hiirei

yabu

[#hikaru, #yabu, dan #inoo; au dengan setting umur bocah; bahasa indonesia.]

{Dalam dunia yang abu-abu ini, dia menjual matahari}

Read more...

[#yabu, #takaki, #inoo, dan #hikaru dalam #siblingau dengan umur inoo (10) dan hikaru (7) + yabu (14) dan takaki (12)]

Pada suatu masa, Hikaru sempat bergantung pada Kei.

Read more...

[#takaki, #yabu, dan #inoo. superpower + sibling au. bahasa indonesia.]

Dunia ini penuh rahasia magis.

Sebagian besar, rahasia tersebut masuk ke dalam tubuh manusia dan memberikan kemampuan tambahan untuk sehari-hari. Beberapa mendapat kemewahan berlebih, namun dengan kekurangan yang membuatnya harus tahu waktu berhenti.

Dunia ini penuh magis, seperti kedua mata Kei yang berbinar mempelajari segalanya. Magis memang tersimpan pada kedua iris cokelat itu, mampu membaca lebih baik suasana ruangan dan mengingat hal secara detail lebih baik dari rata-rata.

Kemampuan Kei membuatnya mendapat undangan belajar di sekolah-sekolah ternama. Fasilitas yang mewah dan memadai, disertai brosur dengan foto-foto siswa yang terlihat bangga menunjukkan kemampuannya. Binar yang ada pada senyum para siswa itu tidak asing, sama persis seperti yang ada pada Kei.

Jadi, Yuya tidak mengerti ketika Kei memutuskan untuk menanyakan keputusannya.

“Tidak apa-apa,” jawab Kei ketika Yuya melemparkan pertanyaannya kembali, “aku hanya ingin kita bersama saja. Kau akan ikut Kota, kan?”

Tidak berbeda jauh dari Kei, Kota juga ikut mendalami magis yang ada di dunia. Semua informasi yang ada di dunia rasanya tersimpan pula pada pikiran Kota. Namun, hanya informasi-informasi penting yang bertahan lama dalam memorinya. Kota selalu lupa dengan detail-detail yang dia anggap tidak penting.

Untungnya, Kota juga dapat memperbaiki suasana dengan cepat. Walau sering mendapat teguran dari orang lain karena kecerobohannya, tidak ada yang benar-benar dapat marah padanya.

Kota, sebagai yang tertua di antara mereka, selalu berada di garda depan dalam berjalan melalui apapun. Kehidupan juga. Dan Yuya mendapati dirinya selalu mengikuti jejak Kota.

Mungkin salah. Mungkin juga tidak apa-apa, seperti kata Kei yang tak jauh berbeda dengannya. Mereka berdua tidak terlalu suka dengan ide perpisahan. Sehebat apapun magis di luar sana, mereka perlu tempat kembali yang pasti.

Masalahnya ada pada Yuya.

Dia tidak pernah menceritakan kemampuannya pada siapapun. Mereka juga tidak pernah bertanya. Mungkin berharap suatu saat Yuya akan lengah dan tidak sengaja memperlihatkannya pada mereka. Mungkin berharap suatu saat terdapat tanda yang jelas sebagai petunjuk dari kemampuan Yuya.

Menurut Yuya, kemampuannya tidak terlalu muluk-muluk. Namun bukan juga sesuatu yang mudah untuk diabaikan.

Dia tidak perlu banyak berlatih seperti Kota yang terus-terusan berbicara, Kei yang menatap lekat orang-orang sekitarnya, atau Hikaru yang menghabiskan terlalu banyak kanvas dalam sehari. Bukan juga seperti Daiki yang harus menghemat senyumnya, Ryosuke yang membuat halaman mereka seperti perkebunan, Yuto yang harus diam agar tidak membuat angin topan, atau Yuri yang tidak boleh menatap orang terlalu lama.

Untuknya, dia hanya perlu pergi ke pantai. Dalam diam menyaksikan ombak yang pasang surut. Menunggu matahari ditelan laut dan kembali bersinar keesokan hari.

Untuknya, dia butuh ketenangan. Karena dunia bagi Yuya bukan magis. Hanya ada panas terik matahari atau awan mendung. Kicauan burung pada musim semi atau salju dingin menjelang natal.

Untuknya, dunia magis terlalu berlebihan.

[#yamada, #yabu, dan #yuto. non-idol au. bahasa indonesia.]

Setelah tertidur sekian hari, Yamada terbangun sebagai seorang pembunuh.

Atau setidaknya, demikian yang dia tangkap dari penjelasan Yuto. Temannya sejak masa mengeja kata itu bahkan tidak dapat menatapnya. Pandangannya tertuju pada lembaran kertas yang dia bawa, berkas-berkas yang menyatakan Yamada bersalah atas tindak pembunuhan.

Selain Yuto yang berperan sebagai pengacaranya, dia juga bertemu seorang utusan dari pihak kepolisian. Yabu namanya, kebetulan dia yang menerima telepon laporan.

Laporan yang diberikan oleh Yamada sendiri.

Menurut perkataan Yabu, dia mendapat telepon dari Yamada yang berada di tempat kejadian. Yamada melaporkan perbuatannya sendiri, dengan nada yang datar, kalimat yang singkat, dan tidak lama menutup panggilannya sebelum Yabu dapat bertanya lebih banyak.

Ketika Yabu berada di tempat kejadian, Yamada ada di sana. Tidak jauh dari korban, Yamada tidak sadarkan diri dengan ponsel dalam genggaman.

Setelah diselidiki, mereka menemukan bukti pendukung lainnya yang membuktikan bahwa Yamada memang membunuh Takaki Yuya, di kediaman lelaki itu, seminggu lalu. Yamada ditempatkan pada rumah sakit kepolisian hingga saat ini.

