Cloudysun

Pintu cafe tersebut terbuka, menampilkan laki-laki dengan outfit yang terlihat tampan masuk kedalam cafe tersebut.

Siapalagi kalau bukan Akbar Yasha Omarro yang berhasil menyusul kedua temannya itu.

“Pulang yuk pulang, ada orang baru selesai ngedate dateng.” Ucap Ezra yang langsung berdiri dari tempat duduk.

“AW!—sakit anjir” rintih Ezra setelah kepalanya mendapat 1 jitakan dari Akbar.

“Gue baru dateng, jangan mancing emosi.” Tegas Akbar.

Bukan Ezra dan Raka kalau tidak menghujani beribu pertanyaan kepada Akbar saat ini. Pertanyaan yang selalu saja membuat emosi Akbar memuncak karena semua yang ditanyakan itu tidak terjadi alias pertanyaan seputar ngedate, padahal pacaran juga belom ngapain sok-sokan pake kata-kata ngedate.

“Terus si Naura udah langsung lo pulangin ke kosan? Jahat banget, mending diajak kesini, siapa tau dia berbaik hati tra—SAKIT!” Rintih Ezra lagi.

Kali ini bukan Akbar yang memberikan jitakan, tapi Raka, “enak aja lo minta traktir-traktir adek gue, jangan jangan selama kalian berteman selalu morotin adek gue ya.”

Akbar kemudian menunjuk ezra, “Dia, gue ngga.”

Ezra langsung mendapat tatapan sinis dari Raka.

“FITNAAAAAH!”

-

“Terus, adek gue lo anterin kemana?” Tanya Raka setelah merapihkan rambut dan bajunya yang berantakan akibat ditarik oleh Ezra tadi saat mereka perang.

“Oh, iya tadi Naura minta dianterin ke suaru tempat, gue ngga tau deket daerah bunga-bungaan, tapi dia bener bener mastiin gue pergi dulu baru dia masuk, jadi gue ngga tau yang mana rumahnya dan ketempat siapa dia..”

“Tapi sih katanya bukan ketemu pacarnya, kan agak tenang gue.” Lanjut Akbar.

“Gue mau nambah makanan dulu, jangan tinggalin gue.” Ucap ezra memotong ditengah pembicaraan Akbar & Raka.

Raka hanya mengangguk-ngangguk, karena ia berniat untuk tidak menganggu kebahagiaan Akbar kali ini.


Setelah selesai acara pertongkrongan dari Raka, Ezra dan Akbar.

“Gue aja sini yang bawa bar, siniin kuncinya.” Ucap Ezra

“Nih.” Jawab Akbar sambil emlempar kunci kearah Ezra yang langsung pergi menuju parkiran.

“Bar, bentaran deh.” Panggil Raka.

“Apaan?”

“Gue mau ngomong serius, tapi lo jangan becanda.” Ucap Raka.

Akbar tertawa, karena omongan serius diantara mereka bertiga tidak pernah terjadi sebelumnya. “Apaan dah, ngomong serius serius udah berasa apaan aja.”

“Gue cuma mau bilang makasih karena udah selalu ada buat adek gue.” ujarnya sambil menepuk bahu Akbar.

“Apaan dah lo ngapain makasih makasih.”

“Lo sabar banget bar ngadepin naura, gue kalo bukan abangnya pasti udah lama gue tinggalin.” Ucap Raka dengan lantang.

Akbar kembali tertawa mendengar pernyataan Raka, “emang dengan cara gue ninggalin dia, bakal bikin dia seneng? Bakal nyelesaiin semuanya?”

Raka terdiam, bahkan dirinya sendiri yang merupakan kakak kandung Naura tidak terlalu mengerti keresahan adiknya.

“Rak, adek lo itu cuma butuh orang yang ngedukung dia, bukan malah ditinggalin tapi di support. Lo tau adek lo punya trauma ditinggalin sama orang terdekatnya, terus lo bilang kalo lo jadi gue bakal ninggalin juga, apakah hal itu bakalan buat Naura sembuh dari traumanya? Engga kan?”

Raka kembali terdiam, dia benar-benar tidak tahu harus membalas apa soal tanggapan Akbar terhadap adiknya.

“Gue ngga bodoh, gue tau kok apa yang gue lakuin, jadi lo jangan khawatir sama gue ya, ini gue sok nyebut aja sih, walaupun gue capek, gue tau kapan gue harus berhenti.”

Raka tersenyum sambil menepuk bahu Akbar yang ada disebelahnya, “Makasih ya bar.”

“Tahan sedikit lagi ya bar, gue yakin pasti perjuangan lo bakal dibales sama Naura secepatnya.”

Akbar mengangguk, “Kalo ngga dibales juga gue ikhlas kok, Rak.”

Raka menggeleng, “Jangan gitu, lo udah terlalu sering berkorban buat adik gue.”

“Bar, adik gue lagi proses buat ngobatin traumanya.” Ucap Raka pelan.

Akbar yang mendengar itu langsung menoleh cepat, “Maksud lo?”

“Sebenernya Naura ngga mau kasih tau siapa-siapa selain ke keluarga, ini juga baru dilakuinnya akhir-akhir ini, karena gue rasa keresahan semakin hari semakin menjadi dan dia juga lama lama nyakitin dirinya sendiri, gue saranin dia buat ke psikiater.”

“Tapi, setelah denger penjelasan lo tadi, menurut gue lo berhak tau, karena gue yakin lo yang bakal end up sama adek gue kedepannya. Jaga dia ya bar? Sumpah ini cringe tapi gue sayang banget sama dia dan gue minta maaf kalau sifatnya yang terkesan tarik ulur itu nyakitin lo, karena gue tau semuanya itu ngga mudah bagi dia & makasih selalu ngerti Naura.”

“Gue hutang budi sama lo, bar.” Tutur Raka.

Setelah tidak mendapat balasan apapun dari Akbar kekhawatiran dari Naura benar-benar memuncak.

Apalagi, setelah dia kembali sadar, semua yang terjadi kali ini kembali menjadi salahnya.

Dia sadar dia egois, dia sadar sama semua perlakuannya pada Akbar.

Dia sadar kalau memang letak salahnya ada pada dirinya sendiri.

Sore itu, setelah menyelesaikan kelas, Naura memohon dengan sangat kepada Kayla untuk mengantarkannya ke kosan yang ditempati oleh Akbar saat ini.

“Nau? Lo khawatir kan?” Tanya kayla ditengah fokusnya memecah kemacetan sore hari.

“Udah, cepet aja nyetirnya, ntar kalo ada yang jualan buah sekalian mampir terus kalo lewat indoapril juga sekalian mampir ya.”

“Bawel banget, gue jajanin coklat ya tapi.”

“Gue jajanin lo satu indoapril kalo lo nyetirnya ngga kaya siput.” Tegas Naura.


Setelah membeli segala kebutuhan untuk Akbar, Naura kembali masuk kedalam mobil dan sesekali mengecek ponselnya untuk memastikan ada atau tidak pesan balasan dari Akbar.

Namun nihil, tidak ada sama sekali pesan balasan yang diterimanya.

“Gimana? Udah ada balasan?” Tanya Kayla

Naura menggeleng, “Belum, kita kesana aja. Gue takut kenapa-napa si Akbar, mana si ezra tadi ngga langsung balik.”

“Ya ditelfon coba.”

Naura menggeleng, “Ngga ah.”

“Dasar cewe gengsian!”

Setelah menempuh perjalanan selama 5 menit, sekarang Naura telah tiba di rumah bertingkat berwarna cokelat tersebut.

“Lo tau kamarnya?”

“Tau.” Jawab Naura cepat.

“Buset, sampe kamarnya aja udah tau.”

“Heh! Jangan macem macem pikirannya, gue juga sering dibawa abang gue kesini, lagian disini ezra kan temen gue juga jadi ngga pernah berduaan.”

“Iyaiya buset, lengkap bener kaya klarifikasi infotainment

Naura hanya mengolok kayla atas kata katanya tersebut, “Lo mau nunggu disini apa ikut?”

Kayla menggeleng, “gue disini aja, gue takut ngeliat adegan bucin.”

“Yaudah pulang aja.”

