hiirei

Inoo31stbirthday

[#inoyuto, fluff, domestic setting] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kejutan selalu hadir setelah dia memutuskan untuk menghabiskan hidupnya bersama seorang Nakajima Yuto.

Inoo terkenal sebagai orang paling random di antara teman-temannya. Kelakuannya sulit ditebak, reaksinya lebih sering berada di luar pemikiran, dan ucapannya selalu berada di antara “sangat tepat” atau “topik baru yang tidak ada kaitannya sama sekali dari pembicaraan sebelumnya”. Walau sifatnya ini unik dan mengundang banyak orang untuk berbicara dengannya, tidak jarang juga yang kesulitan untuk mengikuti tempo bicaranya.

Namun menurut Inoo, dirinya bukanlah hanya satu-satunya manusia abstrak yang dia kenal.

Ketika bertemu dengan Yuto, teman-temannya dengan cepat mengatakan mereka punya sifat yang mirip. Inoo mungkin tidak punya energi sebanyak Yuto—hanya sesekali saja di saat Inoo memang sedang mood—namun cara mereka menghadapi sesuatu hampir sama; sama-sama tidak bisa ditebak.

Terlebih ketika suatu hari Yuto datang, mendorong pintu kedai tempat mereka janji akan bertemu dengan penuh tenaga, kedua matanya menatap dalam Inoo, lalu berkata, “Kumohon, jadilah kekasihku.”

Perlahan, Inoo mulai mengerti Yuto sedikit demi sedikit. Sesekali dia dapat menebak alur berpikirnya—membuatnya sedikit percaya dengan ucapan temannya yang berkata dia dan Yuto itu berjodoh. Sesekali, Yuto tidak dapat menutupi intensinya, lebih-lebih usahanya untuk berbohong. Sedikit banyak, Inoo bangga akan pencapaiannya sebagai orang yang paling mengerti Yuto.

“Jadi,” Inoo menghela napas, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, “aku tidak boleh beranjak dari sini?”

Lelaki jangkung di hadapannya mengangguk keras, senyum lebar hadir di wajahnya—senyuman yang menandakan dia sedang bermain-main dan tidak akan berhenti sampai puas. Tanpa menyadarinya, senyum itu menular pada wajah Inoo.

“Tidak boleh,” Yuto berkacak pinggang, “sebelum aku mendapat satu pelukan erat dan ciuman.”

“Aaah, begitu, ya.” Inoo berpikir sebentar, mengingat apakah ada janji penting yang harus dia hadiri pagi ini. Tidak ada, seingatnya. Kalau-kalau ternyata ada, Yabu pasti akan menelponnya, setengah marah dan setengah panik karena Inoo terbiasa lupa.

“Iya, begitu.” Tampaknya Yuto pun tidak ada sesi pemotretan pagi ini. Lelaki itu punya jadwal kerja yang lebih abstrak darinya, lebih sering diundur dan dimajukan pada waktu yang terlalu mepet, jadi ada kemungkinan Yuto terpaksa harus mengalah dalam permainan ini.

Inoo tahu seberapa besar dampak kekalahan pada Yuto, lebih sering sengaja mengalah agar lelaki itu senang, namun kali ini tidak ada salahnya juga dia mempertahankan diri untuk menang.

“Baiklah, kalau begitu aku akan kembali tidur saja di sini.” Inoo merebahkan diri pada sofa, satu bantal yang diposisikan di bawah kepalanya, satu lagi dia ambil untuk dipeluk. Badannya bergerak-gerak mencari posisi yang nyaman.

“Kembali tidur?” Ekspresi Yuto sedikit kecewa. “Memangnya kau tidak harus pergi bekerja?”

“Harus, sih,” Inoo mulai memejamkan matanya, “tapi kan kau tidak membolehkanku lewat.”

Sejenak, tidak ada suara dari Yuto. Inoo yang sudah memejamkan mata sedikit ingin mengintip, namun menahan rasa penasarannya. Dalam hati sedikit merasa bersalah, baik pada Yuto yang akhirnya diam atau Yabu jika betulan ada janji temu pagi ini.

Tak lama, dia merasakan berat tubuh menduduki sofa yang dia tiduri, membuat kedua matanya terbuka untuk melihat apa yang terjadi.

Kedua matanya menangkap mata Yuto, serta cengirannya yang tetap lebar seperti beberapa menit lalu, badannya ikut merebahkan diri di samping Inoo. Sofa itu tidak besar-besar amat untuk menjadi tempat tidur dua orang dewasa, Inoo mau tak mau harus melempar bantal yang dia peluk ke lantai.

“Kalau begitu aku akan ikut tidur di sini.” Jarak mereka terlalu dekat, napas mereka saling menerpa wajah satu sama lain.

“Kau tidak perlu pergi bekerja hari ini?” Inoo bertanya dengan satu alis terangkat, tangannya dengan cepat memeluk Yuto agar lelaki itu tidak terjatuh.

“Aku meliburkan diri.” Tentu itu tidak akan sepenuhnya terjadi sebab dia tahu Yuto akan tetap berlari mengejar waktu jika ada sesi pemotretan nanti.

Tapi itu urusan nanti. Kini, Inoo memberikannya ciuman yang diminta dan lelaki itu akan tetap berbaring dengannya karena satu pelukan dan ciuman saja tentu tidak cukup.

[#inoo & #yamada, the girl on the train-based au, #yabunoo + #yutoyama + #yamachine sebagai pairing] [untuk #Inoo31stbirthday]

Inoo suka memandang keduanya di pagi hari, setiap dia melewati kawasan itu dengan kereta.

Dia tidak mengenal mereka sungguhan, nama saja tidak tahu, hanya selalu melihatnya ketika kereta yang dia naiki melewati rumah mereka. Pada pagi-pagi saat dia berangkat terlalu siang, dia hanya akan melihat lelaki itu, sendiri, tetap berada di beranda lantai dua rumahnya, menatap pemandangan sekitarnya dengan senyum kecil.

Menurut Inoo, lelaki itu punya segalanya yang dia pernah miliki.

Dia juga pernah berada dalam posisi yang sama; rumah hangat yang selalu menjadi tempatnya berpulang, ketenangan dalam diri yang terpancar dari wajahnya, serta kekasih yang mencinta dan dicintanya.

Yabu, kekasihnya dulu, hampir sama tinggi dengan kekasih lelaki itu, rambut mereka sama-sama hitam dengan poni yang jatuh tepat sebelum alis mereka, senyum sama-sama lebar dan menenangkan. Mereka sama-sama akan memberi pelukan pagi, menaruh dagu mereka di atas kepala, kedua tangan tak akan dilepas sampai jarum jam menunjukkan mereka akan terlambat kerja.

Perbedaannya hanyalah Inoo pernah memiliki semuanya. Lelaki itu masih mempunyai apa yang tadinya dia punya. Inoo paham bagaimana perasaan lelaki itu, merasa segalanya akan baik-baik saja selama mereka memiliki satu sama lain, hatinya tidak lagi dipenuhi rasa gundah karena sudah mendapat apa yang dia cari.

Karena hal itulah Inoo suka memandangnya, suka melihat lelaki itu karena dia akan teringat kembali pada masa-masa ketika dia masih baik-baik saja. Lelaki itu bagai dongeng untuknya, tercipta sebagai wujud dari harapannya yang berhenti menjadi kenyataan.

Karena hal itulah, Inoo tidak mengerti ketika melihat lelaki itu berdiri di tempat yang sama bersama lelaki lain.

Lelaki lain itu tidak pernah dia lihat sebelumnya. Mereka berdua tersenyum, membicarakan sesuatu dengan jarak terlampau dekat, terlalu dekat bahkan ketika lelaki itu mendekap si lelaki lain dari belakang. Persis seperti cara kekasih lelaki itu mendekapnya.

Siapa dia? Mengapa lelaki itu justru bersama lelaki lain sekarang?

Padahal, pagi kemarin Inoo masih melihat mereka bersama, senyum masih ada di wajah masing-masing. Padahal selama ini, selama dua tahun Inoo memperhatikan mereka melalui kereta ini, tidak ada yang salah di antara mereka. Mungkin sesekali ada pertengkaran, sebab dia ingat pernah melihat lelaki itu tidak mau membalas sapaan kekasihnya, namun tak lama kemudian mereka pasti akan akur kembali.

Namun, jika sudah seperti ini, apakah mereka akan kembali baik-baik saja?

