Bunda nyuwi

Sesak.

Ramai.

Penuh orang.

3 kata itu adalah hal yang pas di katakan club malam. Ilha datang ke sini karena penat akan urusan dunia, kerja dan tekanan tanggung jawab berlebih membuatnya membutuhkan hiburan.

Tequila sudah tersaji di depannya. Di goyang-gòyangkan gelas kaca itu dan matanya tengah menatap seseorang dengan paras rupawan, bersinar dan menjadi pusat perhatian di sini.

“No Aeseol.” Celetuk Taeman singkat sembari menjulurkan minuman pesanan Ilha.

Ilha menaikan sebelah alis tegasnya dan mengambil minuman itu. “Aku tidak bertanya Taeman.”

Benar tidak bertanya, tapi matanya terus menatap Aeseol, seolah manusia itu adalah hal  yang sangat menarik.

Tubuhnya meliuk indah. Sorot mata coklatnya mampu menyihir Ilha untuk selalu menatapnya. Aeseol dengan segala gerakan sensual di atas panggung itu lalu jari tak absen memainkan alat DJ di depannya terlihat sangat candu dan indah di pandang. Kemejanya terbuka tiga kancing, rambutnya basah oleh keringat dan racikan nada darinya membuat semua bergerak menikmati itu, membuat Ilha takjub.

DJ No Aeseol, dirinya terkenal dengan gayanya yang tak tersentuh. Singkatnya, aura dia mahal. Dia sangat rupawan, dengan perpaduan cantik dan tampan membalut wajahnya serta tubuh indahnya sangatlah membuat siapapun iri bahkan mau menjadi dirinya.

“Dia tidak akan bisa kau sentuh Kwon Ilha.”

Ilha senyum smirk. “Aku tau.” Setelahnya dia meminum Tequila sampai tandas tak bersisa.

one more but wiski

“Jangan berfikir gila bro, kau tidak akan menculik atau membawanya ke altar kan Kwon Ilha?” Tanya Taeman sembari menyajikan wiski pada Ilha, sahabat dan juga koleganya dalam bidang hukum.

Ya Kwon Ilha adalah hakim. Ilha adalah Eksekutor yang di kenal sangat kejam dan tak pandang bulu. Dan Taeman adalah pengacara, club ini hanyalah hobi dan tempatnya melobi para kĺiennya.


Aeseol sejenak istirahat dan ke meja bar untuk meminum sesuatu yang bisa meredakan hausnya.

Derap langkah Aeseol sangat cantik, seisi ruangan bahkan menatap sang DJ berjalan dengan aura mahalnya. Bahkan bola berkelip di atas tak melunturkan pancaran auranya.

Brendi please.”

Dia tau jika ada orang memandangnya tanpa malu dan tanpa segan, pria itu adalah Kwon Ilha.

Pria itu terang-terangan menatap Aeseol bahkan saat gadis itu meminum Brendi‐nya itu, Ilha masih saja asik memandang jakun itu turun naik karena aliran air yang masuk.

sexy

“Aku bukan pelacur dan tidak menerima ajakan one night stand.” Aeseol mengatakan itu dengan datar bahkan tak menoleh ke arah Ilha sama sekali dan beranjak pergi begitu saja.

Wow.

Pria dengan tinggi 188 cm itu bahkan semakin menaruh ketertarikannya pada gadis yang mungkin hanya sebatas dadanya, 160 mungkin tingginya. how cute is.

Taeman memberi tantangan, dan Ilha suka itu. Ilha suka yang berbau mahal dan gadis 160 cm itu memenuhi kriterianya.

“Coba saja kawan, kurasa kau pun tidak menaklukannya. Berani?” Remeh Taeman dan tertawa sesudahnya, sedangkan Aeseol tampak biasa aja mendengar orang lain menaruhkannya atas sesuatu, dia tak mau ambil pusing dan terus meminum alkoholnya.

Persetan taruhan, dia pun tak berminat mencegah. Lagian buat apa? Tidak ada alasan untuknya tersinggung, kan dia yang memegang kendali atas diirinya, bukan orang lain. Orang lain mau memperlakukan dirinya seperti apa, tentu dia akan melawan jika itu menganggunya. Dia tak selemah itu jadi perempuan, bahkan sertifikat beladiri pun dia punya banyak.

“Ilha” sambar Ilha lancang pada Aeseol.

Gadis itu hanya melirik remeh uluran tangan Ilha dan kembali meminum Brendi itu sampai habis lalu pamit pada Taeman.

“Thanks, Wang. Aku pamit.” Aeseol berdiri dan mengusap leher Ilha singkat. “Brendi better than is you sir.”

Ucapan itu seakan mengejek Kwon Ilha. Seolah minuman alkohol itu lebih baik di banding Ilha? Dilihat dari sudut manapun Kwon Ilha hotter as hell di banding minuman sialan itu.

Bodohnya peia itu sekarang mengakui jika Aeseol memang mahal auranya. Belum pernah dia bertemu seseorang seperti Aeseol.

See you 'pretty savage'.” Balas Taeman.

“Shit!” Umpatan Ilha lantang terdengar.

Taeman tertawa melihat sang hakim bahkan bisa mengumpat. Puluhan kasus mengerikan, ratusan pelaku kejahatan dan ribuan ancaman kematian karena resiko pekerjaannya tak pernah ia dengar Ilha lepas kontrol atau mengumpat. Tapi lihatlah sekarang, Ilha bahkan seperti menemukan kelemahannya yaitu No Aeseol.

“Bung di atas ada jalang, puaskan juniormu.” Taeman melirik celana kerja Ilha mengembung.

Alih-alih mrnjawab, Ilha justru bertanya hal lain, “Dia kau temukan di mana?” Matanya tak lepas memandang Aeseol yang berjalan menjauhinya.

”.... dan tadi 'pretty savage' maksudnya apa?”

“Kau bahkan bisa melihat tindakannya tadi bukan?”

“Dia menarik. Tapi liar. Aku harus menjinakannya terlebih dahulu.”

“Tidak akan bisa. Aku bertaruh club bar ini padamu jika bisa.” Tatapan remeh Taeman dan kembali membuat racikan alkohol.

“Aku pertaruhkan penthouse ku di New York buat kau Taeman.”

Deal, not bad.” Balas Taeman santai dan memberi kontak Aeseol pada teman gilanya itu.

“Ga gratis.”

what you want?” Sengit Ilha.

“Bantu aku memenangkan kasus Paragon Group. Kau hakimnya bukan?”

Then, kau pengacara mereka?” Taeman balas mengangguk.

Deal

Beginilah keduanya melobi pekerjaan. Bar, club golf, hotel adalah tempat sasaran sang korban, sang pelaku dan para judge serta pembela merembukan sesuatu ilegal diluar ketukan palu pengadilan. Taeman memang terlihat santai, namun dia pelobi kasus yang handal. Semua kasus baik perdata dan pidana di tangannya 99% sukses. Tidak selalu curang, kadang dia pun berusaha keras tetap dijalur legal. Semua tergantung nominal. Semakin besar insentif, semakin ilegal dia melalukan pembelaanya pada kliennya.

Berbeda dengan Kwon Ilha. Dia sangat jarang mau dilobi siapapun, semua hasil vonisnya berdasarkan ketentuan hukum. Hanya orang terpilih yang bisa Melobi dirinya. Tak ayal kesombongan pria 37 tahun itu banyak menjumpai musuh. Dia cerdas, cerdik, berani, tegas dan tak tersentuh, sama seperti Aeseol. Selain itu dia juga berasal dari sendok emas, alias keluarganya konglomerat, semakin membuatnya ditakuti oleh pelaku kejahatan.

Mendapatkan hakim Kwon Ilha sebagai hakim putusan mereka itupun sudah termasuk kesialan.


Matahari tampak terik meninggi. Saat ini ada sepasang teman, ah tidak tapi sepasang kekasih? Entahlah apa sebutannya, yang jelas dua pria itu adalah Tay Tawan dan Newwiee yang tengah bergantian mengayuh sepeda dengan keranjang penuh susu untuk di antar.

