JeJeJJ

,


Please listen to:

“Loh kok kakak belum bobo?” Wisnu baru saja mengintip dari celah pintu kamar Ronan, ia mendapati si buah hati masih terjaga padahal jarum pendek menunjuk angka sepuluh.

Ronan hanya menggeleng, matanya mengikuti tiap gerakan Wisnu sampai duduk di atas ranjang.

“Pipi juga belum bobo” alih-alih menjawab, Ronan malah balik bertanya, ia bangun dan duduk bersila.

Wisnu tersenyum, kedua tangannya membingkai wajah putra semata wayangnya “Iya sayang, Pipi lagi nungguin Papa pulang”

Jemari mungil Ronan ikut memegang tangan Wisnu “Kok sekarang Papa pulang malam terus ya Piiiii” ucapnya penuh penakanan di akhir sampai memamerkan deretan gigi susunya.

Sekarang Wisnu terkekeh “Papa kerja sampai malam biar kakak sama Pipi bisa jalan-jalan, kakak suka jalan-jalan ke taman kan?” kedua jempolnya mengusap pipi bulat yang ada di tangkupan tangannya.

Ronan mengangguk “Pipiiii…”

“Iya kak, kenapa?” dibawanya tubuh mungil itu dalam peluknya.

“Pipi udah kasih nama adeknya kakak belum?” jemari Ronan meraba perut Wisnu yang semakin membola.

“Hmm…belum deh kayaknya kak, kenapa? Kakak mau kasih nama adek? Iya?” Wisnu menyambut tangan Ronan untuk ia tempelkan ke perutnya untuk merasakan bagaimana gerakan-gerakan kecil si buah hati yang kegirangan disapa sang kakak.

“Kakak kerasa nggak?” imbuhnya nyaris berbisik.

Ronan tersenyum lebar, dari sudut bibir kiri dan kanan, matanya melengkung seperti bulan sabit “Adek suka main bola ya? kakak juga suka, adek jangan lama-lama di dalam yaaaaa? Kakak udah nggak sabar mau main sama adek, nanti kita main bola di taman yaaaa?”

Hati Wisnu menghangat melihat bagaimana Ronan yang asik bermonolog.

“Kakak sayang ya sama adek?” dibawanya kepala Ronan untuk bersandar di dada, lalu tangan kanannya membelai rambut hitam Ronan berkali-kali.

“Sayang banget Piiii, kakak udah buat nama buat adek”

“Oh iya? Pipi boleh tau siapa namanya?”

“Tapi jangan kasih tau Papa ya Pii?”

“Eh? Kenapa?”

“Rahasia”

Wisnu tertawa pendek “Iya, Pipi promise nggak ngasih tau Papa, biar jadi rahasia kecil kita, okey?”

Jari kelingking mereka bertaut.

“Jadiiiiii kakak mau kasih nama adek tuh Gemini”

Alis Wisnu mengernyit “Gemini?”

Anggukan menjadi pilihan Ronan untuk memberi jawaban, lalu ia menguap tanda kantuk tak benar-benar lepas dari benak anak empat tahun itu.

“Yaudah, nanti Pipi simpan namanya ya? sekarang kan kakak udah ngantuk, bobo yuk?” Wisnu mencoba membujuk meski ia tau kalau Ronan sedang menunggu sang Papa untuk pulang.

“Mau Pipi nyanyiin pakai piano?”

Ronan mengangguk, sepertinya bocah itu sedang bertahan mati-matian dari serangan kantuk, dari tadi hanya menggeleng dan mengangguk.

“Tapi janji sama Papi ya, abis itu kita bobo, okey?”

“Promise” kelingking mereka bertaut, lagi.

Wisnu turun dari ranjang, kaki telanjangnya melewati ceceran mobil balap dan dinosaurus plastik pemberian Nattawin sebagai hadiah ulang tahun Ronan, ia sampai di sudut ruangan di mana piano yang dulunya diberikan Jeffano berada.

Jemari itu mulai menekan-nekan tuts piano, Wisnu memainkan lagu yang biasa ia lantunkan sejak Ronan masih ada di dalam kandungan.

When i was just a little boy, i asked my father what will i be…” dan jari-jari Wisnu bergerak lincah.

Will i be handsome? Will i be rich…

Here’s what he said to me…

Que sera sera

Whatever will be, will be…

The future’s not ours to see…

Que sera sera

What will be, will be…

Now i have children of my own…

They ask their father, what will i be…

Will i be handsome? Will i be rich?

I tell him tenderly…

Que sera sera

Whatever will be, will be…

The future’s not ours to see…

Que sera sera

What will be, will be…

The future’s not ours to see…

Tuts terakhir telah Wisnu tekan, saat menoleh ke ranjang ia dapati Ronan sudah tertidur pulas, lalu samar-samar suara mobil menggema di halaman.

Pukul setengah sebelas malam, Wira membuka kenop pintu dengan sangat perlahan, mencoba tak membuat suara yang dapat membangunkan Wisnu dan Ronan.

“Baru pulang mas?”

“Eh…kamu belum tidur?” Wira tersenyum canggung dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Tadi abis nemenin Ronan” jawabnya sembari berjalan mendekat ke Wira “Sini aku bantuin ngelepas jas”

Wira hanya diam, memboarkan Wisnu melepaskan jas yang ia kenakan.

“Mas udah makan? Aku tadi masak lauk kesukaan mas” jas itu sudah tersampir di tangan Wisnu.

“Udah kok sayang, aku mau mandi dulu deh, gerah”

“Eh mas tunggu” Wisnu mencegah Wira pergi, ia menatap sang suami dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“K-Kenapa?”

“Ini kenapa ujung kemejanya keluar gini? Tumben loh mas kamu nggak rapi, ini kemejanya juga agak kusut”

“O-Oh ini tadi pagi kan aku buru-buru, jadi kelupaan gitu, biasa lah” kelitnya mencoba merapikan kemeja ke dalam celana.

“Terus ini? resleting celana kamu turun setengah loh mas? Jangan bilang kelupaan dari pagi juga? Enggak kan mas” Wisnu menarik resleting celana Wira yang setengah terbuka sampai tertutup sempurna.

“Enggak kok, e-enggak…tadi tuh pas perjalanan pulang mas kebelet pipis, mungkin tadi abis dari toilet terus cepet-cepet balik ke mobil lagi”

Wisnu menyipitkan mata, lalu mengangguk “Yaudah sana mandi, aku siapin pakaian gantinya”

Wira tersenyum dan mengecup puncak kepala Wisnu “Makasih sayang” ujarnya sebelum berlalu pergi.

Ekspresi wajah Wisnu langsung berubah ketika Wira meninggalkannya sendiri, seyum palsu yang ia pasang perlahan mulai memudar, pikirannya penuh dengan kemeja lusuh, ujung kemeja acak-acakan dan resleting celana suaminya yang terbuka.

Lalu aroma parfum menguar dari jas yang ada di genggamannya, ia tidak mengenali aroma ini, untuk memastikannya, Wisnu mencium kemeja itu sekali lagi, ada tanda tanya besar di dalam benaknya karena wangi parfum ini bukan miliknya dan bukan punya Wira.

⸺love actually

©bbrightmewin

New nampak kebingungan di kamar kos yang tak terlalu besar ini, tak ada pencahayaan di sini selain cahaya yang berasal lampu kamar mandi, susah payah ia celingukan mencari orang yang sukarela mau membantunya namun sepertinya penghuni kosan ini punya jadwal mereka sendiri apalagi ini malam minggu.

“Sepertinya Ibu kos lupa ngasih tau kalau lampunya udah minta dipensiunkan”

Suara seorang lelaki dari arah pintu membuat New berbalik, mereka bertatapan, dari keremangan seperti ini sosok lelaki tegap nan jangkung yang berdiri di daun pintu sana nampak sangat macho.

“K-Kak Tegar?”

Tegar mengangguk pelan, ia sendiri kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikan sosok lelaki di depannya..... Ah tidak.... Mungkin lebih tepatnya sosok remaja, wajah manis nan imut itu yang memberitahunya, mungkin saja usianya masih belasan? Siapa tahu kan?

Matanya tak berkedip, ia menangkap pewangi ruangan di genggaman tangan di remaja belia yang mematung di depannya.

“Mau gantung pewangi ruangan di bawah kipas ya?” Tegar melangkah masuk, melihat jarak lantai dengan plafon yang lumayan tinggi.

“He em, tadinya mau geser meja jati ini tapi kayanya berat banget, gak kuat kalau mau geser sendirian” New mengangkat bungkus pewangi ruangan dengan tersenyum kikuk.

“Jadi yang mana satu? Mau lampu dulu atau gantung penyegar ruangan dulu?”

“Sepertinya lampu lebih dibutuhkan saat ini”

Dan mereka mendorong meja jati itu berdua, menempatkannya di bawah lampu yang minta dipensiunkan segera.

“Yakin bisa pasang sendiri?” Tegar mengernyitkan alisnya ketika melihat aksi bocah remaja itu memanjat meja.

“Bisa” susah payah New mencoba menggapai lampu, namun sayang sekali.... Tak sampai, ia sampai berjinjit tapi tak membawanya untuk memutar bohlam lampu.

New menunduk ke bawah dengan raut putus asa “Gak nyampe ternyata” ujarnya dengan tawa canggung sembari bergerak menuruni meja.

Naas kakinya terpeleset dan tak mulus mendarat ke lantai.

BUAGGGGHHH!!!

“Aaaaaaa....”

Tegar menangkap tubuh New dengan reflek, si remaja yang ia perkirakan masih duduk di bangku SMA itu jatuh menghantam dadanya, mereka saling mengunci lengan satu sama lain agar tak jatuh bergulingan di lantai.

Untuk beberapa saat mereka terdiam, raut terkejut terukir jelas di wajah si remaja, mereka bertatapan tepat di mata, tangan mereka nampak seperti merangkul bahu satu sama lain.

Tegar tersihir, ia terbius dan terpana, sepasang bola mata indah itu memerangkapnya dalam gerak yang membekukan,

“Kak....”

Begitu tersadar, Tegar buru-buru melepaskan belitan tangannya yang melingkar erat di pinggang si pemuda.

“Biar aku aja yang naik”

Kecanggungan jelas menguasai udara di kamar ini, degub jantung Tegar terasa bertalu-talu seperti suara langkah kaki di anak tangga, ia khawatir kalau remaja yang jatuh dalam pelukannya itu mendengarnya.

Tap Tap Tap

Tegar bergerak cepat menaiki meja, New sampai terkagum dibuatnya.

“Lampunya...”

New diam tak merespon, tapi terus menatap Tegar dengan tatapan yang susah diartikan.

“Ehem....”

“Eh iya kak? Kenapa?”

“Lampunya” Tegar menujuk bohlam lampu yang tergeletak di atas meja.

Tak butuh waktu lama sampai bohlam baru selesai dipasang, juga penyegar ruangan sudah menggantung rapi di bawah kipas, tak lupa mereka kembali menggeser meja ke tempat semula.

“Makasih kak” Pemuda itu tersenyum,

Oh shit! Tegar terpana sampai melongo seperti orang bodoh.

“He eh” hanya itu kata yang keluar dari mulutnya, diikuti dengan senyum yang menular di bibirnya sebelum melangkah keluar dan kembali ke kamar.

Tok! Tok! Tok!

Tak ada jawaban, sama seperti pesan singkatnya yang diabaikan oleh Tegar.

“Gar...Tegar, cacing di perutku kayaknya udah pada demo nih”

Klek!

Kenop pintu sukses ia putar, ternyata tak terkunci dari dalam.

Dengan gerakan pelan seperti mengendap dan berjinjit New masuk menyelinap, sayup-sayup ia mendengar dengungan ayat yang tak familiar, ternyata Tegar sedang melakukan ibadah.

New terpaku di daun pintu, harus ia akui kalau Tegar adalah seorang insan yang baik.... Ah tidak, mungkin lebih tepatnya seorang muslim yang taat dan baik, New menghormatinya sebagaimana Tegar juga menghormati dirinya, pertemanan mereka nampak berwarna dengan adanya tenggang rasa.

