bersenie

Katanya apabila kita sering menggunakan kata tertentu dalam tulisan kita, apa bermakna implikasi hal yang berkaitan?

Kalau kau pembaca karyaku dari awal, aku sering sekali menggunakan bunga dan laut, atau segala hal yang bersama mereka, bisa 'kah paham maksudnya apa?

Ayo, berpikir sama-sama.

Bunga; Laut.

Dua kata yang tidak hanya sekadar kata, Bunga adalah representasi dari hal yang aku sukai, sedang Laut itu bukan.

Tapi, karena begitu, rasanya aku ingin mengusul penyebabnya.

Bukan apa-apa, aku ingin memakai simbol yang bervariasi lagi dalam karyaku ini.

Tetapi, aku juga perlu tahu mengapa rasanya karyaku akrab dengan dua kata tadi.

Ah, aku benci “overthinking” selalu muncul setiap aku hendak beristirat.

✭ : is a bracket when writer's talk.

Aku berpikir aku ini bunga Lalu aku menyirami diriku bahwa; mekar adalah bukti tumbuh tinggi adalah prosesnya namun semakin dipikir-pikir; aku kian mendekati layu, bahkan sebelum menyentuh mekar.

Aku berpikir aku ini nakhoda Lalu aku bercita melayar kapal sendiri; telah mahfhum kubaca bintang-gemintang mempelajari ombak dan sifat anginnya namun semakin dipikir-pikir; aku takut tenggelam, bahkan sebelum menginjak pesisirnya.


Atas segala cita lagi-lagi aku berpikir akan menjadi sosok yang hebat; bunga yang cantik harum dan nakhoda yang piawai menantang samudera.

Namun, nyaliku telah ciut bahkan semakin bertambah usia, aku semakin pengecut.

takut akan kemungkinan yang tidak saintifik dan logis, aku semakin gila.

Perkara bunga, cukuplah bunga. Nakhoda dan kapalnya, cukup diangan.

Aku tertunduk dan tersungkur ketika nyatanya laut kehidupan menawarkan air garamnya yang semakin asin.

Bergantung pada harapan layaknya sedang bertaruh, antara dikabulkan atau tidak, atau justru artinya adalah ditunda.

Rencana demi rencana yang tercipta, harusnya sangat diwajarkan apabila gagal.

Entah makna apa dibalik kebalikan yang ada, Seharusnya kita bersyukur, bukan?

Lagipula, skenario yang dituliskan tidak pernah buruk hasilnya.


Perkara itu harusnya aku bisa jadi sadar dan tidak kecewa seperti ini. Berkali-kali aku mengutuk atas apapun yang merusak susunan benang merah yang kususun dengan sedemikian rupa; rencana dan cita.

Tapi apa elok aku menyalahkan yang lain alih-alih diriku lah yang punya kuasa lebih atas pilihan yang diambil?

Hari dimana aku bertambah usia ini, harusnya aku tidak mementingkan selebrasi.

Ini cuman hari-hari biasa.

Dan bagian terbaik dari menjalani hari-hari itu adalah menyadari bahwa kita masih bisa melihat orang-orang terdekat kita.

tersenyum, menangis, marah.

Segenap emosi dari mereka adalah bara yang buat aku hidup.

Antusias membalut kasih dan kalut untuk 365 hari kedepan.

Sekarat di padang mawar yang terhampar semerbak harumnya menyesak napas durinya menghalau butuh genggaman

Lalu kugenggam

darah ini kuremas dari tangan sendiri ia menangis sebab harus terpaksa kuusir

Tangkai mawar yang tuan curi kemarin malam kini durinya menembus lapis kulit yang telah kurawat payah agar secantik porselen seperti harapanmu

Di hadapanku, tuan ada lautan merah warnanya dialirkan dari genggaman ini

Aku tersenyum puas dan mati rasa sekali lagi

Tubuh minim daya ini kubuang tenggelam kedalam palung sejuta amarah

Bau amisnya sengit!

Bersama gelap, ada dendam Bersama dingin, ada kecewa Bersama hanyir, kubawa mawar pembunuh ini.

AZK, 2020.