Rutinitas mereka sederhana, biasanya sebelum ke sekolah, mereka mengantar susu di sekitaran komplek. Awalnya ini kerjaan Tay namun New mau ikut andil, biar ga berat di satu orang untuk mencari nafkah katanya.

Privilege? Tentu mereka punya.

Kekuasaan? Itu juga punya.

Kekayaan? Sudah sangat jelas, mereka dari kalangan atas.

Tapi, mereka melepas itu semua. Bukan karena tidak bersyukur atas titipan dari Tuhan, tapi mereka belum sampai di tahap mereka pantas mendapatkannya. Semua butuh proses, begitupun mereka. Entah nanti mereka yang akan meneruskan perusahaan keluarga masing-masing atau tidak, biarlah menjadi urusan nanti. Sekarang mereka hanya mau menjadi diri sendiri tanpa di pikul beban tanggung jawab yang besar.

6 bulan lagi mereka berusia 19 tahun dan lulus sekolah menengah atas. Masih sangat muda sekali. Biarlah mereka menikmati masa mudanya, sebelum memikul tanggung jawab yang besar nantinya.

“New, ke blok nomor 10 ya.” Ucap Tay yang di bonceng New dan New hanya mengangguk lalu mengayuh sepedanya sedikit lebih cepat.

Pemandangan komplek ini terkesan sejuk di pandang mata, walau New tidak bisa melihat warna lain selain abu-abu karena penyakit langkanya ; 'Monochromacy' ia tetap menyukainya. Terlebih Tay terlihat senang sambil merentangkan tangannya di udara, itu sudah lebih dari cukup baginya.

Yang dilihat Tay

Gambar

Yang dilihat New

Gambar

“New, seger banget kan pagi ini? Coba hirup udaranya.” New senyum dan sembari menghirup pelan udara pagi ini.

Tay benar, sangat segar.

“Hahaha iya.”

Tay memotret sekeliling dengan ponsel nya. “New, gue suka warna abu-abu.”

New sedikit menegang dan merematkan jari pada setir sepedanya, ia seperti takut tanpa alasan. “Tiba-tiba banget.”

Melihat arah sepeda lurus kedepan, “New lihat kiri deh, cantik banget bunganya.”

Mau tak mau New memutar setir sepeda ke kiri. Tay senyum. Ia tau New lupa dengan arah jalan, dan Tay tak mau New terus merasa bersalah karena terus-terusan lupa, jadi dia sengaja mengirim sinyal itu.

Setiap manusia sebenernya tidak terlalu suka jika di anggap lemah, di bantu dan lain lain. Tapi sesama manusia haruslah bermanfaat bagi sekitarnya tanpa menjatuhkan, menunjukan ketidaksempurnaan lawan bicara dan lain sebagainya. Seperti yang Tay lakukan sekarang, bunga adalah alihan nya, niatnya memang mau membantu New mengarahkan sepedanya ke kiri tapi tak mau jika New tau, kalau Tay sedang membantunya.

Itu akan melukai harga diri New.

Di tolong dengan jelas, sebenarnya membuat mereka selalu berpikir, apa hidupku menyedihkan? apa aku harus apa-apa di bantu? walau tak semuanya, tapi pasti ada.

“Tay foto bunganya cepat. Mau gue cetak nanti.”

7 Bunga Ini Tak Hanya Cantik tapi Juga Penuh Makna, Apa Saja? - Cantik  Tempo.co

“Oke.”

Mengayuh sekitar 7 menit, kini mereka sampai di blok nomor 10.

Tay turun dan mengambil beberapa susu lalu berlari sedikit ke arah pintu dimana ada tas kecil yang menampung susu itu. Tay menarik buku kecilnya, mengeluarkan pulpen dan sebuah kata, “Selamat pagi, semoga hari mu menyenangkan. Semangat.”

Tay Tawan itu unik. Dia tidak terlalu mengenal dunia, tapi dia tau dan selalu mengerti permasalahan setiap manusia pada dasarnya sama, yaitu membutuhkan kata semangat.

Memangnya siapa yang tak membutuhkan kata semangat di kehidupan ini? Dibanding memberi pertolongan, memberi kata semangat lebih dibutuhkan dan sangat mudah di jumpai, tapi sayang kata sepele ini terlupakan begitu saja.

“Udah kan ya? Yang blok nomor 10 ini terakhir ga sih Tay? Lo tau gue pelupa banget.” Tanyanya dengan ceriwis tak selesai, kakinya berlari sedikit menghampiri Tay, terlalu dekat bahkan jarak mereka saat ini.

New dengan keluhannya.

New dengan tingkah polosnya.

New dengan hal menggemaskan seperti ini.

Merupakan hal favorit bagi seorang Tay Tawan, tiga haĺ itu bahkan New lakukan dalam satu waktu, seperti sekarang.

Keluhnya tak diam.

Tubuhnya mendekati Tay.

Tanyanya dengan mata berbinar cantik.

Tay bahkan untuk 2 detik terdiam menatap figur wajah suaminya. Sangat cantik. Mata coklat itu dihiasi binar menggemaskan, pipinya membuat ekspresi lucu, dan terakhir bibirnya yang terus berucap tampak sangat menarik di pandang Tay.

Chuup

Kecupan itu Tay yanng memulai. Tidak melumat, atau menyesapi, hanya menempel tak lebih.

5 detik. Butuh 5 detik kecupan itu terlepas. Mengundang ekspresi terkejut New.

Tangan Tay menapaki pucuk kepala New. Ia elus, sudahnya kening New jadi sasaran kecup itu ĺagi.

Kecup bibir.

Elus kepala.

Terakhir, kecup kening.

Tolong jelaskan bagaimana New bisa menahan rona pipi merah bersemu di wajahnya? Katakan?!

Ah dia menemukan caranya, di mengepalkan tangannya ke celananya adalah membentengi diri dari 3 serangan Tay barusan.

“New..”

“Iya.”

”.... Jangan di kepal terus, nanti sakit tangannya.” Tambah Tay dengan melepaskan kepalan tangan New.

Sial, Tay malah mengenggam tangan New lalu menuju sepedanya.

“Tayy... eum tadi itu...” New bahkan tak berani menatap Tay, matanya fokus ke bawah.

First kiss kita bukan?”

“Gatau, tapi sepertinya iya. Suka?”

“Suka.”

New berhenti, “New kenap—”

Terlambat.

New sudah mencuri bibir Tay. New mencium Tay Tawan. Ciuman itu hanya menempel sama seperti tadi.

“Ayo pulang.” New melepaskan ciuman itu dan berjalan mendahului Tay. Tay melihat New sangat malu terlihat dari gestur berjalannya.

“Pacar tungguin.”

“Sayangnya Tay, cepet banget jalannya. Hati-hati ada lubang cantik.”

“Jangan lupa hari ini kita honeymoon bisa dilanjut yang tadi ga New?”

Sudahnya Tay berlari terkekeh dengan rentetan rengekannya tadi. Lantas New? Sudah. New sudah terlihat seperti udang rebus. Pipinya sudah semerah tomat. Sudah salah tingkah, malah suaminya semakin menambah afeksi itu. Sudah. New sudah mau mengubur diri aja.

Anaknya malu ka


Tenda

Matras

Buah-buahan

Meja

Gitar

Kursi

Tay dan New tèrkejut dengan apa yang mereka lihat. Semua sudah siap. Bahkan mereka tak ingat kapan menyusun ini semua di halaman.

“Tay, siapa yang siapin? Lo?”

Tay menggeleng. “Bukan. Tapi gue kayaknya tau yang nyiapin ini semua siapa.”

“Ya sudahlah, ayo masuk ke rumah dulu New, mandi terus kita mulai agenda honeymoon kita.”

New diam memandang semua hal mustahil di depannya.

Honeymoon gue ga pernah tau kalo gue sempet ngerasain hal mewah ini.”

Tay menoleh singkat. “Kita cuman di rumah, ga mewah New.”

“Bukan itu maksud gue. Tapi keberadaan lo, suasana ini, dan semua hal di sini terasa mewah.”

“Singkatnya, kenangan ini mewah.”

