hiirei

Inoo31stbirthday

[#inooyama, serial killer au] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kencan bagi seorang Yamada Ryosuke adalah sebuah misi.

Kalau ditanya pada orang-orang terdekatnya dulu, saat dia masih berada di bangku sekolah, mereka tahu pasti tentang ambisinya mencari cinta. Yang mereka tidak ketahui adalah ambisinya yang lain; mengambil nyawa. Menyatukan keduanya, seorang Yamada mencari orang untuk diajak kencan dan dibunuh pada hari yang sama.

Dia tidak lagi menghitung tempat kencan atau pembunuhan yang dia buat setelah sekitar korban nomor tujuh ditemukan pihak berwenang. Setelahnya, dia memilih untuk menjadikan hobi ini sebagai pekerjaannya—beberapa orang punya cukup rasa benci yang membuat mereka bersedia menghabiskan uang demi mengikuti kata hati mereka.

Selain itu, dia juga bisa menganggap ini sebagai salah satu bentuk kencan buta, bukan?

Namun sore itu, tak lama setelah dia menuntaskan pekerjaannya dan duduk di salah satu kursi bar, sebuah suara menyebalkan menyapanya. Dia tidak mengenali orang itu, pun sepertinya orang itu juga baru melihatnya pertama kali. Ada sesuatu yang membuat Yamada merasa tidak nyaman, seperti rasa gugup dalam dirinya ketika mata mereka bertemu atau dingin yang hadir pada ujung jemarinya.

“Kau sendirian?” tanya lelaki itu, satu tangannya memegang gelas yang terisi setengah. Senyum kecil menghiasi wajahnya, memberikan kesan tenang ketika dipadukan dengan sepasang matanya yang sayu.

Mengikuti gerak lelaki itu, tangan Yamada memainkan gelasnya yang kosong sedari tadi, tidak ada niatan meminta tambahan karena seharusnya dia sudah berjalan keluar bar pada detik ini. “Apa urusanmu?”

“Tergantung padamu,” tangannya kini dipakai untuk menopang dagunya, “kau punya kesibukan besok malam?”

“Mungkin iya, mungkin tidak,” Yamada menahan senyum, “tergantung padamu.”

Sore itu, nama Inoo Kei hadir dalam memorinya beserta rentetan nomor telepon yang tersimpan dalam ponselnya. Yamada tidak mengiyakan undangan Inoo untuk janji makan malam esok harinya, namun dia juga tidak menolak. Inoo hanya tersenyum, mengatakan dia akan menunggu karena yakin Yamada pasti hadir.

Yamada berdiri di depan pintu restoran yang tak jauh dari bar kemarin. Dalam saku sudah tersimpan alat-alat yang selalu dia bawa. Dia tidak yakin apakah Inoo membawa mobil atau tidak—biasanya Yamada selalu mengajak teman kencannya pulang dengan mobilnya. Semoga saja tidak, karena barang lainnya ada di dalam sana.

Inoo datang lebih awal, sudah duduk di tempat janji ketika Yamada melangkah masuk. Pakaiannya necis seperti kemarin, seakan dia baru saja pulang dari kantor. Yamada dapat membayangkannya bekerja di balik komputer dalam suatu ruangan di gedung tinggi, melakukan presentasi pada klien, atau memimpin rapat tim kerjanya.

Yamada mengambil tempat di hadapannya, membalas senyum Inoo dan berbasa-basi sedikit. Tempat itu favorit Inoo, sudah biasa dia kunjungi, bahkan beberapa pelayan tampak akrab dengannya. Hal yang mengundang Yamada untuk membuka mulutnya bertanya.

“Jadi aku bukan yang pertama menemanimu di sini?” Nadanya sedikit kecewa.

“Kau cemburu?” Inoo menaikkan satu alisnya. “Jadi kau tipe yang langsung menganggap kencan pertama spesial, ya.”

Ingin Yamada memutar bola matanya, namun bibirnya tidak dapat menahan senyum. Unik, menurutnya, sebab umumnya dia mendapatkan kencan pertama yang membosankan.