Inoo kehilangan Yabu dalam sekejap. Bukan karena mereka lelah, bukan karena mereka memutuskan untuk tidak bersama lagi suatu pagi, namun karena takdir senang mempermainkan mereka. Kecelakaan itu terjadi begitu cepat; satu kedipan dan detik selanjutnya dia berada dalam mimpi terburuknya. Dia berada di lokasi kejadian, bersama Yabu, namun hanya dia yang masih bernapas hingga kini.

Dia sudah kehilangan dongeng yang dia hidupi. Dia tidak mau harus kehilangan dongeng lainnya yang dapat dia saksikan setiap pagi. Dongeng lain yang membuatnya tetap waras menjalani hari karena percaya masih ada harapan bahagia selamanya di luar sana.

Hari itu, dia turun di stasiun tempat dia melihat lelaki itu tinggal. Dia mengeluarkan ponsel sembari setengah berlari, mengetikkan pesan singkat dengan ketikan acak pada Hikaru, meminta sahabatnya itu memundurkan pertemuan mereka sampai sore nanti.

Rumah lelaki itu terletak tak jauh dari stasiun, walau sempat membuat Inoo tersesat sedikit karena banyaknya gang kecil yang membuatnya terkecoh. Tampak depan rumah itu tak jauh dari yang dia bayangkan; garasi yang kini kosong, pagar yang tak menyampai pinggangnya, serta beberapa tanaman yang tertata rapi di halaman. Melirik pada kotak surat yang tersedia tak jauh dari pagar, Inoo mengingat nama mereka; Nakajima-Yamada.

Jari panjangnya menekan bel, tak lama terdengar sahutan dari dalam menyuruhnya untuk menunggu. Suaranya sedikit berbeda dari yang Inoo bayangkan, namun dia tidak terlalu keberatan.

“Ada yang bisa kubantu?” tanya lelaki itu, ternyata lebih pendek darinya, menatapnya dengan curiga.

“Siapa lelaki lain itu?” Kedua mata Inoo beralih ke dalam rumahnya. “Apa dia masih ada di sini?”

“Apa maksudmu?” Lelaki itu semakin curiga, menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Aku selalu melihatmu setiap pagi melalui jendela kereta.” Inoo memutuskan untuk memberinya sedikit penjelasan. “Aku selalu tahu kau tinggal bersama kekasihmu yang jangkung. Pagi ini kau bersama lelaki lain. Siapa dia?”

Lelaki itu tampak terkejut dengan penjelasannya, mengambil langkah mundur bersamaan dengan pintu yang hampir ditutup. “Kau penguntit? Berhenti memperhatikanku atau rumahku ... atau apapun yang ada di sini. Silakan pergi dan jangan kembali.”

“Kau tidak mengerti,” Inoo mendesak, mencoba menahan pintu itu agar tidak tertutup sepenuhnya, “jangan buang apa yang kau punya. Apa yang kurang dari kekasihmu? Aku yakin kalian bisa memperbaikinya.”

“Kau orang asing, kau tidak tahu apa-apa!” Nadanya meninggi, mendorong pintu dengan sekuat tenaga. “Ini bukan urusanmu. Pergi atau aku panggil polisi.”

Tidak punya banyak kekuatan untuk menahan, lelaki itu berhasil menutup pintu dan menguncinya kembali, meninggalkan Inoo di depan rumahnya. Tidak baik juga kalau lelaki itu betulan menelpon polisi dan melaporkannya. Inoo pun menghela napas dan melangkahkan diri keluar, menjauh dari rumah itu.

Bukan berarti dia akan menyerah. Dia akan mencari tahu siapa lelaki lain yang dia lihat dan mencari tahu alasan mengapa dia ada di sini bersama lelaki itu. Dia akan memperbaiki cerita ini.

[#hikanoo, robot!inoo au dari skenario yang dibuat yamachinen + artist!hikaru, angst dikit, ya biasalah cerita-cerita robot-manusia, fast paced] [untuk #Inoo31stbirthday]

Yang pertama kali dia lihat adalah kedua mata menatapnya dengan cemas.

Sistemnya bekerja, menatap kedua mata itu lekat, memperhatikan fitur wajahnya yang lain; kedua alisnya yang hampir menyatu dan bibirnya yang sedikit terbuka ingin menyampaikan sesuatu.

“Ah, kau sudah menyala?” tanya lelaki itu, ekspresi cemasnya berubah sedikit, senyum kecil terbentuk dari bibirnya. “Perkenalkan, aku Yaotome Hikaru. Kau bisa memanggilku Hikaru.”

“Hikaru,” dia mengucapkannya kembali, program mencatat apa yang dia dapatkan, “baik. Aku mengerti.”

Kini, lelaki itu sedikit sumringah. Tangannya menuntun agar dia berdiri dan mencoba melangkahkan kakinya yang bergerak kaku. Optiknya bekerja, merekam serta mengidentifikasi segala benda yang ada di ruangan itu.

Hikaru mengambil kertas yang berada di atas meja, membacanya cepat, memastikan tidak ada informasi yang dilewatkan—dia akhirnya paham bahwa kertas itu adalah kertas manual terkait dirinya.

“Jadi, di sini tertulis namamu Inoo,” Hikaru meliriknya sekilas, “kau hanya merespon pada nama itu atau harus kuberi nama lain?”

“Terserah Hikaru,” mata buatannya mengedip dua kali, “kau kan pemilikku.”

Terdengar tawa kecil dari Hikaru, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk memanggilnya dengan nama Inoo saja.

Hikaru bukan tipe orang yang sering sekali pergi keluar. Pekerjaannya tidak mengikat dia pada satu tempat, jadi dia dapat bepergian ke mana saja ketika dia ingin, terlebih untuk mencari inspirasi. Sesekali dia mengajak Inoo keluar, sekadar pergi ke kedai kopi favorit Hikaru atau menemaninya ke toko buku untuk membeli peralatannya.

Peran Inoo juga tidak terbatas pada satu bidang. Dia diciptakan sebagai teman manusia, mengajak mereka berbicara, atau melakukan apa saja yang mereka inginkan. Walau begitu, dia juga diprogramkan untuk dapat mengerjakan pekerjaan rumah dasar. Hikaru lebih suka mengerjakan segalanya sendiri, jadi biasanya dia hanya duduk menemani atau mengajaknya berbicara.

Suatu hari, Hikaru pulang dengan wajah yang tidak dapat Inoo pahami. Kalau dia harus menebak, mungkin campuran antara senang, takut, dan bingung.

“Ada apa?” Inoo bertanya, prosesornya bekerja, siap menanggapi perkataan Hikaru.

“Aku,” Hikaru menempatkan diri di sebelah Inoo dengan cepat, jemarinya meremas bantal sofa yang kini dia pegang, “sepertinya aku jatuh cinta.”

Inoo tidak langsung menanggapi. Cinta, berdasarkan pemrosesnya, adalah perasaan yang dialami manusia terhadap orang lain, bisa juga terhadap benda mati atau makhluk hidup lainnya. Ada banyak kelebihan ketika manusia merasakan cinta—atau dalam kasus Hikaru, jatuh cinta—namun tentu ada banyak kekurangannya juga.

“Tapi aku tidak tahu harus bagaimana,” lelaki itu melanjutkan, badannya kini bersandar sepenuhnya pada sofa.

“Ada aku,” Inoo cepat menanggapi, “aku bisa membantumu.”

Mendengar tanggapannya, wajah Hikaru yang sempat murung dan putus asa sedikit mendapatkan warna cerahnya kembali. Inoo sedikit heran ketika bibirnya ikut melengkung ketika melihat Hikaru tersenyum.

Walau berkata begitu, tetap saja tidak dapat dipungkiri bahwa Inoo hanyalah sebuah robot. Jangankan cinta, suka duka saja hanya dapat dia pahami melalui prosesornya. Jadi, kali ini juga dia membantu Hikaru melalui apa yang dia dapatkan dari pencarian terbanyak di mesin pencari.

“Uang,” Inoo menaruh pakaian yang menurutnya cocok untuk Hikaru kenakan, “perempuan suka dengan uang.”

“Aku juga suka mendengar itu, sih,” Hikaru melihat pantulan dirinya di cermin, melepas baju yang dia kenakan untuk diganti, “tapi tidak mungkin aku langsung memberinya uang saja, bukan?”

“Kau bisa membelikannya sesuatu,” Inoo mengangkat kedua bahunya, prosesornya bekerja mengikuti film yang mereka tonton kemarin, “cincin, mungkin? Menurut pencarian, cincin efektif membuat perempuan dapat mengatakan 'ya' ketika kau mengungkapkan perasaanmu.”

