hiirei

yutoyama

[#yutoyama, ficlet, bahasa indonesia.]

Yamada memutar kedua bola matanya ketika mendapati Yuto berdiri di hadapannya.

Lelaki tinggi itu memberikannya senyuman lebar, tangan terbentang, menutup akses jalan untuk Yamada. Sengaja. Kini, dia tidak bisa lagi mengabaikan presensi lelaki menyebalkan itu.

“Minggir,” ucap Yamada ketus, menepuk buku yang dia pegang ke badan Yuto.

“Tidak sampai kau menjawab pertanyaanku,” Yuto mengabaikan tepukan lainnya yang datang pada badannya, “memangnya kenapa kamu tidak mau bersamaku andai kamu tidak menemukan pasangan setelah umur 40?”

“Memangnya kenapa aku tidak bisa menemukan pasangan sampai umur 40?” jawabnya sebal, tidak terlalu ingin menatap Yuto karena dia harus mendongak, tapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak memelototinya. “Aku kurang menarik? Kurang baik? Kurang apa?”

Mendengar jawaban Yamada, Yuto agak terkejut. Sebenarnya, pertanyaan yang dia lontarkan hanya sebatas perandaian. Dia mendengar pembicaraan Yabu dan Hikaru sebelumnya. Mereka sedang membahas kemungkinan apabila suatu hari nanti mereka tidak dapat menemukan pasangan yang tepat, mereka harus menemukan “teman janji” yang bisa dijadikan alternatif terakhir sebagai pasangan.

“Mungkin Yabu,” Hikaru berujar dengan canda, “kalau kita tidak menemukan orang yang tepat hingga umur 40, kamu harus tinggal denganku saja dan kita tua bersama.”

Yabu sempat terlihat tidak suka dengan pernyataan Hikaru, jelas bercanda juga, karena Yuto sendiri yakin sebenarnya mereka sudah pas untuk satu sama lain. Yabu akhirnya mengiyakan, dengan menimpali bahwa tidak mungkin juga dia tidak bisa menemukan orang yang tepat. Hikaru hanya mengiyakan, lalu berlanjut merencanakan membangun rumah untuk mereka tua nanti.

Pembicaraan itu membuat Yuto berpikir. Kalau dia sendiri yang dihadapi oleh situasi seperti itu, siapa yang akan dia jadikan “teman janji”? Kalau dia tidak bisa menemukan pasangan nantinya, siapa yang bisa dia jadikan andalan untuk tinggal dan tua bersama?

Yuto memutuskan akan mengajak orang yang dia temui pertama kali untuk hal tersebut. Untungnya (atau mungkin sayangnya), matanya bertemu dengan pandangan Yamada ketika dia masuk ke ruang tunggu. Hanya Yamada yang berada di sana.

Jadilah, pembicaraan ini dimulai.

“Bukan kurang apa-apa,” Yuto menghela napas panjang, “kan cuma perandaian.”

“Jadi dalam perandaian pun aku seburuk itu?”

Yuto sedikit sebal. Padahal dia cuma ingin punya pembicaraan seperti Yabu dan Hikaru tadi. Tidak usah serius-serius amat, tapi juga tidak sepenuhnya bercanda.

“Beri aku satu alasan saja kenapa kamu tidak mau bersamaku,” ucap Yuto, tidak menjawab pertanyaan Yamada sebelumnya.

“Hanya satu? Aku bisa membuatkan buku untukmu tentang hal itu.”

“Satu saja.”

“Terlalu berisik.”

Yuto berpikir sebentar, melipat kedua tangannya di depan dada. “Aku bisa diam kalau di rumah atau berdua saja denganmu.”

“Kau terlalu tinggi.”

“Tapi kau jadi tak perlu kursi jika harus mengambil barang di tempat tinggi.”

“Kau tak mau mengalah.”

“Kau juga sama.”

Yamada diam. Yuto juga diam. Beberapa orang berjalan melewati ruangan yang mereka tempati, tapi tidak ada yang masuk sehingga Yuto masih bisa berdiri di sana, menutupi akses keluar Yamada.

“Pokoknya tidak bisa.”