New mengeluarkan buku catatan kecilnya. Ia takut kenangan mahal ini terlupakan begitu saja. Lobus temporalisnya atau bagian otak yang menyimpan memorinya tak bisa menangkap semuanya karena tak bekerja sebagaimana semestinya. Terlahir prematur memang sulit, karena selalu kurang dari segimanapun.

Tay tak mencegah atau bertanya lagi.

New menuliskan kenangan ini dengan raut wajah cerianya. Senyum itu cantik, berbagai keindahan semesta kini berbaur dengan New. Mata itu menyipit ketika tersenyum, bibirnya ikut bersua mengikuti tangannya menggerakan arah pulpen.

New, entah apa penyakit lo, kekurangan lo, dan beban lo. Gue di sini dan selalu akan di sini. Bahu gue selalu ada buat lo. Bahagia selalu New.

Tutur tulus hati Tay sembari mengusak pucuk kepala New pelan, New yang sedang konsentrasi mencatat itu tak tau jika Tay memperhatikannya.

“Nah sudah. Ayo masuk ke rumah, mandi dulu kita.”

“Ayo.”


Masih di dalam selimut, dua manusia itu bergelung. Tidak, mereka bukan habis melakukan having sex atau semacemnya, tapi mereka sedang malu satu sama lain.

Sayang

6 huruf 1 kata itu mampu membuat mereka malu bukan kepalang.

“Tay, kita beneran gamau keluar dari selimut?” New menoleh mengarah ke Tay.

“Malu banget ya New ternyata haha.”

“Sayang ayo keluar.” Sial, New malah menggoda Tay. Sesudahnya dia juga ikut senyum geli.

“New astaga. Jangan panggil itu.”

Akhh

Bukan desahan, jangan kotor kalian. Itu teriak New karena Tay tanpa aba-aba mencubit pipi gembil New. “Nanti gue makan lo lama-lama. Nih juga senyumnya biasa aja. Gue gigit nanti pipi lo.”

“Jahat banget, masa gue mau di makan.”

Sreeek

Selimut Tay sibakan dan melepas kain tebal itu dari badan mereka, Tay duduk dan New juga mengikut.

“New sini deh. Agak majuan.”

“Jangan dimakan tapi pipi gue.”

“Iya engga.”

New mencondongkan wajahnya, Tay menangkup pipi New.

“ARGGGG TAY JWANGAN DIGWIWIT IH.” Ucap New susah karena Tay sudah mengigit gemas pipi gembul New.

Kenyal seperti mochi

“Hahahaha Tay uwdahh aswtagha pipi guee.”

Tay pun melepaskan. “Gemes banget. Jangan gitu lagi.”

“Ish iya-iya.”

“Tayy mau bobo, ngantuk.” New sudah mengucek matanya dan menguap sedikit. Tangan Tay pun menyematkan telunjuknya menutupi mulut New, seperti bayi yang tak boleh kemasukan lalat.

“Iya ayo tidur. Mau di peluk?”

“Mauuu hehe.” Ucap sumringah New.

“Iya ayo sayang. Tidur.”

Sial, kata itu keluar lagi.

“Tayyyyyy”

Test

KONTRAKTOR Batam | Bangun Baru, Renovasi, Pemeliharaan. : +62811 7700 678  (+WA): Kontraktor Desain | Pembangunan Rumah Mewah | Batam | 0811 7700 678

Deru mobil Lexus ikut berhenti ketika Tay memutar kunci kearah matinya mesin. New di sampìngnya duduk anteng dengan kaos simpel dan celana jeans selutut.

“Sudah sampai.” Kata Tay singkat dengan rem tangan di naikan dan seatbelt di lepaskan.

New hanya mengangguk dan bersiap keluar dari mobil. Sebelumnya ia sudah berpesan pada papi nya untuk menyiapkan kebutuhan kemah. Papi nya itu senang berkemah karena katanya menenangkan hati jika berkemah.

Ting

“MASUK AJA SAYANG GA DI KUNCI.” Teriak mami New sangat menggelegar dan berlari kearah pintu.

Kreett

Terdorongnya pintu kayu jati berlapis nuansa black-gold itu kedalam, suasana rumah ini New sedikitnya agak merindu karena sudah 4 bulan tak kemari.

Projects 3D Artworks | Gothic house, Luxury home decor, House design

“Adek, mami kangen. Sini sini peluk dulu.”

Pelukan itu cukup lama, papi juga ikut mengelus surai pucuk kepala New. “Anak nakal, mentang udah nikah, mami papi nya ga pernah di tengok.”

New hanya tertawa pelan. “Maaf.”

Sementara Tay spontan memeluk papi New sopan. “Apa kabar mantu? Sehat nak?” Tepukan itu mengenai lengan atas Tay.

“Sehat papi. Kalian sehat?”

Pria paruh baya yang sebenarnya masih berjiwa muda dan awet muda itu hanya mengangguk dan mengajak keduanya ke dalam. Sekedar mengobrol dan bertemu kangen.

“Di lanjut nanti ya pelukannnya, ayo ke ruang tamu semuanya.”


Strawberry

Susu

Puding

Pancake

Tersaji dengan cantik di ruang tamu yang bernuasa black-gold itu. elegan dan warna makanan manis tadi menambah cantik kilauan perpaduan warna disini.

“Di makan Tay, ini semua mami yang bikin loh.” Ujar papi bangga. Dia akan selalu bangga dengan istrinya, dan akan selalu bucin kalo kata orang generasi sekarang.

“Iya papi.”

“New, mau yang mana? Gue ambilin.” Sambungnya lagi.

“Gue bisa sendiri.”

“Yaudah iya.”

Tangan New mencoba meraih puding cantik itu disudut. Tangannya terlalu pendek untuk mengambil dan terlalu malas untuk bèrdiri.

Puding sudah di ambil, tapi bukan New melainkan sang suami yang berada dekat kudapan itu. Terulurnya tangan Tay menyerahkan puding itu pada New, tertangkap oleh papi dan mami New yang sedari tadi hanya melihat gerak-gerak muda mudi itu.

“Makasih pacar.”

“Eh.. maksudnya suami.” Kaget New dengan lontaran katanya sendiri terkekeh lucu. Aduh lupa banget. Ih dasar otak.

“Pacar? Itu panggilan kalian?” Tanya papi berpura-pura geli dan berdiri menaruh susu serta strawberry pada New.

Gerakan refleks itu membuat Tay tersenyum, dan menoleh ke New yang asik menyantap buah itu.

Anak ini sangat di jaga orang tuanya, kurang ajar jika suatu saat gue tanpa sadar ngelukain dia kan? Mulutnya penuh strawberry, matanya menyipit keasaman dengan buah itu. Lucu sekali lo Newwiee.

“Tay katanya New, kalian mau honeymoon di halaman rumah?”

“Iya mami.”

“Loh kenapa? Kan tempat wisata banyak Tay?”

“Eum... kita gamau terlalu buang waktu ataupun tenaga yang merepotkan, bagi Tay sendiri honeymoon bukan mengenai tempatnya, tapi kenangan itu sendiri. Baik aku atau New, kenangan kami di rumah. Aku sama New juga ga terlalu mengenal dunia, akan sangat canggung jika kami menghampiri tempat baru.”

Jawaban lugas, tepat dan padat Tay itu mau tak mau membuat orang tua New makin yakin dan tak pernah salah memilih menantu.

New? Dia mendengarkan. Kepalanya memang menunduk karena fokus makan, tapi tidak dengan raut wajahnya. Di balik tundukannya itu, dia tersenyum pelan.

Anak kita sayang, coba lihat. Pipinya bersemu.

Papi suka, jika Newwiee kita tersenyum. Karena itu indah.

eye-contact itu papi dan mami lakukan. Mungkin Tay tak melihat New saat ini tapi orang tua New sangat tau gelagat New.

“Kalo mami sama papi tanya, Tay kenapa ga berbaur sama dunia sayang? Bukankah kesepian?” Tanya mami New hati-hati.

Merepotkan.

Melelahkan.

Dan Tay tidak suka.