Malam itu terus berjalan. Yamada sedikit terkejut hatinya tidak merasa gundah ingin cepat pada sesi selanjutnya dari kencan ini atau matanya yang tidak sibuk melirik jarum jam. Hatinya sedikit berharap juga akan ada kencan kedua, kalau-kalau nanti isi hatinya berubah dia bisa melakukan sesi yang tertunda.

“Tempatku atau tempatmu?” tanya Inoo, tangannya mengeluarkan kunci dari saku. Yamada menaikkan kedua alisnya, sedikit menimbang pilihannya, tentu memikirkan barang-barang yang menunggu di dalam bagasi mobilnya.

“Tempatmu tidak apa-apa,” jawabnya, menantang dirinya sendiri karena dia tidak pernah mengunjungi tempat orang yang dia kencani. Tidak juga ke tempatnya, sebab semua akan dia eksekusi di pertengahan jalan antah-berantah.

Tempat Inoo, tidak jauh dari bayangannya, terlihat cocok untuk lelaki itu. Sedikit berantakan di beberapa tempat, catnya monoton, serta tidak banyak barang personal yang dapat menggambarkan kepribadiannya lebih jauh.

Yamada duduk di salah satu sofa, tepat berada di depan televisi, dihalangi meja pendek pas untuk menaruh gelas atau barang lain. Inoo sempat menawarinya minum, namun dia menolak, sudah cukup meneguk cairan pada makan malam mereka tadi. Walau begitu, Inoo tetap menaruh satu gelas jus di depannya, embun dingin mengisi ruang kosong gelas.

Mengerutkan alisnya, Yamada menatap bibir gelas, melihat serbuk putih di satu sisi. Tidak banyak, namun Yamada bukan orang bodoh untuk tidak menyadari ada yang salah.

Mendengar langkah kaki berjalan mendekat di belakangnya, walau terlalu pelan sampai dia sempat tidak menyadarinya, Yamada menoleh cepat. Badannya sedikit menyingkirkan diri dari tangan Inoo yang tergerak untuk menepuk bahunya.

“Ada apa?” Suara Inoo terlalu lembut di telinganya sekarang, intonasi jauh berbeda dari yang dia dengar sebelumnya.

“Tidak apa-apa,” Yamada memutuskan kontak mata mereka, “aku hanya ingin ke toilet.”

Inoo memberikan arahan; melewati dapur, pintu pertama di sebelah kiri. Dari ujung matanya, Yamada dapat melihat lelaki itu duduk di sofa, pada sisi lain dari yang ditempatinya tadi. Mengunci pintu setelah masuk ke toilet, Yamada melipat kedua tangannya di depan dada.

Dia sudah berkali-kali membunuh orang. Tidak bodoh untuk tahu bahwa harus menolak minuman dari rumah orang asing. Cukup paham pula apa yang hendak Inoo lakukan di belakangnya tadi. Bukan untuk menepuk bahunya, sasarannya lebih menuju pada tengkuk Yamada.

Apa dia hanya berpikir berlebihan? Dia tidak pernah punya kencan pertama yang berlangsung mulus seperti ini, jadi, apakah otaknya membuat pikiran yang tidak-tidak mengenai Inoo?

Sayangnya, bukan pikirannya yang mengada-ada. Hanya saja, Inoo Kei punya satu kesamaan dengan Yamada; hobi mereka mencari cinta sembari mengambil nyawa.

[#takanoo, pacar sewa au, berasa kayak ftv dan mungkin sedikit alay tapi yaudahlah ya judulnya saja sudah menyebalkan] [untuk #Inoo31stbirthday]

Takaki tahu jelas bahwa jodoh tidak datang dengan sendirinya. Sudah berkali-kali dia mendengar keluarganya untuk cepat mencari gandengan, karena—ternyata—hanya dia yang belum punya sejarah membawa pasangan ke rumah.

Bukannya Takaki punya standar tinggi atau kesulitan mencari cinta, tapi dia hanya belum merasa ada yang cocok saja.

Jadi, ketika pernikahan kakak perempuannya tinggal tiga hari lagi, dengan hati sedikit enggan sedikit berharap, dia mengiyakan perkataan kakaknya.