“Dih kaga berterimakasih banget?” celetuk Kayla

“Kan itu udah gue traktir cokelat kan? Itu tuh tanda terimakasih?”

Kayla berdecak, “pinter amat ngelesnya.”

Setelah menyelesaikan perdebatan dengan kayla, Naura kemudian langsung melangkahkan kakinya masuk kedalam kosan tersebut tentunya setelah mendapat izin dari sang penjaga kosan yang selalu ada didepan pos kosan tersebut.

Dengan wajah cerahnya, Naura mempercepat langkahnya menuju kamar Akbar dengan menenteng 1 bungkus kantong plastik yang berisi buah, beberapa makanan serta beberapa obat yang dia beli tadi.

Namun, saat posisinya hanya berjarak satu kamar dari kamar Akbar, Naura menghentikan langkahnya karena dia mendengar suara isak tangis dari seseorang.

Bukan, ini bukan konten horror, tapi sumber suaranya malah berasal dari kamar Akbar.

Hal itu membuat Naura dengan cepat melanjutkan langkahnya menuju ke depan pintu kamar Akbar yang sudah terbuka daritadi.

Dan, lagi-lagi Naura kembali mematung ditempat kemudian memundurkan langkahnya sedikit demi sedikit.

Laki-laki yang menjadi sahabatnya sejak awal berkuliah itu memang sedang tidak baik-baik saja.

”Di, dia satu-satunya yang gue punya di, dia yang besarin gue dari kecil, sekarang gue mau liat dia, tapi kenapa ngga boleh, di..hiks—“ Ringis Akbar

”Akbar, gue disini, kita berdua sama sama berdoa buat kakek lo ya? Tenang ya bar, ada gue disini.”

Percakapan itu terdengar oleh Naura yang masih diam tak berkutik.

”katanya ngga ada lagi yang tau, ternyata bohong ya bar?” batinnya.

Ntah apa yang membuatnya diam, apa mungkin karena dia terlalu terkejut melihat Akbar berpelukan dengan perempuan lain?

Secara tak sadar, Naura menjatuhkan plastik yang dia bawa, dan membuat kedua insan yang sedang berpelukan itu melihat kearah luar.

Namun kecepatan lari Naura terlalu cepat sehingga kedua orang itu tidak tahu siapa yang ada dibalik hal tersebut.

“Kay, ayo kita pulang kay..”

“Nau, kok cepet banget?”

”I thought he finally find someone better than me, kay.” Ucap Naura sambil memeluk Kayla yang ada disampingnya.

“Ini pedes banget.”

Keluh Naura setelah berusaha menghabiskan 1 mie iblis level 2 yang dia pesan, padahal biasanya dia hanya berani memesan level 1 ataupun mie angel yang tidak mempunyai rasa pedas sama sekali.

Akbar tertawa, “lagian, kenapa berani berani pesen level 2 sih?”

“Kan pengen coba mana tau kadar tahan pedes gue udah naik, kan ngga ada yang tau.” balas Naura.

Akbar sedari tadi memang sudah selesai menghabiskan makanannya, tapi Naura belum karena di depannya masih bersisa 2 dimsum yang dia pesan juga.

“Mau?” Tawar Naura kepada Akbar, dan dijawab gelengan oleh Akbar, “makan aja.”

Sambil menunggu Naura makan, Akbar tidak henti hentinya menatap perempuan yang ada didepannya. Wajahnya yang merah karena level ketidaktahanan pedasnya rendah membuat Naura semakin menarik di mata Akbar.

”lucu banget sih kalo dia lagi begini.” Gumam Akbar dalam hati.

Karena terlalu menikmati makanannya, Naura sampai tidak sadar ada saus dari dimsum yang menempel di samping bibirnya. Tentu saja hal tersebut disadari oleh laki-laki yang dari tadi tidak berhenti menatapnya.

Laki-laki itu kemudian mengambil sejumput tissue, dan tangannya beralih mendekat kearah bibir Naura, “bentar nau ini ada sa—“

Karena tindakan Akbar yang terlalu tiba-tiba, membuat Naura tersedak. Akbar terkejut dan langsung berdiri mendekati perempuan tersebut.

“Nau, ngga apa apa?”

Naura memberikan isyarat kalau dia baik baik saja, “minum, buthh min—“

Akbar kemudian dengan segera mengambil minuman Naura yang tinggal sedikit dan memberikannya ke Naura.

“Masih kurang kah? bentar gue pesen kebawah lagi ya minumnya, tunggu disini.”

Setelah meneguk setengah minumannya, Naura yang kini ditinggal sendiri oleh Akbar hanya berusaha menetralisir dirinya sendiri.

“Gue kenapasih astaga, ngga biasanya gue begini, kenap—“

Drrt

Monolog Naura terpotong oleh suara getaran yang ada di depannya, yang tak lain dan tak bukan dari ponsel milik Akbar.

Karena keingintahuannya yang tinggi, dia melihat telfon genggam milik sahabat laki-lakinya tersebut.

Notif tersebut membuat Naura buru-buru meletakkan ponsel Akbar ketempat semula.

“Nau—ini minumnya, diminum dulu ya.” Ucap Akbar yang tiba-tiba muncul di belakang dirinya.

“Ah iya, m-makasih bar” Jawab Naura dengan terbata-bata.

Akbar mengangguk, namun saat hendak duduk dia melihat layar ponselnya menyala tapi tidak dalam posisi awal, “Nau, ini hp gue ta—“

“Eh sorry, tadi ada notif, gue kira siapa hehe, maaf ya ngga sengaja.”

“Lo ngga mau nanya?” Pertanyaan Akbar ini cukup membuat Naura tertohok saat ini.

“Ngga, gue ngga mau nanya apapun, kan kita udah sepakat buat ngga maksa satu sama lain dengan pertanyaan yang bersifat privacy, bener kan? Gue juga seneng kalo lo bisa nemu orang yang bikin lo bahagia sekarang.”

“Nau, lo tau ngga sih definisi bahagia bagi gue apa? Perasaan dari dulu gue selalu bilang kalo gue bahagia karena deket sama lo, gue bahagia tiap lo ada sama gue, tapi ternyata lo ngga paham ya?”

“Nau, gue ngga pernah ngeluhin ini ke lo kan?”

“Akbar, gue ngga maksud—“ ucap Naura berusaha mengklarifikasi kata-katanya

“Nau, gue capek. Gue tau lo masih belom bisa ngehapus semua masa lalu lo yang bener-bener bikin lo se-desperate ini.”

“Akbar, gue ngga desperate!”

“Nau, maaf boleh ngga sih gue sesekali egois? gue mau nanya, mau sampai kapan lo ngga sadar gue disini? Have you ever seen me as man not only your best friend?

“Akbar, bukan gitu akbar, dengerin gue dulu bisa ngga?”

Akbar tidak memperdulikan apa yang dibicarakan Naura kali ini.

“Nau, lo butuh space ya? Bilang nau kalo lo risih gue gini, gue bisa ngelakuin itu sekarang kalo emang lo butuh space.”

“Akbar, ngga, gue sama sekali ngga risih, apalagi butuh space, ngga.”

“Nau, laki-laki juga boleh nangis ngga nau? kita pulang sekarang ya, ngga lucu kalo gue nangis disini, nau.”

“Ini pedes banget.”

Keluh Naura setelah berusaha menghabiskan 1 mie iblis level 2 yang dia pesan, padahal biasanya dia hanya berani memesan level 1 ataupun mie angel yang tidak mempunyai rasa pedas sama sekali.

Akbar tertawa, “lagian, kenapa berani berani pesen level 2 sih?”

“Kan pengen coba mana tau kadar tahan pedes gue udah naik, kan ngga ada yang tau.” balas Naura.

Akbar sedari tadi memang sudah selesai menghabiskan makanannya, tapi Naura belum karena di depannya masih bersisa 2 dimsum yang dia pesan juga.

“Mau?” Tawar Naura kepada Akbar, dan dijawab gelengan oleh Akbar, “makan aja.”

Sambil menunggu Naura makan, Akbar tidak henti hentinya menatap perempuan yang ada didepannya. Wajahnya yang merah karena level ketidaktahanan pedasnya rendah membuat Naura semakin menarik di mata Akbar.

