abeydoc

tempat menulis paling nyaman sedunia.

Hati Jeha di pagi yang cerah ini dibuat tidak nyaman, ia deg-degan karena JUNI. Band yang memang ia idam-idam kan sedari dulu, nanti akan menyanyi di depan kedua matanya untuk pertama kali di dalam hidup Jeha.

Di tengah kerumunan anak kecil, Jeha mati-matian untuk mengontrol perasaan mellow miliknya, Bahkan sesekali ia lampiaskan perasaan miliknya dengan mencubit pipi gemas salah satu adik panti di sebelahnya.

Acara pun mulai di buka, dimulai dari sambutan Mas Adit dan beberapa panitia yang bertugas. Dilanjut dengan beberapa games yang mengundang gelak tawa seisi auditorium, membuat Jeha lupa akan kecemasannya dalam waktu sementara.

Lalu tiba saat yang paling dinanti, sambutan dari pembawa acara untuk JUNI membuat seluruh tubuh Jeha membeku. Satu persatu personil band tersebut naik keatas panggung, namun tentu saja. Matanya tidak lepas dari Jojo, vokalis yang memang ia idolakan sedari dulu.

Hatinya serasa melayang begitu ia melihat Jojo dengan balutan kaus oblong warna putih, dengan celana jeans yang melekat di tubuhnya. Tapi tetap saja, menjaga image nomor satu.

Disaat JUNI bawakan lagu pertama mereka, Jeha dengan senang hati ikut menyanyi bersama anak-anak. Tak di sangkanya, hampir seisi auditorium menyanyi bersama.

JUNI tetap bernyanyi hingga lagu ke 7, tak sengaja netra Jeha bertemu dengan milik Jojo. Keduanya bertatapan cukup lama dengan Jojo sembari menyanyi. Jeha malu di tatapnya, dengan cepat Si Manis segera menundukkan kepalanya. Jojo sunggingkan senyumnya, Si Tampan juga tersipu malu.

Baru kali ini ia bertemu dengan penggemar yang… dirasanya berbeda dari yang lain. Aneh.

Pertunjukan pun berakhir, di tutup dengan acara foto bersama. Jeha sibuk mengatur para bocil yang susah di atur, setelah mendapatkan best view matanya menelisik, dari barisan pertama hingga ke tiga, namun dilihat tidak ada tempat tersisa untuknya.

“Sini, di samping gue aja!”

Suaranya terdengar familiar di telinga Jeha, dan ya.. Jojo menunjuk tempat di sampingnya yang terlihat muat untuk tubuh seukuran Jeha. Sekali lagi, Jeha harus mati-matian menahan euforia yang meledak di dadanya.

Bunyi ‘Ckrek!’ kamera terdengar beberapa kali, dengan begitu posisi pun di bubarkan. Tampaknya personil dari JUNI memilih untuk memanfaatkan waktu mereka dengan bermain dengan adik-adik panti.

Saat akan kembali menuju bawah panggung, terdengar sautan dari arah belakang,

“Eh, bentar!” Jeha balikkan badannya, ia dapati Jojo tengah berjalan ke arahnya. “Nama lo siapa?”

Jeha membatu untuk beberapa detik.

“Halo?” Jojo lambaikan tangannya di depan wajah manis Jeha.

“E-Eh! Iya halo, gue.. Josephine. Kenapa?”

Jojo menyeringai tipis, ia ulurkan tangannya.

“Jonathan, nice to meet you” Jeha menatap tangan yang ulurkan padanya, berpikir ‘ini mimpi ga sih gue?’

Namun, segera ia balas salaman itu dengan awkward. “Okay.. Jo,”

Jojo naikkan satu alisnya, lalu tertawa kecil. Hendak ia mengucapkan sepatah kata, namun Mas Adit memanggil Jeha untuk mengurus konsumsi yang telah tiba.

“S-Sebentar ya, lagi dibutuhin hehe,” ucap si Manis lalu pergi menuju sumber suara yang memanggilnya.

Well, interesting.

Jojo sadar, penggemarnya ini berbeda dengan yang lain. Ada sesuatu dari diri Si Manis yang… membuatnya berbeda.

“Tadi siapa yang mulai duluan?” tanya Pak Danis yang merupakan salah satu guru BK kepada Meru dan Joshua.

“Saya pak, saya yang mulai duluan,” jawab Meru sembari menatap wajah tegas milik pria berusia setengah abad itu.