“Besok, kamu harus bawa seseorang, jangan sendirian,” ucap kakaknya, setengah mengancam. “Kalau belum ada yang bisa diajak, aku punya kenalan yang punya jasa jadi pacar sehari.”

Bukan pertama kali juga Takaki ditawari hal seperti ini. Pacar sewa, khususnya pada acara-acara penting seperti ini, cukup sering jadi pilihan. Dia tidak pernah mencoba sebelumnya, tidak tahu mau mulai mencari dari mana. Tidak mengerti juga bagaimana dia bisa mencari pasangan sungguhan jika menggunakan jasa pacar sewa.

“Memangnya ada masalah kalau aku datang sendiri?” Takaki mencoba beralasan. Sepupunya yang lain juga ada yang datang tidak membawa pacar, hanya mengajak teman atau sahabat.

“Ada,” jawab kakaknya cepat, “kau tahu sendiri di acara pertunanganku kemarin. Banyak yang menanyakan nomor teleponmu, tapi apa ada yang kau hubungi?”

Takaki hanya bisa menggeleng pelan. Bahkan dia tidak ingat lagi keberadaan nomor-nomor itu, terlalu sering mengganti kontak karena banyak nomor jahil menghubunginya.

“Kalau kamu terlihat sudah ada pacar kan setidaknya mereka tidak akan digantungi harapan palsu.” Kakaknya menghela napas, menatapnya serius. “Tenang saja, dia cowok yang profesional, kamu mau minta apa saja dia bisa sanggupi selagi masih wajar.”

Sedikit terkejut, Takaki pikir kakaknya akan menyuruhnya membawa perempuan alih-alih lelaki. Namun, setelah dipikir lagi, mungkin kakaknya sengaja agar dia tidak menolak.

Saat itulah dia bertemu dengan seorang Inoo, dua hari sebelum pernikahan kakaknya. Cara berpakaiannya tidak jauh berbeda dari Takaki, hanya hoodie dengan celana panjang. Rambutnya sedikit mencolok, bergelombang dan menutupi matanya sesekali, terlihat halus tertiup pelan oleh angin.

“Jadi,” Inoo menatapnya sambil melipat kedua tangannya di atas meja, “kau suka tipe seperti apa?”

Takaki tidak terlalu memikirkan tipe, lebih banyak mengandalkan perasaannya saja untuk menyukai seseorang. Namun dia tetap memberikan jawaban—seperti apa yang sudah dititipkan oleh kakaknya sesaat sebelum dia pergi—agar Inoo memiliki gambaran hal yang harus dilakukan nantinya.

Berbicara banyak dengan Inoo, khususnya untuk membuat cerita bohongan tentang pertemuan mereka dan siapa yang menyatakan perasaan terlebih dahulu, Takaki mau tak mau menyimpan beberapa fitur lelaki itu di dalam memorinya. Seperti caranya berbicara, suara yang terdengar ringan dan unik di telinga Takaki, jemarinya yang lentik mengusap layar ponsel, atau caranya mengalihkan topik dengan mudah.

Jika disuruh memberi kesimpulan, Takaki menilai Inoo tidak terlalu buruk juga. Pertemuan ini tidak terasa seperti pertemuan pertama kali untuk membicarakan skenario buatan akan hubungan mereka.

“Takaki,” Inoo memanggilnya sesaat sebelum dia beranjak dari kursinya, pembicaraan mereka sudah selesai beberapa menit lalu, “jangan tiba-tiba suka denganku sungguhan.”

Mengerutkan alisnya, Takaki sedikit heran akan pernyataan itu. Memangnya apa salahnya kalau sungguhan? Bukannya Takaki yakin juga dia akan benar-benar suka, namun tidak ada yang tidak mungkin, bukan?

“Kalau suka sungguhan bagaimana?”

“Nanti repot,” Inoo menopang dagunya, “aku sulit diatur sebagai pacar sungguhan.”