”lucu banget sih kalo dia lagi begini.” Gumam Akbar dalam hati.

Karena terlalu menikmati makanannya, Naura sampai tidak sadar ada saus dari dimsum yang menempel di samping bibirnya. Tentu saja hal tersebut disadari oleh laki-laki yang dari tadi tidak berhenti menatapnya.

Laki-laki itu kemudian mengambil sejumput tissue, dan tangannya beralih mendekat kearah bibir Naura, “bentar nau ini ada sa—“

Karena tindakan Akbar yang terlalu tiba-tiba, Naura tersedak dan membuat Akbar kaget dan langsung berdiri mendekati perempuan tersebut. “Nau, ngga apa apa?”

Naura berisyarat kalau dia baik baik saja, “minum, buthh min—“

Akbar kemudian dengan segera mengambil minuman Naura yang tinggal sedikit dan memberikannya ke Naura.

“Masih kurang kah? bentar gue pesen kebawah lagi ya minumnya, tunggu disini.”

Setelah meneguk setengah minumannya, Naura yang kini ditinggal sendiri oleh Akbar hanya berusaha menetralisir dirinya sendiri.

“Gue kenapasih astaga, ngga biasanya gue begini, kenap—“

Drrt

Monolog Naura terpotong oleh suara getaran yang ada di depannya, yang tak lain dan tak bukan dari ponsel milik Akbar.

Karena keingintahuannya yang tinggi, dia melihat telfon genggam milik sahabat laki-lakinya tersebut.

Notif tersebut membuat Naura buru-buru meletakkan ponsel Akbar ketempat semula.

“Nau—ini minumnya, diminum dulu ya.” Ucap Akbar yang tiba-tiba muncul di belakang dirinya.

“Ah iya, m-makasih bar” Jawab Naura dengan terbata-bata.

Akbar mengangguk, namun saat hendak duduk dia melihat layar ponselnya menyala tapi tidak dalam posisi awal, “Nau, ini hp gue ta—“

“Eh sorry, tadi ada notif, gue kira siapa hehe, maaf ya ngga sengaja.”

“Lo ngga mau nanya?” Pertanyaan Akbar ini cukup membuat Naura tertohok saat ini.

“Ngga, gue ngga mau nanya apapun, kan kita udah sepakat buat ngga maksa satu sama lain dengan pertanyaan yang bersifat privacy, bener kan? Gue juga seneng kalo lo bisa nemu orang yang bikin lo bahagia sekarang.”

“Nau, lo tau ngga sih definisi bahagia bagi gue apa? Perasaan dari dulu gue selalu bilang kalo gue bahagia karena deket sama lo, gue bahagia tiap lo ada sama gue, tapi ternyata lo ngga paham ya?”

“Nau, gue ngga pernah ngeluhin ini ke lo kan?”

“Akbar, gue ngga maksud—“ ucap Naura berusaha mengklarifikasi kata-katanya

“Nau, gue capek. Gue tau lo masih belom bisa ngehapus semua masa lalu lo yang bener-bener bikin lo se-desperate ini.”

“Akbar, gue ngga desperate!”

“Nau, maaf boleh ngga sih gue sesekali egois? gue mau nanya, mau sampai kapan lo ngga sadar gue disini? ”Have you ever seen me as men not only your best friend?

“Akbar, bukan gitu akbar, dengerin gue dulu bisa ngga?”

Akbar tidak memperdulikan apa yang dibicarakan Naura kali ini.

“Nau, lo butuh space ya? Bilang nau kalo lo risih gue gini, gue bisa ngelakuin itu sekarang kalo emang lo butuh space.”

“Akbar, ngga, gue sama sekali ngga risih, apalagi butuh space, ngga.”

“Nau, laki-laki juga boleh nangis ngga nau? kita pulang sekarang ya, ngga lucu kalo gue nangis disini, nau.”

Cuaca cerah hari ini, seakan akan menggambarkan bahwa semesta mendukung Akbar & Naura pergi mengunjungi Rumah terakhir Juna.

Setelah melewati perdebatan singkat di chat soal Akbar diizinkan ikut atau tidak, akhirnya Naura menyerah dan mengizinkan Akbar untuk menemaninya ke Surabaya.

“Gue udah didepan.” Satu bubble chat terkirim dari Akbar kepada Naura.

“Ok, sebentar, lagi make sepatu.” Balas Naura

Tak berapa lama pesan balasan diterima oleh Akbar, seorang gadis dengan kaos berwarna putih dengan celana jeans panjang sambil membawa 1 helai selendang & paper bag keluar dari dalam kosan bertingkat tersebut.

Akbar hanya diam memperhatikan Naura yang setiap hari selalu membuat dirinya mengukir senyum.

“Hei, melamun aja.” Ucap Naura saat pertama kali masuk memperhatikan Akbar yang diam dengan tatapan kosong.

“Engga.”

Naura mendelik, kemudian menyodorkan 1 buah paper bag kearah Akbar, “Nih.”

“Apanih?”

“Belom sarapan kan? Itu gue buatin nasi goreng, tenang aja, ngga pake racun kok, aman.” Ucap Naura sambil sibuk memasang seatbelt.

Lagi-lagi, senyum terukir kembali di wajah Akbar, untung saja Akbar bukan tipe orang yang kalau malu mukanya merah, jadi kali ini mukanya masih didalam kendali.

“Makasih yaaa, nanti gue makan. Kita berangkat, ngeeeeng.”

Naura tidak merespon awalnya, namun tangannya mengambil paper bag yang ditaruh Akbar di kursi belakang. “Oke, berangkat, lo nyetir aja, gue suapin biar ada tenaga, perjalanannya walaupun ngga jauh jauh amat, tapi tetep aja. Yuk.”

Tolong, Akbar rasanya ingin melompat dari posisi duduknya sekarang.


Setelah menempuh perjalanan sekitar 1-2 jam, sekarang mereka berdua telah sampai di salah satu rumah mewah milik temannya Naura dan juga telah menjadi temannya Akbar.

“WIDIH ALHAMDULILLAH ADA SUPIR BARU YANG NGANTERIN NAURA KES—aduh sakit nau.” rintih jovi saat diberikan jitakan kecil karena asal bicara.

“Lagian, ngomong kok sembarangan.” Sindir Naura.

“Akbar aja ngga marah, kok lo sewot sih.”

Akbar hanya memperhatikan pertikaian dua teman lama yang ada didepannya, ya Akbar pasti memaklumi, dia juga kadang begitu kalau sama Ezra ataupun Raka.

“Udah-udah, kalo lo berdua berantem mulu, kapan ini kita berangkatnya?” Celetuk Akbar.

Saat ini, mereka telah tiba di rumah terakhir Juna. Namun, posisi mereka saat ini masih didalam mobil. Terlebih, Naura ingin menyiapkan hati setelah sekian lama tidak mengunjungi Juna.

“Mau turun sekarang?” Tanya Jovi

Naura hanya memasang tatapan bingung, “Kalian duluan aja, nanti gue nyusul, sebentar aja, kasih waktu sebentar ya?”

“Nau, ngga apa apa kan?” Kali ini Akbar yang bertanya.

“I’m okay, bar. Duluan gih, sama Jovi.”

Akbar kemudian mengangguk dan keluar dari mobil menyusul Jovi yang sudah berada didepan.

5 menit. 10 menit. Naura hanya berdiam diri didalam mobil, ntah kenapa moodnya tiba-tiba berantakan, perasaan takut dan perasaan bersalah lagi-lagi muncul didalam benaknya.

“Naura, lo bisa, lo udah sampai disini, lo harus ketemu juna, oke nau, ayo bisa.” Ucapnya menyemangati dirinya sendiri, dan perlahan dia mematikan mesin mobil dan keluar menyusul teman-temannya.

Setelah selesai mengirimkan beberapa doa, Jovi memilih untuk duluan meninggalkan teman-temannya disana.

“Nau, bar, gue duluan ke mobil ya?”

Akbar kemudian berdiri, “gue ikut.”

Setelah kepergian dua temannya itu, saat ini Naura tinggal sendiri, sendiri namun tetap bersama Juna disini.

“Juna…” “Apa kabar?” Ucap Naura, suaranya sudah terdengar dengan nada bergetar.

