Hadirmu, sisi gelapku kau beri cahaya,
Hadirmu, sisi kriminalku kau penjarakan,
Hadirmu, sisi buasku kau jinakkan.
Andai pria itu tahu, kata.
Aku bisa menjadi mimpi buruk yang bergaun hayalan manis untuknya,
Aku bisa menjadi penjahat nomer satu membidik isi pikirannya,
Aku bisa menjadi obat bius yang membuatnya hilang akal juga tak berperasaan.
Dia salah menilaiku,
Aku tak pernah seanggun rekaannya.
Di tanganku, piring kaca ini kupecahkan,
Dinding cantik ini kucakar hingga tersisa dasarnya, televisi kuno pemberian mendiang kakeknya kuhancurkan, surat-surat cintanya kubakar,
aku bisa membuat kacau satu isi rumah.
Kalau dia tahu, dia akan lari pontang-panting meninggalkanku, bukan?
Lihatlah,
Bahkan sekadar kata saja,
dia sudah bergidik ngeri.
Oh ya tuhan,
mohon maaf jika tulisan ini kualamatkan pada kau,
kau, kau, dan kau lagi.
Aku bahkan tidak habis pikir, enggan menerima, hati ini isinya masih pada pemilik tubuh yang sama,
pemilik senyum yang memabukkan, pembuat rindu yang menyesakkan.
Aku harus apa?
tak terdengar lagi kabar darimu,
apa perlu perbincangan perdana sebagai obat mujarabnya alih-alih suatu bencana bagimu?
Oh, sial yang namanya rindu itu.
Si monster biadab penghancur pertahanan diri.
Sore tadi, aku berjalan menuruni jalan Umbria,
sembari memegang kopi kapucino dari kedai favoritku,
kau pasti tahu kebiasaan itu.
Telingaku terpasang earphone dan kau pasti tahu kecintaanku terhadap lagu-lagu kian selalu menenteramkan hati jika sedang gemuruh, setidaknya, jika kau tak lagi bisa membantu.
Jalan Umbria selalu menakjubkan dengan tanaman dinding di tiap rumah, kopi kapucino selalu menghangatkan di kala angin menerobos mantel kuning langsat yang tebal, dan lagu-lagu kian berhamonisasi di kepala mengurangi penat,
tapi kali ini justru tidak.
Hari ini cukup berat dan aku berusaha kuat,
Bukan karena tugas kantor yang menumpuk,
Bukan karena gaji akhir bulan yang dipotong.
tapi justru ekspetasiku yang menjadi pemicu,
ekspetasiku mau kau selalu ada,
kontradiksi dengan realita.
Kau semakin jauh dari angan, tidak pantas untuk diharap.
Kita sempat menjadi sesuatu bukan?
Tentu, sore tadi rasanya akan asyik,
jika dilewati bersamamu.
Kuajak kau ke sebuah tempat
yang banyak orang berkata bak nirwana,
Bak mantra yang menyulap indera,
terhipnotis oleh mahakarya Tuhan yang paling luas.
Tak kulupa untuk mengajak mentari agar mencium kulitmu,
Angin riuh luruh menyapu bahumu,
langit biru menyilaukan matamu,
Menyerap raga dan jiwa lewat deburan ombak.
Ah, bahkan saat tak lagi biru,
jingga, hingga nila,
Selalu seindah itu.
Kita duduk menikmati diatas desiran pasir,
memperhatikan nelayan satu per satu siap berangkat,
Remaja muda asik berswafoto mengabadikan momen.
“Mau coba ikut mereka?” kau usik disela lamunanku.
“Ntah, aku ingin diam saja. Menghidupi waktu ini,”
“Jarang sekali terjadi,”
Senyumku seraya memandangi matahari tenggelam dimakan laut.
Tentang air yang biru, luas, nan dalam.
Kita tahu tersimpan misteri,
kemarin kau menyebutnya harta karun.
Aku tidak masalah dan tak peduli disebut “si aneh” oleh manusia-manusia lain karena tingkahku yang konyol.
Hanya karena aku rindu akan suasana saat bersamamu.
“Lebay,” dengan nada sinis mereka. Aku bahkan tidak marah.
Tidak apa, kalau dengan begini rasaku tersalurkan tanpa mengganggumu secara langsung.
Kamu cukup memandangiku lewat gawaimu saja: tentang lagu apa yang aku dengarkan, dengan siapa saja aku menghidupi hari ini, kata-kata apa yang aku curahkan, kearah mana makna dari lukisan yang aku perlihatkan.
Sampai pada akhirnya ...
Kau mau kembali bertegur sapa denganku.
Aku baik-baik saja meski kehadiranmu dalam hitungan menit, sebab jika meminta, kupastikan tidak akan ada ujungnya.
Niscaya hal itu mengganggu ketenteraman hidupmu.
Cukup dengan sunyi malamku hanya semesta yang tahu aku begini.
Mengucap doa agar diri senantiasa bisa tenang untuk tidak melakukan aksi-aksi yang lebih aneh lagi.
Kehadiranmu adalah episode film yang dengan sabar kutunggu di sofa paling empuk, episode yang meskipun tayangnya dalam seminggu hanya satu kali, episode yang meskipun tayang durasinya hanya sebentar bahkan jika sedang beruntung kudapati durasinya yang paling panjang.
Hadirmu akan selalu mendapati aku,
yang paling setia duduk manis,
menunggu jam tayangmu.