Perlahan ia bergerak menuju ranjang, ia duduk diam dan memperhatikan Tegar yang ada di rakaat terakhirnya, ia menghormati waktu ibadah Tegar, dan ia juga tau kalau Tegar juga melakukan hal yang sama dengan mengingatkannya untuk ibadah Misa, bahkan Tegar menawarkan diri untuk mengantar ke Gereja.

Diam-diam ia memperhatikan sosok Tegar dalam balutan sarung dan baju koko, ada penutup kepala yang menutupi rambut, ia yakin sekali kalau namanya adalah peci.

Tegar nampak berbeda, New tak dapat menjelaskannya, ia hanya bisa diam tanpa membuat sebarang suara sampai Tegar selesai melakukan ibadahnya.

“Tegar, maaf tadi aku gak ngucapin salam waktu masuk, takut kamu bingung gimana jawabnya”

Tegar melepas pecinya dan rambut setengah basah itu menjuntai begitu saja, New sampai kikuk dibuatnya.

“He em, gapapa.... Oh ya tadi siapa yang demo?”

Tiba-tiba sensasi lapar itu kembali menghantam perut New, padahal sesaat tadi sempat hilang entah kemana.

“Cacing di perutku, lapar Gaarrrr” ucapnya manja sembari memegang perut dengan kedua tangannya, sedikit lebay dengan bergerak bergulingan di atas ranjang milik Tegar.

Tegar tertawa pendek, ia melipat sajadah dan sarungnya.

“Tunggu sebentar, aku mau ganti pakaian dulu” kancing-kancing baju koko itu ia buka tautannua dan kembali ia gantungkan di balik pintu.

“Itu seragam sembayangmu ya Gar?”

“Ini?” tunjuknya pada baju koko yang baru saja ia tanggalkan.

“He em”

“Bukan seragam sembayang sih, pakai pakaian apa pun bisa asal suci dan menutup aurat” saat ini Tegar hanya mengenakan celana boxer sebatas lutut dan bertelanjang dada.

New manggut-manggut, terus memperhatikan Tegar yang sedang memasukkan kaos dari celah kepala dan kedua tangannya.

“Ayo, kenapa bengong terus?” kunci motor di atas nakas disambar oleh Tegar.

“E-Enggak, siapa yang bengong” jawabnya bangkit dari ranjang.

“Mau makan gudeg gak?”

“Aku belum pernah makan gudeg” New mengekor di belakang.

“Berarti kamu harus cobain, jadi kalau suatu hari kamu ikut aku ke Jogja biar tau bedanya dengan yang di sini”

“Emangnya kamu mau ngajak aku ke Jogja?” mereka berjalan beriringan.

“Emangnya kamu gak mau tau seperti apa itu Jogja?” bukannya dijawab, Tegar malah melempar pertanyaan.

“Ya mau kalau diajak”

Tegar baru saja menstarter motornya dan New langsung naik ke boncengan.

“Pegangan, tempat makannya agak jauh dari kosan... aku mau ngebut, takutnya kamu jatuh di jalan dan aku gak ngerasa sama sekali” Tegar berkelakar.

Dan ketika kedua tangan New melingkar di perutnya, tanpa sadar ada senyum yang melengkung di sudut bibir Tegar, lengkungan itu tambah lebar tiap kali ia melajukan motornya lebih kencang sehingga New lebih menempel padanya di belakang.

Mereka langsung menjadi teman akrab, tiga bulan pertama mereka habiskan bersama-sama, bahkan frekuensi kedekatan antara Tegar dan New melebihi antara Tegar dengan Joffan.

Joffan hanya pernah ikut makan malam beberapa kali saja, selebihnya mereka menghabiskan waktu berdua. Terkadang Tegar akan menjemput New ketika selesai bekerja karena kebetulan kantor tempatnya bekerja langsung berhadapan dengan Bank di mana New selalu menunggunya.

Tiap hari minggu Tegar akan mengantar New ke Gereja, ketika hari jumat tiba New akan menunggu Tegar menyelesaikan ibadah Jumatnya dan menghabiskan istirahat dengan makan siang bersama.

Saat New masuk ke kamar Tegar dan mendapati laki-laki itu sedang beribadah, seringnya ia akan duduk diam memperhatikan, diam-diam ia suka mendengarkan ayat yang digumamkan Tegar, terdengar mendamaikan.

Pun sama dengan Tegar, lelaki itu menikmati waktu yang ia habiskan dengan Denewa, menjemput dan mengantarnya ke Gereja, kadang membuat kegaduhan di kamar satu sama lain, Tegar mendapati dirinya menyukai banyak hal dari Denewa, pembawaannya yang lucu dan menggemaskan membuat Tegar ingin melindunginya.

Juga ia menganggap waktu yang ia habiskan setelah berkerja bersama Denewa adalah waktu yang paling berharga, sikap New yang riang dan ceria membuat Tegar merasa terisi kembali.

Tegar mendapati ruang kosong di hatinya telah terisi, ia masih ragu apa nama rasa itu karena jujur saja ia tak pernah merasakan ini sebelumnya, rasa tak bernama itu tak dapat ia artian begitu saja. Tapi yang ia yakini adalah ketika ia bercengkrama dengan Denewa, semua rasa lelahnya menguap entah kemana dan berganti dengan kebahagiaan tiap kali mendengar New tertawa.

Tegar melambaikan tangannya, memastikan laki-laki menggemaskanya dapat menyadari keberadaannya yang tak jauh dari pelataran Bank. Ia tersenyum ketika New menolehkan wajah dan balas melambaikan tangan lalu berlari kecil ke arahnya.

“Tegaaaaaar” New berteriak senang setelah berhasil membabat habis jaraknya di antara hujan dan menubrukkan wajahnya di dada Tegar.

“Ayo pulang” tangan yang lebih tua mengacaukan rambut hitam yang lebih muda, rasanya lembab karena air hujan yang terperangkap.

“Kamu sengaja nunggu aku pulang? Sejak kapan? Apa tadi sendirian? Oh Tuhan, aku sangat merepotkan” New memberondong Tegar dengan pertanyaan, padahal ia sedang ngos-ngosan di dekapan Tegar.

“Tadinya memang sendirian, tapi sekarang enggak lagi” Tegar tersenyum tipis, tangannya membuka payung untuk mereka pakai bersama.

Dan sekali lagi mereka menjejakkan kaki di permukaan bumi

Mengingat setiap decit lantai yang mereka pijak di bawah hujan.

Aku mendekap sosokmu di dadaku

Dan apakah benar kalau tanganmu melingkari pinggangku? di sepanjang perjalanan pulang menuju tempat yang kita panggil sebagai rumah?

Entahlah...

Reflek saja lenganku juga melingkari pinggangmu, sepanjang jalan kita mengingat setiap langkah yang kita injakkan di bawah hujan

Rasanya seperti statis, kita sama-sama kaku di bawah payung sempit yang kubuka untuk kita

Kita sama-sama menutup jarak di bawah tirai hujan

Aku menangkap badanmu yang sesekali terlonjak karena gemuruh petir

Di sepanjang jalan kamu mengeluhkan kalau tangan dan kakimu mulai menggigil

Dan di sepanjang jalan juga, kudapati diriku basah sempurna di bawah payung yang kubuka untuk kita.... Atau sebenarnya hanya kubuka untuk dirimu saja?

Tok tok tok

Jeda

Tok tok tok

Jeda

Tok tok tok

Jeda

“Masuk aja Gar, pintunya gak aku kunci” New berteriak serak, suaranya yang sangau hilang timbul bersaing dengan suara hujan di jendela kamarnya.

Ada perasaan lega begitu mendapati Tegar di sini, ini kali pertama New merasakan sakit tanpa adanya sang Mama.

“Astaga, kamu sepanas air mendidih” ujar Tegar lebay setelah memeriksa dahi New dengan punggung tangannya.

“Berlebihan, mana obat demamnya?”

“No no, tunggu di sini sebentar, jangan turun dari ranjang” sebuah ultimatum diberikan Tegar.

Sesaat kemudian Tegar kembali ke kamar dengan menenteng nampan yang berisi mangkok yang mengepulkan asap, di sana juga ada segelas air putih hangat, tak lupa tablet-tablet obat.

Tegar duduk di tepi ranjang, menyentuh dahi panas New yang menyengat punggung tangannya sekali lagi.

“Makan dulu New, abis itu minum obat dan tidur” bisiknya pelan, memberi tahu kalau ia ada di sini untuk menjaganya sepanjang malam.

Sudah payah New mencoba untuk ada dalam posisi duduk, rasanya seperti ada gravitasi yang menariknya untuk kembali meringkuk kesakitan di atas ranjang.

“Sini aku bantu...” Tegar menyandarkan kepala New di bahunya.

“Kamu buatin aku bubur?” suara itu seakan jauh, matanya perlahan terbuka dan sedikit berkaca-kaca.

“He eh, katanya kalau sakit kamu dibuatin bubur kan? Meski ini cuma bubur instan, tapi aku tulys buatnya pake kasih sayang, mungkin juga gak seenak buatan Mamamu tapi semoga dengan semangkuk bubur ini bisa bikin rasa kangen rumahmu sedikit terobati”

“Tegar...”

“Ya? Astaga kamu nangis?”

“Maaf.... Maafin aku kalau ngerepotin kamu terus, kamu yang bukan keluarga, bukan sanak saudara tapi bersedia aku repotkan sampai kamu gak peduli kalau kamu juga sedang sakit kan?” New sedikit mendongakkan kepalanya dan mendapati Tegar sedang tersenyum padanya, senyum yang sejuk dan mendamaikan.

“Siapa pun orangnya, kalau lihat kamu sakit kayak gini juga gak ada tega, sini agak merapat, katanya juga minta peluk kalau sakit kan? Malam ini aku bisa jadi baymax buat kamu” dan begitu saja, Tegar melingkarkan tangannya di pinggang Denewa, membelitnya dan mempecundangi jarak.

“Hello, I am Baymax, your personal healthcare companion. On a scale of one to ten, how would you rate your pain?” sambungnya menirukan karakter Baymax.

“Sebelas Gar... Sebelas”

“Kalau sebelas, berarti harus cepat makan dan obatnya segera ditelan” tangan kiri Tegar menjangkau sendok untuk ia suapkan.

“Aku bisa makan sendiri Gar” tangan pucat itu gemeteran mencoba meraih sendok yang melayang di depan bibirnya.

“Aku akan menyuapimu Denewa” Tegar menukas.

“Buburnya enak?” ini sendok ke lima belas yang Tegar suapkan untuk New yang pasrah di pelukannya.

New menganggukkan kepala.

“Hmm enak juga bubur buatanku, pantesan kamu mangap terus tiap aku suapin hahaha” Tegar berkelakar, ia menyendok bubur ke mulutnya sendiri.

“Tegar, ada baiknya kamu makan pakai sendok sendiri” New berkata serak.

“Kenapa memangnya?”

“Itu kan buburku Gaaar” New merengek manja.

“Tapi kan aku yang buat Denewaaa” balas Tegar dengan nada rengekan yang sama, lebih tepatnya sedikit mengejek.

New cemberut

“Uluh-uluuuuh merajuk haha, iya ini bubur yang aku buat khusus buat kamu, ayo mangap dan habiskan sampe ke sendok terakhir”

Sekarang New menahan tertawa “Kayak iklan”

Setelah memastikan kalau New kenyang dan menelan obat-obatan, Tegar tak berlalu pergi meninggalkan New sendiri, ia bergelung di atas ranjang yang sempit dan menyadarkan kepala New di dadanya, tangannya sesekali membelai rambut hitam itu dengan lembut.

“Tidurlah, aku gak akan pergi kemana-mana”

Setelahnya Tegar seperti bersenandung, berirama dengan suara rintik hujan di jendela, rasanya seperti efek aspirin yang membuat kantuk.

Semua sakit dan panas itu perlahan hilang dijamah pergi, New terkulai tak sadarkan diri seiring matanya yang semakin berat, dan tak butuh waktu lama sampai New benar-benar terlelap.

“Tidurlah, jangan sakit lagi ya? Aku khawatir kalau kamu sakit kayak gini” lirihnya setelah memastikan kalau New tertidur dalam rengkuhnya.

Lalu Tegar merendahkan sedikit kepalanya dan mengecup pelan puncak kepala New yang panasnya terasa menyengat di bibirnya.

