cakeslita

Happiness

Aubree berbaring diatas kasurnya sembari memikirkan pakaian apa yang harus ia pakai untuk hang out sore nanti. Karena ini kali pertamanya, dia ingin meninggalkan kesan yang positif dan menyenangkan.

Gadis itu mulai bangun dari tidurnya, kemudian membuka lemari di hadapannya.

Dia tidak ingin memakai dress yang terlalu terang atau mencolok, tapi Aubree hanya melihat baju dan dress dengan warna hitam atau putih.

Aubree menghelas napas, “Huh, masa gue harus pake *black dress *ini? Keliatan mau ke kuburan ngga sih?” tanyanya sembari berkaca.

Butuh cukup waktu yang terbilang tidak sebentar, Aubree akhirnya memilih mengenakan black top dan blue jeans.

I need to keep it simple,” kata Aubree.

Setelah selesai mandi dan bersiap-siap, agar tak tampak terlalu pucat karena dia tidak memakai make up, Aubree mengoleskan sedikit lip gloss di bibir cantiknya.

Done,”

Dia menuruni anak tangga satu per satu, di dengarnya suara klakson mobil dari luar.

dengan segera Aubree berlari kecil ke depan gerbang.

Kael membuka kaca mobil, “Masuk,”

Aubree membuka pintu belakang, namun Kael menyalakan klakson lagi.

“Loh, kenapa El?”

“Lo mau duduk sama orang gila?”

“Mana? Ngga ada,”

“Bego, duduk di depan.” perintah Kael yang langsung di patuhi oleh gadis cantik itu.

Sementara itu, ketiga manusia di kursi belakang sibuk menertawai kedua insan yang menurut mereka sangat lucu.

Kael menjalankan mobil secara tiba-tiba sehingga membuat ketiga cowok itu terkejut hingga hampir terjungkal ke depan.

“ANJIR,” pekik Lian.

Dengan refleks Ian berkata, “ASU! kaget bego,”

“ASTAGFIRULLAH, gue kira mau mati.” timpal Marcell.

Di sisi lain, satu-satunya gadis di antara mereka terlihat sangat terhibur oleh respons mereka saat terkejut. Kael melirik dari kaca, kemudian tersenyum miring.

Aubree menoleh ke belakang, “Eh, gue belum kenalan secara langsung kan sama kalian?”

“Waduh, sini neng, gue Ian, cowok tertampan di antara cowok-cowok tampan ini,” Hainan mengulurkan tangannya dengan bangga.

Gadis itu menerima dengan sangat baik hari, “Hoksi! kita harus sering ngobrol bareng nih, Yan!”

Aubree melepas tangannya, beralih ke Lian.

“Hai, Lian! Gue ngga tau kita satu sekolah lagi, haha. But nice to meet you again! Lo masih ganteng aja dari dulu,”

“WOWWWW!” teriak Ian dan Marcell bersamaan, tidak percaya.

Marcell menepuk keras pundak Lian, “Lo kok ngga pernah cerita, anjing.”

“Sialan lo ya,” lanjut Ian.

“Lo aja ngga nanya bego!” jawab Lian sambil menepuk pundak mereka.

“Wah.... gue kaget,” heran Aubree.

“Gue kan udah bilang mereka ngga waras,” sahut Kael yang dari tadi hanya diam menyimak.

“Jiakh, bilang aja lo iri, ya ngga?” goda Lian.

“Mana ada yang mau iri sama orang kayak lo, ngaca.” balas Kael pedas.

Ian mendengus, “Yee, santai kali.”

Tak terasa mereka sudah sampai di Central Park Mall. Setelah selesai parkir, mereka berlima memasuki mall bersama-sama.

Hadirnya mereka benar-benar mengundang perhatian banyak mata. Semua orang seakan tertarik oleh pesona mereka yang begitu menakjubkan. Bak bertemu artis ditengah jalan secara tidak terduga, lucky.

“Ceweknya cantik banget,”

“Mimpi ngga sih liat orang setampan mereka?”

“Sebelah kanan paling ganteng!”

“Ah, andai gue cewek itu.”

Berbagai komentar mengelilingi setiap langkah mereka.

“Baru pertama kali gue ke mall banyak orang yang liatin anjirr,” bisik Ian.

Lian menjitak kepala Ian, “Mereka bukan liatin lo bego! Kepedean,”

Ian mengelus kepalanya, dia menatap Lian dengan penuh dendam.

