JeJeJJ

Menelisik beberapa masa ke belakang.

“Badanku agak gak enak mas, seharian gak nafsu makan” Keluh New begitu mereka sampai di pelataran kosan, sudah menjadi kebiasaan Tawan mengantarnya pulang meski jarak antara Rumah Sakit dan kosan cukup dekat, bisa dijangkau dengan berjalan kaki.

“Tadi udah makan?”

“Mmhhhhh udah tapi dikit”

New menggeliat, mencoba lepas dari kantuk yang menjeratnya saat punggung tangan Tawan menyentuh bagian dahi untuk memeriksa suhu badannya.

“Enggak demam, kamu kurang istirahat aja ini”

“Iya mungkin”

Jawab New sekenanya sambil memijit bagian kepala yang terasa pusing, ia membiarkan Tawan melingkarkan lengan di pinggangnya saat mereka berjalan menuju kamar, sang Dokter memberikan sebuah kecupan di pucak kepalanya, sedikit membuat New tenang karena memiliki Tawan yang selalu ada di sisinya.

“Mas Tay mau langsung pulang?”

New berhenti mematung saling berhadap-hadapan dengan sebuah senyum manis yang melengkug di kedua sisi bibirnya.

“Mas temenin kamu bentar di dalam”

Surai hitam si perawat dikacaukan oleh sang Dokter, lengkap dengan sebuah peluk hangat yang Tawan berikan dan membiarkan New melepaskan seluruh lelah yang dirasa.

“Ayo masuk biar kamu bisa lekas istirahat” ajaknya dengan nada suara yang lembut, tanpa berpikir dua kali, Tawan membawa New dalam gendongannya dan membaringkannya di atas ranjang.

“Nanti mas kemalaman pulangnya kalau nemenin aku di sini”

New terbaring di atas ranjang, sedangkan Tawan duduk bersandar di kepala ranjang tepat di sebelahnya.

“Enggak….sini”

Dokter itu menepuk-nepuk pahanya dan membiarkan New terbaring di sana, ia membelai rambut New beberapa kali sembari tersenyum melihat sang kekasih yang dengan mata sayu yang menandakan kantuk mulai menghampiri.

“Malam ini istirahat yang cukup, besok shift malam lagi kan?”

New hanya mengangguk sebagai jawaban, ada hal yang sedang merajai pikirannya saat ini dan ia ingin memastikannya esok hari.

“Mas….” panggil New lirih agak mendongak untuk menatap Tawan yang membelainya lembut.

“Iya sayang…kenapa hmm?”

Yang lebih tua berhenti dari aktivtasnya membelai rambut untuk mencubit pelan hidung yang lebih muda hingga sebuah tawa kecil mewarnai kamar mungil ini. Senyum seindah bulan sabit terlihat jelas di wajah manis New.

“Mas gak akan ninggalin aku kan?”

Alis Tawan mengernyit, mengapa tiba-tiba New melontarkan pertanyaan seperti itu?

“Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” tanyanya heran sembari kembali membelai New dalam buaiannya.

“Enggak” sebuah gelengan New berikan dan sebuah senyum yang sulit Tawan artikan “Aku cuma punya mas Tay di sini, duniaku yang sekarang cuma mas Tay, aku gak bisa bayangin jika suatu hari nanti mas ninggalin aku…ninggalin duniaku yang sudah sepi ini”

“Ssssshhh kok gitu ngomongnya? Jangan pernah berpikiran seperti itu, karena hari itu tak akan pernah tiba sayang” Tawan menunduk dan mengecup kening New untuk beberapa detik lamanya, menyalurkan seluruh rasa cinta dan afeksinya terhadap makhluk manis yang berhasil mencuri hatinya, memberikan sebuah rasa aman dari semua gundah yang New rasa.

Keduanya terpejam, menikmati keintiman yang selalu terasa menghangat di hati, kedua tangan New bergerak merambat secara perlahan di wajah Tawan. Meniti dan menikmati setiap relief rahang yang tegas dan terus bergerak menuju tengkuk untuk ia tekan dan menautkan bibir mereka.

Tautan yang membuat New menjadi manusia paling bahagia, tautan yang mengingatkannya terhadap cinta dan janji yang mereka miliki untuk menghadapi dunia bersama-sama. Semua rasa takut dan gundah itu hilang entah kemana perginya, ia tak takut lagi, Tawan selalu membuatnya merasa aman, Tawan membuatnya memiliki rumah untuk berpulang.

“Udah gak khawatir lagi kan?”

Ujar Tawan setelah tautan mereka terlerai, ia mengenali rona merah muda yang mulai mematangkan warna di kedua pipi kekasihnya.

Sebuah anggukan malu-malu ia terima, rasa cinta yang mereka punya masih sama, tak pernah berubah sedikitpun sejak hari pertama mereka berjumpa, semkain membuncah sejak ia menyatakan cintanya.

“Mas boleh minta sesuatu gak? satuuuu aja”

Pinta New dengan kerlingan matanya yang membuat Tawan luluh dan melebur, memangnya sejak kapan seorang Tay Tawan bisa menolak permintaan sang kekasih?

“Boleh, mau apa? Dipijit kepalanya?”

Dokter itu langsung mempraktekkannya dengan memijit-mijit bagian kepala kekasihnya.

“Bukan hahaha…bukan masss” New tertawa, ia kegelian tiap kali jari-jemari Tawan menyentuh area lehernya yang sensitif.

“Hahahaha mau dipijit kakinya iya? Sini mas pijit” Suara tawa mereka menggema ke seluruh ruangan mungil yang bersaksi betapa bahagianya sepasang kekasih yang sedang memadu indahnya cinta. Alih-alih meraih kaki New, kedua tangan Tawan malah menggelitiki perut si manis hingga tertawa bersama-sama.

“Hahahaha masss….udah ahahahaha geli tau” New terengah-engah, mengatur napasnya sembari merasakan senyumnya semakin melebar.

“Aku cuma pengen dinyanyiin mas aja, sebagai pengantar tidur, boleh ya?”

“Masmu ini gak pandai nyanyi dek”

“Gapapaaaa, pengen dinyanyiin lagunya terserah apa aja deh tapi sambil dielus-elus gini kepalanya. Boleh kan?”

Tawan terkekeh mendengar permintaan New kali ini “Boleh sayang..sini cari posisi yang enak” ia mulai membelai surai hitam kekasihnya dan mulai bersenandung.

“Matahari terbenam hari mulai malam…”

Suara lirih sang Dokter membuat New mulai terlena dengan kantuk yang mulai menyambanginya, ingin saja ia bertanya mengapa Tawan menyanyikan lagu anak-anak untuk dirinya. Semasa ia kecil dulu, ia pernah menyanyikan lagu yang menceritakan si burung nokturnal yang dikenal dengan kemampuan membalikkan kepala 180 derajat itu.

“Terdengar burung hantu suaranya merduu…”

Tawan tersenyum melihat New yang mulai mengolet dan memejamkan mata, ia masih membelai dan membawa New dalam buai.

“Ku ku….ku ku….ku ku kuku ku ku…”

Jemarinya menyentuh wajah insan yang amat ia cinta, mengamati setiap detil yang membuat hatinya berdebar-debar ketika melihatnya, detil yang membuat buncah rasa itu selalu meluap-luap dan membuatnya menjadi manusia paling beruntung karena berhasil memiliki hati seorang insan yang sudah lama ia cinta.

“Ku ku….ku ku….ku ku kuku ku ku…”

Bait terakhir berhasil ia nyanyikan bersamaan dengan New yang sudah terlelap, napasnya berhembus teratur, si manis sudah lena dalam tidurnya.

“Jangan pernah khawatir ya? mas gak akan ninggalin kamu sayang” bisiknya pelan sembari menggeser duduknya dan mengganjalkan bantal di kepala si manis yang tadi bersandar di pahanya.

I love you, i really do

Tandasnya dengan sebuah kecup singkat yang manis di pipi New sebelum menutup kembali pintu kamar yang memupus pandangannya akan sang kekasih.


New hamil pagi-pagi, ngecek. Dia juga mastiin ke rumah sakit tanpa sepengetahuan Tawan. Diajak ke pesta ulang tahun kedua orang tua mild, tay ngajak New tapi New insecure karena cuma perawat. Akhirnya New mau, dikenalin ke kedua orang tua mild, mereka gak suka sama New. Kevin buntutin New dan nyulik New di bawa ke hotel untuk dicekokin bir.


New terdiam selama beberapa saat, menatap bukti-bukti yang tak bisa ia bantah lagi, bahwa semua tanda-tanda itu memang mengarah ke sana. Bahwa ia tengah hamil, ada calon ruh yang akan ditiupkan di dalam perutnya.

Pikirannya kalut, badannya gemetar, bagaimana cara memberitahu kepada Tawan? Bagaimana kalau kekasihnya tak setuju untuk memiliki momongan? Ah kejauhan, New sedang berpikir apakah hubungan keduanya akan direstui? Mengingat ia hanyalah seorang perawat yang beruntung bekerja di Rumah Sakit.

Tanpa sadar ia menangis, sendirian. Mengabaikan pesan-pesan singkat yang dikirimkan Tawan, ia tahu kalau Tawan akan menerimanya, tapi dengan tersanjung restu dari keluarga? Ragu mulai merajai pikirannya.

Ia menghapus air matanya, memakai jaket, masker dan pergi ke rumah sakit pagi-pagi buta, bukan untuk bekerja namun untuk memastikan kandungannya.

New berkeringat dingin, di sini banyak orang-orang penting, lebih gugup saat melihat ke dua orang tua sang kekasih dengan berbincang dengan kedua founder RS, mereka nampak akrab selayaknya sahabat lama.

Ia juga melihat sosok cantik yang melihatnya tajam, penuh tatapan ketidaksukaan, ia tahu kehadirannya di sini diluar prediksi, ia tahu kalau kehadirannya tak diinginkan.

Ia ketakutan, tangannya gemetar, namun Tawan menggenggam tangannya dan berbisik “Jangan takut ya, mas ada di sini” cukup sebuah kata pender sederhana yang membuat New yakin kalau ia tak sendiri.

Hanya sebuah acara ulang tahun memang, namun dirayakan di sebuah hall hotel ternama, New tak terkejut karena mereka semua orang beruang. Ia hanya bisa menebar senyum canggung yang mulai menyakiti kedua pipinya yang terasa pegal.

“Malam Ma... Pa” Tawan menyapa kedua orang tuanya, mereka hanya tersenyum dan melihat heran ke arah New yang ada dalam gandengan Tawan.

“M-malam Om Tante” New memberi salam sopan, juga senyumnya yang masih melengkung seindah purnama.

“Udah datang kamu Tay”

“Iya Om, Mild mana Om?”

“Itu Mild” Papa dari Mild itu menatap tak suka ke arah New, sebanyak rasa ia ingin memecat dan menyingkirkan noda kecil di rencana besarnya.

New hanya bisa menunduk ketika mendapat tatapan itu, tatapan penuh meremehkan, tatapan merendahkan, tatapan yang membuatnya merasa tak seharusnya ia berada di sini.

“Eh Tay, udah dari tadi ya?” Mild datang, ia tersenyum namun langsung pudar ketika melihat siapa sosok yang Tawan bawa dalam genggaman tangannya, tatapannya sinis dan tak suka.

“Enggak, baru aja datang kok ini sama New” Tawan memperkenalkan New dengan rasa bangga.

“Eh ummmm... Se-selamat ulang tahun ya Mild” New bermaksud untuk berjabat tangan namun beberapa detik lamanya tangannya hanya menggantung bebas, Mild tak bermaksud sama sekali untuk membalasnya.

“Pa kayaknya kemarin ada yang salah ngasih undangan ya? Kan yang diundang cuma Dokter, bukan PE.... RA... WAT” jelas Mild menyindir, New semakin berkecil hati, ia tahu siapa dirinya tanpa harus dijelaskan seperti itu.

“New datang sama gue kok Mild, gue yang mau dia nemenin gue di sini”

“Ohhh okay, sebenernya di sini kurang tenaga waiter juga sih” Mild menyindir, tentu itu untuk New.

“Oh iya Tay, Papa sama Mama ada yang mau disampaikan sama kamu. Mumpung semuanya udah berkumpul di sini kan.... Sekalian aja”

“Tay juga ada yang mau disampaikan, kebetulan sekali”

Jantung New mau meledak rasanya, ia sudah bisa membayangkan kekacauan apa yang akan terjadi, mungkin aja muka-muka terkejut, tatapan menghina? Ahhh ia ketakutan setengah mati.

“Jadi gini Pa Ma.... Tay sama New sebenarnya udah pacaran”

Diam dan sunyi, tatapan terkejut jelas terpatri, New menggigit bibir bawahnya sendiri hingga ia bisa merasakan rasa darah di lidahnya, ini yang ia takutkan, adalah sebuah penolakan.

“Dan Tay berencana menikah dekat-dekat ini”

Jika tadi jantungnya berdegup dengan kencang, detik ini juga rasa-rasanya jantungnya judah melompat ke lantai karena saking terkejutnya.