Yabu datang karena dia ingin mengetahui motif Yamada. Pihak kepolisian, termasuk Yabu, tidak menemukan hubungan antara Yamada dan Takaki. Mereka tidak mengenal, tidak punya kenalan yang mengenal, tidak hidup di area yang sama, tidak pernah bertemu di tempat sekolah atau kerja yang sama ... rasanya tidak ada hubungan.

Oleh karena itu, Yabu datang dengan harapan Yamada menjawabnya. Apakah Yamada hanya ingin membunuh orang malam itu? Apakah Takaki hanya korban yang Yamada pilih secara acak? Atau sebenarnya mereka memiliki hubungan rahasia?

Sayangnya, Yamada sendiri tidak tahu.

Dalam ingatannya, tidak ada peristiwa seperti yang Yabu dan Yuto jelaskan. Yang terakhir dia ingat, dia sedang berada di apartemennya, duduk di atas sofa sambil menonton tv.

Yamada sempat tertawa.

Setelah Yuto menjelaskan keadaannya, dengan nada yang tidak terdengar seperti Yuto, Yamada pikir temannya itu hanya berakting. Sebagai pengacara yang andal, Yuto pintar berpura-pura, agar lawan bicaranya yakin dengan kata-kata yang dia ucapkan.

Namun, Yamada tidak merasa hari ini ulang tahunnya. Tidak juga merasakan pertanda Yuto akan ikut tertawa dengannya. Tidak juga merasa tempat sekitarnya ini hanya bohongan.

Kedatangan Yabu membuat semua semakin nyata. Yamada tidak pernah melihat Yabu sebelumnya. Lelaki itu juga tidak terlihat seperti teman Yuto. Lagipula, Yuto akan selalu memperkenalkannya pada semua temannya. Setidaknya, seharusnya nama Yabu muncul satu-dua kali dalam percakapan mereka jika mereka memang saling kenal.

Tentu ucapan Yamada tidak dipercaya.

“Yuto.” Yamada mencoba membuat temannya itu memandang dia, tapi tatapan Yuto tidak berani mendekatinya. “Kau juga tidak percaya?”

Yuto tidak menjawab.

Lucunya, setelah dua orang itu pergi meninggalkan Yamada sendirian dengan pikirannya, ada seorang lelaki yang datang.

Yamada tidak merasa pernah mengenal lelaki itu sebelumnya. Lelaki itu juga tidak memperkenalkan dirinya.

“Ryosuke,” ucap lelaki tersebut, mendudukkan diri pada kursi di samping kiri ranjangnya, “kau tidak ingat aku?”

Sedikit enggan tapi merasa dia harus menjawab, Yamada menggelengkan kepalanya. Senyum lelaki itu tidak berubah, namun tatapannya sedikit meneduh ketika melihat respons Yamada.

“Baiklah, tidak apa-apa.” Lelaki itu melihat ke sekeliling ruangan. Matanya menatap satu per satu benda yang ada—tidak banyak, hanya kursi, ranjangnya, meja dengan vas bunga yang kosong, dan lemari kecil untuk pakaiannya. Pada pojok ruangan, terdapat pintu untuk masuk ke toilet. “Kita punya banyak waktu untuk mengenal kembali.”

“Kamu,” Yamada merasa senyum lelaki itu semakin janggal, “siapa? Mengapa aku tidak mengingatmu?”

Lelaki itu menghela napas, lalu berdiri—agaknya lucu bagi Yamada melihat lelaki yang lebih pendek darinya—dan berjalan menuju pintu keluar. Dia berhenti lama sambil memegang kenop pintu, membiarkan Yamada menunggunya dalam hening.

“Aku akan bawakan bunga nanti,” ucapnya, tidak menjawab pertanyaan Yamada. Dia menoleh, tetap dengan ekspresi yang sama ketika dia datang, lalu membuka pintu.

Dan dia pergi.

Tidak perlu banyak waktu berpikir untuk menghubungkan koneksi lelaki itu dengannya. Terlebih, ruangan rumah sakit yang tidak seberapa membuatnya bosan. Memaksa otaknya untuk memikirkan sesuatu demi menghiburnya.

Kalau Yamada tidak mengingatnya, juga tidak mengingat kejadian yang Yabu dan Yuto jelaskan, maka jawabannya hanya satu.

Lelaki itu ada hubungannya dengan pembunuhan yang dia lakukan.

[#yabu, #chinen, dan lainnya. sibling au dengan umur chinen 7 dan yabu 21. bahasa indonesia.]

“Aku tidak bisa antar atau jemput Yuri lagi,” Yuya berkata suatu malam sambil menatap Kota, “aku harus kerja pagi.”

Yuya adalah sopir andalan keluarga. Sejak dapat kartu SIM, Yuya yang bertugas mengantar mereka ke berbagai tempat, baik untuk liburan dan jalan-jalan maupun untuk ke sekolahan. Sebelumnya, Kota akan menggeret mereka menaiki angkutan umum karena si sulung tidak berani menyetir.

Dan mungkin tidak akan pernah.

Tidak, kecuali terpaksa.

“L-lalu siapa yang harus antar dia?” Kota bertanya, berharap Yuya sudah punya alternatif.

Dari mereka yang masih sisa di sekolah, Yuri yang harus diantar dan jemput sebab sekolah mereka menetapkan aturan baru untuk anak SD kelas 1. Orang tua atau wali diharuskan mengantar sampai depan gerbang dan menjemputnya kembali di siang hari. Kota yang menandatangani surat aturan tersebut, menyatakan setuju dan bersedia mengantar-jemput Yuri.

Yuya sempat melirik ke beberapa tempat sebelum pandangannya kembali ke Kota. “Kau.”

“Aku?” Kota tertawa pelan, menganggap adiknya bercanda. “Tidak mungkin.”