Tiga kata itu terlontar dari Tay. Orang tua New hanya mengangguk saja. Tak perlu di tanya jelas mereka tau, orang-orang seperti Tay diluar sana pasti ada dan akan selalu ada.

Tidak ada hal khusus yang melatarbelakangi sikap cuek seseorang, kadang kala manusia ada yang tercipta tak suka keramaian, tak suka kebisingan, tak suka ikut campur dan lain lain.

Beda kepala beda persepsi, tidak ada yang aneh akan hal itu. Semua pada porosnya masing-masing. Jadi yang berbeda bukan berarti aneh, hanya saja dia sedikit berbeda dari kebanyakan manusia lainnya.

“Papi, peralatan kemahnya mana?”

“Loh iya astaga papi lupa. Papi ambil dulu ya sayang.”

“Dasar huuuuu.” Spontan New menyoraki papinya.

Tay tidak melarang New mengatakan itu, sebagaimana kisah-kisah di novel biasanya di ceritakan. Tay tidak suka ikut campur dan New juga sudah dewasa pasti bukan maksud mengejek beneran.

“Tay mau?” New monyodorkan pancake.

Tay menggeleng.

“Mami mau?” Kali ini New menyodorkan lagi ke mami nya.

“Iya boleh, suapin mami sini. Aaaaa.”

“Ih manja banget. Yaudah aaaa.”

Enak.

Sangat enak.

Bukan karena dirinya yang buat, tapi mami New berpikir, suapan dari anaknya yang sangat jarang itu berlaku manis ini entah bertahan sampai kapan. Untuk kedepannya mami dan papi harus bersiap.

Papi datang dengan sedikit berlari, tangan kanan penuh peralatan tenda serta kiri untuk alas dan lain lainnya.

“Tay tolong bantu papi. Aduh berat banget ini.”

Tay bergegas berlari mengambil barang di salah satu tangan mertuanya.

“Banyak banget pi, ini semua di gunain?”

“Lah iya. Papi kan orang kaya jadi semua perlengkapan kemah, papi punya banyak tau.”

Tay hanya senyum ketika mertuanya menyombong, persis dengan sang papa di rumah yang sering sombong. Tay tak heran karena sudah terbiasa mendengar orang tua yang narsis ketika memasuki usia yang tak muda lagi.

“Kalian habis ini mau kemana lagi? Langsung pulang?”

“Iya.” Ujar Tay singkat.

“Dan Tay pergi lagi magang di kantor papanya.” Kata New sembari makan puddingnya.

“Salam sama kak rendra ya Tay.” Rendra adalah nama papa Tay.

“Iya papi.”

Drrttt

Handphone bergetar, seperti ada panggilan masuk. Tay ijin menerima panggilan itu dan sedikit menjauh dari ruang tamu.


Adrian dan Nina menatap anak semata wayangnya, ya itu adalah nama papi mami New.

Tatapan tulus bisa terlihat disana, melihat sang anak mengunyah makanan dengan riang, membuat sesuatu di sudut hati mereka menghangat. Entah momen ini kapan lagi terjadi, yang terpenting mereka bersyukur. Karena anak kuatnya itu mampu bertahan sampai hari ini. Rasanya pasti melelahkan dan sangat sakit, mereka bisa lihat itu dari New yang masih tak mau membuka diri pada dunia.

Tes

Air mata Nina jatuh begitu saja, membayangkan hidup sang anak selama ini, apakah dirinya egois jika meminta New hidup lebih lama lagi? Apa dirinya jahat jika meminta New bertahan dari semua ini?

“Mami jangan nangis. Adek gapapa.” Ujar datar itu keluar ketika melihat mami nya meneteskan air mata.

Bukan New tak simpati, bukan. Tapi dirinya sedang membuat benteng pertahanan agar tak ikut mengalirkan air mata. New tau orang tuanya tak suka melihat New menangis dan New juga tak mau di pandang lemah.

Simbolis mutualisme.

“Sayang, Tay udah tau?” Tanya papi singkat.

New menggeleng dan terus memakan buah strawberry itu.

“Adek takut.”

Adrian mengelus tangan anaknya.

“Belum nyaman ya?”

New menggeleng lagi. “Karena adek terlalu nyaman, makanya adek takut.”

Semua diam. Hening.

Semenit kemudian Nina berdiri dan mendekap sang anak. “Gapapa sayang. Gapapa. Semuanya pasti baik-baik saja. Ada mami, papi, Amaraa, dan yang lain. Gapapa.”

Pelukan seorang ibu memang menenangkan rasanya. Ketikan dunia tak berpihak atau takdir yang terlalu kejam, setidaknya ada ibu tempat berpulang. Saat dalam kandungan pun, ibu sudah melindungi kita. Sudah sepantasnya seorang ibu adalah gelar yang luar biasa. Ayah juga. Ketika matahari dan bulannya bersedih, sang ayah akan menjadi langit untuk keduanya. Langit menjaga matahari dan bumi dalam naungannya. Jika di gambarkan sekarang, New ada di pelukan Nina dan Adrian memeluk keduanya. Ini keluarga. Tempat mereka pulang.

“Jangan sedih dong, aduh papi nanti ikut nìh.”

Mau tak mau mereka tertawa sebentar. “Dasar perusak suasana.”

Selepas pelukan itu, Adrian bertanya hal serius pada New.

“Adek, setelah diagnosa seminggu lalu, ada ngerasa sakit ga sayang? Di bagian otaknya?”

New menggeleng.

“Ga sakit pi, cuman pusing aja kadangan.”

“Belum.”

“Adek beneran gamau kemoterapi atau operasi sayang?”

New diam. Jari ia remat, pertanda ia gugup.

“Newwiee sayang, jangan di remat jarinya nanti berdarah.”

Ingatkah kalian? New tidak boleh kegores atau berdarah.

“Mami, papi...”

“Iya kenapa? Mau ya sayang?” Balas sumringah mami.

New menggeleng. “Adek capek. Adek gamau lagi. Biar ini menjadi yang terakhir.”

“Iya gapapa. Adek boleh lakuin apapun yang adek mau.”

New menatap kedua orang tuanya, New kira mereka akan meneteskan air mata lagi, tapi New salah. Justru kini kedua orang tuanya tersenyum ikhlas.

Chuup

Ciuman kening dari papi membuat New menghangat dan sapuan lembut tangan mami di pipi membuat New tenang.

“Nuwi kami yang terbaik.” Ya, Nuwi adalah nama panggilan mereka untuk sang anak selain adek.

20 menit berlalu, Tay kini juga telah kembali keruang tamu. Telfon tadi dari mama nya.

“Eh udah selesai Tay?”

“Udah papi.”

New beranjak berdiri. “Tay ayo pulang.”

“Iya. Ayo.”

“Papi mami antar kedepan.”

Keempatnya pun berjalan keluar menuju mobil Lexus kepunyaan Tay.

“Hati-hati kalian berdua.”

“Iya mami, yaudah Tay sama adek pulang ya.”

Mereka hanya mengangguk dan mempersilahkan anak serta mantunya masuk mobil.

Deru mesin mobil terdengar, Tay membuka kaca dan berpamitan lagi. “Pulang ya mi, pi.”

“Iya sayang.”

Mobil pun melaju meninggalkan kediaman orang tua Newwiee.


Seminggu sebelum hari ini

Pov Newwiee.

Kenapa ingin tau cerita gue? Ga ada yang menarik, sungguh.

Datar

Kaku

Tak banyak bicara

Banyak penyakit pula

Kekurangan gue memang banyak, jika di jabarkan tak akan cukup gue ceritain. Saat ini gue lagi bareng mami papi nunggu antrian untuk masuk ke dalàm ruang dokter.

dr. Raka. Itu nama dokter yang menangani gue selama sakit, bisa di bilang dokter keluarga gue juga sih. Dirinya sedang sibuk jadi tak bisa mampir kerumah, jadi gue sama mami papi yang menemui dr Raka di salah satu tempat kerjanya.

“New Thitipoom, silahkan masuk.” Suara suster itu membuyarkan pikiran gue yang lagi melamun. Entah melamun tentang apa gue juga gatau, hanya senang melamun saja.

Aneh, iya gue.