“Kenapa bisa terjadi hal seperti ini lagi? Bisa di jelaskan,”

“Tidak, intinya saya dan Joshua memiliki masalah pribadi, saya tadi pas lihat dia ke kantin langsung kesulut emosi,”

“Saya minta tolong untuk menjelaskan masalah kalian berdua disini,” ucap Pak Danis dengan nada tegas sembari melirik dua siswa yang tengah duduk berhadapan dengannya.

“Tidak bisa pak, ini merupakan masalah pribadi, bapak tidak ada hak untuk menyuruh saya menceritakan masalah pribadi saya,”

Whoops! Pak Danis hampir lupa, Meru bisa dibilang bukan siswa biasa pada umumnya. Keluarganya hampir memiliki seluruh power yang tidak semua siswa dapatkan. Bisa hilang pekerjaannya jika ia terus mencerca anak sulung dari keluarga Mahameru.

“Baik, saya harap tidak akan terjadi hal seperti ini lagi, tentu saja kalian tetap mendapatkan hukuman, nanti akan saya chat secara pribadi melalui whatsapp, untuk menjelaskan hukuman yang akan kalian lakukan,

Jangan mengeluh nantinya jika hukumannya agak berat,” jawab Pak Danis kepada dua siswa di depannya.

“Yasudah, boleh keluar,” lanjut pria tersebut.

Sudah, gampang dan cepat. Meru tersenyum tipis lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan BK dan menuju ke UKS untuk mencari P3K. Tapi ada yang masih mengganjal pikirannya, soal Raka yang merupakan cinta pertamanya.

‘BRAKK!!’

Terlihat Gibran membuka pintu kelas yang tengah tertutup itu dengan keras. Dan tentu saja, ia memasang ekspresi wajah paling sangar yang ia miliki.

“Yang namanya Yoga, maju sini,” ucapnya tenang, mencoba meredam emosi.

Beberapa murid yang berkerumun di belakang menunduk terdiam, enggan menjawab pertanyaanya. Mereka semua takut menatap Gibran yang juga sedang menatap mereka dengan tajam.

“Yang namanya Yoga ga jawab? Ga punya mulut apa gimana?” Tetap sunyi, tidak ada satupun yang berani menjawab.

Mata tajamnya dengan teliti membaca satu persatu tag nama yang tercantum pada dada kiri siswa kelas 10. Hingga akhirnya ia temukan tag nama bertuliskan ‘Yoga Prayogi’, membuat Gibran menghela nafas panjang dengan berat. Bocah itu tengah menyembunyikan dirinya dari amarah Gibran.

Dengan tiba-tiba, Gibran menarik kerah baju milik Yoga dan mencengkramnya dengan keras, amarahnya sungguh sedang berada di ujung tanduk saat ini.

“Dibayar berapa lo sama Aisha buat posting konten sampah kaya gitu, hah?!” bentak Gibran pada Yoga. Tetapi, Yoga enggan menjawab pertanyaan Gibran. Hal itu justru semakin menyulut emosi Gibran.

‘BUGGH!’

Gibran pukul pipi tegas milik Yoga dengan kencang, akibatnya memar berwarna merah keunguan terlihat.

“Dibayar berapa, gue tanya?!”

“M-maaf bang,” jawabnya lirih menahan lara.

“Gue ga butuh maaf lo sekarang brengsek! Jawab dulu pertanyaan gue, dibayar berapa?!” Gibran eratkan cengkraman tangannya pada kerah Yoga.

“Dua j-juta bang, ampun bang, maaf!”

‘Cuih!’

Gibran meludah kesebelah kanan, lalu menatap muka memar Yoga.

“Bayaran sedikit begitu lo terima buat nyebarin beruta gituan?”

Yoga diam tak berkutik, air matanya perlahan menetes. Tak lama dari itu dengan tiba-tiba dari arah kanan, Asa datang dengan nafas tak beraturan. Menatap takut pada Gibran.

Gibran melirik ke arah Asa, dengan segera ia lepaskan cengkaraman pada kerah Yoga lalu berjalan menjauh menuju UKS. Meninggalkan Yoga dengan luka lebam di wajahnya.

