hiirei

hikaru

[#hikaru & #daiki. ficlet.]

“Jadi, kenapa aku?” tanya Daiki sambil memasang sabuk pengaman. Matanya melirik ke sekeliling; jalanan tentu sepi di saat dini hari seperti ini, hanya beberapa mobil yang tahu destinasi jelas sesekali lewat, tidak seperti mereka saat ini.

“Karena kau yang mengangkat panggilanku,” jawab Hikaru dengan nada ringan, kedua tangan berada di setir sementara dia mengecek lampu dan memastikan kuncinya tidak salah masuk.

Beberapa menit lalu, Daiki dibangunkan oleh suara ponselnya yang terus-menerus berdering. Aneh, memang, karena dia biasanya tidak akan terbangun dengan suara alarm-nya yang dapat membangunkan tetangga apartemennya. Mungkin memang takdir dia harus berada di sini, di kursi penumpang, menemani Hikaru belajar menyetir.

Sudah lama Hikaru membahas masalah ini, sebenarnya. Dia selalu mengatakan keinginannya belajar mengemudi di setiap kesempatan yang ada. Daiki tentu sudah sering mendengar juga, sesekali menimpalinya untuk langsung saja belajar daripada terus-terusan merengek kepada mereka.

Tampaknya, Daiki juga yang menjadi penumpang pertama Hikaru di antara teman mereka yang lain.

“Ya sudah, ayo, jalan,” Daiki menyandarkan tubuhnya ke sandaran, “setidaknya kau pasti sudah pernah mencoba, kan? Sebelum ini, maksudku.”

Tidak ada jawaban dari Hikaru. Daiki menoleh, memperhatikan temannya yang masih sibuk menatap ke sekelilingnya, seakan tidak yakin dan merasa ada yang kurang.

“Hikaru,” panggil Daiki, “kau sudah pernah belajar, kan? Ini bukan yang pertama kali, kan?”

Alih-alih dengan kata, Hikaru memberinya jawaban dengan aksi; gas diinjak dan mobil bergerak maju dengan kecepatan sedang.

Tentu Daiki semakin tidak tenang. Mobil melaju terlalu cepat baginya untuk seorang pemula bagi Hikaru. Jika temannya menginjak gas terlalu dalam seperti ini, dia tidak bisa membayangkan ketika temannya mendadak menginjak rem.

“Tenang, tenang,” Daiki berkata, “semua akan baik-baik saja.”

Mendengarnya, Hikaru melirik dari ujung matanya, “Ah, menurutmu begitu? Kita akan baik-baik saja, kan?”

“Aku bukan bicara denganmu!” Daiki berpegangan pada sabuk pengamannya. “Aku sedang meyakinkan diriku sendiri!”

Untungnya, jalanan yang mereka pilih tidak memiliki belokan. Belum saja. Daiki pernah mendengar jalan ini dipakai sesekali oleh orang yang baru mengemudi karena tidak banyak rintangan dan luas, tapi dia tidak yakin Hikaru seharusnya langsung memakai jalan raya seperti ini. Sepi, memang, tapi tetap saja dia merasa tidak aman.

“Tarik sedikit kakimu,” Daiki kembali membuka mulutnya, mencoba membantu temannya dan membantu dirinya untuk bisa hidup lebih lama, “jangan menginjak terlalu dalam, pelan-pelan saja dulu.”

Hikaru mengangguk, mengikuti perkataan Daiki. Laju mobil sedikit melamban, membuat Daiki sedikit bersyukur dan menghela napas lega.

Sayangnya, terlalu cepat untuk Daiki merasa aman. Dia melihat ada tanda jalan sedikit melengkung, berbelok sedikit ke arah kanan. Menelan ludah, dia melirik Hikaru yang tampak tak menyadari tanda jalan sebelumnya.

“Hikaru, kau bisa belok, kan?”

“Belok?” Hikaru meliriknya. “Tidak tahu. Kan belum pernah.”

Tentu saja. Daiki seharusnya sudah tahu jawabannya.