Pintu di buka papi, mami mengenggam tangan gue menyuruh masuk. Ruangan ini kentara bau obat yang kental dan suasana yang dingin dengan berbagai perlatan stainless di sekitarnya.

“Hai jagoan.” Sapa dr Raka ceria. Dia memang ceria beda dengan gue yang ngomong aja remidi kalo kata Amaaraa.

Well, dia benar juga sih.

“Hai Adrian, Nina silahkan duduk.”

Kedua orang tua gue duduk dengan mengapit gue di tengah. Memangnya gue anak kecil apa? Hey gue bahkan udah punya KTP bahkan bisa menuhi syarat buat minjem di pinjol (pinjaman online).

“Halo dok.”

dr Raka memberikan hasil rontgen yang masih di lapisi amplop coklat. Itu pasti hasil diagnosa gue. sekarang apa lagi? Capek banget terus-terusan seperti ini. Jika bukan karena uang orang tua gue, keknya gue udah masuk tanah deh.

Ya gue bersyukur akan hal itu.

“New. Beberapa belakang ini kamu sering pusing ya? Sering demam juga?”

“Bukankah itu sering New alami dok? Kenapa bertanya lagi?”

“Maksud dr bukan itu New. Tapi pusingnya lebih kearah vertigo bukan?”

Gue berpikir, bener juga. Akhir-akhir ini gue sering sakit pusing yang bener-bener pusing sampe berdiri aja susah. Untungnya pas itu Tay lagi part time diluar.

Gue langsung mengangguk, mami senantiasa mengenggam tangan gue erat banget. dr Ŕaka membuka amplop coklat itu dan mengambil kertas di dalamnya.

“New. Berjuang sekali lagi ya jagoan? New pasti bisa.”

“New sakit apa lagì dok?”

“Tumor otak. Ada pendarahan pada otak kamu New. Karena kamu juga mengidap Hemophilia, yang dimana darah kàmu sulit berhenti atau membeku, itu juga menjadi faktor penyakit ini ada.” Sembari menyerahkan kertas itu.

Gue? Ga nangis kok. Udah biasa. Penyakit demi penyakit terus silih berganti datang ke gue. Dulu juga ada yang lebih parah dari ini, gue sempet kena kanker hati sampai-sampai Liver gue di ganti hasil donoran orang baik. Satu sembuh satunya datang. Siklus penyakit gue akan selàlu gitu terus, entah sampai kapan gue gatau. Bisa hidup sampai hari ini aja adalah sebuah anugerah dan keajaiban.

Gue, New Thitipoom. Anak tunggal di keluarga Thitipoom. Lahir dengan premateur serta bobot kurang dari 2 kg, ngebuat gue banyak kekurangan. Sangat banyak.

Saat gue lahir, gue udah menyandang kelainan pada fungsi lobus temporal dan lobus oksipital gue. Lobus berada di otak gue sederhananya. Lobus temporal gue ga bekerja dengan sempurna, lobus satu ini sejatinya terletak di kedua sisi kepala yang sejajar dengan telinga. Bagian otak besar yang ini bertanggung jawab terhadap fungsi pendengaran, memori, dan emosi. Kerusakan pada lobus temporal dapat menyebabkan masalah pada ingatan, persepsi ucapan, dan kemampuan berbahasa. Untungnya emosi serta pendengaran gue masih bagus, hanya berdampak di memori aja.

Hal ini pula yang mendasari gue kenapa sèring lupa hahaha. Bagian dari diriku berbeda dari manusia lainnya. Strawberry yang katanya membantu meningkatkan kualitas memori pun seperti tidak ada efeknya bagi gue. Entàh karena ketidaksempurnaan gue terlalu parah atau memang ahli yang meneliti buah itu berbohong? Gue juga ga tau. Tapi ya, tetap saja gue terus memakan buah itu. Karena setidaknya ada 1 memori yang ga boleh gue lupain, yaitu memori tentang Tay Tawan.

Semua boleh menghilang, tapi tolong jangan ingatan tentang Tay Tawan.

New mencintainya. Iya gue. Untuk pertama kalinya. gue  mengaku mencintai seseorang. Yang dulunya seakan hal mustahil, kini pria itu datang pada gue setelah berbagai badai yang datang.

Sedangkan lobus satunya yaitu lobus oksipital yang terletak di otak bagian belakang. Bagian otak besar ini berguna untuk membantu gue mengenali objek lewat indera penglihatan dan memahami arti kata-kata tertulis. Ya harusnya fungsi itu mampu berjalan baik, tapi tidak dengan gue. Hanya sebagian yang berjalan, sedang laìnnya tidak. Gue di umur 3 tahun di diagnosa tim dokter bahwa gue gabisa membedakan warna, dan di umur 7 tahun gue semakin parah. Bukan hanya ga bisa bedain warna, tapi gue juga di diagnosa mengidap penyakit Monochromacy atau bisa disebut, dunia di mata gue gaaada warnanya hanya bercorak hitam putih cenderung abu abu.

Banyak ya penyakit gue? Haha. Yasudah mau diapakan lagi? Kehendak Tuhan gue bisa apa?

Baru beberapa bulan gue ngerasa bahagia, tapì kini semesta lagi dan lagi merebut kebahagian gue. Sepertinya mengidap Hemophilia, lobus-lobus yang ga berkembang dengan baik dan penyakit langka Monochromacy itu belum cukup ya?

Sekarang, bertambah satu yaitu Tumor otak. Marah? Bahkan gue lupa cara marah itu bagaimana? Menangis? Oh itu makanan gue sehari-hari. Sudah kebal.

Gue Kecil dulu sering sakit, di bully, di bilang aneh, di jauhin dan lain-lain. Padahal gue cuman mau hidup. Ga lebih.

“Dia aneh jangan di temani.”

“Hey, dia yang kemarin kejang kan ya? Kok masih hidup?”

“Jangan dekat-dekat dengan dia, dia anak orang kaya. Di bully nanti kita sama dia.”

Kata-kata itu memutar di ingatan otak gue. Rasanya sakit, sangat sakit. Bukan keinginan gue kalo gue mengidap penyakit, lahir premateur dan anak orang kaya kan?

Kalo bisa, gue cuman mau minta lahir di keluarga biasa dengan sehat. Itu aja. Tapi kan itu ga bisa. Terus salah siapa? Tidak àda. Hanya saja, seharusnya gue memang ga perlu di lahirin dan di perjuangkan semasa mengandung.

Karena gue, mami berhenti jadi model, waktunya terbuang percuma hanya untuk mengurus Si kecil New yang sering sakit-sakitan.

Kini, papi dan mami hanya memeluk anak semata wayangnya tanpa sepatah kata. Elusan di rambut gue itu sarat akan ketulusan, gue bisa menyadari itu. Mata papi menatap gue penuh ketulusan.

“Sayangnya papi. Jangan takut. Kita disini. Keluarga Newwiee disini sayang.”

Gue hanya mengangguk. Tapi, air mata sialan itu ikut terjatuh.

“Indah. Anaknya mami akan selalu indah. Meski nanti New memucat atau rambut New rontok mami sama papi ga perduli. Karena kita keluarga.” Hati gue menghangat memdengar itu dari mami. tak tau juga kenapa.

Dan untuk Tay, suami gue 4 bulan ini, gue seneng di sisa akhir hidup gue, gue bisa ketemu sama lo. Gue janji, gue akan ngebahagiain lo di sisa hari-hari terakhir gue.

Contohnya, bulan madu atau orang menyebutnya Honeymoon.

Flashback berakhir.

— bersambung (cieee salah nebak)

[ Ketik 1 untuk happy ending, 2 untuk angst, yang minta coret 🔞 gausah di temenin. ]

Senyum itu menabur jutaan keindahan.

Pipi itu menyembul dengan lucunya tatkala ia tersenyum. Sangat manis. Teramat manis.

Dia, Newwiee ku. Ah tidak, itu hanya angan ku saja. Tapi, semoga saja angan ku suatu saat nanti bisa menjadi nyata.

Sudah 2 tahun, aku Tay Tawan menggaguminya. Aku tidak berani mendekati si cantik dan pemilik senyum manis itu. Raga ku terpatri melihatnya dari kejauhan, jiwa ku seakan terdiam menghadapi jutaan pesonanya.