“Juna, maaf kalau aku baru berani kesini setelah sekian lama.”

“Juna, maaf kalau aku masih sering bawa-bawa soal kamu.”

“Juna, maaf, perempuan yang dulu kamu larang buat nangis ini, makin sering nangis.

“Juna, maafin naura ya, Jun?”

Sore itu, Naura kembali menangis didepan makam Juna, Naura tau ini tidak diperbolehkan, sebisa mungkin dia tahan agar air matanya tidak menyentuh rumah terakhir dari laki-laki yang terakhir dia sayang. Naura kembali menumpahkan segala kebingungannya, walaupun dia tahu, Juna tidak akan pernah menjawab segala keresahannya hari ini, besok ataupun selamanya.

Setelah selesai melakukan sesi pertemuan secara private, Naura memilih untuk menyudahi semuanya, “Juna, aku janji buat buat bahagia, tapi Juna juga harus bahagia disana ya? Juna, terimakasih sudah pernah mampir di kehidupan aku ya Jun. Jun—“

Omongannya tiba-tiba terpotong saat dia menyadari ada seseorang yang ikut duduk disamping sambil menyodorkan 1 bucket bunga segar kepada Naura. “Akbar? Katanya tadi du—“

“Juna, lo juga ngga usah khawatir ya, Naura pasti bakal baik baik aja, ada gue dan ada jovi, gue janji ngga bakal bikin Naura nangis lagi.” Ucap Akbar memotong perkataan Naura.

“Akbar…”

“Nau, gue juga pernah kehilangan, bukan hanya kekasih hati, tapi semesta hidup gue, yaitu orang tua gue nau. Gue emang belom pernah cerita sama lo soal ini, orang tua gue juga kecelakaan pas maujemput gue waktu pulang sekolah. Maaf, gue bukan mau adu nasib atau apapun kok, tapi Nau, percaya deh, lo harus bahagia.”

“Ngga boleh ada lagi air mata yang jatuh.” Bisik Akbar sambil menghapus air mata Naura yang masih bergenang di pelupuk matanya.

“Yang harus ada itu ini.” Lanjutnya sambil menarik garis bibir Naura keatas, “Senyum.”

Naura tersenyum sesuai arahan Akbar, dia selalu berhasil merasakan tenang jika berada dekat dengan sahabat laki-laki satu satunya ini.

“Janji, ya?”

“Akbar, kenapa lo bisa tenang kaya gini? Nyatanya lo juga pernah merasakan kesakitan yang sama kaya—“

Akbar mengangguk paham dengan maksud pertanyaan Naura

“Nau, terpuruk dalam kesedihan itu ngga baik apalagi sampai menyalahkan diri sendiri terus menerus, lo bukan bikin mendiang bahagia disana, malah bikin dia sedih. Kita sedih pun emang bakalan bikin mereka kembali? Ngga kan?”

“Terus kenapa bisa lo selalu kelihatan bahagia, dan selalu ngehibur orang lain disaat hidup lo ngga semulus yang mereka kira?” Tanya Naura lagi.

Akbar kemudian berdiri dari posisinya saat ini.

“Nau, kalo seluruh orang di dunia ini sedih, siapa yang bakal bikin mereka tersenyum? Kalau semuanya murung, siapa yang bikin mereka ketawa?”

“Selama ini, gue keliatan bahagia bukan berarti gue ngga pernah terluka, tapi gue cuma mengajukan diri untuk menjadi salah satu alasan untuk orang lain tersenyum & bahagia.”

“Udah yuk, pulang?”

Naura berjalan menuruni tangga kosannya, dengan menggunakan hoodie dan celana piyamanya.

Dia sejujurnya takut, dia takut pertemuannya ini akan membawa masalah baru kedepannya diantara dirinya dan Akbar.

“Nau”

“Eh, Akbar, maaf nunggu lama, masuk dulu?”

Akbar menggeleng pelan, “disini aja.”

Hening, suasana canggung tiba-tiba menyelimuti mereka saat ini.

“Akbar, ngapain kesini?” Tanya Naura membelah keheningan diantara mereka.

“Eh, oh iya, lupa, ini mau ngasih ini.”

“Ini apa?”

“Obat sama beberapa makanan.” Ucap Akbar singkat.

Naura terkejut, bahkan dia sama sekali tidak memberitahukan Akbar soal ini.

“Tau dari kayla, sama tadi abang lo cerita, minta tolong.”

“Jadi yang ntar lagi dateng dibilang sama kak raka itu lo?” Tanya Naura.

“Kenapa? Ngga boleh?”

Naura menghela nafas, kali ini dia tidak mau banyak bicara karena dia terlalu takut untuk menyakiti hati Akbar berulang kali.

“Boleh kok. Yaudah makasih ya.”

“Iya, gue pulang ya?” Ucap Akbar kemudian bersiap untuk memakai helmnya, namun tiba-tiba dihentikan oleh tangan Naura yang tiba-tiba menarik tangan Akbar.

“Kenapa?”

“Jangan pulang dulu, masuk dulu ya?”

“Emang ngga ganggu?” Tanya Akbar ragu.

Naura menggeleng, “Engga, ada yang mau gue omongin sedikit.”

“Ngomong banyak juga gapapa.”

“Serius—“

“hehe, yaudah bukain pagarnya, disini rawan curanmor, kalo motor gue dicuri gue ngga bisa sering-sering kesini nanti.”

TUHAAAAAAAN KENAPA AKBAR MASIH SEMPET SEMPETNYA BECANDA SIH, batin Naura berteriak.


Setelah mempersilahkan masuk dan tentunya meminta izin dulu kepada seperangkat penjaga kosan, akhirnya kini Naura & Akbar duduk bersama di sofa kesayangan para anak kost kalo lagi menerima apelan dari pacar-pacar mereka, tapi beda dengan Naura ya.

OK NVM T_T

“Mau ngomongin apa?”

“Panjang sih.”

“Katanya tadi sebentar.” Ucao Akbar

“Kalo sibuk yaudah gapapa boleh pulang.”

Akbar hanya tertawa, “Udah terlanjur masuk, kenapa diusir?”

“Yaudah diem disini, dengerin.”

Akbar memajukan badannya mendekat kearah Naura, “IH GAK USAH SEDEKET INI LO EMANG KALO AGAK JAUHAN NGGA DENGER?”

Benar-benar malam ini Akbar terlihat selalu happy, terlihat seperti tidak ada masalah yang sedang dia rasakan.

“Iyaiya, apa?”

Naura menghela nafas berat, “Yang pertama gue mau minta maaf.”

“Jangan dipotong, masih belum selesai.”

Akbar mengangguk tanda mengerti atas arahan Naura.

“Gue minta maaf atas sikap gue yang terlalu blak-blakan cenderung jahat kemarin bar, gue minta maaf.”

Akbar diam, benar benar tidak memotong perkataan demi perkataan yang disampaikan oleh Naura.

“Ada alasan yang bikin gue begini bar, sebenernya.” Naura mulai mengucapkan kalimat demi kalimat dengan suara bergetar.

“Kalo belom siap cerita, ngga usah diceritain.” Ucap Akbar pelan.

Naura menggeleng, “Gue harus ceritain, kata jovi gue ngga boleh mendem sendirian.”

“Lo patuh banget ya sama jo—“

“Dia sahabat yang gue punya, selain lo.” Potong Naura.

Akbar kembali mengangguk, “Yaudah, mau dilanjutin apa ngga?”

“Mau—“

Naura kembali menarik nafas panjang, dan berusaha mengingat kembali kejadian yang membuat dirinya begini.

Namanya Juna, laki-laki yang menjadi sahabatnya sejak kelas 1 SMA itu terus mengisi hari-hari Naura. Keduanya memang bersahabat, dengan Jovi tentunya.

Intensitas pertemuan mereka membuat Naura lama lama menaruh hati kepada seorang bernama Juna, dia adalah satu-satunya orang yang paling Naura kagumi saat itu setelah kedua orang tuanya. Hari-hari Naura hanya menceritakan semuanya tentang Juna kepada Jovi, tentunya secara diam-diam.

