archeselene

Mahesa menyetir sambil sesekali melirik temannya di sebelah. Seumur hidup, belum pernah ia lihat Nareswara sekacau ini.

Nareswara yang Mahesa kenal adalah seorang dokter muda populer yang selalu memakai kemeja bersih, menyisir rambutnya rapi, dan memasang senyum manis yang membuat kaum hawa terpesona. Tutur katanya santun, setiap gerakannya anggun, setiap perbuatannya menyerukan tata krama.

Tapi pagi tadi, Nares menerobos pintu ruangannya dengan mata bergelimang air mata, tanpa peduli lirikan dari murid SMA yang berlalu lalang. Dengan rambut tak berbentuk dan wajah penuh peluh, Nares berlutut sambil terus mengucapkan sebuah nama yang tak Mahesa kenal, “Jevan”.

Mahesa kembali melirik Nares yang hanya menundukkan kepala sedari tadi.

“Nares, bentar lagi sampe.” Ucapnya, mengingatkan.

Tak ada jawaban, hingga Nareswara perlahan mengangkat wajahnya. “Esa, ada tisu?”

Mahesa mengangguk, membuka laci mobilnya dan menyerahkan segepak tisu pada Nares.

“Gak dilap juga gak apa-apa. Nangis itu wajar, Nares.”

Nares menggeleng sambil mengusap matanya kasar. “Kalau saya nangis, siapa yang tenangin Reksa?”

Lagi-lagi nama yang tak Mahesa kenal. Tapi tak masalah, dia di sini hanya ingin membantu Nareswara. Tak mungkin ia membiarkan temannya menyetir sendirian dengan keadaan begini.

Sesuai perkiraan Mahesa, tak lama kemudian mereka sampai di gerbang masuk mall besar itu.

“Buka jendela aja, temannya Reksa bilang mereka menunggu di lobby.” Ujar Nares. “Okay.”

Mahesa berhenti di depan pintu masuk mall sambil menurunkan kaca jendelanya. Ia menoleh pada Nares. “Yang mana, Res?”

Nares menggeleng. “Saya belum pernah lihat fotonya.”

“Siapa tadi namanya?”

“Reksa. Antareksa.”

Mahesa tak menghiraukan suara klakson yang mulai terdengar dari mobil di belakangnya. “REKSAA! ADA YANG NAMANYA ANTAREKSA?”

Selang dua detik, tiga orang pria tampak lari tergopoh-gopoh menuju ke arah mobilnya.

“Umm... maaf, anda Om... eh, Mas Nareswara?” Tanya Eli pada Mahesa. Laki-laki itu menggeleng, lalu menunjuk teman di bangku sebelahnya. “Dia Nareswara.”

“Kamu yang tadi angkat telepon saya?” Nares membuka suara.

Eli mengangguk. Dia lalu menunjuk Reksa yang hanya menatap mereka dengan pandangan kosong. “Ini Reksa.”

“Langsung masuk aja.” Ajak Mahesa. “Kalian ikut?” Tanyanya pada Chandra dan Eli. Kedua orang itu langsung menoleh pada Reksa, meminta persetujuan, yang dibalas dengan gelengan lemah. “Gak usah.” Ucapnya, dengan suara parau. Ia membuka pintu belakang mobil dan masuk ke dalam.

“Ya udah, jangan lupa kabarin ya, Sa.” Ucap Chandra, yang dibalas dengan anggukan temannya.

“Om—eh, Kak, Mas... aduh saya panggil apa, ya? Kami titip Reksa, ya?” Pinta Eli kepada dua lelaki yang lebih tua.

“Iya, jangan khawatir. Saya akan jaga Reksa baik-baik.”


Singkat cerita, Mahesa menyetir kembali ke Jakarta dengan tambahan satu penumpang di bangku belakang. Seorang mahasiswa yang terus melihat ke luar jendela.

“Reksa, sudah makan?” Tanya Nares. Nares tak lagi seberantakan tadi. Ia menyisir rambutnya dengan jari, mengusap wajah lesunya dengan tisu. Tidak, tidak boleh tampak begitu terpuruk di depan Reksa. Dia harus kuat.

Reksa menggeleng. Belum, dia belum makan sejak tadi pagi.

“Lapar?” Tanya Nares panik. “Mahesa, kamu punya makanan?”

Mahesa mengangguk. “Reksa ambil aja, itu ada di—”

“Makasih, Mas. Reksa belum lapar.”

Nares menggeleng. “Makan sedikit, Reksa. Kamu butuh tenaga untuk nanti.” Ujarnya, lirih.

Reksa tetap bergeming di tempatnya. “Apa benar, Om Jevan, pergi?” Ia bertanya.

Nares mengangguk.

“Bunuh diri?”

”... Iya.”

“Karena apa?”

“Saya juga tidak tahu, Reksa.”

“Om dapat kabar darimana?”

”... Jevan mengirimkan karangan bunga ke rumah sakit tempat saya bekerja, tadi pagi. Tapi saya sedang praktek. Ketika saya menerima bunga itu, di dalamnya terselip surat.” Nares berhenti sejenak. “Surat wasiat. Saya langsung menelepon Polisi dan bergegas ke rumahnya, tapi nihil. Dia tak ada di sana. Beberapa saat kemudian, saya diberi kabar oleh polisi. Sudah telat, rupanya. Jevan berhasil.”

“Saya tahu kontak kamu dari surat itu juga. Dia menulis nomor kamu, Reksa. Sampai detik terakhirnya, dia masih memikirkan kamu.”

Mata Reksa akhirnya mulai berair. Seiring dengan kendaraan yang semakin mendekati ibukota, semuanya terasa semakin nyata. Ini nyata. Jevan telah tiada.

“Eli, apa ini?” Tanya Reksa. Suaranya kecil sekali, nyaris tak terdengar. Eli menangkap tubuh Reksa yang mulai gemetar, “Sa... Reksa... tarik napas dulu.”

“Om Jevan bercanda, ya? Iya, pasti. Kenapa dia nge-prank kayak gini?”

Eli baru hendak menjawab ketika handphone Reksa kembali bergetar, tanda ada pesan masuk. Ia melirik pesan tersebut. Dari nomor asing.