“Ayo jadi makan siang gak?” Tegar sampai di pelataran Masjid di mana New menunggunya selesai menunaikan shalat.

“Jadi, tapi kayaknya kakiku bakal kebakar karena nyeker di aspal deh Gar” New menuruni undakan tangga, mengekor di belakang Tegar yang sedang mengambil sandal.

“Ini...” Tegar menyodorkan sandal miliknya tepat di depan kaki New “kamu aja yang pakai”

“Kok aku yang pakai? Terus kamu gimana? Nyeker?”

Tegar mengangguk.

“Gak mau, itu kan sandal kamu... lagi pula aku gak mau egois dengan pakai sandal punyamu Gar”

“Yaudah gausah dipakai aja...” Tegar mengambil sandalnya dan digenggam untuk menemani New nyeker di sepanjang jalan.

“Loh kok gitu? Nanti sandalnya mubazir dong, iya kan?” New mengerucutkan bibirnya.

“Katanya kamu gak mau pake, yaudah aku juga gausah biar sama-sama gak pakai sandal, biar nyekernya samaan, biar kamu gak malu nyeker sendirian”

“Gar.... Kamu gak harus melakukan ini untukku” New trenyuh, hal sederhana yang Tegar lakukan membuat hatinya tersentuh.

“Sebenarnya ada satu cara lain biar kaki kita sama-sama gak kebakar aspal” Tegar sedang ngide.

“Apa? Mataharinya terik banget, aspalnya kayak panggangan telfon Mama di rumah”

Tegar tertawa pendek, lalu memakai sandal dan merendahkan tubuhnya sedikit ke bawah, kedua tangannya mengarah ke belakang seperti mengambil ancang-acang.

“Ayo naik”

“Gar? Kamu mau gendong aku?”

“He eh ayo” tak ada nada bercanda dari mulut Tegar.

“Ummm...” New nampak sedang berpikir.

Tegar menoleh ke belakang “Kamu takut dilihatin orang-orang?”

New menggeleng “Aku lebih percaya sama kamu dibandingkan harus buang-buang waktu mikirin apa yang dipikirkan orang lain karena ngeliat dua cowok gendong-gendongan” dengan begitu, New merapatkan dirinya di punggung Tegar, membiarkan kedua tangan kekar Tegar menelusup di tungkainya agar tak terjatuh bebas ke belakang.

New nampak riang begitu turun dari boncebgan motor Tegar, kakinya melangkah ke sana kemari dengan senyum lebar dan terkadang tertawa-tawa sembari melihat banyaknya penjual yang menjajakan dagangannya.

“Gar lihat...” New menunjuk beberapa makanan yang baru pertama kali ia temui.

“Gar aku mau coba ini” padahal ia bisa langsung memesan pada sang penjual, namun pada akhirnya Tegar akan tersenyum dan mengangguk, lalu memesankannya untuk cowok imut yang tadi duduk manis di boncengannya.

“Kayaknya mau sekalian beli lauk buat sahur” Tegar berhenti di stand yang menjajakan nasi gudeg khas kota di mana dirinya dilahirkan.

“Bu, pesan satu...”

“Dua Gar” New mengintrupsi.

“He?” Tegar menoleh melihat New yang menjinjing beberapa plastik penuh camilan “Kamu mau sarapan pagi buta?”

New menggeleng “Aku mau nemenin kamu puasa” jawabnya tanpa keraguan.

Untuk beberapa saat Tegar meragukan kemampuan indra pendengarannya, New akan menemaninya puasa? Tidak salah dengar kan?

“Kamu gak harus melakukannya New, aku kuat kok puasa sendiri”

“Gapapa aku cuma pengen nemenin aja kok, nanti aku bangunin sahur sekalian ya? Aku udah set alarmnya”

Tegar tersenyum, kali ini mengembang lebar dari kedua sudut bibirnya, pertemanan mereka sangat indah.

“Bu pesan dua porsi, dibungkus”

Selesai membungkus dua porsi gudeg, Tegar membawa langkahnya ke arah sudut.

“Tegar mau beli baju koko baru?” mereka jalan bersisian, kedua tangan New penuh dengan plastik jinjingan.

“Lihat-lihat aja dulu” Tegar mulai memilih dan memilah baju koko yang digantung.

“Aku bantu pilihkan boleh?”

Setelah mendapat anggukkan dari Tegar, ia langsung mencari-cari baju koko yang bermacam-macam motif dan warna.

“Gar, ini kayaknya bagus, menurutmu gimana?” New menenteng baju koko warna putih bersih.

“Cobain ya? Mau kan?” sambungnya merapatkan diri pada Tegar.

Belum sempat Tegar menjawab, baju koko putih itu sudah dilucuti kancing-kancingnya.

“Di sini gak ada kamar pas, jadi dipasin di sini aja, pake rangkap kaos gapapa”

“He eh, gapapa” Tegar menurut saja ketika New mengepaskan baju koko putih itu untuknya.

“Pecinya sekalian Nak” si penjual menawarkan beberapa peci yang langsung diterima Tegar untuk dicoba.

“New gimana? Bagus gak?”

New terdiam, menatap Tegar dengan pandangan yang susah diartikan, baju koko itu nampak sangat indah dipakai oleh Tegar, ia tambah tertegun ketika Tegar memakai peci, entah mengapa.... Tegar yang seperti ini tak terlihat seperti Tegar yang ia kenal.

Tegar nampak begitu bersih, begitu suci yang membuat New merasakan hal aneh bergejolak di dadanya. Ia merasa... Sangat bersalah? Begitulah... Ada rasa yang tak seharusnya ada, rasa yang sangat salah di mata agama mereka.

“New? Heiii”

“Eh.... Ya? Gimana Gar?”

“Jelek ya?”

“E-Enggakkkk, bagus tauuuu, iya kan pak?” New meminta persetujuan si penjual.

“Gimana ya kalau aku pakai seragam sembayangmu ini Gar?” New menggumam dan merapikan kerah baju koko di leher Tegar.

“Mungkin kamu akan terlihat seperti mualaf”

“Hah? Kuala?”

“Mualaf New, mereka yang mualaf tuh dosanya masih nol, seperti bayi yang baru dilahirkan” Tegar membuka tautan kancing baju koko dan melipatnya.

New hanya magut-magut mendengar penjelasan Tegar.

“Kayaknya beli baju koko aja, pecinya udah punya”

“Yaudah tunggu sini bentar...” New langsung menuju ke bapak penjual, mengeluarkan dompet dan menebus sepotong baju koko tanpa menawar.

“Loh kok kamu yang bayar?”

“Ini hadiah buat kamu Gar, jangan ditolak oke?”

“Tau begitu aku ambil peci sekalian, mumpung gratis hahahaha”

“Yeeee itu mah maunya kamu Gar hahaha” mereka berkelakar, New kembali menjinjing belanjaan.

“Makasih ya” Tegar menggandeng tangan New, mereka berjalan dengan jari yang saling bertautan menuju parkiran.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan itu nyaring, entah apakah karena penghuni kos lain masih terlena dalam lelapnya, New mengulang ketukan itu lagi sampai lima kali tapi tak ada tanda-tanda Tegar akan membukakan pintu untuknya.

“Masih ngebo nih pasti, masa dia lupa sih kalau harus bangun sahur, aaah payah ck” reflek saja New memutar kenop pintu “Eh kebuka, tunggu aja.... aku kerjain hihi”

New mengendap-ngendap masuk, seperti seorang detektif sedang menjalankan misi.

“Tegar, bangun...” panggilnya pelan tepat di telinga Tegar, suaranya yang lembut membuat Tegar malah semakin nyenyak.

“Gar, udah jam setengah tiga pagi, ayo bangun...” makin pelan, serupa dengan bisikan.

Yang Tegar rasakan adalah kedua matanya seperti dilem kayu, seluruh tulang dan sendi ditubuhnya seolah dipaku. Dan tiba-tiba saja ada suara Denewa yang memanggilnya, kini ia semakin lelap di alam bawah sadarnya, alam di mana ia memimpikan antara dirinya dan Denewa saling memiliki dan mencintai satu sama lain.

Suara pintu kamar mandi terbuka, lalu suara percikan air dari keran mengalir deras sebelum dimatikan dan kembali pada keheningan kamar.

“WOOOY BANGUN DASAR TEGAR KEBO PEMALAAAAS....” New berlari dan menerjang tubuh Tegar di atas ranjang, di saat bersamaan ia menempelkan kedua tangannya yang basah dan dingin karena air di kedua pipi Tegar, seperti sedang membingkai wajah yang lena dalam damai itu.

“Allahurabbiiiiiiiiii.....” kini kedua mata itu terbuka sepenuhnya, alam mimpi itu kini menjadi fatamorgana, Tegar sudah terjaga.

“Kebo siiiih, aku udah chat, udah telfon sampe aku panggil-panggil kamu, gak bangun-bangun juga” New masih tak beranjak, kepalanya tersandar nyaman di dada Tegar.

“Astaga Denewaaaa, ini baru jam setengah tiga” Tegar mengucek matanya, mendudukkan posisinya dan detik selanjutnya ia menerkam New dengan menggelitikinya.

“Hahahaha ampun Gar... Hahahaha Gaaar ampun geli banget ini” dan posisi mereka langsung berbalik, New telentang di bawah dan Tegar seperti ingin menumpukan seluruh bobot tubuhnya pada laki-laki manis yang membuatnya terjaga.

“Rasain, salah siapa jam segini bangunin orang enak-enak tidur” tentu Tegar terus menggelitik perut Denewa sampai laki-laki manis itu tertawa menggelegar di kamarnya.

“Tegar hahaha uda.... Udaaaah hahaha, kan aku gak tau sahurnya tuh jam berapa”

“Gak ada alasan hahaha”

Mereka berdua tertawa-tawa, mereka berdua bahagia, dan cupid telah melesatkan panahnya, bukan pada salah satunya, tapi keduanya.

Sampai...

“WOOYYYY BERISIK BANGET JAM SEGINIIII”

Ya, tentu saja penghuni kos lain tak akan tinggal diam mendengar kegaduhan yang Tegar dan Denewa sebabkan.

“Hoaaamsss...Gar aku ngantuk, numpang tidur sampe pagi boleh ya?” New mengambil satu bantal dan begitu saja dirinya mengambil kuasa si empunya ranjang.

“Asal jangan ngiler aja” gurau Tegar yang baru saja selesai mencuci muka dan menggosok gigi.

“Kamu gak tidur lagi?”

Tegar menggeleng “Ada baiknya nggak tidur di sela waktu sahur dan menjelang subuh, kamu tidur aja gapapa, aku mau buka file kerjaan dulu”

Tak ada jawaban, lima menit berselang sudah terdengar dengkuran halus, menandakan New sudah lelap di alam bawah sadarnya.

Tegar mendekat, duduk di sisi ranjang, menarik bantal dan menggunakan pahanya sebagai alas di mana kepala New tersadar nyaman, New sempat mengolet tapi detik selanjutnya kembali berkelana dalam tidurnya.

Jemari Tawan menyusuri surai hitam itu, menatap wajah Denewa lekat-lekat, memperhatikan setiap detilnya yang sempurna dipahat oleh Tuhan.

“Entahlah.... Mau dipercaya atau tidak, secara tak sadar kamu sudah menjadi pusat duniaku” ada banyak yang ingin Tegar katakan, kalau ia semakin sayang, kalau ia semakin cinta tapi lidahnya kelu, lidahnya kaku.

Tegar kehilangan bagaimana caranya berbicara, semua menganjal di tenggorokan, yang tersisa hanyalah diam di antara jam dinding yang tertawa dan dengkur halus Denewa. Sampai sayup-sayup suara adzan subuh berkumandang, Tegar menarik dirinya, mengambil wudhu dan menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba.

New sempat terjaga, ia hanya diam di atas ranjang memperhatikan Tegar diam tak bergerak, sampai kepala Tegar menoleh ke kiri dan kanan.

Lalu lantunan ayat-ayat itu kembali Denewa dengar, suara Tegar sangat mendamaikan, sampai tak sadar ia kembali tertidur.

“Alhamdulillah....”

Suara bedug maghrib adalah saat yang paling dinanti seluruh umat, bedug maghrib selalu disambut rasa syukur oleh setiap mukmin, dan saat berbuka yang ditunggu-tunggu telah tiba.

