Bunda nyuwi

        Malam hari waktunya jutaan manusia bahkan miliran mahluk rehat dari segala aktivitasnya, tak terkecuali bagi seorang wanita yang sedari tadi merapal doanya yang senantiasa mencoba bersyukur sudah mampu melawati hari yang penuh akan kisah didalamnya; luka, bahagia dan ketidakpastian pada hadiah—entah hadiah atau kesengsaran, wanita itu tak bisa memastikannya, karena garis tipis diantara dua kata itu terlampau dekat dari semesta yang kian hari kian menyesakan baginya untuk melewati hari-hari peluhnya.

Wanita itu No Aeseol Alexandra. Hanya mahluk bumi biasa yang bahkan tidak ada spesial-spesialnya di mata mahluk lain—bahkan kucing pun enggan berada dalam naungannya

Panggil saja dia Noae. 

Rembulan renjana yang terus meninggi di langit mulai masuk  bergelung diantara padatnya bintang dan dinginnya malam itu menjadi saksi jika Noae tak rehat malam ini, melainkan dia memaksa tubuhnya untuk meraih asa demi hari-hari ke depan dia tak perlu mengeluh akan aturan dunia—semua mahluk harus mencari makan untuk hidupnya. Baik itu manusia, hewan atau mahluk yang tak pernah kita jumpai di semesta yang luas ini.  Noae mengharapkan asa itu pada seorang tuan dengan aura tegas kentara dan perawakan sempurna—yang terhormat King of Talaswera, Bumantara Sachio Adelio.

Raja yang memimpin negara ini, negara yang berdiri sejak 500 tahun lalu, Talaswera. Negara yang luas, dengan kempimpinan tegas monarki di era modern, sang raja; Bumantara Sachio Adelio yang sudah memimpin 10 tahun menganggantikan raja terdahulu—atau bisa juga disebut menganggantikan tahta ayahnya Adelio Romsaithong VI.

Don't worry, i'm not gonna hurt you. Alexandra.” Suara dalam dengan aura yang tenang namun tegas itu keluar dari mulut sang raja. Tangannya menyapa bagian dari diri Aeseol, tatapnya meneduh, dan—god damn it, wanita itu terbuai akan kelembutan yang diberikan sang tuan padanya.

“Panggil saja aku Noae, Tuan. Aku membenci nama yang kau sebutkan barusan.” Sang raja mengangguk.

“Noae. Bernapaslah.” Disapanya wajah wanita itu dengan lembut, tak ada ketergesaan di sana. Sejenak sang raja hanya melihat Aeseol yang terus memejamkan mata indahnya. Ditepuk pelan pipi halus itu, “Bukalah. Aku tidak akan menyakitimu.” Tutur Sachio tidak pernah selembut ini dengan siapapun.

Bibir sang Tuan agung sudah mendekat ke telinga Aeseol, “Nirwana-ku telah datang, aku menunggumu luluh seakan menunggu ribuan tahun. Kau di depanku, langitku. Terima kasih telah menerimaku, Noae.” Tangan itu mengelus tanpa permisi, memupuk endorfin yang terus menguar disela tergugupnya wanita itu, ludah menjadi saksi betapa gugupnya wanita itu.

***

Jubah kebanggan sang raja dan kain lusuh milik Aeseol telah terbuka, kulit itu saling bersentuhan, gemercik ragu akan raja yang jijik pada wanita biasa itu tak ada. Sekalipun lahir dari kubangan rendahan, jika kau adalah berlian bagi raja, maka kau tetap bersinar dan indah. Sachio sudah gila akan prensensi keindahan milih Aeseol, wanita yang sejak dulu ia kejar, kini menyerahkan dirinya tanpa paksa. Beludru mewah itu menjumpai lantai dengan kegagahan Sachio membawa putri cantiknya dalam gendongan.

“Yang tercantik, tuan putri-ku Noae. Terimalah aku sebagai pria-mu untuk malam ini. Aku menyerahkan cinta ini dengan penuh kehati-hatian agar tak melukai langitku.” Dikecupnya bibir tipis Aeseol dengan pelan. Tidak pernah seorant raja mendongak pada siapapun, namun kini pria itu mendongak guna mengecup wanitanya dalam gendongannya.

Sudah tak tahu malu, wanitanya lebih menyilaukan dibanding sang ratu bergelimang riak perhiasan dan cantiknya paras itu tak bisa disandingkan dengan wanita sederhananya Bumantara Sachio Adelio.

No Aeseol Alexandra, terus merapal doa rengkuh aku, ajak aku, gunakan aku, dengan semesta yang menyaksikan, aku berdoa dalam dosaku mengharap dia, dia yang kusebut matahari di musim semi Bumantara Sachio Adelio. dalam ketergesaannya mencapai afeksi yang biasanya dimainkan oleh dua orang tanpa balutan sehelai benang pun—what they called? Having sex?

Aeseol pikir itu benar. A having sex with the king of Talaswera.

Keduanya menabur panas, seperti bara yang siap menghujam dalam meriam perang, bersiteru dengan keadaan yang gila, mustahil dan kubangan dosa, keduanya runtuh dihadapan sang dewa cinta. Raja jatuh hati pada wanita kelas rendahan biasa—bahkan nama Aeseol tak ada dalam susunan kemewahan manapun, dia benar-benar No Aeseol Alexandra yang biasa. 

No Aeseol Alexandra, juga jatuh hati. Jika dulu ia ingkar, maka malam ini, dia tulus mengatakan, dia mencintai pimpinan negeri ini, tak main-main, Aeseol jatuh hati pada sang raja — yang terhormat your majesty Bumantara Sachio Adelio.

Tongue! don't do that.

But i want this do that. C'mon. I wait you inside me, cigarates are bored, Chio.” Aeseol sudah meluruhkan jarak dan menghilangkan kesopanannya pada sang Tuan, pemimpin negri ini.

Sachio smirked and take his precious at a hug from king. Dia No Aeseol Alexandra, nyaman dalam pelukan Sachio tanpa sehelai benang apapun, rapal doanya telah usai, ia menyerah, ia kalah. 

Touches me, i'm yours king.

Sure, Noae.”

They're kisses inch by inch, skin by skin, the sexual tension are high level when Sachio—mencumbu permatanya, kesayangannya. Tepat di leher, bibir, bahkan dada Aeseol sudah mengembung, tangan sang raja terus menggoda tanpa henti dan Aeseol pun runtuh.

I swear to god, i love you Aeseol*.”

Everyone loves you king, so do i

“Huh what?” Tanya sang raja dengan mata tegasnya namun teduh, tangannya tak henti meraba lembut pipi Aeseol.

It means, i love you too Sachio.”

Diakhir asa seorang No Aeseol Alexandra, dia mendapat lebih. Bukan hanya bisa makan apapun, dia berangkat dari warga biasa dan kini menjadi—his lover of king Talaswera.  Sejarah hanya ditulis oleh pemenang dan itu No Aeseol Alexandra. Kekasih dan permatanya raja.

Yes she is. She did it.

Keduanya melebur dengan dengan garis hidup yang mereka buat, rapal doa Aeseol telah usai sejak tadi, sudah mengaku kalah dan berdosa.

Dalam ketidaksucian hamba, tolong sampaikan pada Nirwana— bahwa aku tak menyesal mencintai seseorang yang kusebut tuanku dan matahari musim semi ku.

Aeseol my precious, sapa sanjungku untukmu yang terkasih dan mengisi hati tuanmu ini. Bawalah aku, kekasihku. Aku berdosa bersamamu. Itu asa tuanmu.**

— tamat..

        Malam hari waktunya jutaan manusia bahkan miliran mahluk rehat dari segala aktivitasnya, tak terkecuali bagi seorang pria yang sedari tadi merapal doanya yang senantiasa mencoba bersyukur sudah mampu melawati hari yang penuh akan kisah didalamnya; luka, bahagia dan ketidakpastian pada hadiah—entah hadiah atau kesengsaran, pria itu tak bisa memastikannya, karena garis tipis diantara dua kata itu terlampau dekat dari semesta yang kian hari kian menyesakan baginya untuk melewati hari-hari peluhnya.

Pria itu Apo Nattawin. Hanya mahluk bumi biasa yang bahkan tidak ada spesial-spesialnya di mata mahluk lain—bahkan kucing pun enggan berada dalam naungannya

Panggil saja dia Natta. 

Rembulan renjana yang terus meninggi di langit mulai masuk  bergelung diantara padatnya bintang dan dinginnya malam itu menjadi saksi jika Natta tak rehat malam ini, melainkan dia memaksa tubuhnya untuk meraih asa demi hari-hari ke depan dia tak perlu mengeluh akan aturan dunia—semua mahluk harus mencari makan untuk hidupnya. Baik itu manusia, hewan atau mahluk yang tak pernah kita jumpai di semesta yang luas ini.  Natta mengharapkan asa itu pada seorang tuan dengan aura tegas kentara dan perawakan sempurna—yang terhormat King of Talaswera, Mile Phakphum.

Raja yang memimpin negara ini, negara yang berdiri sejak 500 tahun lalu, Talaswera. Negara yang luas, dengan kempimpinan tegas monarki di era modern, sang raja; Mile Phakphum yang sudah memimpin 10 tahun menganggantikan raja terdahulu—atau bisa juga disebut menganggantikan tahta ayahnya Phakhum Romsaithong VI.

Don't worry, i'm not gonna hurt you. Natta.” Suara dalam dengan aura yang tenang namun tegas itu keluar dari mulut sang raja. Tangannya menyapa bagian dari diri Apo, tatapnya meneduh, dan—god damn it, Apo terbuai akan kelembutan yang diberikan sang tuan padanya.

Apo Nattawin, terus merapal doa rengkuh aku, ajak aku, gunakan aku, dengan langit yang menyaksikan, aku berdoa dalam dosaku mengharap dia, dia yang kusebut matahari di musim semi Mile Phakphum. dalam ketergesaannya mencapai afeksi yang biasanya dimainkan oleh dua orang tanpa balutan sehelai benang pun—what they called? Having sex?

Apo pikir itu benar. A having sex with the king of Talaswera.

Keduanya menabur panas, seperti bara yang siap menghujam dalam meriam perang, bersiteru dengan keadaan yang gila, mustahil dan kubangan dosa, keduanya runtuh dihadapan sang dewa cinta. Raja jatuh hati pads pria biasa—bahkan nama Apo tak ada dalam susunan kemewahan manapun, dia benar-benar Apo Nattawin yang biasa. 

Apo Nattawin, juga jatuh hati. Jika dulu ia ingkar, maka malam ini, dia tulus mengatakam, dia mencintai pimpinan negeri ini, tak main-main, Apo jatuh hati pada sang raja — yang terhormat your majesty Mile Phakphum.