Semua mulut ternganga mendengar perkataan Tawan, New juga terkejut setengah mati hingga kedua lututnya lemas. Ia tahu kalau ini adalah sebuah akhir baginya, ia tahu kalau cepat atau lambat Tawan akan meninggalkannya, tapi tidakkah harusnya Tawan berbaik hati memberikan waktu untuk menikmati sisa waktu yang ia punya?

Tak perlu membakar tungku api untuknya seperti ini.

“Ehem..... Maaf saya permisi dulu” kedua orang tua Mild langsung hengkang begitu saja begitu mendengar ucapan Tawan.

Begitu juga dengan Mild yang langsung berlalu pergi tanpa meninggalkan sepatah kata apapun.

“Tay.... Kita perlu bicara dulu sayang” ajak sang mama menatap New tajam. New hanya bisa menunduk, ia bagaikan sebuah noda di baju yang putih bersih.

“Tay udah yakin Ma, keputusan Tay udah bulat”

“Enggak, selera kamu gak mungkin kayak gini... Ayo kita bicara dulu” sang Papa menariknya menjauh dari New.

Detik itu juga New merasakan bagaimana langit runtuh di atas kepalanya, rasa kosong luar bisa yang melubanhi hatinya, sebuah penolakan tak langsung yang menyakitinya, juga sebuah janin yang ada di perutnya.

New mengatur napasnya yang sesak diantara buffet yang berisi penuh dengan Merlot, cairan fermentasi itu sengaja disuguhkan di sini.

Di tengah keramaian, seorang New hanya bisa diam. Di tengah bisikan-bisikan yang membicarakannya, New hanya bisa menunduk menahan tangis.

“Mau wine?” seseorang menawarkan segelas wine untuknya, ia tak asing dengan lelaki ini, ia sering melihatnya di rumah sakit bersama kedua orang tua Mild.

“Makasih, tapi enggak”

“Sedikit saja”

Orang itu memaksa, seakan tahu kalau New tengah menghindari minuman ini.

“Enggak makasih” tolak New halus sembari mendorong segelas merlot yang ditawarkan.

“Btw nama gue Kevin”

New terdiam sebentar...

“I-iya, aku.... Aku New”

“Lo perawat di Rumah Sakit kan?” bidik Kevin dengan memberikan penekanan di kata perawat.

New mengangguk, ia merasa tak seharusnya ada di sini jika hanya untuk direndahkan.

“Permisi, toilet di mana ya?”

“Oh mau ke toilet, ayo gue antar” Kevin menaruh segelas wine dan memasukkan sebuah kain di sakunya.

“Ayo katanya mau ke toilet, ikutin gue aja di sini luas banget nanti lo ilang”

“I-iya” New hanya bisa mengekor dan melirik ke arah di mana Tawan sedang berbicara dengan kedua orang tuanya, di sana ia melihat sang kekasih yang sedang meremas rambutnya kalut, ia sudah tahu jawabannya tanpa harus berharap lebih.

New terus mengekor, namun kemana arah lelaki yang bernama Kevin membawanya? Mereka malah berada di lorong hotel dan menjauh dari keramaian.

“Masih jauh ya?”

“Enggak kok, di ujung.lorong sana toiletnya”

Mereka sampai, New celingukan untuk memastikan, ini bukan toilet, ini sebuah kamar hotel.

“Maaf tapi kayaknya bukan di sini” New baru saja akan berbalik namun Kevin mengunci pintu dari dalam.

“Apa bedanya? Lo bisa pake toilet di kamar ini”

“E-enggak, aku rasa kurang sopan, aku pakai toilet umum aja” New berjalan lurus menuju pintu namun tangan Kevin lebih dulu meraihnya dan melemparnya hingga terpelanting di atas ranjang.

Kepalanya pusing terasa berputar, pandangannya mengabur.

“Bikin kerjaan aja lo sama anak haram yang ada di perut lo ini”

New baru saja akan menjerit minta tolong, namun Kevin membekapnya dengan sebuah kain yang membuatnya perlahan melemas dan tak sadarkan diri.

“Udah sadar lo? Hahaha orang udik gak tau diri”

New terbangun dengan keadaan tubuhnya terikat di lantai, ia tak bisa bergerak sama sekali, mulutnya disumpal oleh kain yang membuat jeritannya tak terdengar, ia hanya bisa berdoa dalam hati berharap ada sedikit belas kasih untuknya.

“Lancang lo ya datang ke acara gue... ckck udah gitu apa tadi? Lo mau nikah sama Tay? Hahahahaha”

Mild dan Kevin tertawa lebar, menikmati detik demi detik menghancurkan mental New dari dalam.

“Gak akan gue biarin bangsat!”

“HMMMMMHHHHHHHHHH”

New menjerit tertahan, matanya melotot, tubuhnya mengejang kesakitan saat Mild menginjak-injak bagian perut bawahnya, tepat di mana sang janin berada.

'Mas Tayyy, sakittttt' jerit New dalam batinnya, ia menangis seiring rasa sakit yang menyerapnya tanpa henti.

“Gue tahu lo hamil anak Tay kan? Mampus nih rasain bangsat” Mild tak berhenti, ia tambah brutal.

“Sini gue bantuin, biar mampus sekalian bayinya”

New tambah menjerit saat Kevin ikut campur, menginjak – injak perutnya, mencoba menggugurkan kandungannya secara paksa.

'Maasss...... Sakiitttt' jeritan batin itu adalah bentuk keputusasaan seorang New yang sudah pasrah dengan hidupnya.

Kedua iblis berwujud manusia itu tertawa ketika melihat New mengejang kesakitan, air mata kekasih Tawan itu menjadi satu-satunya saksi atas sakitnya penyiksaan yang sedang ia hadapi.

“Boleh juga kandungan lo ya haha” Mild tertawa bengis, ia menendang perut New kuat – kuat sampai rasa remuk redam menyergap New tanpa belas kasih.

DUGGGGGG!!!

Sebuah tandangan sangat keras membuat New tak tahan lagi, ia menggigit kain hingga melukai bibirnya sendiri dan berdarah, rasa sakit yang amat sangat membuat dirinya mengejang kesakitan, ia ingin memohon belas kasih kedua orang ini namun ia tak bisa, ia tak mampu.

“Gak ada pendarahan” Kevin memeriksa tubuh New dan memang benar, tak ada pendarahan, padahal keduanya yakin harusnya janin itu sudah lenyap dengan perlakuan mereka yang kasar.

“Gimana? Plan B?” lontat Kevin menduduki perut New yang sudah memar membiru.

“Oke, wait gue ambil barangnya dulu”

New tak tahu apa yang akan terjadi, ia melihat Mild keluar hanya dari sekelibat di balik punggung Kevin yang sedang menduduki perutnya, sakit? Jangan ditanya, ia tak pernah merasa sesakit ini selama hidup.

“Nih, cekokin ke perutnya sampe habis”

Lima botol Merlot ada di lantai, New tak tahu apa yang akan Mild dan Kevin lakukan.

PWAHHHH

Kain yang menyumpal mulutnya dilepaskan.

“Aaaaaa sakitttt” New menangis dan menjerit sejadi-jadinya, bibirnya yang berdarah membuatnya semakin perih.

“Diem lo!” Mild menangkup wajah New dengan kedua tangannya.

“Sekarang cekokin, sampe abis”

“Gak ma.... glek.. glek... glek”

“Hahahah mampus lo”

“Hoekkk.....” New memuntahkannya, ia tak mau janin yang ada di perutnya tersiksa dengan cairan fermentasi itu.

“Berani ngelawan huh?”

BUGGGGGG

“AAAAAAAAAA”

Jerit kesakitan ketika Kevin memberikan tinju di perutnya, tak selali dua kali namun sampai membuat kakinya merasa dingin.

“Gue suruh lo telan wine ini tolol”

“Ummmmhh glek glek”

New hanya bisa menangis dan pasrah apa yang akan terjadi padanya kelak. Saat botol terlahir itu membuatnya tak sadarkan diri, ia tahu kalau ia tak akan merasa sakit lagi.

'Mas Tay.... maaf' batinnya sebelum gelap membawanya pergi.

Hitam, sarat dengan duka dan kesedihan. Hitam, pertanda kehilangan. Jerit tangis dan isakan bisa menjadi pelampiasan. Namun New pernah melewati itu semua sendirian, dalam diam.

Kevin terduduk lesu melihat peti mati sang istri, hatinya hancur berkeping-keping melihat jasat yang tak lagi utuh dilahap api, tak ada hal yang bisa menggambarkan suasana hatinya.

Matanya tak lagi bisa mengeluarkan air mata, ia kering kerontang, sudah habis sejak mendampingi sang istri di dalam ambulance, sudah mati rasa sejak menyadari Citra pergi untuk selama-lamanya.

Jika diibaratkan, ia adalah sebuah botol kosong di tengah gurun pasir yang menunggu datangnya hujan, ia tahu kalau selamanya akan menjadi musim kemarau baginya, dalam kesepian dan kesendirian.

“Vin…”

Seseorang menepuk pundaknya, mengembalikan jiwanya yang sesaat tadi hilang entah kemana.

“Tay….”

“Yang sabar Vin”

Tanpa pikir dua kali, Dokter itu memeluk sahabatnya erat-erat, membiarkan Kevin rapuh dalam rengkuhnya. Rasanya baru kemarin sepasang suami istri itu kehilangan si buah hati, siapa sangka kalau hari ini Citra pergi dan tak kembali.

“Citra gak sayang gue Tay, dia pergi duluan…”

Lirih Kevin gemetar, ini adalah fase terendah dalam hidupnya, kejadian bertubi-tubi yang membuatnya terpukul.

“Sssshhh jangan bilang gitu Vin, justru tuhan sayang banget sama Citra”

“Tapi gue juga sayang Citra Tay…tuhan gak adil sama gue”

Tawan hanya bisa menghela napas mendengarnya.

Kekecewaan terhebat adalah saat seseorang menggugat tuhan, padahal kematian adalah sebuah hal yang sudah digariskan.

Namun Kevin ragu, karena kematian istrinya tak terjadi begitu saja, ada seseorang yang menyebabkannya, ada motif dibalik meninggalnya Citra. Ia yakin kalau ini bukanlah kasus kematian yang wajar, namun ini adalah kasus pembunuhan.

Kevin berjanji di lubuk hatinya yang terdalam, atas nama sang istri dan si buah hati bahwa ia akan mengejar dan menemukan siapa pelakunya meski orang itu lari ke ujung dunia. Rasa sakit yang ia rasa berubah menjadi dendam yang menuntut untuk dibalaskan, perih itu bertransformasi menjadi benci.

Beberapa orang termasuk teman dan sanak saudara sudah hadir di rumah duka untuk mendoakan dan mengantar kepergian Citra, mereka duduk di kursi sembari melantunkan doa-doa yang disahuti oleh isak tangis keluarga.

Namun ada seseorang yang berdiri di depan sebuah buffet yang berisikan minuman anggur merah yang memabukkan, botol-botol minuman fermentasi itu sengaja dipajang menjadi sebuah koleksi yang mahal.

Jari-jemari orang itu menyentuh sebuah botol anggur bermerk ‘Merlot’ yang diproduksi tahun 1998, ia tersenyum dan menggenggamnya, meneliti setiap detil botol dan mencocokan apa yang tersisa diingatannya. Iya, orang itu adalah New.

“Tidakkah lo tahu kalau tingkah lo gak sopan sama sekali, udik!!!”

Mild merampas botol merlot dari tangan New dan mengembalikannya ke buffet, tatapan tak suka itu jelas ada di sana, di wajah Mild yang menatap New layaknya sebuah hama yang harus segera disingkirkan. Sebuah senyum melengkung di bibir New, tak menghiraukan apa yang baru saja Mild katakan padanya.

“Senang bertemu denganmu lagi Mild” Sapa New ramah sambil menaikkan kedua alisnya.

“Sudah berapa bulan?”

Tangan kanan New bergerak ingin menyentuh perut Mild yang mulai membola.

“Jangan pegang-pegang, gue jijik sama lo” Mild menampiknya, matanya menyipit menatap New lekat-lekat.

“Tak apa….hanya rasa-rasanya aku familiar dengan merlot ini” tunjuknya pada sebuah botol wine.

“Bukankah ini milikmu Mild? Milik keluargamu lebih tepatnya, bukankah begitu?” ia memegang lagi botol merlot yang menjadi pusat perhatiannya “Diproduksi tahun 1998, rasa-rasanya aku mengingat sesuatu” New tersenyum miring sembari menatap Mild dengan tatapan menyelidik.

“Itu bukan urusan lo”

“Dan sepertinya kamu tahu kalau seseorang sedang hamil tak boleh minum merlot hingga beberapa botol” New mengusap perut bagian bawahnya beberapa kali.

“Gue gak minum”

“Aku tak sedang membahasmu, kenapa kamu takut sekali? Atau…ada hal yang kamu sembunyikan dari Dokter Tawan?” Tukas New cepat disaat jemarinya mengambalikan botol anggur itu di tempatnya.

“Udah gila lo ya, ngelantur gitu omongan lo…gue rasa tempat yang tepat untuk lo adalah rumah sakit jiwa”

Mild berbalik berencana meninggalkan New.

“Sepertinya neraka juga menjadi tempat yang sengat tepat untuk kamu” ada tawa kecil bersama ucap lirih dari cara New merespon.

PLAKKKKKK!!!