Reksa menatap pesan itu nanar, tidak tahu harus membalas apa. Bilik itu hening, hanya ada Reksa yang sedang berusaha memroses segalanya dan Eli yang berdiri di samping, menatap sahabatnya khawatir. Keheningan itu kemudian dipecah oleh suara ringtone handphone Reksa. Nomor asing itu meneleponnya.

Eli membantu Reksa mengangkatnya. “Halo, dengan siapa?”

”... Nareswara. Arsa Nareswara. Teman baik Jevan.”

Suara khas orang menangis, pikir Eli.

“Apakah berita itu... benar?” Tanya Eli. Ia memeluk teman baiknya erat-erat, takut Reksa terkulai bila dilepas.

”... Iya.”

Hening kembali menyelimuti ruangan sempit itu.

“Apa ini Reksa?” Tanya Nareswara di seberang sana.

Eli menggeleng, meski tak terlihat oleh Nares. “Bukan, tapi Reksa ada di sebelah saya. Anda ada perlu apa lagi?”

“Tolong sampaikan pada Reksa, saya sedang menjemputnya.”

“Untuk apa?” Kali ini Reksa yang bersuara.

Nares terdiam beberapa detik, ”... Reksa, kamu mau lihat Jevan untuk terakhir kalinya, kan?”


Mahesa menyetir sambil sesekali melirik temannya di sebelah. Seumur hidup, belum pernah ia lihat Nareswara sekacau ini.

Nareswara yang Mahesa kenal adalah seorang dokter muda populer yang selalu memakai kemeja bersih, menyisir rambutnya rapi, dan memasang senyum manis yang membuat kaum hawa terpesona. Tutur katanya santun, setiap gerakannya anggun, setiap perbuatannya menyerukan tata krama.

Tapi pagi tadi, Nares menerobos pintu ruangannya dengan mata bergelimang air mata, tanpa peduli lirikan dari murid SMA yang berlalu lalang. Dengan rambut tak berbentuk dan wajah penuh peluh, Nares berlutut sambil terus mengucapkan sebuah nama yang tak Mahesa kenal, “Jevan”.

Mahesa kembali melirik Nares yang hanya menundukkan kepala sedari tadi.

“Nares, bentar lagi sampe.” Ucapnya, mengingatkan.

Tak ada jawaban, hingga Nareswara perlahan mengangkat wajahnya. “Esa, ada tisu?”

Mahesa mengangguk, membuka laci mobilnya dan menyerahkan segepak tisu pada Nares.

“Gak dilap juga gak apa-apa. Nangis itu wajar, Nares.”

Nares menggeleng sambil mengusap matanya kasar. “Kalau saya nangis, siapa yang tenangin Reksa?”

Lagi-lagi nama yang tak Mahesa kenal. Tapi tak masalah, dia di sini hanya ingin membantu Nareswara. Tak mungkin ia membiarkan temannya menyetir sendirian dengan keadaan begini.

Sesuai perkiraan Mahesa, tak lama kemudian mereka sampai di gerbang masuk mall besar itu.

“Buka jendela aja, temannya Reksa bilang mereka menunggu di lobby.” Ujar Nares. “Okay.”

Mahesa berhenti di depan pintu masuk mall sambil menurunkan kaca jendelanya. Ia menoleh pada Nares. “Yang mana, Res?”

Nares menggeleng. “Saya belum pernah lihat fotonya.”

“Siapa tadi namanya?”

“Reksa. Antareksa.”

Mahesa tak menghiraukan suara klakson yang mulai terdengar dari mobil di belakangnya. “REKSAA! ADA YANG NAMANYA ANTAREKSA?”

Selang dua detik, tiga orang pria tampak lari tergopoh-gopoh menuju ke arah mobilnya.

“Umm... maaf, anda Om... eh, Mas Nareswara?” Tanya Eli pada Mahesa. Laki-laki itu menggeleng, lalu menunjuk teman di bangku sebelahnya. “Dia Nareswara.”

“Kamu yang tadi angkat telepon saya?” Nares membuka suara.

Eli mengangguk. Dia lalu menunjuk Reksa yang hanya menatap mereka dengan pandangan kosong. “Ini Reksa.”

Nares mengalihkan pandangannya, mengikuti arah yang ditunjuk Eli. Netranya langsung bertubrukan dengan pemuda bermanik hitam legam. Orang itu menatapnya tanpa minat.

Nares terpaku di tempat, hendak mengatakan sesuatu sebelum Mahesa mendahuluinya.

“Langsung masuk aja.” Ajak Mahesa. “Kalian ikut?” Tanyanya pada Chandra dan Eli. Kedua orang itu langsung menoleh pada Reksa, meminta persetujuan, yang dibalas dengan gelengan lemah. “Gue bisa sendiri.”

Ia membuka pintu belakang mobil dan masuk ke dalam.

“Ya udah, jangan lupa kabarin ya, Sa.” Ucap Chandra, yang dibalas dengan anggukan temannya.

“Om—eh, Mas... aduh saya panggil apa, ya? Kami titip Reksa, ya?” Pinta Eli kepada dua lelaki yang lebih tua.

“Iya, jangan khawatir. Saya akan jaga Reksa baik-baik.”


Singkat cerita, Mahesa menyetir kembali ke Jakarta dengan tambahan satu penumpang di bangku belakang. Seorang mahasiswa yang terus melihat ke luar jendela.

“Reksa, sudah makan?” Tanya Nares. Nares tak lagi seberantakan tadi. Ia menyisir rambutnya dengan jari, mengusap wajah lesunya dengan tisu. Tidak, tidak boleh tampak begitu terpuruk di depan Reksa. Dia harus kuat.

“Udah, tadi siang.” Bohong Reksa, padahal makanan di cafe belum ia sentuh sama sekali.

“Makan siang? Sudah lewat berapa jam, itu?” Tanpa menunggu jawaban, Nares langsung beralih pada teman di sebelahnya. “Mahesa, kamu punya makanan?”

Mahesa mengangguk. “Reksa ambil aja, itu ada di—”

“Makasih, Mas. Reksa belum lapar.”