Dengan segera Asa berlari menuju UKS, mengikuti Gibran dari belakang. Setelah sampai di UKS, Asa melihat Gibran tengah merebahkan dirinya di atasa salah satu kasur berwarna biru tersebut. Dapat di lihat juga melalui mimik wajahnya bahwa, Gibran tengah mencoba untuk meredam amarah yang tadi sempat dibuat memuncak.

“Kenapa berantem, Gib? Sama adik kelas lagi,” tanya Asa sembari memberanikan diri berjalan pelan menuju kasur Gibran.

“Gapapa, lagi pengen mukul orang aja,” jawab si dominan dengan helaan nafas pelan di akhir.

“Pasti ada alasannya, gamungkin tiba tiba mukul aja”

“Ngga, gue lagi pengen mukul orang aja”

“Terserah, nanti aku cari tahu, terus juga kenapa kamu yang kesini?”

“Ya gapapa, emang gue gaboleh kesini?” jawab Gibran sembari menatap wajah Asa dengan datar.

“Harusnya yang kamu gebukin yang kesini, bukan kamu”

“Yaudah, udah deh gue mau ke kelas dulu, siap siap di panggil BK” Gibran tinggalkan Asa sendiri di ruang UKS dengan perasaan bingung yang menyelimuti dirinya.

“Sa, coba lo buka twitter terus liat postingannya Aisha,” ucap Gibran sembari terkekeh kecil, memecah keheningan yang sempat mereka ciptakan tadi.

Asa yang merasa terpanggil pun menatap Gibran, tak lama dari itu ia anggukkan kepalanya menuruti perintah lelaki tersebut. Saat ia melihat apa yang Gibran maksud, Asa tak kuasa menahan tawa. Sampai perutnya sakit dirasa.

“Loh, ini tangan siapa Gib? Perasaan tadi dia cuman nyapa kita deh, hahaha!” ujarnya disela gelak tawa.

“Bentar, aku mau cari di google atau pinterest dulu, siapa tau ada,” lanjutnya sembari mencari foto yang sempat ia screenshot tadi di dua platform aplikasi tersebut.

“Nah kan, ada nih!” Asa tunjukkan layar ponselnya pada Gibran. Terpampang jelas foto yang aisha unggah di akun sosial media twitter miliknya.

“Ini tuh punya orang Gib, kamu apa pernah foto begitu sama dia?”

“Ngga lah! Gue aja ga nyaman kalau ada dia, apalagi ngajak foto, jangan harap anjing!

“Yaudah berarti bukan tangan punya kamu itu, sans aja.”

“Gabisa anjir! kan gue pacarannya sama lo, bukan sama Aisha, mana bisa gitu bro,” ucap Gibran yang sempat membuat Asa mematung mendengarnya.

“B-bener, hehe,” jawabnya dengan terbata, otaknya masih mencerna apa yang dikatakan Gibran tentang hubungan mereka.

Sepertinya, ada yang salah dengan Asa. Tidak, bukan begini awalnya kan?

“Oh, balikan ini ceritanya?” tanya Aisha pada Gibran tanpa mengalihkan pandangannya pada Asa.

Gibran tak menjawab pertanyaan perempuan menjengkelkan di depannya, ia lebih memilih mengeratkan genggaman tangannya pada Asa.

“Gamau jawab nih? Oke deh gapapa, aku pergi dulu” ucapnya sembari mengedipkan mata bagian kanannya pada Gibran lalu pergi meninggalkan mereka berdua sendirian. Langsung saja Gibran langkahkan kakinya membawa Asa menuju pertigaan lorong dimana mereka akan berpisah karena berbeda kelas.

“Maaf, si Aisha emang kaya gitu tadi, kaya nenek lampir ya?” ucap Gibra yang dapat membuat Asa tertawa.

“Hus! Gaboleh tau ngomong gitu, sekarang mending kamu balik aja ke kelas deh,” usir Asa secara halus.

“Iya, geli banget tadi pas dia kedipin mata ke gue,” bisiknya halus yang dapat mengundang kembali gelak tawa milik Asa. Ternyata membangun kembali kemistri dengan Asa bukanlah hal yang sulit. Terlebih Asa merupakan tipe bocah yang humble pada semua orang.

“Yaudah, aku balik ke kelas dulu ya sayang hehe,” ucap sang dominan dengan malu-malu. Asa yang mendengarnya langsung bergidik geli, tentu saja tak lupa ia pasangkan tampang jijik yang dapat membuat Gibran terkekeh kecil. Karena sungguh mereka berdua merasa agak aneh untuk melakukan semua kegiatan yang mereka lakukan di saat masih bersama.

