archeselene

“Makasih Kak Nares, Reksa.” Ujar Chandra pada Nares yang masih duduk di kursi kemudi. Ia dan Mahesa baru saja turun dari mobil dan kini tengah menunggu Gojek di depan minimarket. Yep, sesuai rencana, mereka pulang siang hari ini dan Nares kembali mengantarnya ke tempat awal mereka berkumpul untuk pergi ke Lembang.

“Sama-sama.” Balas Nares sambil menyunggingkan senyumnya yang khas. “Apa gak apa-apa, kalau saya tinggalkan kamu dan Mahesa berdua di sini?”

“Lo kira kita masih anak kecil apa? Hus hus sana pergi. Nanti gue minta supir Gocar-nya anter dia balik dulu, baru gue pulang. Dijamin aman.” Omel Mahesa yang berdiri di sebelah Chandra sambil menenteng barang-barang milik mereka.

“Ya sudah, kalau begitu kami duluan, ya.”

Nares menaikkan kaca jendela mobil dan segera menginjak gas setelah melihat anggukan kedua orang temannya. Suasana di dalam mobil yang tadinya lumayan ramai karena kehadiran Mahesa dan Chandra kini mendadak sunyi. Untungnya jarak minimarket dan apartemen sangat dekat, sehingga Reksa dan Nares tidak perlu tersiksa oleh hawa canggung ini lama-lama.

Begitu si pengemudi memberhentikan kendaraannya di tempat parkir, Reksa yang sedari tadi hanya diam lantas menahan lengan Nares yang tadinya hendak segera keluar dari mobil. Laki-laki yang lebih dewasa itu sontak menoleh ke arahnya bingung sambil melepaskan genggaman yang lebih muda. “Kenapa, Reksa?”

”... Mas mau cuekin aku sampai kapan?”

Mereka berdua saling bersitatap, hingga akhirnya Nares yang lebih dulu menyerah. Pria itu membelokkan kepalanya ke sisi lain, menghindari tatapan Reksa. “Sejak kapan saya cuek sama kamu?”

“Sejak tadi pagi.”

“Saya bersikap seperti biasa, kok.”

“Apa karena pesan yang aku kirim kemarin?” Reksa masih memandangi Nares. “Apa Mas Nares marah?”

“Saya bersikap seperti biasa, Reksa. Kamunya saja terlalu banyak berpikir macam-macam.” Nares bersikukuh.

Reksa menghela napas. “Mas, aku gak sebodoh itu.” Ia memelintir ujung kaosnya. “Kalau memang Mas Nares gak nyaman sama yang aku bilang tadi malam, aku minta maaf. Itu cuma dare, kok.”

Berhasil, batin Reksa. Nares kini mau melihatnya.

“Seperti yang aku bilang, Mas Nares udah mau biayain aku aja aku udah berterima kasih banget. Mana mungkin aku berani mikir yang macam-macam?”

Nares akhirnya menunjukkan senyumnya pada Reksa, membuat remaja itu kembali menghembuskan napas karena lega.

Nares menghempaskan punggungnya pada sandaran jok mobilnya. “Reksa, saya kaget.” Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan. “Saya nyaris terkena serangan jantung kemarin malam.”

Reksa terdiam beberapa detik sebelum terkekeh. “Emangnya setakut itu, ya, disukai sama aku?”

Nares langsung mengangguk.

“Kena-”

“Tunggu, Reksa. Ada pesan masuk.” Sela Nares sambil mengambil handphone-nya. Reksa mau tak mau menelan kembali pertanyaannya bulat-bulat.

Entah selang berapa menit, Nares akhirnya mengangkat wajah dan menaruh handphone-nya. “Kamu tadi mau bilang apa?”

“Enggak. Bukan apa-apa.”

“Omong-omong, nanti rekan kerja saya mau datang ke rumah.” Ujar Nares.

“Oh... Mas mau aku sembunyi di kamar?”

“Eh, kenapa harus sembunyi?”

Reksa menggaruk rambutnya. “Nanti kalau teman kerjanya Mas Nares tanya aku siapa Mas Nares jawab apa?”

Nares tertawa. “Jawab apalagi? Ya keponakan saya, dong.”

“Oh... Ya udah.”

Mereka kembali terdiam.

“Reksa...” Nares berdeham. “Saya minta maaf, pagi ini sudah... seperti itu.”

Kedua sisi bibir Reksa terangkat, tapi matanya tak ikut tersenyum. “Gak apa-apa.”

“Saya cuma bingung... karena... kamu tahu...” Nares mengacak rambutnya. “Apa pun alasannya, seharusnya saya gak kasih kamu silent treatment. Saya bingung gimana...”

“Gak apa-apa, Mas Nares.” Potong Reksa. “Mas Nares masih betah duduk di sini? Aku naik duluan ya ke apartemen, pengap banget di tempat parkir.”

Ia segera membuka pintu mobil, meninggalkan Nares yang masih terdiam di tempatnya.

Nares menatap tubuh kecil Reksa yang semakin menjauh dari jangkauannya sambil menenteng ransel yang tak ringan.

Laki-laki itu mengeratkan pegangannya pada setir mobil. Apanya yang tak apa-apa?

Senyum Reksa tak lagi mencapai netranya, dan kedua mata yang biasanya berbinar indah kini meredup. Tak ada lagi sinar yang Nares dambakan.

“Nares brengsek.”

Ia lagi-lagi lupa, sosok Reksa yang biasanya ceria seperti tanpa beban pun punya sisi rapuh. Nares lupa, Reksa paling takut melihatnya marah. Reksa takut ditinggalkan.

Silent treatment? Bisa-bisanya tadi dia melakukan hal itu pada Reksa. Lagipula kemarin pun anak itu sudah bilang kalau dia hanya bercanda dan semua yang dikirimkannya pada Nares hanyalah kebohongan semata, kenapa pula dia menyimpannya dalam hati?

“Jevan, maaf.” Gumamnya. “Saya gak becus.”

by: archeselene

Waktu berlalu cepat, langit kembali gelap dalam sekejap. Keadaan di vila masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Percakapan antara tiga sahabat itu seolah tidak pernah terjadi, atau setidaknya tidak mengubah apa-apa kecuali fakta kalau Reksa kini sadar dengan perasaannya kepada Nares. Katakanlah dia tak pandai menyimpan perasaan, karena sejak siang tadi ia selalu mengambil setiap kesempatan untuk melirik ke arah yang lebih tua, sampai-sampai orang yang menjadi objek perhatiannya itu sadar.

“Reksa, ada yang salah sama saya?” Nares tak tahan untuk bertanya begitu mereka naik tangga bersama menuju ke kamar tidur masing-masing.

Reksa dapat merasakan wajahnya memanas karena ketahuan, ia segera menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Terus kenapa kamu lihat saya terus dari waktu makan siang tadi?” Nares menggaruk rambutnya bingung.

“Gak apa-apa, Mas Nares umm... ganteng, soalnya?” Ucap Reksa asal karena panik. Tapi begitu kata itu keluar dari bibirnya ia jadi tambah panik dan wajahnya semakin merah. “Eh, bukan, maksud aku... bukan ganteng... tapi...”

Nares menaikkan satu alisnya, menunggu lanjutan kalimat dari pria yang lebih muda.

“Rambutnya... anu... rambut baru Mas Nares bagus.”

”... Saya belum potong atau ganti gaya rambut dari awal kita bertemu, Reksa.”

“Oh... haha... ya udah, berarti... Mas Nares cocok rambut panjang.” Reksa tertawa garing dan memukul siku Nares, berusaha mencairkan suasana yang sebenarnya hanya canggung dan memalukan untuk dirinya sendiri. “Ya udah, malam Mas, good night! Ujarnya sebelum berlari ke kamarnya mendahului Nares, meninggalkan pria itu berdiri kebingungan sendiri di tengah-tengah tangga.

Akhirnya pria itu hanya memiringkan kepala dan mengedikkan bahunya. Mungkin Reksa hanya kelelahan?


Di dalam kamar, Reksa langsung berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

“Kenapa gue begini, sih?” Monolognya sambil menepuk-nepukan kedua tangan pada pipi yang merah padam. “Harusnya kayak biasa aja... biasa aja... MANA BISA?!” Reksa menghempaskan tubuhnya pada kasur, meredam pekikannya dengan bantal-bantal. “Gimana bisa gue biasa aja?”

Reksa mengacak-acak rambutnya sendiri dengan kasar, “AARGHH! Lagian Eli kenapa harus kasih tau gue segala, sih, kalau gue suka... suka...” Ia sontak membekap mulutnya sendiri dengan kedua manik yang melebar, menyadari kamarnya dengan kamar Nares bersebelahan.

“REKSA BEGO!” Umpatnya kepada diri sendiri, kali ini dengan bisikan agar Nares tak berpontensi untuk mendengar. Pemuda dua puluh satu tahun itu merebahkan tubuhnya pada kasur, lalu merogoh-rogoh saku celana, mencari benda persegi panjang yang berfungsi untuk komunikasi. Seperti orang tak ada kerjaan (mungkin memang ia tak punya kerjaan lain), Reksa membaca ulang ruang pesan miliknya dengan Nares. Tak ada yang spesial memang, kebanyakan hanyalah obrolan singkat tak berarti seperti mengingatkan makan malam dan menanyakan di mana letak paket yang ia pesan.

Senyumnya kian melebar seiring dengan chat yang di-scroll ke atas pelan-pelan oleh kedua jarinya. Hingga akhirnya sampai di ujung chat, kala pertama Nares menghubungi dirinya karena Jevan. Reksa menghela napas. “Apa boleh...?” Gumamnya, bertanya pada diri sendiri.

Apa boleh dia jatuh cinta pada seorang Nareswara?

Apa boleh dia menitipkan hati pada pria itu?

Kata Eli, keluarga Jinar, yang juga keluarganya Mas Nares, mirip seperti tipikal keluarga-keluarga kaya di drama yang sering ia tonton.

Reksa menutup ruang obrolannya dengan Nares. Ia kini membuka aplikasi kamera di handphone-nya dan bercermin di sana. Wajah familiar langsung terpampang di layar sempit itu. Mata yang tak terlalu besar, hidung yang kelewat bangir, dan bibir yang tak tebal maupun tipis. Rambutnya lumayan panjang jika dibandingkan dengan laki-laki lain seusianya. Kulitnya putih, tapi tak seputih Eli yang konon dimandikan dengan susu ketika ia masih bayi (ibunya mana mungkin menghamburkan uang demi membeli susu untuk mandi kalau Reksa bisa mandi dengan air sumur).

Reksa mengerucutkan bibirnya. Mahasiswa itu mulai merancang poin-poin di dalam kepalanya.

Pertama-tama, dia laki-laki. Mayoritas masyarakat di dunia ini belum bisa menerima cinta antara sesama jenis, dan Reksa yakin 90% bahwa keluarga Nares pun begitu. Bukan apa-apa, orang biasa saja tak bisa menerima, apalagi keluarga kaya yang punya nama dan wibawa yang perlu dijaga?

Sebentar... Sepertinya dia berpikir terlalu jauh. Mari ulang. Pertama-tama, Reksa laki-laki. Pertanyaannya adalah, apakah Nares suka dengan laki-laki?

Hmm... Reksa tak yakin.

Kedua, kalau pun Nares suka laki-laki, apakah Reksa cukup atraktif untuk menarik perhatiannya?

Hmm... untuk yang ini, Reksa tak yakin juga. Laki-laki itu melirik bahu sempit dan tubuh kurusnya lalu mendengus sendiri.

Duh, tahu akan begini, dia akan rajin ikut fitness bersama Chandra!

Kalau Nares suka dengan sesama jenis pun, Reksa rasa pria itu pantas mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik. Laki-laki dengan wajah setampan Leonardo DiCaprio lah yang dapat bersanding dengan masnya itu.

Atau minimal... laki-laki bertampang enak dipandang dengan sikap yang baik dan punya segudang talenta! Bukan laki-laki muda yang bahkan belum tamat kuliah, tak punya satu pun piala di rumahnya, dan hanya pernah menang lomba mewarnai ketika Sekolah Dasar. Apalagi laki-laki ini tukang marah yang juga pelit, dan... punya latar belakang yang kurang baik.

Oke, jujur saja Reksa rasa dirinya selama ini cukup percaya diri, kok! Tapi kalau disandingkan dengan Nares... kenapa ia merasa setidak pantas ini?

Apa karena fakta bahwa Nares selalu terlihat sempurna?

Ah, tidak juga. Buktinya kemarin malam ia bahkan merokok dan minum beer. Bukan berarti itu salah sih, tapi Reksa tak suka saja. Namun, karena Nares yang melakukan, semuanya jadi terasa biasa saja dan bisa ditoleransi.

Semakin Reksa pikirkan, semakin kecil kemungkinan Nares akan membalas perasaannya.

Tunggu dulu, sebelumnya, apa rasa suka ini pantas disebut “perasaan”? Siapa tahu Reksa hanya naksir sesaat saja?

Bisa jadi ia hanya termakan omongan Eli dan Chandra, bukan?

Kalau pun Reksa memang jatuh, ia yakin dirinya belum sejatuh itu.

Reksa keluar dari fitur kamera dan kembali membuka pesannya dengan Nares. Sebut saja segala jenis setan hingga raja iblis tengah merasuki dirinya, entah keberanian dari mana yang ia dapatkan hingga ia bisa mengetik kata-kata itu pada Nares yang kini sedang berada di satu atap dengannya. Nares yang kini mungkin hanya berjarak kurang dari sepuluh meter dengannya.

Sebut saja ia sudah gila.

Tapi Reksa rasa, lebih baik memastikan sekarang sebelum jatuh terlalu dalam. Reksa butuh jawaban dari Nares.

Reksa tidak meminta jawaban, Reksa tidak mengharapkan balasan, ia hanya ingin memohon izin lebih dulu.

Jika izin saja tak Nares berikan, maka Reksa punya alasan untuk berhenti berharap.

Esok harinya, Reksa baru bangun pada pukul sembilan pagi. Itu pun karena Chandra yang menerobos masuk ke kamarnya.

“Sa... Reksa, bangun woi! Kebo banget lo!”

Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya, Reksa lantas mengucek-ucek matanya sambil menatap temannya tak senang. “Biarin aja kali. Suka-suka gue mau bangun jam berapa. Gue kemarin gak bisa tidur sampe jam tiga, tau.”

Chandra langsung menimpuk muka temannya dengan bantal tidur. “Bangun, ih! Malu tau, yang lain udah pada mandi seger. Lo lupa, di sini gak cuma ada gue, lo, sama Eli?”

“Emang Mas Nares udah bangun?”

“Udah dari kapan-kapan. Kayaknya dia deh, yang pertama bangun, dia juga yang nyiapin sarapan. Jangan samain Kak Nares sama kebo kayak lo, atuh!”

“Hah...” Reksa melongo. “Yang bener?”

“Gak percaya liat aja ke sendiri. Buru ah cuci muka ganti baju, mau nobar nih dari tadi cuma nungguin elo!”