Sebuah tamparan sangat keras mendarat begitu saja di pipi New, nampaknya Mild sudah kehabisan kesabaran hingga langsung melayangkan sebuah tamparan sebagai jawaban.

Merka berdua menjadi pusat perhatian, puluhan pasang mata melihat ke arah Mild dan New dengan bisik-bisik heran sebenarnya apa yang tengah terjadi di tengah suasana duka ini.

“Mild kenapa? Jangan kasar gitu, mas gak suka” Tawan datang menengahi, perasaannya tak menentu melihat sang istri menampar seseorang yang pernah berbagi kisah dan lembaran hari bersamanya.

“Jangan belain nih orang udik mas! Emang nih orang suka cari muka, lo balik lagi kerja di Rumah Sakit karena mau ngrebut mas Tay dari gue kan? masih punya muka lo setelah selingkuh dari mas Tay? Ckck gak punya harga diri lo”

Mild mengacung-ngacungkan jari telunjuknya kepada New, menuduhkan semua sumpah serapah dan kebenciannya terhadap seorang lelaki yang berdiri di hadapannya. Bisikan demi bisikan itu semakin jelas terdengar di rumah duka setelah Mild membuka luka lama, luka yang terasa perih tiap kali New mengingatnya, luka yang tak akan sembuh meski New mencoba melupakannya.

“Mild udah sayang…itu masa lalu” Tay melihat New terdiam dengan muka tanpa ekspresi, kedua tangan perawat itu mengepal kuat-kuat, dadanya mengembang dan mengempis, amarahnya ingin meledak.

“Ha…hahaha” New tertawa dan memberikan sebuah tepuk tangan kepada Mild “Jangan sering menunjuk seperti itu Mild, ketika kamu menunjuk satu jari untukku tanpa sadar jari-jari yang lain menunjuk dirimu sendiri”

“Lo….aaaarrghhh”

Istri Tawan itu sudah kehabisan kata-kata menghadapi New, matanya melotot penuh kebencian, tangannya ingin bergerak dan melayangkan tamparan tanpa henti di wajah New yang bengis menatapnya.

“LO LAGI LO LAGI!!!”

Kevin menyeret New keluar, tak ada yang bisa Tawan lakukan selain diam, taka ada yang Mild lakukan selain tersenyum penuh kemenangan.

“Kenapa lo ada di sini huh?”

Todong Kevin melempar New di batas pintu hingga ke teras.

“Bukankah kita berteman baik Kevin? Aku dan Citra bahkan sudah seperti saudara haha, jadi aku juga datang untuk mengantar kepergiannya”

“Kehadiran lo gak diharapkan di sini! dan lo bukan bagian dari kelurga gue, jangan pernah nginjakin kaki lo di rumah gue lagi…ingat itu baik-baik, murahan!!!”

Kevin tersenyum puas dengan caci makinya, kedua tangannya bersedekap di dada, memperlihatkan kepada New siapa yang menjadi tuan rumah dan pemegang aturan di sini.

New mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan, mengontrol emosinya yang sempat tersulut bara api dari mulut-mulut kotor yang mencemoohnya.

“Kamu tahu kenyataannya Vin, tapi kamu diam kan? kamu tahu tak sedetikpun aku berpikir untuk selingkuh dari mas Tay”

Tubuhnya agak gemetar ketika memanggil Tawan dengan panggilan yang ia gunakan ketika masih menjalin hubungan, ulu hatinya serasa ditusuk-tusuk dan terasa sangat menyakitkan, luka hatinya belum sembuh kini ia membukanya kembali.

“Kamu tahu kalau semua yang dikatakan Mild itu tidak benar, tapi lagi-lagi…” New menunduk, merasakan kekecewaannya melebur menjadi debu di lantai “Kamu hanya diam” sebuah tatapan nanar menghujam kevin dalam-dalam, membuat lelaki itu mulai goyah dan disambangi keraguan.

“Dan kamu tahu kalau saat itu aku tengah hamil” New tersenyum mengerikan, suasana di teras benar-benar sepi nan sunyi, tak ada hembusan angin yang membuat dahan pohon bergoyang, semuanya diam seolah sedang mendengar apa yang New katakan.

“K-kemana arah omong kosong lo ini”

“Semoga kita bisa menyelesaikan masalah ini tanpa melukai satu sama lain” Perawat itu tak bergeming, tangannya mengepal kuat-kuat.

“Jadi merlot itu milik siapa? Keluarga Mild kan?”

Kevin diam, tak mau menjawab sepatah katapun setelah bermenit-menit lamanya.

“Tapi sepertinya percuma saja aku bertanya dengan cara baik-baik, apa yang membuatmu bungkam dan diam? Uang? Berapa banyak mereka membayarmu untuk tutup mulut? Kevin, ingat ini baik-baik…..kamu hanyalah seekor babi tua yang tunduk pada perintah tuannya, berbeda denganku yang bebas, aku bebas menentukan takdirku sendiri”

Suami Citra itu tak lagi bisa tinggal diam setelah harga dirinya diinjak-injak di depan seorang perawat yang dulu pernah ia hancurkan. Ia bergerak cepat melayangkan sebuah bogem tepat di wajah New namun tangan perawat itu tak kalah lincah untuk menangkap kepalan tangan Kevin yang mengarah ke wajahnya.

“Apa kamu pikir aku sama dengan New yang dulu huh?” senyum itu melengkung di dua sudut bibir New, lengkap dengan satu alisnya yang mengernyit ke atas dan kepalanya yang bergerak miring.

Does a scorpion sting when fighting back? They strike to kill and you know i will

BRAKKKKK!!!

Kevin terjatuh di lantai begitu New mendorongnya kuat-kuat, perawat itu berbalik dan bersiap menuruni tangga teras untuk pergi, meninggalkan Kevin yang tersulut emosi di lantai rumahnya sendiri.

“Oh iya Kevin….” New berhenti setelah menuruni tiga anak tangga dan menoleh ke belakang, melihat Kevin yang menatapnya penuh dengan kebencian.

“Aku lupa membawa saos BBQ dan jangan sampai dagingnya gosong”

Tubuh Kevin gemetar, amarah sudah memuncak dan membuatnya gelap mata ketika mendengar New merendahkan istrinya yang mati terbakar, penghinaan yang New lakukan tak lagi bisa ia terima.

“Jangan lama-lama bersedih, masih ada Nivea dan Vaseline kok sebagai pengganti Citra haha”

“KEPARAAATTT!!!”

Kevin berlari tunggang langgang menubruk tubuh New hingga keduanya bergulingan di tangga, ia tak terima istrinya disamakan dengan daging panggang dan merk sebuah lotion, kebencian di hatinya sudah menuju titik lebur tertingginya.

PRAKKK!!

BUKKK!!

“MATI LO BANGSAT! MATI DI TANGAN GUE!!”

Kevin membabi buta memberikan pukulan demi pukulan, ia sudah gelap mata, tak peduli apa yang akan terjadi asalkan ia bisa memastikan New meninggal di tangannya.

“Vinnnn, astaga Vin lo kenapa?” Tawan yang menyadari kawannya yang tak kunjung masuk ke dalam dan menyusulnya di luar.

“MATI LO…MATIIIII”

“Vin sadarrr!!!” Tawan buru-buru menyadarkan Kevin dan membawanya kembali ke teras.

“Vin lo kenapa? Kenapa lo nonjokin tangga sih? Lihat, tangan lo berdarah semua”

Sedetik kemudian Kevin tersadar, ia seperti orang linglung, kedua tangannya berdarah memukuli tangga hingga kulitnya terkelupas, tapi ia ingat betul bahwa tadi New ada di sana, tersungkur di lantai dan ia memukulinya membabi buta.

“Lo kenapa jadi kayak bingung gini astaga…ayo masuk, kita obatin luka lo dulu”

Dari kejauhan Kevin bisa melihat New yang sudah ada di luar gerbang tersenyum ke arahnya tepat sebelum New berbalik badan dan berjalaan menjauh.


Jane, New dan Metawin berjalan menembus malam yang dingin, mereka bertiga kebetulan bekerja di shift yang sama, rasa canggung luar biasa ada di sana, membuat Jane dan Metawin enggan bersuara. Hanya suara langkah mereka yang menginjak aspal basah karena hujan menemani perjalanan ketiganya.

“Tadi seharian lo kemana New? Kok gak kelihatan di kos?” Jane buka suara juga akhirnya, ia penasaran dengan perbedaan New yang teman-temannya ceritakan.

“Ke rumah Kevin, kalian tahu kan kalau istrinya meninggal dunia”

“HAH?” Metawin terkejut bukan main, pasalnya ia sempat melihat Kevin yang mendorong kursi roda Citra ketika pulang dari Rumah Sakit tempo hari.

“Yang bener lo New?”

“Iya beneran, kalian gak denger berita ada mobil terbakar di SPBU emangnya?”

“Ohhhh yang itu? Itu Bu Citra? astaga turut berduka cita” Metawin masih tak percaya, rasanya kehilangan terus menyambangi keluarga kecil itu.

“Umur gak ada yang tahu ya” Celetuk Jane memperhatikan kanan dan kiri, mereka akan menyebrang jalan menuju pelataran Rumah Sakit.

BUKKKKKK

“AAAAAA”

Jane berteriak begitu ada seekor merpati yang tertabrak mobil dan tergeletak di pinggir jalan, burung itu kejang-kejang, sepertinya berada antara hidup dan mati.

Mereka bertiga berkerumun dan berjongkok di pinggir jalan melihat merpati itu kejang-kejang.

“Apa masih hidup?” tanya Jane pada Metawin yang menyentuh sayap burung yang nampak patah.

“Kayaknya masih deh, masih bisa sembuh kayaknya”

I’ll help you little bird

New berdiri dan berlalu begitu saja, entah apa yang ia lakukan di saat kedua temannya dengan hati-hati mencoba memindahkan merpati itu ke rerumputan ujung jalan.

Tiba-tiba….

BUKKK!!!

Kedua mata Jane dan Metawin hanya bisa melotot melihat apa yang dilakukan New, sebongkah batako dilemparkan begitu saja mengenai kepala burung hingga hancur tak berbentuk, tak ada lagi kejang di tubuh si merpati cantik, tak lagi bergerak, ruh hewan itu sudah pergi, tak lagi di sini.

“New apa yang lo lakuin? Burungnya mati” Jane berdiri, heran dengan apa yang New lakukan.

“Bantuin burung itu kan?” jawabnya percaya diri.

“Itu gak membantu sama sekali New, padahal dia bisa kita selamatin dan rawat bareng-bareng”

That’s the point, dengan kalian biarin burung ini tersiksa antara hidup dan mati bukankah lebih baik kalau dia langsung mati dengan cepat dibanding harus tersiksa terlebih dulu?”

New mengambil bangkai merpati dan melemparnya ke selokan, tanpa empati, tanpa perhatian dan tanpa kasihan.

“Udah yuk jalan lagi, udah sepi nih”

Ujarnya meninggalkan Jane dan Metawin yang saling melirik satu sama lain, bahwa rumor tentang New yang telah berubah itu benar adanya, bukan hanya sebuah desas-desus belaka.


Ada seseorang yang berjalan sendirian di perlataran rumah sakit, menyembunyikan sebuah benda tajam dengan maksud melakukan pembunuhan terhadap salah satu perawat. Orang itu adalah Kevin, ia merasa sakit hati dan tak terima dengan hinaan yang New lontarkan terhadap istrinya, ia sudah gelap mata, tak lagi berfikir dengan akal sehat dan logika.

Ia berjalan lorong demi lorong mencari keberadaan New, matanya lapar dan jelalatan, haus akan membunuh seseorang, api dendam berkobar dengan ganas di ulu hatinya.

Anehnya seperti tahu kalau Kevin akan datang, seakan paham kalau Kevin akan balas dendam, sosok New berdiri membelakangi Kevin di ujung lorong yang gelap, perawat dengan seragam putih itu hanya diam tak bergeming sedikitpun.

Saat Kevin melangkah untuk mendekat, maka satu langkah juga New ambil untuk menjauh, semakin Kevin berlari maka semakin cepat juga New menghindar. Perawat itu menuju ke salah satu lorong, lorong sepi nan sunyi yang jarang dilewati oleh orang awam.

Dengan perasaan yang menggebu-gebu, Kevin terus berlari mengejar kemana New membawanya pergi, menaiki satu demi satu anak tangga dengan tangan yang mengepal erat-erat, tak sabar untuk ia hantamkan tanpa ampun.

Nafasnya terengah, dadanya mengembang dan mengempis, keringat sebesar biji jagung menghiasi keningnya, tak ia sangka kalau kakinya sudah menginjak lantai rooftop rumah sakit.

Ia melihat New yang berdiri di ujung bangunan, membelakangi dirinya dan sedang mendongakkan kepala melihat bulan purnama.

Saat ia melangkahkan kaki mendekat, sosok New hanya diam dan tak lagi berlari untuk menghindarinya, maka tanpa menyia-nyiakan kesempatan emas, Kevin berlari secepat mungkin dengan mendodongkan pisau tepat di area jantung.

“AAAAAA MATI KAU IBLISSSS”

JLEBBBB!!

Kevin langsung mendorong tubuh New hingga terjatuh dari rooftop, ia merasa puas karena dendamnya terbalaskan membuatnya lega.