Tongue! don't do that.

But i want this do that. C'mon. I wait you inside me, cigarates are bored, Mile.

Mile smirked and take his precious at a hug from king. Dia Apo Nattawin, nyaman dalam pelukan Mile tanpa sehelai benang apapun, rapal doanya telah usai, ia menyerah, ia kalah. 

Touches me, i'm yours king.

Sure, Natta.”

They're kisses inch by inch, skin by skin, the sexual tension are high level when Mile—mencumbu permatanya, kesayangannya. Tepat di leher, bibir, bahkan dada Apo sudah mengembung, tangan Mile terus menggoda tanpa henti dan Apo pun runtuh.

I swear to god, i love you Nattawin.”

Everyone loves you king, so do i

“Huh what?” Tanya sang raja dengan mata tegasnya namun teduh, tangannya tak henti meraba lembut pipi Apo.

It means, i love you too Mile.”

Diakhir asa seorang Apo Nattawin, dia mendapat lebih. Bukan hanya bisa makan apapun, dia berangkat dari warga biasa dan kini menjadi—his lover of king Talaswera.  Sejarah hanya ditulis oleh pemenang dan itu Apo Nattawin. Kekasih dan permatanya raja. 

Yes he is. He did it.

Keduanya melebur dengan dengan garis hidup yang mereka buat, rapal doa Apo telah usai sejak tadi, sudah mengaku kalah dan berdosa.

Dalam ketidaksucian hamba, tolong sampaikan pada Nirwana— bahwa aku tak menyesal mencintai seseorang yang kusebut tuanku dan matahari musim semi ku.

Nattawin my precious, sapa sanjungku untukmu yang terkasih dan mengisi hati tuanmu ini. Bawalah aku, kekasihku. Aku berdosa bersamamu. Itu asa ku.**

— tamat..

— Jakarta, 20 tahun lalu.

Ada sepasang bocah berusia 6  dan 7 tahun, dua bocah gembul itu adalah Apo dan Bible. Keduanya sedang bermain robot-robotan di teras depan runah. Bocah berusia 6 tahun, sapa saja Tana. Dia adalah masa kecilnya Apo Nattawin dan yang berusia 7 tahun itu, sapa saja dengan Wecha. Dia adalah masa kecil Bible.

Keduanya bertetangga, dan sejak sebulan lalu mereka menjadi akrab. 

“Wecha, yah robot Tana patah huuh.” Rajuk Tana dengan kaki ia rentangkan sebal dan bibir maju 3 centi. 

Wecha tidak menjawab apapun karena dia merupakan anak pendiam tapi dia langsung mengambil robot Tana dan memperbaiki bagian yang patah itu.

“Wecha Wechaaa, ihh emang Wecha bisa benerin?” Tanya Tana mendekat ke Wecha.

Wecha hanya mengangguk, dan Tana bersorak kegirangan melompat, “YEAY AYO SEMANGAT KAK WECHA. SEMANGAT.” Tak lupa rentangan tangan diatas.

Berkutak-kutik selama 5 menit robot yang rusak itu kembali menjadi sehat dan tak patah satupun. Tana langsung memeluk Wecha kencang.

“Ihhh Wechaa pinter. Makasih ya Wecha. Tana sayang Wecha hihi.”

Keduanya kembali bermain robot-robotan dengan tenang. Tak berselang lama ads segerombolan anak-anak yang terlihat seperti ingin mem-bully keduanya.

Brakk!

Robot Wecha direbut paksa dan dibanting ke tanah dengan kuat hingga hancur dan bukan lagi patah yang bisa dibenarkan sudahnya.

“IHHHHHH RADEN. KENAPA ROBOT WECHA KAMU RUSAKIN. IH JAHAT. SANA JAUH-JAUH KAMU RADEN. TANA KESAL.”

Didorongnya bocah berusia 10 tahun dengan tangan Tana yang kecil. 

“Hahahaha yah rusak deh robot anak haram.”

“Anak haram itu apa ya?” Tanya Tana kebingungan untuk anak seusia 6 tahun.

“Kata mama papa aku, Wecha anak haram, ga diharapin tapi hadir. Ih dasarr anak haram.”

Wecha tetap diam tak bergeming, ditatapnya nanar robot yang ia beli dari hasil menabung. 

“RADEN KOK GITU NGOMONGNYA GA BOLEH GITU TAUK SAMA TEMEN! SANA-SANA PERGI, TANA GA SUKA RADEN.”

Raden menepis dorongan kecil dari Tana dan berusaha mendorong Wecha, namun sebelum memukul sudah ada Tana kecil yang sigap memeluk Wecha, biar Tana yang merasakan sakit. Saat itu, Tana yang berusia 6 tahun menjadi perisai Wecha yang hanya beda 1 tahun darinya.

“Wecha ga apa-apa. Ada Tana di sini. Sini Wecha masuk ke tubuh Tana yaa.”

Dorongan pukulan itu jelas terlihat, tak sedikit Tana mengeluh sakit, tapi bocah itu sangat tegar menjaga sahabatnya. Wecha adalag teman pertamanya, dan Tana tidak mau Wecha-nya disakitin.

Wecha anak baik. Meski pendiam.

Bible kecil saat itu menangis, dia menangis karena Apo yang saat itu masih setia menjadi perisai bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Sampai saat Bible hampir menyentuh usia 8 tahun, dia bertemu dengan Milo yang berusia 10 tahun, tak lain itu nama kecil Mile Phakphum.

Milo menjadi perisai Wecha dan terus mengajaknya bermain. 

“Raden berhenti. Jangan pukul Wecha terus. Kamu jahat, aku ga suka.” Tahan Milo saat ia melihat Raden hendak melakukan bully kembali pada Wecha.

Saat ini Tana sedang tidak ada. Bocah kecil itu sedang liburan dirumah kakeknya. Sekitar 3 bulan, Milo yang menjadi perisainya.

Wecha menarik ujung kaos Milo, “kak Milo, makasih ya. Maaf kalo Wecha bikin kakak berantem terus sama Raden.”

“Ga apa-apa Wecha. Kita kan teman.”

“Aku ada permen kamu mau? Mama aku buat sendiri, jadi ga bikin gigi kamu bolong Wecha.” Sambung Milo dengan polosnya.

Wecha hanya mengangguk. 

Kedua bocah beda usia 3 tahun itu sedang duduk di taman bermain. Di sana mereka bermain, kadang juga belajar. Milo sangat suka belajar, pelajaran MTK adalah kesukaannya sedang Wecha suka  bahasa Inggris.  

Karena bagi Wecha, akan lebih baik jika dia tidak bisa bahasa Indonesia, jadi dia tidak akan mendengar teman-temannya mengatainya anak haram. Wecha tidak suka sapaan itu, tapi realitanya memang benar, Wecha bukan anak yang diharapkan kedua orang tuanya. Wecha malah lebih sering kerumah Tana,  di sana mama papa Tana sangat baik sama Wecha, bahkan mereka sudah menganggap Wecha sebagai anak sendiri, berbanding terbalik dengan orang tua Wecha yang cuek dan acuh.

“Wecha, kamu mau ikut aku kelas taekwondo?”

“Itu apa Milo?” Tanya Wecha dengan permen ditangannya.

“Hmm semacam buat perlindungan diri. Jadi kamu bisa jaga diri kamu sendiri dan orang lain yang kamu sebut Tana Tana itu.”

Wecha menoleh kearah bocah berusia 10 tahun itu, “apa sakit?” Milo menggeleng kuat. 

“Engga.”

“Tapi pasti mama papa Wecha gasuka Milo. Mereka selalu ga suka sama apa yang Wecha buat. Wecha gamau dibenci lagi.” Jawabnya menunduk dengan kaki menyisir pasir berulang.

“Nanti kalo Wecha digangguin, siapa yang bisa jaga Wecha?”

“Kan ada kak Milo.”

“Kak Milo ga bisa terus-terusan jaga kamu, kak Milo sebulan lagi akan ke Amerika, mama papa ada urusan bisnis di sana.”

Wecha merenung, satu temannya telah pergi. Kenapa bukan Raden yang pergi? Kenapa harus Milo?

“Ok Wecha mau kak.”

Sejak saat itu, Milo tak henti-hentinya mengajak Wecha berlatih bersama anak-anak lainnya, dia juga mengajari untuk percaya diri, anak berusia 10 tahun itu benar-benar menyemangati Wecha. Dia adalah teman sejati. 

Dan pada 1 bulan kemudian, Milo pamit untuk ke Amerika dan meninggalkan Wecha dengan sosok baru yang lebih tangguh dan percaya diri. Hadirnya sosok Milo adalah titik balik seorang Bible Sumetikkul Wichapas. Meski Milo menamainya sebagai teman, tapi Wecha menyebutnya dengan cinta pertama.

Sebelum Milo masuk mobil untuk ke bandara, bocah itu sempat membawa kue kecil berwarna biru pastel, warna kesukaan Wecha.

“Hai Wecha. Selamat ulang tahun yang ke delapan tahun ya. Semoga Wecha selalu diberikan kebahagiaan terus, amin.”

Wecha termenung tak langsung meniup lilin kecil diatas kue itu, dia baru tahu jika diberi kejutan ulang tahun untuk kali pertamanya semenyenangkan ini. Hadiah pertama yang ia dapat adalah dari Milo, lantas bagaimana Bible kecil bisa melupakan Mile? Dia yang bisa menghargai, membantu dan mengerti Bible sedari kecil, tentu tak mudah melupakan sosok seorang Mile Phakphum dihati Bible Wichapas.

Dia, Milo. Orang yang mengubah Bible kecil untuk tidak takut pada dunia dan akan terus menjadi percaya diri. Berkat dia, impianku menjadi petinju, karena Milo berjanji, jadilah kuat dan akan kutemui kembali ia dia berjanji seperti itu.

Tapi nyatanya, butuh 20 tahun untuk Milo kecilnya tau akan Wecha. Dan sialnya Milo tak menepati janji itu, justru ia telah menyandang status suami dari sahabatku Apo Nattawin.

Kamar Mile

 ”Natta, soal yang aku mau ke London kenapa ga boleh?”

        “Mild ulang tahun Nat dan itu setahun sekali, aku juga ada niatan bunga yang aku bawa bakal jadi bunga terakhir buat dia.“ 

        “Ga boleh kalo sendiri, ajak aku. Aku juga mau ketemu sunshine kamu itu.”

Mile melirik Apo dalam peluknya, selimut ia tarik sedikit agar bisa melihat jelas wajah suaminya saat mengucap kata sakral itu.

           ”Kamu cemburu?”

           ”Engga.“ 

           ”Iya kamu cemburu sayang. “ goda Mile.

Apo malu saat kata sayang terdengar, ia masih belum terbiasa.

