hold back
[#yuto, #keito, & #yamada; zombie au; warning violence; angst?]
Dunia kacau.
Yuto tidak tahu alasan semua ini bermula. Dia juga tidak yakin jika ini bukan sekadar mimpi dan dia lupa caranya untuk bangun. Yang dia ingat adalah Yamada menggedor pintu apartemennya suatu siang, membawa ransel yang terlihat lebih besar dari badannya sendiri, wajahnya kaku dan ekspresinya sama sekali tidak ramah.
“Kita harus pergi,” Yamada berkata waktu itu, sibuk menyodorkan tas paling besar yang dia temukan di kamar Yuto, mengisinya dengan segala makanan yang ada di lemari dan kulkas serta beberapa pakaian yang diambil secara acak, “pakai bajumu yang paling nyaman tapi aman, yang bisa menutupi badanmu. Bawa jaket kulitmu, sepatu yang paling bagus dan bisa kau pakai lari.”
“Kenapa?” Yuto bertanya, tapi tetap melakukan yang disuruh oleh temannya. Perasaannya jadi tidak enak, terlebih ketika Yamada mematikan televisi yang tadi dia biarkan menyala selagi tidur, menutup jendela dengan tirai, lalu menatapnya dengan teror yang dia lewati ketika melihat Yamada pertama kali.
“Entah, aku ... tidak yakin,” jawabnya, menghela napas panjang sambil mendudukkan diri di depan Yuto yang memasang sepatu, “semuanya jadi gila. Aneh. Seperti ... zombie?”
Yuto berhenti mengikat tali sepatunya. Matanya berkedip beberapa kali, senyum mengembang di bibirnya, merasa temannya ini bercanda. Namun ekspresi Yamada tidak berubah, masih cemas, tidak ikut tertawa dengannya.
“Kau,” Yuto mencoba menghilangkan rasa janggal dalam hatinya, “kau bercanda, kan? Tidak mungkin zombie betulan ada, kan?”
Temannya menghela napas lagi. Tidak ada tanda-tanda Yamada akan tertawa atau mengatakan ini semua hanya lelucon. Yuto ingin meyakinkan dirinya bahwa Yamada pintar sandiwara, jadi masih ada kemungkinan temannya ini berbohong, hanya bermain-main dengannya walau tidak pernah juga Yamada berbuat seperti ini sebelumnya.
“Kalau nanti kita keluar, kau akan lihat sendiri.”
Tidak menunggu respons Yuto lagi, Yamada beranjak dari tempatnya, mengambil ransel yang sudah dia isi tadi dan menyerahkannya pada Yuto. Tidak tahu kata-kata yang harus dia ungkapkan, Yuto menerima ransel itu dalam diam, begitu juga dengan topi dan masker yang disodorkan Yamada sebelum mereka berdua berjalan menuju pintu.
Yamada memberinya aba-aba untuk menunggu. Yuto hanya mengangguk, dalam hati jantungnya berdebar tidak karuan. Kalau Yamada tidak bercanda, mungkin dunia ini betulan sedang diisi zombie. Dari pengalamannya menonton film dengan tema serupa, tidak ada yang baik dalam dunia seperti itu.
Kenop pintu diputar sepelan mungkin, dibuka sedikit untuk Yamada mengintip, melihat kondisi di luar. Setelah melihat sekeliling, Yamada kembali menatap Yuto, memberinya tanda untuk bersiap keluar.
Semua masih terlihat biasa saja. Tidak ada yang berubah dari lorong apartemen atau sekelilingnya kecuali beberapa pintu yang dibiarkan terbuka, memperlihatkan isi apartemen yang sedikit kacau dan berantakan. Mungkin pemiliknya tahu kondisi seperti Yamada, lalu cepat-cepat berkemas dan pergi. Mungkin.
Mereka menggunakan tangga darurat walau lift masih berfungsi normal. Yamada tidak mau mengambil risiko. Tangga darurat juga tidak sepenuhnya bagus digunakan, tapi setidaknya mereka dapat berlari jika bertemu dengan situasi yang tidak menyenangkan.
Ketika sudah berada di luar gedung apartemen, Yuto baru merasa ada masalah yang serius. Orang-orang berlarian, panik, teriakan mengisi pendengarannya, tidak ada kata-kata dari teriakan itu yang dapat dia dengar jelas. Padahal rasanya, malam tadi Yuto masih berjalan di tempat yang sama dan semuanya baik-baik saja.
Sejak hari itu, dia hanya bersama Yamada. Ketika Yuto menanyakan keberadaan yang lain, Yamada tidak punya jawaban yang pasti. Dia hanya tahu bahwa hari itu Chinen, Keito, dan Daiki sedang pergi bersama. Yabu dan Hikaru punya jadwal kerja di tempat yang sama. Lalu seingatnya Takaki dan Inoo punya janji makan di waktu yang sama ketika Yamada datang ke tempat Yuto.
Tidak ada jaminan mereka semua tetap bersama atau bahkan masih hidup. Tak lama setelah Yamada dan Yuto pergi pada siang itu, jaringan komunikasi terputus. Atau diputus, mereka juga tidak mengerti. Tidak ada cara untuk menghubungi yang lain. Mereka juga tidak yakin yang lain akan tetap berada di tempat yang sama jika mereka mendatangi kediaman masing-masing.
