the way he sleeps
[#yamachine, fluff semoga, domestic setting, bahasa indonesia.]
Orang-orang selalu mengatakan Yamada terlihat menenangkan dalam tidurnya. Tentu dia mendengarnya lebih banyak dari komentar penggemar di media sosial, lalu dari Yuto yang tak pernah bosan memotret Yamada ketika tidur, atau dari Yabu yang sedang sedekah pujian.
Bagi Chinen, tidak ada yang menenangkan dari Yamada yang tertidur.
Sesekali mungkin Chinen dapat mengakuinya. Ketika dia mendapati Yamada tidak sengaja tertidur di sofa mereka, terlalu lelah untuk melangkah lebih ke kamar, dia akan menghampirinya. Wajahnya terlihat tenang, Chinen akan mengerti perasaan Yuto yang gemas melihat Yamada, napasnya teratur, terkadang bibirnya terbuka dan menggumamkan sesuatu tanpa sadar.
Atau kali lain ketika Chinen mendapatinya beristirahat sejenak setelah bermain game terlalu lama. Yamada yang terlalu lelah akan tidur lebih dalam, lebih diam, lebih tidak macam-macam.
Tidak seperti sekarang.
“Ryo,” bisik Chinen, tidak ingin membuka matanya yang berat, “astaga.”
Chinen menggeser tubuhnya, menjauh dari area yang dapat dijangkau oleh kaki Yamada. Tempat tidur mereka cukup luas, tapi bukan berarti tidak sempit bagi Chinen yang harus meringsut ke sana kemari. Sebenarnya ini sudah terjadi sejak lama. Sejak pertama kali mereka tidur di kasur yang sama, Chinen akhirnya tahu rahasia Yamada yang tidak diketahui orang lain.
Yamada suka menendang dalam tidurnya.
Bukan hanya menendang seperti orang-orang pada umumnya. Chinen tahu orang lain yang juga menendang dalam tidur sesekali seperti Daiki atau Yuto. Tendangan mereka tidak terlalu bertenaga layaknya orang tidak sadar, tidak punya sasaran jelas juga, dan hanya terjadi sekali dalam tidur.
Berbeda dengan Yamada yang bisa berkali-kali.
Chinen awalnya diam saja. Dia pikir, hal ini tidak menjadi kebiasaan yang harus membuatnya beradaptasi dalam tidurnya. Dia kira, Yamada akan sadar sendiri akan kelakuannya dan berubah. Nyatanya, setelah bertahun-tahun bersama, kekasihnya itu masih begitu-begitu saja.
“Ryosuke,” Chinen sedikit mengeraskan suaranya walau malas, ingin kembali tidur secepat mungkin, “jangan menendang!”
Biasanya seruannya ini berhasil. Mungkin alam bawah sadar Yamada mendengarnya dan memerintahkan motoriknya untuk berhenti. Chinen juga tidak mengerti dan tidak mau tahu lebih lanjut.
Sayangnya, kali ini Yamada masih terus berulah.
Dalam hati, Chinen jadi kesal juga. Dia ingat siang tadi Yamada menertawakan Hikaru yang bergerak-gerak dalam tidurnya sampai terjatuh sendiri di sofa ruang tunggu. Chinen sendiri ikut tertawa, sih, tapi dia menertawakan karena dia tidak melakukan hal yang serupa. Membayangkan tawa Yamada tadi siang, dia merasa Yamada tidak tahu diri.
Beberapa menit kemudian, Yamada berhenti. Napasnya masih teratur, tidak ada tanda-tanda kekasihnya itu bangun. Chinen menoleh, membuka matanya sedikit untuk mengintip, lalu setelah dia merasa yakin Yamada akan diam, dia kembali mencari posisi yang nyaman.
Sampai akhirnya dia merasakan kaki Yamada menyentuh punggungnya lagi.
“Ryosuke!”
Tidak tahan, Chinen berdiri dari tidurnya, satu tangan menarik kaki Yamada yang baru saja menendangnya. Tentu si pemilik kaki itu bangun, terkejut, mengaduh ketika badannya dijatuhkan ke lantai dengan satu tarikan dari kakinya.
Mengedipkan kedua mata beberapa kali, dia menatap sosok Chinen yang berdiri di depannya, kedua tangan berkacak pinggang, dan tatapannya tidak manis. Tidak mengerti kesalahannya, Yamada merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, hatinya terasa janggal.
“I-ini,” suara Yamada serak, “a-aku, ke—”
Ucapannya dipotong dengan bantal yang dilempar ke wajahnya. Semakin tidak paham dengan situasi, dia memeluk bantal itu, menariknya dari wajah, hendak berbicara kembali. Sayangnya, kesempatan untuk membuka mulut kembali dibatalkan karena kini guling dilempar kembali ke kepalanya, cukup keras sampai dia mengaduh.
“Keluar.”
Yamada memeluk guling yang diberikan padanya, merasa pendengarannya bermasalah karena ... tidak mungkin Chinen menyuruhnya keluar, kan?
“Maksudnya?”
“Keluar.” Chinen tidak menoleh padanya, hanya kembali naik ke kasur dan memasukkan dirinya ke dalam selimut, membelakangi Yamada yang masih menatapnya heran.
“Tapi aku—”
“Keluar.”
Suara Chinen tidak meninggi. Tidak jauh berbeda intonasinya dengan kata sebelumnya. Namun Yamada dapat merasakan bulu kuduknya berdiri. Tidak lagi berpikir dapat berargumen, Yamada menghela napas panjang, melangkahkan kakinya keluar dari kamar dan mencari posisi yang enak di atas sofa.
Chinen mendengar suara pintu tertutup kembali. Senyumnya muncul di wajah, mencoba menutup matanya sembari mencari kenyamanan di atas kasur sendiri. Setidaknya kini dia punya satu malam tidur dengan nyenyak.