hiirei

yamada

[#daiki, #yamada, & #yuto. rpg au.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Yuto menghela napas panjang.

Dia tidak pernah keberatan jika harus berpasangan dengan Daiki dan Yamada. Justru sedikit merasa beruntung sebab mereka bisa bertahan lebih lama dengan adanya Daiki sebagai healer.

Yang menjadi masalah utama tentu hubungan keduanya. Ada kalanya mereka akur, saling bahu-membahu mengalahkan musuh demi mencoret satu misi dari daftar tugas harian. Kalau sedang akur, kerja sama mereka sebenarnya bagus. Hampir menyaingi kombinasi Yabu-Hikaru kalau saja tidak diakhiri dengan Yamada memukul Daiki dengan ujung tumpul pedangnya.

Kali ini, Yuto sedang sedikit sial. Keduanya tidak berhenti mengejek satu sama lain. Terlebih Yamada, yang terlihat selalu sempat meneriakkan sesuatu walau sibuk lari ke sana kemari untuk menghindari serangan monster hutan itu.

Awalnya, Yuto sempat turut andil membantu Yamada. Memberikan beberapa serangan andalannya, berhasil mengalahkan satu monster dari tiga yang ada di sana.

Namun lama-kelamaan, Yamada semakin berapi-api sendiri. Begitu juga dengan Daiki. Seharusnya dia berperan sebagai pendukung namun justru berusaha memberikan damage juga untuk monster itu—tidak seberapa berpengaruh, menambah semangat Yamada untuk mengoloknya.

Menjaga jarak sedikit, Yuto memilih duduk di batu besar terdekat. Memandang kedua orang itu memberikan serangan pada monster tersebut dengan gerakan, mengucap ejekan pada satu sama lain.

Yuto berharap tim yang lain segera datang agar dia tidak sendirian di sini.

[#daiki, #chinen, & #yamada. setting sekolahan. daiki anak teladan :D] [ficlet, bahasa indonesia.]

Sebagai siswa teladan, tentu Daiki selalu mematuhi peraturan.

Seragamnya rapi. Dasi selalu dipakai. Celana panjangnya tidak ketat, begitu juga dengan kemejanya. Sepatu hitam bertali—dengan sedih harus menyimpan sepatu warna-warninya sebab sekolahnya negeri.

Isi tasnya juga tidak ada yang aneh-aneh. Buku pelajaran dibawa lengkap. Pulpen tidak terlalu lengkap, sih, soalnya mudah hilang kalau di sekolah. Jadi dia juga tidak mau bawa banyak, takut diambil.

Sebagai seorang teman, dia juga tidak sombong. Berteman tidak pilih-pilih. Suka menolong kalau ada yang kesusahan.

Misalnya seperti sekarang, ketika Yamada tidak membawa buku.

Sebenarnya, Chinen yang duduk sebangku dengan Yamada. Sewajarnya, dia yang berbagi buku. Namun Pak Hikaru agak galak. Disiplin orangnya, tidak suka kalau ada siswa yang telat mengumpulkan tugas atau membawa buku. Chinen, sebagai anak teladan lainnya, tidak mau kena masalah.

Menghela napas, dia akhirnya bertukar tempat duduk. Inoo yang duduk dengannya kini duduk dengan Chinen. Dia dengan Yamada.

Sayangnya, hari itu Pak Hikaru sedang sensi. (Memang setiap hari, sih, kalau menurut Daiki. Cuma hari ini agak lebih ekstra saja.) Ketika menyadari Daiki dan Yamada berbagi buku, omelan pun langsung keluar dari mulut pengajar itu.

“Bukannya sudah saya bilang harus bawa buku sendiri?” Semua pandangan tertuju pada keduanya. “Kalau tidak bawa buku, tidak usah hadir di kelas saya.”

Hening mengisi kelas itu. Daiki sedikit merasa kasihan pada temannya itu. Namun, Yamada justru menatapnya tajam. Tidak ada tanda-tanda dia akan berdiri dan keluar dari kelas sesuai perkataan guru mereka.

Menautkan alisnya, Daiki bertanya-tanya. Mengapa semuanya jadi menatap dia?

Terlalu lama diam, akhirnya Pak Hikaru berbicara lagi, “Ayo, cepat. Keluar kelas. Kamu memotong waktu belajar.”

Sama dengan teman-temannya, Pak Hikaru juga menatap dia. Satu buku dipegang oleh satu tangan. Satunya lagi sudah siap menulis di papan dengan spidol.

“T-tapi bukan saya, Pak.”

“Berarti Yamada?”

Daiki menatap temannya itu. Dalam hati ingin memarahinya, sebab dia harusnya tanggung jawab akan perilakunya sendiri.

Yang tidak diperkirakan Daiki adalah ujaran Chinen, “Bukan, Pak. Daiki, kok, yang tidak bawa buku.”

Rasanya Daiki ingin berteriak kencang. Kok jadi dia?

Namun tatapan teman sekelasnya sudah semakin menajam. Tidak tahan berlama-lama dalam situasi yang tidak enak ini. Begitu juga Pak Hikaru, wajahnya semakin lama semakin geram.