Reksa langsung bergegas menuju kamar mandi dan mencuci mukanya sambil bertanya-tanya dalam hati. Kok bisa, Nares bangun cepat padahal kemarin tidur setelah pergantian hari, sama seperti dirinya?

Belum lagi... kemarin dia minum cukup banyak alkohol kan? KOK BISA BANGUN PAGI?

Emang benar kata Chandra, jangan samakan Nareswara sama dirinya yang cuma manusia fana.


“Mas, bangun jam berapa tadi?” Bisik Reksa pada orang yang duduk di sebelahnya sambil mengunyah roti panggang buatan orang tersebut. Saat ini, mereka berenam tengah berkumpul sambil menonton Netflix bersama. Nares dan Reksa duduk berdua di sofa, Eli dan Jinar di sofa lainnya, sementara Chandra dan Mahesa duduk bersila di karpet. Lampu ruangan sengaja diredupkan agar terasa seperti di dalam bioskop.

“Jam tujuh sepertinya...” Balas Nares, tentunya dengan volume yang sama kecilnya dengan si penanya.

Reksa hampir tersedak mendengarnya. “Gila, tidur berapa jam?! Gak pusing? Mas Nares kemarin mabuk, kan?”

Kali ini giliran Nares yang melotot tak terima. “Enak saja! Gak sampe mabuk, kok!”

“Masa?” Laki-laki yang masih melahap sarapannya itu menaikkan satu alisnya. “Terus kemarin kok... beda banget...”

Reksa menahan tawanya kala Nares memalingkan wajah karena salah tingkah. “Itu cuma efek bangun tengah malam aja... jadi emosional. Kalau mau dibilang mabuk juga baru setengah mabuk, buktinya saya sekarang masih ingat kejadian kemarin! Intinya kamu gak usah ingat-ingat lagi.”

“Malu, ya? Bayi besar mau peluk lagi, gak?”

Nares langsung membekap mulut Reksa. Dari posisi ini, Reksa dapat melihat jelas kedua pipi Nares yang bersemburat merah muda. Ia tersenyum lebar di dalam bekapan Nares. Reksa juga bisa merasakan seolah banyak kupu-kupu terbang di dalam perutnya.

Oke, mungkin terdengar berlebihan. Tapi hanya itulah permisalan paling tepat yang dapat Reksa pikirkan.

Nares yang dapat merasakan senyuman Reksa di telapak tangannya jadi semakin malu. Ia melepas bekapannya dan menenggelamkan kepalanya ke bantal sofa.

Sementara itu, tanpa mereka sadari, dua orang lainnya yang duduk di sofa sebelah sudah mengamati mereka sejak tadi.

Eli mengalihkan pandangannya dari dua orang itu pada “teman sesofanya”.

“Jinar, lo ngerasa aneh, nggak? Menurut lo... apa mereka...”

Ia belum menyelesaikan kalimatnya, tapi Jinar sudah mengerti maksudnya dan mengangguk. Eli spontan menatap teman barunya ngeri.

“Emangnya mereka... boleh?”


Mereka baru selesai maraton beberapa episode serial Netflix itu beberapa jam kemudian. Begitu selesai, Eli langsung menarik lengan Reksa menjauhi yang lainnya, dan tentunya diikuti Chandra yang penasaran.

“Sa, ngobrol yuk.”

“Eitts, ajak gue dong!” Chandra menyusul dari belakang dan langsung merangkul bahu Eli.

“Kenapa nih?” Tanya Reksa. “Feeling gue gak enak, anjir. Terakhir kali lo narik gue buat ngobrol serius... malah dapet kabar buruk...”

“Kaga dah, bukan apa-apa. Cuma pengen tanya sesuatu aja.”

“Apaan?”

“Eli melirik ke sekitarnya. Setelah memastikan sudah tidak ada orang lain selain mereka bertiga di sekitar, ia menghela napas. “Sa, jangan tersinggung ya. Mau nanya aja nih... Lo gak suka Kak Nares, kan?”

“Hah?” Chandra membuka mulutnya lebar-lebar. “Li, ngaco banget lo! Mana mungkin lah?” Ia tertawa, lalu ikut menatap Reksa.

Pria yang menjadi sorotan kedua temannya itu langsung menggeleng cepat. “Kagak! Pertama, selama ini gue naksirnya sama cewek. Kedua, gue malah ngerasa, kayaknya Mas Nares gak baik buat kesehatan gue!”

“Maksudnya?”

Reksa sedikit mengerutkan dahinya, menandakan keseriusannya saat ini. “Nih ya, tiap deket-deket Mas Nares, gue ngerasa gak enak badan.”

”... Gue gak salah denger, kan?” Chandra bingung harus nangis apa tertawa.

“Ih, bener! Contohnya kemarin, deh. Pas Mas Nares meluk gue, jantung gue deg-degan kenceng banget kayak overdosis kafein. Terus tadi juga pas ngobrol sama Mas Nares perut gue kayak aneh gitu rasanya! Terus gue gak bisa napas kalau dia jaraknya terlalu deket!” Tutur Reksa.

”...”

Eli dan Chandra saling berpandangan. “Li, ini temen lo?”

“Bukan. Gak kenal.”

“Sa, emang dulu waktu lo naksir cewek rasanya gimana?”

Reksa menatap mereka bingung. “Kok nanya ini? Emang kalian gak pernah? Ya... seneng aja deket-deket dia, kagum. Kalau sama Mas Nares tuh... aneh... gue pengen deket-deket tapi kalau udah deket gue pengen cepet-cepet kabur karena... gak kuat aja!”

“Itu namanya lo suka dia, oon!” Chandra menempeleng kepala Reksa gemas.

“Hah, masa?” Reksa melotot. “Lo jangan nakut-nakutin gue!”

“Ya udah gue tanya, lo pernah gak pacaran sama cewek-cewek yang lo taksir itu?”

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Karena gue gak pengen confess dan gak niat pacaran, lah.”

Eli memijat keningnya. “Kok bisa lo nggak mau pacaran dan bareng-bareng terus sama orang yang lo suka?”

Reksa mengerjapkan matanya. “Gak tau...”

“Kalau Mas Nares? Lo mau gak bareng-bareng sama dia terus?”

”... Sampe kapan?” Reksa bertanya balik.

Eli mengepalkan tangannya gemas. “Anggep aja selamanya.”

“Mau-mau aja, sih, soalnya gue gak mau ditinggalin lagi.” Jujur Reksa.

“Kalau dia peluk lo, cium lo, lo risih gak?”

Pipi Reksa sedikit merona mendengar pertanyaan itu. Hanya sedikit, tapi Chandra dan Eli langsung menyadarinya.

“Wah... gawat...” Eli menggeleng-gelengkan kepalanya. “Fix ini mah lo suka tapi kagak nyadar!”

“Enggak, gue cuma nganggep dia orang tua aja, sama kayak Om Jevan!” Bantah Reksa. “Gini-gini gue udah dua puluh satu ya, gue tau kali bedain rasa suka tuh gimana...”

Di akhir kalimat, suaranya mengecil tanpa sadar. Mungkin di bawah alam sadarnya Reksa sendiri juga tak yakin dengan apa yang keluar dari mulutnya.

“Udah, ya! Gak usah ngeyel. Lo coba bayangin di cium Om Jevan, dipeluk, dideketin sama kayak Mas Nares nempel ke lo. Risih, gak?”

Reksa nurut. Ia langsung membayangkan, tapi beberapa detik kemudian langsung bergidik sendiri. “STOP! GAK GAK GAK, GAK BISA!”

“Sekarang coba bayangin Mas Nares yang kayak gitu...”

“ADHLAHFLAHFL ELI DIEM!” Reksa menutup wajahnya sendiri dengan kedua tangan. “Iya, iya, gue sadar! Gue ngaku! Gue kayaknya... beneran suka... dan sukanya bukan sebagai orang tua atau temen...”

“Tuh, kan?” Eli memegang sebelah kepalanya frustasi. “Duh, gawat dah...”

Chandra yang sedari tadi diam membuka mulut. “Kenapa lo bilang gawat, Li? Gak apa-apa kali. Gue juga jujur deh, gue suka sama Kak Mahesa.”

“HAH?!” Seru Reksa dan Eli bersamaan.

Eli menepuk jidatnya. Pening sekali rasanya.

“Emangnya gak boleh?” Tanya Chandra polos.

“Kalau Kak Mahesa gue gak tahu sih... Kalau Kak Nares...” Ia menatap Reksa. “Gak jadi.”

“Ih, kenapa?” Reksa cemberut, tapi pertanyaannya hanya dibalas dengan gelengan Eli. “Gue mau mastiin sesuatu dulu. Nanti kalau ternyata beneran baru gue kasih tau lo.”

“Gak seru ah, mainnya rahasia-rahasiaan! Clue dulu atuh!”

“Setau gue,” Eli berdeham. “Setau gue nih ya, keluarga Jinar agak konservatif... apa ya... strict? Sama anak-anaknya. Tipe-tipe keluarga konglomerat gitu lah di sinetron-sinetron. Gue takutnya kalau lo bakal susah dan malah jadi nyakitin diri sendiri.” Ia meneguk ludahnya melihat binar pada manik Reksa meredup. “Tapi gue gak kenal baik Mas Nares, jadi gue cari informasi dulu dari sepupunya. Menurut gue, asal Mas Nares juga suka balik sama lo, semua ini gak akan jadi masalah, sih.”

Seusai mendengarnya, Reksa menghela napas pelan.

Duh, masalahnya, mana mungkin seorang Arsa Nareswara suka sama dia?

“Hey, itu tiga di sana ngapain? Mau nimbrung, dong!” Teriakan Mahesa dari jauh membuyarkan pikiran Reksa. Ketiganya menoleh ke asal suara tersebut.

“Kepo lo!” Chandra balas berteriak, membuat kedua orang di sebelahnya sontak menutup kuping.

“Dah lah, balik. Bantuin masnya Reksa bikin makan siang. Gue yakin Kak Mahesa sama Jinar gak bantuin apa-apa dari tadi.” Ujar Eli.

Wajah Reksa kembali memerah. “Eli, jangan ngeledekin gue!!!”

by: archeselene

Entah apa alasannya, Reksa tak dapat tidur malam ini, padahal tadi ia sudah minum sedikit alkohol. Kedua matanya terus menolak untuk terpejam. Akhirnya, sedari tadi ia hanya menatap langit-langit kamar dengan pikiran kosong.

Kriettt...

“Hhhh...”

Mendengar suara dari arah balkon, rasa kantuk Reksa yang tadinya memang sudah sangat minim langsung menghilang seutuhnya. Apalagi suara itu terdengar jelas di malam yang sunyi.

Ia melirik layar handphone-nya.

Masih pukul satu dini hari.

Bukan dia yang sedang berada di balkon, maka pelakunya pasti penghuni kamar sebelah yang berbagi balkon dengannya. Yep, siapa lagi kalau bukan Arsa Nareswara?

Karena tidak mungkin bunyi itu dihasilkan oleh makhluk halus, kan?

Duh, tolong jangan bilang mungkin, jangan menakut-nakuti Reksa yang kadang percaya takhayul.

Reksa bangun dari kasurnya, mengeratkan jaket tebal yang dikenakannya karena udara di Lembang yang semakin dingin seiring dengan bergantinya hari. Ia lalu membuka pintu geser yang menuju ke balkon, netranya lantas bertubrukan dengan milik pria yang sudah berdiri di sana sejak tadi.

“Mas Nares, belum ti...dur?” Sapanya, terpotong karena sedikit terkejut melihat orang di depannya hanya mengenakan kaos tipis dan... merokok.

Ya, Reksa terkejut.

Melihat kehadiran Reksa, Nares membelalak dan spontan mematikan rokoknya.

“Mas Nares ngerokok?”

Tindakan yang percuma, karena yang lebih muda sudah melihatnya lebih dulu.

“Maaf.”

“Kenapa minta maaf sama aku?” Reksa mengerjapkan matanya, bingung.

Nares menggaruk tengkuknya sambil mengamati gelagat pria yang masih menatapnya lekat, “Saya takut kamu gak suka.”

“Aku suka gak suka kan gak ada kaitannya sama kebiasaan Mas Nares. Aku nanya karena kaget aja, soalnya gak pernah lihat Mas Nares merokok di rumah.” Reksa berjalan mendekati Nares yang berdiri di ujung balkon. “Tapi emang gak begitu suka baunya, sih.”

“Saya jarang merokok, kok. Kalau lagi butuh saja.” Nares berucap serius, ingin meyakinkan orang yang kini berdiri di sampingnya.

“Kalau lagi banyak pikiran?”

Nares mengangguk. Ia kini melepas pandangannya dari Reksa, menatap lurus ke depan, ke langit malam yang gelap dan sunyi.

“Mas Nares lagi ada masalah?” Tanya Reksa lagi. “Eh, kalau gak mau jawab, gak apa-apa. Aku cuma khawatir.”

“Terima kasih sudah khawatir.”

Reksa terbahak mendengarnya. “Sama-sama. Jadi... mau cerita?”

Yang ditanya menyunggingkan senyum kecil. “Tapi cuma masalah kecil, nanti kamu malah ketawain saya.”

“Kalau masalah kecil kenapa Mas sampe galau dini hari begini?”

“Ya... mungkin sayanya yang lemah.”

“Mana ada, kalau Mas Nares lemah aku apaan, dong?”

Kali ini, Nares yang terkekeh. Ia mengusap lembut rambut laki-laki di sampingnya, “Reksa, boleh gak, kalau saya ceritanya nanti, tapi sekarang inginnya dipeluk kamu saja?”

Deg.

“Maaf, banyak mau.” Lanjut Nares, masih dengan senyum kecil menghiasi wajahnya. “Kalau gak boleh gak apa-apa.”

Reksa kini sangat bersyukur dengan fakta bahwa tak ada cahaya yang menerangi balkon ini. Kalau ada, Nares pasti akan memergoki wajahnya yang bersemu merah.

Padahal ia sendiri tidak tahu apa penyebab jantungnya tiba-tiba berdetak secepat ini.

“Boleh.” Ucapnya. Ia merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. “Sini.”

Nares segera maju dan masuk ke dalam pelukan itu, menjatuhkan kepalanya di bahu kiri pria yang lebih kecil.

Di jarak sedekat ini, Reksa baru sadar akan bau alkohol yang menguar dari tubuh pria dalam dekapannya. Di jarak sedekat ini pula, Reksa was-was Nares akan mendengar suara jantungnya yang terlalu berisik.

“Reksa...”

“Hm?”

“Kangen Jevan.”

Reksa sedikit tersentak. Selama ini, hanya ia yang sering mengeluh rindu dengan pamannya pada Nares, tak pernah sebaliknya. Rupanya, pria ini juga bisa rindu, ya? Bedanya, ia dapat menangis sepuasnya di depan Nares, sementara Nares memendam semuanya dalam hati, hingga malam ini.

”... Aku juga.” Ia menepuk pelan punggung Nares, seolah sedang menenangkan bayi kecil yang butuh perhatian.

