dengan kemungkinan ada orang yang menyelinap masuk ....
Mendengarkan keadaan sekitar dalam gelap, tidak ada suara lain selain napasnya yang sedikit berat. Dia yakin sudah mengunci pintu depan beberapa waktu lalu. Jendela yang ada di sekitar rumah juga sudah dia tutup rapat. Haruskah dia berjalan keluar untuk menyalakan listrik atau menunggu Takaki saja?
Jarinya mengetuk-ketuk ponsel. Dia tidak terlalu masalah bertahan tanpa listrik untuk beberapa jam. Ada lampu darurat di kamarnya, cukup untuk memberinya penerangan sementara. Lagipula, dia bisa saja tidur setelah ini.
Memutuskan membiarkan Takaki yang menyalakan listrik, Inoo mengirimkan pesan untuk temannya. Balasan Takaki datang tidak lama, memberi tahu Inoo dia akan berusaha lebih cepat pulang.
Inoo kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dia ingin meraih lampu darurat yang ada di atas meja, tapi tidak ingin bergerak ke mana-mana juga. Dia tidak terlalu butuh suasana terang untuk tidur, jadi seharusnya tidak apa-apa jika dia tidak menggunakan lampu itu, kan?
Tangannya meraih earphone yang berada tak jauh dari posisinya. Suasana yang terlalu hening membuatnya tidak nyaman. Mungkin dengan musik menemaninya, dia akan lebih mudah tertidur. Berharap semua cepat berlalu dan dia akan bangun di pagi yang cerah.
Sayangnya, dengan kedua telinga diisi musik, Inoo tidak mendengar suara pintu kamar yang dibuka. Tidak juga mendengar pintu itu kembali ditutup.
Yang dia tahu hanyalah rasa seseorang naik ke atas kasurnya, mengisi sisi yang dia tidak tempati. Yang dia rasakan hanyalah tangan seseorang mendekapnya, menahan tangannya untuk meraih ponsel yang dia taruh di meja samping kasurnya.
Yang dia tahu hanyalah orang ini adalah orang yang selama ini menyelinap masuk setiap lampu padam.
[#daiki dan #inoo, sekolahan au, bahasa indonesia.]
Daiki tidak terlalu suka hantu, tapi tidak takut juga. Sayangnya, semesta memaksanya untuk hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk tembus tembok itu.
Benar, semua orang di muka bumi ini juga sebetulnya hidup berdampingan. Pada pojok-pojok ruangan, tempat gelap, atau bahkan lorong yang sepi—semua manusia juga pasti pernah berpapasan dengan mereka.
Hanya saja, manusia lain punya keberkatan atas ketidaktahuan.
Daiki, sialnya, diberi anugerah berupa penglihatan.
Makhluk-makhluk itu ada di hampir segala tempat. Dia sudah hilang hitungan akan kali terkejut mendapati pemandangan yang tidak normal. Apalagi di saat-saat yang tidak tepat.
Beberapa kali, dia ingin sekali marah. Segala makhluk itu tahu dia dapat melihat mereka. Tentu karena ulahnya sendiri, seringkali tidak sengaja bertemu pandang dengan mereka. Bukan karena dia ingin, tapi karena dia sendiri tidak terlalu dapat membedakan mana yang hidup dan mati.
Sekilas, mereka tidak terlalu berbeda. Pada wujud normal, mereka akan terlihat sesuai rupa ketika hidup. Mereka akan berjalan, lari, duduk—semuanya terlihat sama.
Yang beda adalah reaksi mereka ketika bertatapan dengan Daiki.
Mereka akan terlihat senang, lalu mengejar-kejar Daiki tanpa henti. Sulitnya menjadi makhluk hidup, tidak banyak tempat untuk bersembunyi. Tidak ada kekuatan untuk menghilangkan diri. Jadi, tentu, dia harus terus berlari.
Tidak hanya melihat yang sudah tiada, Daiki juga dapat merasakan pertanda orang-orang yang hidup akan mendekati ajal. Mungkin keseringan berinteraksi dengan kematian membuatnya punya ikatan dekat. Namun bukan berarti mendapat bocoran rahasia alam adalah hal menyenangkan.
Sebab mungkin, jika Daiki hanyalah manusia normal, dia tidak harus repot-repot mengatur ekspresinya ketika berhadapan dengan si murid baru.