Takaki harus menahan dirinya untuk tidak memutar bola matanya. Pertemuan ini hanya menghabiskan beberapa jam, tapi dia sudah sedikit terbiasa dengan jawaban Inoo yang suka mengada-ada.

Aneh. Tapi Takaki tidak terlalu keberatan.

“Justru kau yang jangan suka padaku sungguhan,” Takaki membalas, “aku sulit menyukai.”

“Tenang saja, mudah untuk menyukaiku, makanya aku memberimu peringatan dari sekarang.”

Inoo memberinya senyum, lalu berjalan lebih dulu keluar dari sana. Takaki hanya menghela napas, dalam hati sedikit tidak sabar menunggu hari pernikahan kakaknya tiba.

[#ariino, au: knight!daiki + shapeshifter!inoo] [untuk #Inoo31stbirthday]

Satu hal yang Daiki tidak suka adalah seorang shapeshifter.

Dalam konteks umum, dia mengakui kekuatan seorang shape shifter pantas diberi penghargaan. Tidak mudah mengganti wujud dalam waktu singkat, terlebih jika pergantian sangat drastis. Misalnya dari manusia menjadi binatang kecil seperti tikus atau kucing. Mempertahankan wujud juga menjadi suatu tantangan, sebab tidak sembarang orang dapat bertahan lama.

Daiki tidak terlahir dari golongan penyihir. Hanya berasal dari keluarga biasa yang mengabdi pada kerajaan. Walau begitu, dia sempat belajar sedikit, sesekali memperhatikan Hikaru, teman penyihirnya, memperlihatkan tipuan sihir pada Sabtu malam. Chinen, teman lainnya yang belajar sihir sejak Daiki pertama mengenalnya, juga suka memberinya beberapa informasi mengenai sihir.

Oleh karena itu, dia tidak bodoh-bodoh amat untuk tahu bahwa kucing di hadapannya ini bukanlah kucing sebenarnya.

Belum lama ini, Daiki mendapat promosi dan diberikan pos jaga di gerbang belakang istana. Bukan posisi terbaik, sebab dia juga masih muda dan baru, namun sesekali dia bisa beristirahat sebentar jika tidak ada agenda penting.

Kucing itu datang menghampirinya setiap pagi, lalu berubah menjadi anjing di siang hari, dan kembali menjadi kucing ketika malam. Sesekali Daiki melihatnya sebagai burung berwarna coklat, cukup berisik jika Daiki murung, namun akan cepat diam jika Daiki pelototi.

Daiki tidak mengerti tujuan dan siapa sosok dibalik hewan-hewan ini. Dia tidak merasa pernah kenal dengan seseorang dengan kemampuan shape shifter, tidak pernah tertarik untuk mencari juga.

Suatu hari, kucing itu membawa amplop dalam mulutnya. Sedikit basah, namun Daiki merasa bersalah jika menolak. Satu kertas di dalamnya, diisi dengan tulisan tangan yang kecil dan sedikit naik-turun.

Halo, tampan Kau punya sesuatu yang tak sadar kau curi Kau mau tahu apa sesuatu itu?

Tulisan itu sebenarnya bisa menjadi petunjuk bagi Daiki untuk mengetahui siapa penulisnya. Tidak banyak orang yang tahu baca dan tulis, biasanya hanya kalangan kerajaan, penyihir, atau seniman.

Tapi Daiki tidak punya energi untuk mencari tahu.

“Apa yang kucuri?” Daiki berjongkok, menatap kucing itu dengan sebal. “Hatimu?”

Kucing itu mengeong pelan, Daiki bisa merasa kucing tersebut terkekeh jika menjadi manusia. Menghela napas, Daiki kembali berdiri tegap, memasukkan amplop tadi dengan asal-asalan ke dalam saku celana.

“Maaf, aku tidak tertarik.”

Sayangnya, seakan justru penolakan dari Daiki membuatnya bersemangat, amplop-amplop terus datang dibawa si kucing. Beberapa kali, kucing itu langsung beranjak setelah Daiki meraih amplop dari mulutnya, tapi tentu dia tahu kucing itu memperhatikannya dari kejauhan.