“Sirik aja lo!”

Marcell membungkam mulut Ian dan berbisik, “Jangan bikin malu atau gue lempar lo dari lantai dua?”

Lelaki itu menepuk-nepuk tangan Marcell, mencoba untuk melepaskannya.

“Heh lepawsyn toungan lo!” teriak Ian tidak jelas.

Marcell masih belum melepaskan tanggannya, berlagak seakan tidak mendengar apapun.

Tentu saja Ian tidak akan menyerah, asal kalian tahu, dia punya ribuan ide di dalam otaknya yang dangkal itu.

Marcell menendang bokong Ian tiba-tiba, sedangkan sang korban tampak baik-baik saja, bahkan sampai tertawa terbahak-bahak.

“Mampus, makanya jangan sok iye sama mas Ian!” sinisnya.

“Sialan, bau jigong anjing!” protes Marcell.

Lian berakting memuntahkan sesuatu, dia sangat jijik melihat banyaknya air liur di tangan Marcell.

“Jangan deket-deket gue! Parfum gue mahal,” Lian mencoba berwaspada.

“Diem,”

Satu kata yang mampu membuat mulut mereka langsung membisu kaku.

“Lanjutin aja, lumayan hiburan gratis. Liat tuh anak kecil pada ketawa,” sambung Aubree tertawa kecil.

Mereka memasuki area funworld yang rata-rata di penuhi oleh anak-anak kecil. Aubree tampak sangat bahagia, timing yang sangat pas!

“Kalian mau main apa?” tanya Aubree tapi tidak ada respon dari mereka.

Aubree menoleh, kosong.

Dia mencari disekelilingnya, dan ternyata mereka tengah berdebat siapa yang harus top up kartu fun world untuk mereka.

“Mbak, top up kartunya lima ya, kasih juga ke mereka berempat.”

Mendengar perkataan itu, sontak mereka kompak menoleh ke arah Aubree dengan mulut yang terbuka lebar.

Gadis itu mundur satu langkah, “Kenapa? Kok kalian liatin gue kayak gitu?” tanyanya dengan polos.

Mulut mereka semakin menganga lebar, tidak percaya.

“Boleh minta kartu kredit atau uang cash-nya kak?” Suara kasir itu membuat mereka tersadar.

Aubree membuka dompetnya dan mengeluarkan black card miliknya sendiri.

“Ini mba, silahkan.”

Mereka kembali kompak menggelengkan kepala.

“Emak gue aja ngasih uang jajan sehari lima puluh ribu anjir,” Ian-lah yang paling syok di antara mereka semua.

“Bapak gue juga ngga ngizinin, kok dia bisa-bisanya?” sahut Marcell.

“Wah, bapak dia Jokowi jangan-jangan.” timpal Lian, curiga.

Kael menonyor Lian, “Goblok! ngga ada mirip-miripnya bego.”

Setelah selesai melakukan pembayaran, Aubree bingung memilih game apa yang akan ia mainkan. Jujur, ia tidak pandai dalam hal seperti ini.

Kael, Ian, Lian, dan Marcell mengambil kartu masing-masing lalu berlari menuju permainan yang mereka pilih.

Aubree hanya terkekeh menyaksikan keseruan persahabatan mereka. Dia sangat iri, Aubree tidak pernah sebahagia itu saat hang out bersama Sassy dan Serena yang suka berbelanja di bandingkan bermain-main.

Mereka mencoba semua permainan yang ada, mulai dari basket, bumper car, claw machine, hingga danz base.

Mereka berlima sangat menikmati waktu bermain sampai-sampai tidak sadar bulan purnama sudah menyapa. Sesudah melakukan danz base battle sebagai permainan terakhir, saatnya memutuskan untuk pulang.

Karena Lian kalah, besok dia harus mentraktir mereka berempat.

“Seru banget ngga sih? Lain kali kita harus kesini lagi! Atau mau ke Dufan sekalian? Gue yang bayarin!” seru Aubree yang masih bersemangat.

“Ahhh, gue suka banget sama yang namanya gratisan.” Ian memberikan flying kiss kepada Aubree kemudian ia langsung membuang muka saat mendapati Kael yang menatapnya tajam.

“Gue juga,”

“Apalagi gue,”

“Syukur deh, gue ikutan seneng! Thank you ya udah mau seru-seruan bareng gue,” ucap Aubree.