“Cape.” Keluh Nares lagi. Matanya terpejam, dekapannya pada Reksa semakin kuat. “Pengen marah.”

“Marah sama siapa?” Reksa mengerutkan dahinya. Masa, sama Om Jevan? Apa sama dirinya?

“Sama dunia. Kok banyak banget, sih, maunya, sama saya? Kenapa dia gak pernah puas, ya?”

Oh, ternyata dunia. Reksa setuju untuk yang ini. Kenapa dunia gak pernah puas, ya?

“Nanti aku bantu marahin.” Reksa tertawa kecil.

“Reksa...”

“Iyaa?” Reksa sedikit merinding disuguhkan suara rendah Nares sedari tadi. “Apa lagi, bayi besar?”

“Empuk.”

“Hm?”

“Kamu empuk dan hangat.”

Kedua mata Reksa spontan membentuk bulan sabit. Ya ampun, lucu sekali masnya ini.

“Ya iyalah, kan aku pake jaket tebel makanya empuk, hangat. Siapa suruh Mas Nares cuma keluar pake kaos tipis? Awas aja, kalau masuk angin gak ada yang urus.”

“Ada Reksa.” Nares mendusel-duselkan wajahnya pada leher Reksa, membuat laki-laki itu berjengit karena geli. “Kan sekarang saya udah punya Reksa.”

Aduh, Nares, kata-katanya tolong dikontrol, dong. Reksa jadi semakin jatuh.

Reksa mendorong pelan pria yang masih memeluknya erat, tapi percuma karena Nares malah mengeratkan kedua tangannya di pinggang Reksa, membuat laki-laki itu berdecak. “Udah ah, Mas. Lepas. Ngomongnya makin ngaco, nih. Mabuk, ya, jangan-jangan? Ngaku! Sehabis main beer pong tadi diam-diam minum lagi, ya?”

”...”

“Berapa kaleng?!”

”...”

“Reksa, jangan galak-galak. Cuma dikit kok.” Nares memajukan bibirnya, membuat Reksa sontak berteriak gemas dalam hati.

“Kenapa? Gak suka kalau aku galak?!”

Nares menggelengkan kepalanya. “Suka.”

“Aneh.” Cibir Reksa.

“Reksa, mau tau satu rahasia, nggak?”

“Hm, apa?” Ucap Reksa, meladeni Nares asal. Seperti kata pepatah, tak ada gunanya bicara dengan orang yang lagi mabuk.

“Saya gak pernah mau jadi dokter. Saya maunya kerja di restoran, jadi chef keren yang pakai topi panjang kayak di Ratatouille, hehe.”

“Kenapa, atuh?” Reksa tak paham sampai-sampai logat sundanya keluar. “Ngapain jadi dokter kalau gak minat?”

Meski tak dapat melihat ekspresi Nares dengan jelas, Reksa yakin pria itu kembali mengerucutkan bibirnya. “Saya gak minat, tapi dunia mintanya gitu.”

“Maksudnya?”

“Gak ngerti saya juga.” Nares mendesah frustasi. “Padahal sama-sama pisau, kenapa pegang pisau operasi dibilang masa depan cemerlang, kalau genggam pisau daging dicemooh mempermalukan keluarga.”

“Ingat ini gara-gara aku singgung sore tadi, ya?” Reksa jadi merasa bersalah. Apa ini alasannya Nares jadi galau? “Maaf, ngungkit-ngungkit hal yang bikin Mas Nares sedih.” Bisiknya tulus.

“Gak apa-apa. Saya seneng, Reksa suka masakan saya, hehe.” Ia tersenyum lebar dengan mata yang masih terpejam. “Kedepannya, saya mau jadi chef pribadi Reksa aja.”

Reksa tak lagi menjawab. Mereka berada di posisi yang sama entah berapa menit, hingga akhirnya ia tak tahan lagi. Tak tahan dengan euforia yang dirasakannya. Tak paham dengan perasaannya yang damai dan tenang, tapi di sisi lain jantungnya seakan-akan siap meledak.

“Mas, udah ah. Kepalanya berat.” Karangnya asal. Ia menyerah duluan. Reksa perlu kabur sebelum jantungnya benar-benar meletus seperti balon hijau.

Meski berprotes dengan menggeram enggan, Nares akhirnya mengangkat kepalanya dari bahu sempit Reksa dan melonggarkan pelukannya.

“Mas Nares kenapa manja banget malam ini, hm?” Hati Reksa melebur melihat sisi Nares yang satu ini. “Udah, yuk? Tidur? Nanti besok gak bisa bangun.”

“Ada Reksa yang bangunin saya, hehe.”

“Enak aja! Emang aku alarm?”

“Hehe.”

“Hehehehe mulu, udah ah masuk kamar.” Reksa mendorong Nares masuk ke dalam kamar pria itu lewat pintu balkon sebelah.

“Mau sama Reksa.” Protes Nares begitu sentuhan Reksa hilang. Ia menengok, rupanya anak itu sudah berjalan meninggalkannya beberapa langkah.

“Gak! Gak ada! Aku juga mau tidur!” Balas Reksa galak.

Nares cemberut, membiarkan bayangan Reksa menghilang perlahan.

“Reksa pergi, udara jadi dingin lagi.” Gumamnya. Laki-laki itu kembali mengambil sekaleng beer yang berdiri tegak di atas meja, membukanya dengan cepat dan meneguknya pelan.

“Padahal saya kan belum cerita...” Ia tertawa pelan, terduduk di ujung kasur miliknya, menghadap ke balkon yang masih setia menyuguhkan langit malam yang gelap gulita.

Matanya menerawangi langit malam. Kata orang tua, orang baik yang sudah meninggal itu pindah ke langit, ke sisi Tuhan. Boleh tidak, kalau Nares harap Jevan kini tengah melihatnya dari atas sana?

“Jevan, saya harus gimana, ya?” Nares mengeratkan genggamannya pada kaleng bir. “Dunia makin hari makin serakah. Saya sudah patuh, tapi dia gak pernah berhenti kasih saya misi baru lagi.” Nares menghela napas. “Biasanya saya bisa protes ke kamu, tapi sekarang kamu juga sudah pergi duluan.”

Ia meraih handphone-nya yang terletak di atas nakas, membuka kata sandi ponselnya dan menatap lekat pesan yang terus menghantuinya sejak ia datang ke tempat ini.

Duh, Nareswara harus bagaimana, ya? Patuh itu melelahkan, tapi ia belum pernah jadi seorang pembangkang.

Melawan dunia? Ia tak berani. Tapi patuh pun Nares enggan.

by: archeselene

Entah apa alasannya, Reksa tak dapat tidur malam ini, padahal tadi ia sudah minum sedikit alkohol. Kedua matanya terus menolak untuk terpejam. Akhirnya, sedari tadi ia hanya menatap dinding-dinding kamar dengan pikiran kosong.

Kriettt...

“Hhhh...”

Mendengar suara dari arah balkon, rasa kantuk Reksa yang tadinya memang sudah sangat minim langsung menghilang seutuhnya. Apalagi suara itu terdengar jelas di malam yang sunyi.

Ia melirik layar handphone-nya.

Masih pukul satu dini hari.

Bukan dia yang sedang berada di balkon, maka pelakunya pasti penghuni kamar sebelah yang berbagi balkon dengannya. Yep, siapa lagi kalau bukan Arsa Nareswara?

Karena tidak mungkin bunyi itu dihasilkan oleh makhluk halus, kan?

Duh, tolong jangan bilang mungkin, jangan menakut-nakuti Reksa yang kadang percaya takhayul.

Reksa bangun dari kasurnya, mengeratkan jaket tebal yang dikenakannya karena udara di Lembang yang semakin dingin seiring dengan bergantinya hari. Ia lalu membuka pintu geser yang menuju ke balkon, netranya lantas bertubrukan dengan milik pria yang sudah berdiri di sana sejak tadi.

“Mas Nares, belum ti...dur?” Sapanya, terpotong karena sedikit terkejut melihat orang di depannya hanya mengenakan kaos tipis dan... merokok.

Ya, Reksa terkejut.

Melihat kehadiran Reksa, Nares membelalak dan spontan mematikan rokoknya.

“Mas Nares ngerokok?”

Tindakan yang percuma, karena yang lebih muda sudah melihatnya lebih dulu.

“Maaf.”

“Kenapa minta maaf sama aku?” Reksa mengerjapkan matanya, bingung.

Nares menggaruk tengkuknya sambil mengamati gelagat pria yang masih menatapnya lekat, “Saya takut kamu gak suka.”

“Aku suka gak suka kan gak ada kaitannya sama kebiasaan Mas Nares. Aku nanya karena kaget aja, soalnya gak pernah lihat Mas Nares merokok di rumah.” Reksa berjalan mendekati Nares yang berdiri di ujung balkon. “Tapi emang gak begitu suka baunya, sih.”

“Saya jarang merokok, kok. Kalau lagi butuh saja.” Nares berucap serius, ingin meyakinkan orang yang kini berdiri di sampingnya.

“Kalau lagi banyak pikiran?”

Nares mengangguk. Ia kini melepas pandangannya dari Reksa, menatap lurus ke depan, ke langit malam yang gelap dan sunyi.

“Mas Nares lagi ada masalah?” Tanya Reksa lagi. “Eh, kalau gak mau jawab, gak apa-apa. Aku cuma khawatir.”

“Terima kasih sudah khawatir.”

Reksa terbahak mendengarnya. “Sama-sama. Jadi... mau cerita?”

Yang ditanya menyunggingkan senyum kecil. “Bukan apa-apa. Hanya masalah kecil.”

“Kalau masalah kecil kenapa Mas sampe galau dini hari begini?”

“Ya... mungkin sayanya yang lemah.”

“Mana ada, kalau Mas Nares lemah aku apaan, dong?”

Kali ini, Nares yang terkekeh. Ia mengusap lembut rambut laki-laki di sampingnya, “Reksa, boleh gak, kalau saya ceritanya nanti, tapi sekarang inginnya dipeluk kamu saja?”

Deg.

“Maaf, banyak mau.” Lanjut Nares, masih dengan senyum kecil menghiasi wajahnya. “Kalau gak boleh gak apa-apa.”

Reksa kini sangat bersyukur dengan fakta bahwa tak ada cahaya yang menerangi balkon ini. Kalau ada, Nares pasti akan memergoki wajahnya yang bersemu merah.

Padahal ia sendiri tidak tahu apa penyebab jantungnya tiba-tiba berdetak secepat ini.

“Boleh.” Ucapnya. Ia merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. “Sini.”

Nares segera maju dan masuk ke dalam pelukan itu, menjatuhkan kepalanya di bahu kiri pria yang lebih kecil.

Di jarak sedekat ini, Reksa baru sadar akan bau alkohol yang menguar dari tubuh pria dalam dekapannya. Di jarak sedekat ini pula, Reksa was-was Nares akan mendengar suara jantungnya yang terlalu berisik.

“Reksa...”

“Hm?”

“Kangen Jevan.”

Reksa sedikit tersentak. Selama ini, hanya ia yang sering mengeluh rindu dengan pamannya pada Nares, tak pernah sebaliknya. Rupanya, pria ini juga bisa rindu, ya? Bedanya, ia dapat menangis sepuasnya di depan Nares, sementara Nares memendam semuanya dalam hati, hingga malam ini.

”... Aku juga.” Ia menepuk pelan punggung Nares, seolah sedang menenangkan bayi kecil yang butuh perhatian.

“Cape.” Keluh Nares lagi. Matanya terpejam, dekapannya pada Reksa semakin kuat. “Pengen marah.”

“Marah sama siapa?” Reksa mengerutkan dahinya. Masa, sama Om Jevan? Apa sama dirinya?

“Sama dunia. Kok banyak banget, sih, maunya, sama saya? Kenapa dia gak pernah puas, ya?”

Oh, ternyata dunia. Reksa setuju untuk yang ini. Kenapa dunia gak pernah puas, ya?

“Nanti aku bantu marahin.” Reksa tertawa kecil.

“Reksa...”

“Iyaa?” Reksa sedikit merinding disuguhkan suara rendah Nares sedari tadi. “Apa lagi, bayi besar?”

“Empuk.”

“Hm?”

“Kamu empuk dan hangat.”

Kedua mata Reksa spontan membentuk bulan sabit. Ya ampun, lucu sekali masnya ini.

“Ya iyalah, kan aku pake jaket tebel makanya empuk, hangat. Siapa suruh Mas Nares cuma keluar pake kaos tipis? Awas aja, kalau masuk angin gak ada yang urus.”

“Ada Reksa.” Nares mendusel-duselkan wajahnya pada leher Reksa, membuat laki-laki itu berjengit karena geli. “Kan sekarang saya udah punya Reksa.”

Aduh, Nares, kata-katanya tolong dikontrol, dong. Reksa jadi semakin jatuh.

Reksa mendorong pelan pria yang masih memeluknya erat, tapi percuma karena Nares malah mengeratkan kedua tangannya di pinggang Reksa, membuat laki-laki itu berdecak. “Udah ah, Mas. Lepas. Ngomongnya makin ngaco, nih. Mabuk, ya, jangan-jangan? Ngaku! Sehabis main beer pong tadi diam-diam minum lagi, ya?”

”...”

“Berapa kaleng?!”

”...”

“Reksa, jangan galak-galak. Cuma dikit kok.” Nares memajukan bibirnya, membuat Reksa sontak berteriak gemas dalam hati.

“Kenapa? Gak suka?!”

Nares menggelengkan kepalanya. “Suka.”

“Aneh.” Cibir Reksa.

“Reksa, mau tau satu rahasia, nggak?”

“Hm, apa?” Ucap Reksa, meladeni Nares asal. Kata pepatah, tak ada gunanya bicara dengan orang yang mabuk.

“Saya gak pernah mau jadi dokter. Saya maunya kerja di restoran, jadi chef keren yang pakai topi panjang kayak di Ratatouille, hehe.”

“Kenapa, atuh?” Reksa tak paham sampai-sampai logat sundanya keluar. “Ngapain jadi dokter kalau gak minat?”

Meski tak dapat melihat ekspresi Nares, Reksa yakin pria itu kembali mengerucutkan bibirnya. “Saya gak minat, tapi dunia mintanya gitu.”

“Maksudnya?”

“Gak ngerti saya juga.” Nares mendesah frustasi. “Padahal sama-sama pisau, kenapa pegang pisau operasi dibilang masa depan cemerlang, kalau genggam pisau daging dicemooh mempermalukan keluarga.”

“Ingat ini gara-gara aku singgung sore tadi, ya?” Reksa jadi merasa bersalah. Apa ini alasannya Nares jadi galau? “Maaf, ngungkit-ngungkit hal yang bikin Mas Nares sedih.” Bisiknya tulus.

“Gak apa-apa. Saya seneng, Reksa suka masakan saya, hehe.” Ia tersenyum lebar dengan mata yang masih terpejam. “Kedepannya, saya mau jadi chef pribadi Reksa aja.”