Nares menggeleng. “Makan sedikit, Reksa. Kamu butuh tenaga untuk nanti.” Ujarnya, lirih.

Reksa tetap bergeming di tempatnya. “Apa benar, Om Jevan, pergi?” Ia bertanya.

Nares mengangguk.

“Bunuh diri?”

”... Iya.”

“Karena apa?”

“Saya juga tidak tahu, Reksa.”

“Mas dapat kabar darimana?”

”... Jevan mengirimkan karangan bunga ke rumah sakit tempat saya bekerja, tadi pagi. Tapi saya sedang praktek. Ketika saya menerima bunga itu, di dalamnya terselip surat.” Nares berhenti sejenak. “Surat wasiat. Saya langsung menelepon Polisi dan bergegas ke rumahnya, tapi nihil. Dia tak ada di sana. Beberapa saat kemudian, saya diberi kabar oleh polisi. Sudah telat, rupanya. Jevan berhasil.”

“Saya tahu kontak kamu dari surat itu juga. Dia menulis nomor kamu, Reksa. Sampai detik terakhirnya, dia masih memikirkan kamu.”

Mata Reksa akhirnya mulai berair. Seiring dengan kendaraan yang semakin mendekati ibukota, semuanya terasa semakin nyata. Ini nyata. Jevan telah tiada.


Sesampainya di Jakarta, Mahesa langsung mengarahkan mobil ke rumah sakit tempat jenazah Jevan berada.

“Kamu mau ikut turun?” Tanya Nares pada Mahesa begitu mereka sampai tempat tujuan, yang langsung dibalas dengan gelengan.

No, I don’t even know him. Rasanya aneh kalau gue ikut masuk.” Jawab Mahesa. Melihat wajah sungkan Nares, ia menambahkan, “It’s fine. Take your time. Aku juga turut berduka, Res.”

“Makasih udah mau repot-repot bantu saya, Mahesa. Kamu pulang aja, saya bisa panggil taksi nanti.” Nares tersenyum tulus meski hatinya masih letih.

Mahesa tampak bimbang. Jujur, ia memang lelah setelah menyetir Jakarta-Bandung-Jakarta tanpa jeda. Hari juga sudah mulai gelap.

“Beneran gak papa gue tinggal, Res?”

Nares mengangguk. “Saya udah cukup ngerepotin kamu hari ini.”

“Oke deh, hati-hati ya kalian.” Kata “kalian” merujuk pada Nares dan Reksa. “Kalau misal nanti susah dapet taksi call gue aja.”

Nares mengangguk lagi. “Oke, see you, Esa.”

Ia keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Reksa. “Reksa, mau turun sekarang?”

Reksa mengangguk dan keluar dari mobil.

“Di atas sana mungkin ada keluarga Jevan.” Ujar Nares.

Menyadari perubahan raut wajah Reksa, Nares menambahkan, “Jangan takut, ada saya.”

Tanpa meminta persetujuan, Nares menggenggam erat tangan Reksa, berniat menenangkan. Menegaskan, kalau Reksa tidak sendiri.


Mereka berjalan ke arah pintu rumah sakit tanpa tergesa. Naik lift, menanyakan keberadaan Jevan, dan mengikuti Suster yang mengarahkan mereka ke tempat Jevan berada. Keduanya tampak tenang, namun hanya mereka berdua yang tahu kalau tangan Nares berkeringat hebat dan tangan Reksa pun gemetar di dalam genggamannya.

“Reksa, jangan takut.” Bisik Nares sekali lagi ketika Suster membukakan pintu. Nares mempererat genggamannya, tak peduli dengan rasa tak nyaman karena keringat yang membanjiri telapak mereka.

Semua orang di dalam ruangan itu menoleh. Reksa langsung mengenali mereka semua. Keluarga besar Mama. Sayang, belum sempat ia menyapa mereka, teriakan ibunya Mama dan Jevan lebih dulu terdengar.

Disebut ibunya Mama dan Jevan, karena Reksa tak tahu harus memanggilnya apa. Ia tak pernah memanggil wanita itu seumur hidupnya. Wanita tua itu membencinya, semua orang tahu.

“NGAPAIN KAMU KESINI?!” Bentak Ibunda Jevan. Ia berlari ke arah Reksa dan menamparnya.

Semua orang tercekat, termasuk Reksa. Semuanya terjadi begitu cepat.

Bukan, bukan karena wanita itu berhasil menampar Reksa. Seandainya itu yang terjadi, mereka tak akan peduli. Tapi karena ada tubuh yang dengan sigap memeluk Reksa, menghalangi dia menyakiti laki-laki yang ada di pelukannya.

Tentu, wanita itu tak menyerah begitu saja. Ia memukuli punggung tegak Nares, berusaha membuat pria itu menyingkir. Tapi Nares bergeming. Orang-orang yang berada di ruangan itu hanya diam menyaksikan tanpa berinisiatif memisahkan.

“Dasar pembawa sial! Kamu menghancurkan hidup Thalia, membunuhnya, dan sekarang kamu membunuh Jevan?! Dasar terkutuk! Harusnya kamu yang mati! Mati kamu!”

“Diam!” Bentak Nares, cukup keras hingga membuat wanita itu menutup mulutnya. Bahkan Reksa yang berada di pelukannya pun melonjak kaget.

Merasa tak ada lagi pukulan di punggungnya, Nares melepaskan Reksa. Begitu ia berbalik, semua tampak kaget.

“Nareswara?” Tanya wanita tua itu tak percaya. “Kenapa kamu datang sama orang ini?”

“Ini permintaan Jevan, Tante.”

“Bohong! Jevan meninggal karena dia! Mana mungkin… ”

“Jevan meninggal karena bunuh diri, Tante. Tolong jangan asal menuduh.” Nares mengepalkan tangannya.

“Hidup Jevan bahagia! Pekerjaannya lancar, semuanya lancar sebelum bertemu dia! Dia itu beban!” Wanita paruh baya itu menunjuk Reksa yang masih menunduk, bersembunyi di balik Nares.

“Tante tahu apa?” Balas Nares dingin. “Apa buktinya kalau Jevan tertekan karena adanya Reksa? Tolong jangan asal bicara.”