Isi-isi surat itu tidak lebih dari kata-kata manis yang jelas ingin memikat hati Daiki. Bukannya terlalu percaya diri atau bagaimana, tapi dia juga sudah menceritakan hal ini pada Chinen—yang sudah bersumpah tidak akan membocorkannya pada siapapun—dan temannya juga berkata sama.

Dia suka padamu.

Namun, suatu hari, datang satu surat yang membuatnya berpikir.

Halo, tampan Aku tidak tahu kau ingat atau tidak Tapi aku berutang budi padamu

Daiki berusaha mengingat-ingat kegiatannya beberapa waktu lalu. Rasanya dia tidak pernah membantu orang sampai orang itu bisa berutang budi padanya.

Matanya teralih pada kucing itu, kini tetap berada di dekat kakinya, kedua matanya yang besar menatap lekat Daiki. Jadi ada rasa iba pada hatinya, padahal Daiki masih sebal dengan kelakuannya.

“Aku tidak ingat,” Daiki mengelus pelan kepala kucing itu, “jadi tidak usah kau pikirkan lagi. Kau tidak berutang apa-apa.”

Pada keesokan harinya, kucing itu tidak lagi datang. Tidak juga dalam wujudnya yang berupa anjing atau burung. Menghilang tanpa jejak. Daiki hanya tahu dia benar-benar ada dari surat-surat yang selalu disimpannya.

Bukan salahnya juga. Daiki yang memutuskan dia tidak punya utang apa-apa, mungkin akhirnya dia bisa kembali bebas dan tidak merasa perlu membalas Daiki dengan mengusiknya.

Walau selalu berkata dia sebal, Daiki tidak bisa menahan dirinya untuk melihat seekor kucing di tengah jalan dan berharap itu kucing yang sama dengan yang selalu mengusiknya. Dia tidak bisa menahan diri juga untuk sengaja berjalan-jalan keliling kota, berharap menemukan sosok yang dia kenali.

“A-ah, maaf,” ujar Daiki cepat, setelah tidak sengaja menabrak seseorang.

Dia tidak terlalu sadar akan langkahnya dan orang itu jadi korban benturannya. Orang itu tidak menjawab sehingga Daiki sedikit mendongakkan kepalanya—ternyata orang itu sedikit lebih tinggi darinya.

Kesan pertama yang terlintas di kepalanya adalah bentuk rambut lelaki itu yang sedikit aneh. Cocok, sebenarnya, untuk fitur wajahnya yang terbingkai rapi. Matanya yang menyala terkena pantulan cahaya, sedikit terlihat sayu ... rasanya dia pernah melihatnya di suatu tempat.

“Ini aku.” Lelaki itu menatapnya, tumpuan kakinya berpindah dari kanan ke kiri.

“Kamu?” Daiki mengerutkan alisnya. “Siapa?”

Aku.” Daiki ingin memutar bola matanya. Jawaban itu tentu tidak membantu. “Halo, tampan.”

Seketika, Daiki sedikit teriak, membuat lelaki itu terlonjak dan menyuruhnya untuk diam. Orang-orang di sekitar mereka sempat menoleh untuk sesaat sebelum akhirnya kembali pada urusan masing-masing.

“Kamu!” Kini, mata Daiki justru beralih ke seluruh fitur tubuh lelaki itu, sedikit terkejut karena hewan yang biasanya dia temui berbeda jauh dari bayangannya. “Ini wujud aslimu atau hanya wujud-wujud lainnya yang suka kau pakai untuk merayu hati orang?”

Lelaki itu mengalihkan pandangannya sesaat. “Asli.”

“Sungguh?” Daiki menatap tidak percaya. “Ya, apapun itu, syukurlah kau baik-baik saja. Kupikir kau sakit atau ada hal buruk menimpamu ketika kau berhenti datang.”

“Tapi kau tidak suka kalau aku datang.”

Mendengus dalam hati, lelaki itu tidak salah juga. Dia sering sekali mengoceh tidak ingin diganggu, jadi wajar saja jika lelaki itu menganggapnya sungguhan tidak suka dihampiri.