Kota kira, Yuya adalah adiknya yang paling pengertian dan berhati malaikat. Ternyata tidak juga. Yuya betulan melempar tanggung jawab untuk menjadi jemputan Yuri padanya, tidak memberikan ruang untuk diskusi sebab Yuya sudah menandatangani kontrak kerja. Sama seperti Kota yang menandatangani surat aturan sekolah.

Ketika yang lain tahu Kota harus mengantar Yuri, hampir semuanya tertawa. Yuto yang tertawa paling keras dan disusul Ryosuke yang memang jadi duo tanpa akhlak dengan Yuto.

Yuri senang saja, tidak pernah punya masalah akan siapa yang mengantarnya. Diantar Yuya memang enak, dia bisa pamer pada teman-teman lainnya karena punya kakak yang keren layaknya model-model untuk motor gede di majalah-majalah. Mungkin dia akan menemukan hal lainnya untuk dipamerkan ketika diantar Kota.

Hikaru dan Daiki yang sempat memberikan tatapan tidak yakin. Mereka pernah berkesempatan dibonceng Kota beberapa waktu lalu dan mereka tidak bisa bilang pengalaman itu pengalaman yang baik.

Kemampuan mengendarai Kota memang tidak separah tahap masuk rumah sakit. Tidak juga seburuk lecet-lecet yang sembuh seminggu lebih. Namun juga belum memasuki tahap dapat dipercaya tidak mengundang klakson dari pengendara lain.

Walau begitu, bukan berarti Hikaru dan Daiki dapat menggantikan Kota. Mereka masih di bawah umur, belum memiliki SIM, dan tidak mungkin lolos dari mata polisi di pinggir jalan. Apalagi Daiki tidak pernah dipercaya orang asing sebagai lebih dari anak SD.

Pilihan masuk akal selain Yuya adalah Kei. Dibanding Kota, kemampuan mengendarai Kei masih lebih dapat dipercaya. Sayangnya, Kei bukan orang yang dapat dipercaya.

Pernah dalam kesempatan lain ketika Yuya sakit, Kei menjadi penggantinya mengantar Yuri. Beberapa jam kemudian, Kota mendapat panggilan dari sekolah, menanyakan keberadaan Yuri yang absen. Ternyata si anak ketiga itu mengajak Yuri jalan-jalan keliling kota, lalu memakan es krim yang terkenal di sudut kota.

Jadi, memang, pilihan yang paling benar hanya Kota.

“Kau yakin?” Kei bertanya, menatap keduanya yang siap berangkat dari tempatnya di sofa.

Kota membalas tatapannya setelah dia selesai memasang sepatu, lalu menunggu si bungsu untuk mengambil tasnya di ruang makan.

“Tidak,” jawab Kota jujur, “tapi aku lebih tidak yakin dengan kau.”

Dan hari itu, Kota mengendarai motor lagi setelah sekian lama. Berita baiknya, tidak ada luka sedikitpun. Berita buruknya, Yuri harus mencari helm yang kedap suara untuk meredam klakson yang menghantuinya.

[#yabu, #inoo, dan #yuto. sibling au dengan umur yabu (17), inoo (13), dan yuto (5). bahasa indonesia.]

“Kenapa langit warnanya biru?”

“Karena kalau hijau, nanti kamu tidak bisa membedakan langit dan pohon.”

Kota mengalihkan pandangannya dari ponsel. Sejak beberapa menit lalu, kedua adiknya itu sibuk mengobrol. Kei sedang mengerjakan tugas (dengan terpaksa, sebab Kota tidak akan membiarkannya berdiri dari kursi itu sampai semua tugas untuk besok selesai). Yuto duduk di sampingnya, menarik kursi kecilnya untuk ikut mencoba melihat jawaban yang ditulis Kei.

“Kalau begitu kenapa tidak putih saja?” Yuto bertanya lagi, kedua tangannya terlipat rapi di sisi lain meja yang dipakai Kei, memberi jarak agar tangannya tidak mengganggu pekerjaan si kakak.

“Kalau putih gampang kotor.”

Yuto sedang dalam masa banyak bertanya. Kalau ada Ryosuke, biasanya jadi bertengkar berdua. Ryosuke sebenarnya tidak keberatan menjelaskan beberapa hal, tapi dia merasa Yuto tidak punya batasan untuk berhenti dan diam. Terkadang, Kota sendiri berpikir harusnya Yuto sadar bahwa Ryosuke mudah terpancing marah, tapi selalu saja ada kelakuan Yuto yang seakan sengaja membuatnya tersulut.

Mungkin memang sebenarnya sengaja.

Kota sudah melalui tahap ini berkali-kali. Dia ingat harus menjaga emosinya ketika Kei berada dalam tahap ini. Berbeda dengan Yuya yang lebih suka mengeksplorasi dunia dengan mandiri, Kei tidak jauh beda dengan Yuto. Semua hal ditanya, tanpa henti, tidak pernah terlihat puas dengan jawaban sekadarnya yang Kota berikan kalau sudah lelah.

Yuya biasanya dapat memberikan jawaban yang membuat Kei senang. Namun, kesenangan itu hanya bertahan selama beberapa menit. Setelah dibiarkan diam, Kei akan memikirkan jawaban Yuya, lalu mendapat pertanyaan lain yang akan dia ajukan kembali.

Kota menghela napas. Se-ala-kadarnya dia memberi jawaban pada Kei, setidaknya dia akan memberikan jawaban yang hampir tepat. Dia akan mencari tahu dulu sebelum memberikan jawaban. Mungkin karena itu juga dia akhirnya mengetahui banyak informasi tidak penting.

“Kei,” Kota memanggilnya ketika Kei beranjak mendekatinya, ingin mengambil minum yang letaknya tak jauh, “kalau mau memberi jawaban, jangan asal.”

Kei menoleh, ekspresinya menunjukkan dia tidak mengerti yang Kota maksud. “Asal bagaimana?”

“Jawabanmu tentang langit. Itu kan asal saja kau bilang padanya agar dia diam.”