Newwiee suka manis, dan aku setiap hari memberinya berbagai kudapan lezat, lalu kutaruh di lokernya yang bergambar Marvel itu. Dia suka Iron Man ternyata.

Jika kalian kira aku pengagum rahasia? Tentu salah. Aku bahkan tak berani menaruh tanda kehadiranku saat Newwiee membuka loker itu.

“Hai, boleh aku duduk disini?” Kalimat itu adalah kalimat pertama yang ia ucapkan padaku. Setelah 2 tahun aku mengaguminya.

Iya. Pada ku yang terkenal seantero sekolah kalo aku, pria aneh dan culun.

“Ka Tawan kan? Aku Newwiee ka.”

Bagaimana dia bisa mengenal ku?

Aku bukanlah Jof dan Rey yang terkenal di sekolah ini? Aku hanya pria culun yang tak pandai bergaul.

“Ka.. kenapa melamun? Ada yang salah di wajah ku?”

Seperti sihir, aku terdiam dan tak berkedip. Mata itu indah sekali, menyiratkan beribu bahkan berjuta refleksi keindahan semesta.

“Iya. Salam kenal Newwiee.”

Sial. Aku bahkan tak berani menatapnya.

“Terimakasih ka berbagai makanan lezatnya. Aku suka.”

Tuhan, dia tau aku. Dia tau aku sering menaruh berbagai makanan di lokernya. Newwiee ku tau aku. Haruskah ku lanjutkan kisah sederhana ini? Tapi aku takut membuatnya tak nyaman.


EPILOG

New melihat dengan jelas seorang pria tidak terlalu tinggi sering menaruh makanan di lokernya. Selama dua tahun ini dia tau. Jika pria itu Tay Tawan. Kakak tingkatnya. Tidak bisa di bilang kakak juga sih, karena New masuk kecepatan dan juga hal itu membuat Newwiee sekelas dengan Tay.

“Dari siapa New? Minta dong kek enak nih.”

New hanya senyum dan menepis semua tangan nakal yang mau menjarah makanannya.

“Dari calon pacar. Jangan sentuh makanan gue.”

“Siapa? Siapa? Ih penasaran.”

1 tahun telah berlalu, kini baik New dan Tay naik kelas. Kelas 3 SMA.

“Dari calon pacar?” Gun bertanya.

“Iya.”

Hari berikutnya

“Busett enak bener jadi lo ya, tiap hari di kasih gituan terus.”

“Calon pacar gue gemes kan ya? Ih ada strawberry nya lagi.”

Hari hari selanjutnya

“Kapan jadian New? Siapa sih orangnya?” Kali ini Gun mendesak. Karena sudah 2 tahun, tapi kata 'calon' itu masih belum hilang.

“Orangnya lagi malu nemui gue Gun haha.”

“Siapa? Lo tau?”

“Ketua kelas kita ; Tay Tawan.”

“DEMI APA ANJING?! YANG BENER LO.”

Sewaktu berjalan kearah kantin, New melihat Tay.

“Eh udah yaa, mau nyamperin calon pacar dulu.”

Jof dan Gun di buat melongo. Mereka kira si culun itu tak bisa jatuh cinta, tapi ternyata jatuh terlalu dalam.

Hh

Shampo

Pasta gigi

Susu

Strawberry

“Oke, udah nih masuk keranjang. Apa lagi ya Tay yang dirumah kita habis?”

Tay berpikir berusaha mengingat, “sabun masih New?”

New membuka catatan di buku kecilnya.

“Eumm sebentar... gue lupa, gue lihat dulu.”

Tanganya sibuk mengurutkan lembar pertama buku catatan itu.

“Sedikit lagi habis, mau beli ga?”

“Boleh deh, ayo kesitu.” Tunjuk Tay ke ujung rak di koridor. Sedang satu tangannya di sisi bahu New.

Berjalan sekitar 10 detik, mereka sampau di rak sabun-sabun berbagai brand, warna, dan harumnya.

Drrrttt

“Tay handphone lo geter, ada yang nelfon kayaknya.”

“Ah iya, sebentar New. Pilih dulu sabunnya, gue tinggal nelfon bentar.” Tay mengelus pucuk New singkat dan di anggukin New.

New mendadak kaku, tangannya meremat gagang troli, peluhnya sedikit menetes karena berpikir.

“Eumm sabun kemarin itu sabun apa ya? Yang warnanya merah bukan? Eh apa putih ya?”

New jongkok melihat sabun di rak bawah, menelisik satu-satu sabun cair di depannya.

“Ini atau ini?” Sabun putih di tangan kiri New dan sabun merah di tangan kanan New. Dia bingung menentukan.

Tangan kirinya mengambil, “oke deh warna merah aja kayaknya seger.”

New senyum karena ingat kesukaan sabun Tay apa. Dia masukan ke keranjang.

“Udah New? Ada lagi?”

New kaget dengan suara Tay yang tiba-tiba datang.

“Udah Tay, lo masih ada?”

Tangan Tay terulur mengambil sabun satu lagi yang di letakan New.

Lumayan ada diskon.

“Ada diskon New, ambil satu lagi ya?”

New mau tak mau terkekeh dengan kata spontan dari Tay. Tak ia sangka, pria itu suka diskonan.

Memangnya ada manusia yang tidak suka diskon?

Sembari menguar senyum manis, New berucap “boleh Tay. Sini masukin aja.”

“Baru sadar ternyata beda merek bisa diskon ya haha.”

“Lagi ulang tahun lagi minimarketnya New. Besok kesini lagi deh New, lumayan ada banyak bonusnya.”

Ha ha ha

Tawa renyah itu keluar begitu saja dari New, hanya obrolan singkat tapi jika itu dari Tay? Rasanya berbeda.

New mendorong troli dan Tay mengekor di belakang.

“Tay sini, kok di belakang sih jalannya.”

“Gapapa New sekalian lihat-lihat barang yang lagi diskon.”

New refleks menolehkan kepala ke belakang, “yaudah iya. Seneng banget dapet diskonnya kayaknya.”

Punggung kokoh New di tatap Tay dari belakang.

Bagaimana dia bisa bertahan sejauh ini? Setelah semuanya? Kalo itu gue, gue gaakan bertahan kayaknya.

New, tetaplah kuat. Gue jaga lo dari belakang. Gue takut kalo dari depan, lo bakal anggep gue cuman kasihan.

Jadi New, berjalanlah semau lo. Gue ada di belakang lo.

Saat New menuju kasir, ada seorang pria dengan tidak tau malunya memerintah New karena di dekat makanan ringan.

“Hey, ya kau baju biru. Di depan mu ada cemilan warna ungu, ambilkan itu satu ke saya. Badan besar mu menutupi rak itu.” Ucapnya dengah pongah.

Tidak tau tata krama

Tidak ada kata tolong

Dan sombong

New yang malas berdebat atau berinteraksi tepatnya, dia langsung makanan ringan yang di sebutkan pria itu.

“Ini.”

“Kau buta? Ku bilang yang warna ungu?!”

Mendengar hal itu Tay segera bergegas dan meninju pria tidak tau diri itu. Sudah menyuruh, tidak pakai kata tolong, memaki lagi. Lengkap untuk di sebut bajingan atau sampah masyarakat.

New melongo melihat kejadian barusan.

“Tay astaga tàhan. Gue gapapa.” New mau tak mau melerai Tay yang meninju habis-habisan pria brengsek itu.

Tay kalut. Tay marah. Tay merasa sangat sakit saat mendengar pria tadi memaki New. Mereka tidak tau keadaan seseorang kenapa menghakimi dengan mudah?

“Lepaskan gue New. Satu tonjokon lagi.”

Semua pengunjung melihat kejadian itu, mereka takut melerai karena Tay sekarang terlihat bagai atlet yang sangat lihai meninju pria brengsek itu.

Amarah orang diam jangan di pancing

New hampir menangis melihat Tay yang kalut itu, New dengan cepat memeluk tubuh Tay dari belakang.