Reksa tak lagi menjawab. Mereka berada di posisi yang sama entah berapa menit, hingga akhirnya ia tak tahan lagi. Tak tahan dengan euforia yang dirasakannya. Tak paham dengan perasaannya yang damai dan tenang, tapi di sisi lain jantungnya seakan-akan siap meledak.

“Mas, udah ah. Kepalanya berat.” Karangnya asal. Ia menyerah duluan. Reksa perlu kabur sebelum jantungnya benar-benar meletus seperti balon hijau.

Meski berprotes dengan menggeram enggan, Nares akhirnya mengangkat kepalanya dari bahu sempit Reksa dan melonggarkan pelukannya.

“Mas Nares kenapa manja banget malam ini, hm?” Hati Reksa melebur melihat sisi Nares yang satu ini. “Udah, yuk? Tidur? Nanti besok gak bisa bangun.”

“Ada Reksa yang bangunin saya, hehe.”

“Enak aja! Emang aku alarm?”

“Hehe.”

“Hehehehe mulu, udah ah masuk kamar.” Reksa mendorong Nares masuk ke dalam kamar pria itu lewat pintu balkon sebelah.

“Mau sama Reksa.” Protes Nares begitu sentuhan Reksa hilang. Ia menengok, rupanya anak itu sudah berjalan meninggalkannya beberapa langkah.

“Gak! Gak ada! Aku juga mau tidur!” Balas Reksa galak.

Nares cemberut, membiarkan bayangan Reksa menghilang perlahan.

“Reksa pergi, udara jadi dingin lagi.” Gumamnya. Laki-laki itu kembali mengambil sekaleng beer yang berdiri tegak di atas meja, membukanya dengan cepat dan meneguknya pelan.

“Padahal saya kan belum cerita...” Ia tertawa pelan, terduduk di ujung kasur miliknya, menghadap ke balkon yang masih setia menyuguhkan langit malam yang gelap gulita.

Matanya menerawangi langit malam. Kata orang tua, orang baik yang sudah meniggal itu pindah ke langit, ke sisi Tuhan. Boleh tidak, kalau Nares harap Jevan kini tengah melihatnya dari atas sana?

“Jevan, saya harus gimana, ya?” Nares mengeratkan genggamannya pada kaleng bir. “Dunia makin hari makin serakah. Saya sudah patuh, tapi dia gak pernah berhenti kasih saya misi baru lagi.” Nares menghela napas. “Biasanya saya bisa protes ke kamu, tapi sekarang kamu juga sudah pergi duluan.”

Ia membuka kata sandi ponselnya, menatap lekat pesan yang terus menghantuinya sejak ia datang ke tempat ini.

Duh, Nareswara harus bagaimana, ya? Patuh itu melelahkan, tapi ia belum pernah jadi seorang pembangkang.

Melawan dunia? Ia tak berani. Tapi patuh pun Nares enggan.

Liburan

Jadi, setelah perdebatan singkat di grup, Eli memutuskan untuk berangkat sehari lebih awal bersama anak dari teman ayahnya, sementara Chandra nebeng bersama Reksa di mobilnya Nares, begitu pun dengan Mahesa. Alasan pribadinya, untuk menghemat bahan bakar. Alasan kerennya, untuk mengurangi polusi.

Mereka sudah berjanji akan berkumpul di minimarket seberang apartemen (karena selain penghuni apartemen tidak dapat masuk ke dalam) lalu berangkat pukul delapan pagi untuk menghindari macet. Namun, bukan Chandra namanya kalau bisa datang tepat waktu. Muka Reksa sudah masam bercampur garang begitu Chandra menunjukkan dirinya di pukul delapan lima belas.

Sorry, gue ditahan sama Ibu Negara dulu, tadi! Gak bisa kabur!” Itu adalah hal pertama yang Chandra ucapkan begitu melihat Reksa tengah melahap roti sambil menatapnya tajam. “SUMPAH, SA!”

“Gue kan udah bilang jangan sampe telat!”

“Ssst, jangan ribut-ribut. Kalian gak malu, dilihatin pembeli lain?”

Keduanya spontan menoleh ke pria kasat mata yang ternyata duduk di sebelah Reksa sedari tadi. Siapa lagi kalau bukan Nares?

“Eh, selamat pagi Mas!” Chandra langsung membungkuk sembilan puluh derajat.

“Santai saja, Chandra, ya?” Nares mengulurkan tangannya yang kemudian langsung disambut oleh pemuda yang baru datang itu, “Saya Nares. Panggil Kakak atau nama langsung juga gak apa-apa.”

“Oh, iya, siap, Kak! Maaf telat, hehe. Tadi saya disuruh jemur baju dulu sama si Mama.”

“Gak apa, teman saya juga ngaret, nih.” Nares menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. “Apa kita tinggalkan saja, ya?”

Tepat saat itu, pintu minimarket kembali terbuka, menampilkan Mahesa yang datang dengan napas ngos-ngosan. “Sorry guys, tadi gue susah banget dapet Gojek-nya... eh, LAH, CHANDRA?!” Mahesa melongo, jari telunjuknya refleks menunjuk pemuda yang sama terkejut dengan dirinya. “Ngapain di sini?”

“Lah, Kak Mahesa?! Aku kali yang harus nanya.” Chandra melotot. “Iya tau latihan gue masih jelek banget nilainya, tapi gak harus ngikutin sampe ke sini juga, kali! Ya Gusti, ieu téh abdi hayang liburan, lain diajar Inggris.”

(Ya Tuhan, ini tuh aku pengen liburan, bukan belajar Inggris).

“Siapa juga yang ngikutin lo? Geer banget, orang gue mah diajak main sama Nares.” Ia menepuk dada sobatnya yang malah asik menghabiskan sarapan tanpa peduli dengan keributan yang sedang terjadi.

“Bentar-bentar, apaan sih?” Reksa menepuk bahu Chandra bingung. “Kalian saling kenal?”

“IYA!” Chandra mengangguk heboh. “Dia guru Inggris gue, anjir!”

“Sejak kapan lo belajar Inggris?”

Kedua pipi Chandra sontak memerah. “Baru sebulanan. Kan Inggris gue ancur, tapi harus lulus TOEFL biar bisa wisuda. Ya udah lah gue cari guru, terus kebetulan nemu dia di Twitter.” Ujarnya, menunjuk Mahesa.

”... Oalah, gue baru inget. Pantes selama ini muka lo gak asing.” Mahesa menepuk dahinya. “Gue pernah lihat lo di depan TSM waktu jemput Reksa dulu.”

Chandra mengerutkan alisnya. “Gue gak inget apa-apa, ih.”

“Ya sudah, berarti bagus dong kalau sudah kenal. Gak usah canggung-canggung lagi.” Nares akhirnya bersuara. “Omong-omong, kalian sudah makan? Kalau sudah kita langsung berangkat saja, sebelum makin siang.”


Nyatanya, bukan hanya itu kejutan di hari ini.

Begitu mereka sampai di vila, Nares memutuskan untuk memakirkan mobilnya sementara ketiga orang lainnya keluar lebih dulu sambil membawa barang mereka masing-masing. Mereka disambut oleh dua pemuda yang tampaknya memang sudah menunggu entah sejak kapan. Eli pun langsung menghambur ke arah dua temannya.

“Akhirnya nyampe juga! Lama banget.” Gerutunya.

“Iya nih, agak padet tadi di jalan.” Jawab Reksa.

Eli lalu mengalihkan pandangannya pada Mahesa. “Halo, Kak. Salam kenal! Aku Eli.”

Pria yang lebih tua itu langsung memasang senyum ramah, “Halo, gue Mahesa. Temennya Nares. Pake lo-gue juga gak apa, gak usah kaku. Kita pernah ketemu juga, kan? Di TSM.”

“Ah, iya-iya, inget. Omong-omong ini Jinar, sembilan belas tahun.” Eli menarik lengan lelaki yang ada di sebelahnya. “Temennya bokap gue. Hehe.”

Ketiga orang itu tengah saling berkenalan ketika Nares datang menghampiri. Jinar membelalakan matanya, “Lah... Kak Nares?”

Reksa memutar bola matanya. “Jangan bilang kalau kalian juga saling kenal...”

Nares meneguk ludah. “Jinar sepupu saya.”

Kebetulan macam apa ini...


“Kamar-kamarnya di lantai atas, lewat tangga sini.” Eli mendadak menjadi tour guide untuk keempat orang yang baru datang. “Di lantai dua paling enak sih, pas ada enam kamar. Satu orang satu kamar, tiap dua kamar ada teras yang terhubung. Tapi terserah kalian mau pilih kamar yang mana, misal gak mau rame-rame di lantai atasnya juga masih ada, kok. Gue sama Jinar udah ambil dua yang paling deket tangga, hehe.”

“Gue di paling ujung aja, deh.” Ucap Reksa. “Masih kosong, kan?” Tanyanya, dijawab dengan anggukan oleh Eli.

“Saya di sebelah kamar Reksa.” Nares langsung membuka suara sebelum diserobot Chandra.

”... Ya udah, gue sisanya aja.” Ucap Chandra merengut. Padahal kan enak, kalau bisa sebelahan sama Eli atau Reksa. Tau-taunya malah kehalang sama tiga cowok lain.

“Gue juga.” Ujar Mahesa. “Tidur di mana juga sama aja.”

“Ya udah, mau masukkin barang-barang dulu? Kalau udah turun aja ke bawah buat makan siang. Gue udah pesen makanan duluan tadi, abisnya kalian gak nyampe-nyampe.”


“Kamu ngapain foto saya?”

Reksa dapat merasakan panas menjalar di kedua pipinya. “Jangan kepedean, orang aku lagi foto dapurnya, kok. Dapurnya bagus.” Ia mendelik pada pria yang memandangnya sambil tersenyum lebar.

“Oh... ya sudah, saya percaya.”

“Emang bener, kok!” Wajah Reksa semakin memerah.

Nares tertawa, lalu mengisyaratkan Reksa untuk mendekatinya.

“Apa?” Tanya Reksa galak.

“Sini, temani saya.”

“Males, ah.”

“Ya sudah, main sama yang lain. Kenapa diam sendirian di sini? Gak mau berenang lagi?”

Reksa menggeleng. “Udah bosen. Mas sendiri ngapain dari tadi sibuk di dapur? Aku ngajak Mas Nares ke sini kan bukan untuk ngurus kita-kita.” Ia memajukan bibirnya.

“Ya... gak apa-apa. Saya juga malas berenang. Lebih senang masak di dapur.”

“Ada yang masih perlu dibantu?” Meski bilang malas, Reksa tetap berjalan menghampiri Nares yang kini sedang membersihkan daging.

“Gak usah. Temani aja di sini.”

Reksa memandangi tangan Nares yang tampak telaten mempersiapkan bahan makanan untuk santapan malam mereka. “Mas,” Panggilnya.

“Hm?”

“Mas suka banget masak, ya? Gak di rumah, gak di sini.”

Senyum Nares mengembang. “Iya.”

“Kalau gitu, kenapa gak jadi koki aja?” Tanya Reksa.

”... Saya juga senang mengobati orang.” Jawab Nares setelah terpaku sesaat. “Kenapa tiba-tiba tanya tentang ini?”

“Penasaran aja.” Reksa mendongakan wajahnya, memandang Nares sambil memamerkan seringainya. “Habisnya masakan Mas Nares enak banget, sayang banget gak banyak yang bisa nikmatin.”

“Itu sih bukan saya-nya yang jago masak, tapi kamu-nya yang senang makan.”

“Ih, emang ya, harusnya gak usah puji Mas Nares.” Reksa menekuk wajahnya.

Nares tertawa lepas melihat ekspresi Reksa. Ia menopang kedua pipi pria yang lebih pendek sejengkal darinya itu dengan kedua tangan, “Kok kamu gampang banget sih, marahnya?”

“IH! TANGAN MAS NARES KAN KOTOR BEKAS MEGANG DAGING!”

Tawa Nares semakin kencang. “Sengaja.” Ujarnya. Reksa langsung mendorong-dorong tubuh pria itu, “Ngeselin, ah! Mas Nares nyebelin banget!”

“Eh, mau ke mana?” Tanya Nares begitu Reksa menjauhi dirinya.

“CUCI MUKA!”


“Makasih banyak buat dagingnya, Kak Nares!” Seru Chandra.

“Lho, kok lo manggilnya Kakak?” Bisik Reksa.

Chandra mengangkat bahunya. “Gak tau, gue tadinya mau manggil Mas tapi disuruh Kakak atau nama langsung aja. Eli juga gitu.”

Reksa menggaruk lehernya bingung. Apa Nares tidak nyaman dipanggil Mas? Tapi kenapa gak pernah bilang ke dia?

“Ini enak banget, anjir.” Seru Mahesa, membuyarkan pikiran Reksa. “Gila Res, lo emang jago banget masak-masak gini.”

“Eh, Kak Esa, tadi lo bilang lo bawa beer, kan?” Tanya Chandra semangat.

“Iya, lo mau?”

“Mau!” Angguk Chandra.

“Jinar sama Eli udah boleh minum, emangnya?” Reksa menyenggol lengan temannya.

“Ah, santai elah, gue sama ini bocah minum jus jeruk aja.” Jawab Eli, diikuti dengan anggukan Jinar. “Lagian emang gak begitu suka alkohol.”

“Ya udah, gue ambil, ya.” Ujar Mahesa, meninggalkan meja makan sejenak untuk mengambil minuman yang sudah ia siapkan.

“Mas Nares, udah kenyang?” Tanya Reksa pada Nares yang duduk agak jauh darinya. Pasalnya, Nares sibuk memanggang sedari tadi. Reksa bahkan tak yakin kalau Nares sudah makan daging panggangannya sendiri. Namun, pertanyaannya itu dijawab dengan anggukan mantap dari pria itu.

Tak lama kemudian, Mahesa kembali hadir dengan kantong plastik minimarket yang berisi kaleng-kaleng alkohol.

“Nih, guys.” Ia menaruh kantong itu di tengah-tengah meja. “Sambil main games, gimana? Biar asyik.”

“Main apa?”

Beer pong?” Usul Mahesa.

“Jinar sama Eli gak bisa ikut, dong?” Protes Reksa. Masih merasa tak enak dengan si tuan rumah.

“Santai aja anjir,” Eli tertawa, “Kalo gue menang ya udah lo gantiin gue minum, kek. Atau gue minum segelas dua gelas mah gak apa-apa lah, ya.”

“Iya, Kak Reksa. Santai aja. Gue juga pernah minum kok, sama keluarga.” Kali ini, Jinar yang membuka mulut.

Reksa baru akan menjawab jika saja ia tak diserobot lebih dulu.

“Gak boleh.” Nares berucap tegas pada adik sepupunya.

Jinar langsung bersungut-sungut, duh, lupa kalau di sini ada si kakak sepupu. “Ya udah lah, Kak Nares aja yang gantiin gue minum.”