“HAHAHAHAHA”

Ia tertawa terbahak-bahak dengan tangan yang menengadah ke langit, purnama yang bersaksi kekejaman Kevin yang terulang untuk kedua kali. Sebuah senyum kemenangan melengkung di bibirnya, perlahan ia berjalan mendekat keujung untuk melihat tubuh New yang mungkin saja sudah menjadi pusat kerumunan di lantai dasar.

Namun apa ini? ia tak melihat New ada di sana, sepi, tak ada badan yang tergeletak di lantai karena terlempar dari rooftop. Matanya mencari ke sana dan kemari namun tak juga ia dapati, ia bingung namun ia yakin sekali sudah mendorong badan New hingga terjatuh dari sini, bahkan ia juga menusukkan pisau tepat di jantungnya.

Suara tepuk tangan yang berasal dari belakang mengagetkan Kevin, jantungnya berdegup lebih kencang saat melihat sosok New sudah berdiri di sana, di dekat pintu menuju rooftop.

“Bagaimana? Sudah puas huh?”

New tersenyum mengerikan sembari memberi tepuk tangan.

“Lo…..” Kevin yang kebingungan hanya bisa melihat New yang berjalan mendekat dan lantai dasar secara bergantian, ia tak percaya dengan apa yang kedua bola matanya saksikan.

“Iblis hmm?” New bergumam, jarak mereka sudah sangat dekat dan saling berhadap-hadapan. “Aku ingin membantahnya…tapi itu benar haha” tawa yang mengerikan terdengar dari mulut sang perawat, ada seekor burung hantu dengan kedua bola mata merah yang hinggap di jari New, perawat itu membelainya beberapa kali sebelum membiarkan makhluk nokturnal itu terbang membelah purnama.

Dengan sekali gerakan New berhasil mencekik leher Kevin dan mengangkat tubuh laki-laki itu ke udara, membuat kedua kaki Kevin tak lagi menyentuh lantai.

“Aaaakkhhh lepaskannn”

“Bukankah aku sudah bilang? Lebih baik kita bekerja sama, katakan siapa orang yang ada di balik semua ini!!” ucap New tegas tanpa keraguan, ia menatap Kevin layaknya burung hantu yang menatap mangsa.

“Jika kamu lupa, maka akan aku ingatkan” kedua rahang New bergemeletukan, amarahnya memuncak hingga mencekik Kevin erat-erat “Aku tak memintamu untuk berbicara tapi aku memerintahkanmu untuk berbicara!!! Kamulah iblis yang sesungguhnya”

New bergerak terus ke depan hingga tubuh Kevin tak lagi ada di bangunan ini, jika saja New melepaskan cekikannya sudah pasti Kevin akan mati dengan badan hancur menghantam bumi dari bangunan tinggi.

“Jika kamu tetap tak mau berbicara dan mengaku maka akan aku gunakan caraku sendiri…lagipula nyawamu tak begitu berarti”

“Aaakkhh to..long.. am…puni…a….ku”

Kevin sudah lemas, nyawanya sudah ada di batas tenggorokan, ia pasrah jika harus merenggang nyawa, ia pantas mendapatkannya atas semua yang pernah ia lakukan kepada New.

“Ha….hahaha lihat baik-baik wajah orang yang pernah kehilangan segalanya!! Ingat baik-baik siapa dia!!” New berteriak, tak memberi ampun “Aku orangnya”

BRAKKKK!!!

“Aaaakkhh uhukk-uhukkkk”

New membanting Kevin di lantai rooftop, sangat keras hingga terdengar tulang-tulang yang patah.

“Aku mohon….ampuni aku New….ampun”

Kevin sangat menyedihkan, ia hanya sedang membayar dan menuai apa yang telah ia perbuat.

“Ikut aku…kamu akan mengaku dan memberitahuku semua yang kamu ketahui”

Tanpa belas kasihan, New meremas rambut Kevin dan menyeret kepala laki-laki itu, tak membiarkannya berjalan karena ia tahu tulang kaki Kevin sudah patah dan ia remukkan.

Seorang perawat berjalan seorang diri menembus gerimis, langkah kakinya membawanya menuju pelataran Rumah Sakit, cukup sepi dan sunyi karena langit sedang bermuram durja dan merajam bumi dengan air matanya, perawat itu adalah New.

Beberapa mobil polisi sudah berjajar di sana, sepertinya Kevin memang tak tinggal diam dengan kematian bayinya, nyatanya sekarang beberapa polisi datang untuk melakukan olah kejadian perkara, New juga melihat beberapa polisi yang sedang berbincang-bincang di lobi, aparat Negara itu pasti sedang menunggu kedatangannya.

Namun yang menarik perhatiannya ketika melewati pelataran Rumah Sakit adalah sebuah mobil yang familiar di ingatannya, ia berhenti melangkah dan berdiri di samping mobil itu untuk memperhatikan detilnya sembari berjalan memutari mobil, hal yang perawat itu sadari adalah keempat ban mobil itu masih tergolong baru, platnya juga terlihat mengkilap dengan akrilik baru yang merefkeksikan cahaya lampu, matanya menyipit dan kedua sudut bibirnya tersenyum karena mungkin saja dugannya benar.

I’ve cleaned enough houses to know how to cover up a scene, you can fool everyone but you can’t fool me

Gumamnya dengan tatapan mata yang nanar, mata penuh kemarahan dan keputus asaan yang tak bisa ia ceritakan kepada siapapun.

Langkah kaki yang mendekat membuat New menyembunyikan dirinya di belakang mobil, ia melirik melihat bayangan seorang lelaki membawa payung yang terlihat di aspal, ia mengenalnya hanya dari siluet hitam yang terus membesar.

“Gue yakin lo pelakunya New! Gue akan buat lo menyesal dan menderita untuk kedua kalinya, lo akan kekal di neraka”

Umpat lelaki yang New kenali suaranya sebagai Kevin sedang membuka pintu mobil dan mengambil beberapa berkas, kemungkinan besar itu adalah berkas milik sang istri untuk melengkapi laporan dan melancarkan penyelidikan.

Sepeninggal Kevin, perawat itu berdiri dan mendongakkan kepala melihat bulan yang disembunyikan awan.

I’ll show you no mercy and i wasn’t letting up until the day you die

New tersenyum menikmati gerimis yang membasahi wajahnya sebanyak air mata yang ia habiskan dalam kesia-siaan sepanjang kehidupan. Perawat itu berjalan meninggalkan pelataran dan langsung menuju lobi, di sana ia langsung dihentikan oleh dua orang polisi, lagi-lagi sesuai dugannya.

“Saudara New? Benar?”

Tanya salah satu diantara mereka.

Sebuah senyum New berikan dan mengangguk, menyembunyikan apa yang sedang ia rasakan saat ini, tak memperlihatkan wajah tegang dan ketakutan, ini adalah kesempatan terakhir yang ia punya, tak akan ia sia-siakan dengan berakhir dibalik perigi tua.

“Bisa ikut kami sebentar? Kami butuh keterangan anda untuk menangani kasus yang terjadi kemarin”

New masih berdiri dan bungkam, ia melirik kedua polisi itu bergantian.

“Seluruh perawat yang terlibat sudah kami mintai keterangan, hanya tinggal anda saja yang belum memberikan keterangan untuk proses penyelidikan”

Dari kejauhan terlihat Metawin berjalan menuju arahnya, ia masih belum berniat mengucapkan sepatah katapun karena tentu saja ia tak menyetujuinya.

“Malam pak, rekaman CCTV sudah didapatkan, bisa kita cek sekarang” Ucap Metawin ngos-ngosan, nampaknya rekan kerja New itu berlarian untuk bisa menuju lantai dasar.

“Saya ikut”

Mereka semua berkumpul, empat polisi, tiga perawat, seorang Dokter dan seorang pelapor sedang melihat dan menyaksikan remakan CCTV di kamar Citra. Bola mata mereka melotot melihat tiap gerak-gerik di tiap detiknya, berbeda dengan New yang tak melihat video itu dan malah melihat ke arah Tawan dan Kevin secara bergantian, seolah perawat itu yakin kalau ia tak meninggalkan jejak dan kecurigaan sedikitpun.

“Tidak terlihat mencurigakan”

Gumam seorang polisi, dalam diam semua orang di dalam ruangan juga setuju. Mereka hanya melihat Metawin yang membentangkan selimut, Kit yang memasang infus dan New yang hanya diam berdiri di dekat jendela selama bermenit-menit lamanya. Bahkan di video itu New tak menyentuh Citra sama sekali, sangat berbanding terbalik dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Metawin dan Kit juga kebingungan namun keduanya hanya bisa diam.

“Kalian hanya buang-buang waktu dengan mencurigaiku”

Suara New memecah suasana, ia berbalik dan keluar meninggalkan ruangan dengan suara langkah tanpa keraguan, ia juga masih sempat melirik ke belakang melihat ekspresi Kevin yang mengeraskan rahang menahan amarah yang amat sangat kepadanya.

Saat New sedang berjalan melewati lorong, ia mendengar suara seseorang yang berlari ke arahnya dengan langkah yang sangat cepat.

BRAKKKK

Sesuai dugaannya, Kevin langsung mengejar dan melampiaskan ketidakterimaannya yang dipatahkan dengan satu-satunya bukti yang lelaki itu punya. Istri Citra itu memojokkan New di dinding dan meremas kerah seragam perawat yang New kenakan.

“Sebuah ucapan selamat malam yang manis sekali….Kevin”

New tersenyum dan tertawa kecil, tangan kirinya menggenggam erat-erat kedua tangan Kevin yang mencekiknya.

“Sepertinya kamu terlihat sangat senang melihatku lagi di sini hahaha” New melengkungkan sebuah senyum yang sangat jauh dari kesan ramah, padahal tak ada hal lucu di sini namun New tekekeh kecil, kedua mata Kevin melotot melihat New yang bahkan tak merasa sesak napas.

“Aku juga senang bisa bertemu kembali denganmu…tak perlu memberiku sambutan meriah seperti ini”

New meremas kedua tangan Kevin erat-erat seperti mau mematahkannya.

“Tidakkah kamu tahu kalau di sana…” sebuah lirikan New berikan di sudut lorong, ada CCTV yang merekam gerak-gerik mereka “Hati-hati dengan perbuatanmu, keadaan bisa saja berbalik dalam hitungan detik”

Sebuah tawa kecil keluar dari mulut New “Aku bisa saja memenjarakanmu dengan video CCTV yang ada di ujung lorong sana Kevin hahaha…dan pastinya bukan mengada-ngada sepertimu” lanjutnya berbisik membuat Kevin meledak.

“Bajingannnn”

Tangannya mengayun keras sekali namun New berhasil menepisnya hingga jemari Kevin menghantam tembok dan darahnya menetes mengotori seragam putih yang New kenakan di bagian pundak.

New menepis tangan Kevin di lehernya dan menendang perut suami Citra itu keras-keras hingga tersungkur di lantai, tatapannya tajam, tatapannya kejam.

“Aku hampir lupa kalau seorang pengecut dan penjilat sepertimu tak berani melakukannya di depan kamera kan?” ia melihat sisa darah Kevin yang menodai pundaknya, menambah pekerjaan saja, begitu pikir New.

“Lucu sekali dunia ini, seorang pelanggar hukum berat sepertimu menuntut sebuah keadilan? Hahahaha”

Ia tertawa dan tersenyum bengis “You think i did it right?” New berbalik berjalan beberapa langkah meninggalkan Kevin yang masih terperangah di lantai.

Then….” ia menoleh ke belakang melihat Kevin tanpa belas kasihan, tanpa rasa iba yang tersisa “Prove it” Tuntasnya melangkah tanpa peduli meninggalkan Kevin yang dadanya memburu menahan emosi yang meledak-ledak di kepalanya.

Di perpotongan lorong New bertabrakan dengan seorang berjas putih, lelaki itu langsung menangkap perawat itu agar tak jatuh terhuyung ke belakang.

“M-maaf New…saya tadi buru-buru”

Iya, Dokter yang menabrak New adalah Tawan. Beruntung New tak jatuh ke belakang, hanya tas yang dibawa New sudah berada di lantai mencecerkan isinya.

Dari beberapa barang yang New bawa, ada sesuatu yang mengalihkan mata Tawan dari memandangi wajah manis mantan kekasihnya menuju sebuah jubah hitam yang tergeletak di lantai.

“Ehem…bisa tolong lepaskan? Saya ada pekerjaan yang harus saya selesaikan dengan Dokter Beni”

“Eehhh iya maaf”

Tawan buru-buru melepaskan New dan membiarkan orang yang ia tabrak secara tak sengaja itu memunguti barang-barangnya yang tercecer di lantai.

“Permisi”

Pamit New tanpa menoleh lagi ke belakang, seolah Tawan adalah masa lalunya yang tak perlu lagi ia tengok, ia sudah meninggalkan hatinya yang hancur menjadi debu di lantai Rumah Sakit sejak Tawan menyerah untuk bertahan bersamanya.


“Rasanya kasus kemarin memang agak aneh gak sih?” Kit kejadian kemarin ketika sedang berjaga di lobi dengan New dan Metawin, keadaan rumah sakit sudah sepi seiring derit waktu yang mengubahnya menjadi tengah malam.