            “Loh kok malah ngeringkuk meluk aku ya?”

            “Diem. Aku malu. Pipi aku lagi jelek.”

Mile mau tak mau tertawa melihat Apo mendekap meringkuk di dadanya. Sangat lucu bagi pandangan Mile. Tubuh Apo tampak mengecil dalam kukungan Mile.

           ”Jangan cemburu sayang, aku mau pamit sama Mild aja, sekalian juga ngenalin sunshine aku yang baru, yaitu kamu Nattawin Wattanagitiphat. Mau kah menjadi cahaya matahari buat hidup aku Nat? Karena kamu sudah menjadi sinar itu sejak beberapa tahun lalu, kamu yang menerangi suramnya hidup aku, aku sudah sembuh dari trauma juga karena sinar yang kamu kasih, sunshine itu sudah menjadi milik kamu beberapa tahun silam sayang.”

Apo mendengarkan, Mile juga tak lupa sesekali mengelus kepala Apo dengan matanya memandang langit langit kamarnya seperti menginggat kejadian yang telah lalu.

            “You are my sunshine Natta. Mulai besok, akan aku beri cahaya matahari yang lebih besar lebih dari apa yang kamu kasih untuk ku. Maaf ya telat sayang.”

Mata sabit Apo menatap Mile, dia tersenyum ternyata impiannya dan hari yang sangat sangat ia tunggu akan hadir esok hari.

Perjuangannya hampir menemui akhir, kisahnya hampir berjalan sempurna, ia ingin menginggat momen ini.

Momen di mana, dia dan Mile berkata jujur dalam balutan suasana romantis, Apo mendekap Mile dan Mile merangkul Apo dalam tidurnya. Ranjang ini tak lagi dingin, semua menguar tatkala sifat hangat Mile  menyentuh bagian dari diri Apo.

            “Can i kiss you?“ 

Sure Phakphum. Do it.”

Sentuhan Mile sangat pelan, seolah ia tak ingin Apo patah untuk kesekian kalinya. Tangan Mile sudah menyapa leher tegas Apo, ia terus mencapai asa untuk bertemu dengan bagian dari Apo yaitu bibir yang siap di sesapi tampak pasrah menunggu sang tuan mengecupnya.

             ”Ah—ahh k..kak Mile. Argh.“ 

Kecupan itu kian semakin memanas tatkala Mile mendobrak seisi mulut Apo, ia absen dalamnya, tangannya tak henti mestimulasi leher Apo, keduanya sudah berlaku tumpah tindih, Mile diatas sedang Apo dibawah. 

Selimut ia tarik, badan Apo sudah berbalik menimpa Mile, baju mereka sudah hilang entah kemana.

         ”Kak. Aku.. aku ga tahan. Can i?“  Jari jemari Apo sudah menyentuh dada Mile, duduknya sudah sangat pas di bagian mengeras milik Mile.

Mile membelai rambut Apo, keringat sudah mulai muncul bersama afeksi panas yang mereka timbulkan.

    “Sure sayang. I'm yours Natta.” Senyum Mile sangat indah, mengundang Apo mau tak mau ikut tersenyum.

         ”Ahh Nat.. don't be slutty. Aku kena.”

Apo smirk singkat dan tak lupa semakin menyenggol bagian mengeras itu, ia sengaja menggesekan bahkan menekan, sesekali ia menyesap dada, leher bahkan jakun Mile.

         ”Ahh, Na—Nna ta.. lets get in. Ahh c'mon why you saw me like that. Your tongu— AKHHH NAT... AKU A—KU ARGHH”

Mile bahkan sudah tak bisa menyelesaikan kata-katanya, suaminya sudah memancing Mile dengan sangat nakal. Badannya bergerak menyentuh bagian mengeras, lidahnya sengaja ia julurkam mengelilingi dada Mile, tak lupa mimik muka Apo terlihat sangat mengairahkan.

God damn it Nattawin.

I can fuck you untll you drop, i swear.

Keduanya pun melanjutkan malam panas itu hinga beronde-ronde. Kedua dominan itu tampak tak puas jika hanya sekali atau dua kali. Apo berusaha mendominasi Mile tapi Mile lebih mendominasi lelaki bongsor itu dikukungannya, tangan Apo tak henti mengelus dada Mile, bahkan Mile terkadang membawa kedua tangan Apo keatas kepalanya dengan satu tangan kokoh Mile.

MILE PHAKPHUM I'M BEGGING YOU. DON'T STOP. FUCK ME AS YOU WANT.

WHAT YOU WANT IS WILL BE NATTAWIN.

Senyum itu menabur jutaan keindahan. Pipi itu menyembul dengan lucunya tatkala ia tersenyum. Sangat manis. Teramat manis.

Dia, Natta ku. Ah tidak, itu hanya angan ku saja. Tapi, semoga saja angan ku suatu saat nanti bisa menjadi nyata.

Sudah 2 tahun, aku Mile Phakphum menggaguminya. Aku tidak berani mendekati si cantik dan pemilik senyum manis itu. Raga ku terpatri melihatnya dari kejauhan, jiwa ku seakan terdiam menghadapi jutaan pesonanya.

Natta suka manis, dan aku setiap hari memberinya berbagai kudapan lezat, lalu kutaruh di lokernya yang bergambar Marvel itu. Dia suka Iron Man ternyata.

Jika kalian kira aku pengagum rahasia? Tentu salah. Aku bahkan tak berani menaruh tanda kehadiranku saat Natta membuka loker itu.

“Hai, boleh aku duduk disini?” Kalimat itu adalah kalimat pertama yang ia ucapkan padaku. Setelah 2 tahun aku mengaguminya.

Iya. Pada ku yang terkenal seantero sekolah kalo aku, pria aneh dan culun.

“Ka Mile kan? Aku Nattawin ka.”

Bagaimana dia bisa mengenal ku?

Aku bukanlah Bible dan Jeff yang terkenal di sekolah ini? Aku hanya pria culun yang tak pandai bergaul.

“Ka.. kenapa melamun? Ada yang salah di wajah ku?”

Seperti sihir, aku terdiam dan tak berkedip. Mata itu indah sekali, menyiratkan beribu bahkan berjuta refleksi keindahan semesta.

“Iya. Salam kenal Nattawin.”

Sial. Aku bahkan tak berani menatapnya.

“Terimakasih ka berbagai makanan lezatnya. Aku suka.”

Tuhan, dia tau aku. Dia tau aku sering menaruh berbagai makanan di lokernya. Natta ku tau aku. Haruskah ku lanjutkan kisah sederhana ini? Tapi aku takut membuatnya tak nyaman.


EPILOG

Nattawin melihat dengan jelas seorang pria dengan tinggi 183 cm itu sering menaruh makanan di lokernya. Selama dua tahun ini dia tau. Jika pria itu Mile Phakphum. Kakak tingkatnya. Tidak bisa di bilang kakak juga sih, karena Nattawin masuk kecepatan dan juga hal itu membuat Nattawin sekelas dengan Mile.

“Dari siapa Nat? Minta dong kek enak nih.”

Nattawin hanya senyum dan menepis semua tangan nakal yang mau menjarah makanannya.

“Dari calon pacar. Jangan sentuh makanan gue.”

“Siapa? Siapa? Ih penasaran.”

1 tahun telah berlalu, kini baik Natta dan Mile naik kelas. Kelas 3 SMA.

“Dari calon pacar lagi?” Build bertanya.

“Iya.”

Hari berikutnya...

“Busett enak bener jadi lo ya, tiap hari di kasih gituan terus.”

“Calon pacar gue gemes kan ya? Ih ada strawberry nya lagi.”

Hari hari selanjutnya

“Kapan jadian Nat? Siapa sih orangnya?” Kali ini Build mendesak. Karena sudah 2 tahun, tapi kata 'calon' itu masih belum hilang.

“Orangnya lagi malu nemui gue Build haha.”

“Siapa? Lo tau?” Gumam Bible yang juga ada di sana.

“Ketua kelas kita ; Mile Phakphum.”

“DEMI APA ANJING?! YANG BENER LO.”

Sewaktu berjalan kearah kantin, Natta melihat Mile.

“Eh udah yaa, mau nyamperin calon pacar dulu.”

Bible dan Build di buat melongo. Mereka kira si culun itu tak bisa jatuh cinta, tapi ternyata jatuh terlalu dalam.


“Hei, ingat aku?” Tanya Nattawin langsung pada Mile yang sedang melepas kunci rantai sepedanya.

Mile tak mengubris, jelas dia gugup di depan orang yang ia sukai selama 2 tahun ini.

Jangan senyum Nat, bantu aku.

“Aku Nattawin kak Mile, inget dong pasti kan sekelas hehe.” Santai Nattawin tanpa dia tau Mile sudah merematkan tanganya hinga memerah di setir sepeda itu.

“A—aku ingat Natta. Aku pulang dulu ya.”

Baru akan mengayuh sepedanya, Nattawin mencekal sepeda itu.

“Aku boleh nebeng ga kak? Motor aku rusak jadi ga bawa. Boleh yaa eum?”

Hatiku Natta... hatiku semakin berdebar, jauhi aku tolong.

“Eum... tapi kamu ga kepanasan?” Tanya Mile hati-hati dan sesekali membenarkan kacamatanya.

Nattawin suka sifat polos Mile, entah dimatanya sangat sulit menemui pria seperti Mile.

Dia pintar, dia tinggi, dia baik, dia juga tulus.

“Gapapa kak. Aku berdiri di belakang ya?”

“I...iya boleh. Ayo.” Gugup Mile menjawab, jantungnya seakan meledak dengan seluruh rasa senang karena Natta bicara dengannya.


“Hai kak Mile, aku boleh duduk di sini?”

Build dan Bible yang mengekori Nattawin hanya melongo melihat sahabatnya itu menggunakan aku kamu dengan sangat halus, sedang kesehariannnya tak lupa mengumpat, memaki, bahkan mengabsen binatang.

“Yang, Natta udah gila kayaknya kamu liat kan?” Senggol Build.

Bible mengangguk, lalu mereka duduk semeja dengan Mile.

Sekitar melihat mereka, karena Natta dan teman-temannya merupakan pentolan sekolah, istilahnya most wanted dan sekarang most wanted itu sedang semeja dengan si culun Mile Phakpum apa tidak bertanya-tanya mereka?

Pov Mile

“Hai kak Mile, aku boleh duduk di sini?” Jujur suara indah itu aku sangat tau, itu suara Nattaku –ah tidak tapi Nattawin.

Mile ingat, jangan bermimpi bersanding dengan seseorang yang punya jutaan refleksi keindahan semesta. Kamu ditakdirkan hanya mengaguminnya bukan menjadi miliknya dan begitu sebaliknya.