“Tidak juga,” Kei melirik Yuto yang kini mencoba keras untuk membaca tulisan pada kertas jawabannya, “bisa saja begitu, kan?”

“Setidaknya cari dulu kalau kau tidak tahu,” Kota memutar bola matanya, “aku tidak seasal itu ketika menjawab pertanyaanmu.”

Ketika tidak mendapat balasan dari adiknya, Kota kembali melirik pada Kei yang masih berdiri di tempatnya, tepat di sebelah tempat minum.

“Kau banyak memberiku jawaban asal,” Kei akhirnya bersuara, “kau bilang anak bayi datang dari burung bangau.”

Kota mengerutkan dahinya. Dia tidak ingat pernah berkata seperti itu. Tapi dia tidak bisa juga sepenuhnya percaya pada omongan Kei. Bisa saja adiknya ini sedang mempermainkannya.

“Kapan aku bilang begitu?”

“Setelah kau nonton film Dumbo.”

Kota menatap Kei lama, menunggu gerak-gerik dari adiknya yang menandakan dia bercanda. Tapi wajah Kei tidak berubah menjadi tawa.

“Memangnya anak bayi datang dari mana?”

Melupakan perdebatan mereka, Kei dan Kota mengalihkan pandangannya cepat pada si penanya. Yuto menatap mereka bergantian, tangannya sudah tidak lagi memegang kertas jawaban Kei. Mungkin sudah menyerah karena membaca masih sulit untuknya.

“I-itu ...”

Kota melirik Kei yang balas menatapnya heran. Dalam situasi seperti ini, tentu saja Kota yang punya tanggung jawab untuk memberi jawaban.

Berbeda dari waktu-waktu lain di mana atensi Yuto tidak bertahan lama, kini adik mereka duduk terdiam. Kedua matanya masih beralih pada Kei dan Kota, menunggu jawaban dari mereka.

“Ah, biar Kota yang menjelaskan padamu, ya. Aku harus menyelesaikan ini.”

Tidak peduli pada pelototan dari Kota, Kei mengumpulkan kertas jawabannya beserta soal-soal yang belum dia jawab, lalu pergi ke kamarnya dengan cengiran lebar pada si sulung.

Kini, Kota harus menghadapi Yuto sendirian, dengan pertanyaan paling dihindari oleh kakak dan orang tua kebanyakan.

“Jadi,” Yuto kini memberikan atensinya penuh pada si sulung, “bayi datang dari mana?”

[#yabu, #hikaru, dan #chinen, sibling au; yabu (15), hikaru (8), chinen (5 bulan), bahasa indonesia.]

“Tenang saja,” suara Yabu terdengar dari lantai bawah, “kamu bisa, Hikaru.”

Hikaru mencibir mumpung yang paling tua tidak dapat melihatnya. Tatapannya tertuju pada adiknya yang terbaring di atas kasur, kedua mata kecil membalas tatapannya. Dia tahu anak bayi belum dapat banyak berekspresi, tapi dia juga yakin adiknya ini setengah menghakiminya melalui tatapan itu.

“Kamu saja, Kota!” Tidak ada sapaan 'kak' yang biasanya dia pakai, sengaja agar kakaknya itu lebih mengerti situasi.

Menunggu dalam hening, dia tidak lagi mendengar sahutan dari kakaknya. Mungkin karena sibuk memasukkan cucian ke dalam mesin (seharusnya Kei yang bertugas mencuci hari ini, tapi dia kabur pagi-pagi buta). Mungkin karena sengaja agar Hikaru tidak protes lagi.

Beberapa menit lalu, adik bungsunya ini menangis. Hanya ada Hikaru dan Kota di rumah. Yuya pergi ke pantai. Kei kabur. Daiki dan Ryosuke berlomba lari menuju taman bermain. Yuto sibuk mengusik anak tetangga.

Normalnya, Kota yang mengurus si bungsu. Hikaru kikuk sendiri kalau dihadapi dengan suara tangis, lebih-lebih kalau dari adiknya. Daiki, Ryosuke, dan Yuto biasanya akan sengaja menangis agar Hikaru berhenti ngomel. Kalau sudah begitu, dia akan menghela napas panjang dan minta maaf setengah niat, sebenarnya gatal ingin menjotos ketiga adiknya, tapi tidak tega juga karena masih kecil.

Kalau dengan Yuri, Hikaru tidak tahu harus bagaimana.

Kota berkali-kali mengajarkannya. Sejak Daiki lahir dan menjadi adik pertama Hikaru, Kota selalu mengajaknya untuk mencoba menggendong si bayi. Tapi Hikaru akan menyerah duluan, baik karena adiknya berat maupun karena bayi punya kebiasaan menangis ketika dia pegang.

Namun hari ini, Kota harus membereskan rumah. Hikaru sebenarnya ingin saja jika mereka bertukar tugas. Sayangnya, Kota menolak. Dia hanya diberi satu tugas: menggendong adiknya.

Yuri lebih banyak tertidur kalau menjelang siang seperti ini. Tangisan beberapa saat lalu bisa jadi dikarenakan Kota terlalu keras membuka mesin cuci.

Jadi, sebenarnya, tugas Hikaru sederhana. Menggendong adiknya dan membuatnya kembali tertidur.

Namun kini Yuri tidak lagi menangis. Lelah sendiri karena tidak mendapat respons apa-apa dari Hikaru. Hikaru sempat mau membiarkannya saja dan beranjak keluar kamar. Begitu dia berdiri, tangis Yuri akan kembali melengking.

Seakan mempermainkan dia.

“Kamu mau ditemani saja, begitu?” Hikaru mencoba bertanya. “Tapi aku gak mau gendong.”

Mendengar kata terakhir dari Hikaru, Yuri kembali menangis. Mungkin di situasi lain, Hikaru dapat tertawa dengan reaksi adiknya. Tapi karena dia yang harus menghadapi masalah ini, tawa jauh dari ekspresinya.