Mungkin bagi sebagian orang suasana seperti ini memang mencekam dan mengerikan, di mana tak seorangpun terlihat berjalan di lorong yang sepi dan temaram.

“Iya sih, jelas-jelas kita semua ngelakuin pekerjaan sesuai prosedur, kita juga ada di ruang operasi bantuin bu Citra melahirkan. Kok bisa-bisanya pak Kevin mencurigai kita ckck”

Metawin memaparkan ketidaksetujuannya dengan geleng-geleng kepala.

“Menurut lo gimana New?”

Kit melemparka sebuah pertanyaan, sejak kembali bekerja di sini New terlihat lebih banyak diam, berbeda dengan New yang mereka kenal, New yang biasanya periang kini lebih banyak berdiam diri.

New yang sedang membaca requirement menoleh ke arah Kit dan Metawin yang memperhatikannya dengan seksama.

“Menurut gue….” New menggantung ucapannya, semakin membuat kedua rekannya penasaran “Menurut gue salah satu diantara kalian harus ada yang beli camilan haha” ia tertawa canggung sembari mengeluarkan selembar uang seratus ribu dan ia genggamkan di tangan Metawin.

“Tsk! Lagi serius juga, malah di suruh beli camilan”

Jasmine tea ya

“He?” Sekarang Metawin yang heran.

“Kenapa?” New menggigit bibir bawahnya.

“Selama ini lo paling gak suka teh melati deh, lo dulu selalu pesen es susu coklat”

New terdiam, tak mau menjawab.

“Udahhh sana beli ah, udah dibayarin sama New juga kan hehe makasih New” secara tak langsung Kit menyelamatkan New dari kecurigaan yang Metawin utarakan.

“Iya-iyaaaa, tunggu bentar gue ke kantin dulu”

Metawin berlalu, berjalan di lorong sepi seorang diri, temaramnya lampu membuatnya merinding. Hanya ada gema suara langkahnya saja, hawa dingin itu langsung menyambutnya, keraguan mulai hinggap di pundaknya, rasanya ingin saja ia berbalik dan berlari menuju pos jaga di mana Kit dan New berada.

“Hufffff gak akan ada apa-apa Metawin, lo kerja di sini udah tahunan masa lo jalan di lorong aja takut sih”

Ia sedang memberikan sugesti positif di otaknya, membuat keyakinannya semakin bulat melangkahkan kakinya menuju ujung lorong.

Namun ketika ia sudah berada di tengah, keyakinan itu memudar, tengkuknya terasa dingin seperti ada yang meniup, ada angin yang berhembus di sekitar lehernya. Jantungnya berdegup kencang, siapa yang ada di belakangnya? Ia tak mendengar suara langkah siapapun, lalu bagaimana ada seseorang yang berdiri di belakang dan meniup-niup lehernya?

Kaki Metawin semakin lemas ketika ia melihat ke lantai dan tak ada bayangan siapapun di sana, yang berarti tak ada manusia yang sedang iseng meniup-niup tengkuk dan lehernya, ia ingin bergerak namun tak bisa.

Di tempat lain Kit sedang terperanjat dalam duduknya, matanya melotot melihat layar monitor CCTV, semua kantuk yang tadi merayunya kini hilang ditelan bumi. Ia sangsi dengan apa yang ia saksikan, kedua matanya melihat Metawin yang berdiri terdiam di lorong sendirian, padahal sesaat setelah Metawin pamit untuk pergi ke kantin, New menyusulnya.

Namun apa ini? indera penglihatannya hanya menangkap sosok Metawin di lorong, dengan cepat ia berdiri dari duduknya dan menoleh ke arah lorong.

“Booo”

“WAAAAAAAAA”

Metawin menjerit keras-keras saat ia berbalik mendapati sosok New sudah berdiri di belakang dan mengagetkannya, ia sampai terjatuh dilantai karena ulah New. Sejak kapan rekannya itu berada di belakangnya, mengapa tak ada suara langkah kaki? Mengapa tak ada bayangan sama sekali?

“Hahahaha kaget ya? maaf, biar gak sepi-sepi banget”

Dengan cepat Metawin kembali melihat ubin di lantai, sungguh tak masuk akal, ia ingin percaya dengan apa yang ia lihat dan ia saksikan namun fakta kalau bayangan New ada di sana membantahnya telak.

“Kenapa woiiii”

Sekarang Kit yang terkejut, ia melihat New dan Metawin ada di lorong padahal tadi hanya Metawin yang ia dapati ada di sana. Kit mengucek matanya beberapa kali memastikan kantuknya benar-benar pergi, lalu ia lihat lagi layar monitor CCTV, dua rekannya terpampang jelas di sana, ini membingungkan.

“E-engga kenapa-kenapa, ini New ngagetin gue”

Sorry

New mengulurkan tangan untuk diraih Metawin dan membantunya berdiri.

“Gue sama Metawin ke kantin dulu ya Kit”

Kit hanya bisa mematung, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi, apakah tadi ia hanya ilusi yang muncul ketika kantuknya tiba? Sangat sulit dipercaya.


“Lo duluan deh, gue kayaknya ada urusan di lantai dasar sebentar” New berhenti melangkah begitu matanya melihat Kevin mendorong istrinya dengan kursi roda menuju mobil.

“Urusan sama Dokter Beni ya?” New hanya mengangguk, mengiyakan tebakan yang Metawin lontarkan.

“Titip salah buat Dokter Bright dong New, boleh ya?”

“Lo suka sama Dokter Bright?”

“Ummmmm”

Metawin hanya diam dan senyum-senyum menanggapi pertayaan temannya, kedua tangannya meremas-remas biskuit dalam kantong plastik yang mereka berdua beli.

“Iya nanti gue salamin ke Dokter Bright, lo ke atas buruan gih..kasihan Kit sendirian di sana”

New melirik ke arah mobil Kevin yang mulai bergerak meninggalkan pelataran rumah sakit.

“Oke, jangan lama-lama ya New”

“Enggak lama, cuma mau bahas operasi persalinan pasien beberapa hari kedepan”

New menjelaskan agar tak muncul sebuah kecurigaan.

Metawin memberikan jempolnya dan berlalu pergi, New yang harusnya menuju ruang di mana para Dokter berada, kini ia berbalik arah berjalan keluar Rumah Sakit seorang diri.


Kevin mengendarai mobil dengan laju yang pelan, ia tahu istrinya masih kesakitan kerap kali ia melewati polisi tidur, duka masih tersirat jelas di wajah keduanya. Kehilangan bayi yang sudah mereka nanti-nanti kelahirannya, kehilangan yang membuat Citra lebih banyak diam, kehilangan yang merenggut semua senyum dan tawa pasangan suami istri itu.

Rintik gerimis masih menangisi kota ini, kaca mobilnya mengembun mengaburkan pandangannya.

“Mas nanti sampai rumah aku mau cerita”

Lirih Citra memijit kepalanya yang terasa sakit, ia tak tahu mengapa proses pemulihannya bisa selambat ini, ia masih merasakan lemas luar biasa, rasa sakitnya masih sama seperti pasca operasi.

“Cerita apa sayang? Jangan buang-buang tenaga kamu, lebih baik langsung istirahat aja sampai rumah, masih ada besok buat cerita” Kevin menyebrangkan tangan kirinya dan membelai rambut sang istri, ia berjanji akan membalaskan dendamnya kepada siapapun orang yang ada di balik duka yang menyambangi Citra.

Sebuah anggukan Citra berikan, matanya nanar menahan tangis, ia masih belum bisa menerima kehilangan terhebat yang ia alami, kenyataan bahwa sang buah hati masih terasa begitu hidup di perutnya dan terlahir tanpa nyawa sungguh tak masuk akal.

Apa ini ada hubungannya dengan mimpinya waktu itu? Dirinya sendiri saja ragu apakah itu sebuah mimpi karena memang terasa sangat nyata, mimpi yang berkaitan dengan seorang perawat bernama New, burung hantu dengan sepasang bola mata merah dan janin yang dilemparkan masih menjadi tanda tanya besar untuknya.

BUKKKKKK

CIIIIITTTTTT

“Astaga massss, kamu nabrak apa tadi? Kayak burung ya?”

Mobil mereka mengerem mendadak di pinggir jalan dengan pepohonan besar hingga terdengar bunyi ban yang menggesek aspal.

“Burung sialan!”

Kevin menyadarinya, saat seekor burung dengan kepakan sayap lebar itu terbang menghujam mobilnya, bukan dirinya yang menabarak burung itu, yang terjadi malah sebaliknya. Apa karena gerimis yang mulai berubah menjadi hujan ini membuat burung itu tak bisa terbang dengan benar?

“Bentar sayang, mas buang bangkai burung itu dulu”

Ia turun dari mobil, air hujan yang deras langsung membasahinya, secepat mungkin ia mencari-cari dimana burung yang menabrak mobilnya.

Beberapa menit mencari di sekitar mobil hingga

di kolong-kolong ban juga tak dapat ia temui hewan nokturnal itu.

GREBBB

Kevin terkejut dengan suara pintu mobil yang ditutup, ia melihat seseorang sudah duduk di kursi kemudi mobilnya.

“Udah mas?”

Citra yang masih memejamkan matanya.

Tok! Tok! Tok!

“Citraaaa, sayang bangun sayang….itu siapa yang ada di dalam? Cepat keluar dari mobil dekkkk!!!”

Kevin menjerit dari luar seraya mencoba membuka pintu mobil yang bedekatan dengan tempat duduk Citra, namun semuanya terkunci dari dalam.

“Deekkkk!! Keluar dari mobil sayang!”

Kedua matanya melotot hingga hampir terlepas ketika melihat perawakan seseorang yang duduk di kursi kemudi mobilnya.

Seluruhnya tertutup jubah hitam, menggunakan masker wajah hitam dan kacamata hitam, tak bisa ia kenali siapa orang itu.

Detik selanjutnya amarahnya serasa diledakkan ketika melihat jubah yang agak tersingkap dan melihat noda darah di pakaian perawat yang putih bersih, ia tahu siapa oran itu.

CIIIITTTT

Ban mobil itu menggesek aspal hingga berdecit dan mengeluarkan asap, Kevin berteriak histeris di pinggir jalan mencoba membuka pintu mobilnya. Pegangannya terlepas begitu saja saat mobil miliknya melaju kencang.

“CITRAAAAAA”

Teriak Kevin kalut sembari berlari mengejar mobil yang melaju sangat cepat.

“Mas jangan kencang-kencang, perutku masih sakit, jahitannya belum kering”

Citra membuka matanya, tak ia dapati sang suami yang sedang mengandarai mobil, namun orang lain yang menyembunyikan wajah dibalik masker hitam dan kacamata membuatnya ketakutan.

“Siapa kamu…siapaaa”

Citra berontak dengan menarik tubuh sosok itu kuat-kuat, tangannya berhasil meraih masker hitam itu dan melihat wajah orang yang bersembunyi dibaliknya.

Tubuhnya terpaku, lututnya lemas, tepat saat ia akan mengucapkan namanya.

“Sampai jumpa dengan bayimu….Citra”

CIIIITTTTT

DUAAAARRRRRR

Mobil itu diarahkan ke SPBU dan menabrak tangki pengisian bahan bakar keras-keras hingga meledak dan kobaran api menyambar-nyambar langit yang sedang bermuram durja, guntur dan petir seolah bersahutan dan bersaksi atas kematian Citra.

Kevin terlihat berteriak kalut, menangis di pinggir SPBU melihat istrinya terbakar hidup-hidup di dalam mobil, bisa ia dengar teriakan kesakitan sang istri tepat sebelum tangki bahan bakar di mobil meledak hingga membuatnya hancur lebur.

“AAAAAAAAAAAA”

Kevin menangis frustrasi, semudah itu ia kehilangan orang-oran yang ia sayangi.

“PANGGIL PEMADAM KEBAKARAN BANGSATTTTT!!! TOLONGIN ISTRI GUEEEE!!”

Kevin terduduk lemas di aspal melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana sang istri meninggal dengan cara yang amat sangat mengenaskan.

Di ujung jalan ada seseorang yang berdiri sambil tersenyum puas, ia menginjak-injak jubah hitamnya yang dilahap api.

Whatever i do from now on is all your fault

Lirihnya tertawa kecil berjalan menjauh dari SPBU yang perlahan menjadi pusat keramaian mobil pemadam dan warga yang penasaran.

“Sekarang aku yang jadi penjahatnya”

New berdiri mengintip di balik dinding lobi melihat seorang perempuan yang tengah hamil besar sedang di dorong menggunakan kursi roda oleh seorang lelaki, ia mengenalnya sebanyak rasa benci dan dendam yang mendarah daging di hatinya, rasa perih dan sakit yang tak akan ia lupa sampai jiwanya terpisah dengan raga.

Ia menatap tajam penuh kebencian, tangannya mengepal erat-erat, urat di lehernya sampai terlihat menandakan New sedang menahan amarah, tak sadar ia menitihkan air mata. Air mata yang bersaksi kejamnya dunia yang sedang ia tapaki, air mata yang menemani di saat tak ada seorangpun mengulurkan tangan dan percaya kepadanya.

