searching for love, taking their lives
[#inooyama, serial killer au] [untuk #Inoo31stbirthday]
Kencan bagi seorang Yamada Ryosuke adalah sebuah misi.
Kalau ditanya pada orang-orang terdekatnya dulu, saat dia masih berada di bangku sekolah, mereka tahu pasti tentang ambisinya mencari cinta. Yang mereka tidak ketahui adalah ambisinya yang lain; mengambil nyawa. Menyatukan keduanya, seorang Yamada mencari orang untuk diajak kencan dan dibunuh pada hari yang sama.
Dia tidak lagi menghitung tempat kencan atau pembunuhan yang dia buat setelah sekitar korban nomor tujuh ditemukan pihak berwenang. Setelahnya, dia memilih untuk menjadikan hobi ini sebagai pekerjaannya—beberapa orang punya cukup rasa benci yang membuat mereka bersedia menghabiskan uang demi mengikuti kata hati mereka.
Selain itu, dia juga bisa menganggap ini sebagai salah satu bentuk kencan buta, bukan?
Namun sore itu, tak lama setelah dia menuntaskan pekerjaannya dan duduk di salah satu kursi bar, sebuah suara menyebalkan menyapanya. Dia tidak mengenali orang itu, pun sepertinya orang itu juga baru melihatnya pertama kali. Ada sesuatu yang membuat Yamada merasa tidak nyaman, seperti rasa gugup dalam dirinya ketika mata mereka bertemu atau dingin yang hadir pada ujung jemarinya.
“Kau sendirian?” tanya lelaki itu, satu tangannya memegang gelas yang terisi setengah. Senyum kecil menghiasi wajahnya, memberikan kesan tenang ketika dipadukan dengan sepasang matanya yang sayu.
Mengikuti gerak lelaki itu, tangan Yamada memainkan gelasnya yang kosong sedari tadi, tidak ada niatan meminta tambahan karena seharusnya dia sudah berjalan keluar bar pada detik ini. “Apa urusanmu?”
“Tergantung padamu,” tangannya kini dipakai untuk menopang dagunya, “kau punya kesibukan besok malam?”
“Mungkin iya, mungkin tidak,” Yamada menahan senyum, “tergantung padamu.”
Sore itu, nama Inoo Kei hadir dalam memorinya beserta rentetan nomor telepon yang tersimpan dalam ponselnya. Yamada tidak mengiyakan undangan Inoo untuk janji makan malam esok harinya, namun dia juga tidak menolak. Inoo hanya tersenyum, mengatakan dia akan menunggu karena yakin Yamada pasti hadir.
Yamada berdiri di depan pintu restoran yang tak jauh dari bar kemarin. Dalam saku sudah tersimpan alat-alat yang selalu dia bawa. Dia tidak yakin apakah Inoo membawa mobil atau tidak—biasanya Yamada selalu mengajak teman kencannya pulang dengan mobilnya. Semoga saja tidak, karena barang lainnya ada di dalam sana.
Inoo datang lebih awal, sudah duduk di tempat janji ketika Yamada melangkah masuk. Pakaiannya necis seperti kemarin, seakan dia baru saja pulang dari kantor. Yamada dapat membayangkannya bekerja di balik komputer dalam suatu ruangan di gedung tinggi, melakukan presentasi pada klien, atau memimpin rapat tim kerjanya.
Yamada mengambil tempat di hadapannya, membalas senyum Inoo dan berbasa-basi sedikit. Tempat itu favorit Inoo, sudah biasa dia kunjungi, bahkan beberapa pelayan tampak akrab dengannya. Hal yang mengundang Yamada untuk membuka mulutnya bertanya.
“Jadi aku bukan yang pertama menemanimu di sini?” Nadanya sedikit kecewa.
“Kau cemburu?” Inoo menaikkan satu alisnya. “Jadi kau tipe yang langsung menganggap kencan pertama spesial, ya.”
Ingin Yamada memutar bola matanya, namun bibirnya tidak dapat menahan senyum. Unik, menurutnya, sebab umumnya dia mendapatkan kencan pertama yang membosankan.
Malam itu terus berjalan. Yamada sedikit terkejut hatinya tidak merasa gundah ingin cepat pada sesi selanjutnya dari kencan ini atau matanya yang tidak sibuk melirik jarum jam. Hatinya sedikit berharap juga akan ada kencan kedua, kalau-kalau nanti isi hatinya berubah dia bisa melakukan sesi yang tertunda.
“Tempatku atau tempatmu?” tanya Inoo, tangannya mengeluarkan kunci dari saku. Yamada menaikkan kedua alisnya, sedikit menimbang pilihannya, tentu memikirkan barang-barang yang menunggu di dalam bagasi mobilnya.
“Tempatmu tidak apa-apa,” jawabnya, menantang dirinya sendiri karena dia tidak pernah mengunjungi tempat orang yang dia kencani. Tidak juga ke tempatnya, sebab semua akan dia eksekusi di pertengahan jalan antah-berantah.
Tempat Inoo, tidak jauh dari bayangannya, terlihat cocok untuk lelaki itu. Sedikit berantakan di beberapa tempat, catnya monoton, serta tidak banyak barang personal yang dapat menggambarkan kepribadiannya lebih jauh.
Yamada duduk di salah satu sofa, tepat berada di depan televisi, dihalangi meja pendek pas untuk menaruh gelas atau barang lain. Inoo sempat menawarinya minum, namun dia menolak, sudah cukup meneguk cairan pada makan malam mereka tadi. Walau begitu, Inoo tetap menaruh satu gelas jus di depannya, embun dingin mengisi ruang kosong gelas.
Mengerutkan alisnya, Yamada menatap bibir gelas, melihat serbuk putih di satu sisi. Tidak banyak, namun Yamada bukan orang bodoh untuk tidak menyadari ada yang salah.
Mendengar langkah kaki berjalan mendekat di belakangnya, walau terlalu pelan sampai dia sempat tidak menyadarinya, Yamada menoleh cepat. Badannya sedikit menyingkirkan diri dari tangan Inoo yang tergerak untuk menepuk bahunya.
“Ada apa?” Suara Inoo terlalu lembut di telinganya sekarang, intonasi jauh berbeda dari yang dia dengar sebelumnya.
“Tidak apa-apa,” Yamada memutuskan kontak mata mereka, “aku hanya ingin ke toilet.”
Inoo memberikan arahan; melewati dapur, pintu pertama di sebelah kiri. Dari ujung matanya, Yamada dapat melihat lelaki itu duduk di sofa, pada sisi lain dari yang ditempatinya tadi. Mengunci pintu setelah masuk ke toilet, Yamada melipat kedua tangannya di depan dada.
Dia sudah berkali-kali membunuh orang. Tidak bodoh untuk tahu bahwa harus menolak minuman dari rumah orang asing. Cukup paham pula apa yang hendak Inoo lakukan di belakangnya tadi. Bukan untuk menepuk bahunya, sasarannya lebih menuju pada tengkuk Yamada.
Apa dia hanya berpikir berlebihan? Dia tidak pernah punya kencan pertama yang berlangsung mulus seperti ini, jadi, apakah otaknya membuat pikiran yang tidak-tidak mengenai Inoo?
Sayangnya, bukan pikirannya yang mengada-ada. Hanya saja, Inoo Kei punya satu kesamaan dengan Yamada; hobi mereka mencari cinta sembari mengambil nyawa.