Ternyata, semesta mendukung Naura, karena Juna juga merasakan hal yang sama dengan Naura, berawal dari sana, Naura dan Juna mulai menjalani hubungan layaknya anak SMA yang berpacaran, namun karena notabenenya mereka berawal dari sahabatan, Naura selalu mendapat pesan untuk selalu menjaga komunikasi, karena sayang jikalau mereka harus selesai dan kedepannya malah menjadi musuh.

Cukup banyak kenangan manis yang pantas dikenang selama mereka menjalin hubungan, namun hubungan yang tidak didasari atas keterbukaan sama saja seperti hubungan pura-pura. Juna berubah menjdi orang yang tertutup, tiba-tiba juan menjadi orang yang berbeda 180°. Dia menjadi tertutup, dia suka bolos sekolah, jarang mengerjakan tugas dan bahkan Juna yang terkenal pintar tidak bisa lolos kedalam seleksi olimpiade untuk mewakilkan sekolah. Tapi bukan itu yang menjdi permasalahan bagi Naura. Tapi sisi tidak terbukanya Juna yang menjadi permasalahan di hubungan mereka.

Berubahnya Juna juga mendoktrin orang-orang seantero sekolah untuk menjudge Naura telah membawa pengaruh buruk kepada Juna.

Bahkan setiap hari pesan berisi ujaran kebencian tidak berhenti diterima Naura.

”Naura, lo kasih pengaruh buruk apasih ke Juna?”

”Naura, lo apain Juna sih?”

”Naura, putus aja sama Juna, lo itu cewe pembawa pengaruh buruk tau ngga.”

Hal tersebut membuat Naura mau tidak mau harus bertanya dan menyelesaikan permasalahan yang ada diantara mereka, Naura tidak menuntut, hanya saja dia ingin Juna bisa terbuka dengan dirinya.

Malam itu, Naura hendak membicarakan hal ini dengan Juna, dia minta untuk bertemu disalah satu taman, mereka berusaha menyelesaikan dengan kepala dingin, tapi setan apa yang merasuki mereka berdua, mereka berdua malah mengambil keputusan dengan emosi yang masih ada di kepala.

“Kamu kenapa ngga mau cerita?” “Kita janji buat selalu terbuka, Ju.” “Kamu ada masalah kenapa ngga mau diceritain ju?”

“Nau, stop, lo cuma pacar, bukan berarti gue harus ceritain semuanya sama lo.”

Kalimat itu tentunya membuat Naura sakit hati, selama mereka menjadi sahabat, mereka tidak pernah begini, Sebenarnya ini yang paling ditakuti oleh Naura.

“Kita putus aja deh nau, itu kan yang lo mau?”

Sampai kata-kata yang tidak diinginkan keluar dari mulut Juan, menbuat Naura tidak habis pikir, sebegitu bercanda kah hubungan mereka? Its sounds cringe, tapi Naura hanya meminta Juna untuk tidak memendam tapi nyatanya, dia memendam dan tidak membagi keluh kesahnya kepada Naura, sesuai janji mereka di awal.

“Lo mau putus kan? Itu kan yang lo mau makanya lo ngajak gue ngomong sekarang nau? Yaudah kalo lo mau putus, kita putus sekarang, Nau.”

“Junaa..”

Malam itu Juna pergi, ntah kemana meninggalkan Naura sendiri yang menangis tak berhenti. Dia tidak tahu, rasa ingin tahunya malah membuat Juna sakit hati sampai akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan, semua itu memang terdengar kekanak-kanakan memang.

Sampai Akhirnya, Naura malam itu dijemput oleh Jovi yang rela menjemput dirinya walaupun jarak rumahnya dengan lokasi Naura sekarang jauh. Jovi menyuruh Naura untuk tenang, sampai akhirnya ntah apa membuat Naura tidur sangat pulas hingga tidak sadar, malam itu telfon genggamnya tidak berhenti berbunyi,

“Naura, lo yang buat ini semua terjadi” “Naura, lo emang pembawa sial.” ”Naura, kembaliin Juna, kemarin lo buat Juna berubah, sekarang lo ngebuat Juna pergi.”

Pesan terakhir itu tiba-tiba menyadarkan Naura dari tidur lelapnya, awalnya dia tidak mengerti apa maksudnya, dia kira semua itu mimpi, sampai akhirnya, 1 pesan dari Jovi muncul “Naura, sorry to say, Juna kecelakaan semalem setelah kejadian kalian berantem, idk how to tell u dan gue ngga tau penyebabnya karena apa, tapi dia, dia pergi ninggalin kita semua, Nau.”

Naura mengakhiri kisahnya dengan isakan yang sangat keras, tidak perduli dengan tetangga kosannya yang berasumsi macam-macam terhadapnya, tapi tragedi itu cukup membuat Naura sampai saat ini selalu menyalahkan dirinya sendiri.

“Seharusnya kalau malem itu gue ngga ngajak dia ketemu, dia ngga bakal pergi.”

“Seharusnya kalau gue ngga nuntut dia untuk terbuka, dia ngga bakal pergi, bar.” Isak tangis kembali terdengar dari mulut kecilnya.

Akbar masih shock mendengar kisah tragis yang dirasakan oleh sahabat perempuannya, mungkin cerita tersebut terkesan terlalu dramatis bagi orang lain, tapi bagi Akbar, tragedi itu cukup membuat Akbar paham mengapa Naura selalu takut jika ada yang mendekatinya, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri.

Akbar berusaha menenangkan perempuan yang ada disebelahnya ini

“Nau—“ “Gue minta maaf..”

Naura mengangkat kepalanya, mata sembab sudah tercetak jelas di wajahnya, “Lo ngga perlu minta maaf, seharusnya gue yang minta maaf udah nyakitin lo dengan kata-kata gu—“

“Nau, ngga—“

“Akbar, gue ngga mau lo jadi korban kesialan gue. Akbar, you deserves someone better than me.

Akbar memalingkan wajahnya kearah depan, tidak lagi menghadap Naura, dia sedikit berusaha menetralkan pikirannya saat ini.

“Nau, udah berkali kali orang bilang gue bodoh karena terus berharap lebih dari lo.”

“Tapi Nau, what if someone who deserves it is you?”

Raut kekecewaan tentunya terpancar dari wajah Naura sesaat dia melihat pengumuman mengenai delegasi, dia berusaha tabah dan tegar, tapi tetap saja raut wajahnya selalu menggambarkan apa yang menganggu pikirannya hari itu.

“Nau, liat gue dong, jangan sedih, astaga gue harus hibur gimana lagi sih ini supaya lo ngga sedih?” Tanya Kayla yang daritadi berusaha menghibur Naura sesuai dengan perintah dari Akbar

“Diem, lagi ngga mood bercanda. Udah yaaaa gue mau nyamperin Akbar, katanya dia nunggu di parki—“

Perkataan Naura berhenti tatkala melihat laki-laki berdiri didepan kelasnya sambil memainkan handphone di tangannya.

Akbar benar benar menepati janjinya, setelah diberitahu oleh Kayla posisi kelas Naura, setelah kelasnya berakhir, Akbar langsung melangkahkan kakinya dengan cepat ke posisi tersebut.

“Hai?” Sapanya

“Katanya nunggu di parkiran?”

Akbar menggeleng, “lebih pengen nunggu disini? ngga boleh? yuk? keburu hujan, diluar udah mendung, gue bawa motor soalnya.” Ajak Akbar kemudian merangkul Naura meninggalkan kayla yang berdiri mematung ditempatnya.

“DASAAAR JANGAN LUPA UPAH GUE YA AKBAR.” teriak Kayla dan dibalas isyarat “ok” dari Akbar.


Setelah sampai di kedai gelato yang dijanjikan Akbar, Naura tetap diam, dan ketika ditanya hanya menjawab “terserah” “terserah” dan “terserah”

“Ini gue beliin rasa yang ngga enak ya kalo terserah mulu?” Seru Akbar.

“Yaudah, pesen aja, gue gak makan.”

“Jangan sedih dong.”

“Engga sedih.”

“Terus kenapa itu cemberut mulu, gini dong senyum, nah gini cakep.” Ucap Akbar sambil menarik pelan garis bibir Naura agar bisa tersenyum sesuai dengan apa yang dia inginkan.