Wajah penuh amarah itu berubah dengan senyum mengerikan yang perlahan melengkung lebar-lebar, New membasahi bibir dengan lidahnya seraya melihat perut perempuan yang besar membola, lalu ia menelan ludah dengan tawa kecil sebelum meninggalkan lobi.


Laki-laki bernama Kayavine atau yang lebih dikenal Kevin itu berhenti mendorong kursi roda istrinya ketika mendapati New berdiri diantara deretan perawat di depan pintu, mata mereka bertemu namun New tak bergeming sedikitpun. Reaksi tak percaya sangat tersirat di wajah Kevin, dalam pikirnya mengapa New ada di sini? setelah hilang tanpa kabar sejak empat puluh hari yang lalu.

“Selamat datang Bu Citra, semoga persalinannya lancar”

Ujar Metawin ramah menundukkan kepala sebagai rasa hormat diikuti oleh beberapa perawat lain termasuk New yang tersenyum saat membungkukkan badan, senyum yang ia sembunyikan dari siapapun saat kakinya kembali menapaki lantai Rumah Sakit yang menjadi saksi bisu akan sejarah kelamnya.

“Mohon bantuan kalian ya, saya sangat exited karena ini anak pertama saya”

Kevin mendorong kursi roda istrinya yang membiarkan beberapa perawat melakukan persiapan persalinan, kedua matanya mengawasi gerak-gerik New, meski tak ada yang mencurigakan selayaknya perawat yang mempersiapkan selang infus dan mengatur tekanannya.

Suami Citra itu gelisah dan tak tenang, ada perasaan aneh yang mengganjal di hati dan pikirannya, perasaan yang bertentangan dengan logika. Bahwa bertemu kembali dengan New adalah mimpi buruk yang menjadi nyata, dirinya sendiri tak ingin percaya dengan apa yang ia saksikan namun kedua bola matanya tak bisa berdusta kalau saat ini New memang ada di sini, di ruangan ini, tengah merawat istrinya.

Kevin melihat ponselnya, beberapa pesan dikirimkan oleh rekannya yang bekerja di sini sebagai Dokter, sekaligus Dokter yang akan membantu istinya melewati persalinan anak pertamanya, orang itu adalah Tawan. Orang yang dulunya pernah menjalin tali asmara dengan dengan New, namun hubungan mereka kandas begitu saja saat Tawan memutuskan untuk menikah dengan Mild yang kini tengah hamil muda.

Tidakkah New merasa sakit hati? Tidakkah perawat muda itu merasa benci? Bahkan Kevin tak percaya New bisa kembali bekerja lagi dengan tampang datar tanpa ekspresi, seolah tak ada yang terjadi.

Lebih dari segalanya, ada hal yang ganjil di sini karena ia menyembunyikan sebuah rahasia besar, rahasia yang ia sembunyikan dari dunia, rahasia yang ia kira sudah usai di tangannya.

Tidak istrinya, tidak rekannya, dan tak seorangpun berhak tahu atas apa yang ia lakukan. Kevin kalut, ini tak masuk akal, ini tak nyata, ia butuh membicarakan ini dengan Tawan, atau mungkin kepada kedua orang tua sang Dokter setelah persalinan istrinya selesai dilakukan.

“Sayang, mas tinggal sebentar ya. mas mau ke bagian administrasi dan bicara sama Tawan”

New yang baru saja akan menutup korden jendela terdiam beberapa detik mendengar percakapan itu, ia mendongak melihat bulan yang sedang merah purnama, cahayanya memandikan setengah sudut bumi hingga dengan lancang masuk menembus kaca jendela.

“Jangan lama-lama ya mas, dedek bayinya udah nendang-nendang pengen ketemu papanya nih” Citra mengelus perutnya, tendangan demi tendangan si buah hati makin intens ia rasakan.

“Iya sayang, mas gak lama…” Kevin mengecup kening dan meraba perut istrinya, bisa ia rasakan si jabang bayi yang mendesak untuk keluar tak lama lagi. “Metawin, setelah persiapannya selesai jangan langsung pergi. Saya bisa minta tolong jagain istri saya dulu?”

“Tentu bisa Tuan” jawab Metawin ramah sambil menyelimuti tubuh pasien dengan selimut.

“Mas tinggal dulu ya sayang, kalau butuh apa-apa minta sama perawat ya” pamitnya pada sang istri.

New tak jadi menutup korden, ia biarkan cahaya bulan menembus jendela. Samar-samar bisa ia lihat refleksi dirinya di kaca, ia mengambil nafas panjang dan tersenyum berbalik badan menuju pasien yang terbaring di atas ranjang.

“Malam ini sudah mengalami kontraksi berapa kali Bu Citra?”

Tanya penuh perhatian dengan meraba perut yang membola, bisa ia rasakan si jabang bayi yang bereaksi dengan menendang-nendang menjelang persalinan, sensasi ruh yang dihembuskan terasa sangat sakral di jemarinya meski ia memakai sarung tangan medis.

“Sudah tiga kali ini”

Perempuan itu tersenyum, nampak kalau ia tak sabar dengan kelahiran anak pertamanya.

“Berarti kontraksinya bagus dan normal, kalau meningkat sampai lima kali akan saya panggilkan Dokter karena bayinya akan lahir malam ini juga” papar New duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang.

“Gue tinggal bentar ya, mau prepare ruang operasi, lo jagain dulu” Metawin berucap tanpa suara, namun gerak bibir rekannya itu bisa New mengerti dan membalasnya dengan anggukan.

Sunyi dan menyisa sepi, hanya ada dua orang di sini, tiga dengan si jabang bayi.

“Sejujurnya saya takut karena ini pertama kali saya melahirkan, walau secara caesar namun tetap saja rasanya deg-degan ….hufffttt” Citra menghela nafasnya, ia gugup sampai telapak tangannya terasa dingin.

“Tak perlu takut Bu Citra, melahirkan secara caesar tak mengurangi derajat anda sebagai seorang calon Ibu”

New menenangkan pasiennya, namun tangan kanannya meraba sesuatu yang ada di saku celana, sebuah alat suntik dengan cairan yang sudah ia rencanakan. Dengan terus mengalihkan perhatian Citra, ia menyuntikkan cairan itu melalui selang infus, sesegera mungkin, secepat mungkin tangannya bergerak menampik kecurigaan Citra.

Angin berhembus kencang di luar, membuat pohon-pohon bergoyang menghalangi cahaya rembulan. Terlihat seekor burung hantu hinggap di sana, dengan kedua mata merah bulat, menatap New lekat-lekat.

“Yang membuat menjatuhkan martabat anda adalah saat anda melakukan fitnah dan hal keji demi mendapatkan uang” celetuknya sembari berjalan menuju jendela, ia membelakangi Citra dan menatap bergantian antara merahnya cahaya purnama dan seekor burung hantu yang bertengger melihatnya, pantulan sosok Citra juga bisa New lihat dari kaca.

“Apa maksud kamu? Jangan menuduh saya dengan sesuatu yang tidak pernah saya lakukan” Citra tersinggung, kemana arah pembicaraan perawat lekaki yang bernama New ini?

New menggeleng dan tersenyum bengis, matanya melihat Citra dari pantulan kaca, ingin saja ia menjawab kalau bukan Citra yang melakukan hal keji itu, namun Kevin, sosok ayah dari jabang bayi yang ada di dalam kandungan perempuan yang tengah tak berdaya menjelang persalinannya.

“Lebih baik bu Citra mencoba tidur, saya tidak akan pergi kemana-mana” kedua tangannya membuka jendela, membiarkan angin bertiup masuk ke kamar, wangi melati bisa Citra rasakan, padahal ia yakin itu bukan berasal dari pewangi ruangan.

“Saya bisa bersenandung untuk anda”

New berbalik dan tersenyum kepada Citra, kuku di jemarinya mengetuk-ngetuk dinding menciptakan bunyi aneh seperti sedang mencakarnya.

“Matahari terbenam, hari mulai malam…”

Hanya suara perawat laki-laki itu saja yang menggema di seluruh sudut ruangan, ributnya angin seolah direnggut entah kemana, hanya menyisa sepi nan sunyi, bahkan suara jam dinding yang berderak bisa Citra dengar.

“Terdengar burung hantu, suaranya merdu…”

Kepalanya sakit, suara lantunan lagu dari bibir New seperti dipantulkan dari dinding ke dinding ruangan ini dan berakhir meledak di kepalanya, suara itu menggema, bersenandung di dalam kepala tanpa henti.

“Aaaaakkkhhh sakiiittttt”

Citra meringis kesakitan memegangi kepalanya yang serasa diinjak-injak, matanya kehilangan fokus, ia mencoba melirik ke arah New yang berdiri membelakangi jendela, sepasang bola mata merah ada diantara pepohonan, belum lagi saat ia melihat kedua mata New yang menyisakan bagian putihnya saja, juga tubuh perawat laki-laki itu memucat seperti direndam di dalam air selama berjam-jam, ia ketakutan setengah mati.

“Tolonggg berhentiii..ahhhh sakittt”

Raung kesakitan itu terdengar seperti lagu pengantar tidur di telinga New, istri Kevin itu tak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, tubuhnya terasa dingin, perutnya tiba-tiba terasa seperti ditusuk ribuan jarum.

“Ku ku…ku ku…ku ku kuku kuku…” burung hantu itu seolah ikut bernyanyi, melanjutkan bait yang dinyanyikan lelaki yang membelakanginya.

“AAAAAA HENTIKAN AHHHH SAKIIITTTT”

New menirukan suara burung hantu yang bertengger di belakangnya, seolah hewan itu sedang menyaksikan bagaimana Citra mencoba bertahan dari sakit yang menyergapnya tanpa henti.

“TOLONG PANGGILKAN SUAMI SAYA AAAHHH SAKITTT”

Citra merintih, kedua tangannya memegang kepala dan perutnya secara bergantian, si jabang bayi menendang lebih keras, lebih sering hingga rasanya seperti dirobek dengan paksa.

“Ku ku…ku ku…ku ku kuku kuku”

Bait terakhir berhasil New selesaikan dengan mengabaikan permintaan tolong dari pasiennya, mulutnya berair mengeluarkan liur, ia menggigit bibirnya sendiri saat melihat dengan tajam ke perut Citra yang terus bergerak-gerak, seperti burung hantu yang melihat mangsa.

“MAS KEVINN” Citra ketakutan, ia mendengar New tertawa terbahak-bahak, kedua matanya membelalak saat melihat New melempar sesuatu padanya, sebuah janin yang berlumuran darah dan menangis kencang bersahutan dengan tawa mengerikan New yang tiada henti menghantuinya.

“AAAAHHHH MAS KEVIN TOLONGGGG”

“MAS KEVINNN AAAAKKKHHH”

“MAS TOLONGIN CITRAAAA”

“Dek bangun dek, dek Citra bangun sayang”

Citra langsung terduduk di ranjangnya, dadanya mengembang dan mengempis, matanya melotot menyapu ruangan, tubuhnya gemetar hebat dan berkeringat dingin.

Tidak ada New di sini, kemana perawat yang menemaninya itu pergi, jendelanya juga tertutup rapat-rapat, tak ada noda darah di perutnya, sebenarnya ada apa ini?

“Kamu mimpi apa sayang? Cerita sama mas” Kevin memeluk istrinya erat-erat, sepeninggal New dari ruangan ini mengapa istrinya tiba-tiba berteriak dalam tidurnya? Juga mengapa bukan Metawin yang menjaga Citra? Mengapa malah New, orang yang amat sangat ia hindari saat ini.

Citra terlalu bingung, sedetik yang lalu kejadian itu seperti nyata dan benar adanya, namun logikanya membantah dan menolaknya mentah-mentah dengan fakta bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk.

“Enggak…gapapa mas” lirih Citra kebingungan, ia mencoba menenangkan degub jantungnya yang berdetak tak beraturan.

Di luar pintu New yang berdiri mengintip sembari menghapus liurnya dengan tissue lalu berjalan menjauh dengan sebuah senyum, ketika melewati tempat sampah, ia melempar sesuatu ke dalamnya, sepasang sarung tangan medis dan sebuah suntikan yang ia sembunyikan.


Suasana gaduh, Kevin memojokkan New ke dinding dan mencekiknya. “GUE TAHU KALAU INI PERBUATAN LO!!! IBLISSS!!!”

Kevin meledak, amarahnya memuncak tak terkendali, orang pertama yang ia curigai adalah New, orang yang menemani istrinya sebelum jalannya operasi persalinan.

“APA YANG LO LAKUIN KE CITRA? BANGSATTT!!!”

“Ughhhh” New meringis memegangi tangan Kevin yang mencekik lehernya.

Beberapa orang yang menyaksikan tak berani mendekat, Kevin sudah diluar kendali hingga beberapa perawat lainnya terkejut dengan kejadian yang mereka semua saksikan.

“GUE AKAN PASTIKAN LO MATI DI DEPAN MATA GUE SEKARANG JUGA!!!”

Saat tangan Kevin mengayun untuk memberi sebuah bogem mentahnya…

“Hentikan!!!”

Tawan menahannya, menggenggam tangan Kevin erat-erat hingga suami Citra itu melepaskan cekikannya.