No needed, bri.” jawab Marcell.

Ian mengangguk, “Hooh, setuju!”

Thanks ya bri,” ujar Lian sebelum mereka masuk ke dalam mobil.

To be Continued....

meant to be

Kael melajukan motornya dengan kecepatan penuh, pikirannya tidak karuan, sudah lama sekali sejak kali terakhir dia merasa sangat resah seperti ini. Dengan keringat dingin dan air mata yang sebentar lagi akan menetes, Kael mencoba untuk tenang.

Kael mulai memasuki perumahan yang sepi juga gelap, tidak ada banyak lampu di sekitar. Hatinya semakin gundah, tanpa ia sadari dia sangat mengkhawatirkan gadis itu.

Dia bisa melihat sebuah motor berwarna hitam terjatuh dari pandangannya. Kael mematikan mesin, dan berlari ke arah Aubree.

“Ayo naik, kita ke rumah sakit sekarang!” Kael membantu Aubree berdiri.

“Nggak mau,” lirihnya.

“Nggak usah ngeyel sebelum luka lo tambah parah,” tegas Kael.

Aubree menatap mata Kael dengan hangat, dia bisa merasakan perasaan Kael yang tidak menentu, gelisah, khawatir, sedih, dan tampak memikirkan kejadian di masa lalu. Semua itu terlihat sangat jelas di mata elangnya.

“Sebenernya gue malu ngomong ini, tapi gue nggak berani di suntik. Bukan takut, nggak suka aja. Gue nggak papa, El.” jelas Aubree dengan hati-hati.

“Terus lo mau gue biarin terluka kayak gini? Gue masih manusia, punya rasa iba, Aubree.” lontar Kael dengan nada tinggi.

Jleb

Kata-kata itu mampu membuat Aubree membisu. Rasanya sebuah anak panah menusuk jantungnya. Dia pikir Kael benar-benar khawatir akan dirinya. Salah sendiri, ia terlalu berharap pada hal yang tidak pasti.

“Bri, demi kebaikan lo.”

“Gue mau pulang aja deh. Nanti gue minta mbak Ila obatin. Di rumah gue ada P3K. Gue ngga mau ngerepotin lo,” sahut Aubree menolak halus.

Kael terdengar menghembuskan napasnya dengan kasar.

“Lo kenapa sih selalu nolak saran dari gue? Ini bukan buat gue tapi buat lo, Aubree. Tinggal bilang 'iya' apa susahnya? Lo nganggep gue apa? katanya temen? Tapi sikap lo seolah-olah gue orang asing. Jangan bikin gue bingung, bri.” bentak Kael.

“Gue mencoba jadi temen yang baik buat lo, Bri.” lanjutnya.

Hujan mulai membasahi wajah cantik Aubree. Sungguh, dia sangat tidak bisa di bentak satu detik pun.

“Lo yang bikin gue bingung, El. Lo selalu nyuruh gue buat ini itu tanpa menjelaskan apa alasan di balik semua itu. Lo pikir gue bakal paham dengan sendirinya? Nggak, El. Gue nggak se-genius lo yang bisa memahami tanpa mendengar penjelasan. Tanpa lo sadari, lo sendiri yang nganggep gue angin lewat, El.” akunya.

Keduanya sama-sama terkejut oleh perkataan masing-masing, lebih tepatnya tidak menyangka.

“Sorry, harusnya dari awal gue nggak berteman sama lo. Sekarang, kita pulang dulu, gue obatin luka lo. Abis itu kita makan corndog ya?” ucapnya dengan lembut.

Aubree mengangguk setuju lalu menaiki motor Kael dengan hati-hati.

Motornya melaju pelan, membuat suasana sekitar menjadi dingin dan sunyi. Di tambah tidak ada motor dan mobil yang berlalu lalang membuat suasana sangat mendukung mereka yang tengah bergelut dengan pikirannya sendiri.

Tanpa mereka sadari, motor membawanya sampai di depan rumah Aubree. Gadis itu masih duduk santai di bangku penumpang meskipun sudah terhenti.

“Bri, mau gue bantu turun?” Suara Kael membuatnya tersadar.

“Oh, gue bisa sendiri.”

Mereka memasuki rumah dan duduk di ruang tamu. Aubree hendak berdiri, namun di tahan oleh tangan Kael.

“Mau apa? Gue ambilin,” tawarnya.

