hiirei

yuto

[#yamada, #yabu, dan #yuto. non-idol au. bahasa indonesia.]

Setelah tertidur sekian hari, Yamada terbangun sebagai seorang pembunuh.

Atau setidaknya, demikian yang dia tangkap dari penjelasan Yuto. Temannya sejak masa mengeja kata itu bahkan tidak dapat menatapnya. Pandangannya tertuju pada lembaran kertas yang dia bawa, berkas-berkas yang menyatakan Yamada bersalah atas tindak pembunuhan.

Selain Yuto yang berperan sebagai pengacaranya, dia juga bertemu seorang utusan dari pihak kepolisian. Yabu namanya, kebetulan dia yang menerima telepon laporan.

Laporan yang diberikan oleh Yamada sendiri.

Menurut perkataan Yabu, dia mendapat telepon dari Yamada yang berada di tempat kejadian. Yamada melaporkan perbuatannya sendiri, dengan nada yang datar, kalimat yang singkat, dan tidak lama menutup panggilannya sebelum Yabu dapat bertanya lebih banyak.

Ketika Yabu berada di tempat kejadian, Yamada ada di sana. Tidak jauh dari korban, Yamada tidak sadarkan diri dengan ponsel dalam genggaman.

Setelah diselidiki, mereka menemukan bukti pendukung lainnya yang membuktikan bahwa Yamada memang membunuh Takaki Yuya, di kediaman lelaki itu, seminggu lalu. Yamada ditempatkan pada rumah sakit kepolisian hingga saat ini.

Yabu datang karena dia ingin mengetahui motif Yamada. Pihak kepolisian, termasuk Yabu, tidak menemukan hubungan antara Yamada dan Takaki. Mereka tidak mengenal, tidak punya kenalan yang mengenal, tidak hidup di area yang sama, tidak pernah bertemu di tempat sekolah atau kerja yang sama ... rasanya tidak ada hubungan.

Oleh karena itu, Yabu datang dengan harapan Yamada menjawabnya. Apakah Yamada hanya ingin membunuh orang malam itu? Apakah Takaki hanya korban yang Yamada pilih secara acak? Atau sebenarnya mereka memiliki hubungan rahasia?

Sayangnya, Yamada sendiri tidak tahu.

Dalam ingatannya, tidak ada peristiwa seperti yang Yabu dan Yuto jelaskan. Yang terakhir dia ingat, dia sedang berada di apartemennya, duduk di atas sofa sambil menonton tv.

Yamada sempat tertawa.

Setelah Yuto menjelaskan keadaannya, dengan nada yang tidak terdengar seperti Yuto, Yamada pikir temannya itu hanya berakting. Sebagai pengacara yang andal, Yuto pintar berpura-pura, agar lawan bicaranya yakin dengan kata-kata yang dia ucapkan.

Namun, Yamada tidak merasa hari ini ulang tahunnya. Tidak juga merasakan pertanda Yuto akan ikut tertawa dengannya. Tidak juga merasa tempat sekitarnya ini hanya bohongan.

Kedatangan Yabu membuat semua semakin nyata. Yamada tidak pernah melihat Yabu sebelumnya. Lelaki itu juga tidak terlihat seperti teman Yuto. Lagipula, Yuto akan selalu memperkenalkannya pada semua temannya. Setidaknya, seharusnya nama Yabu muncul satu-dua kali dalam percakapan mereka jika mereka memang saling kenal.

Tentu ucapan Yamada tidak dipercaya.

“Yuto.” Yamada mencoba membuat temannya itu memandang dia, tapi tatapan Yuto tidak berani mendekatinya. “Kau juga tidak percaya?”

Yuto tidak menjawab.

Lucunya, setelah dua orang itu pergi meninggalkan Yamada sendirian dengan pikirannya, ada seorang lelaki yang datang.

Yamada tidak merasa pernah mengenal lelaki itu sebelumnya. Lelaki itu juga tidak memperkenalkan dirinya.

“Ryosuke,” ucap lelaki tersebut, mendudukkan diri pada kursi di samping kiri ranjangnya, “kau tidak ingat aku?”

Sedikit enggan tapi merasa dia harus menjawab, Yamada menggelengkan kepalanya. Senyum lelaki itu tidak berubah, namun tatapannya sedikit meneduh ketika melihat respons Yamada.

“Baiklah, tidak apa-apa.” Lelaki itu melihat ke sekeliling ruangan. Matanya menatap satu per satu benda yang ada—tidak banyak, hanya kursi, ranjangnya, meja dengan vas bunga yang kosong, dan lemari kecil untuk pakaiannya. Pada pojok ruangan, terdapat pintu untuk masuk ke toilet. “Kita punya banyak waktu untuk mengenal kembali.”

“Kamu,” Yamada merasa senyum lelaki itu semakin janggal, “siapa? Mengapa aku tidak mengingatmu?”

Lelaki itu menghela napas, lalu berdiri—agaknya lucu bagi Yamada melihat lelaki yang lebih pendek darinya—dan berjalan menuju pintu keluar. Dia berhenti lama sambil memegang kenop pintu, membiarkan Yamada menunggunya dalam hening.

“Aku akan bawakan bunga nanti,” ucapnya, tidak menjawab pertanyaan Yamada. Dia menoleh, tetap dengan ekspresi yang sama ketika dia datang, lalu membuka pintu.

Dan dia pergi.

Tidak perlu banyak waktu berpikir untuk menghubungkan koneksi lelaki itu dengannya. Terlebih, ruangan rumah sakit yang tidak seberapa membuatnya bosan. Memaksa otaknya untuk memikirkan sesuatu demi menghiburnya.

Kalau Yamada tidak mengingatnya, juga tidak mengingat kejadian yang Yabu dan Yuto jelaskan, maka jawabannya hanya satu.

Lelaki itu ada hubungannya dengan pembunuhan yang dia lakukan.

[#yamada, #yuto, #chinen, #daiki, dan #hikaru; sibling au dengan umur chinen 4 dan tiap bocah beda 2 tahun; sick fic sebagai pelarian atas tidak adanya ide nulis; bahasa indonesia.]

Hal yang paling ditakuti oleh mereka adalah Kota yang sakit.

Namun, hari itu membuktikan ketakutan mereka tidak seberapa dibanding kenyataan yang mereka hadapi.

Tidak hanya Kota, Yuya dan Kei juga sakit. Mereka bertiga pulang basah kuyup dua malam lalu karena menerjang hujan badai yang tidak berhenti sampai keesokan harinya. Walau sudah diberi pencegah sakit seperti air hangat yang disodorkan setiap setengah jam, tubuh ketiganya tetap tidak kuat.

Untungnya, musim ujian sudah terlewati. Ketiganya dapat tenang memakai jatah absen untuk beristirahat penuh di rumah.

Sialnya, bagi tiga bocah cilik, artinya Hikaru yang mengambil alih. Kalau Hikaru yang memegang perintah, artinya ada saja omelan yang mereka dapatkan.

“Kalian diam saja di rumah, oke?” Hikaru menoleh, memastikan ketiga adik kecilnya itu mendengarnya. “Jangan keluar, jangan buka pintu kalau ada tamu, jangan melakukan hal-hal aneh.”

Yuto sebenarnya gatal ingin menyuruh Hikaru berhenti menggunakan kata “jangan”, tapi Ryosuke meliriknya tajam. Tanda dia harus diam dan mengangguk saja. Bagi Yuto, Ryosuke tidak jauh beda dengan Hikaru. Galak, tapi dengan cara yang berbeda.

Yuri sebenarnya sudah tidak mendengarkan sejak Hikaru membuka mulutnya. Kepalanya otomatis tergerak untuk mengangguk karena Hikaru menatapnya dengan sedikit melotot. Dalam hati, dia tahu Ryosuke akan mengingatkannya juga jika ada sesuatu yang Hikaru larang.

Ryosuke memberi senyum manis, tampak berbeda dari kedua adiknya. Hikaru sempat menatapnya awas, curiga dia punya rencana macam-macam, tapi Ryosuke membuatnya yakin tidak ada intensi aneh-aneh.

“Kalau ada apa-apa, tanya Daiki,” Hikaru berkata sebelum menutup pintu, “tadi dia ada di kamarnya.”