“Belajar yang rajin, dahh!” ucap Asa meninggalkan Gibran dengan senyuman tipis di wajahnya. 'Perasaan, gue dulu deh yang bilang mau balik ke kelas, tapi kenapa jadi dia duluan?' pikir Gibran diselingi kekehan kecil.

Asa ternyata masih sama, tidak banyak berubah. Yang berubah hanya perasaannya pada Gibran.

Berakhir Gibran berjalan menuju kelasnya dengan senyum kecil yang menghiasi wajahnya. Aneh.

“Udah siap?” tanya Gibran sembari memberikan helm yang dulunya merupakan hal wajib yang ia bawa setiap hari sebelum berangkat sekolah.

“Udah kok,” timpalnya lalu tak lupa mengucapkan terima kasih saat ia menerima benda bulat tersebut. Helm ber merk Cargloss dengan warna hitam legam sudah melekat di kepalanya. Ia pun menaiki motor besar milik Gibran dengan hati-hati, sungguh ini adalah salah satu motor yang ia benci milik Gibran.

Oh ya, hampir lupa untuk menyebutkan bahwa Gibran merupakan pengkoleksi motor. Terdapat 15 motor yang ia koleksi, tertata rapi di garasi rumahnya. Motor-motor tersebut ia pakai bergantian, kadang juga ayah gibran juga meminjam motor sang anak untuk bepergian.

“Yaudah gue gas ya.” Ucapnya sembari memutar gas motor dengan kecepatan normal, Asa hanya mengangguk pelan. Gibran dapat melihatnya dari spion kanan motor nya. Ia sebenarnya juga menunggu satu hal yang ia harap akan dilakukan oleh Asa. Memeluk pinggangnya seperti dulu. Namun nihil, sepertinya Asa enggan melakukannya. Berakhir Gibran menyetir dalam diam dan menghardik betapa awkwardnya moment saat ini.

Tak lama dari itu, mereka telah sampai di SMA tempat mereka menambah ilmu atau SMA ALASKA. Saat mereka berdua memasuki pintu gerbang, seluruh mata menatap Gibran dan Asa dengan tampang heran.

Banyak siswa dan siswi tengah berbisik pelan, seolah tak percaya apa yang sedang mereka lihat. Beberapa menanggap bahwa Gibran hanya menebengi Asa, namun beberapa dari mereka juga bahagia, karena mereka kembali menjadi sepasang kekasih lagi.

Saat sampai di parkiran, semua mata tetap tertuju pada mereka. Oh, kini terdengar suara jepretan kamera handphone, tinggal menunggu beberapa jam lagi base sekolah akan dipenuhi oleh wajah mereka berdua.

“Ya ampun, masih aja kaya gini ternyata.” ucapnya pada Gibran yang sedang mengunci motornya.

“Emang kaya gini, dari dulu ga berubah,” timpalnya.

“Eh udah boleh pakai aku-kamu kan?” tanya nya sembari menatap yang lebih kecil. Si kecil mengangguk pelan dan tersenyum. Dalam hati Asa, ia sedikit nervous, mengingat bahwa Aisha merupakan salah satu siswa berpengaruh di sekolah.

Oh ya, tak lupa sebelum mereka pergi menuju kedalam sekolah, Gibran sengaja mengaitkan tangannya dengan tangan Asa. Tentu saja, tangan Asa masih nyaman di genggam. Sama persis seperti dulu.

Berjalanlah mereka berdua melewati lorong demi lorong, saat mereka melewati lorong ke tiga, tempat dimana Gibran dan Asa akan berpisah, tiba tiba Gibran dan Asa berpapasan dengan Aisha lengkap dengan tatapan sinis yang tentu saja ia berikan untuk Asa.

Malam itu suasana gedung bioskop di salah satu mall terlihat penuh dan sesak akan penonton setia Marvel yang akan bersiap untuk menonton film terbaru keluaran Marvel Studio.

Ibra yang sejak beberapa detik yang lalu sedang memilih snack yang akan ia beli, aji mumpung pikirnya. Sementara Johan tengah diam sembari melihat gerak gerik lucu si kecil.