“Aku gak mau.” Hikaru mengulang, suaranya mencoba melawan tangisan si bungsu. “Gak bisa.”

Hikaru pikir, volume tangis adiknya sudah kencang. Tapi lama-kelamaan rasanya semakin besar, mungkin bisa terdengar sampai taman bermain yang jaraknya beberapa ratus meter.

Menarik napas dalam-dalam, Hikaru mencoba meredam emosinya. Mungkin kesal pada Kota. Mungkin kesal karena dia tidak mau menggendong bayi. Tapi bisa gila juga kalau mendengar tangis ini terus-menerus.

“Baiklah,” Hikaru menghela napas kalah, “tapi kau harus tidur setelah kugendong.”

Tangis Yuri sedikit mereda mendengar ucapan Hikaru. Kedua matanya menatap Hikaru dengan tanya, melirik sana kemari pada fitur wajahnya.

Setelah menghitung dalam hati, Hikaru memantapkan diri untuk mengulurkan kedua tangannya. Yuri tidak seberat Daiki atau Ryosuke ketika berumur lima bulan. Bukan berarti jadi lebih mudah baginya. Dia justru jadi takut adiknya itu bisa lepas dari pegangannya dan jatuh. Semoga saja tidak.

Menyandarkan badan adiknya pada badannya, satu tangannya mengusap pelan punggung si bungsu. Dia melangkah kecil mengitari ruangan, menggoyangkan tubuh Yuri pelan agar adiknya mengantuk.

Perlahan, dia menggumamkan lagu pengantar tidur yang dia tahu. Dia merasakan gerakan kecil pada punggungnya, rasanya sedikit geli, tapi lucunya dia tidak keberatan.

Mungkin tidak seburuk itu juga.


“Hikaru, kau bisa gantian denganku sekarang.”

Kota menghela napas ketika tidak ada jawaban dari Hikaru. Mungkin adiknya kesal. Semoga saja tidak lama-lama.

Melangkahkan kaki menunju lantai atas, Kota sedikit heran. Rasanya sunyi sekali. Tidak ada tangisan apapun. Tidak ada suara Hikaru yang mungkin menggerutu kesal padanya.

Mengintip pelan dari pintu ruangan, Kota akhirnya tersenyum ketika melihat isi kamar.

Yuri si bungsu terlelap di atas kasur. Dalam dekapan Hikaru yang juga tertidur.

[#yabu, #hikaru, dan #inoo; kuliah lokal au (masih belum tau namanya bakal dimodif jadi lokal juga atau enggak jadi ya sementara begini dulu); bahasa indonesia.]

Hari ini hari pertama dia akan hidup sendiri.

Bertahun-tahun hidup di kota kelahirannya, dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di luar kota. Di tempat baru yang isinya orang asing sebagai tanda kehidupan baru untuknya. Di tempat yang belum pernah dia datangi sebelumnya.

Atau setidaknya begitulah yang Yabu bayangkan.

Dia pikir semuanya akan berjalan mudah. Di masa serba teknologi seperti ini, dia bisa ke mana saja tanpa bantuan orang lain, bukan? Jadi, seharusnya tidak ada masalah untuk sampai ke bagian asrama universitasnya.

Namun rasanya sudah satu jam dia berada di sini. Tidak ada pertanda dia berada di dekat asrama.

Kesalahan pertamanya adalah lupa membeli kuota internet. Dia selalu mengabaikan pesan yang masuk sehingga melewatkan peringatan untuk memperpanjang kuota dari operator selulernya. Pulsa darurat sudah dia pakai sebelumnya.

Kesalahan keduanya adalah tidak menyimpan uang di sakunya. Hanya ada saldo dalam kartu kereta dan dompet digital. Dia pikir semua akan baik-baik saja selama dia mempunyai saldo di akun digital. Sayangnya, dia tidak dapat menggunakan dompet digitalnya ketika tidak ada kuota internet.

Ketiga, dia tidak tahu harus bertanya pada siapa.

Jadi, di sinilah dia, berdiri di stasiun, di tengah-tengah kerumunan orang yang asing. Dia tidak yakin semuanya adalah mahasiswa kampus ini atau pengajar. Kampus yang menerima dia (untungnya) sering dipakai sebagai lintasan orang umum. Tidak heran melihat orang-orang sekitar ikut menggunakan fasilitas kampus.

Bukan berarti dia tahu juga fasilitas kampus yang dapat dia gunakan sekarang untuk sampai ke asrama.

Menghela napas ke sekian kali, pandangannya jatuh pada lelaki yang sekiranya seumuran dengannya. Lelaki itu terlihat mencolok. Bukan hanya karena terlihat sama bingungnya dengan Yabu atau bajunya yang berwarna kuning terang, tapi juga rambutnya yang dicat kemerahan.

Berani juga untuk seorang mahasiswa baru datang dengan rambut diwarnai.

Mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang ingin dia ajukan, Yabu memberanikan diri untuk menghampirinya lebih dulu. Lelaki itu menyadarinya, tatapannya dia alihkan dari ponselnya untuk melihat Yabu, ekspresi bingungnya semakin terlihat. Yabu ingin tertawa kecil, lelaki ini mudah sekali dibaca.

“Hai,” Yabu menyapa, “kau juga baru di sini?”

Sedikit paham alasan Yabu menegurnya, lelaki itu tersenyum kecil walau terlihat gugup, “Iya.”

“Aku juga. Namaku Yabu.”

“Ah, aku Yaotome.”

“Kau mau ke asrama?” tanya Yabu, sedikit berharap lelaki itu punya tujuan sama.

Ketika Yaotome mengangguk, Yabu rasanya ingin berteriak senang. Setidaknya dia tidak akan bingung sendiri. Mungkin lelaki ini juga tahu sesuatu.