Awalnya, Daiki tidak terlalu sadar bahwa pertanda tersebut menunjukkan kematian akan menjemput seseorang. Dia pikir, aura gelap yang menyelimuti seseorang hanyalah gambaran perasaan orang tersebut. Atau mungkin hantu yang menempel. Terlalu banyak agenda gaib yang membuatnya lelah untuk peduli.
Setelah berturut-turut mendengar kabar kematian terkait orang-orang itu, Daiki sadar bahwa aura gelap yang dia lihat bukan sebatas perasaan atau hantu. Yang dia lihat adalah kematian itu sendiri, menjerat orang beberapa waktu sebelum mereka mati.
Dan, sialnya, dia melihat aura itu pada si murid baru.
“Ada apa?” Murid baru itu, Inoo namanya, bertanya. Tanpa sadar, Daiki menatapnya terlalu lama dalam diam.
“Tidak,” Daiki mengalihkan pandangannya, “tidak ada apa-apa.”
Kau hanya akan mati sebentar lagi, pikir Daiki. Bukan berarti dia dapat mengatakan atau mencegahnya juga. Semua yang diatur alam tidak dapat dia ganggu.
Sama halnya takdir Daiki ke depannya, yang tanpa dia ketahui akan terikat dengan si murid baru lebih jauh dari yang dia kira.
[#yamada, #hikaru, dan #inoo. sibling au dengan umur yamada 6, hikaru 10, dan inoo 12. bahasa indonesia.]
Ryosuke dikenal sebagai orang yang tahu jalan.
Mungkin karena terlalu sering berpetualang sejak kecil, alasannya bermain ke taman tapi melalangbuana hingga hutan kota seberang. Mungkin karena dia selalu bisa menemukan arah pulang tanpa kecuali. Mungkin karena wajahnya juga meyakinkan kalau ditanya.
Tapi sebenarnya tidak.
Ryosuke tidak tahu jalan.
Yang tahu tentang hal ini hanya beberapa saja. Umumnya orang-orang yang sudah tersasar karena arahan dari Ryosuke. Tentu mereka tidak bisa memberikan umpan balik atau komentar mengenai reputasi Ryosuke sebagai penunjuk jalan sebab mereka tidak terlihat lagi di sekitar.
Yang tahu tentang hal ini di keluarga hanya Hikaru dan Kei.
Kei tentu tahu, karena dia tahu segala aib keluarga, baik karena memang diberitahu maupun karena tahu sendiri. Tanpa harus banyak memperhatikan, dia tahu Ryosuke tidak benar-benar paham ketika ditanya arah jalan. Sebagai mantan bocah yang suka berpetualang juga, Kei lebih punya memori kuat terkait jalan.
Begitu juga dengan Hikaru, teman kabur-kaburan Kei. Kalau Kei sudah berjalan tanpa suara, Hikaru akan tahu. Kedua pandangan mereka akan bertemu ketika Kei akan keluar rumah dan Hikaru menangkapnya basah dari tangga atas. Akhirnya, Hikaru selalu pergi mengikuti Kei dan hapal jalanan.
Jadi, tentu, Hikaru tahu ketika seseorang buta arah seperti Ryosuke.
“A-anu, permisi,” seseorang berkata cukup keras, membuat ketiganya menoleh, “saya ingin pergi ke tempat ini.”
Orang itu menyodorkan secarik kertas bertuliskan alamat. Hikaru yang mengambilnya, sebab dia tahu Kei tidak pernah inisiatif mengambil jika diulurkan sesuatu. Tangan Ryosuke tidak akan sampai untuk mengambilnya.
“Aku tahu,” Ryosuke berkata, wajahnya serius dan terlihat tampak bisa dipercaya, “tinggal lewat belokan itu, lurus terus, nanti ada di sana.”
Hikaru dan Kei menatap Ryosuke heran. Lihat alamatnya saja tidak, kok bisa-bisanya memberi petunjuk arah?
Entah bagaimana, orang itu percaya saja. Tatapannya teralihkan pada arah yang ditunjuk Ryosuke sebelumnya, mengangguk-angguk mengerti.
“Bukan, bukan,” Hikaru memotong, membuat perhatian orang itu kembali pada mereka, “harusnya ke arah sana, lurus sampai ada pertigaan dan belok kanan. Tidak lama, nanti akan ada gedung dengan tulisan ini.”