“Bu, udah.” Tarik seorang pria paruh baya yang Reksa kenal sebagai kakak tertua Jevan. “Ini Nareswara sahabat Jevan. Dia lebih tahu.”

“Aku ibunya! Aku lebih tahu!”

Nares menatap semua orang-orang itu. Keluarga Jevan. Orang-orang munafik. Seandainya mereka tahu apa yang membebani Jevan selama ini.

“Saya minta waktu sepuluh menit. Biarkan Reksa berbicara dengan Jevan tanpa keberadaan kalian.” Pinta Nares.

Sebelum ada yang menyanggah, Nares menambahkan. “Jevan yang minta. Dia kangen keponakan kesayangannya. Dia belum menjumpai Reksa selama enam bulan terakhir.”

“Ta—”

“Sudah, Bu. Turuti saja. Hanya sepuluh menit.” Potong anak tertuanya sebelum sang Ibu memulai perdebatan lagi. Ia laki-laki paling tua di keluarga ini. Maka semua menuruti meski tak rela. Satu persatu dari mereka perlahan keluar dari ruangan itu, melewati Reksa sambil menatapnya sinis. Nares membalas tatapan mereka datar, tangannya menghalangi tubuh Reksa, takut ada yang berbuat jahat kepadanya.

Tak usah bertanya-tanya mengapa si anak sulung tampak begitu patuh pada Nares. Bukan, bukan karena ia merasa ibunya keterlaluan, bukan pula karena ia merasa kasihan pada Reksa.

Dia sama saja.

Kalau saja orang tua Nareswara bukan pemilik saham terbesar di perusahaan tempat ia mencari nafkah, tak mungkin dia sudi tunduk.

Setelah memastikan ruangan ini sepenuhnya kosong, Nares menutup pintu rapat-rapat.

“Kamu perlu waktu sendiri? Apa saya perlu keluar?” Tanyanya sambil memandang Reksa.

Reksa menggeleng. “Gak perlu. Makasih Mas, udah... lindungin aku tadi.”

Nares hanya mengelus rambut Reksa lembut.

Reksa berjalan perlahan ke kasur tempat tubuh pamannya berbaring. Perlahan, ia membuka selimut yang menutupi wajah Jevan.

“Om?” Panggil Reksa lirih. Wajah Jevan tetap tampan dan bersih, hanya saja lebih pucat dari biasanya. Kulit Jevan memang putih sejak dulu, namun sekarang tak lagi tampak hangat karena darah sudah berhenti mengalir.

“Om Jevan? Ini Reksa. Antareksa yang kerjaannya cuma bisa merepotkan Om Jevan.”

Reksa menyentuh pipi Jevan. Dingin. Dingin sekali.

“Kata Mas Nares, Om Jevan kangen sama Reksa? Reksa juga. Reksa juga kangen banget…” Reksa meremas selimut yang menutupi tubuh Jevan. “Tiap hari Reksa ngomel ke Chandra sama Eli, kapan Om Jevan mau mampir nengokin Reksa. Sampe mereka bosen.”

“Sekarang Om pulang, tapi bukan pulang ke Bandung. Bukan pulang untuk ketemu Reksa.” Ia terisak. “Om salah ambil jalan, tolong puter balik. Bukan ini jalan pulangnya.”

“Om Jevan, Om, sekarang Reksa harus gimana? Mama pergi, Om Jevan pergi, sekarang Reksa gak punya siapa-siapa lagi.” Reksa menangis. “Om Jevan, tolong, Reksa mohon, jangan tinggalin Reksa sendirian. Reksa janji gak akan nakal, Reksa janji jadi anak baik. Om jangan tinggalin Reksa.” Tangisannya semakin kencang ketika sadar Jevan tak mungkin bangun untuk menenangkannya. “Om Jevan, Reksa takut!” Reksa menangis histeris, tubuhnya bergetar, napasnya sesak.

Nareswara yang merasa tak beres langsung berlari ke arah Reksa. Ia mendekap anak itu erat-erat. “Reksa, lihat saya.” Nares berusaha mengalihkan pandangan Reksa dari ranjang Jevan, “Semuanya akan baik-baik saja. Kamu ada saya. Percaya sama saya. Kamu gak sendirian.” Reksa menggeleng dan teriak, “Gak, gak mau! Mas Nares jangan dekat-dekat sama aku! Aku pembawa sial, semuanya meninggal karena aku!” Nares menggeleng, “Engga, bukan, sayang, bukan.”

Reksa memukul dadanya, “Mas, tolong, sesak, takut, tolong… a-aku…”

Merasa Reksa tak kunjung membaik, Nares memutuskan untuk menggendong remaja itu menjauhi ranjang Jevan. Nares mendudukkan Reksa di sofa kecil. Ia berjongkok depan Reksa, menangkup wajah mungil itu dengan kedua tangannya.

“Reksa, dengar saya baik-baik.” Nares menatap remaja itu lekat-lekat. “Tolong jangan dengar kata-kata jahat. Jangan percaya. Kamu orang baik, keponakan kesayangan Jevan, kebanggaan Jevan. Bukan beban atau pembawa sial.”

Reksa menggeleng, “K-kalau aku baik, kenapa Om Jevan gak mau ketemu? Kenapa Om Jevan milih buat ninggalin aku?”

Nares tak tahu harus menjawab apa. Dia tak tahu alasan Jevan melakukan tindakan ini. Di suratnya pun tak tertulis.

“Mas Nares, apa benar… Reksa penyebab Om Nares pergi?”

“Bukan, Reksa.”

“Lalu apa alasannya?”

“… Saya juga tidak tahu.” Nares menoleh, memandangi mayat temannya yang terbaring kaku. “Tapi yang pasti, bukan karena kamu, Reksa. Kamu sumber kebahagiaan Jevan.”

Keduanya tak lagi berbicara. Mereka saling tatap, Nares mengelus punggung Reksa pelan, berusaha menenangkannya.

Dia melirik arlojinya, “Waktu kita tiga menit lagi, Reksa. Tapi saya gak bisa biarkan kamu lihat Jevan kalau kamu masih histeris.”