“Pelan-pelan saja putar kemudinya ketika kau lihat jalanan akan berbelok. Jangan langsung dibanting.”

“Oke.”

Perlahan, jalan yang sedikit berbelok terlihat. Daiki melirik temannya yang tampak tenang saja, kedua tangannya memutar pelan kemudi, membuat mobil mereka mulus melewati jalan dan kembali ke jalan lurus.

“Daichan, aku bisa,” ujar Hikaru, nadanya sedikit bergetar.

Sebenarnya ini hal biasa saja, terlebih untuk Daiki yang sudah lama bisa mengemudi. Namun karena temannya ini baru saja melakukannya dengan baik, untuk pertama kali pula, dia ikut tersenyum lebar.

Terlalu senang sebelum perjalanan berakhir bukanlah hal yang baik. Karena terlalu senang, Hikaru tanpa sadar menginjak gas terlalu dalam, menambah laju mobil lebih cepat dari awal mereka berjalan.

“Daichan, terlalu cepat!” Hikaru panik. “Rem, Daichan, rem!”

“Kan kamu yang mengemudi!” Mau tak mau, Daichan pun ikut berteriak dengan panik. “Kamu yang harus ngerem!”

Kembali ke mode panik, kedua tangan Daiki kembali menggenggam sabuk pengaman. Pulang nanti, mau temannya protes atau tidak, dia yang akan membawa mobil sampai kembali ke rumah.

[#yabu & #hikaru. knight and day au.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Seingat Hikaru, sebelum dia masuk ke toilet, semuanya baik-baik saja.

Dia berada di pesawat menuju Tokyo. Kebetulan saja mendapat tiket terakhir untuk penerbangan paling cepat. Kelas utama pula, membuatnya berpikir mungkin para Dewa sedang kasihan dan memberinya banyak peruntungan hari ini.

Dia pikir, tidak akan ada hal-hal aneh yang terjadi. Tentu dia tahu ada banyak kemungkinan pesawat jatuh, baik disebabkan mesin yang malfungsi atau mereka terjebak badai atau hal lain.

Sayangnya, untuk kasusnya kali ini, disebabkan serangan dari orang-orang tidak dia kenal.

“Hei.”

Sebuah suara membuat fokusnya tertuju pada satu orang. Rambutnya pirang, hanya memakai kaus hitam yang lengannya digulung. Tangannya sibuk menangkis serangan dari laki-laki lain, namun dia (bisa-bisanya) malah tersenyum dan mengajak Hikaru bicara.

“Kau mungkin lebih baik sedikit minggir ke kiri sebentar,” lanjutnya, “sebelah kirimu, ya, bukan kiriku.”

Tanpa sadar, Hikaru menuruti perkataannya. Lelaki itu memberinya senyum lagi, membuat kedua matanya tidak terlihat, lalu melempar lawannya ke arah di mana Hikaru berdiri sebelumnya. Membuatnya tak sadarkan diri setelah kepalanya terbentur dinding. Rasanya Hikaru bisa mendengar bunyi retakannya.

Itu baru seorang. Masih ada dua orang lagi, kini tampaknya lebih marah, yang ingin menyerang lelaki tersebut. Hikaru tidak tahu jelasnya juga bagaimana dia bisa mengalahkan keduanya, terlalu panik memikirkan banyak hal di saat bersamaan.

“Kau tidak pernah berada dalam situasi seperti ini, ya?” Suara itu bertanya padanya, nadanya tenang walaupun sedikit kehabisan napas. Hikaru hanya menganggukkan kepalanya. “Siapa namamu?”

“Hikaru,” suaranya hanya keluar berupa bisikan, “Yaotome Hikaru.”

“Ah, nama yang bagus,” jawabnya. Dia melangkah menuju bagian kepala pesawat, Hikaru mengikuti tanpa banyak tanya. Dalam hati juga tidak ingin ditinggal sendiri dengan orang-orang yang sudah tidak sadarkan diri di sana.