“Ya ampun akhirnyaaaaa....” New langsung menjangkau es teh manis, namun saat akan ia teguk, ia melihat Tegar sedang membaca doa, reflek saja ia menangkupkan tangan dan membaca doa menurut keyakinannya.

“Aaaah lega banget Gar” ia asik ber aaah ria seperti iklan minuman isotonik yang nampak menyegarkan.

Tegar hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah New yang menggemaskan, ia menikmati waktu yang ia habiskan bersama New, selalunya New akan mengetuk kamarnya ketika waktu sahur tiba, lalu ketika menjelang sore, mereka akan membeli beberapa menu berbuka di pasar ramadhan.

Dan di hari minggu, kebiasaan Tegar masih sama, membangunkan New di pagi buta, mengantarnya dan menjemput New di Gereja. Rutinitas itu sudah mendarah daging untuk Tegar dan juga Denewa, sebuah toleransi di tengah ramadhan yang indah dan penuh berkah.

“Selamat ulat tahun Gar...”

Tegar terlonjak dari tidurnya, sepertinya New punya kebiasaan baru, mengagetkan Tegar di tengah malam atau saat sahur tiba.

“Ini baru tengah malam New” jam dinding menunjukkan angka dua belas dan jarum pendek di angka lima.

“Iya tau, sengaja aku gak tidur biar bisa jadi orang yang pertama ngucapin tauuu” ada nada mendayu-dayu di akhir kalimat New.

'Kamu memang yang pertama New, akan selalu menjadi orang pertama yang membuatku merasa menjadi orang paling spesial di dunia' batin Tegar yang tak akan pernah bisa ia ucapkan.

Sekarang perhatian Tegar teralihkan sempurna pada kue kecil dengan satu lilin di atasnya.

“Kuenya kecil banget, ikhlas gak sih haha” Tegar berkelakar.

“Jangan dilihat seberapa besar kue yang aku bawa, coba lihat ketulusannya”

“Iya tau”

“Salah sendiri ulang tahun di tengah bulan, jadi kuenya juga mini hihi”

“Lilinnya makin habis Gar, ayo make a wish sekarang kalau gak mau makan kue dengan toping lelehan lilin”

Tegar memejamkan mata.

'Tuhan... Kali ini aku hanya minta satu, tolong berkahi insan yang menyalakan lilin ini untukku, dia yang menjadi pelita di rumah hatiku, dia yang jadi pusat duniaku, berkahi dia Tuhan.... Amiiin' ucap Tegar dalam hati

“Huuuffhhhh....” dan satu-satunya lilin itu padam.

“Kamu minta apa tadi?”

“Kenapa? Kok kamu mau tau?” Tegar menerima kue itu dari tangan Denewa.

“Apa ada aku di sana?” kedua mata New berbinar.

'Namamu satu-satunya yang ada di sana New, kamu satu-satunya' batin Tegar menjerit.

“Rahasia dong” dan apa yang mulut dan hati katakan selalu berbeda.

Kedua orang tua Mild terkejut ketika New membawa mereka ke sebuah ruang bawah tanah, dari mana perawat itu tahu kalau Rumah Sakit ini memiliki ruang bawah tanah untuk melakukan penelitian illegal?

Lebih terkejut lagi saat melihat besan mereka yang terantai di sebuah tempat sempit bersekat, apa yang New lakukan kepada kedua orang tua Tawan?

Tubuh kedua orang tua Mild merinding seluruh badan saat melihat keadaan rekan mereka, jari-jari penuh darah tanpa kuku, tubuh mereka yang bengkak dan membiru, beberapa gigi dan darah yang belum mengering tercecer di lantai.

“Seperti yang kujanjikan, aku membawa rekan kalian kemari”

New memborgol kedua orang tua Mild, juga merantainya di leher seperti hewan peliharaan.

New berdiri menyedekapkan tangan melihat empat orang yang menjadi dalang pembunuhan.

“Tuan Vihokratana, maaf kalau semalam saya terlalu keras sampai gigi anda rontok, tapi nampaknya anda masih memiliki beberapa gigi lagi untuk menghibur kaki saya”

Terungkap sudah kalau New menendang kedua mulut mereka hingga gigi bercecan di lantai.

“Tolong.... ja...jangan lagi”

“Mari kita tunjukkan ke tamu kita, bagaimana aturan main kita sebelumnya”

New membuka borgol lalu menyeret kepala Tuan Vihokratana menuju ruangan lain, tak kedap suara karena itu adalah tujuan New yang sebenernya, memperlihatkan jerit kesakitan kepada ketiga orang lainnya.

“Jangan.... Jangan lagiii aaaaaa”

Jerit kesakitan itu menggema ke seluruh ruangan, membuat ketiga orang lainnya merasa ketakutan.

BRAKKKKKK!!!

“Ayo katakan pada mereka bagaimana rasanya”

BRAKKKKKK!!!

New menendang wajah Tuan Vihokratana yang berlutut di depannya berkali – kali hingga darah dan gigi kembali bercecer di lantai.

“AAAAAAA..... SAKIIIITTTT”

“Uhum, nikmati sakitnya....”

BRAKKKKK!!!

“AAAAAAAAAAAAAAA”

Jeritan itu membuat istri Tuan Vihokratana berteriak ketakutan “Aaaaaa sudah...ampunnnn saya minta ampun” lirinya gemetar mendengar jeritan suaminya.

“Begitu saja? Aku tahu kamu belum mati bangsat!!!”

New menginjak – injak kepala Tuan Vihokratana berkali – kali hingga laki-laki itu tak sadarkan diri.

“Yahhh, sayang sekali hanya seperti ini permainan kita malam ini? Baiklah” perawat itu kembali menyeret Tuan Vihokratana kembali ke bilik sempitnya tak lupa dengan borgol dan rantai yang membelenggunya.

“Giliran anda” New melepaskan borgol laki-laki yang merupakan founder Raikan Hospital.

Namun baru saja ia lepaskan, Ayah dari Mild itu mencoba berlari ke arah pintu.

DOOOORRRRR!!!!!

Sebuah peluru melesat begitu saja membuat langkah laki-laki itu terhenti, tak berani untuk berlari lagi.

“Sayang sekali meleset, bukankah aku sudah bilang? Tak ada gunanya melarikan diri....kemarilah”

New mengambil sebuah selang air, menggenggamnya kuat-kuat.

“Lepas pakaianmu dan berlutut di depanku” sebuah perintah yang mutlak harus dituruti.

CTAAAKKKKKK!!!

“Aaaaaakkhhhhh”

New mencambukkan selang itu sangat keras ke punggung laki-laki yang berlutut di depannya, tentu rasa sakit dan panas akan sangat menyiksa, efeknya lebih sakit daripada ditembak mati.

“Apologize!!!”

CTAKKKKK!!!!

“Aaaaaaaaakkkhhh sakittt”

“Look back what you did to meee!!!”

CTAKKKKK!!!!

CTAKKKKK!!!!

CTAKKKKK!!!!

New menggila, mencambuk tanpa jeda dan belas kasihan, ia menangis di sana.

“Ampunnnhhh aaaarrrghhh sakiittt” jerit laki-laki itu dengan badan yang mengejang berkali – kali karena kesakitan menerima setiap cambukan.

“Apologize and ask for forgiveness!!!”

CTAKKKKK!!!!

CTAKKKKK!!!!

CTAKKKKK!!!!

“AMPUUUUNNNNNNN AAAAAAA SAKITT”

“Whether i accept or not, its up to meee!! Apologize and admit ittt!!!

“Aaaaaa dia...dia yang punya rencana” ia menunjuk Tuan Vihokratana yang sudah kembali sadar.

CTAKKKK!!!!

BUGGGGG!!!!

Tak puas dengan mencambuk, kini New menginjak-injak kepala lelaki itu hingga sepatunya belumuran dengan darah.

“Dia pelakunyaaaaa..... Saya dan istri saya tak bersalah”

“Bukan saya New, saya berani sumpah bukan sayaaaa” bela Tuan Vihokratana yang kesusahan bicara karena giginya hanya tinggal beberapa.

“Iya bukan salah kami New, itu salah mereka berdua.... Mereka yang memaksa kami untuk menhodohkan Tawan dengan Mild” timpal sang istri membela suaminya.

“E-enggak!!! Itu tidak benar, mereka berdua yang punya rencana, bukan kami” Istri si founder Rumah Sakit tak terima di sudutkan.

Ternyata semudah ini, membuat mereka menjadi saling mengkhianati.

“Bajingan kamu Thana!!! Kamu menuduhku? Kamu mengkhianatiku? Kamu busukkkk!!!

“Baiklah, mari kita permudah semua ini, majulah satu-satu dan akui perbuatan kalian, setelah itu akan aku bebaskan”

Tentu, itu seperti sebuah harapan dan angin segar.

Satu-persatu dari mereka mengakui perbuatan keji mereka dan New mengabadikannya, mengabadikan bagaimana iblis – iblis ini menceritakan perbuatan keji mereka.

“Kami sudah menceritakan semuanya, tolong bebaskan kami New.... Saya mohon dengan segala kerendahan hati saya”

Mereka semua berlutut, mengemis sebuah ampun dari seseorang yang dulu mereka remehkan.

“Angkat wajah kalian....”

Ada dua jerigen bensin di mereka, tak mengerti mengapa New membawa jerigen iki di hadapannya.

“Aku berubah pikiran...” New mundur beberapa langkah ke belakang, duduk di sebuah kursi dan bersiap menikmati pertunjukan.

“Hanya ada dua orang yang akan aku bebaskan, selebihnya.... kalian tahu apa yang harus kalian lakukan”

Tanpa berpikir panjang para laki-laki langsung membuka jerigen dan mengguyurkannya ke tubuh istri mereka.

“M-mas... Apa-apaan” jerit salah satu diantara mereka.

“Maaf tapi mas gak mau mati lebih dulu” ujarnya terus menggugurkan bensin ke tubuh istrinya sendiri.

“Maasss kamu mau bunuh aku? Tega kamu mass?”

Tak ada jawaban, yang kedua laki-laki itu lakukan adalah terus mengguyur tubuh istri mereka.

New sudah menebaknya, pasti dua orang itu yang tega melakukannya, dua orang yang sama yang pernah membakarnya hidup – hidup saat ini tega membakar istri mereka demi sebuah kebebasan semu yang ia janjikan.

New melempar sebuah korek, membiarkan dua laki – laki itu melakukan tugasnya.

“Maaf.... Maafin mas, tapi mas gak mau mati” ujar Tuan Vihokratana kepada istrinya.

“Enggak....jangan mas....jangannnn!!! Mas pernah berjanji untuk sehidup semati denganku!!! Mana massss”

Itu adalah kata terakhirnya sebelum sang suami memantikkan api dan membakarnya hidup – hidup demi sebuah kebebasan yang New janjikan.

“AAAAAAAAAAA”

“PANASSSS SAKIIITTTT”

Dua orang perempuan itu terbakar hidup-hidup, api melahapnya tanpa ampun, terasa lebih menyakitkan karena suami mereka sendiri yang membakarnya.

“AAAAAAAA MASSS SAKIIITT”

Suara jeritan, rintihan dan tangis kesakitan mereka terdengar memilukan, dua orang laki – laki itu hanya bisa terduduk pasrah melihat istrinya merenggang nyawa.

“Maaf.... Maaf... Maafin mas, tapi mas takut mati”

“M-mas... Aaaaaaaakkhhh”

Kobaran api semakin besar, menghanguskan kulit dan daging, juga menghanguskan sisi kemanusiaan dua orang laki-laki yang sudah hilang sejak membunuh New di tepi jurang.

“Sekarang bebaskan kami, kami mohon New”

Alis New mengernyit “Aku sudah menduga kalau kalian akan melakukannya, sama dengan apa yang kalian lakukan padaku di tepi jurang hari itu”

New berdiri, melihat tubuh dua manusia yang sudah hangus.

“Kalian lapar kan? Makan dan habiskan!!!”

“M-maksud kamu apa New?” Tanya Tuan Vihokratana yang sangsi dengan indera pendengarannya.

“Makan dan habiskan, sisakan tulang-tulangnya saja”

“Tidak.... Saya tidak mau!!! Kalau begitu berakhirlah seperti istri anda sendiri” New melangkah ke arah pintu tanpa mempedulikan mereka.