“Oke.” Di luar dugaan, Nares langsung menyanggupi. Begitulah, malam itu mereka habiskan dengan bermain beer pong.

Ketika semuanya usai, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.


Entah apa alasannya, Reksa tak dapat tidur meskipun sudah minum sedikit alkohol tadi. Kedua matanya menolak untuk terpejam.

Kriettt...

“Hhhh...”

Mendengar suara dari arah balkon, rasa kantuk Reksa yang tadinya memang sudah minim langsung menghilang seutuhnya. Apalagi suara itu terdengar jelas di malam yang sunyi.

Ia melirik layar handphone-nya.

Masih pukul satu dini hari.

Bukan dia yang sedang berada di balkon, maka pelakunya pasti penghuni kamar sebelah yang berbagi balkon dengannya. Yep, siapa lagi kalau bukan Arsa Nareswara?

Karena tidak mungkin bunyi itu dihasilkan oleh makhluk halus, kan?

Duh, tolong jangan bilang mungkin, jangan menakut-nakuti Reksa yang kadang percaya takhayul.

Reksa bangun dari kasurnya, mengeratkan jaket tebal yang dikenakannya karena udara di Lembang yang semakin dingin. Ia lalu membuka pintu geser yang menuju ke balkon, netranya lantas bertubrukan dengan milik pria yang sudah berdiri di sana sejak tadi.

“Mas Nares, belum ti...dur?” Sapanya, terpotong karena sedikit terkejut melihat orang di depannya hanya mengenakan kaos tipis dan... merokok.

Ya, Reksa terkejut.

Melihat kehadiran Reksa, Nares membelalak dan spontan mematikan rokoknya.

“Mas Nares ngerokok?”

Percuma, karena yang lebih muda sudah melihatnya lebih dulu.

“Maaf.”

“Kenapa minta maaf sama aku?” Reksa mengerjapkan matanya, bingung.

Nares menggaruk tengkuknya sambil mengamati gelagat pria yang masih menatapnya lekat, “Saya takut kamu gak suka.”

“Aku suka gak suka kan gak ada kaitannya sama kebiasaan Mas Nares. Aku nanya karena kaget aja, soalnya gak pernah lihat Mas Nares merokok di rumah.” Reksa berjalan mendekati Nares yang berdiri di ujung balkon. “Tapi emang gak begitu suka baunya, sih.”

“Saya jarang merokok, kok. Kalau lagi butuh aja.”

“Kalau lagi banyak pikiran?”

Nares mengangguk. Ia kini melepas pandangannya dari pria kecil yang berdiri di sampingnya, menatap lurus ke depan, ke langit malam yang gelap dan sunyi.

“Mas Nares lagi ada masalah?” Tanya Reksa lagi. “Eh, kalau gak mau jawab, gak apa-apa. Aku cuma khawatir.”

“Terima kasih sudah khawatir.”

Reksa terkekeh. “Sama-sama. Jadi... mau cerita?”

Yang ditanya menyunggingkan senyum kecil. “Bukan apa-apa. Hanya masalah kecil.”

“Kalau masalah kecil kenapa Mas sampe galau gini?”

“Ya... gak tahu, mungkin saya lemah.”

“Mana ada, kalau Mas Nares lemah aku apaan, dong?”

Kali ini, Nares yang terkekeh. Ia mengusap rambut laki-laki di sampingnya, “Reksa, boleh peluk?”

Deg.

Reksa kini sangat bersyukur dengan fakta bahwa tak ada cahaya yang menerangi balkon ini. Kalau ada, Nares pasti akan memergoki wajahnya yang bersemu merah.

Padahal ia sendiri tidak tahu apa penyebab jantungnya tiba-tiba berdetak secepat ini.

“Boleh.” Ucapnya. Ia merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. “Sini.”

Nares segera maju dan masuk ke dalam pelukan itu, menjatuhkan kepalanya di bahu kiri pria yang lebih kecil.

Di jarak sedekat ini, Reksa baru sadar akan bau alkohol yang menguar dari tubuh pria dalam dekapannya. Di jarak sedekat ini pula, Reksa was-was Nares akan mendengar suara jantungnya yang terlalu berisik.

“Reksa...”

“Hm?”

“Kangen Jevan.”

Reksa sedikit tersentak. Selama ini, hanya ia yang sering mengeluh rindu dengan pamannya pada Nares, tak pernah sebaliknya. Rupanya, pria ini juga bisa rindu, ya? Bedanya, ia dapat menangis sepuasnya di depan Nares, sementara Nares memendam semuanya dalam hati, hingga malam ini.

”... Aku juga.” Ia menepuk pelan punggung Nares, seolah sedang menenangkan bayi kecil yang butuh perhatian.

“Cape.” Keluh Nares lagi. Matanya terpejam, dekapannya pada Reksa semakin kuat. “Pengen marah.”

“Marah sama siapa?” Reksa mengerutkan dahinya. Masa, sama Om Jevan? Apa sama dirinya?

“Sama dunia. Kok banyak banget, sih, maunya, sama saya? Kenapa dia gak pernah puas, ya?”

Oh, ternyata dunia. Reksa setuju untuk yang ini. Kenapa dunia gak pernah puas, ya?

“Nanti aku bantu marahin.” Reksa tertawa kecil.

“Reksa...”

“Iyaa?” Reksa sedikit merinding disuguhkan suara rendah Nares sedari tadi. “Apa lagi, bayi besar?”

“Empuk.”

“Hm?”

“Kamu empuk dan hangat.”

Kedua mata Reksa spontan membentuk bulan sabit. Ya ampun, lucu sekali masnya ini.

“Ya iyalah, kan aku pake jaket tebel makanya empuk, hangat. Siapa suruh Mas Nares cuma keluar pake kaos tipis? Awas aja, kalau masuk angin gak ada yang urus.”

“Ada Reksa.” Nares mendusel-duselkan wajahnya pada leher Reksa, membuat laki-laki itu berjengit karena geli. “Kan sekarang saya punya Reksa.”

Aduh, Nares, kata-katanya tolong dikontrol, dong. Reksa jadi semakin jatuh.

Reksa mendorong pelan pria yang masih memeluknya erat, “Udah ah, Mas. Lepas. Ngomongnya makin ngaco, nih. Rada mabuk, ya, jangan-jangan?”

Tak patuh, Nares malah mengeratkan kedua tangannya pada tubuh Reksa. “Reksa, mau tau satu rahasia, nggak?”

“Hm, apa?” Ucap Reksa, meladeni orang ini.

“Saya gak pernah mau jadi dokter. Saya maunya kerja di restoran, jadi chef keren yang pakai topi panjang kayak di Ratatouille, hehe.”

“Kenapa, atuh?” Reksa tak paham samapi-sampai logat sundanya keluar. “Ngapain jadi dokter kalau gak minat?”

Meski tak dapat melihat ekspresi Nares, Reksa yakin pria itu mengerucutkan bibirnya. “Saya gak minat, tapi dunia mintanya gitu.”

“Maksudnya?”

“Gak ngerti saya juga.” Nares mendesah frustasi. “Padahal sama-sama pisau, kenapa pegang pisau operasi dibilang masa depan cemerlang, kalau genggam pisau daging dicemooh mempermalukan keluarga.”

“Ingat ini gara-gara aku singgung sore tadi, ya?” Reksa jadi merasa bersalah. “Maaf, ngungkit-ngungkit hal yang bikin Mas Nares sedih.”

“Gak apa-apa. Saya seneng, Reksa suka masakan saya, hehe.” Ia tersenyum lebar dengan mata yang masih terpejam. “Kedepannya, saya mau jadi chef pribadi Reksa aja.”

Mereka berada di posisi yang sama entah berapa menit, hingga Reksa tak tahan lagi. Tak tahan dengan euforia yang dirasakannya. Tak paham dengan perasaannya yang damai dan tenang, tapi di sisi lain jantungnya seakan-akan siap meledak.

“Mas, udah ah. Kepalanya berat.” Karangnya asal. Ia menyerah duluan. Reksa perlu kabur sebelum jantungnya benar-benar meletus seperti balon hijau.

Meski berprotes dengan menggeram enggan, Nares akhirnya mengangkat kepalanya dari bahu sempit Reksa dan melonggarkan pelukannya.

“Mas Nares kenapa manja banget malam ini, hm?” Hati Reksa melebur melihat sisi Nares yang satu ini. Mungkin efek alkohol. “Udah, yuk? Tidur? Nanti besok gak bisa bangun.”

“Ada Reksa yang bangunin saya, hehe.”

“Enak aja! Emang aku alarm?”

“Hehe.”

“Hehehehe mulu, udah ah masuk kamar.” Reksa mendorong Nares masuk ke dalam kamar pria itu lewat pintu balkon sebelah,

“Mau sama Reksa.” Protes Nares.

“Gak! Gak ada! Aku juga mau tidur!”


“Eh, Jinar?” Reksa

“Kak Reksa lagi berantem sama Kak Nares?”

Kalau begitu, apa boleh Reksa berharap?

Liburan

Jadi, setelah perdebatan singkat di grup, Eli memutuskan untuk berangkat sehari lebih awal bersama anak dari teman ayahnya, sementara Chandra nebeng bersama Reksa di mobilnya Nares, begitu pun dengan Mahesa. Alasan pribadinya, untuk menghemat bahan bakar. Alasan kerennya, untuk mengurangi polusi.

Mereka sudah berjanji akan berkumpul di minimarket seberang apartemen (karena selain penghuni apartemen tidak dapat masuk ke dalam) lalu berangkat pukul delapan pagi untuk menghindari macet. Namun, bukan Chandra namanya kalau bisa datang tepat waktu. Muka Reksa sudah masam bercampur garang begitu Chandra menunjukkan dirinya di pukul delapan lima belas.

Sorry, gue ditahan sama Ibu Negara dulu, tadi! Gak bisa kabur!” Itu adalah hal pertama yang Chandra ucapkan begitu melihat Reksa tengah melahap roti sambil menatapnya tajam. “SUMPAH, SA!”

“Gue kan udah bilang jangan sampe telat!”

“Ssst, jangan ribut-ribut. Kalian gak malu, dilihatin pembeli lain?”

Keduanya spontan menoleh ke pria kasat mata yang ternyata duduk di sebelah Reksa sedari tadi. Siapa lagi kalau bukan Nares?

“Eh, selamat pagi Mas!” Chandra langsung membungkuk sembilan puluh derajat.

“Santai saja, Chandra, ya?” Nares mengulurkan tangannya yang kemudian langsung disambut oleh pemuda yang baru datang itu, “Saya Nares. Panggil Kakak atau nama langsung juga gak apa-apa.”

“Oh, iya, siap, Kak! Maaf telat, hehe. Tadi saya disuruh jemur baju dulu sama si Mama.”

“Gak apa, teman saya juga ngaret, nih.” Nares menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. “Apa kita tinggalkan saja, ya?”

Tepat saat itu, pintu minimarket kembali terbuka, menampilkan Mahesa yang datang dengan napas ngos-ngosan. “Sorry guys, tadi gue susah banget dapet Gojek-nya... eh, LAH, CHANDRA?!” Mahesa melongo, jari telunjuknya refleks menunjuk pemuda yang sama terkejut dengan dirinya. “Ngapain di sini?”

“Lah, Kak Mahesa?! Aku kali yang harus nanya.” Chandra melotot. “Iya tau latihan gue masih jelek banget nilainya, tapi gak harus ngikutin sampe ke sini juga, kali! Ya Gusti, ieu téh abdi hayang liburan, lain diajar Inggris.”

(Ya Tuhan, ini tuh aku pengen liburan, bukan belajar Inggris).

“Siapa juga yang ngikutin lo? Geer banget, orang gue mah diajak main sama Nares.” Ia menepuk dada sobatnya yang malah asik menghabiskan sarapan tanpa peduli dengan keributan yang sedang terjadi.

“Bentar-bentar, apaan sih?” Reksa menepuk bahu Chandra bingung. “Kalian saling kenal?”

“IYA!” Chandra mengangguk heboh. “Dia guru Inggris gue, anjir!”

“Sejak kapan lo belajar Inggris?”

Kedua pipi Chandra sontak memerah. “Baru sebulanan. Kan Inggris gue ancur, tapi harus lulus TOEFL biar bisa wisuda. Ya udah lah gue cari guru, terus kebetulan nemu dia di Twitter.” Ujarnya, menunjuk Mahesa.

”... Oalah, gue baru inget. Pantes selama ini muka lo gak asing.” Mahesa menepuk dahinya. “Gue pernah lihat lo di depan TSM waktu jemput Reksa dulu.”

Chandra mengerutkan alisnya. “Gue gak inget apa-apa, ih.”

“Ya sudah, berarti bagus dong kalau sudah kenal. Gak usah canggung-canggung lagi.” Nares akhirnya bersuara. “Omong-omong, kalian sudah makan? Kalau sudah kita langsung berangkat saja, sebelum makin siang.”


Nyatanya, bukan hanya itu kejutan di hari ini.

Begitu mereka sampai di vila, Nares memutuskan untuk memakirkan mobilnya sementara ketiga orang lainnya keluar lebih dulu sambil membawa barang mereka masing-masing. Mereka disambut oleh dua pemuda yang tampaknya memang sudah menunggu entah sejak kapan. Eli pun langsung menghambur ke arah dua temannya.

“Akhirnya nyampe juga!” Gerutunya.

“Iya nih, agak padet tadi.” Jawab Reksa.

Eli lalu mengalihkan pandangannya pada Mahesa. “Halo, Kak. Salam kenal! Aku Eli.”

Pria yang lebih tua itu langsung memasang senyum ramah, “Halo, gue Mahesa. Temennya Nares. Pake lo-gue juga gak apa, gak usah kaku. Kita pernah ketemu juga, kan? Di TSM.”

“Ah, iya-iya, inget. Omong-omong ini Jinar, sembilan belas tahun.” Eli menarik lengan lelaki yang ada di sebelahnya. “Temennya bokap gue. Hehe.”

Ketiga orang itu tengah saling berkenalan ketika Nares datang menghampiri. Jinar membelalakan matanya, “Lah... Kak Nares?”

Reksa memutar bola matanya. “Jangan bilang kalau kalian juga saling kenal...”

Nares meneguk ludah. “Jinar sepupu saya.”

Kebetulan macam apa ini...


“Kamar-kamarnya di lantai atas, lewat tangga sini.” Eli mendadak menjadi tour guide untuk keempat orang yang baru datang. “Di lantai dua paling enak sih, pas ada enam kamar. Satu orang satu kamar, tiap dua kamar ada teras yang terhubung. Tapi terserah kalian mau pilih kamar yang mana, misal gak mau rame-rame di lantai atasnya juga masih ada, kok. Gue sama Jinar udah ambil dua yang paling deket tangga, hehe.”

“Gue di paling ujung aja, deh.” Ucap Reksa. “Masih kosong, kan?” Tanyanya, dijawab dengan anggukan oleh Eli.

“Saya di sebelah kamar Reksa.” Nares langsung membuka suara sebelum diserobot Chandra.