Orang itu tampak bingung. Arah yang ditunjuk Hikaru bertolak dengan yang diberikan Ryosuke. Tatapan orang itu beralih pada Hikaru yang terlihat tidak meyakinkan, lalu pada Ryosuke yang ekspresinya tidak berubah.
Hanya tersenyum sambil mengucap terima kasih, orang itu mengambil kertas yang dia berikan pada Hikaru, lalu berjalan cepat ke arah yang ditunjuk Ryosuke. Hikaru ingin memanggilnya, tapi kecepatan jalan orang itu membuatnya jelas tidak ingin berurusan dengan mereka lagi.
Melirik Kei yang diam saja, Hikaru memelototi Ryosuke yang juga tidak bereaksi apa-apa.
“Memangnya kamu tahu ke sana itu ke arah mana?” Hikaru menunjuk ke arah yang diberikan Ryosuke.
Adiknya itu mendongak sedikit untuk menatapnya. “Tidak, sih, tapi menurut perasaanku arah yang benar ke sana.”
Tanpa menunggu omelan Hikaru, Ryosuke cepat-cepat berlari ke arah sebaliknya, ke arah rumah. Arah yang satu-satunya diketahui Ryosuke dengan benar selain taman bermain.
“Kau juga,” Hikaru beralih pada kakaknya, “kok diam saja?”
Kei menatap Hikaru, lalu pada adik mereka yang sudah jauh berlari dari mereka.
“Sesekali.”
Tanpa penjelasan lebih, Kei mulai melangkahkan kakinya kembali, menyusul Ryosuke dengan langkah yang tak seberapa. Hikaru menghela napas panjang. Tidak ada yang benar.
[Lebih kesalnya lagi, ketika mereka pulang dan Hikaru menceritakan kejadian itu pada yang lain, semuanya percaya pada Ryosuke. Tidak ada yang tahu kebenarannya kecuali Hikaru dan Kei, tapi Kei juga tidak punya usaha untuk meluruskan asumsi yang salah ini.
Jadi, Ryosuke tetap dianggap sebagai penunjuk jalan andal dalam keluarga.]
[#yabu, #inoo, dan #yuto. sibling au dengan umur yabu (17), inoo (13), dan yuto (5). bahasa indonesia.]
“Kenapa langit warnanya biru?”
“Karena kalau hijau, nanti kamu tidak bisa membedakan langit dan pohon.”
Kota mengalihkan pandangannya dari ponsel. Sejak beberapa menit lalu, kedua adiknya itu sibuk mengobrol. Kei sedang mengerjakan tugas (dengan terpaksa, sebab Kota tidak akan membiarkannya berdiri dari kursi itu sampai semua tugas untuk besok selesai). Yuto duduk di sampingnya, menarik kursi kecilnya untuk ikut mencoba melihat jawaban yang ditulis Kei.
“Kalau begitu kenapa tidak putih saja?” Yuto bertanya lagi, kedua tangannya terlipat rapi di sisi lain meja yang dipakai Kei, memberi jarak agar tangannya tidak mengganggu pekerjaan si kakak.
“Kalau putih gampang kotor.”
Yuto sedang dalam masa banyak bertanya. Kalau ada Ryosuke, biasanya jadi bertengkar berdua. Ryosuke sebenarnya tidak keberatan menjelaskan beberapa hal, tapi dia merasa Yuto tidak punya batasan untuk berhenti dan diam. Terkadang, Kota sendiri berpikir harusnya Yuto sadar bahwa Ryosuke mudah terpancing marah, tapi selalu saja ada kelakuan Yuto yang seakan sengaja membuatnya tersulut.
Mungkin memang sebenarnya sengaja.
Kota sudah melalui tahap ini berkali-kali. Dia ingat harus menjaga emosinya ketika Kei berada dalam tahap ini. Berbeda dengan Yuya yang lebih suka mengeksplorasi dunia dengan mandiri, Kei tidak jauh beda dengan Yuto. Semua hal ditanya, tanpa henti, tidak pernah terlihat puas dengan jawaban sekadarnya yang Kota berikan kalau sudah lelah.
Yuya biasanya dapat memberikan jawaban yang membuat Kei senang. Namun, kesenangan itu hanya bertahan selama beberapa menit. Setelah dibiarkan diam, Kei akan memikirkan jawaban Yuya, lalu mendapat pertanyaan lain yang akan dia ajukan kembali.