“Kenapa?”

Yamada tidak lagi menjawab, sibuk mencari celah untuknya melewati Yuto. Sama dengannya, Yuto akhirnya sibuk menghalangi Yamada, ingin lelaki itu memberikan jawaban yang jelas padanya.

Lebih cepat dari Yuto, Yamada menemukan celah antara badan lelaki itu dengan pintu keluar. Mendapati Yamada berhasil keluar dan lari, Yuto bergegas mengejar lelaki itu. Sayangnya, Yuto kehilangan jejaknya setelah berbelok beberapa kali.

Mengatur napasnya yang tidak teratur dan menyeka keringatnya, Yuto memikirkan rencana untuk menemui Yamada dan kembali membahas topik yang belum selesai tadi.

[#inoo & #yamada, the girl on the train-based au, #yabunoo + #yutoyama + #yamachine sebagai pairing] [untuk #Inoo31stbirthday]

Inoo suka memandang keduanya di pagi hari, setiap dia melewati kawasan itu dengan kereta.

Dia tidak mengenal mereka sungguhan, nama saja tidak tahu, hanya selalu melihatnya ketika kereta yang dia naiki melewati rumah mereka. Pada pagi-pagi saat dia berangkat terlalu siang, dia hanya akan melihat lelaki itu, sendiri, tetap berada di beranda lantai dua rumahnya, menatap pemandangan sekitarnya dengan senyum kecil.

Menurut Inoo, lelaki itu punya segalanya yang dia pernah miliki.

Dia juga pernah berada dalam posisi yang sama; rumah hangat yang selalu menjadi tempatnya berpulang, ketenangan dalam diri yang terpancar dari wajahnya, serta kekasih yang mencinta dan dicintanya.

Yabu, kekasihnya dulu, hampir sama tinggi dengan kekasih lelaki itu, rambut mereka sama-sama hitam dengan poni yang jatuh tepat sebelum alis mereka, senyum sama-sama lebar dan menenangkan. Mereka sama-sama akan memberi pelukan pagi, menaruh dagu mereka di atas kepala, kedua tangan tak akan dilepas sampai jarum jam menunjukkan mereka akan terlambat kerja.

Perbedaannya hanyalah Inoo pernah memiliki semuanya. Lelaki itu masih mempunyai apa yang tadinya dia punya. Inoo paham bagaimana perasaan lelaki itu, merasa segalanya akan baik-baik saja selama mereka memiliki satu sama lain, hatinya tidak lagi dipenuhi rasa gundah karena sudah mendapat apa yang dia cari.

Karena hal itulah Inoo suka memandangnya, suka melihat lelaki itu karena dia akan teringat kembali pada masa-masa ketika dia masih baik-baik saja. Lelaki itu bagai dongeng untuknya, tercipta sebagai wujud dari harapannya yang berhenti menjadi kenyataan.

Karena hal itulah, Inoo tidak mengerti ketika melihat lelaki itu berdiri di tempat yang sama bersama lelaki lain.

Lelaki lain itu tidak pernah dia lihat sebelumnya. Mereka berdua tersenyum, membicarakan sesuatu dengan jarak terlampau dekat, terlalu dekat bahkan ketika lelaki itu mendekap si lelaki lain dari belakang. Persis seperti cara kekasih lelaki itu mendekapnya.

Siapa dia? Mengapa lelaki itu justru bersama lelaki lain sekarang?

Padahal, pagi kemarin Inoo masih melihat mereka bersama, senyum masih ada di wajah masing-masing. Padahal selama ini, selama dua tahun Inoo memperhatikan mereka melalui kereta ini, tidak ada yang salah di antara mereka. Mungkin sesekali ada pertengkaran, sebab dia ingat pernah melihat lelaki itu tidak mau membalas sapaan kekasihnya, namun tak lama kemudian mereka pasti akan akur kembali.

Namun, jika sudah seperti ini, apakah mereka akan kembali baik-baik saja?