”... Ya udah, gue sisanya aja.” Ucap Chandra merengut. Padahal kan enak, kalau bisa sebelahan sama Eli atau Reksa. Tau-taunya malah kehalang sama tiga cowok lain.

“Gue juga.” Ujar Mahesa. “Tidur di mana juga sama aja.”

“Ya udah, mau masukkin barang-barang dulu? Kalau udah turun aja ke bawah buat makan siang. Gue udah pesen makanan duluan tadi, abisnya kalian gak nyampe-nyampe.”


Liburan

Tak terasa, sudah hampir dua bulan lamanya Reksa tinggal bersama Nares, dari awal liburan hingga kini liburan panjangnya akan berakhir dan Reksa akan disibukkan kembali dengan dunia perkuliahan. Dua bulan ini juga dimanfaatkan Nares untuk lebih dekat dengan Reksa, meskipun nyatanya dari awal pun mereka tak pernah merasa canggung satu sama lain.

“Mas, minggu depan aku udah mulai kuliah lagi.” Reksa menusuk lengan Nares, memulai pembicaraan.

Saat ini, mereka tengah duduk berdampingan di sofa sambil melakukan kegiatannya masing-masing. Nares sibuk membaca jurnal di laptopnya, sementara Reksa dari tadi asik memainkan handphone-nya.

Refreshing setelah berpusing ria memikirkan judul untuk skripsi, kata Reksa pada Nares yang mengernyit melihatnya terus bermain handphone sambil selonjoran.

Tanpa mengalihkan pandangannya laptop, Nares menjawab sekenanya. “Oh, iya...”

“Ih, Mas Nares ngeselin!” Reksa sontak mengerucutkan bibirnya. “Ada apaan sih, di laptop? Lebih menarik daripada ngobrol sama aku?!”

“Iya... AW, BERCANDA!” Nares refleks berteriak ketika lengannya dicubit oleh yang lebih muda. “BERCANDA, REKSA! ASTAGA!”

“Makanya, dengerin iih!”

“Iya-iya, apa?” Nares mengusap lengannya sambil menatap Reksa kesal. “Kamu ini gak ada hormat-hormatnya sama yang lebih tua!”

“Mas juga nggak menghargai yang lebih muda!”

Nares menangkup wajah Reksa yang masih cemberut dengan satu tangan. “Iya sayang... maaf, apa tadi? Kamu mau bilang apa?” Ia sengaja menggencet kedua pipi laki-laki di depannya sehingga ekspresi Reksa mirip Mrs. Puff si guru kesayangan Spongebob.

“Mussss! Lupwusin gwak!” (Mas! Lepasin gak!) Reksa melotot garang. Sayangnya, hal ini sekarang sudah tidak mempan untuk mengancam Nares. Toh semakin melotot bukannya semakin seram, malah semakin lucu!

Merasa sudah cukup bermain-main, Nares melepaskan tangannya, yang sontak langsung digigit oleh Reksa.

“Ih, udah ah! Reksa!” Nares spontan mendorong kepala Reksa dengan tangan lainnya. Tak keras, tapi cukup membuat Reksa berhenti dan tersenyum puas.

“Udah impas!” Ujarnya sambil menunjukkan deretan gigi putihnya.

Nares mengomel, “Impas dari mananya! Saya nggak ngapa-ngapain kamu, lah kamunya gigit-gigit cubit-cubit. Mau saya laporin ke polisi? Kenapa saya jadi korban KDRT begini, coba?!” Ia menunjukkan bekas gigitan Reksa. “Mana ada air liurnya, pula!”

Reksa menjawab dengan cengengesan. Namun, melihat wajah Nares yang masih cemberut senyum cerianya perlahan memudar, berganti dengan wajah gelisah. “Mas... sakit, ya? Maaf...”

“Iya, lah!” Nares masih mengerutkan alisnya, “Ini juga bekas cubitan sepertinya akan jadi biru besok!”

Reksa terdiam, menggigit bibirnya. “Mas Nares jangan marah...”

Sadar akan perubahan nada suara Reksa, Nares langsung terpaku di tempat.

“Eh, enggak, Reksa, gak sakit.” Ia langsung merubah raut wajahnya menjadi lebih santai, tertawa dan memeluk Reksa yang masih menatapnya takut. “Cuma dicubit sama digigit kamu mah sama rasanya seperti digigit semut!” Ia mengelus rambut Reksa. “Saya tadi melebih-lebihkan, bukan beneran sakit.”

Merasa Reksa di dalam dekapannya masih terdiam, ia menepuk punggung yang lebih muda pelan, “Kamu kenapa, Reksa?” Tanyanya. Nares dapat merasakan Reksa menggeleng-gelengkan kepala.

Nares menghela napas pelan. Ia lupa kalau dibalik sosok Reksa yang selalu tampak ceria dan bahagia, sebenarnya anak ini cuma seorang penakut yang terlalu sensitif.

“Kamu tadi mau bicara tentang apa?” Ia melepaskan pelukannya, menatap Reksa yang masih menunduk. Reksa kembali menjawab dengan gelengan.

Aduh, Nares harus gimana?

“Kalo enggak, saya bales gigit kamu deh, supaya kita impas. Gimana?”

Reksa sontak mengangkat kepalanya, menatap Nares dengan mata bulat yang sedikit berair. “Hah?”

“Siniin, tangan kamu.” Ujar Nares, dengan wajah berlagak tegas dan alis bertaut, tapi berhasil membuat Reksa tersenyum kecil sambil mengulurkan tangannya. Sedetik kemudian, ekspresinya kembali berubah karena Nares ternyata tidak main-main ketika bilang akan mencubitnya.

“MAS! SAKIT!”


“Jadi, kamu mau bilang apa tadi?” Tanya Nares yang kini telah memegang laptopnya kembali. Reksa mendengus, sia-sia pertempurannya tadi kalau ujung-ujungnya ia tetap kalah sama benda persegi panjang bermerek buah apel itu.

“Aku minggu depan udah kuliah lagi, Mas Nares kapan cari kerja? Masih pengangguran, ya?” Tanyanya ceplas-ceplos. Nares langsung melotot dibuatnya.

Di satu sisi, senang karena tampaknya Reksa sudah kembali senang. Di sisi lain, agak terheran-heran dengan mulut tak terfilter Reksa. “ENAK SAJA!”

“Abisnya dua bulan ini Mas Nares nganggur di rumah, tuh.” Celetuk Reksa tanpa dosa.

“Saya lewat jalur orang dalam, jadi punya banyak privilege.” Ujar Nares. Reksa berdecak, mengira pria ini hanya main-main, padahal memang begitu kenyataannya.

“Beneran, kok, nanti waktu kamu sudah mulai kuliah lagi saya juga akan mulai kerja.”

Reksa hanya bisa menggeleng-geleng. “Kalau gitu, liburan kan tinggal seminggu lagi. Main, yuk?”

“Main? Main monopoli?”

“Iih bukan, maksud aku liburan! Refreshing! Main keluar, jalan-jalan.”

Nares menurunkan laptop dari pangkuannya, memfokuskan kedua maniknya pada Reksa. “Emangnya mau main ke mana, Sa?”

Sadar Nares mulai tertarik, mata Reksa langsung berbinar. “Ke Lembang! Kebetulan temen aku, Eli, papanya punya villa di Lembang. Terus aku sama Chandra diajakin gitu.”

“Lah, kalau begitu saya mengganggu kalian, dong?”

Reksa menggeleng heboh. “Enggak! Justru sengaja, Eli bilang makin rame makin bagus. Mas juga bisa ajakkin temen-temen Mas, siapa gitu, biar ada temennya juga.”

Nares tampak berpikir. “Tapi saya gak punya teman di Band... eh, ada, sih...” Ujarnya ragu. Mahesa kemarin sempat bilang mau pindah ke Bandung, tapi setelahnya mereka tidak pernah membahas ini lagi, sampai-sampai Nares bingung sendiri apa temannya yang satu ini hanya bercanda saja. “Saya tanya teman saya dulu, deh, buat memastikan apa dia bisa ikut. Boleh?”

Reksa mengangguk. “Mas sendiri gimana?”

“Kamu mau saya ikut?” Tanya balik Nares, membuat Reksa gelagapan sesaat. Tapi akhirnya ia kembali menganggukan kepala, “Iya! Mau Mas Nares ikut!”

“Ya sudah, kalau begitu saya ikut.” Nares tersenyum sambil mengacak rambut Reksa. “Berapa hari?”

“Tiga hari dua malam, berangkat lusa, hehe.”

“Udah direncanakan matang-matang, belum? Bagaimana perginya, apa saja jadwalnya, dan barang apa saja yang harus dibawa?”

“Eum, belum! Lagian ini cuma liburan santai aja, Mas. Paling di villa juga cuma rebahan...”

“Yah, kalau gitu, sih, saya lebih baik di rumah aja.”

“Iya-iya, ini hamba sekarang juga rencanakan jadwalnya dengan para hamba lain, baginda.” Reksa cemberut. “Yang penting, Mas Nares fix ikut, ya! Gak boleh berubah pikiran!”

“Iya, sayang...”

“JANGAN MANGGIL SAYANG SEMBARANGAN!”

“Ih, kan benar, kamu kesayangannya Jevan.”

”...”

Keesokan harinya

Reksa langsung berlari keluar begitu mendengar suara pintu pagar dibuka. Tampak Nareswara dengan jas putihnya keluar dari mobil.

Dokter muda itu tersenyum kecil melihat Reksa yang masih berbalut piyama kelonggaran, menatapnya dengan mata bengkak yang dipaksakan terbuka lebar.

“Mas Nares beneran dokter, tah?”

“Kamu kira kemarin malam saya mengarang?” Nares menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.

Reksa hanya menjawab dengan cengengesan.

Nares menepuk-nepuk kepala yang lebih muda, “Reksa sudah sarapan?”

“Udaaaah, dong. Nasi gorengnya enak banget!” Jawab Reksa sambil mengacungkan kedua jempolnya, membuat Nares tergelak.

“Syukurlah kalau kamu suka. Reksa mau mandi sekarang? Kalau mau, saya siapkan pakaiannya dulu.”

“Ada yang gak kelonggaran buat aku, gak?” Tanya Reksa, penuh harap.

”... Gak ada, Reksa. Lagian bukannya baju longgar enak, ya, adem?”

Reksa cemberut. “Ya iya, tapi kalo longgarnya cuma sedikit! Kalau kaos Mas Nares di aku gedenya sampe aku miring dikit bahunya keekspos! Giliran aku nunduk dikit satu badan langsung keliatan!”

“Itu sih kamunya yang terlalu kecil...” Nares langsung membungkam mulutnya begitu melihat pelototan Reksa. “Ya sudah, nanti tinggal pake hoodie saya aja biar aman. Dijamin, badan kamu tertutup rapat.”

“Sama aja! Nanti aku kayak make jubah! Lagian Jakarta kan panas, Mas mau aku meleleh di dalem hoodie?”

Nares menepuk jidatnya. Serba salah.


Pada akhirnya, Reksa tetap mandi dan memakai kaus kedodoran yang disodorkan oleh Nares. Baru selesai pakai baju, ia langsung dikagetkan lagi oleh yang lebih tua.

“Kamu udah siap? Kita berangkat ke Bandung sekarang, yuk, Reksa.”

“Hah?” Reksa melongo, kenapa orang yang satu ini banyak sekali kejutannya. “Tiba-tiba? Sekarang? Mas gak perlu siap-siap dulu? Apa Mas cuma nganter aku dulu?”

“Rencananya, sih, mau sekalian pindah sekarang, kalau kamu gak keberatan.”

“Lho? Mas Nares emangnya udah punya tempat tinggal di Bandung?”

Nares mengangguk. “Saya punya satu unit apartemen di Bandung.”

”... Serius?” Reksa menatap orang di depannya tak yakin.

“Iya, Reksa.”

“Gila,” Reksa spontan bertepuk tangan, “Mas Nares keren banget. Masih muda udah sesukses ini.”

”... Itu... hadiah, pemberian dari keluarga. Bukan hasil kerja keras saya...”

”...Oh...” Reksa tertawa canggung. “Anu... lahir di keluarga yang hebat juga salah satu bentuk kesuksesan, Mas, hehe. Eh iya, omong-omong, emangnya Mas udah siap kalau berangkat sekarang? Barang bawaan? Baju? Udah disiapin?” Tanya Reksa untuk mengalihkan pembicaraan.

Nares mengangguk. “Saya sudah packing tadi pagi, waktu kamu masih tidur.”

“Oh...” Reksa manggut-manggut, padahal dalam hati berseru panik.

Kalau Nares packing tadi, berarti dia lihat cara Reksa tidur yang nggak banget, dong, secara Reksa numpang tidur di kamar Nares. Mana tadi bangun-bangun ngiler banyak, lagi! Malu banget! Udah meng-hak milik kasurnya sampe si empunya terpaksa tidur di luar, eh, ngotorin seprainya juga! Rasanya Reksa mau tenggelam aja.

“Reksa?” Nares mengayunkan tangannya di depan wajah Reksa, membuat pikiran-yang-tidak-begitu-penting Reksa buyar dalam sekejap. “Gimana? Apa kamu masih mau istirahat? Atau pengen keliling Jakarta dulu?”

Reksa menggeleng. “Gak usah deh, Mas. Lebih cepet pulang lebih bagus. Tapi, pekerjaan Mas di sini, gimana?”

Nares tertawa. “Kamu ini banyak sekali khawatirnya. Tenang saja, Reksa, sudah saya urus. Pagi tadi saya ninggalin kamu yang masih tidur kan untuk resign dari rumah sakit.”

“Hoo... ya udah, deh! Ayo pulang ke Bandung!”


Ting... Ting... Ting...

“Mas, itu handphonenya bunyi terus dari tadi.” Reksa mengingatkan. “Mumpung lagi lampu merah, cek dulu, siapa tau penting.”

Nares mengangguk kecil, “Oh, ini si Mahesa.” Ujarnya pada Reksa (yang sebenarnya tidak ingin tahu).

“Yang kemarin nganterin kita, ya?”

“Iya.”

“Ooh...”


“Mas, lampunya udah ijo lagi.”

Nares spontan meletakkan handphone-nya, kembali fokus menyetir.

“Apartemen Mas Nares di mana letaknya?” Tanya Reksa, mencari topik demi memecah keheningan di antara mereka. Nares melirik Reksa yang duduk di sebelahnya, “Di Sudirman.”

“Eh?” Reksa membelalakan kedua maniknya. “Di tengah kota? Keren! Enak banget kemana-mana!”

“Iya sih, tapi percuma. Toh saya selama ini jarang ke Bandung.”

“Tapi kan setelah ini sering.” Ujar Reksa. “Mas Nares ada rencana cari kerja di sini, kah?”

Nares menjawab dengan anggukan sambil sesekali menengok GPS. “Ada, dong. Kan saya juga butuh makan. Omong-omong, ini udah sampai Bandung, rumah kamu di jalan mana?”