Aku sangat gugup, Natta menyenggol bahu ku, dia mengajak ku bicara duluan.

Dia bertanya matematika padaku, aku seharusnya bisa dengan mudah menjawab, tapi lidahku kelu saat senyum dan mata sabit itu melengkung bersama kilauan sinar matahari yang sangat cantik, sangat pas dengan Natta.

Aku gugup, sangat gugup. Tatapan orang dikantin membuatku berkeringat, apa aku ada salah?

“Natta.. jangan dekat-dekat.”

“Kenapa?”

“Pokoknya jangan.”

Bukannya menjauh Nattaku malah semakin dekat.

Aku akan pingsan jika berada lebih lama di sini. Aku memutuskan pergi.

Dugaan ku salah, dia malah ikut berdiri mengekori dengan santai, tatapan anak-anak bahkan sudah berpusat pada kami.

“Cieeee Mile punya ekor haha.”

“APA LO? GUE TONJOK LO GANGGUIN MILE GUE.”

“Galak bener si Nat.”

“DIEM LO JEFF. Ayo kak Mile jalan lagi hehe.”

Ya Tuhan, aku malu. Kaki ku seakan melemah mendengar itu dari Natta.

Natta lucu sekali saat membelaku.

“Wooowwww si culun udah ada pawangnya kah?”

“Bukan maen, Nattawin Wattanagitiphat pawangnya.”

“SSSTTTT BERISIK LO PADA.” Lagi dan lagi Natta membalas itu untuk Mile.

Bughh

Ya benar Mile tiba-tiba berhenti menyebabkan kepala Nattawin membentur punggung Mile cukup keras.

“Jangan ganggu Natta.” Astaga apa yang ku lakukan??? MILE PHAKPHUM.

“Nahh denger kan lo pada monyet monyet? Jangan ganggu Natta. Noh cowo gue sendiri yang bilang.”

bukan itu maksudku ah sudahlah.. aku hanya berjalan secepat mungkin. Aku malu astaga Natta.

Bersambung...


Tawan benar-benar datang menemui New dikelasnya, New kira Tawan hanya bercanda, ternyata dia memang serius dengan kata-katanya.

Seantero kampus tau sosok Tawan tapi tidak ada yang tau jika Tawan punya teman dikampus ini, apalagi orang itu New? Yang sama misteriusnya dengan Tawan. Kedua orang itu dikampus memang dikenal misterius, pendiam, bahkan ada yang menjuluki Tawan itu bisa bicara atau tidak? Karena tak pernah mereka dengar sang kapten basket itu bicara. Kalo New terkenal karena anak pemilik kampus, sekaligus mamanya direktur kampus ini.

Hal di depan ini banyak mendapat sorot mata disekitarnya karena ini adalah hal langka. Tawan tampak menunggu New yang sedang berberes dalam kelas.

“Hai, gue Tawan.” Suara renyah Tawan akhirnya bisa terdengar dikampus ini.

“Lo bener-bener ke sini Wan? Sinting juga.” Dan ini suara New yang mereka juga jarang dengar.

Ketika Tay dan New berjalan tak sedikit sorot mata menonton mereka layaknya sebuah Film, ada yang merasa ini aneh, ada juga yang kagum, ada yang sinis dan lain-lain.

“Mereka ngeliatin kita, maaf ya Wan.”

“Bukan karena lo kayaknya, tapi karena gue kayaknya haha, ayo parkiran.” Tawan refleks mengenggam tangan New dan sedikit berlari kearah parkiran gedung fakultas hukum.

New? Dia bingung tapi ya dia ikut saja lari. Menjadi sorotan itu tidak enak, hanya karena menjadi berbeda bukan berarti kita layak diperlakukan beda juga, makanya New juga buru-buru agar tak terlihat dimata siapapun.

Setelah berlari 3 menitan kini mereka sampai parkiran.

“Maaf New gue refleks, gue ga suka jadi sorotan.“  Tawan refleks melepas genggaman itu tapi New malah senyum terlampau indah.

Tawan suka senyum tulus itu,

Tawan terdiam melihat refleksikan cahaya remang yang kian menyatu dengan wajah tersenyum New,

Cantik, sangat cantik ketika sinar matahari yang mulai turun dan hembusan semilir angin itu menyatu di wajah New.

“Ah itu gapapa Wan. Gue juga sama ga suka jadi sorotan.”

Tawan diam.

“Tawan, hey lo ken—”

“Lo indah.” Sambar Tawan yang juga senyum dan memindahkan beberapa anak rambut New yang menutupi dahinya.

Sekarang New yang diam.

“Lo pake pelet ya New?”

“Sembarangan, udah ayo ke motor lo Wan.”


Sebenernya mereka juga tidak tau mau ke mana, semua ini karena ide gila Tawan yang menjemput New dikelasnya. Sudah sejam mereka keliling kota ini tanpa tujuan. Langit bahkan sudah mulai menggelap.

Sejam di motor membuat mereka mengalami banyak kejadian, dari yang kena lampu merah, ngejar lampu hijau, tertawa dengan konyol, bercerita hal receh, melihat suasana kota bahkan mereka juga sempat hampir kena tilang.

Semua hal itu tak pernah sebelumnya mereka lakukan, jangankan itu teman saja mereka tidak punya. Mereka hanya tak mau berteman dengan orang yang hanya penasaran tentang diri meraka.

“TAWANNNN BERHENTI! LAMPU MERAH WANN AAAA JANGAN DITEROBOS LAGI.” Suara nyaring New sembari menepuk bahu Tawan kencang.

“Oke oke kalem New ini gue berhenti kok haha, budeg ini telinga gue.”

Brukk

Ya itu suara geplakan New ke helm Tawan, “Gue masih hidup ya Wan, sia-sia dong obat gue minum kalo mati pas lagi motoran sama lo ya.”

Lihat, bahkan Tawan tak penasaran kenapa New menyebut obat, jika itu orang lain tentu saja New akan ditanya segala hal. Ini yang buat mereka saling nyaman cerita karena mereka sama, walau terlihat berbeda di pandangan orang lain.

“Wan, beli ikan yuk di pasar malem, mau?”

“Serah lo deh, tapi baliknya makan dulu gue laper.”

New hanya mengangguk.

“Wan”

“Hm”

“Nanti beli ikan yaa di pasar malem.”

Tawan melihat spion sebentar, “Iya. Banyak juga ayo.”

Setelah hal itu Tawan tersenyum masih melihat spion, New sesekali melihat sekeliling jalan raya ini, tatap kagumnya seolah tak pernah keluar rumah, melihatnya menjadi candu bagi Tawan.

“Lo suka ikan apa New?”

“Ikan koi, ikan mas, ikan cucut, ikan teri juga suka soalnya enak.”

“Ga sekalian ikan asinnya? Padahal enak banget sama nasi anget campur sambel.”

“Ga suka sambel, nyakitin soalnya.”

Beberapa waktu hening. Hanya semilir angin dan kelap-kelip lampu jalan yang menemani mereka.

“Tawan, nanti beli ikan ya.”

“Hm”

“New itu pasar malemnya, siapin deh listnya mau beli ikan apa aja.”

“Okeyy siap.” Sesekali membenarkan helm yang menengelamkan kepalanya.

Setelahnya mereka sampai dan menuju stand ikan hias di sana. Tatapan binar New melihat sekumpulan mahluk licin itu seperti anak kecil mendapat mainannya.

“TAWAN BURUAN JALANNYA.”

“IYAAA”

Sebelum ke stand ikan hias, Tawan tadi sempat membeli jaket disekitaran situ.

“Buat lo.”

New menoleh dan menerimanya dengan senang, “Terimakasih Tawan. Ayo sini duduk liat deh mereka gemes banget kan.”

Tawan duduk di kursi bergambar pororo pendek itu “Lo beli berapa?”

“Bentar gue liat uang cash gue dulu, gue jarang bawa uang cash soalnya suka lupa.”

“400 500 lima ratus empat puluh... banyak juga.”

“Tawan menarik selembar uang nominal Rp 100.000 segini aja cukup New. Sana pilih ikannya.”

New hanya mengangguk dan menyerahkan uang selembar itu dengan riang, “Bang kalo 100 ribu dapet berapa ikan mas ya bang?”

“5, adek mau beli?” New mengangguk. Ya iyalah masa mau dagang dimari.

Penjual ikan hias pun membungkus ikan-ikan lucu itu, “Bang aquariumnya berapa? Sekalian aja ih sama tempatnya. Kasian gaada udara gitu”

Tapi New, ikan kan ga punya paru-paru? Gimana kamu ajalah dek

“Kalo sama ini mah 300 ribu dek, adek mau?”

Bukannya menjawab malah menoleh kearah Tawan seolah minta ijin.

“Kenapa?”

“Ituuu aquariumnnya Wan...”

“Lo ga minta gue bayarin kan?”

“Sembarangan, bukan itu. Tapi...”

“Tapi apa New?” Tanya Tawan sesekali membenarkan jaket New.

“Kita bisa bawa aquariumnya ngga? Kan kita naik motor tadi.”

“Bener jugaa, beli yang kayak gelas wine aja New. Abangnya jual juga tuh.”

“Oh iyaa ya.”

New urungkan niatnya membeli 5, dia hanya mau satu saja karena aquarium itu telalu kecil untuk 5 ikan.

Setelah berkutat dengan ikan selesai, kini mereka lapar dan berniat makan bubur ayam disekitaran pasar malam itu.

New membawa aquarium bulat itu dengan lucu, mulutnya tak berhenti bilang bahwa ini kesukaanya. Bahkan New berniat menamai ikan ini New junior karena saking sukanya.

Entah suka ikannya atau suasananya, New tidak begitu mengerti.

“New makan dulu, baru urusin ikan lo lagi.”

New hanya menyengir dan memindahkan si oren itu ke samping.

“Eumm enak, mama harus tau makanan di sini enak pokoknya, Wan nanti bungkus ya buat mama.”

“Iya.”

Setelah 20 menit, mereka selesai dan New pun minum obatnya.

Sebenarnya Tawan tidak terlalu lapar, hanya saja ia ingat New selalu bicara obat, jadi Tawan pikir New harus makan dulu sebelum minum obatnya.

Selang 10 menit, New mengeluarkan obatnya lagi, kali ini Tawan cegah karena New sudah meminumnya.

“Ayo pulang New.” Alih-alih mencegah dengan bilang New sudah minum itu, malah Tawan mengajaknya pulang.

“Bentarrr dulu gue belum minum obat ih, Tawann bentarr. Bantuinn bawa ikan gue dong”

“Ayoo New buruan, bentar lagi hujan.” Tawan mulai menjauh sedikit berlari.

“Aduh iya-iyaa ayo pulang.”


“Tawan makasih ya.”

“Buat?” Jawab Tawan singkat sembari melihat jalanan.