Betul Daiki ada di kamarnya. Hanya saja, kakak mereka satu itu tidak sadarkan diri. Tertidur pulas setelah lelah kerja rodi membereskan rumah dengan Hikaru pagi tadi. Tidak ada yang dapat membangunkan Daiki selain alam.

Dan karena itulah mereka beranjak ke dapur.

“Kenapa enggak kak Hikaru aja yang masak nanti?” tanya Yuto sambil memberikan Ryosuke panci yang diminta.

“Karena kita mau kasih kejutan.” Ryosuke menatap kedua adiknya. “Sesekali, kita harus jadi yang jagain kakak-kakak kita.”

Mendengar kata-kata Ryosuke, Yuto terpukau. Mudah saja memang membuat Yuto semangat mengerjakan sesuatu. Yuri, sih, tidak termotivasi. Tapi tidak salah juga mengerjakan sesuatu dengan kedua kakaknya.

“Yuri, coba ambil buku resep di ruang tv.”

Yuri mengangguk, kakinya langsung berjalan menuju tempat pencarian. Ryosuke beralih pada adik satunya lagi, kini dengan senyum sumringah setelah semangat.

“Kau, ambilkan barang-barang di tempat tinggi.”

“Ehhh?” Yuto kecewa. “Kenapa hanya ambilkan barang?”

Ryosuke menatap lama adiknya. Dia tidak mau terang-terangan mengatakan bahwa Yuto yang paling tinggi dari mereka bertiga, tapi memang itu alasannya dia mengiyakan tawaran Yuto untuk membantu.

“Karena kamu pecicilan, nanti dapurnya berantakan,” jawab Ryosuke final, mengalihkan pandangannya pada Yuri yang memberinya buku resep.

Sejenak, mereka bekerja dalam ketenangan. Yuto hanya bergerak ketika mendapat perintah dari Ryosuke. Yuri pun tidak banyak komentar. Ryosuke pada mode normal sudah cukup galak, kalau sedang memasak akan lebih menyalak.

Masakan yang dibuat sebenarnya sederhana. Krim sup jagung dengan irisan ayam yang tebal-tebal. Ryosuke belum pernah mencoba sebelumnya, tapi tahapan yang ditulis dalam buku resep tidak terlalu sulit.

Walau begitu, tatapan cemasnya tetap terpancar menunggu Yuri mencicipi sup tersebut.

“Gimana?” tanya Ryosuke, setengah tidak sabar karena Yuri tidak berkata apa-apa.

“Hmm,” Yuri melirik Yuto yang ingin mencicipi juga, “biasa saja, sih. Coba Yuto yang cicip.”

Tatapan cemas itu beralih pada Yuto. Memang, tidak banyak yang dapat diharapkan dari Yuri ketika mencicipi makanan. Semua terasa biasa saja kecuali masakan Kei yang dibuat dalam sekali setiap purnama biru.

“Ah!” Yuto tersenyum lebar, menularkannya pada wajah Ryosuke. “Enak kok.”

“Apanya yang enak?”

Ketiganya terkesiap, dengan cepat menoleh pada sumber suara. Berdiri di sekat dapur dan ruang makan, Daiki menatap mereka bertiga dengan cengiran lebar. Rambutnya berdiri hampir ke segala arah. Tanda Daiki baru saja bangun.

Tanpa menunggu jawaban dari ketiga adiknya, Daiki beralih pada panci yang masih di atas kompor. Uap panas segera keluar ketika Daiki membuka tutupnya.

“Memangnya Hikaru bolehin kalian masak?” tanya Daiki, tapi tangannya mengambil sendok yang tergeletak tak jauh darinya. Mengambil sedikit dari dalam panci, Daiki ikut mencicipi krim sup itu.

“Ih, curang,” Yuto mendorong pelan Daiki, “harusnya tadi Daiki ikut masak.”

“Kan aku tadi beresin rumah,” Daiki membela diri sambil mengambil mangkuk, siap menyendokkan krim sup itu ke dalamnya, “jadi adil, dong, kalian yang masak.”

Yuri ikut protes, ditambah Yuto yang semakin mengoceh tak mau kalah. Sambil tertawa menanggapi adik-adiknya, Daiki mengambil mangkuk lagi, membantu Ryosuke menyiapkan untuk ketiga kakak mereka yang sakit.

Hikaru pulang ketika semua mangkuk tersedia di atas meja, disusul dengan hujan deras yang kembali turun. Porsi krim sup sesuai dengan jumlah mereka sehingga tak ada yang bisa menambah.

Untuk sesaat, Hikaru sadar ketiga adiknya itu masak tanpa bilang-bilang, tapi Kota dengan lemas menyuruhnya duduk. Bukan berarti ketiga bungsu itu akan lolos dari omelan.

Namun setidaknya, mereka dapat mencicipi krim sup dulu, mumpung masih hangat di saat udara dingin hujan mengisi rumah.

[#yabu, #inoo, dan #yuto. sibling au dengan umur yabu (17), inoo (13), dan yuto (5). bahasa indonesia.]

“Kenapa langit warnanya biru?”

“Karena kalau hijau, nanti kamu tidak bisa membedakan langit dan pohon.”

Kota mengalihkan pandangannya dari ponsel. Sejak beberapa menit lalu, kedua adiknya itu sibuk mengobrol. Kei sedang mengerjakan tugas (dengan terpaksa, sebab Kota tidak akan membiarkannya berdiri dari kursi itu sampai semua tugas untuk besok selesai). Yuto duduk di sampingnya, menarik kursi kecilnya untuk ikut mencoba melihat jawaban yang ditulis Kei.

“Kalau begitu kenapa tidak putih saja?” Yuto bertanya lagi, kedua tangannya terlipat rapi di sisi lain meja yang dipakai Kei, memberi jarak agar tangannya tidak mengganggu pekerjaan si kakak.

“Kalau putih gampang kotor.”

Yuto sedang dalam masa banyak bertanya. Kalau ada Ryosuke, biasanya jadi bertengkar berdua. Ryosuke sebenarnya tidak keberatan menjelaskan beberapa hal, tapi dia merasa Yuto tidak punya batasan untuk berhenti dan diam. Terkadang, Kota sendiri berpikir harusnya Yuto sadar bahwa Ryosuke mudah terpancing marah, tapi selalu saja ada kelakuan Yuto yang seakan sengaja membuatnya tersulut.

Mungkin memang sebenarnya sengaja.

Kota sudah melalui tahap ini berkali-kali. Dia ingat harus menjaga emosinya ketika Kei berada dalam tahap ini. Berbeda dengan Yuya yang lebih suka mengeksplorasi dunia dengan mandiri, Kei tidak jauh beda dengan Yuto. Semua hal ditanya, tanpa henti, tidak pernah terlihat puas dengan jawaban sekadarnya yang Kota berikan kalau sudah lelah.

Yuya biasanya dapat memberikan jawaban yang membuat Kei senang. Namun, kesenangan itu hanya bertahan selama beberapa menit. Setelah dibiarkan diam, Kei akan memikirkan jawaban Yuya, lalu mendapat pertanyaan lain yang akan dia ajukan kembali.

Kota menghela napas. Se-ala-kadarnya dia memberi jawaban pada Kei, setidaknya dia akan memberikan jawaban yang hampir tepat. Dia akan mencari tahu dulu sebelum memberikan jawaban. Mungkin karena itu juga dia akhirnya mengetahui banyak informasi tidak penting.

“Kei,” Kota memanggilnya ketika Kei beranjak mendekatinya, ingin mengambil minum yang letaknya tak jauh, “kalau mau memberi jawaban, jangan asal.”

Kei menoleh, ekspresinya menunjukkan dia tidak mengerti yang Kota maksud. “Asal bagaimana?”

“Jawabanmu tentang langit. Itu kan asal saja kau bilang padanya agar dia diam.”

“Tidak juga,” Kei melirik Yuto yang kini mencoba keras untuk membaca tulisan pada kertas jawabannya, “bisa saja begitu, kan?”

“Setidaknya cari dulu kalau kau tidak tahu,” Kota memutar bola matanya, “aku tidak seasal itu ketika menjawab pertanyaanmu.”

Ketika tidak mendapat balasan dari adiknya, Kota kembali melirik pada Kei yang masih berdiri di tempatnya, tepat di sebelah tempat minum.