“Makan dan habiskan tubuh istri kalian...”

“Orang sepertimu pasti akan kekal di neraka!!!” teriak Tuan Vihokratana memotong jemari istrinya yang sudah hangus.

“Jika begitu pemikiran kalian, maka kekal-lah di neraka bersamaku untuk selama-lamanya” tuntasnya sebelum pergi dan mengunci pintu rapat-rapat.

Hai, ini adalah (bukan) oneshot coret dengan couple:

Semoga kalian menikmati membacanya sebanyak aku menikmati ketika menulisnya.

With love.

JeJe🥂

Hai, ini adalah (bukan) oneshot coret dengan couple:

Semoga kalian menikmati membacanya sebanyak aku menikmati ketika menulisnya.

With love.

JeJe🥂


Disclaimer:

Seluruh narasi di dalam oneshot ini adalah fiksi yang hidup di kepala penulis dan kepala kalian ketika membacanya. Jangan lupa play lagu yang sudah aku siapkan untuk kalian ya biar feelnya semakin terasa dan sampai ke kalian. 


Terakhir, semoga kalian menikmati membaca ‘Closer' sebanyak aku menikmati ketika menulisnya.


JeJe. 

Di ujung ruangan gym ada sepasang lelaki yang sedang membakar kalori, kedua kaki panjang Joss kini dipegang erat-erat oleh kedua tangan Tawan. Gerakan sit up untuk melatih otot perut itu adalah sebuah cobaan terbesar bagi Tawan, apakah ia bisa tahan?

Jujur saja, sedari tadi ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Joss, entah itu wajahnya yang tampan dengan rahang yang tegas, otot trisep, bisep dan otot abs yang berpetak-petak di hadapannya. Selain itu penampilan Joss dengan sebuah crop top yang dipadukan dengan celana training hitam panjang membuat darahnya berdesir kencang, jantungnya berdegup tak beraturan.

“Tujuh....”

“Delapan halahhhh ahhh”

Joss telentang di atas matras setelah menyelesaikan empat repetisi rutinny, ia sadar kalau Tawan memperhatikannya lebih sering, ia paham kalau Tawan berkali-kali curi pandang.

Penampilan Tawan juga seperti menantangnya, dengan celana biru pendek kedodoran yang memamerkan celana dalam dengan logo Calvin Klein dan kaos kekecilan yang memamerkan perut ramping hingga mengintip di area pusar.

“Jangan dilihatin aja, gak akan berkurang kok”

“Eh...”

Joss menyeringai ketika menangkap basah kedua mata indah Tawan yang kelaparan melihat otot absnya, sebuah rona merah memanas di kedua pipi Tawan.

Ia punya ide gila dengan melepas crop top-nya di hadapan Tawan dan bershirtless ria memamerkan tubuh bagian atasnya.

Maka saat ia melakukannya, itu adalah sebuah akhir bagi Tawan. Lelaki manis itu tak bisa menahan diri lebih lama lagi di hadapan Joss. Dengan badan indah yang dicumbu keringat, otot yang berkontraksi membuatnya lebih besar, memangnya siapa yang tak tergoda?

Tanpa berfikir untuk kedua kalinya, ia langsung merangkak naik dan menduduki perut kekar Joss, kedua tangannya bermain-main di dada bidang coach fitness-nya sore ini.

“Sengaja hmm? Sengaja kamu pakai pakaian kayak gini?”

Joss tertawa kecil, kedua tangannya reflek melingkar di pinggang ramping Tawan yang duduk di atas perutnya, terus bergerak ke bawah dengan amat perlahan di sepanjang tulang belakang hingga Tawan mengejang karena sentuhan sederhana yang merangsangnya.

“Emmmhhh” Tawan menggigit bibir bawahnya sendiri untuk menahan desahannya, nafasnya mulai memburu ketika kedua tangan Joss bergerak ke bawah, menyelinap dibalik celananya dan meremas kedua bongkahan pantatnya.

Jari-jarinya sibuk memuja setiap lekukan tubuh yang sedang berkeringat di bawahnya, dada bidang indah dengan kedua nipple coklat yang mengeras menantangnya. Bergerak ke bawah untuk menghitung setiap petak otot perut yang membuatnya gila.

“Tee suka....” ia memuji sembari dengan kedua tangan yang bergerilya dan menggerayangi setiap peluk tubuh pelatihnya dengan dada yang mengembang dan mengempis mengatur nafas.

Life is never flat and neither my chest haha” Joss tertawa kecil dengan candaan  nakalnya sebelum menukar posisi mereka dengan berguling ke samping hingga Tawan ada di bawah kungkungan dan dominasinya.

Kedua kaki Tawan reflek melingkar di pinggang Joss saat tubuh mereka saling bersentuhan dan melekat dengan ketat.

Apa yang ada di tubuh Joss bisa Tawan rasakan, seluruh lekukan otot dan sentuhan demi sentuhan kulit mereka yang menghantar sengatan di tubuh keduanya. Ibaratnya adalah sebuah relief yang tercetak jelas untuk ia sentuh dan ia raba di manapun ia suka.

“Hmmmmpphhh”

Mulutnya dibungkam dengan ciuman yang diberikan Joss secara bertubi-tubi, tak ada yang bisa ia lakukan selain membalasnya dengan sama panasnya. Bibir mereka saling menghisap dan menyesapi satu sama lain, lumatan yang Joss berikan juga Tawan lakukan untuk berbagi nikmat yang sama.

Burung camar sedang berkoloni terbang di langit senja, semburat jingga membuat lengkungan di kedua bibir New semakin melebar, angin Dermaga membelai wajah manisnya yang sudah lelah menangis dan berderai air mata.

Ia sedang duduk dengan kedua kaki yang menjuntai menyentuh air, melihat refleksinya sendiri di sana, ia merasa bebas dari seluruh beban yang selama ini menghimpitnya tanpa ampun.

Esok akan menjadi hari baru untuknya, sebuah lembaran di mana dirinya dan Tawan tak lagi saling bersinggungan, simpul yang terikat kuat kini sudah terlepas, mereka berdua adalah dua garis lurus yang tak akan bersilangan meski ditarik sepanjang apapun, langkah keduanya resmi saling berlawanan tak lagi berjajar dan beriringan.

“Besok kita pergi, gapapa ya nak? kalau kita ada di sini terus, nanti kita dianggap nyusahin Ayah, kamu masih punya Papa yang gak akan ninggalin kamu” ucap New pelan mengusap perutnya.

“Jangan minta yang aneh-aneh ya? Papa mulai kesusahan karena kamu cepet banget tumbuhnya” lanjutnya dengan senyum yang melengkung di bibirnya, tak sabar menyambutnya lahir di dunia.

“Abis ini kita jalan-jalan yuk? Papa mau lihat-lihat perlengkapan bayi buat kamu” New menarik diri dari ujung dermaga, berjalan menjauh di pembatas senja yang sedang mematangkan warnanya.


Sosmed Au New beli perlengkapan bayi di mall, ya keluh kesahnya dl.


Hari ini adalah hari pernikahan Tawan, bersamaan dengan New yang akan pergi dan mungkin tak akan kembali, tak akan bisa melihat senyum Tawan lagi, tak bisa mendengar suaranya dan tawanya lagi, ia pergi ke pengasingan seorang diri.

New sudah mengemasi semua barang-barangnya, tak ada yang tertinggal di sini hanya saja ingatannya tentang Tawan masih tersimpan rapi di setiap sudut kamar mungilnya.

Tawan yang mengantarnya pulang, Tawan yang menggendongnya ke atas ranjang, Tawan yang membelai rambut hitamnya sembari bersenandung sebelum pulang.

Ahhhhh rasa-rasanya seperti baru kemarin dan kini ia sudah harus pergi, begini ternyata pahitnya cinta tak direstui.

When i enter this room, i always have to control my tears because i still feel you very deeply and now…..i leave

Ia gemetar merasakan bagaimana kenangan bisa terasa semenyakitkan ini, semuanya seperti divisualisasikan dan diputar ulang di depan mata kepalanya bagaimana Tawan bersenandung untuknya hingga kejadian yang disebabkan oleh Kevin dan Mild yang membuat Tawan tak lagi percaya kepadanya.

I want to say i miss you, but it wouldn’t change anything…” New menghela napasnya yang terasa berat “So i keep pretending like i don’t

Lirihnya putus asa, memang pada akhirnya apapun yang ia katakan tak akan bisa membuat Tawan percaya, pada akirnya apa yang terucap dari bibirnya hanya dianggap sebagai pembelaan semata.

New sampai harus mendongak untuk menahan air matanya, ia tak mau menangis apalagi ini adalah hari bahagia untuk orang yang sangat ia cinta.

Seseorang yang berhasil merubuhkan dinding yang ia bangun setinggi langit dan menariknya dari senyapnya kesepian, seseorang yang memperkenalkan warna hidup bahwa dunia ini tak hanya menyisa hitam dan putih saja.

Namun sayang, orang itu juga yang menghancurkan ulang dinding yang ia bangun hingga hancur berkeping-keping dan berubah menjadi abu yang menyesakkan dadanya, orang itu juga yang membantingnya balik ke jurang yang bernama kesepian dan keputusasaan, dan orang itu juga yang menarik semua warna dari hidupnya hingga tertinggal hitam dan putih saja, lebih gelap dari sebelumnya. Orang itu adalah Tawan.

Pada akhirnya New tak akan kuat, ia berderai air mata sebagai cerminan perihnya hati dan kejamnya dunia yang sedang ia tapaki. Kisahnya dengan Tawan layaknya sebuah buku, di mana ia selalu ketakutan membuka setiap lembar demi lembar, khawatir bagaimana kisah mereka akan berakhir dan ternyata ia sadari tak ada akhir bahagia untuknya, menyisa sebuah akhir yang perih dan penuh air mata.

Dengan dada yang terasa sesak, ia mencoba tersenyum dan membelai janin yang ada di perutnya, setidaknya ia tak benar-benar sendiri, ia punya bagian dari Tawan yang tertinggal pada tubuhnya dan kedepannya ia akan membesarkannya, meski seorang diri.

I told you what hurt me the most…” sebuah napas panjang ia ambil dan kemudian ia hembuskan secara perlahan ketika menyapu seluruh sudut ruangan dengan tatapan mata nanarnya “And you did it perfectly*”

lanjutnya melihat cincin yang masih melingkar di jari manisnya.

Sebuah cincin pemberian Tawan ketika sama-sama menyataka rasa, New tak mau melepasnya, hanya dengan ini ia merasa Tawan tak pernah meninggalkanya meski kenyataan berkata sebaliknya.

“Gapapa ya sayang? Kita pergi jauh dari ayah, biar ayah punya kehidupan yang lebih baik” lirihnya menghapus air mata.

“Mau kemanapun Papa pergi, asal Papa punya kamu….Papa masih baik-baik saja dan itu artinya Papa masih punya segalanya”

Samar-samar New mendengar suara mobil di pelataran, pasti Kevin sudah datang karena tak ada seorangpun yang ada di sini selain dirinya sendiri. Semua perawat sedang pergi karena diundang untuk menyaksikan bagaimana Tawan mengucap sumpah dan janji pernikahan.

Hanya dirinya saja yang tersisa, mungkin saja kehadirannya memang tak diinginkan seperti apa yang dikatakan Tawan tempo hari, ah sial itu cukup menyakiti hatinya.

New mematung di jendela kamarnya melihat Kevin keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju ke arah kamarnya, ia sedang menghitung detik demi detik kepergiannya.

“Udah siap semua kan? jangan bikin gue nunggu”

Lontar Kevin begitu sampai dan mematung di depan pintu kamar New.

“Udah kok”

“Yaudah cepetan”

“Vin tunggu…” New menahan Kevin pergi dengan menggenggam pergelangan tangan suami Citra itu.

“Kenapa?” jawabnya dengan melepas genggaman tangan New dengan paksa.

“Ummm boleh minta tolong bawain tasnya? Agak berat kalau aku bawa semuanya sendirian”

Kevin melihat beberapa tas ransel yang ada di atas ranjang dan melihat New bergantian, matanya menyipit.

“Kali ini saja Vin...” New memelas.