Setelah beberapa menit berlalu, Ibra pun selesai dengan apa yang di pilihnya. Dua popcorn karamel berukuran jumbo dilengkapi dengan 2 susu milo dingin merupakan snack yang ia pilih. Namanya Ibra tentu saja memilih tak mau ribet, “Mba, nanti antar ke ruangannya aja ya, saya males pegang banyak barang,” ucap Ibra tanpa beban membuat si dominan sedikit membulatkan matanya.

“Udah yuk, kesana aja!” Ibra berucap sembari menarik lembut lengan Johan menuju seat sofa di depan gate masuk dengan tujuan mengajak Johan duduk bersama.

Selang berapa menit pintu masuk teater pun terbuka, dua anak adam itu segera memasuki ruangan teater tersebut dan menduduki kursi yang telah di pilih oleh Jemme.

“Makanannya nanti dianter kan?” tanya Johan pada Ibra yang sedang sibuk meregangkan kepalanya.

“Iya, nanti dianter. Udah ah lo diem dulu deh, gue mau nikmatin nontonin trailer film-film nih!”

“Yeu.. bocil banyak gaya,” ucap Johan lirih namun dapat menarik semua atensi milik si kecil.

“Bacot bener lu, Hih gue cubit lama lama!” Ibra ucapkan kata katanya sembari memperagakan gerakan hendak mencubit, “ngeri banget ni orang satu anjing!”

Kalau begini, sudah deh! Johan tidak berani membuat kalimat yang dapat memancing emosi Ibra lagi, karena Johan lihat-lihat.. Ibra sedang berada dalam mode Do Not Disturb.

Setelah menunggu sekitar 5 menit, film pun di mulai. Dinginnya pendingin udara yang berada di bioskop dapat mereka berdua rasakan dalam diam.

Johan tolehkan kepalanya pada lelaki mungil yang beberapa hari ini menggoyahkan imannya. Ia terlihat santai dan menikmati film yang sedang berputar. Berbeda dengan Johan, sesekali ia lirikkan matanya pada Ibra. Hatinya sedang tidak baik baik saja.

— narasi super mini!

“Makasih buat traktirannya,” ucap Johan pada Ibra yang tengah memakai helm.

“Sama sama, udah ah bawa gue balik cepetan!”

“Siap!” jawab Johan dengan senyum kecil di wajahnya lalu, ia naiki motor gede nya.

Dilanjut dengan Ibra yang menaiki bangku belakang motor tersebut. Setelah dirasa nyaman, tiba tiba Ibra menanyakan pertanyaan yang dapat membuat semua orang terkejut.

“Boleh peluk? Gue takut jatoh.”

Johan mematung untuk beberapa detik kedepan. Berakhir si dominan hanya mengangguk sebagai jawaban.

Malam itu, rasa cemburu Johan padam sudah. Tergantikan dengan rasa hangat pelukan tangan milik Ibra.

Pagi itu Ibra terlihat bangun lebih awal dari biasanya, tentu saja karena hari ini ia akan bertemu dengan Jemme.

Jika di deskripsikan, Ibra kini tengah mengenakan kaus polo berwarna putih dengan bawahan celana pendek hitam. Sekarang ia tengah berkaca di depan cermin sembari memberi beberapa semprotan parfum pada baju yang sedang ia kenakan ini.

Tak lama dari itu, Ibra memutuskan untuk turun menuju lantai bawah guna meminta izin pada Johan. Ya.. walaupun beberapa hari yang lalu ia sudah membicarakannya tapi apa salahnya meminta izin untuk yang kedua kalianya, yakan?

Saat Ibra ingin mencari Johan, tiba-tiba dari arah dapur keluarlah Johan, lelaki jangkung tersebut tengah berjalan menuju ruang tamu dengan keadaan shirtless dan hanya memakai celana pendek diatas lutut.

Pipi Ibra bersemu merah melihat perut atletis milik Johan yang terbentuk dengan sempurna. Pikirannya mungkin sudah kemana-mana! Namun dengan cepat ia hapus semua pikiran mesum tersebut dan langsung menghampiri sang dominan.

“Johan! Lo kalau di rumah jangan shirtless an doang dong. Ini rumah bukan pantai!” tegur Ibra dengan wajah yang sengaja ia buat agar tampak seperti marah.

“Ya biarin? Kita sama sama cowo elah. Lagian badan gue juga bagus, ga kaya lo.”

Sontak Ibra di buat naik pitam oleh perkataan Johan.

“BACOT! Jangan bikin gue marah deh, gue ntar mau ke Jakarta Aquarium bareng Jemme.” ucap si kecil dengan nada kesal.