“Cincin,” kedua alis Hikaru terangkat, “baiklah.”

Sayangnya, rencana tersebut tidak berhasil. Alih-alih menerima Hikaru, perempuan itu—seorang penjual bunga di toko yang baru saja buka dekat kedai kopi favorit Hikaru—justru menolaknya, mengatakan dia tidak tertarik pada benda-benda yang dapat dinilai.

Hikaru tentu semakin murung, sedikit merasa putus asa, namun Inoo tetap berusaha mencari cara. Dia kembali lagi mengumpulkan informasi yang dapat dia temukan, menelaah video-video atau film romansa untuk mencari solusi lain.

“Kencan,” Inoo mengejutkan Hikaru suatu pagi, ketika pemiliknya itu baru saja terbangun, “kau harus mengajaknya kencan.”

“Kau yakin ini akan berhasil?” Hikaru mengusap matanya pelan. “Kau yakin dia tidak trauma melihatku kemarin, hampir melamarnya?”

Inoo menganggukkan kepalanya, sedikit menggeret Hikaru untuk bangkit dari tempat tidurnya, membawanya ke arah kamar mandi. “Kalian harus mengenal satu sama lain dulu. Ajak dia makan malam.”

Merasa tidak ada salahnya mencoba, Hikaru mengikuti saran Inoo, kembali melangkahkan kakinya pads toko bunga itu. Kali ini, Inoo mengikutinya diam-diam, dirinya sendiri juga tidak paham dari mana asal kontrol dalam sistemnya yang membuat dia melakukan ini.

Optiknya menangkap sosok Hikaru, terbalut dalam pakaian yang dia pilihkan kembali beberapa waktu lalu, senyum gugup mengisi wajahnya. Perempuan itu berambut cokelat, mengenakan apron biru di atas kaus putihnya yang panjang, mendekap bunga-bunga yang masih segar. Wajahnya sedikit terkejut melihat Hikaru, namun terdapat senyum kecil muncul tak lama setelahnya.

Dari jaraknya yang cukup jauh dan sekelilingnya yang ramai, Inoo tidak dapat mendengar percakapan mereka. Namun perempuan itu menganggukkan kepalanya, tersenyum malu, begitu juga dengan Hikaru. Dalam sistemnya, Inoo menganggap itu sebagai pertanda keberhasilan karena sedikit mirip dengan adegan dari salah satu film yang dia jadikan referensi.

Perempuan itu masuk ke dalam toko untuk beberapa waktu, lalu keluar kembali tanpa apronnya. Keduanya berjalan menjauh dari sana, entah ke mana, membicarakan sesuatu yang membuat bahu mereka terguncang sedikit karena tawa.

Inoo tidak mengikutinya lagi, programnya memilih untuk kembali pulang dan menunggu Hikaru di rumah. Siap mendengarkan ceritanya mengenai malam ini. Atau mungkin tidak, dia dapat saja mematikan diri secara otomatis, mengabaikan Hikaru jika lelaki itu memanggilnya, lalu menyapa Hikaru esok hari tanpa menyinggung kencannya dengan perempuan itu.

Menghentikan langkahnya menuju rumah, Inoo mengecek manual sistemnya. Mengapa dia sempat memikirkan opsi untuk mematikan diri secara otomatis dan mengabaikan Hikaru? Seharusnya dia meresponnya dan menjalankan tugasnya sebagai pendengar, bukan?

Tidak mendapatkan anomali dalam sistemnya, Inoo meneruskan langkahnya. Mungkin hanya ada error sedikit karena sempat terciprat air ketika tak sengaja membuka pintu kamar mandi Hikaru tadi pagi.

[#takanoo, angst dikit, tidak sepenuhnya setting canon, cheating theme] [untuk #Inoo31stbirthday]

Inoo selalu tahu ke mana Takaki pergi pada malam-malam ketika mereka tidak bersama.

Mereka belum tinggal di bawah atap yang sama, memilih untuk menjaga tempat personal masing-masing. Hanya saja hampir selalu bermalam bersama, entah di tempat Inoo atau Takaki—mana saja yang lebih dekat setelah mereka menghabiskan sore bersama.

Walau begitu, Inoo tetap tahu kalau Takaki diam-diam pergi menemui orang lain.

Awalnya hanya terlihat samar. Satu atau dua kalimat bohong yang terucap tidak cukup meyakinkan Inoo. Takaki juga bukan tipe pembohong ulung, tidak di depan Inoo.

“Kau kan tahu dia,” Yabu mengalihkan tatapannya dari Inoo, suatu hari ketika Inoo memasukkan Takaki dalam percakapannya dengan yang lebih tua, “kau juga tahu kondisinya sejak awal, bukan?”

Takaki belum pernah punya pasangan tetap sebelumnya. Hanya berganti dari satu orang ke orang lain, tanpa ikatan berarti yang dapat disebut hubungan. Merasa dirinya bebas, sebebas lautan yang membentang luas, tidak mau dimonopoli sebelum akhirnya Inoo datang.

Mungkin salahnya juga, mencinta terlalu dalam pada sosok sebebas Takaki.

Inoo tidak mengatakan apa-apa, tidak pernah berkomentar, bahkan ketika kebohongan itu tidak lagi Takaki tutupi. Mungkin lelah juga, harus membual dan memikirkan kalimat sebelum bertemu dengannya sehingga membiarkan apa saja yang Inoo pikirkan menetap dalam pikirannya.

Walau tidak pernah keberatan jika kalah, kali ini Inoo tidak mau mengakui kekalahannya. Dia tahu Takaki menunggunya untuk mengucapkan emosinya, mempertanyakan apa yang Takaki cari di luar sana, atau mempertaruhkan apa yang mereka punya. Namun dia akan tetap diam, mengabaikan pesan-pesan yang masuk ke dalam ponsel Takaki, menutup mata pada jejak-jejak yang sengaja dibiarkan terlihat oleh lelaki itu.

Dan Inoo melakukan hal yang sama.

Tidak sulit untuknya mengimitasi Takaki, membuat skor yang sama untuk menunjukkan dia juga dapat memikat orang sebanyak yang kekasihnya sudah lakukan. Membiarkan jejak-jejaknya terlihat jelas, sama-sama menanti agar Takaki membuka mulutnya terlebih dahulu. Menatapnya dengan tajam, menekannya agar mengalah lebih dulu.

Daiki mengatakan bahwa mereka gila. Begitu juga dengan Yabu. Keduanya merasa mereka lebih baik bermain sesuatu yang lebih nyata dibanding perasaan yang semu. Pada akhirnya, mereka akan sakit sendiri, sebab baik Yabu dan Daiki tahu perasaan keduanya.

Keduanya tahu Takaki sudah menemukan apa yang dia cari pada diri Inoo. Begitu juga Inoo yang selalu hanya mengisi kekosongannya dengan Takaki.

“Kalian tahu, kan? Tahu bahwa kalian sudah cukup untuk satu sama lain?”

Inoo tidak bisa menjawab banyak. Mungkin Takaki tidak tahu, itu sebabnya dia masih berkelana bebas di luar sana. Mungkin dirinya sendiri tidak tahu, itu sebabnya dia mencoba menemukan apa yang Takaki cari.

Yang lain selalu bertanya; sampai kapan kalian akan seperti ini? Pertanyaan itu juga bukan sesuatu yang dapat dia jawab, karena perannya kini hanya menunggu. Menanti waktu Takaki menemukan jawaban untuk mereka.

Waktu yang ditunggu itu datang, Inoo kehilangan hitungan, namun yang penting adalah Takaki, dengan wajah bersalahnya, membuka mulutnya.

“Berhenti saja, ya?” Nadanya bertanya, satu tangannya menahan Inoo yang hendak keluar dari ruangan. Tentu Takaki tahu tujuan Inoo malam ini, sudah diberi petunjuk sejak kemarin hari.

“Apanya yang berhenti?” Inoo berlagak tidak tahu. Walau dia menunggu saat ini tiba, bukan berarti dia siap menghadapinya.

“Semuanya,” Takaki menghela napas, “semua yang kita lakukan di luar sana.”

“Memangnya kau yakin?”

Inoo ingin percaya bahwa ketika Takaki menginginkan semuanya berhenti, itu artinya dia sudah menemukan apa yang dia cari. Apapun itu—baik dirinya atau bukan. Namun, setelah sekian lama dan tiba-tiba hari ini datang tanpa tanda apapun sebelumnya?

Melihat Takaki yang ragu menjawab membuatnya semakin paham. Takaki hanya merasa bersalah dan tidak ingin memperpanjang apa yang sudah dia mulai.