Aubree tersenyum, “Kotak P3K.”

“Dimana?”

“Lemari sebelah TV,”

“Wait,”

“Beneran deh, lo tuh susah banget buat gue pahami, kecuali lo sendiri yang cerita maksud dari semua sikap lo, El. Gue nggak mau menaruh harapan yang salah,” pikirnya.

Kael kembali dengan kotak P3K di tangannya dan mulai mengobati luka-luka Aubree dengan teliti, tak lupa ia menambahkan plester ke beberapa luka yang parah.

Aubree masih saja terkesima setiap kali melihat wajah Kael yang tampak sempurna dari angle manapun.

“Gue sadar diri kalo gue emang setampan itu,” ujarnya percaya diri.

Aubree berdecak, “Cih, masnya kepedean.”

Kael menempelkan satu plester terakhir, “Lain kali biasa aja kalo ngeliatin gue. Kalo lo jatuh hati sama gue kan susah,”

Aubree berakting seolah-olah dia akan muntah, “Sumpah ya, lo kepedean banget. Nggak akan, El. Lo bukan tipe gue,” elak Aubree.

“Iya deh, kita liat aja nanti.”

“Dih, emang kenapa kalo gue jatuh hati sama lo?” tanya Aubree.

“Ya jangan sampe aja. Gue nggak akan pernah ngerasain yang sama soalnya. Nanti yang ada lo jadi sad girl lagi,” jawab Kael dengan enteng.

Aubree tersenyum kecut, lagi-lagi dia salah menaruh harapan.

“Gue berharap apa sih sama Kael?” bingungnya dalam hati.

To be Continued..

Rooftop

Setelah mendapat pesan dari Aubree, Kael langsung bergegas menuju rooftop. Dia memang belum membalas pesan darinya, tapi Kael sudah tahu dimana gadis itu akan bersembunyi.

Kael membuka pintu rooftop dengan kasar, dia semakin terkejut melihat Aubree yang sedang duduk santai di ujung rooftop.

“Aubree!”

“Lo mau mati?” tanyanya dengan ketus.

Aubree tersenyum, “Lo khawatir ya?”

Kael memutar bola matanya malas, “Kata lo sesama temen harus peduli?”

Aubree tersenyum lagi, “Oh iya, suka lupa kalo lo temen gue.”

“Lo lupa sama gue?”

“Bukan gitu, kadang sikap lo ngga kayak temen.” jawabnya kecewa.

“Kapan?”

Aubree memilih tidak menjawab, tidak penting. Dia menepuk tempat di sebelahnya, menyuruh Kael duduk di hadapannya.

“Ngga, gue masih mau hidup lebih lama.” tolak Kael.

“HAHAHA, lo ngga bakal mati kok. Paling juga patah tulang doang.”

“Turun, gue obatin luka lo.”

Aubree menggelengkan kepalanya, “Ngga mau, gue mau di sini. Luka gue udah ngga papa,”

Kael berdecak, “Jangan ngeyel! Gue tau lo kesakitan. Makanya ngga usah sok-sokan berantem,” cemooh Kael kesal.

“Siapa yang terima kalo ada orang yang ngomongin dia perempuan ngga baik-baik, apalagi sampe di bilang pelacur, pake pelet supaya deket sama lo. Seolah-olah I don't deserve to be your friends,” curhat Aubree dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.

“Sakitnya ngga seberapa sama luka gue, el.” lanjutnya.

Kael terdiam. Tidak tahu harus merespons seperti apa. Sepertinya itu hal yang sangat serius bagi Aubree dan dia perlu berhati-hati.

tiba-tiba Aubree tertawa, “Lo ngga perlu merasa bersalah. Sepenuhnya salah gue karena gue sendiri yang pengin berteman sama lo,”

“Udah ngomongnya?”

Gadis itu tersenyum tipis, “Belum. Sampe ganti bulan belum selesai kayaknya,”

“Sekarang turun.”

“El, gue lagi menikmati ketenangan angin disini, jangan ganggu deh.”

“Luka lo perlu di obati, Aubree.” ucap Kael serius, ada nada sedikit marah di dalamnya.

“Gue kan ngga mau,” jawab Aubree enteng.

“Turun atau,”

“Atau apa?” Sela Aubree.

“Gue ngga mau nganter lo pulang,”

“Ya udah ngga papa, nanti gue pesen gojek aja.”