Reksa mengelap air mata dan ingusnya asal sambil berusaha menetralkan napasnya.“Mas, t-tolong, mau lihat Om Jevan.”

Nareswara mengelus kedua mata bengkak milik Reksa. “Jangan menangis lagi, Reksa. Jevan pasti kangen melihat senyum indah Reksa.”

Reksa mengangguk, meski air matanya masih tak bisa berhenti mengalir. Ia kembali mendekati ranjang Jevan, memandangi wajah itu lekat-lekat untuk disimpan dalam memori. Reksa mengelus pipi Jevan yang jauh lebih tirus dibanding terakhir kali mereka bertemu. Bibirnya mendekati telinga Jevan.

“Om, terima kasih untuk segalanya. Istirahatlah dengan tenang.” Bisik Reksa, sambil berusaha menampilkan senyum terbaiknya.

Reksa berbalik. “Mas Nares, sudah.” Nares mengangguk. “Mas gak mau ngomong sama Om Jevan juga?” Tanya Reksa.

Nares terdiam. Ia memandang wajah pucat temannya, lalu menggeleng. “Tidak usah, Reksa.”

Tidak usah, Reksa. Saya juga takut menangis. Kalau saya nangis, siapa yang tenangin kamu?


“Kamu mau bagaimana, Reksa?” Tanya Nares begitu mereka melangkah keluar pintu rumah sakit. “Mau langsung pulang ke Bandung atau menginap dulu sehari di sini?”

“Aku boleh pulang ke Bandung sendiri?”

Nares tertawa kecil. “Mana boleh, Reksa. Saya gak akan tenang. Kalau kamu mau pulang, harus saya sendiri yang antar.”

Reksa menimbang-nimbang. Tentu saja ia ingin langsung pulang ke Bandung. Tapi wajah pria di sampingnya ini tampak lesu sekali.

Dia tebak, teman baik pamannya ini juga belum makan sejak pagi tadi.

Timing yang pas sekali. Perut Nareswara tiba-tiba berbunyi, membenarkan dugaan Reksa.

“Eh…” Nares meraba perutnya sambil menahan rasa malu.

“Mau makan malam dulu aja deh, Mas.” Sahut Reksa, membuat wajah Nares makin memerah.

“Oke,” Ujarnya. “Saya tahu penjual soto yang sotonya enak sekali di sekitar sini. Dekat sekali kok, jalan kaki sampai.”


Reksa menatap Nares dengan penuh tanda tanya.

“Maksud Mas Nares?”

“Di surat wasiat itu. Jevan bilang, dia belum bisa tenang meninggalkan kamu.” Nares membalas tatapan Reksa.

“Tapi dia tetap pergi.” Balas Reksa.

“Itu karena dia tidak bisa tinggal, Reksa.” Nares menghela napas. “Saya gak tahu alasan dia memilih jalan itu, tapi Jevan adalah pria yang pemberani. Dia gak akan melakukan itu seandainya dia memang masih bisa bertahan.”

Reksa tidak bisa membantah. Ucapan Nareswara benar adanya.

Melihat orang di hadapannya tak lagi menjawab, Nareswara pun tak mau menuntut. “Take your time. Kalau kamu memang merasa gak nyaman dengan saya, saya mengerti kok.”

Reksa menatap Nares lekat-lekat, ia tak mengerti. “Kalau pun ini permintaan Om Jevan, apa beliau juga minta Mas Nares untuk pindah?”

Nares tak menjawab.

“Om Jevan sendiri gak pindah ke Bandung. Mas Nares yang notabene bukan siapa-siapa aku untuk apa se-totalitas ini?” Reksa menatap pria di depannya lekat-lekat. “Mas Nares, aku merasa seperti barang. Mama pergi, aku dioper ke Om Jevan. Sekarang Om Jevan pergi, aku dioper lagi ke Mas Nares.”

Nares menyanggah, “Bukan begitu—”

“Aku ngomong begini kayak gak tau terima kasih ya? Padahal harusnya bersyukur mereka mikirin aku sampai saat terakhir.” Reksa menunduk. “Tapi sedih, capek, kenapa aku ditinggalin terus dan gak boleh nyusul.”

Nares ingin membalas, namun ia membungkam mulut kala melihat pelayan sudah datang membawakan makanan.

“Makan dulu, Reksa. Kita bahas nanti lagi.”

Reksa mengangguk, mengaduk-aduk sotonya, sebelum terlonjak kaget karena sendok Nares masuk ke piringnya.

Sekali lagi, dia menatap pria di depannya dengan penuh tanda tanya.

“Kamu gak suka bawang daun, kan? Saya ambil, ya.”

Reksa melongo. Apa-apaan ini, kenapa orang asing di depannya seolah-olah tau segalanya tentang dia?

“Mas kok tau?”

“Jevan sering cerita.” Jawab Nares sambil tersenyum. “Saya juga tahu kamu suka banget sama kucing, senang melukis, dan kalau Jevan lagi nengokin kamu ke Bandung waktu weekend, pasti akhirnya dia diseret buat bersepeda bareng.”

...

Om Jevan kenapa ember banget, sih??? Batin Reksa. “Mas tau apa lagi?” Tanya Reksa, penasaran.

“Hmm... banyak sekali.” Nares terkekeh. “Jevan itu kalau ngobrol sama saya ga akan jauh-jauh dari ngomongin kamu. Awalnya bahas apa—eh ujung-ujungnya tetap bahas Reksa. Reksa ini, Reksa itu. Akhirnya saya jadi hapal deh, meski gak tahu rupa Reksa yang asli itu seperti apa.”

Reksa menunduk, ikut tertawa. Matanya berair lagi. Duh, dia kangen sekali sama Om Jevan.

“Jevan juga cerita kalau dulu kamu itu takut banget sama dia. Bahkan seminggu pertama kamu gak berani ngobrol sama dia. Tapi gak tahu kenapa akhirnya kalian malam jadi nempel banget, padahal jarang bertemu.”

“Om Jevan kayaknya seneng banget ngomongin aku ke Mas.” Gerutu Reksa.

Nares mengangguk menyetujui, namun mukanya berubah muram. “Tapi, terakhir kali dia bicara tentang kamu itu enam bulan yang lalu. Setelahnya, dia bilang dia sibuk. Tiap diajak ketemu selalu menolak.”