Sebut dia kejam, tapi Inoo ingin mengulur rasa bersalah itu lebih lama.

“Tidak, kau tidak yakin.” Inoo memberinya jawaban yang tidak berani Takaki ucap. “Jadi aku pun tidak akan berhenti, Takaki.”

Dengan senyum di wajahnya yang tulus dia berikan, dia pergi meninggalkan Takaki.

[#inochine, fab au; mermaid!inoo + pinokio!chinen, ada kaitannya sama drabble “seorang boneka dan duyung”] [untuk #Inoo31stbirthday]

Inoo selalu suka dengan dunia manusia.

Sebagai seekor duyung, dia hanya bisa mengarungi lautan, melihat manusia dari kejauhan ketika mereka datang dengan kapal-kapal besar, dan mendamba pantai yang tak pernah bisa dipijaknya. Padahal dia selalu membayangkan rasanya menyentuh pasir, ekornya yang akan perlahan berubah menjadi sepasang kaki ketika menyentuh tepi pantai, serta cerita-cerita lainnya yang menjadi dongeng ketika dia kecil.

Semua hilang, tidak lagi berlaku bagi mereka karena salah kumpulan penyihir dan nenek moyangnya yang berselisih, membuat sebuah kutukan diberikan agar para duyung tidak pernah bisa mendekati pantai.

Namun pantai itu berbeda.

Inoo menemukannya setelah berenang bertahun-tahun, jauh meninggalkan rumahnya yang lama-kelamaan terasa seperti penjara. Pantai itu sama terkutuknya dengan duyung, tidak pernah didatangi makhluk magis berbahagia karena hanya ada hal-hal terbuang di dalamnya. Tempat yang menjadi mimpi buruk para peri sebab mereka akan kehilangan sihir mereka begitu masuk ke daerah pantai tersebut.

Jadi, untuk Inoo, tempat itu adalah dunianya yang baru.

Manusia-manusia akan datang pada waktu tertentu, membawa hal-hal yang mereka anggap tidak berguna, menaruhnya sembarangan di sana. Barang-barang itu didominasi dengan mainan, beberapa sudah rumpang dan kehilangan sebagian bentuknya, terlihat kesepian dalam langit malam ketika mereka dijatuhkan dari kotak besar yang membawa mereka.

Inoo akan datang ketika pagi, sinar matahari lebih membantu kedua kakinya untuk muncul, beberapa sisiknya akan meleleh menyisakan kulitnya yang sama seperti manusia. Sisik-sisik itu nantinya akan hadir lagi ketika malam tiba, bulan mengubah wujudnya kembali menjadi duyung. Rambut putihnya yang sedikit biru akan terbelai angin, mengering lebih cepat ketika siang tiba. Kedua kakinya akan terasa aneh digunakan pada awalnya, membuat dia tidak bisa berjalan lurus. Tapi dia cepat belajar, dapat berlari ketika sudah berjalan lama.

Yang membuat kesehariannya berubah adalah ketika dia bertemu dengan seorang boneka.

Inoo sudah lama mengunjungi pantai itu. Banyak boneka yang dia lihat dan pegang, baik boneka menyerupai hewan atau manusia.

Namun boneka yang satu itu benar-benar seperti manusia.

Inoo merasakan kehangatannya ketika ujung-ujung jarinya menyentuh pipi boneka itu. Sedikit samar, mungkin karena hujan yang menerpanya semalam, namun dia juga dapat merasakan napasnya yang teratur. Kelopak matanya bergerak-gerak sedikit sebelum sepenuhnya terbuka, kedua mata gelap menatapnya tidak yakin.

Dengan cepat, Inoo menarik tangannya, memundurkan langkahnya menjauh. Dia belum pernah berada sedekat itu dengan presensi manusia, walau dia hanya sebuah boneka.

Setelah hari itu, sang boneka seakan hapal akan kehadirannya. Dia selalu berada di tempat yang sama, menatapnya dalam diam ketika matahari terbit. Begitu juga ketika matahari ditelan laut, memberinya ucapan sampai ketemu esok hari dari tatapannya.

Boneka itu keras kepala. Inoo selalu diam, tidak pernah menginisiasi apa-apa karena dia tidak tahu apakah boneka itu akan mengerti apa yang dia ucapkan. Tidak juga menjawab ketika suatu hari sang boneka menyapanya, syukurnya dengan bahasa yang dia pahami, begitu juga dengan hari-hari berikutnya.

Lagipula, boneka itu cukup berisik. Bukan jenis berisik dengan suara yang kencang dan menyebalkan, namun banyak berbicara. Suaranya pelan, lebih banyak ditelan suara gelombang laut, namun Inoo sebagai makhluk laut bisa mendengar jelas.

“Suatu hari, aku tiba-tiba saja bisa bergerak,” cerita boneka itu suatu siang, berdiri beberapa langkah di samping Inoo yang lebih tertarik melihat rumah-rumahan, “katanya, aku diberi keajaiban.”

Inoo berhenti memandang benda yang dia pegang, tanpa sadar kepalanya sudah menoleh ke arah boneka itu. Keajaiban. Lucu sekali. Di sinilah dia, seekor duyung yang terkutuk, bertemu dengan boneka yang mendapat keajaiban.

“Ada apa?” Boneka itu terlihat gelisah sebab baru kali ini Inoo menatapnya lama.

“Keajaiban,” Inoo sedikit berpikir suaranya akan hilang, namun untungnya masih terdengar jelas, “kau harus menjaganya baik-baik.”

Keajaiban tidak datang pada semua makhluk yang ada di muka bumi. Para pemberi keajaiban—yaitu semua penghuni langit—biasanya pilih-pilih. Inoo suka berpikir bahwa mereka yang mendapat keajaiban hanyalah karakter buatan belaka, dibuat hanya untuk memberi motivasi pada anak-anak agar berlaku baik.

Lucu, sebenarnya, jika dia kembali pulang ke rumahnya dan menceritakan boneka ini pada ibunya yang suka mendongeng tentang keajaiban. Mungkin boneka ini akan jadi bahan omongan di rumahnya sebab hampir tak ada yang pernah menjelajah laut selain ayahnya. Sepupu-sepupunya yang pergi mencari tahu lebih luas tentang laut tidak pernah kembali. Sama sepertinya.

Boneka itu diam, mungkin tidak tahu harus berkata apa lagi. Inoo jadi merasa sedikit bersalah juga, memotong cerita sang boneka yang mungkin sudah dirangkai semalaman.

“Namamu,” Inoo menarik perhatian si boneka kembali, “siapa namamu?”

“Chinen, Chinen Yuri,” boneka itu sedikit berpikir setelah menjawab, “Yuri saja tidak apa-apa, Chinen diambil dari nama pembuatku.”

“Yuri,” Inoo mengulang sebab dia tidak begitu pandai mengingat nama, “aku Inoo.”

Tangannya terulur, mendapat tatapan lama dari si boneka. Menahan untuk tidak memutar bola matanya, Inoo melangkah sedikit, mendekatkan diri agar Yuri lebih mudah menggapai tangannya.

“Kau hanya perlu menjabat tanganku,” ucapnya, tangannya yang lain meraih satu tangan Yuri untuk dia genggam. “Begini.”

Sebuah senyum muncul pada wajah si boneka, secara tak sadar menular pada wajah Inoo.

Ini hanyalah cerita antara duyung yang terkutuk dan boneka yang diberi keajaiban.

[#yabunoo, berdasarkan lagunya One Direction, “Tell Me A Lie”] [untuk #Inoo31stbirthday]

Inoo suka berpikir bahwa tidak ada yang berubah di antara mereka.

Yabu juga begitu, dulu, selalu menceritakan ke siapa saja bahwa mereka tidak berubah. Dari segala hal yang mereka alami, mereka punya satu sama lain yang tetap sama. Konstan. Dan untuk Inoo yang tidak terlalu suka perubahan, dia merasa nyaman dengan apa yang mereka punya.

Yabu juga begitu, dulu, selalu berkata dia menganggap mereka adalah tempatnya kembali. Tempatnya merasa baik-baik saja. Tempatnya merasa tidak asing dengan dunia yang selalu berputar dan berubah tiap detiknya.

Mungkin, semua salahnya karena terlalu percaya akan semua itu. Salahnya karena terlalu yakin mereka berbeda dari yang lain.

Karena pada akhirnya Yabu berubah. Tidak pada semua orang, namun hanya pada dirinya.