Kota menghela napas. Se-ala-kadarnya dia memberi jawaban pada Kei, setidaknya dia akan memberikan jawaban yang hampir tepat. Dia akan mencari tahu dulu sebelum memberikan jawaban. Mungkin karena itu juga dia akhirnya mengetahui banyak informasi tidak penting.
“Kei,” Kota memanggilnya ketika Kei beranjak mendekatinya, ingin mengambil minum yang letaknya tak jauh, “kalau mau memberi jawaban, jangan asal.”
Kei menoleh, ekspresinya menunjukkan dia tidak mengerti yang Kota maksud. “Asal bagaimana?”
“Jawabanmu tentang langit. Itu kan asal saja kau bilang padanya agar dia diam.”
“Tidak juga,” Kei melirik Yuto yang kini mencoba keras untuk membaca tulisan pada kertas jawabannya, “bisa saja begitu, kan?”
“Setidaknya cari dulu kalau kau tidak tahu,” Kota memutar bola matanya, “aku tidak seasal itu ketika menjawab pertanyaanmu.”
Ketika tidak mendapat balasan dari adiknya, Kota kembali melirik pada Kei yang masih berdiri di tempatnya, tepat di sebelah tempat minum.
“Kau banyak memberiku jawaban asal,” Kei akhirnya bersuara, “kau bilang anak bayi datang dari burung bangau.”
Kota mengerutkan dahinya. Dia tidak ingat pernah berkata seperti itu. Tapi dia tidak bisa juga sepenuhnya percaya pada omongan Kei. Bisa saja adiknya ini sedang mempermainkannya.
“Kapan aku bilang begitu?”
“Setelah kau nonton film Dumbo.”
Kota menatap Kei lama, menunggu gerak-gerik dari adiknya yang menandakan dia bercanda. Tapi wajah Kei tidak berubah menjadi tawa.
“Memangnya anak bayi datang dari mana?”
Melupakan perdebatan mereka, Kei dan Kota mengalihkan pandangannya cepat pada si penanya. Yuto menatap mereka bergantian, tangannya sudah tidak lagi memegang kertas jawaban Kei. Mungkin sudah menyerah karena membaca masih sulit untuknya.
“I-itu ...”
Kota melirik Kei yang balas menatapnya heran. Dalam situasi seperti ini, tentu saja Kota yang punya tanggung jawab untuk memberi jawaban.
Berbeda dari waktu-waktu lain di mana atensi Yuto tidak bertahan lama, kini adik mereka duduk terdiam. Kedua matanya masih beralih pada Kei dan Kota, menunggu jawaban dari mereka.
“Ah, biar Kota yang menjelaskan padamu, ya. Aku harus menyelesaikan ini.”
Tidak peduli pada pelototan dari Kota, Kei mengumpulkan kertas jawabannya beserta soal-soal yang belum dia jawab, lalu pergi ke kamarnya dengan cengiran lebar pada si sulung.
Kini, Kota harus menghadapi Yuto sendirian, dengan pertanyaan paling dihindari oleh kakak dan orang tua kebanyakan.
“Jadi,” Yuto kini memberikan atensinya penuh pada si sulung, “bayi datang dari mana?”
[#yabu, #hikaru, dan #inoo; kuliah lokal au (masih belum tau namanya bakal dimodif jadi lokal juga atau enggak jadi ya sementara begini dulu); bahasa indonesia.]
Hari ini hari pertama dia akan hidup sendiri.
Bertahun-tahun hidup di kota kelahirannya, dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di luar kota. Di tempat baru yang isinya orang asing sebagai tanda kehidupan baru untuknya. Di tempat yang belum pernah dia datangi sebelumnya.
Atau setidaknya begitulah yang Yabu bayangkan.
Dia pikir semuanya akan berjalan mudah. Di masa serba teknologi seperti ini, dia bisa ke mana saja tanpa bantuan orang lain, bukan? Jadi, seharusnya tidak ada masalah untuk sampai ke bagian asrama universitasnya.
Namun rasanya sudah satu jam dia berada di sini. Tidak ada pertanda dia berada di dekat asrama.
Kesalahan pertamanya adalah lupa membeli kuota internet. Dia selalu mengabaikan pesan yang masuk sehingga melewatkan peringatan untuk memperpanjang kuota dari operator selulernya. Pulsa darurat sudah dia pakai sebelumnya.