New buang muka ke samping, kebetulan di samping ada sungai terbentang luas dengan kelap-kelip lampu di sana. Tepatnya mereka di jembatan sekarang.

New tidak menjawab.

“Pegangan New, gue mau ngebut bentar lagi hujan.”

“Iya.”

Tak lama gerimis pun turun saat Tawan sampai dirumah New.

“Wan pake dulu aja mobil gue, hujan gini loh.”

“Gapapa, gausah New. Gue balik ya.”

“Tawan bentar....”

“Pake jaket, kan lo tadi udah lindungin gue, sekarang gue yang lindungin lo.” Lagi dan lagi New senyum terlampau indah, lama kelamaan Tawan semakin dibuat candu dengan senyum itu.

Sebenarnya New tau Tawan perhatian padanya, hanya saja New bingung harus meresponnya seperti apa. Karena ini adalah hal baru baginya.

“New ga per—”

“Pake Tawan. Udah mau hujan, bahkan gerimis sekarang.” Paksa New dan memakaikan jaket tebal itu.

“Makasih New. Gue balik ya.”

“Hm”

“HATI-HATI PULANGNYAA TAWAN.”

Suara derum motor pun semakin menjauh dan menyisakan New di sana dengan aquarium bulat kecil terisi satu ikan mas itu menatap Tawan pulang.

“Makasih Tawan, buat semuanya. Makasih  karena lo ga nanyain hal itu ke gue, makasih karena lo punya cara sendiri buat gue ga minum obat gue lagi, makasih buat jaketnya dan makasih juga buat waktu lo, gue jadi tau rasanya punya temen ternyata gini.”

Tanpa sadar New meneteskan airmatanya, dan masuk ke dalam rumah.

— SANG TUAN by @bundanyuwi

      Mendung terbit menunjukan presensinya dilangit. Gemericik mulai menyeruak turun membasahi bumi serta mengunggah senyuman seorang Tuan yang tengah menyeruput kopi sembari melihat cuaca sore hari ini dibalik bilik jendela kuno bercorak kayu tua. Dia Tuanku, Viho.

“Tidak bekerja, Tuan?”

Diamnya membuatku melangkah mendekat dan melihat kegiatan seru apa yang Tuanku lihat dibalik jendela berembun itu.

Tuanku menarik pinggangku. Aku? Tentu dengan senang hati mengikuti lengan kokoh itu menarik bagian dari diriku.

“Kopi yang kubuatkan atau diriku yang menyenangkan suasana hati Tuan saat ini?”

“Tuan tersenyum terlampau tegas, aku harap itu karena aku.” Sambungku dengan sedikit menyentuh jarinya.

“Duniamu.” Jawabnya.

Melihatku yang tak mengerti dengan kata singkatnya, dia mendekatkan kepalanya ke telingaku, “kamu, Techa. Karena hadirnya kamu, aku bahagia.”

Bagaimana bisa aku menjawab Tuanku? Katakan. Bagaimana?!

Sentuhannya, membuatku seperti dibawa ke langit.

Bisiknya, membuatku seperti menjumpai ribuan kupu-kupu di sekelilingku.

Kasihnya, membuat ragaku melemah seperti tulang belulangku hendak meluruh bersama kaki melemas saat ini juga.

Tahan Techa. Godaannya baru saja dimulai, kau tahu betul akan itu. Tegapkan bahu dan jawablah tantangannya.

“Jika hujan adalah jiwamu, maka gemuruh petir itu akan menjadi apa, Tuan?” Aku melantangkan suaraku, sesekali juga bersautan dengan gemericik yang kian deras menderai bumi. Tuanku suka hujan, anggap saja hujan itu aku.

Sorot mata tegas itu tampak menyipit, memperlihatkan lekungan senyum di wajah tampan bercorak gelap dengan surai madu manis melengkapinya. Terlihat sangat cocok bukan lekungan itu terpatri indah di wajah Tuanku? Tentu saja, Ya.

Ah Tuanku, tersenyum. Sangat candu.

“Bukankah jiwaku sudah menjadi milikmu, Techa? Apalagi yang kau tanyakan? Tentu saja, semua semesta ini tak sebanding dengan dirimu.”

Tangannya menyentuh pinggangku sangat pelan, hujan menjadi saksi dan samar-samar gemuruh bersautan di langit itu melihat tangan tegas kokoh Tuanku yang mulai menghantarkan rasa sayang kepada jiwanya, yaitu aku. 

Tubuh itu semakin mendekatiku, arahnya menuju telinga ku dengan bibirnya sedikit mengenai telinga ku tanpa menyapanya, “Tak perlu cemburu dengan mengalihkan pertanyaan konyol seperti itu Techa, Nona itu tak melebihi indah kepunyaanku.“ 

Aku ketahuan, apa aku terlalu cemburu dengan Nona yang sempat mengoda Tuanku? Astaga, lelucon sekali. Bahkan aku jiwanya, bagaimana bisa dia melirik Nona cantik lainnya?

“Aku punya siapa Techa?“ 

“Techa.“  Sapaku mulai berani.

Hujan berhenti tanpa ancang, berganti dengan remahan air yang bersautan. Aku dan dia, kekasihku maksudnya, dia tak henti mengodaku. Kadang juga menyapa leherku, kadang menjumpai bibirku, kadang juga tersenyum tanpa alasan. 

Tuanku sedang gila. Tapi syukur, itu karena aku.

“Viho .....” aku berbicara karena dia terus menatap ku.

“Ya, ingin menyampaikan sesuatu?”

“Aku mencintamu. Viho.” Tadinya ingin berkata berhenti menatap ku, tapi malah aku yang lemah menghadapi bola matanya yang bersinar itu. Dasar aku.

“Aku tahu, terima kasih Techa.” Dia bangkit lalu mencium keningku.

“Mau ke mana?” Aku menarik ujung kemeja hitamnya spontan.

“Menutup pintu. Kau ceroboh.”

Punggungnya saja aku suka, apalagi dirinya? Tentu saja aku tergila-gila. Tidak akan kubiarkan, punyaku menjadi punya Nona lainnya.

Entah siapapun Nona, kuharap Nona sadar, jika Tuanku adalah milikku. Bagaimanapun merakmu mengoda menggepakan sayap indah, ketahuilah jiwa Tuanku, sudah terisi penuh olehku di dalamnya. Tak ada ruang lagi, SIlahkan menemui Tuan lainnya Nona.

Aku pemenangnya. Merak cantikmu tak mampu menggantikan sang merpati indah pilihannya dan Nona cantik harus tau itu.


“Mataku, punya kekasihku.” Tuanku begitu mirip dengan perayu ulung sekarang.

“Aku tau.”

“Hidung, bibir dan semua atas hidupku, itu milik kekasihku.”

Lihatlah, dia merayu lagi. 

“Jadi, ini karena aku bukan Tuan? Jangan membual lagi tentang kopiku yang membuat Tuan seperti ini, atau kekasihmu ini akan mencari rumah lainnya.”

“Tulus dari hatiku, Techa pemilik identitas diri ini.”

“Perayu ulung.” Jawabku dengan mencubit salah satu bagian dari tubuhnya.

“Aku tau, tapi kamu juga harus tau ...”

“Apa?!”

“Galak sekali milikku.”

Aku sengaja mendiamkannya, melihatnya memanggil aku, 'milikku' sangat candu bagi indra pendengeranku, beruntung aku masih bisa mendengarnya.

“Aku hanya merayu kekasihku, dan itu hanya kamu Techa. Jangan tolak rayuanku. jika kamu tolak, aku tak bisa merayu siapapun lagi.”

“Bisa diam?”

“Merindukanku bukan?”

“TID—” 

Sanggahku dipotong begitu saja oleh Tuanku, Keningku lagi dan lagi menjadi kesukaannya untuk dikecup. Berulang kali kecup itu tak kunjung usai, bisiknya terus membisikan aku miliknya dan tangan itu menahan tengkuk leher serta pinggang ku. Dengan kurang ajarnya tangan itu ikut menyapa kulitku dari dalam bajuku.

Dia tau, jiwanya sangat lemah jika disentuh dengan lancang sebegini rupanya. Dia sangat mengenalku. Ah sialan sentuhannya semakin lancang. Bajuku telah jatuh berserakan di lantai kayu yang kami pijak berdua. 

“Jadi, jiwaku Techa ... maukah?” Dengan sialannya dia bertanya seperti itu setelah mengangkat aku secara tiba-tiba.  Dikiranya aku ini kecil apa? Dilihat darimana pun tubuhku penuh dengan daging yang dilapis kulit.

“Kau masih bertanya? Setelah bajuku, kau turunkan dan kakiku juga tengah melingkar di pinggangmu? Bercanda ya kau. Cepat lakukan.“ 

Dia tertawa lepas dan berjalan menuju ranjang yang sedari tadi menunggu disapa, dengan aku yang melekat kuat di depannya, tepatnya di dada depannya, ada aku yang menempel layaknya perangko pada suratnya begitu kuat. Jika Tuanku adalah surat, maka aku akan melengkapi hidupnya sebagai perangko yang terus ada pada surat. Serasi bukan? Tentu saja.

Jika tidak serasi? Aku akan memaksa kalian, ini kisahku. Jangan buat aku menderita. Cukup semesta yang membuat ceritaku rumit dan merepotkan.

Lihatlah, tawanya mengisi ruangan ini tanpa redam, gelas jika bisa bicara, dia akan bilang sekarang, jika kekasihku menuju gila sedikit lagi.

“Jangan salahkan Tuanmu ini jika dia gila, karena sekarang, merpatinya sangat indah dibawahnya sekarang.”

Dia bisa mendengarku? Sepertinya aku yang mulai gila, menggangapnya bisa seperti itu. 

“Jadi aku ini merpati indahmu atau jiwamu Tuan?” Tanganku masih mengalung di lehernya dari bawah ranjang.

“Terserah aku menjuluki kepunyaanku apa. Kamu tak perlu tau.”

Dia ini sangat menjengkelkan, untung hatiku masih menyimpan namanya banyak.

“Aku tampan bukan Cha?”

“Harus aku jawab?” Jangan panggil Cha, itu juga kelemahanku sialan. 

“Tidak perlu, rona merahmu menjelasķan semuanya. Terimakasih untuk sanjugannya. Kamu juga indah dengan warna mu Cha.”

“Tinggi sekali kepercayaan diri Tuan? Ada aku meninggikanmu?” Jawabku menantangnya.

Lihatlah, bukannya menjawab. Dia malah tersenyum dengan pesona menyeruak—yang sialnya tampan sekali. Tangannya menyentuh pelipisku, dia mengecupku ternyata. 

Sedetik kemudian, helai rambutku dia rapihkan. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya sedikit memburu, keningku bertemu dengan keningnya.