Naura kemudian memaksa untuk tersenyum, setidaknya dia harus berterimakasih kepada semesta karena disaat seperti ini, disaat hatinya gundah, gelisah dan gulana masih ada orang seperhatian Akbar yang masih berusaha menghibur dirinya.

Cuaca yang mendung sore itu membuat Naura dan Akbar terpaksa harus buru-buru menghabiskan ice creamnya karena harus kembali pulang sebelum terjebak hujan di kedai tersebut.

“Lo sambil makan aja nanti di motor.”

“Engga ah, nanti susah kalo ada polisi tidur.” Tolak Naura.

“Engga, gue pelan pelan.”

“Enggaaaaaaa akbar, gue mau habisin aja.”

Akbar hanya mengangguk, tidak membantah lagi, karena dia tahu suasana hati Naura sedang tidak baik, jika dia memaksa terus menerus, bisa bisa dia yang akan kena imbasnya.

Sepanjang perjalanan, Naura & Akbar hanya diam tidak mengobrol satu sama lain seperti biasanya.

Tak terasa sedikit demi sedikit rintik hujan mulai membasahi jalanan mereka berdua.

“Mau neduh aja atau gimana?” Tanya Akbar

“Lanjut aja.” Jawab Naura

“Ini deres, nau.” Balas Akbar, “gapapa, lagi pengen sakit.”

Mendengar hal itu, Akbar langsung meminggirkan motornya di pinggir jalan, kemudian menyuruh Naura untuk turun.

Naura yang sedang melamun tiba-tiba saja kaget karena Akbar memberhentikan motor di dekat salah satu warung yang kosong. “Kenapa? Kan gue bilang lanjut aja?”

“Ini deres, Naura.”

“Yaudah, udah terlanjur Akbar, lanjut aja.” Seru Naura

Akbar diam, kemudian membuka jok motornya dan mengambil 2 pouch besar yang ada disana, kemudian mengajak naura ke beberapa warung yang ada disekitar sana.

“Pake.” Ucap Akbar memberikan 1 pouch berisi jas hujan, dan 1 pouch berisi jaket.

“Gue udah basah gini bar, ngapain.”

“Gue ngga mau lo sakit, paham?”

Naura mendecak, “Akbar, lo ngga usah sekhawatir ini sama gue, kita, gue dan lo itu cuma sahabat, bukan pasangan yang harus saling melindungi satu sama lain.”

Akbar terdiam mendengar kata-kata Naura. Dia benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi saat itu.

“Bar, lo sama gue itu sahabatan, dan sampai sekarang gue masih megang prinsip kalo cowo dan cewe itu bisa kalau cuma temenan aja.”

“Bar, sampe sini lo paham kan maksud gue?” Tanya Naura memastikan.

Akbar benar-benar mematung, seluruh tubuhnya tidak dapat merespon apapun, bahkan lidahnya terlalu kelu untuk menjawab apa yang dikatakan oleh Naura sore itu.

“Ayo gue antar pulang, pake aja, gapapa udah kebasahan juga yang penting lo ngga kedinginan, gue tunggu di motor, nanti makin deres.” Ucap Akbar sambil meninggalkan Naura menuju ke motornya.

dari balik punggung yang menjauhi dirinya, Naura lagi lagi terdiam, merutuki kata-kata jahat yang keluar dari mulutnya kepada Akbar, laki-laki yang selalu menemaninya disaat dirinya rapuh.

”Akbar, maafin gue, gue cuma ngga mau lo nanti nerima sialnya gue, sama kaya apa yang dirasain sama dia dulu bar, gue bener-bener ngga mau kehilangan untuk yang kedua kalinya bar, i’m so sorry

Suasana terik di tengah Kota Malang membuat Akbar & Naura memutuskan untuk pulang dari warkop dan memilih mencari tempat yang sedikit teduh untuk sekedar mendinginkan diri.

“Kosan gue aja mau gak? AC di ruang tamu dingin, sekalian ngerjain tugas makalah yang kita sekelompok, gimana?” Ajak Naura ditengah kebingungan yang melanda mereka berdua.

Tanpa basa-basi, Akbar langsung mengiyakan ajakan Naura, hitung-hitung dia bisa menghabiskan banyak waktu dengan Naura sore itu.

Cuma menghabiskan waktu bersama dengan sekedar mengobrol, tidak lebih.

Setelah sampai didepan kosan Naura, Naura terlebih dahulu masuk kedalam dan membukakan pagar kosannya.

“Gue masuk dulu bentar ya, mau ganti baju, terus itu AC nya dihidupin aja, biar dingin.” Perintah Naura, dan mendapat anggukan dari Akbar yang sibuk memasukkan motornya ke parkiran yang ada.

Akbar memilih untuk bersantai, sesekali mendengarkan lantunan lagu yang ada didalam playlistnya sore itu.

Tidak lama, Naura turun dari kamarnya menggunakan baju ala rumahan, tapi tetap saja menawan di mata Akbar.

“Jangan ngeliatin mulu lu, jelalatan bener.” Ucap Naura singkat sambil menyentil dahi Akbar.

Sang empunya dahi kemudian mengusap-usap dahinya pelan, “Sakit tau.”

Setelah menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk mengerjakan tugas, mereka memilih untuk beristirahat.

Suasana Kota Malang saat itu memang sedang panas-panasnya, untuk hari ini sekedar pendingin ruangan seperti AC pun tidak mempan untuk menghilangkan hawa panas yang ada di ruangan tersebut.

Kalau kalau ada orang yang percaya dengan hal tidak nyata, pasti akan mengatakan ruangan ini pasti banyak penunggunya, makanya hawanya panas.

Namun, Akbar dan Naura malah sebaliknya, tidak terlalu memikirkan hal negatif, niatnya sih supaya tidak didatangi jadi tidak usah dipikirkan.

“Nau, gue haus, ngga ada air dingin apa?” Tanya Akbar.

Naura menggeleng, “Beli aja sana di warung.”

“Lo mau ngga?”

Naura mengangguk, “Mau dong, beliin susu coklat yang dingin ya?”

“Uangnya?” Tanya Akbar

Naura kemudian langsung memasang raut wajah memohon, “Pake uang lo dulu dong, hehe.”

Akbar kemudian langsung memalingkan wajahnya, tidak kuat akan ekspresi yang diberikan Naura.

“Yaudah, gue pergi dulu, jangan kemana mana, disini aja, diem.”

“Mau kemana juga sih gue, ini kan kosan gue, hadeh orang aneh.”

— Saat balik dari warung untuk membeli minuman, Akbar mendapati satu hal yang tidak asing terpakir didepan kos Naura, sebuah Mobil yang dia yakin dia tahu sekali siapa pemiliknya.

Dengan cepat, dia langsung berlari ke kosan Naura yang berjarak sekitar 100m dari warung tersebut.

Dengan nafas yang terengah-engah, Akbar membuka pagar, dan mendapati apa yang dia curigai sedang berdiri di ambang pintu kosan tersebut.

“Raka!” “Lo ngapain?” panggil Akbar, lelaki tersebut menoleh dan benar, dia adalah Raka.

Raka menoleh dengan cepat, dan langsung mendekati Akbar, “lo ngapain disini?”

“Harusnya gue yang nanya, lo ngapain di kosan Naura? beneran kaga mau mundur lu ya rak? Kaga kasian apa gue yang jomblo beberapa tahun ini, astaga.” Gerutu Akbar.

“Aduh gimana ya gue jelasinnya, gue tuh kesini—“

Belum selesai Raka menyelesaikan perkataannya, muncul lelaki paruh baya namun tidak terlalu tua dari ambang pintu ruang tamu kosan tersebut, tentunya dengan Naura disebelahnya.

Naura memasang ekspresi terkejut, seketika dia melupakan bahwa Akbar sedang pergi sebentar, dan tidak memikirkan hal ini akan terjadi.

“Raka? Itu siapa? Adek? Ini kosannya nyampur ya? Kamu bilang ini kosan cewe doang?” Tanya lelaki tersebut.

Naura gelagapan, berusaha untuk mengklarifikasi hal tersebut, “Engga papa, ini temen adek, kenalin, namanya Akbar.”

“Oh, kenalin saya Papanya Naura.” Sambut laki-laki paruh baya tersebut sambil mengajukan tangannya untuk bersalaman dengan Akbar.