“Kendalikan diri lo Vin, lo gak bisa nyalahin orang yang bahkan gak bersalah dalam hal ini”

Iya, bayi yang ada di dalam kandungan Citra meninggal. Terlahir dengan tanpa tangis dan kondisi badan yang membiru, seakan bayi itu sudah meninggal beberapa jam sebelum operasi dilakukan.

Segala upaya medis sudah diupayakan namun nyatanya tak bisa mengembalikan nafas si jabang bayi, ruhnya sudah pergi, tidak di sana lagi.

“Uhuk-uhukkk” New terbatuk dan terjatuh di lantai.

“Gue tau kalau bangsat ini yang bunuh anak gue Tay, anak pertama gue”

Kevin menangis frustrasi, beberapa jam yang lalu ia masih bisa merasakan kehadiran si buah hati melalui tendangan-tendangan kecil di perut sang istri dan sekarang Tay berkata kalau bayinya sudah meninggal? Bagaimana bisa? Tidak masuk akal.

“New ada di dalam ruang operasi, bantuin istri lo melahirkan, gimana bisa lo nuduh dia Vin?”

Kevin terbungkam seribu bahasa, ia tak memiliki bukti, namun ia ingat kalau istrinya menjeritkan namanya tepat saat ia datang dan mendapati New duduk menjaga Citra.

“Tenangin diri lo dulu oke? Gue tahu ini berat buat lo, gue tau kalau ini gak mudah lo terima dengan lapang dada”

Tawan memeluk rekannya, menepuk-nepuk punggungnya beberapa kali, Kevin menangis di sana dengan kehilangan buah hati yang belum sempat terlahir di dunia.

“Metawin, Kit dan yang lain boleh bersiap pulang dan berganti shift

Dokter itu mendapati New yang sudah berlalu pergi menuju ruang loker, di lantai ada sebuah cincin yang tertinggal, cincin ini milik New.

Cincin yang pernah ia berikan semasa mereka berdua masih menjalin hubungan, cincin yang bersaksi betapa bahagianya seorang New ketika ia menyatakan cinta dan berjanji menghadapi dunia berdua.

Kevin terduduk lesu meremasi rambutnya, si buah hati yang sudah ia nantikan kelahirannya kini telah pergi tanpa alasan dan sebab yang pasti.


“Mas yuk pulang”

Mild memeluk sang suami, melepas rindu dengan calon ayah dari bayi yang ada di perutnya.

“Halo jagoannya Papa, kangen gak sama Papa?” Tawan menunduk dan mengajak bayi yang ada di dalam perut Mild berbicara.

“Kangen dong mas, kata debay-nya nanti di rumah mau dielus perutnya sampe bobo” jawab Mild manja.

Dari kejauhan ada New yang melihat betapa harmonisnya keluarga kecil sang mantan, harusnya dia yang ada di sana menggantikan posisi Mild. Bibirnya tersenyum dan berlalu pergi keluar Rumah Sakit melewati lobi.

“Eh New, bisa bicara sebentar?”

Panggil Tawan yang menyadari New baru saja akan melewatinya.

Terlihat raut wajah Mild yang kurang suka, tentu saja bagaimana Mild bisa suka kalau fakta bahwa New adalah mantan kekasih suaminya.

“Ya Dok?”

New tak mau mengakrabkan diri dengan memanggil nama Tawan, Dokter adalah sebutan paling tepat, rasanya ia seperti membangun tembok yang maha tinggi untuk Tawan gapai, juga sebagai pengingat kalau alasan kedua orang tua Tawan tak setuju dengan hubungan mereka adalah karena profesinya yang hanya sebagai seorang perawat.

“Ini…” sang Dokter merogoh sesuatu di sakunya, namun ia tak mendapati apapun di sana.

“Ada apa ya? saya buru-buru” tegas New sekali lagi.

Tawan kebingungan, kemana perginya cincin yang ia temukan? Saat ia sedang sibuk merogoh semua saku yang ia punya, kedua saku celana dan kemejanya. Matanya menangkap kilau di jemari New, cincin itu sudah melingkar rapi di sana, namun bagaimana bisa? Ia ingat sekali kalau menemukan cincin itu di lantai dan menyimpannya di dalam saku.

“Kalau tidak ada apa-apa, saya pamit pergi dulu. Selamat malam Dok” New berlalu pergi, berjalan seorang diri menembus malam yang sepi nan sunyi, meninggalkan Tawan dengan sejuta pertanyaan.

“Cih, sok penting banget tuh orang” Cemooh Mild pada New yang terus berjalan menembus kabut.

“Dokkkk, lihat New gak?”

Metawin, Gun dan Kit berlari bersamaan tunggang langgang menuju lobi.

“Oh New, ada kok itu…”

Lagi-lagi Tawan terdiam, New sudah hilang entah kemana, padahal seharusnya punggung perawat itu masih terlihat dengan jarak pandang sedekat ini.

“Mana pak?”

“Itu tadi di sana” Dokter itu menunjuk pelataran rumah sakit yang kosong, tak seorangpun ada di sana selarut ini.

“Udah yuk mas pulang”

Mild menarik lengan suaminya menuju mobil.

“Maaf ya, saya duluan dulu, selamat malam”

“Ahh iya Dok, selamat malam” jawab Kit canggung.

Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Tawan memikirkan, bagaimana cincin itu bisa berpindah tangan padahal jelas-jelas ada di dalam sakunya, juga bagaiman New bisa menghilang secepat itu padahal harusnya masih ada di sekitar jarak jangkauannya.

.

New sampai di rumah tepat pukul sembilan malam, rintik hujan di langit membuat bajunya terasa dingin, ia menghela nafasnya yang semakin hari terasa semakin berat untuk bertahan. Langkahnya menggema di lorong ini, sebuah apartment kecil miliknya dan satu-satunya aset yang luput dari pembekuan kedua orang tuanya.

Ia meninjing dua kantong plastik di kedua tangannya yang berisi kebutuhan Nanon seperti susu, bedak dan popok, juga tak lupa ia membawa makanan yang Joss inginkan. Ia sedikit lega karena memegang uang untuk tabungan kedepannya dan juga ia masih bisa kuliah di semester akhir, rasa cemas itu sedikit sirna mengingat betapa kacaunya perekonomian keluaga kecilnya beberapa bulan lalu ketika langit runtuh tepat di depan kaki-kaki mereka.

“Kak aku pulang”

Suara tangis Nanon terdengar nyaring yang reflek membuat New menaruh semua barang yang ia beli di atas meja untuk segera berlalu ke dalam kamar di mana suara tangis Nanon semakin kencang terdengar.

“Nanon, Papa pulang sayang” ujarnya langsung menggendong Nanon dalam peluknya, tangis itu seketika raib entah direnggut siapa, Nanon langsung terdiam ketika sang Papa datang untuk membawanya dalam peluk hangat yang ia rindukan.

“Kak…. Nanon cuma mau digendong kok biar dia gak ngerasa sendirian, lain kali jangan didiemin aja ya? Nanon tahu kalau Ayahnya ada di rumah, sesekali ajak Nanon main biar dia gak ngerasa sendirian” Ujar New pada Joss yang duduk di sofa dengan sekaleng beer yang ada di tangannya.

“Berisik” Responnya keluar dari kamar untuk mengambil makan malamnya yang ada di atas meja.

New hanya bisa geleng-geleng kepala, sejujurnya ia sudah lelah setelah seharian bekerja dari pagi hingga petang. Namun dengan memeluk bocah kecil yang sudah menjadi pusat dunianya ini, semua rasa lelah itu hilang seketika.

“Nanon kangen Papa ya nak? Iya kannn hahahaha Nanon sayangnya Papa….dunianya Papa hahahaha”

Gelak tawa keduanya memenuhi kamar, New mambawa Nanon kembali ke atas ranjang untuk mengganti popok yang sudah terasa penuh, juga mengganti pakaian Nanon dengan pakaian yang berbahan tebal agar terasa hangat dan segera terlelap.

Setelah membawa Nanon dalam lelapnya, New keluar kamar dan mendapati Joss yang sedang makan di ruang tamu.

“Kak tadi seharian Nanon rewel ya kak?” Ia duduk di sofa berhadapan dengan Joss.

“Besok aku udah mulai ngampus kak, gapapa kan kalau kakak jagain Nanon sampai aku selesai kuliah?” Joss berdecak, ia tak menyelesaikan makannya dan memandang New tajam.

“Mau sampai kapan kayak gini? Gue capek New…gue capek hidup kekurangan kayak gini terus”

New terdiam, enam bulan terakhir memang waktu yang sangat berat bagi keluarga kecil mereka, tak hanya ia yang tak dianggap lagi oleh keluarga besar namun Joss juga mengalami hal yang sama.

“Ya ini aku juga lagi usaha kak, aku kerja dari pagi sampai malam buat cari uang”

“Tsk! Gue capek gini terus, gue kira dengan nikahin lo hidup gue bakalan lebih enak karena lo anak orang berada. Tapi apa? Gue makin susah kayak gini, rumah mobil gue diambil nyokap sama bokap yang gak setuju gue nikah sama lo”

New hanya bisa terdiam sambil tertunduk, meratapi nasibnya yang terasa berat setiap harinya.

“Lo memang pembawa sial New….gara-gara lo, semua ini gara-gara lo”

BRAKKKK

Joss melempar makanannya hingga berserakan di lantai, sedangkan New terkejut bukan main kalau Joss sudah murka dan melampiaskan amarah itu padanya.

“Kak…” Badannya gemetar hebat.

“Gue mau seneng-seneng” Joss mengambil dompet New yang ada di atas meja dan berniat mengambil uang gajian hasil jerih payah suaminya.

“Kak jangan, itu buat susu Nanon” New tak mau kalah, ia merampas dompetnya dan memegangnya erat-erat.

“Berani lo hah? good udah berani melawan?”

“Aaakkkhhh kak….ampunnn sakittt” New memekik ketika Joss menjambak rambutnya dan menyeretnya menuju kamar mandi.

“Kak Joss ampunnn….sakit kak”

“Lo memang harus diberi pelajaran biar gak ngelawan lagi” Keran air terdengar seperti momok menakutkan bagi New, derasnya air yang memenuhi bathub membuatnya semakin ketakutan. Suara tangis Nanon terdengar dari atas ranjang, seakan bocah kecil itu merasakan rasa takut yang luar biasa dirasakan sang Papa.

“Kak Nanon nangis kak….lepasinnn” ia berontak namun badan Joss yang jauh lebih besar dan lebih kekar membuatnya tak berdaya ketika tangan Joss meremas lengannya keras sekali hingga ia yakin akan tertinggal memar yang membiru.

“Persetan dengan Nanon….lo harus diajarin tata krama ngelayanin suami yang bener”

“Aaaakkhhhh kak ampu…..” Suara New hilang dan timbul ketika Joss memasukkan kepala New kedalam bathub penuh dengan air, membuat New kesusahan bernafas.

“Gara-gara lo hidup gue jadi susah anjing!!”

“Aaahhh uhukkk…k-kak…kak Joss ampun…uhukkk” Wajah New memerah karena menahan nafas, terkadang air itu berhasil masuk mengisi tenggorokannya hingga ia lemas.

“Inget ini baik-baik…gue akan buat gugatan cerai, gue udah gak bisa hidup susah sama lo lagi”

“Tapi gimana sama Nanon ka….” Lagi-lagi Joss mendorong kepala New hanyut ke dalam bathub sampai gelembung udara terlihat berkali-kali yang menandakan New sudah kehabisan nafas.

“Gue gak peduli sama lo ataupun Nanon, gue udah capek” Joss terus mendorong kepala New ke dalam bathub sampai New tak lagi berontak dan membiarkannya terkulai tak sadarkan diri di lantai kamar mandi.

Sedangkan ia merampas uang dari dalam dompet New dan pergi meninggalkan apartment untuk kembali bersenang-senang.

Suara tangis Nanon semakin kencang, membuat New kembali tersadar dan langsung memuntahkan air yang terasa memenuhi rongga paru-paru dan tenggorokannya, lengan kanannya memar dan membiru karena kekerasan yang Joss lakukan padanya, ini bukan kali pertama Joss melakukannya.

New selalu mencoba menutupi hal ini dari teman-temannya, memar-memar itu adalah pukulan, tamparan atau cambukan yang Joss lakukan padanya. Dengan tertatih ia berjalan menuju ke atas ranjang, ia memeluk Nanon dengan tangis dalam diam.

Ia bertahan sejauh ini demi Joss dan Nanon namun nyatanya hanya Nanon yang ia punya sekarang.

“Maafin Papa.…maafin papa” Lirihnya memeluk Nanon dalam peluknya.

“Nanon takut ya ditinggal sendirian tadi? Maaf ya sayang” Ia mencum Nanon berkali-kali, hanya permata kecil itu yang ia punya.

“Papa beruntung masih punya Nanon…Papa beruntung” Tangisnya terasa sangat perih, semua sakit yang ia tahan seolah menyergapnya dari segala arah membuatnya sangat hancur.

“Papa janji sama Nanon….ini terakhir kali Nanon lihat Papa cengeng kayak gini” ia memaksakan sebuah senyuman, tangan kecil Nanon mencoba menggapi wajah sang Papa seakan ingin menghapus air matanya.

“Iya, papa gak akan cengeng lagi” Ia tersenyum namun air matanya tak bisa berdusta, diliriknya dompet yang tergeletak di lantai, kosong dan tak tersisa sedikitpun.