“Jemme yang jemput?” tanya si dominan sembari mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu lalu menatap Ibra yang kini jauh lebih tinggi dari dirinya.

“Iya Jemme yang jemput, tapi ntar jemputnya di cafe nya Jemme.”

“Mau nongkrong dulu ceritanya?” ucap Johan sembari menyandarkan kepalanya pada senderan sofa.

“Iya, pokonya ntar jemput dah pas gue udah call lo. Dah ya, gue mau ke atas dulu.”

“Oke, btw pake celana panjang aja. Jangan celana kaya gitu.” teriak Johan pada si kecil, sedikit hatinya agak tak rela melihat Ibra dengan tenangnya memakai celana pendek diatas lutut, agak ngeri pikirnya.

CW // HARSH WORD , KISSING Disarankan mendengarkan lagu Angel Baby – Troye Sivan saat membaca narasi dibawah.

“Apaan sih, main tarik tarik aja!” bentak Ibra pada Johan yang dengan kasar menariknya keluar. Ibra coba lepaskan genggaman tersebut namun tentu saja gagal karena kekuatan genggaman yang Johan berikan lebih besar dari usaha lelaki kecil tersebut untuk melepaskan diri.

“Diem,” ucap Johan lalu menaikkan tubuh kecil tersebut ke atas motor miliknya. Tak butuh waktu lama, Johan lajukan kendaraan beroda dua tersebut menyusuri lalu lintas malam Kota Jakarta. Di sepanjang jalan mulut Ibra selalu saja mengoceh, membuat Johan yang tadinya marah sedikit demi sedikit dapat Ibra kikis oleh ceritanya yang kadang tak masuk akal. Bahkan kadang di beberapa cerita random yang diceritakan Ibra dapat membuat Johan tersenyum tipis. Sangat tipis.

Setelah menyusuri padatnya jalanan Kota Jakarta, mereka berdua pun sampai pada kediaman keluarga milik Ibra. Johan angkat badan si kecil dan berjalan menuju pintu masuk utama di rumah megah tersebut. Setelah membuka kunci rumah tersebut, Johan langkahkan kakinya memasuki rumah yang menjadi tempat tinggal sementaranya dan ia bawa tubuh ramping tersebut menuju kamar pribadi milik Ibra.

Saat memasuki ruangan tersebut, Johan dapat mencium aroma vanilla khas milik kamar Ibra. Segera ia tidurkan tubuh si kecil di atas kasur dengan keadaan yang acak acakan. Tak sadar sang dominan terkekeh kecil melihat penampilan si kecil.

“Kalau pakai baju yang bener, Cil,” gumam Johan dengan kekehan di akhir saat menatap Ibra.

“Jem- Jemme..,” gumam si kecil dikala ia tengah terbaring di atas kasur. Sontak Johan bulatkan matanya dan bergerak sedikit mendekati tubuh tersebut.

“Ngga ada Jemme disini,” gumam Johan pelan.

Ibra membuka matanya dan dengan seluruh tenaganya yang tersisa ia coba untuk berdiri di atas kasur lalu menatap lelaki di depannya yang ia hayalkan sebagai Jemme. Dengan langkah gontai ia berjalan mendekati Johan dan tiba-tiba ia kalungkan tangannya di leher sang dominan. Tubuh Johan mematung dan ia tak bisa lakukan apa apa kali ini.

Perlahan Ibra dekatkan wajahnya pada wajah milik Johan dan tentu saja, masih dengan pikiran bahwa itu adalah Jemme. Tak lama dari itu hidung mancung milik keduanya dapat dirasakan telah bersentuhan. Johan dapat merasakan bahwa jantungnya kini berdetak 2x lebih kencang dari biasanya.

“Cantik,” gumamnya dalam hati tatkala ia tatap wajah Ibra dengan jarak yang sangat dekat. Kini jarak diantara wajah mereka menjadi semakin dekat dan akhirnya kedua benda tak bertulang tersebut bersentuhan. Johan ikut menutup mata, perlahan ia lumat bibir pink itu dan hanya satu kata yang muncul di pikiran Johan. “Manis” pikirnya saat ia coba lumat bibir tersebut, dan meninggalkan bekas bengkak kecil di bibir si kecil.

Sungguh, malam ini Johan juga di mabuk. Oleh asmara mungkin?