Malang sekali menjadi diri ini harus ditinggalkan berkali-kali

mungkin memang diciptakan untuk sendiri?

detak nadi yang menjadi-jadi tapi tak memberi janji

semula kasih mengisi kini hati memaki: “Puan, kalau memang cinta saya, tolong akui!”

di sudut metro mini ada gadis terisak menangis

kepada pemilik wajah bengis

tentang bara yang mati tentang lelaki yang penuh belati

1992

Rusuh. Luruh. Musuh.

Raut kusut maut.

Juang uang. Juang pulang.

Dia berdarah Dia pula yang marah

Tenaga dan raga Dibuang ruang

Masa kelam itu Berlalu

Ibu bilang, Perjuangan kita belum usai. Bahkan akan terus ada hingga jantung berhenti berdetak.

Hingga perkarangan kosong, Diisi oleh tubuh kau.

AZK, 2020. – Hari Pahlawan :–)

kepada aku si pengembara

seribu keraguan antara Eksistensi diri dan validasi

Bergelut antara badai dan cerah di ujung penghidupan

Nahkoda tubuh ini berlayarlah kapal ini

tiap tarikan tiap hembusan tiap aliran tiap denyutan

seperti bertaruh pada permainan kartu

aku menang, aku selamat aku kalah, aku mati dilahap ombak.


Aku sudah sampai di penghujung tahun, namun belum kutemukan dermaga tempat berlabuh, aku lelah terus berlayar, para penumpang kapal terus berisik menyerukan kemenangan dan kekalahan terhadap permainan mereka, lalu mabuk menghabiskan seratus botol wine, lantas sembarang membuang bekasnya,

“enyahlah!!!”

AZK, 2020.

Setiap malam isi pikiranku berisik

di antara semrawutnya sekelebat bentuk distraksi imaji

ku fokuskan arah pada penyeimbang hidup yang menjadi alat warna yang menjadi pengubah sendu yang menjadi pengokoh hati biru

gelak tawa penging di telingaku senyum bahagia seringai lebar bersatu dalam ikatan nurani berkumpulah mereka para malaikat

kumpulan yang membuat mataku silau dengan sejuta asa

dan dengan keluguannya dan tinggi mimpinya dunia menuntut mereka menjadi cahaya paling bersinar

tapi aku tak kalah menuntut agar mereka tetap menjadi cahaya kecil yang tidak kenal kata redup

bara dan terus nyala mereka abadi.

AZK, 2020.

Tepat setahun yang lalu, Dunia membuatku menjadi gadis belia yang paling gembira.

Konyol memang, Lelaki disana itu, manusia yang mahir meluluhlantakan dengan sifat kejamnya, aku dipatahkan lalu dibuat melayang ke angkasa.

Sesungguhnya bersama dia merupakan bencana, yang kusiap hancur karenanya.

Dulu, itu dulu.

Meski melewati hari bersamanya, bak pasangan pengantin di fase awal.

Aku, berterima kasih ini berawal, pula semakin bersyukur ini telah berakhir.

“Tolong ingat surat yang pernah aku kirim ya!” Pintaku, yang berlaku hingga sekarang.

Keinginanku memilikimu yang tak berlaku lagi, kuharap ada damai diantara dunia kita masing-masing.

Tepat satu tahun ini, Aku sembuh. Kuharap kau juga.

Selamat untuk kita!

Terima kasih. Ini tulisan terakhir yang kutuliskan untukmu.

Memendam rasa pada separuhku dari jauh meski telah kau gunting tali penghubung aku masih tahu cara menyambungnya

balut aku dibalut pilu selama itu senandung harap secepat kilat nyatanya sukar

peduliku padamu, bagaimana caranya sirna?

di pertengahan malam aku terjaga lilin yang kian meleleh ku habiskan malam dengan cuma-cuma

apa yang cuma-cuma? memikirkanmu kebiasaan yang sangat bukan diriku

Tuan, kalo kita tidak lagi saling mengasihi apakah masih bisa berkawan baik?

kau bilang, jangan jauhi aku nyatanya, kau justru yang mencipta jarak

sadar tidak?

jikalau harimu biru, panggil aku siap sedia dengan senang hatiku

janji berkawan baik bukan? ingat tidak?

AZK, 2020.