adikku sayang, adikku rese
[#yabu, #yamada, #yuto, & #chinen. yang lain ada sih tapi sedikit. sibling au dengan jarak masing-masing dua tahun jadi yabu (17), yamada (7), yuto (5), chinen (3). ficlet.]
Yabu tidak tahu apakah memiliki tujuh adik dapat dikatakan berkah atau malapetaka.
Tentu dia sayang mereka semua. Semenyebalkan apapun tingkah mereka, Yabu tetap akan menjadi kakak yang baik dan sabar, menuntun mereka semua untuk tetap bertahan tanpa ada baku hantam terlalu lama. Terlebih pada tiga yang terkecil—Daiki menolak disebut sebagai bocah lagi karena kini dia sudah berumur sembilan—walau sebenarnya ketiga itu yang lebih berbahaya dari adik Yabu yang lain.
Yamada tidak suka diberi penolakan. Kalau mendengar kata negasi, dia langsung meninggikan suara, meminta alasan yang jelas, dan akan memberikan argumen jika dia sedang cukup keras kepala. Tidak mau mengalah pada siapa saja kecuali Chinen.
Chinen sebagai yang terlahir terakhir rasanya datang sebagai mantra tolak untuk Yamada. Segala sifat Yamada pada umumnya tidak berlaku pada Chinen. Berbicara dengan nada tinggi? Tidak. Mengamuk jika diberi penolakan? Tidak. Mau mengalah? Iya. Yabu cukup terpukau dengan besarnya pengaruh eksistensi Chinen terhadap Yamada.
Sisanya Yuto sebagai anak yang berada di tengah keduanya. Suka ribut, berisik, tidak bisa diam kecuali diberi ponsel dengan memori kosong untuk memotret atau kamera sungguhan. Biasanya ada saja tingkahnya untuk mengajak ribut Yamada. Sama-sama punya sifat tak mau mengalah, keduanya selalu harus dilerai agar insiden baku hantam keluarga ini tidak memiliki sekuel.
Insiden pertama terjadi ketika ketiga adiknya itu belum ada di rumah ini sehingga terkadang adik-adiknya itu tidak percaya. Ceritanya juga terdengar tidak masuk akal; Inoo menendang Yabu, dibalas Yabu melayangkan tinju pada Inoo, lalu Takaki ikut-ikutan menyerang mereka berdua, disusul Hikaru dan Daiki yang saling bekerja sama melemparkan tangan. Aneh, karena Inoo tidak terlihat sebagai tipe yang melayangkan kaki duluan dalam pertengkaran.
Begitulah. Itu cerita untuk lain kali.
Kali ini, Yabu punya masalah lain untuk dia pikirkan.
“Kak Yabu mau keluar?” tanya Chinen, jemarinya meremat celana Yabu dan menariknya, dengan cepat mengambil perhatian si kakak.
“Ah,” Yabu menoleh ke sekelilingnya, menemukan tatapan minta maaf dari Takaki yang seharusnya menjaga Chinen, “tidak, kok. Aku tidak mau keluar.”
Yabu harus keluar. Setengah jam lalu, bosnya memanggil agar dia datang pada jadwal siang, menggantikan salah seorang pekerja lain yang izin tidak dapat hadir. Ada bonus yang dijanjikan sehingga dia langsung saja mengiyakan.
Dia tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan adiknya.
“Tapi kok pakai baju rapi?”
Dalam hati, Yabu menghela napas panjang. Kemunculan suara Yuto biasanya akan diikuti dengan suara Yamada. Sesuai dugaannya, adiknya yang satu itu tak lama berdiri di samping Yuto, menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Iya, itu baju perginya.” Yamada kembali beralih menatap kedua mata Yabu. “Mau pergi ke mana?”
Tidak mungin Yabu bisa menjawab. Ketiga adiknya itu pasti akan ikut. Berdasarkan pengalamannya membawa adik ke tempat kerja, tidak ada hal baik yang akan datang jika mereka ada di sana. Walau bosnya mengerti keadaannya, dia tetap saja merasa tidak enak.
“Gak kok, dia gak pergi,” muncul suara Inoo, berdiri di belakang Yamada dan Yuto, “cuma sedang coba-coba baju saja.”
Yuto tampak puas dengan jawaban Inoo. Begitu juga dengan Chinen yang memang biasanya mengiyakan saja perkataan Inoo, tak peduli seberapa janggal kata-kata yang diucapkan. Namun kali ini kata-katanya cukup bagus, tidak aneh, dan bisa diterima. Yabu merasa bangga juga adiknya yang satu itu bisa benar walau hanya pada waktu tertentu.
“Yang benar?” Yamada bertanya, jelas tidak puas. Yabu memang suka sekali diuji kesabarannya oleh Yamada.
“Iya, benar.” Inoo menjawab dengan nada yang sama, tidak mengubah ekspresinya agar Yamada lebih percaya. Sayangnya, Yamada sedang keras kepala, tidak mau menerima alasan yang diberikan kakaknya semudah itu.
“Gak mungkin.” Ruangan itu kini hanya diisi oleh Yamada, Yabu, dan Inoo. Yuto dan Chinen, serta Takaki yang sempat ikut berdiri di sana, kembali masuk ke kamar Hikaru, mengusik pemilik kamar yang mengerjakan tugas.
“Kenapa tidak mungkin?” Yabu bertanya setelah hening beberapa saat. Melirik arlojinya, dia harus berlari jika bisa keluar dari sini.
Yamada tampak berpikir, menatap lekat segala yang Yabu kenakan. Kalau saja dia sedang tidak dikejar waktu, Yabu mungkin akan tertawa karena aneh rasanya melihat wajah anak umur tujuh dengan ekspresi terlalu serius.
“Kencan,” ujar Yamada, akhirnya, “kak Yabu mau kencan, ya?!”
Pertanyaan itu kembali membawa Yuto dan Chinen menghampiri mereka, tentu diikuti Hikaru serta Takaki yang tak sengaja mendengar. Bahkan Daiki yang berada di ruangan lain ikut terkejut dan masuk ke dalam kerumunan adiknya.
“Kencan? Kak Yabu kencan?”
“Kok bisa ada yang mau sama kak Yabu?”
“Kok kak Yabu gak cerita kalau sudah ketemu perempuan?!”
Menahan diri untuk tidak memutar kedua bola matanya dan berteriak, Yabu menarik napas dalam-dalam. Tangannya dengan cepat meraih kenop pintu, membuka dan menutupnya dalam hitungan detik, lalu berlari kencang dari sana. Dia mendengar sahutan adik-adiknya dari jauh, tapi sepertinya tidak ada yang menyusulnya.
Tidak peduli. Urusan adiknya nanti saja dia atasi ketika pulang.