“Ya, begitulah.” Daiki menatapnya satu kali lagi. “Kalau begitu, aku duluan. Sampai jumpa.”

“Ah, tunggu! Kau lupa sesuatu!”

Menghentikan langkahnya, Daiki menoleh dari bahunya. Hatinya sedikit senang lelaki itu memperpanjang percakapan, namun tentu dia tidak akan berkata apa-apa.

“Kau lupa menanyakan namaku.” Lelaki itu tersenyum lebar. “Namaku Inoo, Inoo Kei.”

Dan Inoo Kei menjadi alasan tambahan seorang Daiki tidak menyukai shapeshifter (tapi lain lagi dengan kata hatinya).

[#hikanoo, berdasarkan lagu “18”-nya One Direction walau sepertinya agak melenceng ya hmm.] [untuk #Inoo31stbirthday]

“Kalau sudah bersama lebih dari tujuh tahun, pasti bosan, kan?”

Hikaru memainkan pulpen yang dipegangnya, mengalihkan perhatiannya sejenak dari lembar lirik yang ditulisnya. Tanpa sadar, tatapannya langsung jatuh pada Inoo yang sedang duduk di ujung ruangan, sibuk berbicara dengan Daiki dan Chinen. Sesekali tawanya terdengar, bersahutan dengan tawa lainnya, menggema dalam ruang yang tidak punya banyak barang itu.

“Tidak sampai tujuh, biasanya tiga tahun saja sudah cari yang lain, bukan? Mantanku kemarin seperti itu, bosan katanya.”

Dia juga tidak mengerti mengapa perkataan teman-temannya tempo hari kini kembali memenuhi pikirannya. Padahal, saat itu dia sudah yakin bahwa hal-hal tersebut tidak akan terjadi antara dia dan Inoo.

Tentu dia percaya pada lelaki itu. Walau sikapnya yang suka sekadarnya dan terlalu abstrak untuk orang lain hadapi, Hikaru yakin dirinya-lah yang paling mengerti Inoo. Sesekali memang ada pikiran yang sulit dia pahami, namun dia berusaha untuk mencari cara agar dapat mengerti.

Satu yang pasti, Hikaru yakin Inoo tidak bisa direbut siapapun. Dia yakin, hanya dia yang dapat menarik hatinya. Dia yakin ....

Yang tidak dia yakin adalah dirinya sendiri.

“Kau tidak pernah tahu, kan, bisa saja kau bertemu orang baru di suatu tempat dan hubunganmu yang sekarang terasa tidak penting? Atau kau merasa orang itu lebih memikat hatimu. Bisa saja, kan?”

Dia tahu, Inoo bukanlah pasangan yang biasa. Tingkahnya yang ... unik serta pola pikirnya yang tak terduga selalu saja meluluhkan hatinya. Namun bagaimana kalau hatinya suatu saat teralih? Bagaimana kalau otaknya tidak sanggup menahan hatinya?

Merasa ada yang janggal, Inoo menoleh ke arah lelaki lain yang ada di ruangan itu, membiarkan Daiki dan Chinen berdebat mengenai baju yang lebih nyentrik. Matanya mendapati Hikaru, pulpen di tangannya menganggur, begitu juga dengan tatapannya yang melamun.

Kalau orang lain melihatnya, mungkin mereka akan mengira Hikaru mencari inspirasi lirik, mungkin mencari kata yang berima, atau memikirkan kata-kata yang harus diubah. Namun untuk Inoo, dia tahu di kepala Hikaru tidak ada pikiran mengenai lirik sama sekali. Ada sesuatu yang mengganggunya.

Beranjak dari duduknya—Daiki dan Chinen terlalu sibuk berdebat sehingga tidak menanyakan dia—Inoo berjalan ke belakang Hikaru dan menempatkan kedua tangannya untuk menutupi mata kekasihnya.

“E-eh?” Hikaru bergumam. “Siapa?”

Inoo mengerutkan alisnya, memberikan nada yang terdengar sebal pada kalimatnya, “Menurutmu siapa?”

“Oh, Inoo-chan.”