Kesalahan keduanya adalah tidak menyimpan uang di sakunya. Hanya ada saldo dalam kartu kereta dan dompet digital. Dia pikir semua akan baik-baik saja selama dia mempunyai saldo di akun digital. Sayangnya, dia tidak dapat menggunakan dompet digitalnya ketika tidak ada kuota internet.
Ketiga, dia tidak tahu harus bertanya pada siapa.
Jadi, di sinilah dia, berdiri di stasiun, di tengah-tengah kerumunan orang yang asing. Dia tidak yakin semuanya adalah mahasiswa kampus ini atau pengajar. Kampus yang menerima dia (untungnya) sering dipakai sebagai lintasan orang umum. Tidak heran melihat orang-orang sekitar ikut menggunakan fasilitas kampus.
Bukan berarti dia tahu juga fasilitas kampus yang dapat dia gunakan sekarang untuk sampai ke asrama.
Menghela napas ke sekian kali, pandangannya jatuh pada lelaki yang sekiranya seumuran dengannya. Lelaki itu terlihat mencolok. Bukan hanya karena terlihat sama bingungnya dengan Yabu atau bajunya yang berwarna kuning terang, tapi juga rambutnya yang dicat kemerahan.
Berani juga untuk seorang mahasiswa baru datang dengan rambut diwarnai.
Mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang ingin dia ajukan, Yabu memberanikan diri untuk menghampirinya lebih dulu. Lelaki itu menyadarinya, tatapannya dia alihkan dari ponselnya untuk melihat Yabu, ekspresi bingungnya semakin terlihat. Yabu ingin tertawa kecil, lelaki ini mudah sekali dibaca.
“Hai,” Yabu menyapa, “kau juga baru di sini?”
Sedikit paham alasan Yabu menegurnya, lelaki itu tersenyum kecil walau terlihat gugup, “Iya.”
“Aku juga. Namaku Yabu.”
“Ah, aku Yaotome.”
“Kau mau ke asrama?” tanya Yabu, sedikit berharap lelaki itu punya tujuan sama.
Ketika Yaotome mengangguk, Yabu rasanya ingin berteriak senang. Setidaknya dia tidak akan bingung sendiri. Mungkin lelaki ini juga tahu sesuatu.
Atau seharusnya begitu.
Tidak berbeda jauh dengan Yabu, Yaotome juga baru datang ke kota ini. Katanya, kakak Yaotome juga pernah berkuliah di sini. Dia pernah datang sekali, tapi tidak terlalu memperhatikan jalan karena ayahnya yang menyetir.
Yabu tidak salah juga. Mereka akhirnya bingung bersama. Tidak yakin juga ingin bertanya pada siapa. Semua orang yang ada di sekitar mereka terlihat punya tujuan. Beberapa terlalu asik dengan ponselnya sehingga mereka tidak enak untuk mengusiknya. Takut-takut juga kalau ternyata yang mereka sapa adalah kakak tingkat.
Mereka akhirnya mencoba untuk berjalan sendiri. Coba-coba saja dulu, siapa tahu beruntung bisa sampai ke asrama dengan kaki. Yabu sendiri pernah membaca di media sosial bahwa jarak stasiun dengan asrama tidak terlalu jauh. Dia hanya berharap mereka berjalan ke arah yang benar.
Bawaan mereka juga tidak banyak, untungnya. Yabu hanya membawa satu ransel, sisa barangnya akan datang melalui pengiriman paket, lainnya akan dia beli sendiri di sini. Yaotome juga sama, hanya ditambah satu tas jinjing. Setidaknya jalan jauh tidak akan menjadi masalah.
Mereka memutuskan untuk jalan lurus dari stasiun, menyusuri jalan setapak yang dibuat untuk pejalan kaki. Tak lama, mereka melihat gedung-gedung, terdapat minimarket pula di salah satunya. Ketika mereka perhatikan lebih lanjut, ternyata itu salah satu gedung fakultas.
Berpikir mungkin gedung asrama ada di antara fakultas-fakultas, mereka berjalan terus. Sesekali menoleh ketika mendengar kereta ikut melintas tak jauh dari mereka.
“Eh? Stasiun lagi?”
Setelah melewati beberapa gedung fakultas, kini mereka disuguhi sebuah stasiun. Lagi. Bukan stasiun yang sama dengan yang mereka datangi sebelumnya. Lebih menjorok ke dalam dan ramai dibanding yang mereka datangi.