Inoo kehilangan Yabu dalam sekejap. Bukan karena mereka lelah, bukan karena mereka memutuskan untuk tidak bersama lagi suatu pagi, namun karena takdir senang mempermainkan mereka. Kecelakaan itu terjadi begitu cepat; satu kedipan dan detik selanjutnya dia berada dalam mimpi terburuknya. Dia berada di lokasi kejadian, bersama Yabu, namun hanya dia yang masih bernapas hingga kini.

Dia sudah kehilangan dongeng yang dia hidupi. Dia tidak mau harus kehilangan dongeng lainnya yang dapat dia saksikan setiap pagi. Dongeng lain yang membuatnya tetap waras menjalani hari karena percaya masih ada harapan bahagia selamanya di luar sana.

Hari itu, dia turun di stasiun tempat dia melihat lelaki itu tinggal. Dia mengeluarkan ponsel sembari setengah berlari, mengetikkan pesan singkat dengan ketikan acak pada Hikaru, meminta sahabatnya itu memundurkan pertemuan mereka sampai sore nanti.

Rumah lelaki itu terletak tak jauh dari stasiun, walau sempat membuat Inoo tersesat sedikit karena banyaknya gang kecil yang membuatnya terkecoh. Tampak depan rumah itu tak jauh dari yang dia bayangkan; garasi yang kini kosong, pagar yang tak menyampai pinggangnya, serta beberapa tanaman yang tertata rapi di halaman. Melirik pada kotak surat yang tersedia tak jauh dari pagar, Inoo mengingat nama mereka; Nakajima-Yamada.

Jari panjangnya menekan bel, tak lama terdengar sahutan dari dalam menyuruhnya untuk menunggu. Suaranya sedikit berbeda dari yang Inoo bayangkan, namun dia tidak terlalu keberatan.

“Ada yang bisa kubantu?” tanya lelaki itu, ternyata lebih pendek darinya, menatapnya dengan curiga.

“Siapa lelaki lain itu?” Kedua mata Inoo beralih ke dalam rumahnya. “Apa dia masih ada di sini?”

“Apa maksudmu?” Lelaki itu semakin curiga, menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Aku selalu melihatmu setiap pagi melalui jendela kereta.” Inoo memutuskan untuk memberinya sedikit penjelasan. “Aku selalu tahu kau tinggal bersama kekasihmu yang jangkung. Pagi ini kau bersama lelaki lain. Siapa dia?”

Lelaki itu tampak terkejut dengan penjelasannya, mengambil langkah mundur bersamaan dengan pintu yang hampir ditutup. “Kau penguntit? Berhenti memperhatikanku atau rumahku ... atau apapun yang ada di sini. Silakan pergi dan jangan kembali.”

“Kau tidak mengerti,” Inoo mendesak, mencoba menahan pintu itu agar tidak tertutup sepenuhnya, “jangan buang apa yang kau punya. Apa yang kurang dari kekasihmu? Aku yakin kalian bisa memperbaikinya.”

“Kau orang asing, kau tidak tahu apa-apa!” Nadanya meninggi, mendorong pintu dengan sekuat tenaga. “Ini bukan urusanmu. Pergi atau aku panggil polisi.”

Tidak punya banyak kekuatan untuk menahan, lelaki itu berhasil menutup pintu dan menguncinya kembali, meninggalkan Inoo di depan rumahnya. Tidak baik juga kalau lelaki itu betulan menelpon polisi dan melaporkannya. Inoo pun menghela napas dan melangkahkan diri keluar, menjauh dari rumah itu.

Bukan berarti dia akan menyerah. Dia akan mencari tahu siapa lelaki lain yang dia lihat dan mencari tahu alasan mengapa dia ada di sini bersama lelaki itu. Dia akan memperbaiki cerita ini.

[#yutoyama. bucin yuto bcs why not.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Yamada menghela napas panjang. Langkah kakinya berhenti untuk memandang ke arah lelaki yang mengikutinya sedari tadi.

“Sudah kubilang jangan mengikutiku, bukan?”

Padahal, Yamada sudah memberikan nada paling sebal yang dia bisa. Wajahnya merengut. Kedua tangan terlipat di depan dadanya. Seharusnya, dia sudah terlihat jelas-jelas marah, namun lelaki itu masih saja memasang cengirannya.