“Mungkin gaada bahan pembicaraan lagi, kali. Udah abis semuanya dikasih tau ke Mas.” Canda Reksa, menyadari perubahan raut Nares.

Yang lebih tua mengangguk setuju, “Iya, sih. Saya rasa saya bahkan udah hapal biografi kamu dari lahir sampai sekarang.”

Reksa tertawa lagi. Untuk sejenak, mereka beristirahat dari rasa duka.


“Reksa, sekarang mau ke Bandung langsung? Kalau jadi nanti tetap ke rumah saya dulu ya, ambil mobil.” Tanya Nares setelah mereka selesai menghabiskan dua mangkok soto dan berjalan keluar dari tempat makan. Keduanya berdiri di pinggir jalan, menunggu taksi yang sudah dipesan lebih dulu.

Reksa menggeleng sambil menatap orang di depannya takjub. Hari ini sudah pasti sangat melelahkan bagi keduanya, dan dia masih sanggup menyetir ke Bandung?

Tidak, tidak. Reksa belum mau celaka.

“Besok aja, deh, ke Bandungnya.” Ia meraih tangan Nares, membuat sang empunya melotot kaget. “Kenapa, Reksa?”

“Liat jam.” Jawab Reksa santai sambil melihat arloji yang terpasang rapi di tangan kiri Nares. “Udah mau jam delapan, terlalu malam, Mas Nares.”

Nares memanggut-manggut setuju. “Iya juga. Ya sudah, kamu menginap dulu di rumah saya.”

“Gak ke hotel?” Kali ini giliran Reksa yang kaget.

Nares menaikkan alisnya. “Untuk apa? Jangan buang-buang uang, Reksa.” Ia mencolok pipi remaja itu. “Kamu masih pelajar.”

“Umm... tapi... lebih baik aku tinggal di hotel aja, deh.” Putus Reksa. “Gak enak sama keluarga Mas Nares...”

Sebenarnya sih, ia hanya takut mengingat kejadian tak enak yang terjadi beberapa saat lalu di rumah sakit. Bagaimana kalau keluarga Mas Nares juga tak suka padanya?

Reksa sudah cukup lelah hari ini. Tak perlu menambah masalah baru lagi.

Nares sedikit membungkukan tubuh agar sejajar dengan pria yang lebih pendek satu jengkal darinya itu.

“Gak usah khawatir.” Ujarnya sambil menowel hidung Reksa. “Saya tinggal sendiri, kok.”

“Tinggal sendiri?” Reksa tampak berpikir serius. “Kalau gitu, emangnya cukup buat dua orang?”

Pasalnya, rumah Om Jevan di Jakarta kecil sekali, hanya berisi satu kasur, dapur kecil, dan kamar mandi. Padahal bagi Reksa, Om Jevan sudah bisa dianggap cukup mapan di usianya yang masih muda. Otomatis Reksa menganggap rumah Nares pun sebelas dua belas. Tapi yang ditanya malah menatap Reksa seolah ia baru saja menyakiti hati kecilnya.

“Gini-gini saya udah jadi dokter, Reksa!”

Ya... mana Reksa tahu? Mereka bahkan baru saling mengenal selama kurang dari dua belas jam. Lagipula, kata siapa dokter selalu punya banyak uang?

“Gak ada penolakan, kamu ke rumah saya.” Omel Nares. Ia mengalihkan mukanya ke arah lain, seolah-olah sedang fokus menunggu taksi.

Dalam hati Reksa menyeletuk, orang cuma bertanya, kok malah baper dia.


Cih, sibuk apanya? Sibuk nangis?

Reksa memutar kedua bola matanya.

“Suara nangis srat srot srat srotnya aja kedengeran sampe sini.” Cibir Reksa tak sadar diri, padahal suaranya sendiri masih mindeng dan matanya bengkak sebesar bola tenis.

“Mas Nares sok kuat banget, sih... Padahal sedih mah sedih aja. Tadi gue nangis dia tenangin, dia nangis juga gue bisa tenangin. Setidaknya gak sendirian...” Gumam Reksa sambil menatap langit-langit kamar tidur Nares.

Melihat gelagat Nares tadi, Reksa kira rumahnya seperti rumah elit di film-film, atau minimal rumah biasa yang cukup luas. Nyatanya, rumah Nares tak beda jauh dengan milik Jevan. Satu kamar mandi, satu dapur kecil, satu kamar tidur, hanya ditambah dengan taman belakang kecil, ruang tamu, dan ruang kerja.

Tapi cukup nyaman.

Omong-omong, Reksa sudah mandi dan mengganti seragamnya langsung setelah ia sampai di sini. Maka, sekarang ia mengenakan baju tidur Nares, yang sayangnya, agak kebesaran.

“Itu sudah yang paling kecil, Reksa.” Ujar Nares ketika Reksa cemberut tak senang.

Ya sudahlah! Mau bagaimana lagi? Masih bagus dipinjamkan baju tidur sampai pakaian dalam daripada tidur dengan seragam dekil!

Eh, jangan salah paham, celana dalamnya masih baru kok. Nareswara beri di minimarket terdekat ketika Reksa membersihkan diri.

Reksa menghela napasnya untuk yang kesekian kali hari ini.

Banyak sekali yang terjadi dalam satu hari. Semuanya seakan berubah dalam sekejap. Kok bisa, ya?

Ia memejamkan matanya. Lelah. Ingin bertemu dan melepas rindu dengan Om Jevan kesayangannya di alam mimpi.


“Eli, apa ini?” Tanya Reksa. Suaranya kecil sekali, nyaris tak terdengar. Eli menangkap tubuh Reksa yang mulai gemetar, “Sa... Reksa... tarik napas dulu.”

“Om Jevan bercanda, ya? Iya, pasti. Kenapa dia nge-prank kayak gini?”

Eli baru hendak menjawab ketika handphone Reksa kembali bergetar, tanda ada pesan masuk. Ia melirik pesan tersebut. Dari nomor asing.

“Eli, apa ini?” Tanya Reksa. Suaranya kecil sekali, nyaris tak terdengar. Eli menangkap tubuh Reksa yang mulai gemetar, “Sa... Reksa... tarik napas dulu.”