“Jadi stasiunnya ada dua?”
Yabu hanya mengangguk. Dia juga baru tahu. Bahkan, beberapa orang terlihat melintasi jalan rel yang ada untuk pergi ke seberang jalan. Mungkin dia akan mencoba pergi ke sana lain kali, hanya untuk melihat apa yang ada di sana.
Baru saja dia ingin melanjutkan langkah, pandangannya bertemu dengan seseorang yang familiar. Tidak terlalu dia kenali, tapi dia ingat pernah berbicara dengannya. Orang itu juga tampak mengingatnya walau heran melihat Yabu ada di sana.
“Kau yang tadi, bukan?” Orang itu mendekati mereka, satu tangannya menjinjing tas. “Yang mau ke asrama?”
Yabu mengangguk sambil mencoba tersenyum. Sebetulnya, dia bertemu dengan orang ini ketika berada di kereta. Awalnya, Yabu hanya ingin basa-basi sebab orang ini terlihat akan turun di stasiun yang sama dengannya. Orang itu menanggapi, ikut menanyakan tujuannya setelah turun di stasiun kampus.
Ketika Yabu mengatakan dia baru datang ke kota ini, orang itu sempat menawarkan untuk menunjukkan jalan. Namun sebelumnya, Yabu merasa tidak perlu dibantu. Dia merasa dapat melakukannya sendiri. Memangnya sesulit apa menemukan gedung asrama kampus?
Jadi, dia menolak bantuan orang itu.
Sayangnya, takdir ingin mempermainkan dia. Orang itu dipertemukan lagi dengannya.
“Asrama bukan ke arah sini,” ucap orang itu, matanya melirik bergantian ke arah Yabu dan Yaotome. “Mau kuantar?”
Mencoba menahan malu, akhirnya dia menerima tawaran orang itu. Untungnya, orang itu tidak mengejek atau menyindirnya karena telah menolak bantuannya pertama kali. Mungkin karena ternyata orang itu juga sama seperti mereka, sama-sama mahasiswa baru. Hanya saja, dia memang berasal dari sekitar kota ini, jadi sudah tahu arah.
Namanya Inoo. Tidak tinggal di asrama seperti mereka sebab tidak kebagian jatah. Jadi dia menyewa kos di tempat yang dekat dengan fakultasnya.
Hari pertama datang ke kota dan memulai kehidupan perkuliahannya, Yabu sudah mendapat dua kontak baru di ponselnya.
[#takaki & #yuto + #inoo dikit, sibling au yang belum ada namanya, bahasa indonesia baku gak baku.]
“Yuuuyaaa.”
Yuya menghela napas. Tatapannya tetap tertuju pada lembaran soal di hadapannya, berusaha mengabaikan adiknya yang berdiri di sampingnya, memanggil namanya terus-menerus sejak sepuluh menit lalu.
Sesekali, Yuto akan diam, ikut menatap soal yang sedang dikerjakan Yuya. Walau begitu, tetap saja dia tidak bisa fokus. Napas Yuto di sisi wajahnya terlalu keras, mungkin memang sengaja, dan Yuya tidak bisa berpikir dengan distraksi seperti itu.
Kalau tidak mengerti tulisan di lembaran soal Yuya, Yuto akan mencolek-colek lengannya. Awalnya pelan, Yuya sedikit geli juga karena colekannya samar, tapi lama-kelamaan lebih seperti ditusuk jari-jari kecil.
Yuya tidak bisa protes. Tidak bisa menyuruhnya berhenti. Jika Yuya membuka mulutnya, secara otomatis dia akan menanggapi Yuto, dan adiknya akan lebih berisik ketika ditanggapi.
Jadi, Yuya diam. Dalam hati agak berharap Kei yang sedang duduk di sofa ruang tamu dapat membantunya. Biasanya Kei suka menimpali Yuto, setia mendengarkan celotehannya walau mungkin tidak sepenuhnya dia cermati juga. Namun sejak awal Yuto datang dan mengganggunya, Kei sama sekali tidak menoleh. Pandangannya tetap tertuju pada layar televisi yang menayangkan suatu film.
“Kak Yuyaa,” Yuto kembali memanggilnya, “memangnya kakak gak capek baca soal terus?”