Senyuman serta tatapannya yang memikat merupakan hal yang selalu membuat hati Inoo jatuh berkali-kali. Dia tidak terlalu dapat merangkainya dengan kata-kata, hanya saja ada sesuatu yang membuat Yabu tampak bersinar lebih dari yang lainnya. Ada yang terlihat berbeda ketika Yabu menatapnya dibanding ketika lelaki itu menatap orang lain.

Takaki selalu mendengus sebal setiap melihat Yabu yang sudah menatap Inoo seperti itu, mengatakan bahwa mereka tidak perlu mengumbar cinta yang sudah terlihat jelas di depan wajahnya. Yabu dan Inoo hanya akan memutar bola mata mereka, tersenyum kecil karena tahu temannya hanya mengejek cemburu.

Sayangnya, akhir-akhir ini, semua yang terasa magis dalam tatapannya hilang. Begitu juga dengan senyumannya yang hanya dapat Inoo lihat ketika Yabu berbicara dengan yang lain.

Inoo tidak ingat kapan tepatnya semua tidak lagi sama. Mungkin ketika mereka terlalu lelah karena pekerjaan? Atau ketika jadwal mereka tidak memungkinkan mereka untuk bertemu? Atau kapan?

Keheningan di ruangan yang mereka tempati bersama seakan menjadi kebiasaan baru. Tidak banyak juga yang mereka lakukan selain tidur di malam hari. Ketika pagi tiba, salah satu dari mereka pasti sudah pergi, menyisakan ruang kosong yang tak memberi perbedaan berarti dibanding ketika bersama.

Saat mereka bertemu di lokasi pekerjaan pun tidak ada interaksi apa-apa. Yabu yang pertama meminta agar mereka tidak terlalu dekat ketika di luar rumah, menjaga jarak karena dia tidak bisa menahan diri kalau terlalu dekat, lebih baik mereka bersikap biasa saja. Namun, lama-kelamaan, Inoo juga jadi bertanya-tanya, apa yang dapat termasuk dalam kategori biasa saja?

Inoo memang bukan tipe yang perlu diberi afeksi setiap saat. Bukan juga tipe yang mau memperdebatkan hal kecil seperti tidak bertemu di pagi hari atau tidak ada canda-tawa yang mengisi hari mereka lagi.

Hanya saja, jika tidak ada hal-hal seperti itu dalam hubungan mereka, lalu untuk apa?

Inoo mungkin lupa akan banyak hal, sama seperti Yabu yang juga tidak pandai dalam mengingat, tapi dia yakin dirinyalah yang paling mahir dalam mengobservasi. Dia tentu menyadari alasan di balik perilaku Yabu yang tidak lagi sama. Dia hanya berharap, untuk kali ini saja, perkiraannya salah.

“Yabu,” lidahnya terasa asing menyebut namanya, “kau tidak lelah?”

Pertanyaannya dapat ditujukan untuk segalanya, baik untuk hari ini, untuk kemarin, atau untuk segala waktu yang mereka habiskan bersama dalam keheningan.

Lelaki yang dipanggil menghentikan langkahnya, urung membuka pintu yang hampir dia buka diam-diam. Pakaiannya rapi, memakai sepatu kesukaannya—Inoo tentu hapal akan hal seperti itu.

Mendekat pada Yabu, Inoo mengulurkan tangannya pada bahu lelaki itu, memutar badannya agar mereka berhadapan. Bahkan Yabu tidak mau menatapnya, merasa lantai ruangan lebih menarik.

Kenapa?”

Inoo sedikit terkejut sendiri suaranya tidak bergetar. Berbeda dari hatinya yang kacau, suaranya terdengar tenang seakan dia membicarakan hal yang biasa.

“Kau mau aku menjawab apa?”

Entah, tidak ada ekspektasi apa-apa yang Inoo pendam. Tidak ada jalan keluar yang dia bayangkan. Tidak tahu juga apa yang dapat membuat semua kembali semula.

“Aku juga tahu kamu lebih dari siapapun,” Yabu kembali membuka mulut, “aku yakin kau juga sudah tahu ke mana aku akan pergi.”

Kini, Yabu mengalihkan pandangannya pada Inoo, tatapannya jauh dari yang selama ini Inoo kenal. Tidak ada sosok Yabu yang dulu, yang membuat hatinya tercuri dalam sekejap.

“Kalau kau pergi,” Inoo mengeratkan genggamannya pada bahu Yabu, “tidak ada yang tersisa di antara kita.”

Tidak ada apa-apa lagi. Kebersamaan mereka bukan lagi dilandasi kemauan, hanya keharusan. Hanya karena ini adalah hal yang selalu mereka lakukan sejak lama, karena keluar dari rutinitas berarti mengakui perubahan yang ada di antara mereka.

“Bukankah memang sudah tidak ada yang tersisa?”

Tanpa menunggu, Yabu melepaskan diri dari genggaman Inoo, membuka pintu dan keluar dari sana, meninggalkan semua yang mereka bangun selama ini dalam ruangan dengan Inoo di dalamnya.

[inoo-centric, ar (alternate reality), ditulis dari sudut pandang kedua karena saya demennya pov 2 ehehehe, tidak akurat seperti realita jadi jangan dibawa serius ;2; isinya kebanyakan narasi uhuhu] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kau terbangun sama polosnya dengan dinding ruangan itu.

Jemarimu otomatis meraba keningmu, terbalut perban yang terasa sedikit kasar di ujung jemari. Tangan kananmu berat, punggung tangan ditusuk jarum agar cairan dapat masuk ke tubuhmu. Kedua kakimu juga terasa kaku seakan lama tidak digerakkan, tertutup selimut yang membalutmu sampai pertengahan badan.

Ruangan kecil itu sunyi. Tidak ada siapapun di sana, pun tidak ada barang apa-apa yang menandakan seseorang pernah di sana. Untungnya, jendela di sampingmu tidak ditutupi tirai, menyuguhi pemandangan kota dengan matahari bersinar terang. Kau dapat melihat gedung-gedung asing yang lebih tinggi dari tempatmu berada serta langit yang diisi sedikit awan.

Semuanya asing untukmu. Kau tidak mengerti mengapa kau berada di sini atau bagaimana kau bisa merasa asing. Beberapa hal masih dapat kau ingat; namamu, kenangan masa kecilmu, serta sebagian kecil keluargamu. Selebihnya sulit kau ketahui, seakan memorimu terbuang, menyisakan beberapa kenangan ketika kau masih kecil.

Butuh beberapa waktu sampai akhirnya ada yang menggeser pintu ruanganmu, seorang perempuan yang kau kenal sebagai ibu masuk dengan senyuman lebar. Dia tergopoh keluar, lalu kembali lagi dengan laki-laki yang tak kau kenal. Mungkin dokter, menilai dari pakaian yang dia kenakan.

Kau ingin bertanya, namun dokter itu lebih dulu membuka mulut, menjelaskan hal yang sudah kau pahami beberapa menit lalu. Ingatanmu hilang, dicuri kejadian yang tak kau ketahui dan tidak mereka beri tahu. Kau tidak mendesak mereka, tidak punya tenaga juga untuk berdebat, tenggorokkanmu kering membuatmu seakan lupa berbicara.

Suaramu masih ada, untungnya, tidak juga lupa cara merangkai kata dan mengucapkannya ketika si dokter sudah pergi. Ibumu masih tersenyum, walau kau melihat sendu yang lain dalam tatapannya. Mungkin karena ingatanmu atau mungkin karena hal yang membuatmu berada di dalam kondisi ini. Kau tidak bertanya.

Selain ibumu, ayahmu juga datang di hari lain. Satu bir dia keluarkan dari tas yang dia bawa, cengiran muncul di wajah ketika dia menyodorkanmu kaleng itu, mengatakan kau menyukainya, dulu. Sekarang pun sama, kau mengerti mengapa dirimu menyukainya, rasa yang datang pada indera pengecapmu sedikit familiar dan membuat cemasmu berkurang.

Kau kembali pulang pada hari keempat, dokter tidak lagi memiliki alasan untuk menahanmu. Jalanmu memang belum stabil, namun kau memilih untuk cepat keluar dari sana karena terasa bosan. Sayangnya, baik rumahmu atau rumah sakit, keduanya sama-sama asing bagimu.

Tidak bisa dikatakan rumah juga, sebenarnya, hanya apartemen yang kau tempati sedikit jauh dari letak rumah sakit. Lebih jauh lagi daripada rumah orang tuamu yang menemanimu ke apartemen. Kau tidak keberatan mereka tinggal lebih lama, namun mereka berdalih agar membiarkanmu mengenal dirimu sendiri dulu.