Tidak ada apapun.
Sampai sekarang.
Lama sejak dia berpindah-pindah tempat dengan Yamada, Yuto tidak lagi asing dalam menghadapi zombie. Awalnya memang menakutkan, sedikit gila, tapi mereka perlahan mulai belajar menanganinya. Membunuhnya. Melupakan sejenak fakta bahwa zombie yang mereka temui juga awalnya hanya manusia, seperti mereka, hanya sial dan terkena infeksi yang menyebar dalam tubuhnya. Mengingatkan diri masing-masing bahwa mereka harus bertahan agar tidak berubah menjadi mereka.
Dia mulai paham cara menghadapinya, memberikan serangan dalam satu gerak agar tidak membiarkan zombie itu bertahan lama dan kesakitan, walau mereka juga tidak yakin zombie dapat merasakan sakit. Dia paham ada kalanya harus lari sebab kondisi tidak memungkinkannya untuk menyerang tanpa terkena cakaran atau gigitan. Dia paham cara untuk menarik perhatian zombie itu agar membantu Yamada mendapat ruang gerak ketika terpojok.
Dia paham.
Yang dia tidak pahami adalah sekarang, di hadapannya, berdiri sosok yang dia kenali walau tidak lagi serupa seperti yang ada dalam ingatannya.
“K-Keito,” Yuto mengambil langkah mundur, mencoba menahan tangannya yang bergetar, memarahi dirinya sendiri untuk tidak memeluk sosok itu, “ini aku.”
Mungkin hanya imajinasinya, hanya khayalannya karena merindukan lelaki itu terlalu lama, tapi dia yakin sosok yang ada di depannya ini adalah Keito. Dia yakin sosok itu sempat mendengarnya ketika namanya disebut. Dia yakin pisau yang ada di dalam genggamannya tidak harus dia pakai.
“Yuto, itu bukan dia.” Yamada, berada tak jauh dari samping Yuto, mencoba menyadarkannya. Sayangnya, saat ini dia tidak dapat mendengar rasa yakin dari perkataan temannya. Meliriknya sedikit, pandangan Yamada juga tertuju pada sosok di hadapan mereka, ekspresinya tidak dapat Yuto jelas lihat di balik masker dan topi yang dikenakan.
“Kau yakin? Kalau kau yakin, kau harus menatapku dan mengulang perkataanmu.”
Tidak ada suara lagi dari Yamada setelah Yuto mengucapkan kalimat itu. Tidak ada pergerakan lain yang berarti selain langkah mundur dari mereka berdua dan sosok itu yang menggeret kakinya untuk mendekatkan diri. Tidak ada keinginan untuk beranjak, tapi mereka ingin cepat keluar dari situasi ini.
Dari ujung matanya, Yuto melihat Yamada perlahan mengangkat kedua tangannya. Revolver dalam tangannya ditujukan pada sosok di hadapan mereka. Walau bergetar, Yamada sudah ada dalam posisi siap melepaskan peluru.
“Yamada,” suara Yuto terdengar berat oleh rasa putus asa, pecah akan segala harapan, “Yamada, kalau sampai kamu menarik pe—”
“Lalu apa?” Yamada memotongnya. “Apa solusi terbaikmu? Kita biarkan dia di sini, kemungkinan akan dibunuh juga dengan orang lain, dan menderita sendirian?”
Mereka sudah pernah bertemu dengan orang lain yang justru senang dalam kondisi seperti ini. Para maniak yang suka membunuh tidak sedikit muncul, menikmati proses memberantas zombie yang mereka temui. Tidak ada jaminan orang-orang itu tidak akan menemui sosok di hadapan mereka jika mereka lari sekarang.
Namun bukan berarti dia juga ingin membunuhnya. Tidak pernah ingin.
Melihat sosok di hadapannya lagi, Yuto menghela napasnya yang bergetar. Dia yakin sosok ini adalah Keito. Walau tidak lagi serupa persis, dia ingat fitur-fiturnya; rambutnya yang hitam, lekuk hidungnya, jemarinya, segalanya. Dia yakin, tapi dia ingin lupa. Dia tidak ingin tahu bahwa yang dia tatap sekarang adalah Keito. Tidak ingin memikirkan kondisi Chinen dan Daiki, yang bersama Keito pada awal kekacauan ini, mungkin tak jauh berbeda dari Keito sekarang. Tidak ingin membayangkan kemungkinan harus menghadapi situasi yang sama dengan orang yang dia kenal lainnya di kemudian hari.
“Aku saja,” Yuto mendekat pada Yamada, mengambil revolver dari kedua tangannya, menggantikannya dengan pisau yang sedari tadi dia genggam, “biar aku saja.”
“Tapi, Yuto—” Yamada menatapnya, tak peduli dia mengalihkan pandangan dari sosok di hadapan mereka sejenak, “kau yakin?”
Tidak ada yang dia rasa yakin dalam situasi ini.
“Yakin.” Lucunya, suaranya terdengar jelas kali ini walau badannya bergetar, jantungnya terasa ingin meledak dan hancur.
Memposisikan revolver itu ke sosok di hadapannya, kepada Keito, Yuto menarik napas dalam.