“Bahkan lo masih bisa nyusahin orang lain? Ckck sini cepetan”

New tergopoh-gopoh membawa dua ransel besar di atas ranjang, satu untuk ia bawa sendiri dan satu lagi meminta bantuan Kevin.

“Ini”

Sebuah ransel besar sudah ada di genggaman tangan Kevin.

“Ini?” suami Citra itu mengangkat satu ransel tepat di depan New.

Sebuah anggukan sebagai jawaban mengiyakan.

“Bawa sendiri bangsat…”

BUKKKK

“Aaaakkhhhh” New meringis kesakitan.

Ransel itu dilempar begitu saja mengenai tubuhnya hingga tumbang dan jatuh ke lantai.

“Lo kira gue mau bantuin? Tsk! Gue bukan babu lo, lo yang akan jadi gembel di sini kenapa gue yang susah anjrit!” cemooh Kevin melenggang pergi menuju mobil meninggalkan New yang masih kesakitan di lantai kamar.

“Hufff…yaudah deh, yuk bantuin Papa bawa ransel ini, jangan cengeng ya sayang” ujarnya pada diri sendiri dan janin yang ada di kandungannya.

“Kira-kira kita perlu pamit ke Ayah gak ya?”

New terdiam menerawang kepergiannya yang sudah ada di depan mata, lalu ia tersenyum kecut “Nanti Papa coba minta tolong ke Kevin, tapi gapapa ya kalau kita cuma lihat dari luar? Yang penting judulnya kan pamit sama ayah kalau kita mau pergi jauh” dengan hati yang kosong ia membawa dua ransel besar keluar dari kamar.

Ia berjalan pelan dan kepayahan menuju pelataran, menaruh kedua ranselnya di bagasi tanpa bantuan sama sekali.

“Vin, aku ada satu permintaan terakhir…” New duduk di sebelah Kevin, menghempaskan punggungnya yang terasa sakit.

“Ck, apalagi sih?”

“Kali ini aja Vin, aku janji setelah ini aku akan pergi dan gak akan kembali”

Kevin terdiam menatap kedua mata New dalam-dalam.

“Untuk yang terakhir kalinya, apa kamu bisa bawa aku ke resepsi mas Tay? Cuma berhenti di pinggir jalan aja kok, aku janji gak akan kemana-mana”

Pada akhirnya Kevin memilih tak menjawab permintaan New, namun ia langsung mengemudikan mobilnya menembus jalanan yang lenggang.

Di hati kecilnya ia merasa iba dan kasihan dengan New, namun bagaimana lagi? Ia mendapat uang dan posisi yang ia inginkan sesuai apa yang sudah dijanjikan oleh kedua orang tua Tawan dan Mild jika berhasil menyelesaikan ini.

“Makasih Vin”

New tersenyum, diamnya Kevin ia artikan sebagai jawaban ‘iya’. Setidaknya dirinya pamit sebelum pergi meski pamit itu tak akan pernah sampai kepada Tawan, meski kepergiannya tak mengubah fakta apapun kalau sekarang ia sendirian.

Mobil mereka berhenti di depan sebuah gereja, banyak mobil berjejer sepanjang jalan, mereka semua adalah tamu undangan dan New bukan satu diantara mereka.

New memandang nanar ke arah altar, ia melihat Tawan di sana sangat tampan dengan senyum yang mungkin akan ia rekam baik-baik dalam ingatannya dan akan ia simpan baik-baik dalam kenangan di sisa umur hidupnya.

“Itu Ayah nak…” lirihya menahan tangis, matanya berkabut.

Seandainya Tawan mau mendengar penjelasannya, mungkin hubungan mereka masih baik-baik saja.

Seandainya kedua orang tua Tawan menerima keadannya, mungkin saja saat ini ia sedang berdiri di altar bersama Tawan, dan masih banyak seandainya yang malah membuat New merasa sesak di dada.

“Kita pamit dulu sama ayah…”

New menangis sambil berbisik kepada darah dagingnya, tubuhnya gemetar hebat mengucapkan pamit yang mungkin tak akan tersampaikan “Bye-bye Ayah….kita pamit pergi ya…”

“Kamu harus bahagia mas karena aku mengalah dan pergi agar kamu bahagia di sini” lanjutnya dengan tangis yang amat sangat perih, hatinya terasa diiris-iris.

I saw you laughing and happy again…and it made me realize that you’ll do well anyway…even without me” “Congratulations mas, i’m happy for you

Finalnya berbohong sebelum Kevin kembali mengemudi dan memupus pandangannya kepada Tawan yang sedang mengecup Mild setelah mengucap janji, New menutup kedua matanya dengan derai air mata.

Ia tak bahagia sama sekali, ia hancur hingga tak lagi bisa memungut kepingan hati yang melebur menjadi debu dan menyesakkan napasnya.

Hatinya serasa remuk redam, tak pernah ia sangka kalau perpisahan bisa sesakit ini, namun setidaknya ia masih menghirup udara yang sama dan hidup di langit yang sama dengan Tawan.

Dengan begitu ia bisa menghibur diri dan berpura-pura kuat menapaki kehidupan yang kejam, dan mungkin dengan begitu ia tak akan pernah menuntut apapun kepada semesta.


Gelap, sepi nan sunyi hanya semak belukar dan pepohonan sejauh mata memandang. Mobil mereka masuk menempus hutan, menjauh dari kota dan keramaian.

New melihat sebuah papan kayu di pinggir jalan yang sudah keropos dimakan rayap, ALASTUA begitulah yang berhasil New baca. Dalam bahasa jawa ALASTUA berarti hutan rimba yang sudah amat tua dan dimakan usia dan sepertinya makna itu memang benar adanya.

Terbukti dengan jalan setapak yang sempit dan berlumpur, tak ada penerangan hanya kunang-kunang di semak belukar yang menerangi pandangan. Suara hewan-hewan malam mulai terdengar saling bersahutan, seolah mereka semua mengawasi sebuah mobil yang mengusik rumah mereka.

“Vin ini di mana?” New mulai tak tenang, ia gelisah di tempat duduknya.

“Udah tenang aja” Jawab Kevin sembari mengecek ponsel beberapa kali, entah siapa yang terus mengirimkan pesan hingga Kevin harus membalas disaat mengemudi.

Bagaimana New bisa tenang kalau suasana gelap gulita? Hutan ini seakan menggaungkan agar mereka cepat pergi karena semakin mereka masuk maka semakin dekat dengan mara bahaya.

Terlihat seekor burung hantu bertengger di sebuah ranting dan tersorot lampu mobil mereka, binatang itu memutar kepalanya 180 derajat ke belakang hingga menatap New dan Kevin sebelum berlalu terbang. Dari kejauhan New melihat sebuah sebuah mobil seolah menunggu kedatangannya, ada dua orang lelaki yang berdiri di sana.

Mobil yang Kevin kemudikan berhenti di ujung jalan, tepat di sebelahnya ada jurang yang amat dalam sampai-sampai New ketakutan.

“Vin mau kemana?” New langsung menjangkau pergelangan tangan Kevin begitu melihat Kevin bergerak keluar meninggalkannya.

Bisa saja kedua orang itu adalah orang jahat kan? lalu mengapa Kevin malah keluar?

“Lo tunggu di sini sebentar” Kevin meninggalkan New sendirian di dalam mobil, entah apa yang dibicarakan mereka karena New tak bisa mendengarnya. Suasana tambah mencekam saat kabut mulai mengaburkan titik pandang, dinginnya membuat tulang dan gigi saling bergemeletukan.

GREEEBBBBBBB

New dikejutkan dengan suara semua pintu mobil yang dibanting keras-keras, lalu ia sadari kedua orang bermasker dan Kevin sedang mengelilingi mobil dan mengganjal pintu-pintu mobil hingga dirinya tak bisa keluar.

“Vinn…Kevinnn ini ada apa?”

Panik dan cemas menyergap New dari segala arah, saat ia mencoba membuka pintu untuk keluar namun gagal karena pintu mobil diganjal membuat dirinya terjebak di dalam. Tak hanya itu, New semakin ketakutan saat meliat ke tiga orang itu mengguyur mobil ini dengan cairan dari jerigen.

Sekeras apapun ia berteriak nyatanya ketiga orang itu tak peduli

“Cepat Vin, kita lenyapkan di sini saja” ujar salah satu lelaki mengguyur cairan bensin dari dalam jerigen hingga tak tersisa meski setetespun.

“Siap Tuan…”

“Simpan semua barang kita pakai di dalam mobi, hapus barang bukti” ucap lelaki yang lain menimpali.

“Kamu yang selesaikan ya Vin, pastikan dia lenyap di depan kita”

Kevin hanya terdiam melihat bagaimana New berteriak dan memanggil-manggil di dalam mobil.

“Mas Tay aku takut…..” New gemetar hebat, ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Seakan nasibnya tak bisa lebih menyakitkan setelah merelakan Tawan, kini hidupnya akan dilenyapkan, apa salahnya? Apa salah bayi yang ada di dalam kandungannya? Adakah dia berdosa meski belum terlahir ke dunia?

Sejak awal harusnya ia tahu kalau ini semua hanya kebohongan belaka, harusnya ia paham kalau Kevin yang selalu mereka tugaskan untuk menyiksanya, lalu ia sadar kalau ini semua memang sudah direncanakan.

“Mas Tay tolong…aku takut” New menangis dalam keadaan tangan yang bercucuran darah karena mencoba memecahkan kaca mobil secara paksa.

“Sekarang Vin” perintah salah satu diantara kedua laki-laki yang memakai masker.

“Maafin aku New” lirih Kevin memantik api.

“Vin aku mohon….jangan Vin, ampun….aku minta ampun” New menyedihkan sekali, memohon sebuah belas kasihan dari seorang iblis yang melakukan segalanya demi uang.

Kedua mata New membulat menyaksikan bagaimana api merambat dan membakar mobil di mana ia terjebak di dalamnya.

“MAS TAYYYYYY…..SAKIIIITTTT AAAAAAAAAKKHH”

New berteriak histeris kesakitan merasakan bagaimana api melahap dirinya hidup-hidup, luka yang ia rasakan kini lengkap sudah, luka fisik dan batin yang mengantarnya kepada kematian.

“AAAAAAAHHHH SAAKIIITTTT” Di sana ada ti

ga iblis yang sedang menyaksikan New terbakar dan merenggang nyawa dengan jeritan kesakitan di tengah kobaran api yang menyambar-nyambar langit.

“M-mas Tay….to….long”

Lirihnya kesakitan ketika menyadari dua orang yang bermasker hitam itu adalah ayah Tawan dan Mild, ia menangis dalam perih diantara hidup dan mati.

“Dorong mobilnya ke bawah Vin”

Perintah ayah Tawan yang membantu mendorong mobil yang masih berkobar agar terjatuh ke dalam jurang.

New tak lagi bisa merasakan tangan dan kakinya, ia sudah pasrah dengan nyawa yang sudah sampai di pangkal tenggorokan. Kedua tangannya menutupi perut bagian bawahnya, di ambang kepasrahan ia masih berharap bisa menyelamatkan janinnya, diantara hidup dan mati ia menjeritkan nama cinta hidup dan matinya, Tay Tawan orangnya.

Mobil yang membakarnya kini bergerak dan terjatuh ke dalam jurang, berguling-guling membuat tubuh New terhimpit tak karuan dengan bara api yang samakin panas. Ia terpelanting dan terlempar keluar dari kaca mobil yang pecah karena tak bisa menahan panas, naasnya ia menghantam di sebuah batu yang memiliki permukaan yang tajam hingga menusuk perutnya.

Di jurang yang gelap nan berkabut ini ternyata memiliki dasaran sungai yang deras dengan bebatuan tajam, New merasakan sakit di sekujur tubuh, perutnya berlubang menganga tertusuk batu hingga ia tak bisa merasakan tubuh bagian bawahnya.

New menangis, mengadu kepada semesta mengapa hidupnya semenyedihkan ini, ia memuntahkan darah dari mulutnya, ia tahu kalau ia tak akan bertahan.

“M-mas Tay, aku tak pernah membencimu….uhukkk” lagi, hanya darah keluar dari mulutnya.