“Om Jevan bercanda, ya? Iya, pasti. Kenapa dia nge-prank kayak gini?”

Eli baru hendak menjawab ketika handphone Reksa kembali bergetar, tanda ada pesan masuk. Ia melirik pesan tersebut. Dari nomor asing.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, Reksa gabut. Saat ini, dia sedang makan siang bersama Eli di TSM sambil menunggu Chandra datang. Rencananya mereka mau main di Trans Studio bareng, tapi yang mengajak malah ngaret lebih dari satu jam.

“Sa, ngelamun mulu.” Tegur Eli. Makanannya sudah hampir habis, tapi makanan Reksa masih utuh, dianggurkan pemiliknya. “Masih galau?”

“Iya, kepikiran.”

“Kenapa gak mau nanya langsung, sih?”

“Takut.”

Eli menghela napas. Jawabannya selalu sama.

Baru ingin mengomel, tiba-tiba layar handphone Reksa menyala, menampilkan sesuatu yang menarik.

“Anjir, Sa...”

“Hm?”

“Om Jevan nge-chat lo tuh.”

“HAH?” Reksa buru-buru meraih handphone-nya. Matanya terbelalak melihat notifikasi yang masuk dari Jevan.

“ELIIIII DEMI APA BENERAN DONG!”

Reksa buru-buru membuka handphone-nya dan mengarahkannya pada Eli.

“Li gue takut, bacain dong dia bilang apa! Bukan tentang transfer duit kan? Dia akhirnya ada rencana pulang, kah?”

“Bentar... coba gue baca dulu...” Eli mendekatkan dirinya pada layar handphone, namun raut wajahnya seketika berubah. Napasnya tercekat usai ia membaca pesan itu.

“Sa?”

“Iyaa?”

“Keluar dulu sini.” Eli merebut handphone dari tangan Reksa dan segera menariknya keluar dari dalam restoran. Reksa buru-buru mengambil barang bawaannya dan mengikuti langkah Eli.

“Kenapa, Li?” Reksa kebingungan. Tapi pertanyaannya tak digubris oleh yang lebih muda.

Begitu Eli menarik dirinya ke dalam toilet, Reksa tak tahan lagi.

“Eli, lo kenapa sih anjir?”

Eli tetap bergeming dan menarik Reksa ke salah satu bilik.

“Sa...” Ia menatap sahabatnya lekat-lekat. “Maaf, gue rasa lo lebih baik ga melihat pesan ini di dalem sana. Di sana terlalu rame...”

“Emangnya kenapa, sih?!”

“Janji sama gue, jangan teriak. Jangan nangis.”

Eli menyerahkan handphone yang sedari tadi ia genggam kepada sang empunya.

Reksa menatap barang miliknya lekat-lekat, membaca pesan itu kata demi kata.

Seketika, dunianya hancur.

Sepulang dari Braga, Chandra mengajak Reksa untuk menginap di rumahnya. Tentunya tidak ditolak.

“Lebih enak daripada di rumah sendirian, repot harus masak sendiri.” Jujur Reksa.

Nyatanya, ia diseret ke dapur untuk membantu ibunya Chandra memasak makan malam. Chandra sendiri tidak diajak, karena sudah pengetahuan umum kalau manusia yang satu ini tidak bisa memasak.

Oleh karena itu dia mendapat privilege untuk lebih dulu berbaring di kasur, menanti hidangan lezat untuk santapan malam.

Sayangnya, malam ini Chandra tidak bisa menikmati tekstur kasurnya yang lembut dengan tenang. Dia kepikiran dengan masalah temannya.

Latar belakang Reksa, hanya Chandra dan Eli yang tahu. Itu pun karena mereka berdua sudah mengenal Reksa sejak kecil.

Rasanya payah sekali, dia tahu masalah Reksa tapi tak bisa membantu apa-apa. Ingin menelepon Om Jevan pun tak mendapat izin dari sang keponakan.

Reksa selalu bilang dirinya beruntung. Dia tumbuh dengan kasih sayang mamanya. Papa? Reksa tak kenal. Keluarga Mama? Reksa tak peduli. Yang terpenting Reksa punya kasih sayang dari Mama. Itu sudah cukup.

Tiga tahun yang lalu, Mama Reksa meninggal karena kecelakaan, meninggalkan Reksa sebatang kara. Tapi tak perlu khawatir, tak lama kemudian Reksa dijemput oleh pamannya.

Namanya Faresta Jevan, adik kandung dari mamanya Reksa. Jevan bilang, Mama menitipkan Reksa padanya. Reksa percaya. Sejak saat itu, Reksa dibesarkan oleh Jevan yang masih berusia 23 tahun.

Hingga sekarang.

Meski begitu, Jevan menetap di Jakarta bersama dengan keluarga ibunya Reksa. Reksa sendiri tak mau dipindahkan dari Bandung karena ia sudah diterima di salah satu universitas di sini. Akhirnya, Jevan membiarkan Reksa tinggal di rumah peninggalan ibunya sendirian. Namun, ia tetap melaksanakan tanggung jawabnya dengan membantu Reksa secara finansial. Meski tidak tinggal bersama, hubungan mereka cukup baik. Awalnya tiap hari bertelepon, saling menanyakan keadaan. Namun, lama-lama Jevan sulit dihubungi.

Akhirnya, entah sejak kapan, Reksa pun berubah menjadi tukang galau.

“CHANDRAAA, BANTUIN GUE NATA MEJA MAKAN KEK.”

Oke.

Chandra pun menaruh segala pikirannya dan bergegas melaksanakan titah si tukang galau.

“Om Jevan berubah.” Keluh Reksa sambil mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan. Ia dan Chandra baru saja selesai menonton film di bioskop dan kini tengah bersantai di salah satu cafe di Jalan Braga.

“Siapa tau dia emang sibuk.”

Reksa sontak menggeleng. “Dari dulu juga dia sibuk, tapi selalu sempetin nengok gue minimal sebulan sekali.”

“Mungkin ngerasa lo udah gede, Sa. Udah bisa ngurus diri sendiri. Masa mau selamanya dikasih perlakuan sama kayak anak baru lulus?”