“Kau banyak memberiku jawaban asal,” Kei akhirnya bersuara, “kau bilang anak bayi datang dari burung bangau.”

Kota mengerutkan dahinya. Dia tidak ingat pernah berkata seperti itu. Tapi dia tidak bisa juga sepenuhnya percaya pada omongan Kei. Bisa saja adiknya ini sedang mempermainkannya.

“Kapan aku bilang begitu?”

“Setelah kau nonton film Dumbo.”

Kota menatap Kei lama, menunggu gerak-gerik dari adiknya yang menandakan dia bercanda. Tapi wajah Kei tidak berubah menjadi tawa.

“Memangnya anak bayi datang dari mana?”

Melupakan perdebatan mereka, Kei dan Kota mengalihkan pandangannya cepat pada si penanya. Yuto menatap mereka bergantian, tangannya sudah tidak lagi memegang kertas jawaban Kei. Mungkin sudah menyerah karena membaca masih sulit untuknya.

“I-itu ...”

Kota melirik Kei yang balas menatapnya heran. Dalam situasi seperti ini, tentu saja Kota yang punya tanggung jawab untuk memberi jawaban.

Berbeda dari waktu-waktu lain di mana atensi Yuto tidak bertahan lama, kini adik mereka duduk terdiam. Kedua matanya masih beralih pada Kei dan Kota, menunggu jawaban dari mereka.

“Ah, biar Kota yang menjelaskan padamu, ya. Aku harus menyelesaikan ini.”

Tidak peduli pada pelototan dari Kota, Kei mengumpulkan kertas jawabannya beserta soal-soal yang belum dia jawab, lalu pergi ke kamarnya dengan cengiran lebar pada si sulung.

Kini, Kota harus menghadapi Yuto sendirian, dengan pertanyaan paling dihindari oleh kakak dan orang tua kebanyakan.

“Jadi,” Yuto kini memberikan atensinya penuh pada si sulung, “bayi datang dari mana?”

[#yuto dan #hikaru, ficlet, bahasa indonesia.]

Memancing di Minggu pagi adalah salah satu kebiasaan Hikaru yang baru-baru saja dimulai. Semua berkat Takaki yang sempat mengajaknya karena dia terlihat tertarik. Hikaru, dengan jiwa berpetualangnya yang menggebu-gebu, tentu mengiyakan.

Dan tanpa sadar, memancing jadi salah satu kebiasaannya selain berkemah yang dilakukan sebulan sekali.

Sayangnya, hari ini Takaki sedang tidak bisa menemaninya. Latihan untuk musikal yang akan datang membuatnya beberapa kali melewati hari minggu mereka di suatu danau. Tidak apa-apa juga, pikir Hikaru. Kini dia sudah cukup terbiasa dan tahu cara memancing yang benar. Walau tanpa Takaki, dia tetap bisa mendapatkan beberapa ikan untuk dibakar sore nanti dengan Yabu dan Daiki.

Sebagai ganti Takaki, Yuto tiba-tiba hadir di depan pintunya, lengkap dengan peralatan memancing dan senyum lebar. Hikaru tidak tahu bagaimana caranya Yuto bisa datang secepat itu. Padahal dia baru saja mengatakan akan pergi memancing sendiri di group chat mereka sekitar sepuluh menit lalu.

“Tenang saja,” Yuto berkata dalam perjalanan menuju perahu motor yang dimiliki Inoo entah darimana, “aku sudah sempat mencari tahu segala hal yang perlu diketahui sebelum memancing.”

Hikaru sempat melihatnya aneh. Selama ini, Yuto terlihat sebagai tipe orang indoor, lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ketika punya hari libur, dan hanya keluar jika sedang ingin memotret sesuatu. Namun hari ini Hikaru tidak melihat Yuto membawa kamera sama sekali—untung juga sebenarnya karena Hikaru tentu akan melarangnya membawa benda seperti itu ke tengah perairan.

“Kau yakin mau memancing?” Hikaru bertanya sekali lagi, setelah sempat melontarkan kalimat yang sama sejak dia melihat Yuto di depan pintunya.

Yuto mengangguk. “Iya, yakin. Ayo, cepat, jalan!”

Dalam hati, Hikaru merasa seperti sedang membawa anak kecil memancing pertama kali. Senyum Yuto yang lebar dan badannya yang tak bisa diam tidak jauh berbeda dengan energi anak kecil. Menghela napas panjang, dia menyalakan mesin dan mengarahkan perahu ke titik biasa dia dan Takaki memancing.

Beberapa menit pertama berjalan biasa saja. Hikaru mengantarkan mereka ke tengah danau dengan selamat, membuka kotak berisi umpan dan menyiapkan tempat untuk tangkapan mereka, lalu memasang pancingan mereka dengan umpan. Yuto sempat tertawa geli melihat umpan-umpan tiruan yang ada.

“Sunyi, ya,” Yuto tiba-tiba berkata setelah mereka melemparkan pancingan mereka, “tenang juga di sini.”

Hikaru tidak menjawab, hanya melirik ke arah Yuto sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada pancingan miliknya.

“Tidak ada orang lain yang memancing selain kita,” suara itu kembali mengisi keheningan, “padahal kan sekarang hari libur.”

Lagi, Hikaru tidak menanggapi. Mereka juga duduk hampir saling membelakangi, jadi mudah untuk Hikaru mengabaikan Yuto, menganggapnya angin lalu.

“Hikaru,” Yuto menarik bahunya pelan, tapi cukup membuatnya harus menoleh ke arah temannya itu, “kau, kok, diam saja, sih?”

“Karena itulah gunanya memancing,” Hikaru menghela napas, “ikan-ikan bisa mendengarmu, jadi kita butuh untuk tenang. Diam.”

Yuto terlihat berpikir sebelum mengangguk, melepaskan genggamannya pada bahu Hikaru. Dia sempat tidak yakin temannya itu benar-benar mengerti, tapi dia tidak ingin bertanya.

Belum ada satu menit berlalu sebelum suara Yuto kembali terdengar. “Tapi aku bosan.”

“Kalau bosan, jangan ikut memancing.”

“Tapi aku kan sudah di atas perahu, di tengah danau sekarang.” Yuto menatap punggung Hikaru. “Terus aku juga ....”

Hikaru menunggu untuk Yuto menyelesaikan kalimatnya. Namun ucapan temannya itu hanya berhenti di situ, seakan sengaja agar Hikaru penasaran, lalu menoleh dan berbicara padanya. Dia ingin tidak peduli, awalnya, tapi lama-kelamaan Yuto bergumam, entah berbicara apa, membuatnya gatal juga untuk bertanya.

“Apa?” Hikaru menoleh. “Kamu juga apa?”

Cengiran muncul di wajah temannya. Hikaru menahan diri untuk tidak sebal.

“Aku ingin ke toilet.”

Mana mungkin mereka bisa ke toilet. Mereka sudah di tengah danau, cukup jauh dari pinggiran daratan, tentu lebih jauh lagi dari toilet karena toilet terakhir yang mereka temui adalah di rumah Hikaru. Mungkin ada di pom bensin terdekat, tapi tidak menjamin juga dapat digunakan. Hikaru pernah berada di posisi yang sama, naasnya, dan dia harus menahan sampai dia dan Takaki kembali ke rumah.

Tidak bisa juga dia menyalahkan Yuto. Dia pernah merasakan hal yang sama.

“Tahan,” jawab Hikaru singkat. Tidak ada solusi lain yang dia dapat berikan.

“Eh? Tahan?” Suara Yuto terdengar kecewa. “Aku tidak bisaaa, Hikaruuu.”

Belum ada satu ikan pun yang mereka dapatkan. Belum juga lewat setengah jam sejak mereka berada di sana. Belum ada waktu tenang yang Hikaru dapatkan. Namun dia juga tidak yakin akan tahan berada di sana jika Yuto akan berisik seperti ini.

Menghela napas kesekian kali di hari ini, Hikaru akhirnya menarik pancingan miliknya. Semoga saja minggu depan Takaki dapat kembali menemaninya dan Yuto tidak lagi ingin ikut seperti ini.

Melihat Hikaru yang memberi tanda mereka akan kembali pulang, Yuto bersorak, mengambil pancingannya yang dia taruh di sampingnya.