“Sudahkah hari ini aku menyanjungmu kekasihku? Katakan, apa yang kau inginkan dariku.“ 

Baik, aku menyerah. Dia menang. Tuanku memang sangat pintar membuat aku tak mampu menentang, menjawab, mendebat bahkan menantangnya.

“Setiap saat kau menyanjungku Viho. Ayo rengkuh aku lebih dalam. Aku cemburu dengan bulan dan bintang di langit yang sebentar lagi terlihat saling merengkuh dengan garis takdirnya sedang aku tidak.” Nada bicaraku sudah mendayu, mataku sudah kupusatkan melihat guratan tegas di dahinya, kuharap dia mengerti mauku saat ini.

“Jika aku menyakitimu, katakan. Aku akan mulai sekarang Techa ....”

“Tidak akan. Aku tahu itu.”

Mataku mulai menutup tatkala sesuatu yang hangat menyapa bagian lembut yang terkatup dari wajahku, sore hari tampak mulai menggelap saat ini, helaian sapaan dari tangannya menghangatkanku dan mulai mencari bagian diriku yang lainnya.

Aku merindukannya terlalu dalam, hingga menyerahkan diriku dengan pasrah di bawah kuasa seorang yang kusebut dengan nama Viho. Lelakiku, Tuanku, kekasihku dan duniaku. Bahagianya aku adalah ketika melihatnya menyanjungku begitu hangat, penuh perhatian, juga mengumatakan aku selalu.  

Selalu yang aku ingat ; 

Merpati terbang sangat indah dengan apadanya dia, jauh diatas merak yang hanya menggepakan sayap di tanah, jangan menaruh rasa sangsi pada hal yang tak pernah bisa ditandingkan denganmu. Kau merpati Cha, dan aku suka sayapmu. Bukan Nona lainnya, tapi kamu.

Ya sudah, aku mau bersenang-senang dulu dengan Tuanku, nanti akan kuceritakan lagi jika aku sempat. Sampai jumpa.

Beruntung karena hari ini bukan kopi atau kudapanku yang Tuanku santap dengan nikmat, melainkan aku Jiwanya —Techa

SANG TUAN by @bundanyuwi

      Mendung kian terbit menunjukan presensinya dilangit. Gemericik mulai menyeruak turun membasahi bumi. Disudut jendela ada seorang Tuan menyeruput kopi melihat cuaca sore hari ini dibalik bilik jendela kuno bercorak kayu tua. Dia Tuanku, Viho.

“Tidak bekerja, Tuan?”

Diamnya membuatku melangkah mendekat dan melihat kegiatan seru apa yang Tuanku lihat dibalik jendela berembun itu.

Tuanku menarik pinggangku. Aku? Tentu dengan senang hati mengikuti lengan kokoh itu menarik bagian dari diriku.

“Kopi yang kubuatkan atau diriku yang menyenangkan suasana hati Tuan saat ini?”

“Tuan tersenyum terlampau tegas, aku harap itu karena aku.” Sambungku dengan sedikit menyentuh jarinya.

“Duniamu.” Jawabnya.

Melihatku yang tak mengerti dengan kata singkatnya, dia mendekatkan kepalanya ke telingaku, “kamu, Techa. Karena hadirnya kamu, aku bahagia.”

Bagaimana bisa aku menjawab Tuanku? Katakan. Bagaimana?!

Sentuhannya, membuatku seperti dibawa ke langit.

Bisiknya, membuatku seperti menjumpai ribuan kupu-kupu di sekelilingku.

Kasihnya, membuat ragaku melemah seperti tulang belulangku hendak meluruh bersama kaki melemas saat ini juga.

Tahan Techa.

“Jika hujan adalah jiwamu, maka gemuruh petir itu akan menjadi apa, Tuan?” Aku melantangkan suaraku, sesekali juga bersautan dengan gemericik yang kian deras menderai bumi. Tuanku suka hujan, anggap saja hujan itu aku.

Sorot mata tegas itu tampak menyipit, memperlihatkan lekungan senyum di wajah tampan bercorak gelap dengan surai madu manis melengkapinya. Terlihat sangat cocok bukan lekungan itu terpatri indah di wajah Tuanku? Tentu saja, Ya.

Ah Tuanku, tersenyum. Sangat candu.

“Bukankah jiwaku sudah menjadi milikmu, Techa? Apalagi yang kau tanyakan? Tentu saja, semua semesta ini tak sebanding dengan dirimu.”

Tangannya menyentuh pinggangku sangat pelan, hujan menjadi saksi dan samar-samar gemuruh bersautan di langit itu melihat tangan tegas kokoh Tuanku yang mulai menghantarkan rasa sayangnya kepada jiwanya, yaitu aku. 

Tubuh itu semakin mendekatiku, arahnya menuju telinga ku dengan bibirnya sedikit mengenai telinga ku tanpa menyapanya, “Tak perlu cemburu dengan mengalihkan pertanyaan konyol seperti itu Techa, Nona itu tak melebihi indah kepunyaanku.“ 

Aku ketahuan, apa aku terlalu cemburu dengan Nona yang sempat mengoda Tuanku? Astaga, lelucon sekali. Bahkan aku jiwanya, bagaimana bisa dia melirik Nona cantik lainnya?

“Aku punya siapa Techa?“ 

“Techa.“ 

Hujan berhenti, berganti dengan remahan air yang bersautan. Aku dan dia, kekasihku maksudnya, dia tak henti mengodaku. Kadang juga menyapa leherku, kadang menjumpai bibirku, kadang juga tersenyum tanpa alasan. 

“Viho ....” aku berbicara karena dia terus menatap ku.

“Iya, ingin menyampaikan sesuatu?”

“Aku mencintamu. Viho.” Tadinya ingin berkata berhenti menatap ku, tapi malah aku yang lemah menghadapi bola matanya yang bersinar itu. Dasar aku.

“Aku tau, terima kasih Techa.” Dia bangkit lalu mencium keningku.

“Mau ke mana?”

“Menutup pintu. Kau ceroboh.”

Punggungnya saja aku suka, apalagi dirinya? Tentu saja aku tergila-gila. Tidak akan kubiarkan, punyaku menjadi punya Nona lainnya.

Entah siapapun Nona, kuharap Nona sadar, jika Tuanku adalah milikku. Bagaimanapun merakmu mengoda menggepakan sayap indah, ketahuilah jiwa Tuanku, sudah terisi penuh olehku di dalamnya. Tak ada ruang lagi, SIlahkan menemui Tuan lainnya Nona.

Aku pemenangnya. Merak cantikmu tak mampu menggantikan sang merpati indah pilihannya dan Nona cantik harus tau itu.


“Mataku, punya kekasihku.” Tuanku begitu mirip dengan perayu ulung sekarang.

“Aku tau.”

“Hidung, bibir dan semua atas hidupku, itu milik kekasihku.”

Lihatlah, dia merayu lagi. 

“Jadi, ini karena aku bukan Tuan? Jangan membual lagi tentang kopiku yang membuat Tuan seperti ini, atau kekasihmu ini akan mencari rumah lainnya.”

“Tulus dari hatiku, Techa pemilik identitas diri ini.”

“Perayu ulung.” Jawabku dengan mencubit salah satu bagian dari tubuhnya.

“Aku tau, tapi kamu juga harus tau ...”

“Apa?!”

“Galak sekali milikku.”

Aku sengaja mendiamkannya, melihatnya memanggil aku, 'milikku' sangat candu bagi indra pendengeranku, beruntung aku masih bisa mendengarnya.

“Aku hanya merayu kekasihku, dan itu hanya kamu Techa. Jangan tolak rayuanku. jika kamu tolak, aku tak bisa merayu siapapun lagi.”

“Bisa diam?”

“Merindukanku bukan?”

“TID—” 

Sanggahku dipotong begitu saja oleh Tuanku, Keningku lagi dan lagi menjadi kesukaannya untuk dikecup. Berulang kali kecup itu tak kunjung usai, bisiknya terus membisikan aku miliknya dan tangan itu menahan tengkuk leher serta pinggang ku. Dengan kurang ajarnya tangan itu ikut menyapa kulitku dari dalam baju tidurku.

Dia tau, jiwanya sangat lemah jika disentuh dengan lancang sebegini rupanya. Dia sangat mengenalku. Ah sialan sentuhannya semakin lancang. Bajuku telah jatuh berserakan di lantai kayu yang kami pijak berdua. 

“Jadi, jiwaku Techa ... maukah?”

“Kau masih bertanya? Setelah bajuku, kau turunkan dan kakiku juga tengah melingkar di pinggangmu? Bercanda ya kau. Cepat lakukan.“ 

Dia tertawa lepas dan berjalan menuju ranjang yang sedari tadi menunggu disapa, dengan aku yang melekat kuat di depannya, tepatnya di dada depannya, ada aku yang menempel layaknya perangko pada suratnya begitu kuat. Jika Tuanku adalah surat, maka aku akan melengkapi hidupnya sebagai perangko yang terus ada pada surat. Serasi bukan? Tentu saja.

Jika tidak serasi? Aku akan memaksa kalian, ini kisahku. Jangan buat aku menderita. Cukup semesta yang membuat ceritaku rumit dan merepotkan.

Lihatlah, tawanya mengisi ruangan ini, gelas jika bisa bicara, dia akan bilang sekarang, jika kekasihku menuju gila sedikit lagi.

“Jangan salahkan Tuanmu ini jika dia gila, karena sekarang, merpatinya sangat indah dibawahnya sekarang.”

Dia bisa mendengarku? Sepertinya aku yang mulai gila, menggangapnya bisa seperti itu. 

“Jadi aku ini merpati indahmu atau jiwamu Tuan?” Tanganku masih mengalung di lehernya dari bawah ranjang.

“Terserah aku menjuluki kepunyaanku apa. Kamu tak perlu tau.”

Dia ini sangat menjengkelkan, untung hatiku masih menyimpan namanya banyak.

“Aku tampan bukan Cha?”

“Harus aku jawab?” Jangan panggil Cha, itu juga kelemahanku sialan. 

“Tidak perlu, rona merahmu menjelasķan semuanya. Terimakasih untuk sanjugannya. Kamu juga indah dengan warna mu Cha.”

“Tinggi sekali kepercayaan diri Tuan? Ada aku meninggikanmu?” Jawabku menantangnya.

Lihatlah, bukannya menjawab. Dia malah tersenyum dengan pesona menyeruak—yang sialnya tampan sekali. Tangannya menyentuh pelipisku, dia mengecupku ternyata. 

Sedetik kemudian, helai rambutku dia rapihkan. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya sedikit memburu, keningku bertemu dengan keningnya.