“Tapi dia bahkan udah gak pernah nanyain kabar gue. Terakhir nelpon cuma nanya uang bulanan udah ketransfer atau belom.”

“Ya... gatau deh,” Chandra juga pusing, “daripada lo galau di sini mending lo nanya langsung ke orangnya.”

Reksa menyeruput habis kopinya sambil cemberut, “Kalau berani sih udah gue tanyain dari kapan-kapan.”

“Lah, kenapa harus takut? Om Jevan kan udah kayak bapak kandung lo.”

“Takut dia cape ngurusin gue. Takut dia ngerawat gue selama ini cuma karena permintaan Mama sebelum meninggal. Gini-gini gue juga nyadar kali, kalo gue itu beban.”

“Heh!” Chandra menempeleng kepala temannya kesal, dibalas aduhan Reksa.

“Lo ngapain mukul gue, anjir?!” Teriak Reksa.

“Ya lo mikir lah goblok, dia paman lo. Keluarga lo. Emang seharusnya dia ngurus lo, kan?”

“Tapi keluarga Mama yang lain ga ngurus gue, tuh?!”

“Ya itu mah merekanya yang goblok!” Chandra menepuk meja saking kesalnya.

“Kok lo jadi ngatain gue sekeluarga sih?!”

“Udah lah Reksa, lo jangan mikir macem-macem. Om Jevan sayang sama lo, lo bukan beban. Kalo dia nganggep lo beban udah ditinggalin dari kapan-kapan kali, toh Mama lo juga ga akan tau dia ngejalanin wasiatnya beneran atau engga.” Chandra menyentil kening Reksa. “Sekali lagi lo ngerendahin diri sendiri gue telpon langsung Om Jevannya, marahin dia. Enak aja bikin temen gue galau mulu.”

Reksa baru saja akan terharu,

“Udah jelek kan jadi tambah jelek. Pantes gak ada yang mau.”

“NGACA LO!”

by: archeselene

“Lho, Kak Alden?”

Matahari sedang berkunjung ke bumi bagian lain. Jam dinding di minimarket sebelah pun sudah menunjukkan pukul delapan malam. Johan menatap heran sosok yang berjongkok di depan pagar rumahnya. Tak begitu jelas, memang, hanya ada lampu jalan yang menyoroti sosok yang sedang menunduk itu. Tapi ia tahu pasti, orang tersebut adalah Alden. Untuk apa dia datang malam-malam begini?

Mendengar namanya dipanggil, Alden pun mendongak. Netranya bertubruk dengan milik Johan yang belum ia jumpai seminggu ini. Masih dalam posisi yang sama, Alden membuka bibir. “Akhirnya, balik juga lo.”

“Kakak tau rumahku dari mana?”

“Lo lupa bapak gue siapa?”

Johan tersenyum simpul. “Ada perlu apa?”

“Minta penjelasan.”

“Penjelasan? Tentang apa?” Johan mengerutkan dahinya, tak mengerti.

“Kenapa lo nge-ghosting gue, bangsat?!” Alden berdiri, menarik kerah baju yang Johan pakai. “Lo seminggu ini kenapa gak sekolah? Gak bales pesan gue? Lo mainin gue, ya?!”

Johan spontan mengangkat kedua tangannya. “Eh, enggak! Enak aja!”

“Jelasin!” Alden melepas cengkeramannya pada kerah baju adik kelasnya itu.

“Eum, oke. Kakak mau ke dalam dulu? Udah di sini dari kapan?” Tanya Johan. Dilihatnya Alden yang hanya mengenakan kaos tipis, padahal tadi sempat gerimis. “Mau pinjam baju a–”

“Lo jelasin nggak? Kalau gak jelasin gue pulang.”

“Nenek aku sakit, Kak.” Johan menghela napas. Ditatapnya lekat Alden yang masih memandangnya datar. “Aku cuma tinggal berdua sama Nenek. Minggu kemarin, Nenek jatuh di kamar mandi. Jadi, aku buru-buru bawa Nenek ke rumah sakit, dan sampai sekarang beliau masih dirawat. Aku nggak bisa ninggalin Nenek, makanya aku bolos sekolah.”

“Minimal bales pesan gue bisa kali?”

“HP aku hilang, Kak. Makanya gak bisa telepon ke sekolah buat izin, gak bisa balas Kak Alden juga.”

“Terus lo sekarang ngapain balik? Katanya gak bisa ninggalin rumah sakit?”

“Aku mau ambil baju ganti buat Nenek dan cuci baju kotor yang dibawa dari rumah sakit.” Jawab Johan. Alden langsung cemberut. Kesal sekali, sudah menahan marah satu pekan tapi ternyata Johan tidak salah.

“Omong-omong, Kakak nyariin aku?”

Johan tertawa melihat wajah Alden yang memerah. Bahkan di langit gelap ini pun, semburat merah muda di kedua pipinya tetap terlihat jelas.

“Ya... gue cuma gak terima aja dimainin sama adek kelas. Bukannya peduli, sih.” Alden melipatkan kedua tangannya di depan dada. “Karena ternyata cuma salah paham, ya udah, gue balik dulu.”

Johan mencegat lengan Alden yang baru saja berbalik. “Kak, aku beneran suka sama Kakak. Bukan main-main.”

Alden memalingkan wajahnya, menatap pria yang lebih tinggi satu jengkal darinya itu. “Oke.”

“Itu aja?” Johan menatapnya tak percaya.

Alden mengangguk. “Emang harusnya gimana?”

“Kakak nggak mau bilang yang lain lagi?”

“Terima kasih?”

“Ck.” Johan memutar kedua bola matanya. “Kakak suka sama aku juga, nggak? Jadi pacarku, mau?”

Kedua insan itu saling bersitatap, ditemani oleh lampu jalan yang bersinar redup.

”... Gak mau, lo miskin.”

Alden sontak tertawa melihat wajah Johan yang muram. Ia mendekat, berjinjit dan mengecup pipi pria yang lebih muda. “Sorry, bercanda. Boleh, deh.”

“Boleh apa?”

“Boleh pacaran, dodol!”