Namun, alih-alih dapat ditarik, pancingannya justru menarik dirinya. Berat rasanya memegang pancingannya yang tak seberapa. Ikan? Apa ada ikan di pancingannya?

“H-hika,” Yuto melirik temannya, mendapati Hikaru juga menatapnya dengan senyum lebar, “aku, aku dapat ikan, ya?! Lalu aku harus bagaimana?”

Selain senang, tentu Yuto panik. Dia belum pernah memancing sebelumnya. Beberapa kali memang pernah melihat teman atau keluarganya memancing, melihat mereka menarik dan mendapat ikan di ujung pancingan, tapi belum pernah benar-benar merasakannya sendiri secara langsung.

“Tenang,” Hikaru berdiri di belakangnya, tangannya memegangi bahu Yuto, menahan dirinya agar tidak terlalu condong ke depan, “tunggu sampai ikannya lelah, kau tahan dulu, jangan langsung kau tarik.”

“Oke,” Yuto menjawab, mencoba menahan pancingannya sekuat tenaga. Dia mendengarkan arahan Hikaru, mengikuti perkataannya, sampai akhirnya dia dapat menarik pancingannya dan bertemu ikan yang dia tangkap.

Ikan itu besar, panjang, rasanya Yuto seperti menggendong anak bayi di tangannya. Hikaru melihatnya dengan bangga, memujinya yang mendapat tangkapan bagus di hari pertamanya memancing. Dalam euforia mendapat ikan, Yuto sempat lupa ingin pergi ke toilet. Begitu juga dengan Hikaru yang sibuk memberikan tempat untuk ikan itu.

Setelah ikan itu ditaruh dan mereka kembali dalam keheningan, barulah Yuto kembali ingat.

“Tahan, tahan!” Hikaru panik, cepat-cepat menyalakan mesin perahu itu.

Kebanggaan sesaat yang dia rasakan hilang, digantikan ingin kembali pulang saja dan melupakan hari ini.

[#yamada, #yuto, #chinen, dan #daiki alias empat kicik dengan umur daiki (9), yamada (7), yuto (5), chinen (3); sibling au yang udah dinamain tapi malu ditulis; bahasa indonesia.]

Hujan turun, deras.

Yuto merentangkan tangannya, membiarkan air hujan membasahi jemarinya, tertawa geli sendiri ketika merasakan air yang dingin. Berbeda dengannya yang tersenyum lebar melihat hujan, Ryosuke di sampingnya terlihat cemberut. Dalam hati menahan kesal karena prediksinya salah.

Ryosuke yang meyakinkan kedua saudaranya untuk pergi ke taman bermain. Dia pikir karena sebelumnya matahari bersinar terang dan langit cerah, mereka tidak akan membutuhkan payung atau jas hujan. Jadi, mengabaikan teriakan Hikaru untuk membawa kedua benda itu, Ryosuke mengajak Yuto dan Yuri berlomba untuk lari ke taman.

Itu dua jam lalu.

Sekarang, ketika mereka baru saja mau pulang, tiba-tiba hujan turun. Mereka akhirnya berteduh di salah satu terowongan perosotan yang ada, sementara anak-anak lainnya berlarian menuju rumah masing-masing.

“Gak mau lari juga?” Yuto menoleh ke Ryosuke, masih membiarkan tangannya basah didera hujan. “Kan rumah kita gak terlalu jauh.”

“Jangan.” Ryosuke menarik tangan Yuto yang hampir membasahi lengan kausnya. “Nanti sakit. Kalau sakit, gak ada yang bisa jagain kita. Yang lain kan lagi ujian.”

“Oh, pantes,” tangan Yuto kembali meraih air-air hujan, “kemarin kak Yuya marah pas aku ambil bukunya.”

“Kamunya aja nyebelin,” timpal Yuri, kakinya menendang-nendang angin, tidak sampai menyentuh atap perosotan. Sebenarnya dia ingin protes karena terowongan perosotan itu sempit, belum lagi Yuto tidak bisa diam bermain air hujan, ditambah Ryosuke yang sibuk menarik tangan Yuto. Yuri yang berada di tengah jadi saksi hidup perdebatan kecil kedua kakaknya.

Lelah, atau mungkin takut juga akan dijotos Ryosuke di tempat sempit, Yuto akhirnya menyerah. Tangannya yang basah dia lipat di atas pahanya, celana pendeknya menyerap bulir-bulir air yang menetes, sebagian membasahi bagian kecil celana Yuri.

Dingin juga, lama-lama.

“Tadi di rumah ada siapa aja, sih?” Yuto mulai membuka suara lagi, agaknya tidak suka dengan hening yang diisi suara hujan saja.

“Hikaru,” Ryosuke tampak berpikir, “mungkin Daiki juga? Kak Kei sama kak Kota pergi, kak Yuya tidak keluar kamar dari pagi.”

Hening kembali hadir. Kalau-kalau Kota ada di rumah, mungkin kakak mereka itu sudah panik mencari, membawakan payung sambil berceramah sepanjang jalan pulang. Atau kakaknya akan menyuruh saudara yang lain untuk datang menjemput. Namun kalau Kota saja tidak ada, sisa Daiki dan Hikaru di rumah serta Yuya yang memendam diri di kamar, rasanya tidak ada harapan.

Suara hujan mendera tanah jadi sedikit membuat mereka mengantuk. Angin semilir menambah berat kedua mata. Yuri sudah tidak tahan, kedua matanya tertutup sementara kepalanya condong ke arah Yuto.

Melirik adiknya yang tertidur, Ryosuke mau tak mau merasa ingin tidur juga. Dia tahu harusnya dia yang terjaga dan membangunkan mereka nanti ketika hujan reda, tapi bunyi hujan masih kencang, deras, mungkin akan bertahan beberapa menit lagi.

Yuto sebetulnya ingin mengingatkan mereka akan cerita-cerita seram terkait penculikan atau hantu yang datang di saat hujan. Namun berat di pundaknya membuat dia urung, belum lagi lirikan Ryosuke yang tajam, seakan mengancamnya jika berbuat macam-macam dan membangunkan Yuri.

Menghela napas sepelan mungkin, dia mencoba untuk tertidur juga. Mungkin beberapa menit tidak apa-apa. Dia juga mudah terbangun, pasti akan sadar jika ada orang yang mendekati mereka.

“Dor!”

Tidak jadi menutup mata, mereka bertiga terlonjak mendengar suara kencang itu. Mereka kira petir datang, sempat takut akan kemungkinan petir menyambar perosotan yang mereka duduki, sebelum akhirnya kesal karena mendengar gelak tawa yang mereka kenal.

“Daiki!” Ryosuke memberikan tendangan ke arah kakaknya, yang tentu segera menjauhkan dirinya.

Kakak mereka datang, sendirian, tapi tangannya menenteng jas hujan yang dapat mereka pakai. Senyum di wajahnya masih ada, terlebih ketika melihat wajah mereka satu per satu yang masih diisi dengan kantuk.

“Bisa-bisanya tidur di sini,” Daiki menyodorkan jas hujan yang dia bawa, “kak Hikaru ngomel, tahu.”

“Hika? Ngomel?” Yuto bertanya, memasang kancing jas hujannya.

“Iya, ngomel. Kalian langsung kabur, kan, ketika dia suruh bawa jas hujan dan payung?” Daiki sedikit berjongkok, tangannya meraih jas hujan yang baru setengah dipakai Yuri, membantu adiknya untuk lebih cepat memakai benda itu.

“Tuh, kan, Ryo,” Yuto keluar dari terowongan perosotan itu, tudung jas hujan sudah dia pakai agar tidak kebasahan, “gara-gara kamu, sih.”

“Kok aku doang, kamu kan juga ikut lari,” bela Ryosuke, ikut keluar dan menghampiri Yuto. Daiki cepat-cepat melerai mereka, tidak ingin kena petuah juga jika kedua adiknya kembali dengan memar baru.

“Sudah, lagian kan kalian semua pergi, semuanya kena salah.” Daiki mengecek, memastikan tidak ada yang tertinggal sebelum menyuruh adik-adiknya berjalan duluan di depannya.