Tentu saja capek. Dia tidak benar-benar ingin mengerjakan soal ini juga, kalau dia mau. Namun tenggat tugasnya besok, mau tak mau harus dia kerjakan sekarang untuk mendapat nilai. Dia tidak ingin Kota mengomelinya lagi sepanjang satu jam penuh hanya karena dia lupa menyerahkan tugasnya beberapa waktu lalu.
Dan tentu dia lebih capek lagi sekarang, dengan Yuto mengganggunya.
Mencoba menahan helaan napas, Yuya membaca ulang soal yang dia kerjakan. Yuto, menyadari dia mengabaikannya lagi, mulai memberikan wajah sedihnya sambil menaruh wajahnya di meja agar Yuya dapat melihatnya.
Perlahan, dia tidak tega juga. Hari ini, Ryosuke dan Yuri sedang diajak pergi dengan Kota dan Daiki. Yuto yang dibangunkan sebelumnya menolak ikut karena masih setengah sadar, lalu menyesal setelah dia benar-benar bangun dan tahu kalau dia ditinggal pergi. Hikaru sedang ada kerja kelompok, pergi bersama yang lainnya. Tersisa Yuya yang mengerjakan tugas dan Kei yang menonton televisi di rumah.
“Yuuyaa,” Yuto mulai meremat lengan bajunya, menariknya pelan, “soalnya susah, ya? Habisnya dari aku datang masih belum dikerjakan juga.”
Terdengar tawa dari arah ruang tamu, tapi cepat-cepat dialihkan menjadi suara batuk. Yuya memutar bola matanya. Kei pasti sengaja membiarkan Yuto mengganggunya, mungkin bahkan dia yang menyuruh Yuto. Menyebalkan.
“Sebentar saja, deh,” jari-jari itu mencolek lengannya, “sebentar saja, nanti kak Yuya bisa ngerjain soalnya lagi.”
Yuya tidak bisa mempercayai kalimat itu sepenuhnya. Bukan kali pertama Yuto mengganggunya, jadi bukan hal baru mendengar kalimat itu diucapkan. Walau begitu, dia sudah lelah juga menatap soal ini, belum menemukan jawabannya juga. Tidak ada salahnya dia meluangkan waktu sebentar untuk menanggapi adiknya.
Menaruh pulpennya di atas meja, Yuya akhirnya menoleh ke arah Yuto. Senyum lebar muncul di wajah adiknya, senang akhirnya dia berhasil juga mendapat perhatian Yuya.
“Apa?” tanya Yuya.
“Ini,” Yuto menaruh sesuatu di atas meja Yuya, di atas lembaran soalnya, “aku menangkapnya tadi.”
Tidak butuh waktu lama untuk Yuya menyadari benda yang ditaruh adiknya. Tidak butuh melihat jelas juga. Yang Yuya tahu, benda itu punya tanduk serta kaki yang cukup panjang. Cukup dengan mengetahui dua hal itu, dia langsung berdiri dari kursinya dan berlari keluar kamar disertai jeritan.
“Ih, kak Yuya,” Yuto mengambil benda itu, kumbang badak, dan menaruhnya di atas telapak tangan sambil berjalan menyusul Yuya, “jangan teriak gitu, nanti dia takut.”
Tentu Yuya segera berlari menjauh, tidak ingin Yuto mendekatinya selagi kumbang itu masih ada. Kei yang kini memperhatikannya tersenyum lebar, persis sama seperti senyuman Yuto.
“Kamu, ya,” Yuya menatap Kei sebentar, atensinya tetap dia beri pada Yuto agar tetap menjaga jarak mereka, “kamu yang kasih ide, kan?”
“Kupikir kamu butuh refreshing dari mengerjakan tugas,” Kei menjawab tanpa merasa bersalah, “lihat alam sesekali, Yuya.”
Yuya tidak sempat membalas karena Yuto mulai berlari ke arahnya. Dia hanya berharap Kota atau Hikaru cepat datang, karena hanya mereka berdua yang dapat dia harapkan untuk menolongnya.
[#chinen, #inoo, dan #yabu; sibling au yang belum dinamain biar beda dari sibling au lainnya yang saya tulis; setting nambah beberapa tahun dari setting biasa, umur mereka jadi chinen (7), inoo (17), yabu (21).]
Hari temu guru dan orang tua adalah salah satu hari yang disukai Yuri. Memang, belum banyak hari serupa yang dia lalui. Dia baru saja masuk naik ke kelas dua, baru melewati hari temu ini beberapa kali ketika taman kanak-kanak dan tahun lalu saat masih kelas satu. Namun dia suka hari ini, karena dia bisa membawa salah satu kakaknya ke sekolah.