But please when i die don’t say how much you love me and how much you miss me…..” New sedang menghitung sisa waktu yang ia punya, detik demi detik terakhirnya “Because those are the words i want to hear while i’m still alive

Perlahan namun pasti rasa panas dan sakit itu seperti menghilang, pandangan matanya mulai mengabur dari menatap kabut dan purnama, hal terakhir yang ia saksikan adalah seekor burung hantu yang tadi menyambutnya datang kemari kini bertengger di bebatuan, tepat di depannya sebelum ia tewas dan menghembuskan napas terakhirnya.

Gif New lepas kemeja Taynew kissing pakai kemeja putih (DBK) Tawan mukbang kissing New di atas ranjang

Tawan shirtless nelan ludah jakunnya gerak

#Luka 5

Andai selamanya itu ada…

Namun ia bukan, ia adalah dusta yang berlindung dibalik fatamorgana…

Andai selamanya itu ada…

Mungkin di bagian dunia lain kita masih bersama…

Tak ada yang bertahan selamanya…

Karena dunia ini bergerak, berputar, berubah dan berganti karena begitulah siklusnya…

Tawan berlari tunggang langgang begitu keluar dari mobil, amarahnya meledak hingga ke ubun-ubun melihat sebuah pesan yang membuat dirinya merasa dikhianati, ribuan jarum menusuk hingga terasa perih untuk setiap pijakan kaki yang ia ambil.

Pikirannya bergejolak melawan suara batinnya yang mengatakan bahwa New tak mungkin berbuat demikian, hati kecilnya menolak untuk percaya kalau kekasih yang ia bela mati-matian di hadapan Papa dan Mamanya kini tega berselingkuh di belakangnya.

Napasnya memburu, tangannya mengepal kuat-kuat mencoba meredam emosi, persetan dengan jas Dokter yang masih menempel rapi di tubuhnya, ia merasa harga dirinya telah diinjak-injak dan dihancurkan tepat di depan kedua matanya sendiri ketika ia mencoba mempertahankan hubungan dan menolak perjodohan.

Tawan bisa melihat refleksi dirinya di kaca lift, wajah yang sarat dengan rasa kecewa, bibirnya gemetar, jika saja dirinya berada di ujung jurang maka ia akan berteriak sekencang-kencangnya hingga seluruh rasa perih karena kecewa terbuang di sana dan tak akan pernah kembali menyambanginya.

Ia lihat lagi sebuah pesan yang menghancurkan paginya, menghancurkan harinya, menghancurkan dunianya, andai saja ia tak mencinta sehebat ini mungkin ia tak akan merasa sesakit ini. Tawan meremas dada tepat di ulu hatinya yang teriris, mengatur kembali napasnya yang terasa sesak karena jika semua ini benar adanya, maka dirinya harus mengambil sebuah keputusan, sebuah akhir yang tak pernah ia sangka akan datang waktunya.

Begitu pintu lift terbuka, Dokter itu langsung berlari menuju kamar di mana New berada, ia masih berharap kalau semua ini hanya sebuah dusta, hati kecilnya masih menolak dan tak mau percaya, hingga ia sampai dan berdiri tegap di depan kamar dengan nomor 444 denagn tangan gemetar menggenggam kenop pintu.


New merasakan sakit di sekujur tubuhnya, seperti ada kawanan gajah yang menginjak-injak kepalanya, semuanya terasa gelap hingga ia membuka mata dan berangsur mendapatkan kembali kesadarannya. Hal pertama yang New sadari adalah dirinya berbaring hampir polos di atas ranjang, hanya memakai celana pendek yang dibalut dengan selimut tebal menenggelamkannya.

“Aakhh…” New meringis saat ia mencoba duduk, memar-memar yang berwarna kebiruan di perutnya terlihat sangat jelas, lalu semua kejadian mengerikan semalam seperti sebuah film yang ditayangkan ulang satu persatu di pikirannya.

Tubuhnya gemetar hebat, tangannya tremor hingga terasa dingin, kedua matanya menyapu seluruh ruangan dengan tatapan penuh ketakutan, tanpa sadar dirinya tengan berairmata. Hatinya terasa sakit dihancurkan sedemikian kejamnya dengan cara yang tak manusiawi oleh Kevin dan Mild yang menjadi dalangnya, apa yang harus ia lakukan sekarang? Menghubungi Tawan adalah opsi yang paling tepat, maka dengan cepat ia menyambar ponselnya yang ada di atas nakas.

Kedua matanya melotot melihat sebuah foto yang ada di ruang chat-nya, siapa lelaki yang tidur di sebelahnya semalam? Ia tak mengenalnya, lalu bagaimana bisa foto ini terkirim? Detik selanjutnya ia terisak ketika teringat ponselnya dirampas paksa oleh Kevin, juga saat gelap membawanya pergi dengan seluruh merlot yang terpaksa ia telan, semakin diingat semakin sakit.

BRAKKKKK!!!

New terkejut saat melihat Tawan ada di ambang pintu, jika tadi ia ketakutan maka saat ini rasa itu meremasnya hingga menggigil kedinginan.

“Ha…hahahaha mana orangnya?” Tawan tawan tertawa namun terdengar miris menahan tangis setelah mendapati keadaan New yang hampir polos di atas ranjang, kini pikiran dan hati kecilnya tak lagi bisa menolak fakta bahwa kekasih yang ia cinta bermain api di belakangnya.

Dokter itu meledak di dalam ruangan, membanting setiap pintu untuk mencari laki-laki macam apa yang dapat membuat New berhianat kepadanya. Sedangkan New? Ia hanya bisa menangis, dengan mata nanar mengikuti kemana Tawan berjalan.

“MANA ORANGNYA NEW!!! KAMU TEGA SAMA MAS?” Ujar Tawan dengan nada membentak, emosinya tak lagi bisa ia kendalikan.

“Mas dengerin penjelasan aku dulu, aku gak ngelakuin ini mas” Tidakkah New tahu kalau kalimat itu malah membuatnya nampak semakin bersalah?

“MAS HARUS DENGERIN KAMU KAYAK GIMANA NEW? INI KELAKUANMU DI BELAKANG MAS? BAGUS HAHAHAHA”

Tawan melempar ponselnya ke atas ranjang, hampir mengenai badan New yang tenggelam di balik selimut, di sana terpampang foto kekasihnya yang tengah tidur dengan seorang lelaki.

Ternyata ketakutan New akan Kevin dan Mild tak ada apa-apanya dibandingkan dengan ketakutan yang New rasakan saat ini, Tawan yang hampir tak pernah marah dan membentaknya kini naik pitam hingga membuat New tremor hebat, bahkan perawat itu tak lagi bisa menggenggam ponselnya, ia tak punya kuasa.

“Mas aku dijebak mas…aku gak mungkin ngelakuin ini ke kamu, aku cinta sama kamu mas”

“HAHAHAHA BULLSHIT!”

Dokter itu tertawa namun juga menangis di saat yang sama, meremas rambutnya sendiri karena merasa frustrasi.

“Mas Tay tolong percaya sama aku sekali ini saja mas, aku cuma punya mas Tay, kalau mas gak lagi percaya sama aku….” New terisak, pandangannya mengabut karena air matanya tak lagi bisa ia bendung “Aku gak tahu harus gimana lagi” lirihnya penuh dengan keputus asaan.

“Jadi setelah mas lihat dengan kedua mata kepala mas sendiri apa yang kamu lakuin, kamu minta mas untuk percaya? Hahaha jangan gila kamu New, katakan alasan kenapa mas harus percaya sama kamu!” Tawan duduk di tepi ranjang menatap New tajam.

New ingin saja menjelaskan semuanya, ingin memberitahukan Tawan alasan mengapa ia harus percaya dan tak meninggalkannya, karena ada janin yang membutuhkan peran Tawan, ada darah dagingnya yang saat ini masih bertahan di tengah kejamnya dunia yang New tapaki.

“Mas kecewa besar sama kamu, mas menaruh harapan yang tinggi tapi disaat mas perjuangin kamu di depan Papa dan Mama, ini yang kamu lakuin? Begini cara kamu berjuang sama mas?” “Mas dengerin aku dulu” New bergerak mendekat, selimut yang menutupi dirinya kini turun hingga sebatas dada.

Sebuah gelengan diberikan Tawan lalu mendorong New kembali menjauh darinya, hal yang tak disadari New adalah lehernya penuh dengan bekas kemerahan, bekas yang amat sangat Tawan kenal hingga membuatnya enggan bersentuhan lagi dengan New.

“Kalau memang begini apanya yang mau dipertahankan….” Dokter itu berdiri, menarik diri dan meraih ponselnya “Congratulations ini akhir yang kamu inginkan kan?” Tawan menyedekapkan tangannya di dada dengan tatapan tajam, seolah New adalah satu-satunya terdakwa di sini “Mas berhenti, mas gak bisa lagi”

“M-mas….tu….tunggu…” panggilnya dengan derai air mata ketika melihat Tawan berjalan menuju arah pintu.

“Harusnya kamu senang kalau sudah gak terikat lagi sama mas….”

Tawan menoleh ke belakang, melihat keadaan New yang amat menyedihkan “Kamu bisa bebas tidur dengan lelaki manapun yang kamu suka” tuntasnya sebelum meninggalkan New dalam kesendirian.

Membuat perawat itu merasa dirinya adalah makhluk paling hina di muka bumi, rasa perih itu menyergapnya tanpa henti, dicibir sebegitu rendahnya oleh Tawan ternyata seperti ini rasanya, seluruh tubuhnya merasa sakit dan memberontak.

Kerlingan mata itu hilang, hangatnya berubah menjadi dingin yang membekukan, New menangis sejadi-jadinya, memeluk kedua lututnya yang terasa gemetar, tak percaya kalau hari ini kisah mereka telah usai, bukan karena dirinya dan bukan karena Tawan namun karena orang lain dengan obsesi yang mengerikan akan Tawan.

“Mas Tay….aku…aku takut m-mas, aku gak punya tempat pulang la…lagi” ia sesenggukan sembari meraba perut bagian bawahnya, rasanya seperti dilambungkan ke langit setelahnya dihempas ke dasar bumi, perih dan sakit.

Kini Tawan telah pergi, meninggalkan sebuah lubang yang menganga besar di hati. Sepi dan sendiri adalah hal yang harus ia hadapi, dengan janin di perutnya yang masih bertahan hingga detik ini.

Don’t leave me like this…” lirihnya terisak.

Suara tepuk tangan di ambang pintu membuat New terkejut, ia melihat Kevin berdiri di sana “Pertunjukan yang bagus, natural banget haha gue puas lihatnya” Kevin tertawa dan melihatnya dengan tatapan merendahkan.

“Udah jangan sinis gitu ngelihatin gue”

Semakin Kevin mendekat, semakin New bergerak mundur. Sialnya New sudah tak ada ruang untuknya menghindar, di belakang hanya tersisa kepala ranjang.

“Jangan mendekat….aku mohon…aku takut” New kalut karena Kevin malah naik ke atas ranjang dan terus memangkas jarak, apa yang akan Kevin lakukan padanya kali ini?

“Dengerin gue baik-baik…”

“Aaaaaakhhhh” pekik New ketika Kevin berada tepat di depannya dan meremas rambutnya kuat-kuat hingga ia mendongak ke atas.

“Lo cuma noda kecil, lebih baik lo menyingkir sebelum gue bertindak dengan kedua tangan gue sendiri, ngerti!!!”

New menatap Kevin dengan tatapan nanar, ia tengah berderai air mata.

“Gue kasih waktu seminggu untuk lo resign dan jauhin Tawan, selebihnya gue gak nanggung keselamatan lo”

BUGGG!!!

Kevin menghantamkan New ke kepala ranjang dan berlalu pergi meninggalkan New menangis seorang diri.

It’s always been about us against the world that we forgot we have our own world to fight, our own world to deal with, the world where nothing is about us.

So maybe this is the time for us to fight in our own way, and maybe in another life we’ll meet again.

I’ll love my self like i never waiting you to love me again


Tiga hari setelah kejadian itu, New tak lagi pernah berangkat bekerja, ia mengurung diri di kamar meski beberapa teman seperti Metawin, Jane dan Kit mengkhawatirkannya. Sebenarnya New sedang mencoba menyembuhkan diri dari semua luka yang menghancurkannya beberapa hari terakhir, terbangun tiap malam dalam keadaan menangis ketakutan, tubuh gemetar dan merasa cemas ketika sebuah pesan dari Kevin muncul di notifikasi ponselnya.