Atau seharusnya begitu.

Tidak berbeda jauh dengan Yabu, Yaotome juga baru datang ke kota ini. Katanya, kakak Yaotome juga pernah berkuliah di sini. Dia pernah datang sekali, tapi tidak terlalu memperhatikan jalan karena ayahnya yang menyetir.

Yabu tidak salah juga. Mereka akhirnya bingung bersama. Tidak yakin juga ingin bertanya pada siapa. Semua orang yang ada di sekitar mereka terlihat punya tujuan. Beberapa terlalu asik dengan ponselnya sehingga mereka tidak enak untuk mengusiknya. Takut-takut juga kalau ternyata yang mereka sapa adalah kakak tingkat.

Mereka akhirnya mencoba untuk berjalan sendiri. Coba-coba saja dulu, siapa tahu beruntung bisa sampai ke asrama dengan kaki. Yabu sendiri pernah membaca di media sosial bahwa jarak stasiun dengan asrama tidak terlalu jauh. Dia hanya berharap mereka berjalan ke arah yang benar.

Bawaan mereka juga tidak banyak, untungnya. Yabu hanya membawa satu ransel, sisa barangnya akan datang melalui pengiriman paket, lainnya akan dia beli sendiri di sini. Yaotome juga sama, hanya ditambah satu tas jinjing. Setidaknya jalan jauh tidak akan menjadi masalah.

Mereka memutuskan untuk jalan lurus dari stasiun, menyusuri jalan setapak yang dibuat untuk pejalan kaki. Tak lama, mereka melihat gedung-gedung, terdapat minimarket pula di salah satunya. Ketika mereka perhatikan lebih lanjut, ternyata itu salah satu gedung fakultas.

Berpikir mungkin gedung asrama ada di antara fakultas-fakultas, mereka berjalan terus. Sesekali menoleh ketika mendengar kereta ikut melintas tak jauh dari mereka.

“Eh? Stasiun lagi?”

Setelah melewati beberapa gedung fakultas, kini mereka disuguhi sebuah stasiun. Lagi. Bukan stasiun yang sama dengan yang mereka datangi sebelumnya. Lebih menjorok ke dalam dan ramai dibanding yang mereka datangi.

“Jadi stasiunnya ada dua?”

Yabu hanya mengangguk. Dia juga baru tahu. Bahkan, beberapa orang terlihat melintasi jalan rel yang ada untuk pergi ke seberang jalan. Mungkin dia akan mencoba pergi ke sana lain kali, hanya untuk melihat apa yang ada di sana.

Baru saja dia ingin melanjutkan langkah, pandangannya bertemu dengan seseorang yang familiar. Tidak terlalu dia kenali, tapi dia ingat pernah berbicara dengannya. Orang itu juga tampak mengingatnya walau heran melihat Yabu ada di sana.

“Kau yang tadi, bukan?” Orang itu mendekati mereka, satu tangannya menjinjing tas. “Yang mau ke asrama?”

Yabu mengangguk sambil mencoba tersenyum. Sebetulnya, dia bertemu dengan orang ini ketika berada di kereta. Awalnya, Yabu hanya ingin basa-basi sebab orang ini terlihat akan turun di stasiun yang sama dengannya. Orang itu menanggapi, ikut menanyakan tujuannya setelah turun di stasiun kampus.

Ketika Yabu mengatakan dia baru datang ke kota ini, orang itu sempat menawarkan untuk menunjukkan jalan. Namun sebelumnya, Yabu merasa tidak perlu dibantu. Dia merasa dapat melakukannya sendiri. Memangnya sesulit apa menemukan gedung asrama kampus?

Jadi, dia menolak bantuan orang itu.

Sayangnya, takdir ingin mempermainkan dia. Orang itu dipertemukan lagi dengannya.

“Asrama bukan ke arah sini,” ucap orang itu, matanya melirik bergantian ke arah Yabu dan Yaotome. “Mau kuantar?”

Mencoba menahan malu, akhirnya dia menerima tawaran orang itu. Untungnya, orang itu tidak mengejek atau menyindirnya karena telah menolak bantuannya pertama kali. Mungkin karena ternyata orang itu juga sama seperti mereka, sama-sama mahasiswa baru. Hanya saja, dia memang berasal dari sekitar kota ini, jadi sudah tahu arah.

Namanya Inoo. Tidak tinggal di asrama seperti mereka sebab tidak kebagian jatah. Jadi dia menyewa kos di tempat yang dekat dengan fakultasnya.

Hari pertama datang ke kota dan memulai kehidupan perkuliahannya, Yabu sudah mendapat dua kontak baru di ponselnya.

[#chinen, #inoo, dan #yabu; sibling au yang belum dinamain biar beda dari sibling au lainnya yang saya tulis; setting nambah beberapa tahun dari setting biasa, umur mereka jadi chinen (7), inoo (17), yabu (21).]

Hari temu guru dan orang tua adalah salah satu hari yang disukai Yuri. Memang, belum banyak hari serupa yang dia lalui. Dia baru saja masuk naik ke kelas dua, baru melewati hari temu ini beberapa kali ketika taman kanak-kanak dan tahun lalu saat masih kelas satu. Namun dia suka hari ini, karena dia bisa membawa salah satu kakaknya ke sekolah.

Tentu bukan Ryosuke atau Yuto, pastinya. Walau kedua kakaknya itu sangat antusias hingga berebut untuk datang, mereka belum cukup untuk menjadi pengganti orang tua Yuri di sekolah. Begitu juga dengan Daiki yang kelihatannya tak beda jauh dengan Ryosuke dan Yuto walau sudah berumur 13 tahun ini.