“Tay, jangan.... dia manusia. Jangan bunuh dia.”

Tay mendadak kaku, bahkan setelah hal jahat yang di lakukan pria brengsek itu New masih mau memaafkannya.

Mata Tay memerah, ia menahan air mata itu turun dari matanya. Tangannya mengepal di udara tertahan.

“Tay... ku mohon. Newwiee takut. Jàngan gini. Newwiee tau rasanya di tonjok, di tendang, di pukul sewaktu dulu. Rasanya sakit Tay.” Kaos belakang Tay basah terkena air mata New.

Tay berbalik dan memèluk New. “Maaf. Maafin gue.”

“Ayo pulang.”

“Iya ayo.”

“Gue yang bawa trolinya ke kasir.”

“Ga perlu, tangan lo penuh luka.”

“Gapapa. ayo.”

“Iya.”

Pria brèngsek itu hampir yang namanya menemui ajalnya jika New tak menghentikan Tay. Sebelum Tay pergi, dia melemparkan kartu nama keluarganya.

Vihokratana gròup terpampang nyata di kartu berhias tinta cantik dengan serpihan bulir emas di kertasnya.

“V-v.. Vihokratana group? Oh bodoh sekali aku berusan dengan perusahaan media ternama.” Ucapnya tergagap dan melemas saat tau identitas Tay Tawan Vihokratana.

Bodoh


Epilog

“Tay, kapan kamu kerja di kantor papa? Besok bisa?”

Itu dari papanya.

“Astaga pa, iya-iya Tay tidak akan lari. Makasih untuk mobilnya.”

“Dasar, dari dulu tinggal minta aja kok ya susah bener ini anak laki.”

Ha ha ha

Seketika Tay tertawa dengan makian buatan papanya.

Tay tertawa sesekali memperhatikan suaminya dari jauh. Samar-samar Tay mendengar bicara New.

Awalnya tampak lucu bagi Tay melihat New kebingungan dan jongkok.

“Dasar pelupa anak itu...”

“Apa Tay? Bicara sama papa?”

“Oh engga pa, itu mantu papa. New. Dia lucu banget sekarang hahaha.”

“Oalah, lagi bucin toh.”

“Enak aja, eng—”

Ucapan Tay tiba-tiba terhenti. Tay mendadak kaku dan menurunkan handphone nya dari telinga.

“Tay masih disana? Halo nak?”

Tay dapat dengan jelas melihat New mengambil sabun putih tapi New berucap itu sabun merah.

Tay berjalan mendekati New.

“Udah New? Ada lagi?”

New kaget dengan suara Tay yang tiba-tiba datang.

“Udah Tay, lo masih ada?”

Tangan Tay terulur mengambil sabun satu lagi yang di letakan New.

Lumayan ada diskon.

“Ada diskon New, ambil satu lagi ya?”

New mau tak mau terkekeh dengan kata spontan dari Tay. Tak ia sangka, pria itu suka diskonan.

Tidak ada diskon

Itu karena omong kosong Tay

Jelas produk keduanya berbeda.

Bersyukur niat Tay, New tak tau

New, dia tak bisa membedakan warna.

Dia sakit apa

— bersambung

Terlihat Tay dengan sekeranjang buah berwarna merah yang biasa orang sebut strawberry. Tay sengaja membeli banyak karena suaminya sangat suka buah itu.

“Pacar, lihat gue bawa apa?”

Ucapan sumringah itu disambut tak kalah sumringah dari New yang menoleh ke belakang dari sofa putihnya. Tontonan televisi ia abaikan dan berlari menyambut Tay yang membawa buah kesukaannya.

“Uwahhh,  banyak banget Tay astaga haha.”

“Gapapa hadiah buat lo.”

Tay membawa sekeranjang strawberry itu ke wastafel dengan diringi langkah gemas New di belakangnya tak sabar menyantap buah lucu itu.

Tay cuci sebagian buahnya dan setelah ia bawa ke ruang tengah. Dengan susu putih juga tak lupa.

“Tay, mau gue bantuin? Berat ga strawberry nya? Berat ya gue bantuin aja.”

Tay menoleh gemas ke suaminya, modus itu.Tay tau. Alih alih itu alasan New membantu Tay membawakan buah melainkan karena New sudah tak sabar dan mau mencicipinya.

Langkah sedikit berlari New di tangkap radar Tay, anak itu astaga, lucu sekali. Kurang lebih begitu isi hati Tay.

“Tayy sini cepatan, ayo cobain.”

“Iyaa.” Sedikit berlari kecil Tay menghampiri New yang sudah mengunyah buah itu.


Mata yang indah, senyum yang menawan, hidung yang lucu, pipi yang membulat, semua presensi wajah New selàlu menarik untul di telisik Tay. Tanpa sadar tangan Tay mengelus pucuk kepala New.

Bagaimana dia bisa di bully saat dulu? jika dia se menggemaskan ini? Apa dulu terlalu meyakitkan New? Sampai membuat lo gamau interaksi sama dunia?

Apa dunia sejahat itu sama lo waktu dulu? Bahkan sekarang?

Ha ha ha

Tawa renyah New dengan garpu tertusuk strawberry di tangannya itu berhasil menarik senyum Tay lebih dalam.

Cantik

Sangat cantik

Terlampau cantik

New menoleh karena usapan di kepalanya berhenti lalu bergantian New melihat Tay menatapnya dengan sorot mata takjub pikirnya.

“Kenapa berhenti? Gue udah keramas kok Tay.”

“Iya gue tau.”

“Terus kenapa? Mata lo juga kenapa natap gue gitu?”

Tay merentangkan tangannya tiba-tiba.

“Mau peluk gue ga? Ayo sini?”

“Tiba-tiba banget? Kenapa?” Walau tiba-tiba, tapi New menerima rentangan tangan kokoh Tay.

Pelukan itu terjadi, Tangan Tay terulur mengelus belakang kepala New.

“Anak baik. New anak baik.”

New yang di perlakukan seperti itu malah menyandarkan dagunya ke bahu Tay. Seperti menumpahkan beban tanpa bercerita.

“New, gue disini.”

“Iya.”

“Gue gabisa janji gimana kedepannya. Kalau lo butuh gue kapanpun, gue bisa. Panggil gue, repotin gue, ribetin gue.”

“Iya.”

“New, apa dulunya menyakitkan? Gue boleh bawa topik ini?”

New tak menjawab, hanya diam.

Pelùkan pun terlepas dengan sorot mata New memandang Tay dalam.

“Iya.”

“Iya apa?”

“Iya rasanya dulu menyakitkan. Entah dari berbagai penyakit gue atau karena di bully saat itu. Gue gatau. Keduanya sama menyakitkan.”

Tes

Air mata itu mengalir dengan raut tanpa eksprèsi New, seolah mati rasa saat ia menceritakan kejadian dulu. Entah tidak ada ekspresi atau memang sangat menyakitkan sampai membuatnya bisa menangis tanpa ekspresi, New tak tau.

“Tay”

“Iya New?”

“Kalau lo mau pergi sekarang boleh, lihat kan gue banyak sisi rapuhnya? Gue cengeng, gue juga ga begitu tau cara ngomong yang baik, gue bahkan dì sebut aneh sama orang lain.” Ucap New datar, tapi bisa Tay lihat manusia ini terluka sangat dalàm, terlampau dalam.

Tay membenarkan duduknya di sofa, mendekatkan dirinya dan New. Lalu, Tay bawa kepala New untuk bersandar di pundak Tay.

“Makasih Tay.”

“Sama-sama. Pake aja pundak gue kapanpun. Selagi itu lo, lo ga perlu ijin. I'm yours, your boyfriend and husband too, am i wrong? jadi pakai gue, cari gue, ga perlu sungkan lagi.”

“Iya.”

1 menit mereka terdiam dengan lamunan masing-masing.

Tay bawa tangan New, di gengamnya. Sesekali ia usap.

“New, people cry, not because they're weak, it's because they've been strong for too long

New mendengarkan. “Gaada satupun orang yang membenarkan kata cengeng.”

“Semua orang boleh menangis, dan hal itu gabuat lo lemah New.”