Yuto mengajukan protes lagi, begitu juga dengan Ryosuke yang masih membela diri. Yuri sempat ingin beralasan dapat memakai kartu “anak bungsu”-nya, tapi dia diingatkan kembali oleh Daiki bahwa kartu itu tidak mempan pada Hikaru.

Mengoceh sepanjang jalan, mereka berempat berjalan pulang di tengah hujan.

[#yuto, #keito, & #yamada; zombie au; warning violence; angst?]

Dunia kacau.

Yuto tidak tahu alasan semua ini bermula. Dia juga tidak yakin jika ini bukan sekadar mimpi dan dia lupa caranya untuk bangun. Yang dia ingat adalah Yamada menggedor pintu apartemennya suatu siang, membawa ransel yang terlihat lebih besar dari badannya sendiri, wajahnya kaku dan ekspresinya sama sekali tidak ramah.

“Kita harus pergi,” Yamada berkata waktu itu, sibuk menyodorkan tas paling besar yang dia temukan di kamar Yuto, mengisinya dengan segala makanan yang ada di lemari dan kulkas serta beberapa pakaian yang diambil secara acak, “pakai bajumu yang paling nyaman tapi aman, yang bisa menutupi badanmu. Bawa jaket kulitmu, sepatu yang paling bagus dan bisa kau pakai lari.”

“Kenapa?” Yuto bertanya, tapi tetap melakukan yang disuruh oleh temannya. Perasaannya jadi tidak enak, terlebih ketika Yamada mematikan televisi yang tadi dia biarkan menyala selagi tidur, menutup jendela dengan tirai, lalu menatapnya dengan teror yang dia lewati ketika melihat Yamada pertama kali.

“Entah, aku ... tidak yakin,” jawabnya, menghela napas panjang sambil mendudukkan diri di depan Yuto yang memasang sepatu, “semuanya jadi gila. Aneh. Seperti ... zombie?”

Yuto berhenti mengikat tali sepatunya. Matanya berkedip beberapa kali, senyum mengembang di bibirnya, merasa temannya ini bercanda. Namun ekspresi Yamada tidak berubah, masih cemas, tidak ikut tertawa dengannya.

“Kau,” Yuto mencoba menghilangkan rasa janggal dalam hatinya, “kau bercanda, kan? Tidak mungkin zombie betulan ada, kan?”

Temannya menghela napas lagi. Tidak ada tanda-tanda Yamada akan tertawa atau mengatakan ini semua hanya lelucon. Yuto ingin meyakinkan dirinya bahwa Yamada pintar sandiwara, jadi masih ada kemungkinan temannya ini berbohong, hanya bermain-main dengannya walau tidak pernah juga Yamada berbuat seperti ini sebelumnya.

“Kalau nanti kita keluar, kau akan lihat sendiri.”

Tidak menunggu respons Yuto lagi, Yamada beranjak dari tempatnya, mengambil ransel yang sudah dia isi tadi dan menyerahkannya pada Yuto. Tidak tahu kata-kata yang harus dia ungkapkan, Yuto menerima ransel itu dalam diam, begitu juga dengan topi dan masker yang disodorkan Yamada sebelum mereka berdua berjalan menuju pintu.

Yamada memberinya aba-aba untuk menunggu. Yuto hanya mengangguk, dalam hati jantungnya berdebar tidak karuan. Kalau Yamada tidak bercanda, mungkin dunia ini betulan sedang diisi zombie. Dari pengalamannya menonton film dengan tema serupa, tidak ada yang baik dalam dunia seperti itu.

Kenop pintu diputar sepelan mungkin, dibuka sedikit untuk Yamada mengintip, melihat kondisi di luar. Setelah melihat sekeliling, Yamada kembali menatap Yuto, memberinya tanda untuk bersiap keluar.

Semua masih terlihat biasa saja. Tidak ada yang berubah dari lorong apartemen atau sekelilingnya kecuali beberapa pintu yang dibiarkan terbuka, memperlihatkan isi apartemen yang sedikit kacau dan berantakan. Mungkin pemiliknya tahu kondisi seperti Yamada, lalu cepat-cepat berkemas dan pergi. Mungkin.

Mereka menggunakan tangga darurat walau lift masih berfungsi normal. Yamada tidak mau mengambil risiko. Tangga darurat juga tidak sepenuhnya bagus digunakan, tapi setidaknya mereka dapat berlari jika bertemu dengan situasi yang tidak menyenangkan.

Ketika sudah berada di luar gedung apartemen, Yuto baru merasa ada masalah yang serius. Orang-orang berlarian, panik, teriakan mengisi pendengarannya, tidak ada kata-kata dari teriakan itu yang dapat dia dengar jelas. Padahal rasanya, malam tadi Yuto masih berjalan di tempat yang sama dan semuanya baik-baik saja.

Sejak hari itu, dia hanya bersama Yamada. Ketika Yuto menanyakan keberadaan yang lain, Yamada tidak punya jawaban yang pasti. Dia hanya tahu bahwa hari itu Chinen, Keito, dan Daiki sedang pergi bersama. Yabu dan Hikaru punya jadwal kerja di tempat yang sama. Lalu seingatnya Takaki dan Inoo punya janji makan di waktu yang sama ketika Yamada datang ke tempat Yuto.

Tidak ada jaminan mereka semua tetap bersama atau bahkan masih hidup. Tak lama setelah Yamada dan Yuto pergi pada siang itu, jaringan komunikasi terputus. Atau diputus, mereka juga tidak mengerti. Tidak ada cara untuk menghubungi yang lain. Mereka juga tidak yakin yang lain akan tetap berada di tempat yang sama jika mereka mendatangi kediaman masing-masing.

Tidak ada apapun.

Sampai sekarang.

Lama sejak dia berpindah-pindah tempat dengan Yamada, Yuto tidak lagi asing dalam menghadapi zombie. Awalnya memang menakutkan, sedikit gila, tapi mereka perlahan mulai belajar menanganinya. Membunuhnya. Melupakan sejenak fakta bahwa zombie yang mereka temui juga awalnya hanya manusia, seperti mereka, hanya sial dan terkena infeksi yang menyebar dalam tubuhnya. Mengingatkan diri masing-masing bahwa mereka harus bertahan agar tidak berubah menjadi mereka.

Dia mulai paham cara menghadapinya, memberikan serangan dalam satu gerak agar tidak membiarkan zombie itu bertahan lama dan kesakitan, walau mereka juga tidak yakin zombie dapat merasakan sakit. Dia paham ada kalanya harus lari sebab kondisi tidak memungkinkannya untuk menyerang tanpa terkena cakaran atau gigitan. Dia paham cara untuk menarik perhatian zombie itu agar membantu Yamada mendapat ruang gerak ketika terpojok.

Dia paham.

Yang dia tidak pahami adalah sekarang, di hadapannya, berdiri sosok yang dia kenali walau tidak lagi serupa seperti yang ada dalam ingatannya.

“K-Keito,” Yuto mengambil langkah mundur, mencoba menahan tangannya yang bergetar, memarahi dirinya sendiri untuk tidak memeluk sosok itu, “ini aku.”

Mungkin hanya imajinasinya, hanya khayalannya karena merindukan lelaki itu terlalu lama, tapi dia yakin sosok yang ada di depannya ini adalah Keito. Dia yakin sosok itu sempat mendengarnya ketika namanya disebut. Dia yakin pisau yang ada di dalam genggamannya tidak harus dia pakai.

“Yuto, itu bukan dia.” Yamada, berada tak jauh dari samping Yuto, mencoba menyadarkannya. Sayangnya, saat ini dia tidak dapat mendengar rasa yakin dari perkataan temannya. Meliriknya sedikit, pandangan Yamada juga tertuju pada sosok di hadapan mereka, ekspresinya tidak dapat Yuto jelas lihat di balik masker dan topi yang dikenakan.

“Kau yakin? Kalau kau yakin, kau harus menatapku dan mengulang perkataanmu.”

Tidak ada suara lagi dari Yamada setelah Yuto mengucapkan kalimat itu. Tidak ada pergerakan lain yang berarti selain langkah mundur dari mereka berdua dan sosok itu yang menggeret kakinya untuk mendekatkan diri. Tidak ada keinginan untuk beranjak, tapi mereka ingin cepat keluar dari situasi ini.