Padahal, kau juga tidak punya petunjuk untuk memulai dari mana.

Tempatmu tidak rapi-rapi amat, kalau mengingat perkataan ibumu. Untungnya, selama kau tidak sadarkan diri di rumah sakit, dia suka datang untuk mengecek dan merapikan sedikit demi sedikit. Jadi tidak terlalu berantakan untuk saat ini.

Kalau menilai dari isi apartemenmu, kau berpikir dirimu bukan orang yang banyak menghabiskan waktu di rumah. Barangmu memang banyak, beberapa butuh dibuang karena pasti tidak terpakai lagi, namun rasanya kau jarang menggunakan barang-barang itu. Kulkasmu juga tidak terlalu memiliki isi, hanya dipenuhi tomat dan beberapa kaleng minuman pada satu sisi.

Satu hal yang sering kau cek sejak kau sadar adalah ponselmu. Sedikit beruntung kau memasang mode face unlock karena kau tidak tahu kata sandi untuk membukanya—yang ternyata kau pernah tulis di catatan ponselmu. Anehnya, tidak ada riwayat pesan dalam ponselmu, tidak juga riwayat panggilan, atau riwayat pencarian.

Ponselmu bukan ponsel baru sebab catatan kata sandimu dibuat tertanggal tahun lalu. Tidak juga pernah dibuka oleh siapapun kalau menurut perkataan ayahmu. Lalu apa? Kau orang yang tidak pernah berbicara dengan siapapun selama ini?

Kontakmu juga hanya terisi tiga orang; ayah, ibu, serta adik perempuanmu yang sempat menelponmu kemarin. Kau ingat suara nyaringnya, sedikit menyebalkan bagimu, namun tentu kau rindu. Selain mereka, kau tidak menyimpan nomor siapapun.

Kau sedikit mempertanyakan dirimu sendiri sebab tidak ingin mempertanyakan keluargamu. Selama ini, apa yang kau lakukan? Siapa yang sering kau temui dan ajak bicara selain ayah, ibu, dan adikmu? Bagaimana kau melewati hari-hari jika kau tidak bekerja?

Pertanyaan-pertanyaan di kepalamu semakin bertambah ketika keesokan harinya sebuah pesan masuk, membuat ponselmu berbunyi untuk pertama kalinya tanpa kau duga.

hei, putri tidur, sudah bangun?

Kau mengerutkan keningmu, menahan ujung bibirmu untuk membentuk senyum membaca kata putri tidur. Pengirim pesan itu tidak punya inisial, hanya menggunakan emotikon lebah, sedikit aneh untukmu karena ... lebah? Mengapa lebah?

Sedikit berpikir-pikir, kau tidak tahu harus menjawab apa. Kau tidak tahu juga apakah orang ini benar-benar mengenalmu sebelumnya atau hanya menjahilimu saja. Jadi, kau meninggalkan pesan itu, memilih untuk mengacak lemari pakaianmu untuk mencari sesuatu yang mungkin dapat membuatmu ingat.

Ponselmu kembali berbunyi tidak lama kemudian, mungkin dari pengirim yang sama, sebal karena kau tidak membalas pesannya. Menghela napas, kau mengalihkan atensimu kembali pada ponselmu, membuka pesan dari si lebah.

dulu kau tidak bisa berhenti menggangguku, sekarang kau bahkan tidak membalas pesanku

Kau pernah mengganggu orang ini? Kalau dipikir, bisa saja, sebenarnya, karena rasanya kau senang untuk mengganggu orang jika mereka memberi reaksi yang menyenangkan.

Pesan selanjutnya datang pada detik berikutnya, membuatmu langsung membaca kalimat yang tertera.

kau tidak mau mengingatku? atau mengingat dirimu?

Tentu kau mau. Menjadi orang dewasa dengan kenangan seperti anak balita bukan hal yang menyenangkan. Rasa cemas dan asing yang selalu ada di dalam dirimu bukan sesuatu yang ingin terus-menerus kau rasakan.

Tapi siapa orang ini? Dia bahkan tidak memperkenalkan diri, membuatmu memanggilnya si lebah tanpa pikir panjang. Ibumu juga sempat berpesan untuk berhati-hati, bukan?

Ah, rasanya seperti balita saja, sungguh.

Menyingkirkan segala rasa cemas tambahan yang datang ketika si lebah memberimu pesan, kau mengambil napas dalam-dalam. Kalaupun ternyata si lebah ini hanya orang iseng atau semacamnya, biarlah. Setidaknya kau bisa mengenal dirimu lebih baik ketika kau berinteraksi dengan orang lain. Mungkin kau tidak akan tahu dirimu yang lalu, namun kau akan memiliki identitas baru yang dapat kau kenali.

Mengetikkan balasan, secara tidak sadar kau menahan napasmu ketika mengetuk tombol kirim.

kalau aku mau, apa yang akan kau lakukan?

[#inoyuto, au; fotografer!yuto + model!inoo, basic sekali ahahah /tertawa miris/ ingin memberi rating 17+ tapi buat lain kali saja] [ untuk #Inoo31stbirthday]

Yuto melihatnya pertama kali melalui lensa kamera yang dipegangnya.

Dia tidak pernah terlalu tertarik menatap model yang akan dia foto terlalu lama. Hanya sebatas untuk mengarahkan atau memberi instruksi saja. Walau bekerja pada bidang yang dibanjiri orang-orang dengan tampang memikat, Yuto tidak sekalipun mau terlibat dengan mereka secara personal. Dia tahu jelas isi dunia model; rumit, penuh dengan sembunyi sana-sini, serta berpura-pura.

Yuto bukan tipe orang yang ingin diam-diam jika memiliki hubungan. Dia ingin semua orang tahu pasangannya sudah dimiliki dia.

Teman-temannya selalu mengejek, mengatakan dia hanya butuh waktu untuk bertemu dengan orang yang tepat. Beberapa berkata seperti itu lebih disebabkan Yuto yang tidak ingin mengenalkan mereka pada model-model yang dia temui atau mengajak mereka ke lokasi pemotretan.

Maka ketika pandangannya jatuh pada sosok lelaki itu, yang ada dalam pikirannya hanyalah tawa temannya, mengatakan, “Sudah kami bilang, bukan?”

Lelaki itu datang memakai baju biasa, hanya sepasang kaus polos dan celana panjang. Rambutnya sedikit berantakan ketika dia melepas topi, poni menutupi kedua matanya yang terlihat seperti baru terpejam lama.

Awalnya, lelaki itu sibuk berbicara dengan orang yang datang bersamanya—kemungkinan manajernya sebab pembicaraan mereka cukup serius. Mereka duduk di sisi lain ruangan sehingga Yuto tidak terlalu dapat memperhatikan keduanya. Lagipula, dia masih harus menyiapkan peralatannya.

Pemotretan saat itu hanya mengambil foto berlatar di dalam rumah untuk menampilkan kesan domestik. Pihak majalah sempat berkata tidak perlu mengambil banyak foto, beberapa saja karena akan ada latar lain yang lebih dominan.

Yuto melihat lelaki itu pergi ke ruangan kecil dari sudut matanya, pasti untuk mengganti pakaiannya sebab tak lama ada orang lain yang datang membawakan baju. Dia sudah selesai menyiapkan semuanya, tinggal menunggu sang model dan memotret.

“Maaf,” sebuah suara membuatnya menoleh, “aku sudah siap.”

Rambutnya kini terlihat sedikit bergelombang, poni tidak lagi terlalu menutupi matanya. Warnanya coklat agak muda, mungkin karena terkena banyak cahaya, atau karena sudah dikeringkan juga—Yuto baru menyadari lelaki itu datang dengan rambut agak basah, sepertinya.

Pakaiannya tidak terlalu berbeda jauh dari awalnya; masih memakai kaus hanya saja berbeda warna, dilapisi kardigan hitam panjang yang menyisakan jemarinya, memperlihatkan kuku yang sudah dipotong pendek. Celana panjangnya juga berwarna hitam, lalu diakhiri dengan dua kaus kaki putih.

Terlalu lama memperhatikannya, lelaki itu memiringkan kepalanya sedikit, matanya bergerak-gerak menatapi ekspresi Yuto. “Apa ada yang salah?”

“Ah, tidak.” Yuto mengalihkan pandangannya. “Silahkan duduk di atas sofa itu.”

Tidak sulit untuknya kembali pada mode bekerja. Walau beberapa kali pikirannya teralihkan karena ekspresi lelaki itu terlalu unik baginya, Yuto tetap berhasil mengambil beberapa foto dengan cepat. Lelaki itu juga tidak sulit menerima arahan, mudah mengerti apa yang Yuto inginkan dan memberikan gaya yang cocok.