Pilihannya hanya antara Kota atau Kei. Yuya pernah datang, sekali, suatu hari ketika dia masih di taman kanak-kanak. Kakaknya itu juga antusias, menyemangatinya dengan senyum, tapi tidak jarang dia terlihat garang dan menakuti gurunya. Yuri tidak mengerti, karena yang dia lihat hanyalah aura kehangatan kakaknya. Mungkin pandangan orang lain berbeda. Apapun itu, Yuya tidak lagi datang ke hari temu seperti ini.

Kota tentu datang tanpa ditanya. Sebagai yang tertua, dia selalu datang ke hari temu siapapun, mulai dari Yuya, Kei, Hikaru, Daiki, Ryosuke, Yuto, dan juga dia, Yuri. Sesibuk apapun kakaknya, Yuri selalu akan melihat sosoknya di saat yang tepat, baik dengan senyum lebar yang tulus atau senyum lelah habis berlari dari rumah.

Namun, bagi Yuri, Kei mengalahkan Kota jika dia dapat memberikan peringkat akan siapa yang lebih baik untuk datang pada hari temu guru dan orang tua.

Dengan Kota, Yuri menemukan banyak halangan. Tidak boleh menjahili temannya (walau ketika hari biasa pun Yuri tetap akan jahil, lagipula hanya bercanda, temannya juga akan membalas kejahilannya). Tidak ada jajanan ketika jalan pulang ke rumah. Tidak boleh tidur di kelas. Rasa-rasanya, Kota lebih punya banyak peraturan dibanding gurunya sendiri.

Belum lagi ketika gurunya harus berbicara dengan Kota.

Di jalan pulang, sudah pasti Yuri akan mendengar ceramah panjang Kota. Tentu bukan karena marah atau tidak suka, tapi Kota hanya ingin mengingatkannya agar lebih baik lagi. Yuri mengerti, tapi bukan berarti dia suka.

Kalau dengan Kei, lebih banyak hal tidak terduga yang akan terjadi. Kakaknya yang satu ini justru akan memberikan tips untuk dapat tidur tanpa ketahuan guru. Atau memberinya saran untuk lebih jahil pada temannya. Kei juga punya cerita-cerita aneh yang dapat Yuri sampaikan kepada teman-temannya. (Tentu cerita-cerita ini berasal dari turun-temurun, semua kakaknya juga bersekolah di sini, dulu.)

Ketika pulang, Kei akan membawanya mampir ke toko swalayan. Yuri dapat memilih yang dia suka, asal bisa dihabiskan selama jalan pulang agar tidak ketahuan yang lain. Kei memang tidak akan menggendongnya, seperti jika Kota atau Yuya yang datang pada hari temu, tapi kakaknya akan mengajaknya singgah ke taman bermain terdekat.

Pernah sekali mereka tidak sengaja tertidur di salah satu permainan yang ada di sana. Untungnya, taman itu sepi dan tidak ada anak lain bermain. Ketika mereka bangun, langit sudah senja, terdapat banyak panggilan tidak terjawab di ponsel Kei. Tentu mereka disambut dengan ceramahan Kota (walau lebih banyak Kei yang diberikan petuah), tapi Yuri tidak keberatan jika melakukannya lagi.

Sebagai anak paling kecil, yang disayang pula dengan semua kakaknya, Yuri merasa masing-masing kakaknya punya sisi lebih tersendiri. Untuk hari temu seperti ini, atau untuk hari-hari lainnya yang ingin dia isi dengan sesuatu yang menarik, dia tahu dia dapat mengandalkan Kei. Kota pasti akan mengingatkannya untuk tidak meniru segala hal yang dilakukan Kei sebab Yuri juga paham ada banyak masalah yang pernah Kota tangani karena Kei.

Yuri mengerti, tapi bukan berarti dia akan menurut.

[ #takaki, #yabu, dan yang lainnya; sibling au; bahasa indonesia.] [note: baru sadar kan mestinya karena sekeluarga jadi nama belakangnya sama ... jadi mulai sekarang semua disebut dengan nama depan :)]

Yuya cinta dengan laut. Atau pantai dengan pasir seratnya. Atau laut dan pantai dengan ketenangannya yang tak bisa dia dapatkan di rumah.

Tinggal bersama tujuh kepala lain bukan hal mudah. Rumah mereka tidak sempit-sempit amat, cukup untuk masing-masing anggota punya kamar sendiri, sangat memungkinkan mereka hidup dalam kotak masing-masing.

Namun keluarganya tidak mengerti batas privasi. Pintu tertutup bukan menjadi pertanda untuk dijauhi, melainkan untuk diketuk dan didobrak, khususnya oleh adik-adik kecilnya yang suka kurang ajar. Tidak sekali dua-kali Yuya mengomel, meneriaki mereka untuk keluar, serta mengejar mereka jika ada barangnya yang diambil. Walau umurnya sudah menginjak belasan dan dia harus bersikap dewasa sebagai anak kedua, bukan berarti dia menghentikan sikapnya itu.

Jadi, dalam upaya mengurangi aura negatif di rumah, serta menghindari tatapan kakaknya yang meminta agar dia menahan diri untuk tidak baku hantam, dia pergi. Sesekali naik kereta tanpa tahu tujuannya, berusaha terlihat tidak tersesat ketika turun di tempat asing, lalu mencari-cari jalan pulang alternatif sebelum malam tiba. Sayangnya, Yuya tidak punya banyak keberuntungan. Mayoritas upayanya berakhir dengan Yabu menjemputnya, lalu mendengar omelan si kakak yang panjang lebar di jalan pulang.

Kali lain, dia mengunjungi pantai yang sebenarnya cukup jauh dari rumah. Butuh perjalanan dua jam untuk sampai di sini; naik bus umum, dilanjutkan kereta ke stasiun terdekat, lalu berjalan sepuluh menit untuk sampai ke tepi pantai.

Pantai itu pertama kali dia datangi dengan Yabu, beberapa tahun lalu dengan sembunyi-sembunyi, meninggalkan yang lain tanpa kata di rumah.