Dari ujung matanya, Yuto melihat Yamada perlahan mengangkat kedua tangannya. Revolver dalam tangannya ditujukan pada sosok di hadapan mereka. Walau bergetar, Yamada sudah ada dalam posisi siap melepaskan peluru.

“Yamada,” suara Yuto terdengar berat oleh rasa putus asa, pecah akan segala harapan, “Yamada, kalau sampai kamu menarik pe—”

“Lalu apa?” Yamada memotongnya. “Apa solusi terbaikmu? Kita biarkan dia di sini, kemungkinan akan dibunuh juga dengan orang lain, dan menderita sendirian?”

Mereka sudah pernah bertemu dengan orang lain yang justru senang dalam kondisi seperti ini. Para maniak yang suka membunuh tidak sedikit muncul, menikmati proses memberantas zombie yang mereka temui. Tidak ada jaminan orang-orang itu tidak akan menemui sosok di hadapan mereka jika mereka lari sekarang.

Namun bukan berarti dia juga ingin membunuhnya. Tidak pernah ingin.

Melihat sosok di hadapannya lagi, Yuto menghela napasnya yang bergetar. Dia yakin sosok ini adalah Keito. Walau tidak lagi serupa persis, dia ingat fitur-fiturnya; rambutnya yang hitam, lekuk hidungnya, jemarinya, segalanya. Dia yakin, tapi dia ingin lupa. Dia tidak ingin tahu bahwa yang dia tatap sekarang adalah Keito. Tidak ingin memikirkan kondisi Chinen dan Daiki, yang bersama Keito pada awal kekacauan ini, mungkin tak jauh berbeda dari Keito sekarang. Tidak ingin membayangkan kemungkinan harus menghadapi situasi yang sama dengan orang yang dia kenal lainnya di kemudian hari.

“Aku saja,” Yuto mendekat pada Yamada, mengambil revolver dari kedua tangannya, menggantikannya dengan pisau yang sedari tadi dia genggam, “biar aku saja.”

“Tapi, Yuto—” Yamada menatapnya, tak peduli dia mengalihkan pandangan dari sosok di hadapan mereka sejenak, “kau yakin?”

Tidak ada yang dia rasa yakin dalam situasi ini.

“Yakin.” Lucunya, suaranya terdengar jelas kali ini walau badannya bergetar, jantungnya terasa ingin meledak dan hancur.

Memposisikan revolver itu ke sosok di hadapannya, kepada Keito, Yuto menarik napas dalam.

[#takaki & #yuto + #inoo dikit, sibling au yang belum ada namanya, bahasa indonesia baku gak baku.]

“Yuuuyaaa.”

Yuya menghela napas. Tatapannya tetap tertuju pada lembaran soal di hadapannya, berusaha mengabaikan adiknya yang berdiri di sampingnya, memanggil namanya terus-menerus sejak sepuluh menit lalu.

Sesekali, Yuto akan diam, ikut menatap soal yang sedang dikerjakan Yuya. Walau begitu, tetap saja dia tidak bisa fokus. Napas Yuto di sisi wajahnya terlalu keras, mungkin memang sengaja, dan Yuya tidak bisa berpikir dengan distraksi seperti itu.

Kalau tidak mengerti tulisan di lembaran soal Yuya, Yuto akan mencolek-colek lengannya. Awalnya pelan, Yuya sedikit geli juga karena colekannya samar, tapi lama-kelamaan lebih seperti ditusuk jari-jari kecil.

Yuya tidak bisa protes. Tidak bisa menyuruhnya berhenti. Jika Yuya membuka mulutnya, secara otomatis dia akan menanggapi Yuto, dan adiknya akan lebih berisik ketika ditanggapi.

Jadi, Yuya diam. Dalam hati agak berharap Kei yang sedang duduk di sofa ruang tamu dapat membantunya. Biasanya Kei suka menimpali Yuto, setia mendengarkan celotehannya walau mungkin tidak sepenuhnya dia cermati juga. Namun sejak awal Yuto datang dan mengganggunya, Kei sama sekali tidak menoleh. Pandangannya tetap tertuju pada layar televisi yang menayangkan suatu film.

“Kak Yuyaa,” Yuto kembali memanggilnya, “memangnya kakak gak capek baca soal terus?”

Tentu saja capek. Dia tidak benar-benar ingin mengerjakan soal ini juga, kalau dia mau. Namun tenggat tugasnya besok, mau tak mau harus dia kerjakan sekarang untuk mendapat nilai. Dia tidak ingin Kota mengomelinya lagi sepanjang satu jam penuh hanya karena dia lupa menyerahkan tugasnya beberapa waktu lalu.

Dan tentu dia lebih capek lagi sekarang, dengan Yuto mengganggunya.

Mencoba menahan helaan napas, Yuya membaca ulang soal yang dia kerjakan. Yuto, menyadari dia mengabaikannya lagi, mulai memberikan wajah sedihnya sambil menaruh wajahnya di meja agar Yuya dapat melihatnya.

Perlahan, dia tidak tega juga. Hari ini, Ryosuke dan Yuri sedang diajak pergi dengan Kota dan Daiki. Yuto yang dibangunkan sebelumnya menolak ikut karena masih setengah sadar, lalu menyesal setelah dia benar-benar bangun dan tahu kalau dia ditinggal pergi. Hikaru sedang ada kerja kelompok, pergi bersama yang lainnya. Tersisa Yuya yang mengerjakan tugas dan Kei yang menonton televisi di rumah.

“Yuuyaa,” Yuto mulai meremat lengan bajunya, menariknya pelan, “soalnya susah, ya? Habisnya dari aku datang masih belum dikerjakan juga.”

Terdengar tawa dari arah ruang tamu, tapi cepat-cepat dialihkan menjadi suara batuk. Yuya memutar bola matanya. Kei pasti sengaja membiarkan Yuto mengganggunya, mungkin bahkan dia yang menyuruh Yuto. Menyebalkan.

“Sebentar saja, deh,” jari-jari itu mencolek lengannya, “sebentar saja, nanti kak Yuya bisa ngerjain soalnya lagi.”

Yuya tidak bisa mempercayai kalimat itu sepenuhnya. Bukan kali pertama Yuto mengganggunya, jadi bukan hal baru mendengar kalimat itu diucapkan. Walau begitu, dia sudah lelah juga menatap soal ini, belum menemukan jawabannya juga. Tidak ada salahnya dia meluangkan waktu sebentar untuk menanggapi adiknya.

Menaruh pulpennya di atas meja, Yuya akhirnya menoleh ke arah Yuto. Senyum lebar muncul di wajah adiknya, senang akhirnya dia berhasil juga mendapat perhatian Yuya.

“Apa?” tanya Yuya.

“Ini,” Yuto menaruh sesuatu di atas meja Yuya, di atas lembaran soalnya, “aku menangkapnya tadi.”

Tidak butuh waktu lama untuk Yuya menyadari benda yang ditaruh adiknya. Tidak butuh melihat jelas juga. Yang Yuya tahu, benda itu punya tanduk serta kaki yang cukup panjang. Cukup dengan mengetahui dua hal itu, dia langsung berdiri dari kursinya dan berlari keluar kamar disertai jeritan.

“Ih, kak Yuya,” Yuto mengambil benda itu, kumbang badak, dan menaruhnya di atas telapak tangan sambil berjalan menyusul Yuya, “jangan teriak gitu, nanti dia takut.”

Tentu Yuya segera berlari menjauh, tidak ingin Yuto mendekatinya selagi kumbang itu masih ada. Kei yang kini memperhatikannya tersenyum lebar, persis sama seperti senyuman Yuto.

“Kamu, ya,” Yuya menatap Kei sebentar, atensinya tetap dia beri pada Yuto agar tetap menjaga jarak mereka, “kamu yang kasih ide, kan?”

“Kupikir kamu butuh refreshing dari mengerjakan tugas,” Kei menjawab tanpa merasa bersalah, “lihat alam sesekali, Yuya.”

Yuya tidak sempat membalas karena Yuto mulai berlari ke arahnya. Dia hanya berharap Kota atau Hikaru cepat datang, karena hanya mereka berdua yang dapat dia harapkan untuk menolongnya.