“Bri,”

“Apa, Kael?”

“Turun,”

“Ngga mau,”

“Turun sekarang. Nanti gue beliin corndog kesukaan lo deh, mau kan?” bujuk Kael.

“Kalo gue masih ngga mau?”

...

“KAELL!”

“TURUNIN GUE! GUE MAU MATI ANJIRR!”

“KAEL, GUE NGGA MAU MATI!”

“Diem,”

“Seriusan el, jantung gue udah lemes banget.” lirih Aubree.

Kael segera menurunkan Aubree dari pundaknya kemudian duduk di kursi yang ada. Kael jongkok di hadapannya dengan muka yang sangat khawatir.

“Lo ngga papa? Mau ke rumah sakit?” tanya Kael cemas.

Aubree tertawa keras, raut muka Kael terlihat sangat lucu.

Raut wajah lelaki itu langsung berubah, “Lo bohongin gue?”

Aubree mengangguk.

“Sialan, sini lo!”

Aubree berteriak lalu berlari dengan sangat kencang. Kael bangkit dari jongkoknya dan berlari mengejar Aubree.

“Kael gue minta maaf!”

“Ngga! sini lo!”

“Kael gue beneran minta maaf!”

“Gue ngga sengaja,”

“Jelas-jelas lo sengaja,”

Aubree berhenti, “Stop! Iya iya gue sengaja.”

Kael ikut berhenti, namun beberapa saat kemudian dia berhasil menangkap Aubree ke dalam pelukannya.

“Kena lo,”

“Kael lepasin gue,”

“Ngga, enak aja lo bohongin gue.”

“Gue minta maaf deh. lepasin ya?”

“Tidak semudah itu,”

“Gue bikinin mango yogurt mau?”

Kael langsung melepas pelukannya, “Deal! nanti malem gue tunggu,”

Mereka berdua saling memandang, kemudian tertawa bersama.

Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang marah melihat kedekatan mereka berdua di ambang pintu.

To be Continued..

Unexpected

Aubree menekan tombol bel beberapa kali namun tetap tidak ada respons. Sepertinya memang dia sedang bermain guitar di kamarnya. Gadis itu membuka pintu pelan-pelan, setelah itu tidak lupa ditutup kembali. Aubree berjalan dengan langkah yang hati-hati, takut.

Sepertinya belum banyak barang yang ditata, masih terbungkus rapi didalam kardus. Setelah menaiki anak tangga, Aubree melihat ada dua ruangan dilantai atas.

Mendengar suara guitar, dia rasa kamarnya ada dipojok ruangan. Aubree mendekat, mengetuk pintu.

“Permisi, gue tetangga sebelah, mau ngasih bingkisan. Kata bapak lo suruh langsung masuk,” jelasnya.

Suara gitarnya terdengar berhenti, sepertinya dia mendekati pintu. Aubree menunggu sembari melihat video-video tiktok yang sedang viral.

Dia membuka pintu, “Ada apa?”

“Nih, bingkisan dari emak gue.” jawabnya dengan mata yang tetap fokus pada ponselnya.

Aubree hendak menoleh, tapi dia dibuat tertawa dengan boxer minions yang dia pakai.

“HAHAHA, lo udah gede kok masih pake boxer kartun sih.” gelak tawa Aubree memenuhi sudut ruangan yang sepi.

Dia hanya diam. Memandang Aubree yang tengah tertawa.

“Aneh,” batinnya.

Aubree berhenti tertawa lalu beralih melihat wajahnya, jujur, dia sangat penasaran.

“LOH?” ucap mereka bersamaan.

Keduanya sama-sama terkejut, tidak menyangka akan bertemu lagi di situasi yang memalukan seperti ini. Aubree dengan celana pendeknya, dan dia dengan boxer kartunnya.

“Lo ngapain disini?” tanya Kael dengan wajahnya yang super serius.

Yap, dia Kael! Laki-laki yang membuat Aubree dihukum tadi pagi. Siapa yang menyangka mereka akan tinggal bersebelahan, dan yang lebih mengejutkan adalah fakta bahwa Kael masih mengenakan boxer kartun, lucu bukan?

“Gue mau ngasih bingkisan buat keluarga lo, Kael.” jawab Aubree sedikit awkward.

“Makasih,” Kael mengambil paper bag dari tangan Aubree kemudian kembali menutup pintu, malu.