Menghela napas, tangan Inoo beralih mencubit pelan pipi Hikaru sebelum dia mengambil posisi di kursi yang menganggur di hadapannya. Hikaru mencoba memberi senyum, jelas menutupi jejak dirinya yang baru saja melamun.

“Jadi,” Inoo melirik kertas di meja Hikaru yang hanya terisi tulisan dua baris, “apa yang mengganggu pikiranmu?”

Lucu baginya melihat Hikaru terkejut, seakan dia tidak pernah menanyakan hal seperti ini sebelumnya. Baginya, pikiran Hikaru mudah untuk dia mengerti, biasanya terlihat jelas dalam wajahnya. Walau sering tidak dapat mengungkapkan perasaannya secara langsung, Inoo selalu dapat paham tanpa kata-kata.

“Tidak ada,” Hikaru mengalihkan pandangannya dari tatapan Inoo, “hanya kebingungan mencari kata-kata untuk lirik lagu ini.”

“Hikaru, kau pikir sudah berapa lama kita bersama?”

Mendengar pertanyaan itu, raut wajah Hikaru justru semakin terlihat rumit. Terlihat sekali pertanyaan Inoo membuatnya semakin memikirkan apapun yang ada di dalam otaknya sedari tadi.

“Apa ini ada hubungannya dengan teman-temanmu kemarin?”

Inoo tidak ikut pergi dengan Hikaru kemarin, memilih membiarkan lelaki itu pergi sendiri walau dia juga diundang. Dia cukup mengenal teman-teman Hikaru, pernah pergi makan bersama juga, namun dia tidak ingin mengganggu waktu Hikaru bersama temannya.

Ketika pulang, Hikaru memang sedikit terlihat memikirkan sesuatu. Inoo tidak menanyakan apa-apa, memilih membiarkan Hikaru menyelesaikannya sendiri sampai lelaki itu mau cerita dengannya. Masalah itu sempat terlihat selesai, sementara, karena Hikaru kembali seperti biasanya setelah beberapa hari. Sampai saat ini.

“Ya, sedikit,” jawab Hikaru, meletakkan pulpennya di atas tumpukan kertas. “Jangan tertawa, ya.”

Kedua alis Inoo terangkat. Bukan sekali duakali dia tertawa akan masalah Hikaru, memang, karena seringkali masalah yang dipikirkan terlihat sepele. Padahal Inoo pikir dia-lah orang yang rumit di antara mereka berdua, namun tidak jarang juga Hikaru memikirkan suatu masalah terlalu dalam.

“Akan kucoba.” Karena Inoo tidak benar-benar bisa berjanji sebelum mendengar apa yang menjadi masalah.

Menatap Inoo lama, lalu pada Daiki dan Chinen yang beranjak keluar ruangan, Hikaru akhirnya menceritakan kegelisahannya. Tidak se-sepele yang Inoo kira, namun tidak rumit juga.

“Hikaru, aku mengenalmu ketika kita masih sama-sama remaja yang tak tahu malu.” Inoo melipat kedua tangannya. “Aku menyukaimu bahkan sebelum aku sadar bagaimana rasanya menyukai seseorang.”

“Tapi—”

“Aku mengenalmu sejak lama. Suka padamu sejak lama. Aku tahu kamu, Hikaru, sama seperti kamu tahu aku.” Tangannya kini beralih pada kedua pipi Hikaru. “Aku cukup yakin, hanya aku yang bisa mengambil hatimu.”

Mendengarnya, Hikaru terdiam. Kalau boleh jujur, dia tidak tahu akan apa jadinya kalau hatinya tidak dicuri oleh lelaki ini. Dunianya akan jauh lebih berbeda, entah lebih baik atau buruk, namun rasanya Hikaru tidak mau menukarnya dengan apapun.

“Tahu tidak, sih, ini saat yang tepat untuk kau maju dan menciumku.”

Hikaru memutar bola matanya, bibirnya membentuk senyum. Dia akhirnya mendaratkan ciuman pada bibir Inoo, singkat, sengaja agar lelaki itu yang menciumnya kembali lebih dalam.