“Oh, ayolah,” ucapnya, berusaha mendekati Yamada. Bersamaan dengan lelaki itu mengambil langkah mendekat, dia melangkah mundur, menjaga jarak di antara mereka. “Aku belum tahu namamu!”

Tidak penting sekali, pikir Yamada. Masalah nama bisa saja didapatkan dari temannya. Atau, jika lelaki itu mendengarkan seksama di kela tadi, dia pasti tahu namanya.

Yamada menatap lelaki itu, Nakajima Yuto, teman sebangkunya sampai semester berakhir. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana hari-harinya akan berjalan nantinya.

Mengabaikan lelaki itu (lagi), Yamada kembali melanjutkan langkahnya menuju stasiun. Agak melelahkan juga, sebenarnya, sebab Yamada harus berjalan lebih cepat dibanding Nakajima yang bisa berjalan santai. Diam-diam, Yamada mengutuk lelaki itu yang terlalu tinggi. Kakinya terlalu panjang hingga bisa mengambil langkah lebih sedikit dibanding dia.

“Kata pepatah, tidak kenal maka tidak sayang,” Yamada mendengarnya merayu lagi, “dan ternyata kita satu arah menuju rumah! Jadi lebih baik mengisi waktu sambil berkenalan, bukan?”

Lagi, Yamada menghentikan langkahnya. Kedua matanya menatap lelaki itu yang masih dengan senyuman lebarnya.

“Maaf,” Yamada sedikit membungkukkan diri, “kalaupun kenal, saya juga belum tentu sayang.”

Dengan itu, Yamada berjalan meninggalkan Nakajima yang terpaku di tempat.

[#yutoyama. hanahaki disease au.] [ficlet, bahasa indonesia.]

“Lalu, apa yang akan kau lakukan?”

Yamada menautkan kedua alisnya. “Memangnya aku harus melakukan apa?”

Di hadapannya, Daiki hanya menghela napas. Dia tahu betul sifat temannya itu. Keras kepala. Sudah jelas sebenarnya apa yang harusnya dia lakukan, khususnya di saat temannya ini masih berada di tahap awal.

“Kau tahu apa yang harus kau lakukan.” Telunjuk Daiki tertuju pada tangan Yamada yang terkepal. “Sebelum terlambat.”

Daiki seringkali menemukan artikel mengenai ini. Orang-orang masih menyebutnya sebagai mitos. Hanya khayalan belaka. Sebab, mana mungkin kelopak bunga akan tumbuh dalam tubuh seseorang? Lebih-lebih, hanya karena cinta bertepuk sebelah tangan?

Perlahan, Yamada membuka genggaman tangannya.

Satu kelopak. Putih. Pertanda masih dalam tahap pertama. Masih polos. Belum diwarnai perasaan lain.

Tatapannya kini beralih pada sudut lain ruangan itu. Pada sosok yang kini sedang menertawakan sesuatu dengan teman-temannya. Pada sosok yang mengisi pikirannya akhir-akhir ini.

Sosok yang menjadi sebab munculnya kelopak pada genggamannya.

“Entahlah,” Yamada menopang dagunya, “rasanya aku belum sanggup.”

[#yutoyama. soulmate au where your soulmate's name is written on your wrist.] [ficlet, english.]

When someone turned thirteen, a name would appear on their wrist. People said that it's your soulmate's name. So you could find and know each other by names.

People tend to keep it as a secret. They cover their wrist, so people wouldn't know who their soulmate is. Because while it's lucky if you have a billionare's name on your wrist, you could also have a serial killer or a thief as your soulmate.

Yuto just turned thirteen yesterday. When he woke up, there's a name, written on his skin. He's so excited about this, he almost fell from his bed because too busy rolling here and there.

But when he read the name, he sighed loudly.

How the hell he could find his soulmate when their name is 'Yamada'?

There's like thousand of people out there with that name. How could he met the one that's for him?

[Meanwhile, that one 'Yamada' also scoffed when he saw the name on his wrist. 'Nakajima' is also a common name. He would probably met some Nakajimas out there but the chance of meeting his soulmate? Probably too low.]