“Sudahkah hari ini aku menyanjungmu kekasihku? Katakan, apa yang kau inginkan dariku.“ 

Baik, aku menyerah. Dia menang. Tuanku memang sangat pintar membuat aku tak mampu menentang.

“Setiap saat kau menyanjungku Viho. Ayo rengkuh aku lebih dalam. Aku cemburu dengan bulan dan bintang di langit yang sebentar lagi terlihat saling merengkuh sedangkan aku tidak.” Nada bicaraku sudah mendayu, mataku sudah kupusatkan melihat guratan tegas di dahinya, kuharap dia mengerti mauku saat ini.

“Jika aku menyakitimu, katakan. Aku akan mulai sekarang Techa ....”

“Tidak akan. Aku tau itu.”

Mataku mulai menutup tatkala sesuatu yang hangat menyapa bagian dari diriku, sore hari tampak mulai menggelap saat ini, helaian sapaan dari tangannya menghangatku dan mulai mencari bagian diriku lainnya.

Aku merindukannya terlalu dalam, hingga menyerahkan diriku dengan pasrah di bawah kuasa seorang yang kusebut dengan nama Viho. Lelakiku, Tuanku, kekasihku dan duniaku.

Ya sudah, aku mau bersenang-senang dulu dengan Tuanku, nanti akan kuceritakan lagi jika aku sempat. Sampai jumpa.

Beruntung karena hari ini bukan kopi atau kudapanku yang Tuanku santap dengan nikmat, melainkan aku Jiwanya —Techa

SANG TUAN by @bundanyuwi

      Mendung kian terbit menunjukan presensinya dilangit. Gemericik mulai menyeruak turun membasahi bumi. Disudut jendela ada seorang Tuan menyeruput kopi melihat cuaca sore hari ini dibalik bilik jendela kuno bercorak kayu tua. Dia Tuanku, Viho.

“Tidak bekerja, Tuan?”

Diamnya membuatku melangkah mendekat dan melihat kegiatan seru apa yang Tuanku lihat dibalik jendela berembun itu.

Tuanku menarik pinggangku. Aku? Tentu dengan senang hati mengikuti lengan kokoh itu menarik bagian dari diriku.

“Kopi yang kubuatkan atau diriku yang menyenangkan suasana hati Tuan saat ini?”

“Tuan tersenyum terlampau tegas, aku harap itu karena aku.” Sambungku dengan sedikit menyentuh jarinya.

“Duniamu.” Jawabnya.

Melihatku yang tak mengerti dengan kata singkatnya, dia mendekatkan kepalanya ke telingaku, “kamu, Techa. Karena hadirnya kamu, aku bahagia.”

Bagaimana bisa aku menjawab Tuanku? Katakan. Bagaimana?!

Sentuhannya, membuatku seperti dibawa ke langit.

Bisiknya, membuatku seperti menjumpai ribuan kupu-kupu di sekelilingku.

Kasihnya, membuat ragaku melemah seperti tulang belulangku hendak meluruh bersama kaki melemas saat ini juga.

Tahan Techa.

“Jika hujan adalah jiwamu, maka gemuruh petir itu akan menjadi apa, Tuan?” Aku melantangkan suaraku, sesekali juga bersautan dengan gemericik yang kian deras menderai bumi. Tuanku suka hujan, anggap saja hujan itu aku.

Sorot mata tegas itu tampak menyipit, memperlihatkan lekungan senyum di wajah tampan bercorak gelap dengan surai madu manis melengkapinya. Terlihat sangat cocok bukan lekungan itu terpatri indah di wajah Tuanku? Tentu saja, Ya.

Ah Tuanku, tersenyum. Sangat candu.

“Bukankah jiwaku sudah menjadi milikmu, Techa? Apalagi yang kau tanyakan? Tentu saja, semua semesta ini tak sebanding dengan dirimu.”

Tangannya menyentuh pinggangku sangat pelan, hujan menjadi saksi dan samar-samar gemuruh bersautan di langit itu melihat tangan tegas kokoh Tuanku yang mulai menghantarkan rasa sayangnya kepada jiwanya, yaitu aku. 

Tubuh itu semakin mendekatiku, arahnya menuju telinga ku dengan bibirnya sedikit mengenai telinga ku tanpa menyapanya, “Tak perlu cemburu dengan mengalihkan pertanyaan konyol seperti itu Techa, Nona itu tak melebihi indah kepunyaanku.“ 

Aku ketahuan, apa aku terlalu cemburu dengan Nona yang sempat mengoda Tuanku? Astaga, lelucon sekali. Bahkan aku jiwanya, bagaimana bisa dia melirik Nona cantik lainnya?

“Aku punya siapa Techa?“ 

“Techa.“ 

Hujan berhenti, berganti dengan remahan air yang bersautan. Aku dan dia, kekasihku maksudnya, dia tak henti mengodaku. Kadang juga menyapa leherku, kadang menjumpai bibirku, kadang juga tersenyum tanpa alasan. 

“Viho ....” aku berbicara karena dia terus menatap ku.

“Iya, ingin menyampaikan sesuatu?”

“Aku mencintamu. Viho.” Tadinya ingin berkata berhenti menatap ku, tapi malah aku yang lemah menghadapi bola matanya yang bersinar itu. Dasar aku.

“Aku tau, terima kasih Techa.” Dia bangkit lalu mencium keningku.

“Mau ke mana?”

“Menutup pintu. Kau ceroboh.”

Punggungnya saja aku suka, apalagi dirinya? Tentu saja aku tergila-gila. Tidak akan kubiarkan, punyaku menjadi punya Nona lainnya.

Entah siapapun Nona, kuharap Nona sadar, jika Tuanku adalah milikku. Bagaimanapun merakmu mengoda menggepakan sayap indah, ketahuilah jiwa Tuanku, sudah terisi penuh olehku di dalamnya. Tak ada ruang lagi, SIlahkan menemui Tuan lainnya Nona.

Aku pemenangnya. Merak cantikmu tak mampu menggantikan sang merpati indah pilihannya dan Nona cantik harus tau itu.


“Mataku, punya kekasihku.” Tuanku begitu mirip dengan perayu ulung sekarang.

“Aku tau.”

“Hidung, bibir dan semua atas hidupku, itu milik kekasihku.”

Lihatlah, dia merayu lagi. 

“Jadi, ini karena aku bukan Tuan? Jangan membual lagi tentang kopiku yang membuat Tuan seperti ini, atau kekasihmu ini akan mencari rumah lainnya.”

“Tulus dari hatiku, Techa pemilik identitas diri ini.”

“Perayu ulung.” Jawabku dengan mencubit salah satu bagian dari tubuhnya.

“Aku tau, tapi kamu juga harus tau ...”

“Apa?!”

“Galak sekali milikku.”

Aku sengaja mendiamkannya, melihatnya memanggil aku, 'milikku' sangat candu bagi indra pendengeranku, beruntung aku masih bisa mendengarnya.

“Aku hanya merayu kekasihku, dan itu hanya kamu Techa. Jangan tolak rayuanku. jika kamu tolak, aku tak bisa merayu siapapun lagi.”

“Bisa diam?”

“Merindukanku bukan?”

“TID—” 

Sanggahku dipotong begitu saja oleh Tuanku, Keningku lagi dan lagi menjadi kesukaannya untuk dikecup. Berulang kali kecup itu tak kunjung usai, bisiknya terus membisikan aku miliknya dan tangan itu menahan tengkuk leher serta pinggang ku. Dengan kurang ajarnya tangan itu ikut menyapa kulitku dari dalam baju tidurku.

Dia tau, jiwanya sangat lemah jika disentuh dengan lancang sebegini rupanya. Dia sangat mengenalku. Ah sialan sentuhannya semakin lancang. Bajuku telah jatuh berserakan di lantai kayu yang kami pijak berdua. 

“Jadi, jiwaku Techa ... maukah?”

“Kau masih bertanya? Setelah bajuku, kau turunkan dan kakiku juga tengah melingkar di pinggangmu? Bercanda ya kau. Cepat lakukan.“ 

Dia tertawa lepas dan berjalan menuju ranjang yang sedari tadi menunggu disapa, dengan aku yang melekat kuat di depannya, tepatnya di dada depannya, ada aku yang menempel layaknya perangko pada suratnya begitu kuat. Jika Tuanku adalah surat, maka aku akan melengkapi hidupnya sebagai perangko yang terus ada pada surat. Serasi bukan? Tentu saja.

Jika tidak serasi? Aku akan memaksa kalian, ini kisahku. Jangan buat aku menderita. Cukup semesta yang membuat ceritaku rumit dan merepotkan.

Lihatlah, tawanya mengisi ruangan ini, gelas jika bisa bicara, dia akan bilang sekarang, jika kekasihku menuju gila sedikit lagi.

“Jangan salahkan Tuanmu ini jika dia gila, karena sekarang, merpatinya sangat indah dibawahnya sekarang.”

Dia bisa mendengarku? Sepertinya aku yang mulai gila, menggangapnya bisa seperti itu. 

“Jadi aku ini merpati indahmu atau jiwamu Tuan?” Tanganku masih mengalung di lehernya dari bawah ranjang.

“Terserah aku menjuluki kepunyaanku apa. Kamu tak perlu tau.”

Dia ini sangat menjengkelkan, untung hatiku masih menyimpan namanya banyak.

“Aku tampan bukan Cha?”

“Harus aku jawab?” Jangan panggil Cha, itu juga kelemahanku sialan. 

“Tidak perlu, rona merahmu menjelasķan semuanya. Terimakasih untuk sanjugannya. Kamu juga indah dengan warna mu Cha.”

“Tinggi sekali kepercayaan diri Tuan? Ada aku meninggikanmu?” Jawabku menantangnya.

Lihatlah, bukannya menjawab. Dia malah tersenyum dengan pesona menyeruak—yang sialnya tampan sekali. Tangannya menyentuh pelipisku, dia mengecupku ternyata. 

Sedetik kemudian, helai rambutku dia rapihkan. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya sedikit memburu, keningku bertemu dengan keningnya.

“Sudahkah hari ini aku menyanjungmu kekasihku? Katakan, apa yang kau inginkan dariku.“ 

Baik, aku menyerah. Dia menang. Tuanku memang sangat pintar membuat aku tak mampu menentang.

“Setiap saat kau menyanjungku Viho. Ayo rengkuh aku lebih dalam. Aku cemburu dengan bulan dan bintang di langit yang sebentar lagi terlihat saling merengkuh sedangkan aku tidak.” Nada bicaraku sudah mendayu, mataku sudah kupusatkan melihat guratan tegas di dahinya, kuharap dia mengerti mauku saat ini.

“Jika aku menyakitimu, katakan. Aku akan mulai sekarang Techa ....”

“Tidak akan. Aku tau itu.”