[#yabu, #yamada, #yuto, & #chinen. yang lain ada sih tapi sedikit. sibling au dengan jarak masing-masing dua tahun jadi yabu (17), yamada (7), yuto (5), chinen (3). ficlet.]

Yabu tidak tahu apakah memiliki tujuh adik dapat dikatakan berkah atau malapetaka.

Tentu dia sayang mereka semua. Semenyebalkan apapun tingkah mereka, Yabu tetap akan menjadi kakak yang baik dan sabar, menuntun mereka semua untuk tetap bertahan tanpa ada baku hantam terlalu lama. Terlebih pada tiga yang terkecil—Daiki menolak disebut sebagai bocah lagi karena kini dia sudah berumur sembilan—walau sebenarnya ketiga itu yang lebih berbahaya dari adik Yabu yang lain.

Yamada tidak suka diberi penolakan. Kalau mendengar kata negasi, dia langsung meninggikan suara, meminta alasan yang jelas, dan akan memberikan argumen jika dia sedang cukup keras kepala. Tidak mau mengalah pada siapa saja kecuali Chinen.

Chinen sebagai yang terlahir terakhir rasanya datang sebagai mantra tolak untuk Yamada. Segala sifat Yamada pada umumnya tidak berlaku pada Chinen. Berbicara dengan nada tinggi? Tidak. Mengamuk jika diberi penolakan? Tidak. Mau mengalah? Iya. Yabu cukup terpukau dengan besarnya pengaruh eksistensi Chinen terhadap Yamada.

Sisanya Yuto sebagai anak yang berada di tengah keduanya. Suka ribut, berisik, tidak bisa diam kecuali diberi ponsel dengan memori kosong untuk memotret atau kamera sungguhan. Biasanya ada saja tingkahnya untuk mengajak ribut Yamada. Sama-sama punya sifat tak mau mengalah, keduanya selalu harus dilerai agar insiden baku hantam keluarga ini tidak memiliki sekuel.

Insiden pertama terjadi ketika ketiga adiknya itu belum ada di rumah ini sehingga terkadang adik-adiknya itu tidak percaya. Ceritanya juga terdengar tidak masuk akal; Inoo menendang Yabu, dibalas Yabu melayangkan tinju pada Inoo, lalu Takaki ikut-ikutan menyerang mereka berdua, disusul Hikaru dan Daiki yang saling bekerja sama melemparkan tangan. Aneh, karena Inoo tidak terlihat sebagai tipe yang melayangkan kaki duluan dalam pertengkaran.

Begitulah. Itu cerita untuk lain kali.

Kali ini, Yabu punya masalah lain untuk dia pikirkan.

“Kak Yabu mau keluar?” tanya Chinen, jemarinya meremat celana Yabu dan menariknya, dengan cepat mengambil perhatian si kakak.

“Ah,” Yabu menoleh ke sekelilingnya, menemukan tatapan minta maaf dari Takaki yang seharusnya menjaga Chinen, “tidak, kok. Aku tidak mau keluar.”

Yabu harus keluar. Setengah jam lalu, bosnya memanggil agar dia datang pada jadwal siang, menggantikan salah seorang pekerja lain yang izin tidak dapat hadir. Ada bonus yang dijanjikan sehingga dia langsung saja mengiyakan.

Dia tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan adiknya.

“Tapi kok pakai baju rapi?”

Dalam hati, Yabu menghela napas panjang. Kemunculan suara Yuto biasanya akan diikuti dengan suara Yamada. Sesuai dugaannya, adiknya yang satu itu tak lama berdiri di samping Yuto, menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Iya, itu baju perginya.” Yamada kembali beralih menatap kedua mata Yabu. “Mau pergi ke mana?”

Tidak mungin Yabu bisa menjawab. Ketiga adiknya itu pasti akan ikut. Berdasarkan pengalamannya membawa adik ke tempat kerja, tidak ada hal baik yang akan datang jika mereka ada di sana. Walau bosnya mengerti keadaannya, dia tetap saja merasa tidak enak.

“Gak kok, dia gak pergi,” muncul suara Inoo, berdiri di belakang Yamada dan Yuto, “cuma sedang coba-coba baju saja.”

Yuto tampak puas dengan jawaban Inoo. Begitu juga dengan Chinen yang memang biasanya mengiyakan saja perkataan Inoo, tak peduli seberapa janggal kata-kata yang diucapkan. Namun kali ini kata-katanya cukup bagus, tidak aneh, dan bisa diterima. Yabu merasa bangga juga adiknya yang satu itu bisa benar walau hanya pada waktu tertentu.

“Yang benar?” Yamada bertanya, jelas tidak puas. Yabu memang suka sekali diuji kesabarannya oleh Yamada.

“Iya, benar.” Inoo menjawab dengan nada yang sama, tidak mengubah ekspresinya agar Yamada lebih percaya. Sayangnya, Yamada sedang keras kepala, tidak mau menerima alasan yang diberikan kakaknya semudah itu.

“Gak mungkin.” Ruangan itu kini hanya diisi oleh Yamada, Yabu, dan Inoo. Yuto dan Chinen, serta Takaki yang sempat ikut berdiri di sana, kembali masuk ke kamar Hikaru, mengusik pemilik kamar yang mengerjakan tugas.

“Kenapa tidak mungkin?” Yabu bertanya setelah hening beberapa saat. Melirik arlojinya, dia harus berlari jika bisa keluar dari sini.

Yamada tampak berpikir, menatap lekat segala yang Yabu kenakan. Kalau saja dia sedang tidak dikejar waktu, Yabu mungkin akan tertawa karena aneh rasanya melihat wajah anak umur tujuh dengan ekspresi terlalu serius.

“Kencan,” ujar Yamada, akhirnya, “kak Yabu mau kencan, ya?!”

Pertanyaan itu kembali membawa Yuto dan Chinen menghampiri mereka, tentu diikuti Hikaru serta Takaki yang tak sengaja mendengar. Bahkan Daiki yang berada di ruangan lain ikut terkejut dan masuk ke dalam kerumunan adiknya.

“Kencan? Kak Yabu kencan?”

“Kok bisa ada yang mau sama kak Yabu?”

“Kok kak Yabu gak cerita kalau sudah ketemu perempuan?!”

Menahan diri untuk tidak memutar kedua bola matanya dan berteriak, Yabu menarik napas dalam-dalam. Tangannya dengan cepat meraih kenop pintu, membuka dan menutupnya dalam hitungan detik, lalu berlari kencang dari sana. Dia mendengar sahutan adik-adiknya dari jauh, tapi sepertinya tidak ada yang menyusulnya.

Tidak peduli. Urusan adiknya nanti saja dia atasi ketika pulang.

[#ariyama + #yuto. yuto sama yama kakak-adik, jadinya yama ditulis 'ryosuke' di sini huehehe. yuto (rada) bucin.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Awalnya, Yuto pikir dia risih melihat keduanya.

Adiknya, Ryosuke, baru dapat pacar. Tidak baru-baru amat, sih, karena pacarnya ini sudah menjadi temannya terlebih dahulu. Namanya Daiki, kebetulan satu kelas dengan adiknya sejak beberapa tahun lalu. Hampir setiap hari Yuto melihatnya. Kecuali pada hari-hari keduanya bertengkar dan ego adiknya terlalu tinggi untuk minta maaf terlebih dahulu.

Keduanya tidak bisa dibilang akrab sekali. Yuto lebih sering melihat mereka melempar ejekan. Bahkan terkadang sampai salah satu sakit hati lalu ngambek sampai beberapa waktu. Lucu, sih, jadi hiburan sendiri untuknya. Tapi kalau sudah terlalu lama jadi menyebalkan juga, karena Ryosuke akan cemberut sepanjang minggu dan Yuto lelah menghadapinya.

Suatu hari, Ryosuke pulang dengan suara yang terlampau nyaring, senyum terlalu lebar rasanya Yuto pikir bibirnya mengisi seluruh wajahnya. Pada waktu itu, adiknya memberitahu bahwa akhirnya mereka berdua kini berlabel lebih dari teman. Pacar.

Sejak itu, sebenarnya tidak ada banyak perubahan. Yuto tetap melihat Daiki mondar-mandir di rumah. Tetap terdengar suara mereka bertengkar akan hal kecil, lalu kembali akur sendiri setelah beberapa saat. Bedanya, mungkin, Ryosuke jadi lebih suka merajuk. Daiki juga begitu, terkadang.