New semakin mengeratkan genggaman itu, seolah-olah ia tak akan bisa melepas Tay sampai kapan pun. Kebahagiaanya baru datang setelah sekian lama.

Dia datang, dia sosok sederhana yang tak banyak menuntut, dia Tay Tawan. Hadiah dari Tuhan, untuk seorang Newwiee.

“Tay, mau janji satu hal ga?” Ucap New yang menautkan matanya ke genggaman tangan itu.

Tay diam tak mengiyakan tak menolak.

“Kalau gue suatu saat pergi, jangan pernah sedih ya Tay?”

“Kemana? Gue ikut.”

“Ga bisa.”

“Lo punya penyakit lain? Apa ini berkaitan sama liver sama lo yang sering lupa semuanya?”

“Liver engga. Tapi berkaitan dengan gue yang sering lupa iya.”

“Nanti. Gue ceritain. Nanti. Saat gue udah yakin gue bisa berbagi beban sama lo. Sekarang gue gamau bagi beban, karena gue masih sanggup.” Sambung New.

“Iya.” Tay takaan menutut apa-apa jika suaminya masih belum mau cerita.

“Tay dingin. Mau peluk.”

“Sini.”

“Makasih Tay.”

Pelukan yang erat di sofa sembari menonton film yang sedari tadi mereka anggurkan. Tangan Tay membawa bahu New lebih masuk dalam pelukannya dan sesekali mengecup pucuk kepala New.

Tay, bahkan buah strawberry itu gue makan, bukan karena gue suka, tapi karena gue harus.

— bersambung

Ceklek

Tay datang dengan membawa baskom berisi air hangat dan handuk kecil di pundaknya.

Tay mengecek dahi suaminya, New Thitipoom.

“New, bangun dulu yuk.”

Terlihat New masih enggan bangun, mata New semakin mengerat karena sapuan lembut tangan Tay di sekitaran pipi gembilnya.

“Eum mmhh iya.”

“Bangun dulu, nanti abis ini boleh tidur lagi kok. Kebetulan juga hari minggu ini.”

New mengerjapkan manik matanya lucu, dikuceknya pelan lalu bangun bersandar di kepala ranjang.

“Sudah bangun. Hoaamm.”

Tay melihat New masih menguam dan Tay reflek menutupnya seperti sedang menutup mulut bayi.

“Ganti baju dulu, sebentar gue ambilin dulu.”

Setelah memilih berapa pakaian tipis, Tay berbalik ke ranjang.

Tay sibak selimut putih itu dan mulai melepaskan kancing piyama New. Satu persatu kancing itu lepas.

Kulit yang putih bersih mulus tanpa celah noda itu di tangkap netra Tay. Ada sebagian dari dirinya yang seperti meronta ingin menyentuh lebih.

Glup

Tegukan ludah pertama Tay, berusaha mati-matian tidak menyentuh dada indah di depannya. Yang di gantikan bajunya hanya menatap Tay gugup. New tau tapi dia tak ada niatan menghentikan. Tay terdiam sebentar

“Tayy.”

New mengiba dengan pandangan sayunya, tangan mulus itu mendarat di lengan Tay yang saat ini hanya memakai kaos tanpa lengan. Yang dimana tangan New mengenai kulitnya langsung.

“Tay Tawan, kenapa diam?”

“Maaf New.”

New memajukan dirinya, mata mereka bertemu dengan lebih dalam. Tangan New membawa tangan Tay mengapai bagian kancing piyamanya yang belum terlepas sempurna.

“Lo ga lupa cara ngelepasin kancing kan Tay?”

Tay pusing dengan hal spontan New. Jantungnya seperti mau meledak, kepalanya diserang kepeningan. Tubuhnya mendadak diam bak patung.

“New munduran.”

“Ok.”

Tay menghela napas dan mulai melepaskan piyamanya sampai bawah. Punggung New terlihat di mata Tay.

Tay lo kenapa? Santai ok. Atur napas lo.

“Bawahnya belum Tay.”

“Iya sebentar.”

“Gue mesti berdiri?”

“Ga perlu. Tiduran aja.”

New hanya mengganguk pelan.

Sreekkk

Celana piyama New sudah terlepas dan tersisa celana dalam abu calvin klein yang membalut tubuh mulus New.

Tay? Dia berusaha keras untuk tak mengecup dan meraba paha mulus New.

“Tay, kalo mau pegang, pegang aja.”

New melirik tangan terkepal Tay yang seakan menahan sesuatu dan New tau itu.

Tay diam.

“Boleh Tay, silahkan sentuh gue sesuka lo.”

Sialan. Tangan Tay di bawa New ke pahanya. Tay hanya menoleh ke New singkat.

“Gimana? Mau di raba? Atau...”

Glup

“Mau lo kecup? I'm yours, you know that.” Tay dengan cepat menarik tangannya. Tidak. New saat ini sedang sakit. Berpikir apa lo Tay? Kira-kira seperti itu kata hati Tay.

“Jangan goda gue New.”

“Gue engga?”

“Lo iya. Udah sini kepala lo, masuk ke kaos buruan.”

“Iya.”

New maju dan memasukan kepalanya di lubang kaos.

Sekarang celananya. Juga sudah New kenakan.

“Gue ambil makanan dulu. Baru di kompres. Terus bobo.”

New menarik ujung kaos Tay, Tay melihat ke belakang. “Kenapa New?”

“Eumm jangan lama-lama.”

Tay senyum dan mengusak kepala New pelan. “Iya gaakan lama kok. Sebentar ya cantik.”

Cantik

Satu kata yang bisa buat New memerah. Suhu sudah panas, pipi memerah. Keadaan New persis seperti udang rebus.


“Tay udah kenyang. Gamau lagi. Eunggh.” New menggeleng dan menjauhkan bubur itu.

“Satu kali lagi ya? Ayo aaaa nguengg pesawatnya mau masuk ini ayoo.”

“Ihhhh dikira gue anak kecil apa?” New cemberut tapi masih mau menerima suapan itu.

“Mau minum Tay.”

Tay sodorkan minum dan membersihkan sisa air yang menetes di sela sela baju kaos New dan lehernya.

Persis seperti melihat anak bayi minum. Belepotan.

“Tay udah perut gue kepenuhan loh ini.” Tunjuknya pada perut lucunya.

“Iya oke udah.”

“Yeayyy”

Chuup

New spontan mencium pipi Tay.

“Hehe.” Lihat oknum ini malah menyengir sudahnya.

“Kompres ya New. Tiduran gih.”

“Temenìn dong, sini di samping gue boboan.”

New menepuk kasur kosong di sampingnya.

“Iya nanti. Ayo gue kompres dulu.”

“Iya.”

New pun berangsur merebahkan dirinya. Tay juga memeras handuk itu dan menempelkan pada dahi panas New.

“Sudah kan Tay?”

“Hm.”

Puk puk

Terdengar tepukan New pada kasur di sebelahnya. Tay pun berdiri lalu ikut berbaring di samping New.

“Boleh peluk sekarang aja gasih Tayyyy? Eunghh” New mengiba dengan mata lucunya.

“Eh jangan deh nanti lo sakit lagi.”

Tay gemas dengan bibir New yang terus maju seperti cemberut.

“Gapapa peluk aja. Sakit juga nanti sembuh.”

“Yaudah nanti gantian aja deh ngerawatnya.”

Pelukan pun terjadi. Tay dengan gemas menjawil hidung mancung New.

“Manja.”

“Tapi gapapa.”

“Karena itu Newwiee.”

“Pacarnya Tay sekaligus suaminya.”

New malu saat Tay mengucapkan itu dan malah menenggelamkan kepalanya di dada Tay. Menyebabkan kaos Tay basah karena handuk yang menempel di jidat New.

“Jawab dong.”

“Iya.”

“Iya apa New?”

“Gue pacarnya Tay sekaligus suaminya. Puas lo ngeledekin gue?”

“Orang lagi gombal kok di bilang ngeledek.”

Chupp

Kali ini bukan pipi New yang di cium Tay tapi pucuk kepala New yang di cium.

“Cepet sembuh cantik. Jangan sakit lagi.”