Menyerah, Daiki berdiri dari bangkunya—yang sebenarnya tempat duduk Chinen juga. Kakinya bergegas berjalan keluar, menghela napas ketika mendudukkan diri di lantai luar kelas.

Jadi salah dia, ya.

[#keito, #yamada, & #daiki. among us au.] [ficlet, english.]

Keito just finished his task to do the wires when he was faced with Daiki, who got out from the vent next to him. He was a little suspicious with the other (Chinen reminded him at the start of the game to NOT trust other people, even if they are friends, because who knows who will stabbed you on the back), but he still flashed him a smile.

Until he saw the other pulled out a knife.

He was about to run away until he saw Yamada coming to the room.

“Yama-chan, get out! He—”

But his can't find his voice after seeing Yamada, still looking at him, pulled out a gun.

Keito thought, this is it. This is how he's gonna die. They probably will turn off the lights, kill him in an instant, and then go to the other room by the vent.

Oh well. He will still be able to do his tasks anyway. He just hoped someone will found him.

“I will kill him,” said Yamada, eyes now on Daiki and his knife.

“What?” Daiki points his knife to himself, “I got here first! So I will be the one who killed him.”

“You got here first but you haven't killed him yet. So slow.”

“Speak for yourself. You got the gun, you could just kill him from some distance.”

Both of the imposters argued. Keito thought it was his chance to slip away and run, press the emergency button, and just report to everyone about them.

But when he made his move (it was just one step), he got yelled by Yamada and Daiki.

“Don't move until Dai-chan and I settle this!”

[#yamada & #keito. sibling au. ceritanya lebih tua ryosuke 3 tahun. pakai nama mereka soalnya kan ceritanya sodara ehehehe (tapi agak aneh soalnya saya lebih sering manggil yamada dengan yamada, bukan ryosuke:()] [drabble (kayaknya). bahasa indonesia.]

Ryosuke tidak membenci adiknya. Benci itu kata yang terlalu jahat baginya, jadi tidak, tidak benci. Namun ada kalanya dia sedikit berharap untuk menjadi anak tunggal saja.

Seperti saat ini.

Dia hanya ingin bermain dengan teman-temannya. Melakukan hal-hal dewasa seperti main kelereng atau monopoli—adiknya yang masih berumur empat tentu belum mengerti. Berbeda dengan dia yang sudah berumur tujuh.

“Keito,” adiknya menoleh, memandangnya tanpa mengetahui ide yang muncul pada pikiran Ryosuke, “kau mau coba memanjat pohon?”

Mendengarnya, Keito mengangguk cepat. Dia juga ingin bisa pandai memanjat pohon seperti kakaknya. Pandangannya kini beralih pada pohon besar yang ditunjuk Ryosuke.

Dalam hati, Ryosuke terkekeh. Mungkin tidak apa-apa kalau sesekali seperti ini.

• • •

Matahari sudah berada di Barat. Ryosuke dan teman-temannya pergi berpencar, kembali menuju rumah masing-masing.

Dalam genggamannya, biji kelereng yang dimiliki bertambah. Senyum muncul di wajahnya, langkah kaki diselingi oleh lompatan kecil sesekali. Dia tidak sabar ingin makan malam. Lalu dia akan pamer mengenai kelereng barunya pada—

Astaga.

Langkahnya terhenti. Pintu rumah sudah di depan mata. Namun, secara otomatis, dia kembali berlari menjauh dari rumah. Kembali menuju tempat terakhir dia meninggalkan adiknya.

“Keito!” teriaknya, menatap dengan horor pohon yang ada di hadapannya. Pohon di mana seharusnya ada adiknya di salah satu dahannya.

Namun nihil.

“Keito? Keito!”

Ryosuke terus meneriakkan nama adiknya. Jantungnya berdetak kencang bukan hanya karena berlari mengelilingi area sekitar pohon tersebut. Dalam hati, dia menarik pemikirannya tadi pagi. Dia tidak benar-benar ingin menjadi anak tunggal.

“Ry-ryosuke ...?”

Mendengar suara adiknya, Ryosuke cepat menoleh ke sumber suara. “Keito! Ke mana saja kamu?!”

Kedua tangannya memeluk erat Keito, tidak peduli dia berkeringat sehabis berlari sana-sini. Nadanya marah, namun sebenarnya dia ingin menangis bahagia bisa bertemu adiknya lagi.

“T-tadi aku mau menyusul ... tapi aku tidak tahu arah,” jawab Keito pelan.

Helaan napas panjang lolos dari bibir Ryosuke. Dia dapat merasakan air mata adiknya mulai membasahi bajunya. Perlahan, dia menuntun adiknya untuk berjalan pulang. Kelerengnya dia pindahkan ke tangan Keito, agar adiknya bisa berhenti menangis sebentar. Atensi teralihkan pada kelereng indah yang dia berhasil rebut dari Daiki.

Punya adik memang menyebalkan.

Tapi Ryosuke tetap sayang adiknya.