“Jadi begini,” lelaki itu membalikkan tubuhnya agar bisa menatap Hikaru, “aku mungkin akan membunuh pilot kita.”

Hikaru berpikir bahwa dia bercanda, sebab dia mengatakannya sambil tersenyum dan nada bicaranya pun santai. Seakan hanya memberikan informasi ringan yang tidak esensial.

“Oh, kupikir kau akan lebih histeris.” Mungkin lelaki itu tidak bercanda. “Kau tunggu saja di sini, ya, jangan lupa pasang sabuk pengaman.”

Dengan itu, si lelaki masuk ke dalam ruangan kendali. Meninggalkan Hikaru yang tercengang dan masih memproses kata-kata darinya.

[mafia au dengan inosen #keito. bersama #hikaru dan #inoo. minor violence. belum ada judul dan belum kepikiran jadinya untitled untuk sementara.] [ficlet. bahasa indonesia.]

Siang itu seharusnya menjadi siang yang biasa saja. Seharusnya. Keito juga tidak mengerti bagaimana dia bisa berada di situasi ini.

Dia tidak sengaja bertemu dengan Hikaru dan Inoo di tengah jalan. Mereka seharusnya bertemu di rumah Yabu, hari ini jadwal mereka menghabiskan waktu bersama. Untuk mempererat ikatan pertemanan, kalau kata Daiki. Namun sebenarnya mereka hanya ingin mengacaukan isi apartemen Yabu yang baru.

Mereka akhirnya berjalan bersama. Hikaru menceritakan bagaimana dia harus diam di dalam rumah selama satu jam karena ada kucing di depan pintu. Wajahnya yang ekspresif, ditambah sindiran dari Inoo, tawa lolos dari bibir Keito yang hanya memerhatikan.

Tak lama, hal itu terdengar.

Letusan pistol disertai teriakan orang-orang sekitar. Sepertinya Keito juga berteriak. Atau tidak. Dia juga tidak ingat.

Yang dia ingat adalah Inoo, tangannya melindungi dia, kedua mata awas melihat ke arah suara tembakan.

Yang dia ingat adalah Hikaru, satu tangan masuk ke dalam saku jaketnya, sedangkan mulut berteriak pada Inoo, “Bawa Keito, biar aku yang tahan dia!”

Tidak menunggu lama, Keito merasakan dirinya ditarik, kedua kaki dipaksa berlari menjauh dari Hikaru yang kini memegang pistol. Dia ingin bertanya mengapa Hikaru di sana, menembakkan peluru-peluru ke arah musuh—apakah mereka musuh? Siapa mereka? Mengapa ada orang yang menembaki mereka di tempat umum seperti ini?

Inoo bukan orang yang pandai berolahraga. Napasnya sudah tinggal satu-satu ketika mereka akhirnya berhenti, bersembunyi di balik tembok suatu kios. Kalau ini kondisi normal, mungkin Keito akan tertawa melihat ekspresi Inoo. Namun kini, jangankan tertawa, meneguk ludahnya sendiri saja sulit.

“Tenang saja,” Inoo berucap di antara napasnya, “Hikaru lumayan ahli dalam menembak dan berlari dari lawan. Tunggu saja lima menit, ya.”

Keito menatap Inoo lekat-lekat. Apa dia bercanda? Mengapa dia berkata seperti itu seakan hal ini adalah hal biasa?

“Namun entahlah, dia tadi berkata baru saja bangun tidur setelah menunggu kucing itu pergi dari depan pintunya.” Inoo terlihat berpikir sebentar. “Mungkin sepuluh menit ...? Kita tunggu saja.”

“A-apa ... b-ba—” Keito bahkan tidak tahu apa yang harus dia tanyakan. “Apa maksudnya ...?”

Dia mendengar Inoo tertawa kecil, lalu menatapnya dengan senyum. “Aku lupa kalau kau belum tahu.”

Belum tahu? Belum tahu mengenai apa?

“Keito, kita ini sebenarnya anggota mafia.”