Akbar pun menyambut hal tersebut dengan senang hati, “Akbar, Om.”

Papa Naura hanya mengangguk dan mengajak anak perempuannya untuk kembali masuk.

Tak lama setelah ayahnya masuk, Akbar kemudian kembali menginterogasi Raka, “Lo kok bisa dateng sama Papanya Naura, sih?!”

“Lo beneran mau nikung gue ya?”

“Raka lu bener-bener dah gue ngga ngerti lagi rak, cara lo begini rak, padahal gue udah cerita, bahkan minta bantuan lo buat minta restu dan lain-lain, tapi lo gini sama gue udah gue ngga ngerti lagi, Rak.”

Raka hanya tersenyum, mendegarkan segala ocehan dari Akbar tanpa memotong atau menjawab sedikitpun.

“Lo kok malah senyum senyum? Dih ga waras nih orang, beneran mau nik—“

Omongan Akbar terpotong, tatkala laki-laki yang mengaku sebagai Papanya Naura tadi kembali muncul dari ambang pintu.

“Ini temennya Naura ngga mau masuk? Raka, suruh itu masuk temen adikmu, masa dibiarin di luar aja sih, mending kamu bantuin adik mu juga sana di dapur bukain oleh-oleh yang papa bawa.”

Mendengar hal tersebut, Akbar seketika langsung mematung, dan berusaha menatap Raka dengan matanya yang menggambarkan ekspresi terkejut luar biasa.

“….adik?” tanya Akbar, memastikan.

Raka langsung memasang ekspresi kemenangan dan tersenyum jail kepada Akbar, kemudian dia menarik tangan Akbar untuk berjabat dengan tangan miliknya.

“Yaudah, karena papa gue sendiri yang kasih tau jadi sekarang kenalin, Araka Jinendra Reswara, kakak kandung dari Naura Janira Reswara. Salam kenal ya Akbar, sekarang yuk masuk? udah ditungguin papa gue tuh didalem, katanya mau minta restu? restu dari gue belakangan deh, gue mikir-mikir dulu..” ledek Raka

Raka kemudian meninggalkan Akbar yang masih mematung di posisi ia berdiri, “Tuhan, cobaan apalagi ini…….”

Pesan dari salah satu teman Ansara langsung membuat Sabian pergi dari kediaman perempuan itu.

“Tan, Sabian bantu cari Ansara ya.” ucapnya kepada ibu yang sedang menangis menunggu kabar mengenai putrinya.

Sabian langsung mengambil kunci motor yang ada di meja makan rumahnya, karena dia berfikir, jika dia memakai mobil, dia akan terjebak di dalam lautan kendaraan di pagi hari. Tanpa meminta izin kepada papanya, dia langsung menancapkan gas motornya menuju lokasi yang telah diberikan oleh seseorang bernama Gia tersebut.

Setelah sampai di tempat tujuan, tanpa babibu, Sabian berlari menuju tempat yang diberitahukan oleh Gia.

Benar, disana perempuan yang dia cari tersebut ada disana, dia menangis sambil memeluk satu-satunya teman yang menemaninya.

“Gue disini.” Sabian berdiri tepat di belakang kedua perempuan itu, dan membuat Gia menoleh dan langsung menyuruh Sabian untuk mendekat ke arah Ansara.

Ansara dengan air mata yang berderai kemudian menoleh sedikit, melihat siapa yang ada disana, serta menyapa dengan sua bergetar, “Sab…”

“Sabian, hiks…..”

“Mario, Sab…”

Suara bergetar itu membuat Sabian menjadi iba, tanpa bertanya dia kemudian memeluk perempuan yang ada didepannya dengan erat. “Gue disini, lo tenang, tenang ansara, gue disini.”

Setelah Ansara sedikit tenang dan bisa memeluk dirinya sendiri, Sabian dan Gia mengobrol agak jauh dari Ansara, untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

“Jam 3 pagi dia hubungin gue, katanya Mario koma dan barusan kritis, dia ngga berani bangunin ayah sama ibunya buat kesini.”

Sabian langsung lemas mendengar kabar tersebut, jadi orang yang ditangisi perempuan itu adalah Mario yang sedang terbaring lemah didalam sana, “terus? keadaannya gimana?”

“Lagi tindakan sab, gue takut kalo sampe…….”

Omongan Gia terpotong, tatkala dokter keluar dari ruangan dingin tersebut, menghampiri satu laki-laki yang berdiri disana.

Kata Gia, laki-laki itu yang mengabarkan keadaan Mario kepada Ansara.

“Lo kenal?” Tanya Gia

Sabian mengangguk, “itu Jean, sahabat deketnya Mario.”

Mereka berdua langsung merapat kearah dokter, mengejar Ansara ditengah tangisannya itu juga berlari mendekati dokter untuk mengetahui keadaan Mario,

“…maaf sekali lagi.” Hanya kata itu yang terdengar oleh Gia dan Sabian, namun 2 orang lain yang ada disana langsung lemah tak berdaya, begitupula dengan Ansara.

Setelah mendengar kabar itu, Ansara makin histeris. Gia & Sabian langsung bingung atas respon mereka.

“Sa? kenapa? Sa? Jawab gue..” Tanya Gia, berharap Ansara tidak sampai pingsan.

“Mario, gi” “Mario udah gaada, gi.” “Cowo yang gue sayang udah gaada, gi….”Jawab Ansara dengan suara yang super bergetar.

Sabian dengan cepat memeluk tubuh lemah Ansara yang menangis dengan sangat kencang. “Sa, i’m sorry to hear that sa..”

Hari itu, perempuan itu kehilangan sosok yang paling dia sayangi, orang yang paling berharga dalam hidupnya selain ayah dan ibunya, orang yang paling menyahanginya walaupun ujungnya harus berpisah tanpa alasan yang jelas.

Pagi itu, menjadi hari yang paling menyakitkan yang dirasakan oleh Ansara. Kehilangan tetaplah kehilangan, apapun hubungannya, kehilangan adalah salah satu hal yang paling menyakitkan yang ada di dunia. Ansara yang tetap menangis histeris tanpa ampun membuat laki-laki yang berstatus sahabatnya itu ada ikut menangis sedih.

“Ansara, you’re gonna be okay, i’m here, i’m here for you….”

“Bang, bro, gue duluan ya.” ucap Akbar sesaat setelah mereka selesai melakukan sparing basket dengan teman-teman Raka.

“Mau kemana bar? buru-buru amat?” tanya bang yuta yang mendekati dirinya sambil melempar satu botol air mineral kepada Akbar

“Mau jalan sama cewenya pasti.” sahut beberapa orang yang ada disana.

Akbar hanya menggelengkan kepalanya, “Engga bang, kaga punya cewe gue.”

“Alah bohong, antara belom punya cewe atau no face no case kaya anak tiktok alias kaga ditunjukin aja hahaha.”

Akbar yang mendengar tuduhan yang tidak benar itu hanya tertawa, tapi di satu sisi, Raka memasang muka yang bertanya tanya, apa bener ada yang Akbar sembunyikan darinya, apalagi yang dia tahu Akbar sangat dekat dengan adiknya, Naura.

Setelah berpamitan dengan yang lainnya, Akbar lanjut berpamitan dengan Ezra & Raka.

“Kemana lo?” tanya Raka.

Akbar hanya memasang muka isengnya, “Ada deh, gak boleh kepo.”

Raka yang mendengar itu langsung mendengus kesal, dan membiarkan Akbar pergi dari lapangan basket tempat mereka latihan tersebut.

Dengan cepat, Akbar menaiki motornya menuju kosan untuk bersiap untuk pergi bersama Naura, kalo kata dia sih ”Friend-Date”

”Gapapa friend-date dulu, date benerannya belakangan.” ujarnya dalam hati.


”tiin... tiin” Suara klakson motor Akbar terdengar dari dalam kamar Naura membuat Naura bergegas keluar dari kamarnya.

Kamar Naura yang berada di lantai 2 mengharuskan dirinya untuk menuruni satu persatu tangga dan langsung berlari kearah luar agar Akbar tidak menunggu lama disana.

“Lama banget.” omel Akbar, walaupun dia belum satu menit sampai didepan kost Naura.