Tak ada pesan dari Tawan, sepertinya Dokter itu benar-benar ingin hengkang dari hidupnya, tak ada panggilan yang biasa New terima, tidak….semuanya sudah usai. Maka hari ini ia beranikan diri untuk datang ke Rumah Sakit, memungut semua berkas-berkasnya sebelum resmi mengundurkan diri dan berhenti berhadap kalau Tawan akan mendengar penjelasannya.

Ia tak datang mengenakan seragam perawatnya, namun hanya mengenakan hoodie yang terkesan kedodoran, setelah semua hal keji yang Kevin dan Mild lakukan tempo hari, New berencana memeriksakan keadaan janinnya, ia berharap darah dagingnya dalam keadaan baik-baik saja.

Baru saja sampai di pelataran Rumah Sakit, New melihat Mild menatap sinis ke arahnya dan tersenyum penuh kemenangan, perempuan itu mengabaikan keberadaannya dengan berlalu begitu saja. New marah, sangat benci dengan keadaannya yang seperti ini, katakanlah Mild sudah merebut Tawan darinya namun tak perlu melukai bayi yang ada di dalam perutnya.

Langkahnya terhenti ketika ia melihat Tawan di ujung lorong, keduanya sama-sama berhenti, tatapan mereka bertemu namun New menampiknya, tak berani membalas dan memilih untuk menunduk sembari terus berjalan.

“Mas akan menikah dengan Mild beberapa hari ke depan” New berhenti saat berpapasan dengan Tawan, semakin sedih mendengar ucapan sang Dokter.

“Itu bukan kemauan mas kan?” ia memberanikan diri untuk menjawabnya.

“Bukan memang, namun itu merupakan opsi terbaik daripada mas dikhianati dari belakang”

“Aku tak pernah berbuat khianat di belakang mas, andai mas mau dengerin penjelasan aku”

“Jangan memebela diri” Tawan memotong cepat.

New terisak menghapus air matanya sembali memegang perut bagian bawahnya “Pada akhirnya apa yang aku katakan akan mas anggap sebagai pembelaan kan?”

Tawan terdiam, tak mau menjawab karena semua itu benar adanya.

“Kalau begitu selamat mas….” Ucap New dengan bibir gemetar “Aku akan pergi, berhenti bekerja di sini”

“Bagus, bukankah memang seharusnya begitu? Namamu sudah tercemar di sini, kabar itu sudah menyebar kemana-mana kalau kamu….”

“Tidur dengan orang lain?” New tertawa lirih namun dadanya terasa sesak, bahkan ia harus meremas dadanya sendiri.

“Kalau kamu memang masih punya malu pergilah sekarang” Sahut Tawan dingin, tanpa lagi mau menaruh peduli.

“Kira-kira siapa yang menjadi antagonis dan protagonisnya mas?”

“Maksud kamu?”

“Mas tak perlu menjawabnya sekarang, biar waktu yang memberitahu mas tentang kebenaran yang sedang dibungkam”

New melanjutkan langkahnya, menjauh dari Tawan yang masih mematung dan melihatnya dari kejauhan.


New periksa, janin masih oke.


Kedua matanya menatap Mild tajam saat keduanya berpapasan di sebuah lorong, Mild tersenyum di ujung lorong, senyum licik penuh kemenangan dan kecongkakan.

“Beruntung juga kandungan lo masih selamat….” Ucap Mild pelan saat mereka bersebelahan “Harusnya lenyap hari itu juga karena kalau terlahirpun juga tanpa Ayah kan? hahaha” sebuah tawa kecil membuat New berhenti berjalan.

“Di dunia yang penuh persaingan ini harusnya lo sadar di mana kaki lo berpijak, lo cuma noda kecil yang gak berarti di depan mata gue” lanjut Mild membuat rahang New bergemeletukan.

Well, tapi gue udah tenang sih karena gue sama Tay akan menikah sebentar lagi…segera kemas seluruh barang lo dan angkat kaki dari sini…udik, miskin, kampungan”

PLAKKKKK!!!

AAAAAHHHHHHHH

Untuk pertama kali New menampar Mild sangat keras hingga perempuan itu terjatuh di lantai, tangannya gemetaran, matanya menaruh benci yang luar biasa kepada Mild yang selalu berbuat semena-mena.

“Gue diam bukan berarti gue kalah, andai mas Tay tahu perbuatan keji lo selama ini”

“Astaga Mild sayang kamu kenapa?” sang Mama datang dari kejauhan bersama Tawan dan langsung membantu Mild berdiri.

“Ini Ma, dia nampar aku kenceng banget sampe aku jatuh”

“Kamu….perawat itu kan? gak tahu diri sekali ya kamu, sudah saya kasih kesempatan untuk bekerja di sini tapi kamu berani nampar anak saya? Pergi dari hadapan saya sekarang juga!!!” sang Mama murka dengan nada membentak sembari menunjuk-nunjuk New untuk segera lenyap dari hadapannya.

Tawan menatap tak percaya ke arah New “Benar mungkin kalau selama ini mas salah memilih, ternyata begini sikap kamu di belakang mas selama ini?”

New tak bergeming, ia membalas tatapan Tawan dengan mata yang nanar menahan air mata, hatinya sakit seperti ada ribuan jarum yang menusuknya.

“Sini kamu” Tanpa ba bi bu, Tawan menyeret New menjauh dari lorong, membawanya keluar menuju lobi Rumah Sakit.

“Aku gak minta mas percaya dengan apa yang aku katakan, karena setelah apa yang terjadi gak akan bisa merubah persepsi mas tentangku kan?” lontar New dengan langkah terseret karena cepatnya kedua kaki Tawan berjalan.

“Kamu tahu itu, jangan buat mas membencimu dengan memperlihatkan bagaimana kamu menyakiti Mild seperti tadi”

Keduanya menjadi pusat perhatian, beberapa perawat dan pengunjung di bagian farmasi melihat bagaimana seorang Dokter yang menyeret keluar seorang perawat yang diberhentikan secara paksa.

“Aaaakkhhh tanganku sakit mas” keluh New saat genggaman tangan Tawan berubah menjadi remasan yang kencang.

“Kamu pantas mendapatkannya”

“Mild pembohong mas, semua ini ulah Mild dan Kevin, aku dijebak sama mereka berdua mas” ungkap New sembari mencoba berkelit dan melepaskan tangannya namun Tawan terus menyeretnya keluar.

“Jangan salahkan orang lain atas hal menjijikan dan memalukan yang kamu lakukan, begini rupanya sikap aslimu....kamu antagonisnya New”

Tawan menarik New kuat-kuat dan mendorongnya keluar Rumah Sakit hingga terjatuh di tanah, juga menjawab pertanyaan yang New berikan ketika mereka berpapasan di lorong.

“Aaaaakhhhh” tak ada yang bisa New lakukan selain berderai air mata, satu-satunya orang yang ia percaya dan ia punya kini tak lagi mau mendengarkannya.

“Pergi dan jangan pernah kembali lagi, padahal sebelumnya mas berniat memberimu undangan pernikahan. Namun setelah melihat apa yang kamu lakuin tadi, rasa-rasanya kamu gak perlu bersusah payah datang ke pernikahan mas”

Usir Tawan berbalik dan meninggalkan New sendirian, tanpa mengucap pamit dan tanpa menengok untuk kedua kali.

Dengan susah payah New berdiri, memegang perut bawahnya yang terasa nyeri, membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di pakaiannya.

“Gapapa ya sayang, gausah takut karena kamu masih punya Papa yang gak akan ningalin kamu” ringisnya menahan sakit dengan kedua tangan yang mencoba menghapus air mata.

Ia berjalan seorang diri, dengan hati yang hancur dan berderai air mata, ia putus asa. Tanpa sadar ada seseorang yang meperhatikannya, mendengar bagaimana New membeberkan apa yang Mild dan Kevin lakukan, untunglah Tawan tak lagi mau percaya.

“Gue udah bilang dari awal kalau keselamatan lo bukanlah sebuah jaminan” lirihnya melipat kaca mata hitam yang ia kenakan.


Kosan ini sepi, di sini hanya ada New sendirian di dalam kamar ketika perawat yang lain tengah sibuk bekerja.

Tok! Tok! Tok!

Siapa yang bertamu? Tawan? Ah tak mungkin, rekan-rekannya juga masih berada di rumah sakit.

“Iya? Siapa?”

KLEKKK

Begitu New membuka pintu…

BAMMMM!!!

“Aaaaakhhhh”

Kevin datang dan langsung melayangkan sebuah bogem mentah ke wajah New hingga terhuyung beberapa langkah ke belakang dan berakhir tersungkur di lantai, dengan cepat Kevin melangkah masuk dan mengunci pintu rapat-rapat dari dalam, ia menghirup lintingan tembakau yang hampir.

“Berani-beraninya lo beberin itu ke Tawan huh? nyari mati lo?” Kevin tak memberikan kesempatan New untuk berbicara, begitu New mencoba berdiri dengan kedua kakinya, maka dengan cepat ia mencekik leher New dan ia pojokkan ditembok.

“Hnnghhhh Ke..vin…sa…kit”

Kedua tangan New berontak untuk melepas cekikan yang sangat kuat di lehernya, kedua kakinya mulai melayang tak lagi menyentuh lantai. “Gue ingetin sekali lagi little fucker…..huuuffffff” Kevin menghisap sisa rokok terakhir lalu menghembuskannya tepat wajah New, kedua matanya melotot tanda ia tak main-main dengan ucapannya “Jangan main-main sama gue, jangan bikin kesabaran gue habis”

“Aaaakkhh uhuk-uhukkk”

“Tugas lo di sini belum selesai, setelah lo keluar dari Rumah Sakit, lo juga harus benar-benar keluar dari kehidupan Tawan…tsk! Sial kenapa gue juga yang harus mastiin ini”

“Lepasin Vin aaakhhh aku….aku mohon” New sudah lemas, ia hanya memohon sedikit belas kasihan dari Kevin.

BRUKKK

Begitu saja, tubuh New ambruk di lantai ketika Kevin melepas cekikannya, suara panggilan ponsel bordering nyaring dari ponsel Kevin.

“Ssssstttttt, sedikit aja lo bersuara, itu artinya…” sekutu Mild itu memberi isyarat leher yang dipenggal dengan jari, sebuah ancaman telak agar New tak berontak “Diem di sini baik-baik” kejam? Tentu karena yang selanjutnya Kevin lakukan adalah menginjak kepala New dengan sepatunya sementara ia menjawab panggilan telepon.

“Iya Citra, kenapa?” mata tajamnya melihat ke bawah, tepat di wajah New yang terlihat pasrah di bawah injakan kakinya.

“Iya mas beliin untuk Citra dan dedek bayi yang ada di perut kamu ya abis ini sayang”

KLIK

“Sama satu lagi”

“Aaaahhh Vin udahh, sakit semua badanku” Kevin menekan injakanya kuat-kuat hingga membuat New semakin merasa kesakitan.

“Jangan pernah berharap nunjukin muka lo di pernikahan Tay sama Mild, paham? Karena lo akan pergi sama gue ketika hari itu tiba dan jangan pernah berpikir lo bisa melarikan diri dari gue….hahaha gak akan bisa”

Kevin menarik diri dan menyudahinya, ia bergerak keluar menuju pintu.

“Kamu mau bawa aku kemana memangnya Vin?” New duduk di lantai, membersihkan kotoran yang menempel di wajahnya juga merasakan sakit di lehernya.

“Asal lo nurut, lo gak akan gua apa-apain. Gue cuma akan bawa lo keluar kota jauh dari kehidupan Tay dan Mild, di sana lo bisa mulai kehidupan lo yang baru dengan anak haram yang ada di perut lo itu” Cacian yang cukup menyakitkan untuk New dengarkan sebelum Kevin keluar dan membanting pintu hingga ia tersentak ketakutan.

Ternyata tak cukup dengan mengalah dan membiarkan Tay menikah dengan orang lain, bahkan keberadaannya di muka bumi saja dianggap ancaman oleh mereka yang menganggapnya noda untuk dilenyapkan.