Gadis cantik itu terlihat shock, antara percaya dan tidak percaya. Sepertinya tidak mungkin orang dengan kepribadian seperti Kael ternyata berbeda 180° ketika di rumah.

“Kael, tunggu dulu.” Aubree membuka pintu kamarnya dan langsung menyelonong masuk.

Dia meneliti seluruh badannya, siapa tahu dia bukan Kael yang ia kenal.

Kael menutupi matanya, merasa tidak nyaman.

“Eh, kenapa?” bingung Aubree.

“Lo ngga sopan,” jawabnya singkat.

Aubree melepas tangan Kael, “Ini beneran lo? Atau hantu?”

“Iya gue hantu.”

Plaakk!

Aubree menampar pipi Kael dengan keras, spontan, lelaki itu meringis kesakitan.

“Beneran lo? Kok lo bisa kayak gini?” lagi-lagi Aubree dibuat heran.

“Diem. Banyak omong lo,”

“Gimana klo seisi sekolah tau kalo penampilan lo dirumah kayak gini? Seru ngga sih?” Dia membayang kan betapa memalukannya wajah Kael saat seluruh penjuru sekolah mengetahuinya.

Don't you dare, Aubree.” tegas Kael seraya menatapnya tajam, siap untuk menembak target.

“AAAAAA!” Aubree berteriak kencang lalu berlari keluar dari kamar Kael.

“Sial,” decak Kael.

To be Continued...

Modus

Setelah mendapatkan izin dari Pak Candra dengan dalih sakit kepala, Aubree keluar kelas dengan wajah yang berbinar-binar. Dia sedikit bingung karena Kael dengan mudahnya mengajak bertemu. Ah, sudahlah.

“kok bisa sih gue nggak sadar Kael sekolah disini, kelas sebelah lagi. Kayaknya mata gue bermasalah deh,” pikirnya.

Tidak butuh waktu yang terlalu lama, Aubree telah sampai di depan pintu ruang bk. Gadis itu membuka pintu dengan hati-hati, kemudian memberi salam kepada Bu Ara.

“Permisi bu, Kael-nya dimana ya? Tadi saya disuruh kesini,” tanya Aubree dengan sopan.

“Kael sudah pergi. Sekarang isi data kamu disini,” perintah Bu Ara tegas.

“Buat apa, bu?”

“Bukannya kamu bermain hp selama pembelajaran berlangsung? Cepat isi atau hukuman kamu saya tambah!”

Aubree berdecak kesal.

“Sialan.” batinnya dalam hati.

“Kok diam saja? Cepat isi!”

“Sabar napa bu,” Aubree duduk kemudian mulai mengisi dengan teliti.

“Hukuman saya apa, bu?” tanya Aubree ingin tahu.

“Membersihkan sampah yang ada dirooftop,” jelasnya yang membuat gadis berambut panjang itu menganga lebar.

“Serius bu? Saya ngga mau, bersihin taman belakang aja gimana?” pinta Aubree.

“Kamu nawar?”

Aubree menghela napas kasar, pasrah. Dia meninggalkan ruang bk dengan berat hati. For the first time in her life, dia dihukum sampe segininya.

Aubree menaiki tangga dengan malas, kakinya sudah terasa sangat kaku. Dia membuka pintu rooftop, terlihat begitu banyak sampah kaleng. Melihatnya saja sudah membuatnya sangat pusing.

Gadis itu mulai mengambil satu per satu sampah dan dimasukkannya ke dalam tong sampah.

“Kael sialan, dia yang licik atau gue yang bego sih?” teriaknya marah.

“Lo yang bego.” sahut seseorang.

Aubree menoleh, dilihatnya sosok laki-laki berbadan tinggi juga jangan lupakan parasnya yang seperti dewa. Aubree benar-benar terkesima dengan wajahnya.

Beberapa detik berlalu, Aubree tersadar.

“Lo sengaja kan? Salah gue apa sih? Gue kan cuma mau ngajak kenalan,”

Kael terdiam, “Salah lo mudah dibohongin. Lain kali jadi orang jangan gampangan,”

“Sembarangan ya lo kalo ngomong. Gue mana ngerti lo mau modus,” protes Aubree tak terima.

“Mendingan lo lanjutin kerjaan lo. Ngomel mulu kayak emak-emak,” sindir Kael seraya meninggalkan gadis itu.

“SIALAN LO! AWAS AJA!”

To Be Continued