Melihat-lihat foto yang sudah diambilnya sembari membiarkan lelaki itu beristirahat sebentar, Yuto tidak bisa menahan matanya untuk kembali memperhatikan fitur lelaki itu. Aura yang diberikannya pada foto-foto itu seakan seorang pacar yang tidak sengaja dia foto, senyumannya membuat Yuto tergelitik untuk melengkungkan bibirnya juga, lalu wajahnya yang terlihat nyaman ketika tertidur membuatnya menghela napas panjang. Dia harus cepat menyelesaikan pekerjaan ini dan kembali pulang.

“Ada yang kau suka?”

Yuto cepat menoleh ke sampingnya, melihat lelaki itu ikut menatap ke kamera yang ada di genggamannya. Senyum kecil muncul pada fiturnya, tampak tidak masalah dengan mengajaknya berbicara tidak formal.

“Semua sudah oke,” Yuto memberi jarak di antara mereka, “untuk bagian ini sudah selesai. Terima kasih atas kerja samanya.”

Lelaki itu tidak menanggapi, hanya mengalihkan pandangannya sehingga dia menatap Yuto tanpa berkata apa-apa. Sedikit bingung, Yuto melirik ke kanan dan kiri, tidak mendapati seorang pun yang melihat ke arah mereka.

“Nakajima-san,” lelaki itu memanggil namanya, suara lebih pelan dari sebelumnya, “kau tidak tahu siapa aku, ya?”

Yuto tidak spesifik memilih pekerjaannya sendiri. Karena dia menyanggupi pekerjaan memotret apa saja, dia menyerahkan semuanya pada Yabu atau Yamada, rekan kerjanya yang lain. Dia hanya akan menerima jadwal pemotretan yang harus dia hadiri dan membawa peralatan, entah sendirian atau berdua dengan rekan kerjanya.

Jadi, dia tidak terlalu memperhatikan nama model yang tertera pada jadwalnya—lebih fokus pada alamat dan perlengkapan—kecuali Yabu dan Yamada bergosip sehari sebelumnya.

Menggeleng pelan, Yuto melihat kedua alis lelaki itu terangkat. Kepalanya mengangguk sedikit, mengambil langkah untuk mendekatkan diri pada Yuto.

“Inoo Kei,” senyuman lelaki itu semakin melebar, “ingat namaku. Kita akan bertemu lagi, Nakajima-san.”

Tanpa menunggu reaksi Yuto, lelaki itu, Inoo Kei, membalikkan badannya dan kembali masuk ke dalam ruangan ganti. Dia tidak lagi bertemu dengan model itu, tidak juga melihatnya pergi walau sudah sengaja memperlambat diri untuk membereskan peralatannya.

Pada hari itu, Yuto pulang membawa satu nama dalam ingatan dan beberapa foto yang dia simpan personal.

[#inochine, fab au; mermaid!inoo + pinokio!chinen. isinya narasi doang sepertinya ;2; banyak terpengaruh last mermaid karena lagi dengerin lagu ini eheheh] [untuk #Inoo31stbirthday]

Chinen tidak pernah melihat seseorang seindah dia.

Sebenarnya, Chinen juga tidak yakin dapat menyebutnya sebagai seseorang. Dia suka datang dalam wujud seperti manusia lainnya, seperti dia, dengan kedua kaki yang dibalut celana hitam panjang. Sepatu hitam menutupi kedua kakinya yang melangkah pelan. Namun, ketika malam tiba, dia akan kembali ke dalam laut, menggunakan ekornya untuk berenang menjauh dari pantai.

Chinen selalu bertemu dengannya sejak dia berada di sini, di pantai tempat pembuangan semua mainan anak-anak berada. Chinen tidak tahu juga apakah dirinya masih dapat dikatakan sebuah mainan ketika kulitnya bisa tergores dan luka seperti manusia. Kedua matanya dapat berkedip cepat, napasnya sesekali tersegal jika berjalan terlalu lama, kedua tangannya dapat menggenggam apapun yang dia mau.

Ketika dia menjadi seorang manusia, rasanya aneh. Mulutnya cepat terasa kering, nantinya suara yang keluar dari mulutnya akan terdengar serak, dan yang paling menyebalkan adalah hatinya. Dia dapat merasakan hal-hal yang tidak dia inginkan, seperti kesedihan ketika dia harus dibuang, kekecewaan ketika tidak ada lagi yang menginginkannya, atau patah hati ketika dia terlihat jauh walau sosoknya berada tepat di hadapannya.

Chinen tidak mengerti apa yang membuatnya berbeda dari manusia lain yang pernah dia temui. Mungkin karena dia terlihat indah di bawah cahaya matahari? Mungkin karena senyumnya terlihat memikat dan menarik sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada di dalam hatinya?

Pada pantai pembuangan ini tidak ada siapapun yang dapat dia ajak bicara. Mainan lainnya bukan seperti dia yang tiba-tiba bisa hidup. Tidak ada manusia lain yang datang ke tempat itu selain datang membuang mainan setiap satu bulan sekali. Tidak ada peri-peri kecil yang datang karena tempat ini terlarang.

Yang ada hanya lelaki itu, datang setiap matahari terbit dengan wujudnya sebagai manusia. Lalu pergi ketika matahari terbenam dengan wujudnya sebagai duyung.

Lelaki itu hampir tidak pernah berbicara. Awalnya, Chinen kira dia tidak dapat bersuara—dia pernah membaca dongeng duyung yang harus menukar suaranya demi mendapat dua pasang kaki. Namun pernah suatu kali Chinen mendengarnya bernyanyi, pelan, ketika dia pelan-pelan mengikuti lelaki itu jauh ke dalam hutan.

Suaranya memang bukan suara yang terindah. Ketika di kota dulu, Chinen sudah sering mendengar manusia lain bernyanyi. Akan tetapi, Chinen suka dengan suaranya. Unik, sedikit kasar pada beberapa kali dia bernyanyi, seringkali terlalu tinggi daripada biasanya, namun mudah membekas dalam ingatan Chinen.

Lelaki itu hanya datang untuk melihat mainan yang ada. Itulah awal mereka bertemu. Chinen yang tertidur perlahan tersadar ketika ada jemari yang menelusuri fitur wajahnya. Jemarinya terasa basah, dingin, namun Chinen dapat merasakan kehangatan dalam bentuk lain ketika telapak tangan itu mendarat pada pipinya.

Tangan itu dengan cepat menjauh darinya ketika Chinen membuka mata, menemukan sepasang mata biru muda yang menatapnya dengan kejut. Rambut putihnya terlihat sedikit lebih terang terkena pantulan matahari pagi, terbelai pelan oleh angin pantai.

Mungkin pada detik itulah Chinen menyukainya.

Kali lain menemuinya, Chinen melihatnya menangis. Ketika itu, Chinen masih terjaga walau bulan sudah naik tinggi di atas langit. Pikirannya selalu terisi sosok duyung yang menarik atensinya. Ketika itu pula, pikirannya berhenti karena mendengar isakan, agak jauh dari tempatnya berada.

Lelaki itu bersandar pada satu batu besar yang cukup jauh dari tempat Chinen berada, tak jauh dari pinggir pantai. Dia dapat melihat kepiting serta beberapa bintang laut di batu itu, tak jauh dari posisi lelaki itu duduk. Isakannya timbul-tenggelam, diiringi bahunya yang bergetar. Chinen tidak berani mendekat, takut membuatnya kembali ke laut dan pergi. Jadi dia hanya duduk dari kejauhan, bertanya-tanya pada diri sendiri penyebab lelaki itu menangis.

Chinen tidak pernah berkata apa-apa. Begitu juga dengan lelaki itu. Mungkin seharusnya dia mulai mencoba sebab dia mulai merasa frustrasi sendiri.

Namun mengatakan sesuatu untuk pertama kalinya merupakan hal yang sulit. Berkali-kali setelahnya, Chinen selalu bertemu dengan lelaki itu setiap pagi dan malam, hening di antara mereka selalu datang mengisi. Dia tidak tahu bagaimana lelaki itu akan bereaksi, takut justru membuatnya tidak akan kembali.

Pagi itu, Chinen menemuinya lagi ketika matahari terbit. Lelaki itu memandangnya sebentar, membuat jantung yang baru hadir dalam diri Chinen berdetak cepat, namun kontak mata itu diputuskan beberapa saat setelahnya, memilih melihat benda-benda lain yang berserakan di sekitar pantai.