”... Aduh, rumah aku masih jauh banget, Mas, malah kayaknya masuk ke kabupaten. Kalau enggak, Mas antar aku sampai apartemennya Mas Nares aja, nanti aku panggil ojek online. Daripada ngikutin GPS terus nyasar ke mana-mana dulu.”

“Ya sudah, deh... Ini juga udah jam makan siang, kita makan dulu aja nanti di apartemen saya.”

“Eh? Memangnya ada bahan makanan?”

“Eh iya... gak ada...” Nares menggaruk tengkuknya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya masih memegang setir mobil.

“Ya udah deh, Mas. Gimana kalau mampir ke mall aja, ngisi perut dulu? Sekalian beli bahan makanan ke supermarket biar Mas Nares gak repot lagi nanti. Kebetulan itu di depan ada, tinggal belok kiri.”


“Enak gak?” Tanya Nares was-was begitu Reksa menenggak suap pertamanya.

“Enak, kok! Lebih enak daripada soto kemarin.” Ucap yang lebih muda, membuat Nares langsung tersenyum lebar sambil menyendokkan lebih banyak lauk dan sayur ke piring Reksa. “Makan yang banyak, kalau gitu...”

Melihat yang lebih tua tidak ada niatan untuk berhenti, Reksa buru-buru menahan lengan Nares yang masih ingin memasukkan lebih banyak makanan ke piring kecilnya, “Cukup, Mas... kebanyakan ini mah...” Reksa tertawa.

“Ya sudah deh,” Jawab Nares sambil cemberut. Mereka lalu melanjutkan sesi makan malam dengan hening. Reksa fokus melahap makanan di depannya, sementara Nares tampak memikirkan sesuatu.

“Mas, kenapa gak dimakan?” Tanya Reksa begitu menyadari orang di depannya ini sedari tadi tidak menyentuh hidangan miliknya.

“Oh... enggak, saya lagi mikir...”

“Kenapa?”

“Nanti kamu pulang saya antar aja, ya? Sudah mulai genap begini.”

“Gak usah deh, Mas. Lama kalau pake mobil, jalan ke rumah aku masih jauh banget, apalagi biasanya macet banget apalagi jam-jam segini. Nanti Mas nyampe sini lagi bisa-bisa udah tengah malem.”

“Sejauh itu?” Nares membelalak tak percaya, dibalas dengan anggukan Reksa.

“Kalau universitas kamu letaknya di kota, Sa?”

Reksa mengerutkan alisnya. “Iya, Mas. Kenapa?”

“Jauh, dong, dari rumah?”

“Iya, sih, tapi kalau pagi gak begitu kerasa karena belum macet-macet banget.”

“Dekat dari sini, nggak?”

“Hmm...” Reksa meletakkan sendoknya, tampak berpikir sebelum kembali mengangguk. “Lumayan. Jalan kaki setengah jam menit nyampe. Sebenernya, apartemen Mas letaknya di tengah kota, jadi mau ke mana juga jaraknya gak akan terlalu jauh.”

Nares sedikit menggigit bibirnya, “Kalau gitu, gimana kalau kamu tinggal di sini aja?'

“HAH?” Reksa langsung melotot, membuat nyali orang di hadapannya ciut. “Eh... itu, maksud saya... ya... kalau kamu mau, kebetulan kan di sini ada dua kamar juga.”

Reksa memandang Nares sangsi. “Yang bener, Mas? Mas mau dua empat per tujuh tinggal sama orang yang baru dikenal?”

“Saya sih, percaya sama kamu.” Ujar Nares. “Gak tahu kalau Reksa mau percaya sama saya atau belum.” Ia terdiam, memandang wajah di depannya. “Maksud saya, biar kita sama-sama lebih mudah. Satu tahun ini, saya inginnya benar-benar jadi sosok Paman yang bisa diandalkan buat kamu. Kalau tinggal serumah kan lebih mudah komunikasinya.”

Melihat Reksa belum tampak luluh, Nares menambahkan. “Benefitnya buat kamu, pertama lebih gampang ke mana-mana, terutama kampus. Bisa hemat waktu, biaya transportasi, dan energi. Kedua, alasan keamanan.” Nares bergidik ngeri mengingat berita penculikan yang ditontonnya beberapa hari lalu, “Tinggal sendiri kan rawan... Oh iya, kalau kamu sakit juga saya jadi bisa jagain.”

“Kok benefitnya banyakan yang buat aku, sih?”

“Karena itu juga termasuk ke benefit saya. Kemauan saya kan memastikan yang terbaik untuk kamu.”

Reksa menepuk jidatnya, heran. Bisa-bisanya Mas Nares se-totalitas ini cuma gara-gara surat wasiat...

Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, emang sih, Reksa untung banyak kalau pindah ke sini!

“Aku sih dengan senang hati,” Ujarnya jujur, “Asal Mas Nares jangan ngerasa terbebani.”

“Gak akan, Reksa.” Nares membalas wajah khawatir Reksa dengan senyumnya. “Saya senang kalau kamu bersedia.”

“Ya udah, tapi aku juga gak mau pindah secara gratis gini. Berasa kayak apa aja...” Reksa bergidik. “Gimana kalau tugas rumah semuanya aku aja yang kerjain?”

“Kamu semester depan sudah mulai sibuk urus skripsi, kan?”

“Ya iya sih... tapi bisalah atur waktu. Sesibuk-sibuknya gak akan sesibuk Pak Dokter, hehe...” Reksa memamerkan giginya.

“Kalau ada waktu senggang lebih baik buat istirahat atau main sama teman, Reksa...”

“Jadi gak boleh?” Reksa memanyunkan bibirnya.

Untuk kesekian kalinya pada hari ini, Nares menciut. “Senyamannya kamu saja, deh. Berarti abis ini saya antar kamu ke rumah untuk mengemasi barang bawaan lalu kita ke sini lagi, ya? Oh iya, kamu masih ada uang jajan, belum?”

“Hah?” Reksa menatap Nares bingung sambil melahap sesendok nasi. “Ada, kenapa?”

“Kalau sudah habis jangan sungkan. Bilang sama saya. Saya masih bingung lebih baik kasih kamu uang per bulan atau per ming—eh? Reksa, gak papa?” Nares langsung panik melihat Reksa yang tersedak.

“Uhuk! Uhuk!” Reksa mendorong Nares yang hendak menepuk punggungnya. “Jangan deket-deket du—uhuk!”

Ia menatap pria dewasa yang melihatnya cemas itu dengan tatapan penuh dendam. Beri tempat tinggal, beri uang jajan... nanti aja bilangnya, napa? Jangan bikin kaget terus kalau lagi makan! Reksa kan butuh waktu untuk mencerna satu-satu, baik makanannya maupun perkataan Nares yang selalu penuh kejutan.

Setelah berhenti terbatuk-batuk, Reksa mengambil alih air minum yang disodorkan Nares kepadanya. “Mas, jangan ngomong lagi kalau aku lagi makan!” Ancamnya. “Ambil barang akunya juga besok aja, ya kali kita ngomong panjang lebar ujung-ujungnya tetep berangkat ke rumah aku dan kejebak macet berjam-jam.”

”... Oke, Reksa.” Jawa Nares patuh.

“Udah deh, sekarang fokus makan dulu masnya, itu makanan di piring keburu dingin.”

Nares baru ingin menjawab ketika handphone-nya berdering. Senyumnya langsung memudar kala melihat isi pop-up notification.

“Mas, kenapa?” Tanya Reksa yang menyadari perubahan raut wajah Nares, sementara itu yang itu yang ditanya hanya menggeleng kecil. “Kamu lanjut makan dulu aja, saya balas pesan dulu.”

“Oh, oke.”


based on true story

tw // toxic / abusive relationship , cheating , drinking , trauma , mention of death , smoking , swearing , family issue , age switch (chenle & jisung)

Chenle as Nathan, Jisung as Jericho, Renjun as Dirga (Papa), Jaemin as Jendral (Papi)

Namaku Nathanael Adichandra, atau biasa dipanggil Nathan. Kata Papa, arti dari namaku itu “bulan bersinar karunia dari Tuhan”. Beliau sendiri yang memberiku nama ini. Kenapa? Konon, aku diadopsi oleh Papa pada malam hari ketika bulan purnama, dan kebetulan sekali hari itu bertepatan dengan hari kue bulan di kalender Tionghoa tahun itu.

Aku adalah anak bungsu dari keluarga kecil beranggotakan tiga orang. Ada Papa, aku, dan Jericho.

Tidak, Papi-ku masih hidup, kok. Bahkan beliau selalu memberiku uang jajan berlimpah tiap kami bertemu. Hanya saja, entah sejak kapan, aku tak lagi sudi menyebutkan namanya dalam silsilah keluarga kami. Sebut saja aku durhaka, aku tak peduli.

Papa bilang, aku membenci Papi sejak menjadi anggota keluarga mereka. Tidak hanya Papi, tapi seluruh keluarganya. Aku selalu menangis setiap Papi mencoba menggendongku, bahkan, Papa bilang, pernah Nenek dari pihak Papi datang berkunjung ke rumah kami. Baru saja beliau tiba di pagar, tahu-tahu aku sudah meraung sangat kencang. Mereka sekeluarga dibuat bingung oleh tingkahku. Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa meskipun aku dan Jericho sama-sama diadopsi, keluarga Papi sangat menyayangi Jericho, tapi agak sinis setiap melihatku.

Kenapa, ya? Jujur aku sendiri tak mengerti. Kuanggap aku memang setan kecil yang dikirim Tuhan untuk melindungi malaikat kesayangannya, Papa. Karena malaikat seperti Papa dan Jericho tidak mungkin menang melawan iblis seperti Papi.


1) Papiku yang rendah diri

Papa adalah anak sulung dari keluarga yang cukup berada. Kakek dan nenekku mengelola sebuah toko kelontong yang cukup sukses pada masanya, yang sekarang telah berubah menjadi salah satu bagian dari mall “The King”. Sebaliknya, Papi lahir di keluarga yang, bisa dibilang, sangat tidak mampu. Papa punya dua kakak dan satu adik. Namun, karena keadaan ekonominya yang tidak baik, maka adik bungsu dari Papi diberikan ke keluarga lain untuk diadopsi. Mereka baru saling mengenal belakangan ini (aku mendengarnya dari cerita Papi, beliau antusias sekali, padahal aku tak peduli). Maka aku rasa, hal inilah yang membuat Papi menjadi orang yang sangat rendah diri, atau dalam bahasa anak zaman sekarang, insecure.

Dulu, setiap kali tahun baru imlek datang, kami berempat sekeluarga pasti akan datang ke rumah nenek moyang dari pihak Papa. Meskipun sudah cukup tua, tapi bangunan itu masih cukup kokoh dan terkesan antik. Seperti pertemuan keluarga pada umumnya, selain makan malam bersama tentu saja ada ajang pamer. Om-om dan tanteku tak perlu risau menghadapi ajang ini. Mereka ada yang jadi dokter, arsitek, hingga membangun perusahaannya sendiri. Papi pun tentunya tak terlepas dari pertanyaan para orang tua, “Bagaimana pekerjaanmu? Lancar?”

Niatnya baik, tapi Papi merasa terhina karena ia bekerja sebagai buruh (aneh, padahal buruh pun pekerjaan yang baik, kan?).

Biasanya, sepulang dari sana Papi akan mengeluarkan sumpah serapah di dalam mobil, mengutuki keluarga Papa satu per satu tanpa mempedulikan kedua anaknya yang masih batita mendengar. Papa pun tak membalas apa-apa selain menutupi kupingku dan Kak Jericho.

Di tahun lainnya, aku yang masih kecil tertidur ketika kami masih makan-makan bersama. Karena merasa kasihan pada anaknya, Papa meminta izin untuk pulang duluan agar aku bisa tidur nyenyak di kasur. Begitu kami keluar dari gedung, Papi kembali memarahi Papa. Papa bilang padaku, ada satu kalimat yang beliau ingat dengan sangat jelas.

“Kamu ini malu-maluin saja!”

Papa masih bingung sampai sekarang, dimana letaknya ia memalukan Papi?


2) Papiku seorang perokok

Akhirnya, karena Papa tak mau Papi merasa rendah diri lagi di hadapan keluarganya, ia mempertaruhkan semua tabungan yang dimilikinya untuk menjadi modal keluarga kami membuat usaha. Papa, dengan segala keberaniannya, membuka sebuah toko kain kecil. Kami berempat lalu tinggal di bawah atap toko itu karena tak punya uang sisa untuk menyewa tempat tinggal.

Untungnya, mukjizat itu nyata. Perlahan-lahan, toko kami mulai ramai dengan pembeli dari berbagai penjuru. Keluarga kami berhasil membeli rumah kecil, seiring dengan aku dan Jericho yang mulai beranjak besar.

Namun, kalian tahu? Toko kain tidak seelit kedengarannya. Toko kain kami penuh dengan debu dan asap rokok para pegawai. Tidak hanya para pegawai, sih, Papiku juga seorang perokok aktif. Karena ini, Jericho jadi mengidap penyakit asma yang cukup parah hingga sekarang.

Suatu hari, aku benar-benar tidak tahan lagi dengan asap rokok yang menusuk indra penciumanku.

“Papi, bisa berhenti ngerokok, nggak?! Bau banget, tahu, mana bikin Jericho sakit!” Teriakku dari atas tumpukkan kain (aku memang senang sekali memanjat kain ketika kecil).

Papiku langsung melotot saking kagetnya. Aku masih ingat bagaimana urat-uratnya langsung tampak dengan jelas. Dia menunjuk Papa sambil marah-marah, “Ini anak didikanmu? Masih kecil sudah bisa suruh-suruh orang tua!”

Papaku yang sibuk menghitung uang hanya melirik sekilas, “Nathan aja tahu merokok itu buruk, kenapa kamu gak sadar-sadar?”

Papiku sontak dibuat bungkam. Beliau mematikan rokoknya perlahan. Ya, setidaknya hari itu beliau berhenti merokok, meski hanya sehari. Kini, setiap mengingat kejadian itu, aku hanya bisa menggeleng-geleng.


3) Mie Goreng

Tidak semua kenangan tentang Papi memberikan kesan buruk bagiku, meski tak dapat dipungkiri semuanya berakhir dengan bad ending. Contohnya, yang satu ini.

Siapa yang tak suka mie instan? Apalagi mie instan kuah rasa soto? Pastinya bukan Papi, Jericho, dan aku. Namun, Papa sangat membatasi kami untuk makan mie instan di rumah.

Waktu TK, aku, Jericho, dan Papa tidur sekamar. Papa akan pindah ke kamar utama menemani Papi jika aku dan kakak sudah terlelap. Namun, seringnya malah Papa yang tertidur duluan. Biasanya, setelah Papa tertidur, Jericho akan mencolek pipiku dan kami berdua akan menyelinap keluar dari kamar tidur. Di luar, sudah ada Papi yang memasak tiga piring mie instan goreng rasa original. Lalu, kami bertiga akan makan bersama dengan rasa was-was ketahuan Papa di meja makan.