Bedanya, Yuto jadi melihat Daiki dengan cara yang berbeda.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, Yuto awalnya berpikir dia risih melihat adiknya pacaran. Merasa agak tersaingi juga, karena dia sebagai kakak justru masih melajang. Agak sebal juga kalau Ryosuke mengejeknya mentang-mentang sudah ada gandengan.

Namun lama-kelamaan, Yuto akhirnya menyadari sesuatu.

Mungkin dia memang risih karena adiknya pacaran. Risih, karena dia sedikit tertarik dengan Daiki.

Dia sempat berpikir mengenai ini. Daiki orang yang bisa berbicara dengan siapa saja. Santun juga, hanya pada Ryosuke saja mulutnya jadi agak kasar. Orangnya juga humoris, suka melempar candaan ketika berbicara.

Dan yang paling membuat Yuto jadi pangling adalah senyumnya.

Klise sekali, sih, tapi Yuto yakin senyum Daiki itu manis dan cerah. Kalau mati lampu, senyumnya bisa jadi penerang untuk Yuto. Kalau sedang minum teh, Yuto tidak perlu gula lagi asalkan melihat Daiki tersenyum.

Tentu perasaan Yuto ini salah juga, sebab Daiki sudah jelas milik adiknya. Namun Yuto tidak akan menyerah semudah itu. Toh, mereka masih pacaran. Belum terikat cincin ataupun akad pernikahan, bukan?

Yuto mulai beraksi sejak minggu lalu. Keduanya lebih sering menghabiskan waktu di kamar adiknya, sehingga kesempatannya menarik perhatian Daiki lebih banyak ketika mereka baru pulang atau ketika makan bersama.

Dia berusaha untuk membuat aksinya ini se-natural mungkin. Tingkah-tingkah kecil yang dia harap bisa membuat Daiki tersenyum atau tertawa sedikit. Setidaknya cukup untuk membuat dirinya hadir dalam memori Daiki sedikit demi sedikit.

Misalnya, dia sempat pura-pura berlatih menari di ruang tamu. Tepat pada waktu di mana mereka berdua seharusnya pulang. Pada lagu keempat, dia mendengar pintu rumah dibuka, diikuti dengan suara adiknya dan Daiki berbicara.

Yuto tidak terlalu ingat gerakan apa yang sedang dia lakukan. Yang dia ingat hanya terjatuh ke balik sofa karena pandangannya teralihkan pada senyum Daiki saat menyapanya.

Memalukan. Tapi Daiki jadi tertawa, diikuti dengan ejekan Ryosuke yang menyuruhnya untuk menggunakan mata dengan benar.

Atau pada saat lain, ketika dia bertemu dengan Daiki di dapur. Kebetulan, dia sedang akan menyeduh teh. Daiki ingin memasak mi instan. Menemukan kesempatan berbincang sebentar, Yuto iseng bertanya-tanya sedikit.

Sayangnya, dia tidak terlalu melihat ketika hendak meraih toples gula. Tangannya justru mengambil toples garam dan memasukkan beberapa sendok ke dalam tehnya. Daiki menyadari hal itu, sempat mencoba memberitahunya juga, namun dia sibuk membahas mengenai kelebihan dirinya pada lelaki itu.

Dia mencoba menahan ekspresinya agar tetap netral saat meneguk teh asin tersebut. Namun Daiki tertawa, menyuruhnya agar menyeduh teh lagi saja dan memasukkan gula dengan benar. Malu, tapi mau bagaimana lagi.

Kalau dipikir, usaha Yuto (yang tidak terlihat seperti usaha natural) lebih banyak berakhir memalukan. Sebenarnya tidak apa-apa, sih, karena reputasi Yuto juga lebih banyak terkait hal itu. Namun dia di sini ingin memberikan impresi baik pada Daiki. Ingin agar Daiki sedikit teralihkan atensinya pada Yuto.

Menghela napas, Yuto hampir mendudukkan diri di sofa ketika bel rumahnya berbunyi. Dia sedikit terkejut melihat Daiki, berdiri di depan pintu, dengan senyuman manis khasnya, menatap dia.

“Daiki,” panggil Yuto, “kau tidak bersama Ryo?”

“Oh, itu,” Daiki tertawa kecil, “kami agak bertengkar sedikit dan dia menyuruhku menunggunya di sini.”

Tanpa lama, Yuto mempersilahkan Daiki masuk. Keduanya duduk di ruang tamu, ditemani suara dari televisi yang untungnya Yuto sempat nyalakan sebelumnya.

Seharusnya, Yuto bukan orang yang malu-malu dan diam saja. Namun setelah mengingat usaha-usahanya yang lebih banyak gagal, Yuto takut saja dia akan memalukan diri lagi hari ini. Agak lelah juga kalau bertingkah memalukan di depan orang yang menjadi incaran untuk dijadikan pacar.

“Kak Yuto,” tiba-tiba Daiki memanggilnya, membuat mereka saling bertatapan, “aku tahu, kok, apa yang selama ini kak Yuto berusaha lakukan.”

Aduh. Jadi selama ini dia ketahuan kalau mau merebut Daiki dari Ryosuke? Aksinya memang sudah jelas juga, sih, tidak bisa membuat alibi yang lain.

“Kak Yuto itu lucu,” Daiki melanjutkan, “suka gak bisa ditebak, sih. Tapi karena itu jadi rasanya seru. Aku suka.”

Hah? Suka?

Yuto hampir membuka mulutnya, ingin menanyakan lebih lanjut mengenai hal itu, namun Daiki lebih dulu melanjutkan ucapannya lagi.

“Tapi aku sudah sama Ryo, kak.”

Bersamaan dengan itu, terdengar suara pintu rumah dibuka. Ryosuke mengintip ke ruangan di mana mereka berada, wajah terlihat cemberut tatapannya beralih pada Daiki.

Daiki, tentu menjadi pacar yang baik, bangkit dari duduknya untuk mengejar Ryosuke yang langsung lari ke arah kamarnya.

Meninggalkan Yuto dengan pikirannya sendirian di ruang tamu.

Tadi ... tadi Daiki sempat bilang suka, bukan? Artinya, Yuto memiliki kesempatan? Setidaknya, di dalam hati Daiki, sudah ada sedikit rasa yang bisa berkembang lebih besar, bukan?

Tersenyum lebar, Yuto memikirkan rencana lain (yang lebih baik, tentunya) untuk mendapatkan hati Daiki.

[#daiki, #yamada, & #yuto. rpg au.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Yuto menghela napas panjang.

Dia tidak pernah keberatan jika harus berpasangan dengan Daiki dan Yamada. Justru sedikit merasa beruntung sebab mereka bisa bertahan lebih lama dengan adanya Daiki sebagai healer.

Yang menjadi masalah utama tentu hubungan keduanya. Ada kalanya mereka akur, saling bahu-membahu mengalahkan musuh demi mencoret satu misi dari daftar tugas harian. Kalau sedang akur, kerja sama mereka sebenarnya bagus. Hampir menyaingi kombinasi Yabu-Hikaru kalau saja tidak diakhiri dengan Yamada memukul Daiki dengan ujung tumpul pedangnya.

Kali ini, Yuto sedang sedikit sial. Keduanya tidak berhenti mengejek satu sama lain. Terlebih Yamada, yang terlihat selalu sempat meneriakkan sesuatu walau sibuk lari ke sana kemari untuk menghindari serangan monster hutan itu.

Awalnya, Yuto sempat turut andil membantu Yamada. Memberikan beberapa serangan andalannya, berhasil mengalahkan satu monster dari tiga yang ada di sana.

Namun lama-kelamaan, Yamada semakin berapi-api sendiri. Begitu juga dengan Daiki. Seharusnya dia berperan sebagai pendukung namun justru berusaha memberikan damage juga untuk monster itu—tidak seberapa berpengaruh, menambah semangat Yamada untuk mengoloknya.

Menjaga jarak sedikit, Yuto memilih duduk di batu besar terdekat. Memandang kedua orang itu memberikan serangan pada monster tersebut dengan gerakan, mengucap ejekan pada satu sama lain.

Yuto berharap tim yang lain segera datang agar dia tidak sendirian di sini.