Tentu bukan Ryosuke atau Yuto, pastinya. Walau kedua kakaknya itu sangat antusias hingga berebut untuk datang, mereka belum cukup untuk menjadi pengganti orang tua Yuri di sekolah. Begitu juga dengan Daiki yang kelihatannya tak beda jauh dengan Ryosuke dan Yuto walau sudah berumur 13 tahun ini.
Pilihannya hanya antara Kota atau Kei. Yuya pernah datang, sekali, suatu hari ketika dia masih di taman kanak-kanak. Kakaknya itu juga antusias, menyemangatinya dengan senyum, tapi tidak jarang dia terlihat garang dan menakuti gurunya. Yuri tidak mengerti, karena yang dia lihat hanyalah aura kehangatan kakaknya. Mungkin pandangan orang lain berbeda. Apapun itu, Yuya tidak lagi datang ke hari temu seperti ini.
Kota tentu datang tanpa ditanya. Sebagai yang tertua, dia selalu datang ke hari temu siapapun, mulai dari Yuya, Kei, Hikaru, Daiki, Ryosuke, Yuto, dan juga dia, Yuri. Sesibuk apapun kakaknya, Yuri selalu akan melihat sosoknya di saat yang tepat, baik dengan senyum lebar yang tulus atau senyum lelah habis berlari dari rumah.
Namun, bagi Yuri, Kei mengalahkan Kota jika dia dapat memberikan peringkat akan siapa yang lebih baik untuk datang pada hari temu guru dan orang tua.
Dengan Kota, Yuri menemukan banyak halangan. Tidak boleh menjahili temannya (walau ketika hari biasa pun Yuri tetap akan jahil, lagipula hanya bercanda, temannya juga akan membalas kejahilannya). Tidak ada jajanan ketika jalan pulang ke rumah. Tidak boleh tidur di kelas. Rasa-rasanya, Kota lebih punya banyak peraturan dibanding gurunya sendiri.
Belum lagi ketika gurunya harus berbicara dengan Kota.
Di jalan pulang, sudah pasti Yuri akan mendengar ceramah panjang Kota. Tentu bukan karena marah atau tidak suka, tapi Kota hanya ingin mengingatkannya agar lebih baik lagi. Yuri mengerti, tapi bukan berarti dia suka.
Kalau dengan Kei, lebih banyak hal tidak terduga yang akan terjadi. Kakaknya yang satu ini justru akan memberikan tips untuk dapat tidur tanpa ketahuan guru. Atau memberinya saran untuk lebih jahil pada temannya. Kei juga punya cerita-cerita aneh yang dapat Yuri sampaikan kepada teman-temannya. (Tentu cerita-cerita ini berasal dari turun-temurun, semua kakaknya juga bersekolah di sini, dulu.)
Ketika pulang, Kei akan membawanya mampir ke toko swalayan. Yuri dapat memilih yang dia suka, asal bisa dihabiskan selama jalan pulang agar tidak ketahuan yang lain. Kei memang tidak akan menggendongnya, seperti jika Kota atau Yuya yang datang pada hari temu, tapi kakaknya akan mengajaknya singgah ke taman bermain terdekat.
Pernah sekali mereka tidak sengaja tertidur di salah satu permainan yang ada di sana. Untungnya, taman itu sepi dan tidak ada anak lain bermain. Ketika mereka bangun, langit sudah senja, terdapat banyak panggilan tidak terjawab di ponsel Kei. Tentu mereka disambut dengan ceramahan Kota (walau lebih banyak Kei yang diberikan petuah), tapi Yuri tidak keberatan jika melakukannya lagi.
Sebagai anak paling kecil, yang disayang pula dengan semua kakaknya, Yuri merasa masing-masing kakaknya punya sisi lebih tersendiri. Untuk hari temu seperti ini, atau untuk hari-hari lainnya yang ingin dia isi dengan sesuatu yang menarik, dia tahu dia dapat mengandalkan Kei. Kota pasti akan mengingatkannya untuk tidak meniru segala hal yang dilakukan Kei sebab Yuri juga paham ada banyak masalah yang pernah Kota tangani karena Kei.
Yuri mengerti, tapi bukan berarti dia akan menurut.