Pernah sekali Papa tiba-tiba terbangun, aku dan Jericho langsung menyembunyikan mie kami di dalam lemari yang jarang dibuka. Eh, kami kelupaan. Ketika ditemukan dua bulan kemudian, mie itu sudah tidak layak dikonsumsi lagi.

Sayang sekali…

Kebiasaan buruk ini berakhir ketika suatu hari Jericho mengeluh sakit perut. Dia muntah-muntah tak henti di kamar mandi. Papa langsung membangunkan Papi tengah malam itu juga, meminta Papi mengantarkan anak sulungnya ke rumah sakit. Sayangnya, Papi menolak. “Besok aja,” ujarnya sambil lanjut tidur, tak menghiraukan Papa yang mulai menangis karena panik.

Akhirnya, malam itu, Papa lah yang menyetir mobil ke rumah sakit, membawa Jericho yang sakit dan aku yang kala itu tak paham dengan situasi yang sedang terjadi.

Jangan salah paham, Papa bisa menyetir, kok! Beliau sudah menjadi supir pribadi gratis keluarganya sejak SMP. Hanya saja, sejak menikah, Papa sudah tak pernah lagi menyetir. Papa bilang, malam itu Papa kalut sekali. Papa takut menyetir di jalan yang gelap dan sepi, tapi Papa lebih takut kehilangan buah hatinya.


4) Bertengkar

Papi dan Papa hobi sekali bertengkar. Awalnya, Papa masih berusaha untuk menyembunyikan fakta ini, tapi sayangnya suara bentakan Papi bahkan lebih keras daripada radio tetangga sebelah.

Diantara sekian banyak pertengkaran yang terjadi, ada beberapa yang membekas bagiku.


Waktu aku baru naik ke kelas satu, Papa membiarkan aku dan kakak pergi ke sekolah minggu tanpa dampingannya. Di luar gerbang, ada banyak sekali penjual jajanan, dari batagor hingga teh botol.

Suatu ketika, di antara kami para anak sekolah minggu, sedang populer stiker bergambar kartun yang lucu-lucu. Aku dan Jericho pun tertarik dan membeli stiker itu. Tiba-tiba saja, kami jadi berlomba untuk membeli stiker paling banyak. Saat itu, Papi dan Papa sudah menunggu kami di parkiran. Aku dan Jericho bergantian meminta uang kepada Papa untuk membeli stiker. Selembar demi selembar kertas bernilai lima ribu rupiah itu kami tukarkan dengan stiker-stiker lucu. Tak puas, kami meminta lagi dan lagi. Entah keberapa kalinya kami bulak-balik ke mobil untuk meminta uang, akhirnya Papi murka. Ia langsung membentak kami.

Papa yang merasa kasihan tentunya membela anak-anaknya.

“Biarin aja, cuma anak kecil.”

Papi mana mau dengar? Aku dan Jericho yang ketakutan bergegas duduk manis di sebelah Papa. Mobil kami langsung melaju kencang menjauhi gereja itu. Di tengah perjalanan, Papi masih marah-marah sambil mengucapkan berbagai nama binatang. Papa yang tak tahan akhirnya berdebat. Aku sudah lupa apa saja yang mereka debatkan, tapi di tengah perjalanan, Papi sangat marah. Ia menurunkan kami bertiga di tengah jalan yang asing, meninggalkan kami dan pulang sendiri.

Aku masih ingat, Papa sedih sekali waktu itu. Matanya berkaca-kaca, tapi ia kemudian tersenyum. Hari itu kami habiskan dengan bermain di mall sebelum akhirnya Papa memesan taksi untuk pulang.

Sesampainya di rumah, kami kembali disambut oleh muka Papi yang kusut.

“DARIMANA AJA KALIAN? KENAPA GAK ANGKAT TELEPON SAYA?!”


Di dekat rumah kami ada sebuah warung yang penuh dengan snack beragam. Seperti rutinitas harian, aku dan Jericho selalu mampir untuk membeli permen atau mainan anak kecil di sana sepulang sekolah. Hari ini hari Sabtu, kami tidak berangkat ke sekolah. Tapi, Jericho bersikeras ingin membeli permen di warung. Papa tidak mengizinkan dengan alasan kami sudah terlalu banyak mengonsumsi permen minggu ini. Jericho pun langsung menangis kesal, sementara itu Papi pulang dari toko. Melihat anak sulungnya yang menangis kencang sambil berguling di lantai, ia sontak memijat dahinya.

“Ini kenapa?” Tanyanya pada pembantu kami.

Saat itu, Papa sudah masuk ke kamar utama dan mengunci pintu dari dalam begitu melihat Papi datang. Alasannya? Aku tak tahu. Mungkin mereka bertengkar sehari sebelumnya dan belum berbaikan.

“Ini, Den Jericho pengen jajan permen, Pak. Tapi Pak Dirga gak izinin.”

“DIRGA? KELUAR KAMU!”

“Pi, kenapa sih? Emang Jericho udah kebanyakan jajan permen, kok!” Kali ini aku yang membuka suara. “JANGAN TERIAK SAMA PAPA!”

“Iya-iya… maaf… Dirga, keluar dulu?” Papi menurunkan suaranya sambil menatap pintu yang tertutup rapat itu.

“GAK AKAN!” Balas Papa dari dalam kamar.

“Keluar dulu ya, sayang?”

“GAK, KAMU PERGI!”

Papi menoleh kepada pembantu kami “Mbak, bawa anak-anak keluar dulu.” Ia memberikan selembar lima puluh ribu. Jericho yang sudah berhenti menangis sejak tadi menatapnya dengan kedua mata yang membulat. “Boleh jajan, Pi?” Tanyanya polos.

“Boleh.”

“Aku mau di sini aja.” Ujarku. “Gak kepengen jajan!”

Papi langsung menatapku tajam. “Ikut aja. Temenin Kakak kamu.”

“Tapi Papa?”

“Gapapa. Nanti Papi ajak Papa ngomong. Gak akan marah.”

Aku akhirnya mengangguk karena takut dipelototi Papi, mengikuti langkah Mbak Sinta dan Jericho yang sudah lebih dulu berjalan keluar rumah.

...

Kalian tebak?

Hal ini berhasil menjadi salah satu penyesalan terbesarku hingga saat ini.

Kami bertiga, aku, Jericho, dan Mbak Sinta hanya pergi kurang dari lima belas menit. Hanya sebentar, kan? Sebentar sekali sampai aku tak mengira tak akan terjadi apa-apa di jangka waktu sependek itu.

Begitu kami pulang, pemandangan yang kulihat adalah Papa yang menyambut kami dengan senyum manisnya, tapi wajahnya putih pucat seperti orang mati. Pipi manisnya penuh dengan bekas air mata. Papi sendiri sudah tak tampak.

Besoknya, ketika menjemputku dari sekolah, Papa bertanya, “Nathan, kenapa kamu gak bilang-bilang ke Papa kalau kalian pergi?”

“Eh?” Aku menoleh padanya. “Papi yang suruh aku pergi. Aku udah nolak, tapi Papi agak maksa… jadi aku takut.”

“Iya, tapi kenapa kamu gak bilang dulu sama Papa?”

Aku terdiam. “Maaf, Pa.”

Papa meneguk air di botol minumnya sebelum kembali menengok padaku. “Lain kali, jangan begitu ya, sayang. Papa kemarin hampir mati.”

Aku membelalakan mata bingung, meminta penjelasan.

“Papi kemarin mau bunuh Papa. Papa kira kalian masih ada di luar, jadi Papa buka kunci kamar. Tahu-tahu, Papi masuk dan langsung mencekik leher Papa.” Ia mulai sesenggukan. “Papa berontak, tapi cekikannya semakin kencang. Hingga akhirnya Papa rasa Papa beneran akan mati, baru dia lepas. Dia lepas cekikannya ketika Papa sudah tidak bisa berontak lagi. Nyawa Papa tinggal setengah, Nathan.”

Hari itu adalah hari pertama aku berharap Papi bisa pergi dari kehidupanku dan Papa. Selamanya.

Ada pepatah, selingkuh hanya dapat dilakukan 0 kali atau berkali-kali, begitu pun dengan KDRT. Kini aku percaya. Selang beberapa minggu kemudian, Papi kembali melakukan hal yang sama kepada Papa ketika aku tak berada di rumah. Kali ini dengan dua orang saksi mata. Mbak Sinta dan Jericho yang hanya memandang tanpa menolong.

Aku ingat, Papa bertanya pada Jericho setelahnya. “Kenapa kamu gak tolongin Papa?”

Kakakku yang satu itu hanya menunduk, “Takut, Pa. Maaf.”


5) Papaku yang pemaaf

Aku kira Papi sudah sangat buruk sampai beliau tidak bisa menjadi lebih buruk lagi. Nyatanya, aku salah. Hari itu seperti biasa aku dijemput oleh Papa sepulang sekolah. Semuanya berjalan normal, hingga Papa tiba-tiba meminggirkan mobilnya. Aku menatap Papa penuh tanda tanya, sementara yang ditatap menurunkan kaca jendelanya, berteriak pada seseorang yang tengah berjalan di bawah teriknya matahari. “RIDA! RIDA!”

Aneh sekali. Perempuan yang Papa panggil sempat menoleh ke arah kami, tapi bukannya berhenti, dia malah mempercepat langkahnya. Tapi, tentu saja langkah kaki orang akan kalah cepat dengan mesin beroda empat, bukan?

“Rida! Ini saya, Dirga. Kamu ingat?”

Perempuan itu terpaksa menoleh pada Papa. “Eh… iya, Pak.”

“Itu anakmu?” Tanya Papa, melirik bayi yang digendong oleh perempuan itu.

Kulihat raut wajahnya langsung berubah takut, “I-iya, Pak.”

“Kenapa ini? Kalian mau kemana? Saya antar.”

“G-gak usah, Pak. Terima kasih.”

“Kasihan itu bayi kamu kena terik matahari.”

“Beneran gak usah, Pak.” Wanita itu menatap Papa gelisah.

Papa menghela napas. “Rida, saya gak akan jahatin kamu. Saya gak berniat apa-apa.”

Setelah Papa membujuknya, wanita itu pun duduk di jok belakang kami. Papaku lah yang membuka pembicaraan. “Kamu mau kemana?”

“Rumah sakit, Pak.”

“Eh, itu anaknya sakit, ya?”

“Iya… demam…”

“Aduh…” Papa menghela napas, “Lagi musim kayak gini emang gampang bikin demam. Omong-omong, kamu udah menikah?”

“Iya… saya sudah nikah sama pacar saya dari kampung…”

“... Bagus deh, jangan gangguin rumah tangga orang lagi ya, Rida. Saya rasa kamu sekarang udah jadi orang tua, udah punya pasangan juga. Kamu… ngerti kan perasaan saya?”

Kulihat wanita itu mulai sesenggukan sambil memeluk bayinya.

“Iya, maaf, Pak… saya mohon ampun…”

Papa tidak menjawab. Untuk sementara, mobil kami hanya diisi dengan suara tangisan bayi yang terbangun dan ibunya.

Sesampainya di rumah sakit, Papa mengeluarkan dompet dari tasnya, memberikan sejumlah uang berwarna merah kepada perempuan itu. “Ini, buat anak kamu untuk berobat.”

“Eh, Pak… gak usah…”

“Ambil aja. Saya bukan kasih buat kamu. Ini buat dedek bayi supaya bisa cepat sehat lagi.”

Air mata kembali menghiasi wajah perempuan muda itu.

Waktu itu, aku tak paham apa-apa. Bingung juga, mengapa peristiwa itu terus melekat di dalam pikiranku. Untuk sekarang sih, aku sudah seratus persen paham tentang apa yang terjadi.


6) Cerai

Ketika aku duduk di bangku kelas 2 SD, Papi punya hobi baru. Kurasa dia diperkenalkan dengan alkohol oleh teman-temannya. Entah sejak kapan, Papi selalu pulang larut malam dengan wajah yang merah sekali. Ia akan berbicara yang tak jelas, tak dapat kumengerti, lalu dibopong Papa masuk ke kamar. Kurasa keadaan ini berlanjut sampai empat bulan lamanya, hingga suatu hari Papi hendak kembali memukul Papa saat mabuk. Papa langsung membawa aku dan Jericho kabur dari rumah. Kami kabur menuju rumah Nenek.

Aku ingat, Papa menangis kencang sekali. “Sayang, Papa udah gak kuat…” Ujarnya padaku. Ia memelukku erat, berusaha mencari kehangatan. Aku ikut menangis, “Pa, Nathan juga gak kuat lagi. Nathan gak suka sama Papi.”

Kurasa itulah yang membuatnya memutuskan untuk cerai. Papa bertahan untuk kami anak-anaknya, Papa juga memilih menyerah demi kebaikan kami, orang asing yang beruntung menjadi anak adopsinya.

Kalian tahu? Aku gembira sekali mendengar keputusannya. Rasanya seperti terbebas dari neraka. Papa akhirnya bercerai dengan Papi tepat ketika aku naik ke kelas tiga, sementara Jericho naik ke bangku kelas lima. Berbeda denganku yang menyambut berita ini dengan sukacita, Jericho tampak murung, sama seperti Papa yang mengunci dirinya di kamar selama dua hari.

“Kamu gak suka Papi Papa cerai?” Tanyaku suatu hari, ketika Papa sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk kami.

Ia mengerucutkan bibirnya. “Gak tau. Aku tau Papi jahat… tapi aku sayang sama Papi. Kamu gak sayang, emangnya?”

Aku menatap langit-langit kamar. “Enggak, tuh.”


7) Akhir

Balik ke masa sekarang, kini aku sudah berusia tujuh belas tahun. Sudah dapat KTP, sudah dapat mengendarai kendaraan bermotor. Setelah Papa dan Papi bercerai, Papa menyerahkan semua harta miliknya pada Papi dengan syarat hak asuh anak-anak diambil olehnya.

Papi tentunya setuju dengan senang hati. Beliau kini sudah menjadi orang sukses dengan rekening berisi ratusan milyar (jangan sepelekan usaha dagang kain, keuntungannya benar-benar besar). Sayangnya, semua harta itu dibayar olehnya dengan kesehatan. Tanpa adanya Papa yang mengatur pola hidup Papi, tentu ia kacau. Kudengar kini beliau mengidap belasan penyakit di setiap organ di dalam tubuhnya.

Papa sendiri? Papa tetap menjadi orang tua kebanggaanku. Dua tahun yang lalu, Papa memutuskan untuk kembali menimba ilmu di perguruan tinggi. Kini ia berstatus pelajar, sama denganku dan Jericho.

Kurasa, kami sangat bahagia. Hanya saja, ada satu hal yang sangat mengganggu pikiranku akhir-akhir ini.

...

Jericho, kepala keluarga kami, anak sulung kebanggaan Papa, perangainya semakin mirip dengan Jendral Aditya.

Tak apa. Kalau suatu saat Jericho menjadi orang brengsek, aku yang kini sudah besar akan selalu siap untuk melindungi Papa.