“Ini bisa jadi tempatmu,” Yuya ingat Yabu berucap dulu, “kalau kau ingin cari tenang, pergilah ke sini. Jadi aku tidak perlu repot mencarimu.”

Dia ingat suara Yabu dibalut dengan kekesalan yang dibuat-buat. Menurutnya, Yabu hanya khawatir dia akan pergi terlalu jauh dan kakaknya tidak bisa menemukannya. Atau mungkin, Yabu hanya tahu bahwa dia suka pantai dan sudah lama ingin menemukan tempat yang bagus untuk menyendiri.

Yabu tahu segalanya, bahkan hal-hal yang tidak terucap. Agak mengerikan, menurut Yuya.

“Kak Yuyaa,” dia merasakan lengannya dicolek jemari kecil, “katanya mau berselancar. Ayoo.”

Menoleh ke sampingnya, dia dihadapi oleh Yuri, jemarinya masih mencolek-colek pelan lengannya. Di belakangnya, ada Daiki dan Yuto yang punya tatapan sama; berbinar, menunggu kesempatan untuk diajak dan diajari cara berselancar.

“Kamu, sih, lihat saja,” Yuto menyambar, melirik pada adik bungsu mereka, “nanti kamu tenggelam.”

“Aku sudah bisa berenang!” bela Yuri, menoleh pada kakaknya dengan wajah sedikit sebal. Yuya ingin tertawa; mudah rasanya sebal dengan Yuto, padahal tidak ada yang salah dengan perkataannya.

“Tapi kamu kan masih pendek. Airnya kan dalam.”

Tentu topik ini bukan topik yang baik untuk dibicarakan. Walau paling kecil, Yuri sudah tahu cara melawan pada Yuto yang lebih besar darinya. Yuto sendiri tidak pernah belajar dari pengalaman, selalu saja memancing Yuri di setiap kesempatan yang ada, lalu mengadu pada yang lain ketika adik bungsu mereka mulai menyerang.

“Kak Yuyaa,” Yuto berlari cepat, menjadikan tubuh Yuya sebagai tameng dari Yuri, “dia galak!”

“Aku gak galak kalau kamunya gak nyebelin!”

Melirik pada adiknya yang lain, Yuya melihat Daiki masih berdiri di tempat awalnya, matanya mengikuti pergerakan kedua adik mereka secara bergantian. Lebih-lebih dari Yuya, Daiki lebih pintar dalam menyelesaikan pertengkaran, khususnya yang seperti ini.

“Sudah, sudah,” Daiki akhirnya mengulurkan tangan, meraih Yuri dan menghentikan pergerakannya. Kedua tangan masih memegang Yuri, tatapannya beralih pada sosok di balik Yuya. “Yuto, minta maaf dulu.”

“Tapi aku kan gak salah,” Yuto menolehkan kepalanya agar melihat Daiki dan Yuri, “dia gak bakal diajak berselancar, kan?”

Mendengar pertanyaan Yuto, tatapan Daiki beralih pada Yuya. Bukan keputusan Daiki untuk mengajak atau meninggalkan Yuri. Yang akan mengajari mereka berselancar adalah Yuya, jadi dia juga yang harus membuat keputusan.

Awalnya, Yuya hanya ingin berselancar sendiri. Dia sudah berencana sejak ujian sekolah dilaksanakan, kira-kira dua minggu lalu. Ingin memberi hadiah pada diri sendiri, dia menggunakan uang tabungannya untuk membeli papan selancar (tentu hal ini juga sudah disetujui Yabu).

Sayangnya, kemarin rencana berselancarnya ini ketahuan. Bukan oleh Yabu, bukan juga oleh papan selancar yang dia beli, melainkan Kei yang tiba-tiba keceplosan saat makan malam.

“Eh? Kukira kita akan pergi bersama,” ucap Kei, wajah tanpa ekspresi signifikan yang dapat Yuya ketahui, membuatnya merasa mungkin adiknya ini mempermainkannya. “Habisnya dua minggu ini kau terlihat seperti orang yang bersiap-siap ingin ke pantai.”

Selain Yabu yang punya insting tahu segalanya, Kei juga mewarisi pengetahuan serupa. Ada saja yang dia ketahui, tapi selalu terlihat seakan tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba saja suatu saat akan diumumkan kepada seluruh anggota keluarga mereka. Lebih mengerikan dari Yabu.

Karena itulah, hari ini semuanya ikut pergi. Adik-adiknya tentu bersemangat, terlebih ketika melihat papan selancarnya yang baru. Daiki dan Yuto langsung mendesaknya untuk mengajarkan mereka, terus-menerus sejak kemarin, sampai Yuya mengiyakan karena tidak tahan dengan suara mereka.

Rencananya dia akan diam-diam saja berselancar. Ketika yang lain sibuk makan atau ganti baju, dia sudah berencana untuk kabur dengan papan selancarnya, lalu berselancar sendiri. Tidak peduli jika adik-adiknya akan nekat menyusul. Selama ada Yabu, situasi pasti akan aman dan kakaknya pasti akan menahan adik-adiknya untuk menyentuh air terlalu dalam.

Sayangnya, rencana yang dia buat biasanya selalu digagalkan oleh adik-adiknya.

“Yuri boleh ikut,” Yuya menghela napas panjang, disambut dengan sorakan gembira si bungsu dan protes dari adik di belakangnya, “nanti satu papan denganku. Asal jangan banyak bergerak ketika sudah di tengah-tengah, ya.”

Papan selancar yang awalnya hanya satu untuk Yuya akhirnya menjadi dua. Yabu membeli satu lagi, tahu adik-adiknya pasti ingin mengikuti Yuya ke laut.

“Okee!” Yuri tersenyum lebar. “Ayo, ayo!”

Menghela napas kembali, Yuya mengambil papan selancarnya dan berjalan ke arah laut. Lautnya yang hening kini dicampur oleh keluarganya yang bising.