Dalam hati, Chinen berusaha mendorong dirinya untuk bergerak. Apa sulitnya mengatakan halo?

Menarik napas dalam-dalam serta menyeka bulir keringat yang hadir di wajahnya, dia berjalan mendekat ke arah lelaki itu. Tampaknya, lelaki itu menyadari pergerakannya dan sedikit awas. Tubuhnya terlihat sedikit kaku, melirik ke arah Chinen beberapa kali, namun tidak bergerak menjauh.

Memutuskan harus memberi jarak di antara mereka, Chinen menghentikan langkahnya tepat di samping piano yang rusak. Jemarinya meremat baju yang dia kenakan, entah mengapa dia tidak bisa membuat tangannya diam.

“A-, uh,” suaranya serak, “halo.”

Lelaki itu menoleh, meletakkan mainan yang dia pegang sebelumnya kembali ke atas pasir. Dia hanya menatap wajah Chinen, tidak membuka mulutnya sama sekali, sebelum akhirnya berlari menjauh menuju laut.

“Tunggu!” Chinen baru menyadari dia berteriak setelah mendengar suaranya sendiri. Sayangnya, lelaki itu terus berlari sampai dia masuk kembali ke dalam laut, menghilang dari pandangan Chinen.

Dia tidak pernah kembali ke laut ketika matahari masih bersinar.

Menghela napas, Chinen duduk di atas pasir, pandangannya masih tertuju ke arah terakhir dia melihat lelaki itu. Jika besok pagi dia tidak melihatnya lagi, dia akan menyesali perbuatannya hari ini seumur hidup. Haruskah dia mencari ke dalam laut?

Mungkin dia harus mencari ke dalam laut.

Chinen tidak pernah berenang sebelumnya—tidak pernah juga membiarkan sekujur tubuhnya basah. Namun apa sulitnya? Dia sudah melihat beberapa orang berenang sebelumnya, hanya perlu menggerakan kaki dan tangan di saat bersamaan, bukan? Dia sudah cukup yakin dengan keahlian motoriknya, jadi seharusnya berenang tidak akan terlalu sulit.

Mempersiapkan diri dalam hati, Chinen bergerak menuju tepi pantai, merasakan dinginnya air laut menyapu kakinya.

Tidak sulit, bukan?

Meyakinkan dirinya sekali lagi, dia kembali mengambil langkah maju. Dia akan mencari lelaki itu.

[#yabunoo, soulmate au: apa yang tercoret di kulitmu akan muncul di kulit belahan jiwamu] [untuk #Inoo31stbirthday]

Selama berbulan-bulan, Yabu tidak pernah mendapat respon dari belahan jiwanya. Dia berulang tahun ke-17 pada Januari lalu, yakin segala tulisan yang dia buat di telapak tangannya muncul di tangan belahan jiwanya, namun tidak pernah ada balasan.

Dia tentu paham adanya kemungkinan perbedaan usia antara dia dan belahan jiwanya. Mungkin dia masih belum berulang tahun, mungkin setahun-dua tahun lebih muda darinya, atau mungkin karena belahan jiwanya tidak tertarik akan hal yang dikatakan sudah ditentukan oleh takdir.

Jadi, walau Yabu punya perasaan menggebu-gebu terkait belahan jiwanya, dia belajar untuk menerima. Tidak apa-apa jika belahan jiwanya tidak terlalu menginginkannya. Atau, kalau belahan jiwanya masih belum berumur 17, Yabu tidak akan keberatan untuk menunggu.

Oleh karena itu, perasaan Yabu campur aduk ketika suatu pagi dia melihat tulisan asing di punggung tangannya.

Tolong jangan menulis yang aneh-aneh.

Kedua alis Yabu bertaut. Sesekali dia memang suka bosan dan menulis hal-hal tidak penting di tangannya. Atau tanpa sadar ketika dia tidak dapat menemukan kertas untuk menulis, tentu dia akan menyoret telapak tangannya untuk catatan singkat.

Namun semuanya hilang dari pikiran Yabu ketika dia menyadari satu hal; belahan jiwanya memutuskan untuk berkomunikasi dengannya!

Kau berulang tahun hari ini? Yabu berpikir sebentar. Atau baru ingin berbicara denganku?

Jawabannya datang ketika siang tiba, istirahat dari pelajaran membuatnya kembali mengingat kemajuannya dengan sang belahan jiwa. Tulisan itu terlihat kecil-kecil dan tidak teratur, berbeda darinya yang sedikit lebih besar dengan goresan garis panjang.

Intinya jangan terlalu banyak mencoret yang tidak perlu.

Terutama jangan di wajah.

Wajah? Yabu memang bukan bocah SD yang masih suka menggambar kumis bohongan di wajah atau semacamnya, namun teman-temannya suka menjahili dia ketika tidak sengaja tertidur.

Apa selama ini dia terganggu?

Hanya mengiyakan perintah itu dalam hati, dia memikirkan hal lain yang dapat dia tanya atau bicarakan. Orang itu sepertinya bukan orang yang mudah ramah atau mau saja diajak basa-basi. Yabu juga tidak bisa menanyakan hal-hal yang dianggap personal oleh belahan jiwanya.

Tidak terpikir apapun, dia hanya menanyakan alasan mengapa terutama jangan di wajah menjadi penekanan dalam larangannya. Lucu sebenarnya bagi Yabu, membayangkan belahan jiwanya sebagai orang yang murung dan suka cemberut, lalu menatap jengkel pada cermin yang menunjukkan wajahnya penuh coretan.

Ketika sekolah sudah selesai, Yabu dengan cepat menghampiri Hikaru dan menceritakan apa saja yang terjadi. Tidak terlalu banyak juga, mereka baru berbicara dua kali, tapi Yabu tidak dapat menahan kegembiraannya.

Hikaru yang sudah lama mengenalnya hanya bisa menganggukkan kepala, ikut tertawa kecil ketika Yabu tertawa. Setelah menunggu sekitar lima bulan penuh dengan temannya yang sesekali murung dan risau, Hikaru turut bahagia melihat semua emosi negatif itu kini berubah menjadi senyuman lebar.

“Kalau benar dia orang yang murung, kalian seperti melengkapi satu sama lain, ya,” Hikaru melirik temannya, “dia yang murung dan kau yang ceria.”

Yabu mengangkat kedua bahunya, senyum masih melekat pada wajahnya. “Bisa saja dia juga ceria, aku hanya butuh waktu saja. Aku juga tidak selalu ceria, kan.”

“Tapi, apa kau terpikir sebuah nama atau semacamnya? Beberapa orang berkata mereka dapat membayangkan nama belahan jiwa mereka, walau tidak semuanya dapat menebak dengan benar.”

“Tidak juga,” Yabu mencoba mengingat nama-nama orang yang pernah dia temui atau dengar, “namun rasanya nama Kei terdengar bagus.”

Hikaru mendengus, sedikit tertawa, “Kau berbicara seakan memikirkan nama anakmu.”

Kei akhirnya mereka pakai untuk menyebut belahan jiwa Yabu. Benar atau tidaknya nama itu, hanya waktu yang dapat memberi tahu dia.

Yabu berusaha keras untuk menginisiasi percakapan setiap harinya. Dia akan menulis selamat pagi atau semangat menjalani hari! yang lebih banyak tidak terbalas. Satu atau dua balasan yang dia terima hanya berupa ya atau kau juga.

Walau begitu, Yabu sedikit bangga karena setidaknya dia mendapat beberapa info penting terkait Kei.

Aku bekerja sebagai model, tulisnya beberapa hari lalu, aku sudah pernah kena masalah karena kamu.

Yabu tidak terlalu mengingat kejadian yang dikatakan Kei. Terlalu banyak kejahilan yang dilakukan teman-temannya—kini dia sudah memberi tahu mereka dan semoga tidak ada kejahilan lainnya di waktu mendatang.

Model? Untuk majalah apa? Apa aku bisa melihatmu di toko atau di jalanan?

Kau kan belahan jiwaku, Yabu menghela napas membacanya, kau pasti akan tahu ketika kau melihatku.

Tidak lucu sekali kalau dia harus pergi ke toko buku dan melihat semua majalah yang ada di sana—dan tidak ada jaminan juga Kei adalah model untuk majalah. Bisa saja dia model untuk iklan—Yabu sudah jarang menonton televisi—atau model-model lainnya.

Mengetukkan pulpennya ke meja, dia memikirkan apa saja yang harus dia lakukan.

Yang pasti, dia akan menemukan Kei.