Naura memutar bola matanya, “Lebay banget, kaga sampe juga 1 menit lu nungguin gue.” ucapnya langsung menaiki motor vespa Akbar yang berwarna merah itu.

”Let’s g—

Perkataan Naura terhenti saat Akbar menyodorkan helm dari arah depan, “Helmnya neng, jangan lupa, main let’s go, lets go aja.”

Naura hanya terkekeh sambil menepuk dahinya pelan “Maaf hehe, lupa.”

Perjalanan sekitar 30 menit mereka tempuh dari kediaman Naura, sepanjang jalan mereka hanya mendengarkan lagu yang dihubungkan oleh earphone yang dibagi berdua sambil bernyanyi mengiringi keheningan malam.

Setelah sampai dan memarkirkan motornya, mereka langsung menuju spot favorite orang-orang, spotnya ngeliat lampu-lampu Kota Batu dari ketinggian.

“Tumben yah ngga rame.” ucap Naura sesaat dia menduduki spot yang telah mereka pilih.

“Biasalah, cuacanya lagi caper, lagi musim maba kan? Malang sama Batu kan suka gitu, kalo lagi musim maba suka dingin banget, biar mabanya betah.” ungkap Akbar.

Mereka menghabiskan waktu bersama sambil menikmati pop mie yang mereka beli dari warung yang ada disana, walaupun tidak sampai 5 menit, mie itu kembali dingin karena cuaca.

“Nau, lo kenapa tiba-tiba ngajak kesini deh?” tanya Akbar, dia memang penasaran karena Naura bukan tipe orang yang doyan nongkrong atau keluar tanpa alasan yang jelas.

Naura hanya tersenyum, “Gapapa, gue lagi pengen menghirup udara segar aja.”

“Gak mungkin sih.”

“Lo jangan sok tahu soal gue ya bar, emang gak boleh apa gue cari udara segar sekali-sekali?”

“Kok ngajaknya gue?” Tanya Akbar lagi, kali ini pertanyaan yang membuat Naura diam seketika.

“Gapapa, gausah dijawab, gue ngga penasaran juga.” sambungnya.

“Bar..” panggil Naura, membuat Akbar menoleh “kenapa?”

“Lo pernah punya rahasia gak?”

Akbar menaikkan alisnya, “ya pernah lah, manusia mana sih yang ngga punya rahasia?”

“Apa?”

Akbar hanya terkekeh, “Nau, namanya rahasia ya gak boleh dikasih tau orang lah, gimana sih.”

Naura ikut terkekeh mendengar jawaban dari Akbar, ya emang bener namanya rahasia ngapain dia tanya “soal apa”

Akbar hanya melihat naura heran, “Kita tumben banget gak sih kaya orang sok bener gini naux biasanya juga kita bahas hal aneh kaya kenapa bakso bentuknya bulet bukan kubus, terus ngebahas hal hal aneh yang lainnya.”

“Haha iya ya bar, kenapa ya? tapi gapapa sih sekali-sekali jadi orang bener, capek tau jadi orang aneh.”

Akbar hanya tertawa mendengar celotehan dari Naura yang jarang sekali dia dengar, tanpa sadar tangannya kemudian mengacak rambut naura, membuat Naura seketika mematung.

“Eh, sorry..”

Naura hanya mengangguk, “Gapapa, abang gue juga sering refleks gitu kok kalo adeknya gemesin.” ucap Naura yang kemudian sadar dan langsung menutup mulutnya.

“Lo punya abang?” tanya Akbar, Naura hanya menatap Akbar dengan wajah datar. “Eh, punya…”

Akbar hanya mengangguk, dia sama sekali tidak berniat untuk menanyakan hal mengenai keluarga Naura, karena menurutnya ranah keluarga adalah privacy kecuali orang tersebut sendiri yang ingin membagikan ceritanya.

“Nau..” kali ini Akbar yang memanggil naura.

“Apa?”

“Ada gak sih hal yang pengen lo rubah kalo lo punya kemampuan buat ngerubah itu?”

Naura diam sambil memikirkan jawaban, “Ada”

“Apa?” tanya Akbar

“Persepsi orang akan satu hal, gue pengen deh tau alasan kenapa orang buat persepsi tersebut dan seakan akan dunia tuh kaya memegang teguh sama persepsi tersebut.”

Akbar penasaran dengan jawaban yang dikatakan oleh Naura dan kembali bertanya, “Apaan? persepsi soal apa?”

“Soal kenapa cowo dan cewe itu gak bisa berteman? kan menurut gue berteman itu bisa sama siapa aja, tanpa memandang gender apapun, ya gak?”

Akbar terdiam, dia benar benar mematung dengan pernyataan yang diberikan oleh Naura saat itu.

“Bar? kok diem? Menurut lo, gimana?” Tanyanya.

“Hm, kalo pribadi gue sih setuju sama persepsi itu, karena gimana ya kalo temenan apalagi deket, pasti mereka sering ketemu. Semakin sering orang itu ketemu dan ngabisin waktu bareng, semakin memungkinkan kan kalo keduanya atau salah satunya punya perasaan satu sama lain? Inget ga kalo ada pepatah mengatakan ”cinta datang karena terbiasa?”, bisa jadi persepsi cowo sama cewe itu ngga bisa temenan itu karena ya itu…”

Kali ini, Naura yang malah diam mendengar pernyataan dari Akbar, “Yaudah itu kan pendapat masing-masing, kalo menurut gue bisa dan menurut lo ngga bisa ya gapapa, its how we personally respond it., tapi gue kepo deh, lo emang pernah ya bar ngerasain gitu? lo temenan tapi lama-lama suka, ih cerita dong.”

“Ngga, gue ngeliat temen-temen gue aja kok.”

“Tapi kan biasanya orang learning by doing, hayo? Hahaha.”

Akbar mengacak rambutnya kasar sambil menggeleng, “Eh, tapi nau..”

“Apalagi?”

“Menurut lo, kalo ada kasus yang kaya gitu, temenan tapi cowonya punya rasa, respon lo sebagai cewe gimana? Menurut lo cowo itu harus ngutarain atau engga?”

Naura terdiam, dia hanya menatap Akbar yang daritadi memalingkan muka dari hadapannya. “Gue? kalo menurut gue mending ngga usah nyatain, it will ruin their friendship, bar

Akbar yang mendengar itu langsung mengarahkan pandangannya kedepan, tetap tidak menatap naura.

“Kenapa? lo lagi ngerasain itu?”

Akbar menggeleng dengan cepat, “Engga, just ask about your perspective

“Ih bohong ya.”

“Beneran, nau.” sanggah Akbar.

Naura mendengus kesal karena tidak dapat memancing Akbar kembali untuk bercerita. “Yaudah deh, kalo ada yang mau diceritain, cerita sama gue ya?”

Akbar mengangguk, “iya.”

“Janji?” ucap Naura menjulurkan jari kelingkingnya dan membuat Akbar menatap jari mungil yang ada didepannya.

“Daripada janji janji, mending tangan lo sini deh, itu pucet banget, kedinginan yah? kita pulang aja yah?” tanya Akbar sambil menadahkan tangannya didepan Naura, berharap Naura juga akan menadahkan tangannya diatas tangan Akbar.

“Hah? tangan gue? ngga ah engga.” tolak Naura.

Namun, penolakan itu tidak didengarkan oleh Akbar, tangan naura kemudian ditarik oleh Akbar dan diletakkannya diatas tangannya, “Tangan lo udah dingin, gini aja biar anget dikit, yuk pulang sampahnya jangan lupa dibawa, nau.” ucap Akbar sambil mengenggam tangan Naura sambil berjalan meninggalkan tempat mereka menuju ke parkiran

“Bar…” panggil naura sekali lagi.

Akbar kemudian melepaskan tangan Naura yang sejak tadi dia genggam, “Eh, sorry sorry Nau.”

“Gapapa kok!” ujar Naura tertawa, tangannya kemudian menepuk pelan pundak Akbar, “Bar, soal yang tadi, soal pendapat gue itu jangan dimasukin hati mentah-mentah ya, inget aja, Tuhan maha membolak-balikkan hati manusia kok.”

(cr pic: sender base @haechanconfess https://twitter.com/haechanconfess/status/1411524992144089088?s=21)