Mataku mulai menutup tatkala sesuatu yang hangat menyapa bagian dari diriku, sore hari tampak mulai menggelap saat ini, helaian sapaan dari tangannya menghangatku dan mulai mencari bagian diriku lainnya.

Aku merindukannya terlalu dalam, hingga menyerahkan diriku dengan pasrah di bawah kuasa seorang yang kusebut dengan nama Viho. Lelakiku, Tuanku, kekasihku dan duniaku.

Ya sudah, aku mau bersenang-senang dulu dengan Tuanku, nanti akan kuceritakan lagi jika aku sempat. Sampai jumpa.

Beruntung karena hari ini bukan kopi atau kudapanku yang Tuanku santap dengan nikmat, melainkan aku Jiwanya —Techa

— SANG TUAN by @bundanyuwi

      Mendung terbit menunjukan presensinya dilangit. Gemericik mulai menyeruak turun membasahi bumi. Disudut jendela ada seorang Tuan menyeruput kopi melihat cuaca sore hari ini dibalik bilik jendela kuno bercorak kayu tua. Dia Tuanku, Viho.

“Tidak bekerja, Tuan?”

Diamnya membuatku melangkah mendekat dan melihat kegiatan seru apa yang Tuanku lihat dibalik jendela berembun itu.

Tuanku menarik pinggangku. Aku? Tentu dengan senang hati mengikuti lengan kokoh itu menarik bagian dari diriku.

“Kopi yang kubuatkan atau diriku yang menyenangkan suasana hati Tuan saat ini?”

“Tuan tersenyum terlampau tegas, aku harap itu karena aku.” Sambungku dengan sedikit menyentuh jarinya.

“Duniamu.” Jawabnya.

Melihatku yang tak mengerti dengan kata singkatnya, dia mendekatkan kepalanya ke telingaku, “kamu, Techa. Karena hadirnya kamu, aku bahagia.”

Bagaimana bisa aku menjawab Tuanku? Katakan. Bagaimana?!

Sentuhannya, membuatku seperti dibawa ke langit.

Bisiknya, membuatku seperti menjumpai ribuan kupu-kupu di sekelilingku.

Kasihnya, membuat ragaku melemah seperti tulang belulangku hendak meluruh bersama kaki melemas saat ini juga.

Tahan Techa.

“Jika hujan adalah jiwamu, maka gemuruh petir itu akan menjadi apa, Tuan?” Aku melantangkan suaraku, sesekali juga bersautan dengan gemericik yang kian deras menderai bumi. Tuanku suka hujan, anggap saja hujan itu aku.

Sorot mata tegas itu tampak menyipit, memperlihatkan lekungan senyum di wajah tampan bercorak gelap dengan surai madu manis melengkapinya. Terlihat sangat cocok bukan lekungan itu terpatri indah di wajah Tuanku? Tentu saja, Ya.

Ah Tuanku, tersenyum. Sangat candu.

“Bukankah jiwaku sudah menjadi milikmu, Techa? Apalagi yang kau tanyakan? Tentu saja, semua semesta ini tak sebanding dengan dirimu.”

Tangannya menyentuh pinggangku sangat pelan, hujan menjadi saksi dan samar-samar gemuruh bersautan di langit itu melihat tangan tegas kokoh Tuanku yang mulai menghantarkan rasa sayangnya kepada jiwanya, yaitu aku. 

Tubuh itu semakin mendekatiku, arahnya menuju telinga ku dengan bibirnya sedikit mengenai telinga ku tanpa menyapanya, “Tak perlu cemburu dengan mengalihkan pertanyaan konyol seperti itu Techa, Nona itu tak melebihi indah kepunyaanku.“ 

Aku ketahuan, apa aku terlalu cemburu dengan Nona yang sempat mengoda Tuanku? Astaga, lelucon sekali. Bahkan aku jiwanya, bagaimana bisa dia melirik Nona cantik lainnya?

“Aku punya siapa Techa?“ 

“Techa.“ 

Hujan berhenti, berganti dengan remahan air yang bersautan. Aku dan dia, kekasihku maksudnya, dia tak henti mengodaku. Kadang juga menyapa leherku, kadang menjumpai bibirku, kadang juga tersenyum tanpa alasan. 

“Viho ....” aku berbicara karena dia terus menatap ku.

“Iya, ingin menyampaikan sesuatu?”

“Aku mencintamu. Viho.” Tadinya ingin berkata berhenti menatap ku, tapi malah aku yang lemah menghadapi bola matanya yang bersinar itu. Dasar aku.

“Aku tau, terima kasih Techa.” Dia bangkit lalu mencium keningku.

“Mau ke mana?”

“Menutup pintu. Kau ceroboh.”

Punggungnya saja aku suka, apalagi dirinya? Tentu saja aku tergila-gila. Tidak akan kubiarkan, punyaku menjadi punya Nona lainnya.

Entah siapapun Nona, kuharap Nona sadar, jika Tuanku adalah milikku. Bagaimanapun merakmu mengoda menggepakan sayap indah, ketahuilah jiwa Tuanku, sudah terisi penuh olehku di dalamnya. Tak ada ruang lagi, SIlahkan menemui Tuan lainnya Nona.

Aku pemenangnya. Merak cantikmu tak mampu menggantikan sang merpati indah pilihannya dan Nona cantik harus tau itu.


“Mataku, punya kekasihku.” Tuanku begitu mirip dengan perayu ulung sekarang.

“Aku tau.”

“Hidung, bibir dan semua atas hidupku, itu milik kekasihku.”

Lihatlah, dia merayu lagi. 

“Jadi, ini karena aku bukan Tuan? Jangan membual lagi tentang kopiku yang membuat Tuan seperti ini, atau kekasihmu ini akan mencari rumah lainnya.”

“Tulus dari hatiku, Techa pemilik identitas diri ini.”

“Perayu ulung.” Jawabku dengan mencubit salah satu bagian dari tubuhnya.

“Aku tau, tapi kamu juga harus tau ...”

“Apa?!”

“Galak sekali milikku.”

Aku sengaja mendiamkannya, melihatnya memanggil aku, 'milikku' sangat candu bagi indra pendengeranku, beruntung aku masih bisa mendengarnya.

“Aku hanya merayu kekasihku, dan itu hanya kamu Techa. Jangan tolak rayuanku. jika kamu tolak, aku tak bisa merayu siapapun lagi.”

“Bisa diam?”

“Merindukanku bukan?”

“TID—” 

Sanggahku dipotong begitu saja oleh Tuanku, Keningku lagi dan lagi menjadi kesukaannya untuk dikecup. Berulang kali kecup itu tak kunjung usai, bisiknya terus membisikan aku miliknya dan tangan itu menahan tengkuk leher serta pinggang ku. Dengan kurang ajarnya tangan itu ikut menyapa kulitku dari dalam baju tidurku.

Dia tau, jiwanya sangat lemah jika disentuh dengan lancang sebegini rupanya. Dia sangat mengenalku. Ah sialan sentuhannya semakin lancang. Bajuku telah jatuh berserakan di lantai kayu yang kami pijak berdua. 

“Jadi, jiwaku Techa ... maukah?”

“Kau masih bertanya? Setelah bajuku, kau turunkan dan kakiku juga tengah melingkar di pinggangmu? Bercanda ya kau. Cepat lakukan.“ 

Dia tertawa lepas dan berjalan menuju ranjang yang sedari tadi menunggu disapa, dengan aku yang melekat kuat di depannya, tepatnya di dada depannya, ada aku yang menempel layaknya perangko pada suratnya begitu kuat. Jika Tuanku adalah surat, maka aku akan melengkapi hidupnya sebagai perangko yang terus ada pada surat. Serasi bukan? Tentu saja.

Jika tidak serasi? Aku akan memaksa kalian, ini kisahku. Jangan buat aku menderita. Cukup semesta yang membuat ceritaku rumit dan merepotkan.

Lihatlah, tawanya mengisi ruangan ini, gelas jika bisa bicara, dia akan bilang sekarang, jika kekasihku menuju gila sedikit lagi.

“Jangan salahkan Tuanmu ini jika dia gila, karena sekarang, merpatinya sangat indah dibawahnya sekarang.”

Dia bisa mendengarku? Sepertinya aku yang mulai gila, menggangapnya bisa seperti itu. 

“Jadi aku ini merpati indahmu atau jiwamu Tuan?” Tanganku masih mengalung di lehernya dari bawah ranjang.

“Terserah aku menjuluki kepunyaanku apa. Kamu tak perlu tau.”

Dia ini sangat menjengkelkan, untung hatiku masih menyimpan namanya banyak.

“Aku tampan bukan Cha?”

“Harus aku jawab?” Jangan panggil Cha, itu juga kelemahanku sialan. 

“Tidak perlu, rona merahmu menjelasķan semuanya. Terimakasih untuk sanjugannya. Kamu juga indah dengan warna mu Cha.”

“Tinggi sekali kepercayaan diri Tuan? Ada aku meninggikanmu?” Jawabku menantangnya.

Lihatlah, bukannya menjawab. Dia malah tersenyum dengan pesona menyeruak—yang sialnya tampan sekali. Tangannya menyentuh pelipisku, dia mengecupku ternyata. 

Sedetik kemudian, helai rambutku dia rapihkan. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya sedikit memburu, keningku bertemu dengan keningnya.

“Sudahkah hari ini aku menyanjungmu kekasihku? Katakan, apa yang kau inginkan dariku.“ 

Baik, aku menyerah. Dia menang. Tuanku memang sangat pintar membuat aku tak mampu menentang.

“Setiap saat kau menyanjungku Viho. Ayo rengkuh aku lebih dalam. Aku cemburu dengan bulan dan bintang di langit yang sebentar lagi terlihat saling merengkuh sedangkan aku tidak.” Nada bicaraku sudah mendayu, mataku sudah kupusatkan melihat guratan tegas di dahinya, kuharap dia mengerti mauku saat ini.

“Jika aku menyakitimu, katakan. Aku akan mulai sekarang Techa ....”

“Tidak akan. Aku tau itu.”

Mataku mulai menutup tatkala sesuatu yang hangat menyapa bagian dari diriku, sore hari tampak mulai menggelap saat ini, helaian sapaan dari tangannya menghangatku dan mulai mencari bagian diriku lainnya.

Aku merindukannya terlalu dalam, hingga menyerahkan diriku dengan pasrah di bawah kuasa seorang yang kusebut dengan nama Viho. Lelakiku, Tuanku, kekasihku dan duniaku.

Ya sudah, aku mau bersenang-senang dulu dengan Tuanku, nanti akan kuceritakan lagi jika aku sempat. Sampai jumpa.

Beruntung karena hari ini bukan kopi atau kudapanku yang Tuanku santap dengan nikmat, melainkan aku Jiwanya —Techa