“Papa gak akan ninggalin Nanon lagi, Papa janji” ujarnya menguatkan hati sembari menghapus air matanya sendiri.

New sampai di rumah tepat pukul sembilan malam, rintik hujan di langit membuat bajunya terasa dingin, ia menghela nafasnya yang semakin hari terasa semakin berat untuk bertahan. Langkahnya menggema di lorong ini, sebuah apartment kecil miliknya dan satu-satunya aset yang luput dari pembekuan kedua orang tuanya.

Ia menjinjing dua kantong plastik di kedua tangannya yang berisi kebutuhan Nanon seperti susu, bedak dan popok, juga tak lupa ia membawa makanan yang Joss inginkan. Ia sedikit lega karena memegang uang untuk tabungan kedepannya dan juga ia masih bisa kuliah di semester akhir, rasa cemas itu sedikit sirna mengingat betapa kacaunya perekonomian keluaga kecilnya beberapa bulan lalu ketika langit runtuh tepat di depan kaki-kaki mereka.

“Kak aku pulang”

Suara tangis Nanon terdengar nyaring yang reflek membuat New menaruh semua barang yang ia beli di atas meja untuk segera berlalu ke dalam kamar di mana suara tangis Nanon semakin kencang terdengar.

“Nanon, Papa pulang sayang” ujarnya langsung menggendong Nanon dalam peluknya, tangis itu seketika raib entah direnggut siapa, Nanon langsung terdiam ketika sang Papa datang untuk membawanya dalam peluk hangat yang ia rindukan.

“Kak…. Nanon cuma mau digendong kok biar dia gak ngerasa sendirian, lain kali jangan didiemin aja ya? Nanon tahu kalau Ayahnya ada di rumah, sesekali ajak Nanon main biar dia gak ngerasa sendirian” Ujar New pada Joss yang duduk di sofa dengan sekaleng beer yang ada di tangannya.

“Berisik” Responnya keluar dari kamar untuk mengambil makan malamnya yang ada di atas meja.

New hanya bisa geleng-geleng kepala, sejujurnya ia sudah lelah setelah seharian bekerja dari pagi hingga petang. Namun dengan memeluk bocah kecil yang sudah menjadi pusat dunianya ini, semua rasa lelah itu hilang seketika.

“Nanon kangen Papa ya nak? Iya kannn hahahaha Nanon sayangnya Papa….dunianya Papa hahahaha”

Gelak tawa keduanya memenuhi kamar, New mambawa Nanon kembali ke atas ranjang untuk mengganti popok yang sudah terasa penuh, juga mengganti pakaian Nanon dengan pakaian yang berbahan tebal agar terasa hangat dan segera terlelap.

Setelah membawa Nanon dalam lelapnya, New keluar kamar dan mendapati Joss yang sedang makan di ruang tamu.

“Kak tadi seharian Nanon rewel ya kak?” Ia duduk di sofa berhadapan dengan Joss.

“Besok aku udah mulai ngampus kak, gapapa kan kalau kakak jagain Nanon sampai aku selesai kuliah?” Joss berdecak, ia tak menyelesaikan makannya dan memandang New tajam.

“Mau sampai kapan kayak gini? Gue capek New…gue capek hidup kekurangan kayak gini terus”

New terdiam, enam bulan terakhir memang waktu yang sangat berat bagi keluarga kecil mereka, tak hanya ia yang tak dianggap lagi oleh keluarga besar namun Joss juga mengalami hal yang sama.

“Ya ini aku juga lagi usaha kak, aku kerja dari pagi sampai malam buat cari uang”

“Tsk! Gue capek gini terus, gue kira dengan nikahin lo hidup gue bakalan lebih enak karena lo anak orang berada. Tapi apa? Gue makin susah kayak gini, rumah mobil gue diambil nyokap sama bokap yang gak setuju gue nikah sama lo”

New hanya bisa terdiam sambil tertunduk, meratapi nasibnya yang terasa berat setiap harinya.

“Lo memang pembawa sial New….gara-gara lo, semua ini gara-gara lo”

BRAKKKK

Joss melempar makanannya hingga berserakan di lantai, sedangkan New terkejut bukan main kalau Joss sudah murka dan melampiaskan amarah itu padanya.

“Kak…” Badannya gemetar hebat.

“Gue mau seneng-seneng” Joss mengambil dompet New yang ada di atas meja dan berniat mengambil uang gajian hasil jerih payah suaminya.

“Kak jangan, itu buat keperluan Nanon” New tak mau kalah, ia merampas dompetnya dan memegangnya erat-erat.

“Berani lo hah? good udah berani melawan?”

“Aaakkkhhh kak….ampunnn sakittt”

New memekik ketika Joss menjambak rambutnya dan menyeretnya menuju kamar mandi.

“Kak Joss ampunnn….sakit kak”

“Lo memang harus diberi pelajaran biar gak ngelawan lagi”

Keran air terdengar seperti momok menakutkan bagi New, derasnya air yang memenuhi bathub membuatnya semakin ketakutan. Suara tangis Nanon terdengar dari atas ranjang, seakan bocah kecil itu merasakan rasa takut yang luar biasa dirasakan sang Papa.

“Kak Nanon nangis kak….lepasinnn” ia berontak namun badan Joss yang jauh lebih besar dan lebih kekar membuatnya tak berdaya ketika tangan Joss meremas lengannya keras sekali hingga ia yakin akan tertinggal memar yang membiru.

“Persetan dengan Nanon….lo harus diajarin tata krama ngelayanin suami yang bener”

“Aaaakkhhhh kak ampu…..”

Suara New hilang dan timbul ketika Joss memasukkan kepala New kedalam bathub penuh dengan air, membuat New kesusahan bernafas.

“Gara-gara lo hidup gue jadi susah anjing!!”

“Aaahhh uhukkk…k-kak…kak Joss ampun…uhukkk”

Wajah New memerah karena menahan nafas, terkadang air itu berhasil masuk mengisi tenggorokannya hingga ia lemas.

“Inget ini baik-baik…gue akan buat gugatan cerai, gue udah gak bisa hidup susah sama lo lagi”

“Tapi gimana sama Nanon ka….”

Lagi-lagi Joss mendorong kepala New hanyut ke dalam bathub sampai gelembung udara terlihat berkali-kali yang menandakan New sudah kehabisan nafas.

“Gue gak peduli sama lo ataupun Nanon, gue udah capek” Joss terus mendorong kepala New ke dalam bathub sampai New tak lagi berontak dan membiarkannya terkulai tak sadarkan diri di lantai kamar mandi.

Sedangkan ia merampas uang dari dalam dompet New dan pergi meninggalkan apartment untuk kembali bersenang-senang.

Suara tangis Nanon semakin kencang, membuat New kembali tersadar dan langsung memuntahkan air yang terasa memenuhi rongga paru-paru dan tenggorokannya, lengan kanannya memar dan membiru karena kekerasan yang Joss lakukan padanya, ini bukan kali pertama Joss melakukannya.

New selalu mencoba menutupi hal ini dari teman-temannya, memar-memar itu adalah pukulan, tamparan atau cambukan yang Joss lakukan padanya. Dengan tertatih ia berjalan menuju ke atas ranjang, ia memeluk Nanon dengan tangis dalam diam.

Ia bertahan sejauh ini demi Joss dan Nanon namun nyatanya hanya Nanon yang ia punya sekarang.

“Maafin Papa.…maafin papa” Lirihnya memeluk Nanon dalam peluknya.

“Nanon takut ya ditinggal sendirian tadi? Maaf ya sayang” Ia mencum Nanon berkali-kali, hanya permata kecil itu yang ia punya.

“Papa beruntung masih punya Nanon…Papa beruntung” Tangisnya terasa sangat perih, semua sakit yang ia tahan seolah menyergapnya dari segala arah membuatnya sangat hancur.

“Papa janji sama Nanon….ini terakhir kali Nanon lihat Papa cengeng kayak gini” ia memaksakan sebuah senyuman, tangan kecil Nanon mencoba menggapi wajah sang Papa seakan ingin menghapus air matanya.

“Iya, papa gak akan cengeng lagi” Ia tersenyum namun air matanya tak bisa berdusta, diliriknya dompet yang tergeletak di lantai, kosong dan tak tersisa sedikitpun.

“Papa gak akan ninggalin Nanon lagi, Papa janji” ujarnya menguatkan hati sembari menghapus air matanya sendiri.

Pagi ini aku jatuh di pematang sawah, lumpur mengotori baju dan celanaku hingga terlihat kotor dan menghitam.

Lalu apa yang aku lakukan? Menggerutukah aku dengan kebodohan dan kecerobohanku? Ah tidak, nyatanya aku malah tertawa terbahak-bahak seperti orang gila karena mengingat inilah hal yang dulu selalu kita lakukan.

Berlarian dan berkejaran di pematang sawah hingga lumpur mengotori badan dua anak manusia yang tawanya direnggut senja.

Aku tertawa hingga air mata memenuhi pelupuk mataku, rasanya seperti kamu masih di sini untuk mengejarku hingga kita terjatuh dan sama-sama tertawa karenanya. Iya, rasanya senyata itu.... seakan kamu ada di sini...bersamaku.

Lalu aku terdiam sejenak, melihat sosok dua anak manusia yang berlarian dengan bunga alang-alang yang beterbangan diantaranya, mereka nampak seperti kita, seperti aku dan kamu.

Setelahnya aku kembali tertawa hingga berair mata, nafasku terasa sesak, rongga dadaku terasa terbakar, pikiranku melayang hanya karena aku tak kuasa melepas kenangan.

Saat seperti inilah ingatan tentangmu menjajah pikiranku tanpa ampun, aku dan kamu.... adalah sebuah perpisahan tanpa kata selamat tinggal.

Bagaimana bisa aku bercita-cita untuk bisa melupakan bahkan membencimu jika ingatan dan kenangan tenangmu masih sehidup itu di hati dan fikiranku?

Jika aku meneriakkan namamu apakah kamu akan kembali? Andai saja kita tak pernah tumbuh dewasa, mungkin saja kita masih berada di sini berbagi cerita, mungkin saja aku tak perlu sendiri.... berteman dengan sepi.

Katakan jika aku agois karena nyatanya aku benci menjadi dewasa, aku benci bagaimana dia mengubah kita yang dulu sedekat nadi kini menjadi orang asing yang tak pernah bertegur sapa, aku benci bagaimana ia mengubah musim panas yang hangat menjadi musim dingin yang membuatku menggigil lalu mati dalam dingin.

Kembalilah aku masih menunggumu, Kembalilah... Aku selalu merindukanmu.

“Sudah berapa kali mas bilang? Jangan kesana lagi kan? Ini sudah jam berapa?”

Cecar Awan yang memojokkan Winata di belakang pintu, mahasiswa S2 psikologi itu baru saja sampai di Apartmen mereka berdua, tapi Awan sudah kehilangan kesabarannya. Rasa amarahnya yang tak terkendali meledak tepat saat Winata melangkahkan kaki masuk dibalik pintu.

“M-maaf kak”

Badan Winata gemetar hebat, matanya berkaca-kaca menghadapi kemarahan Awan.

“Kak? Kak kamu bilang? Huh?”

Nada amarah jelas sekali Awan lontarkan, ia menangkup wajah Winata dengan tangan kanannya sampai pipi yang lebih muda terasa sakit dan linu.

“Bilang 'kak' sekali lagi dan mas pastikan kamu akan menyesal, inget ini baik-baik anak manis...” Awan menatap mata Winata tajam, penuh amarah dan perintah. “Call me 'mas' bukan kak, inget?”

Win menangis, tak pernah ia sangka Awan akan menjadi seperti ini, terobsesi padanya sampai tak segan untuk membentak bahkan menyakitinya.

“JANGAN CUMA NANGIS AJA!! MAS GAK BUTUH TANGISANMU!”

Bentak Awan keras, membuat Win mengangguk dengan cepat, lututnya gemetaran menghadapi ketakutan maha besarnya, adalah Awan.

“Iya m-mas huuu hiks”

Tepat ketika Awan melepaskan tangkupan tangannya pada pipi Winata, mahasiswa itu menangis dalam diam, tak bersuara karena terlalu takut Awan akan semakin menggila untuk memarahinya jika mendengarnya menangis.

Winata menundukkan kepalanya ke bawah dan mengusap air matanya yang tak bisa berhenti, sialnya Awan mengikuti kemana arah mata Winata memandang. Sebuah cincin yang melingkar di tangan Winata itu adalah satu-satunya hal yang Winata percaya saat ini, bahwa suatu hari Bright akan datang menemuinya di tempat itu, tempat dimana semuanya berakhir dan mereka berjanji bertemu kembali.

“Ohhh, cincin ini ya?” dengan cepat Awan memegang tangan kanan Win kuat-kuat dan mengambil cincin itu secara paksa dari tangan Winata.

“Mas jangan diambil itu punyaku” cegah Win terlambat, cincin itu sudah berpindah tangan.

“Ini kan yang bikin kamu ingat dia terus? Mas ingatkan sekali lagi sama kamu Winata!” Awan siap meledak, ia sensitif dengan sesuatu mengenai Bright.

“Dia cuma dosen! Gak bakal bisa bikin kamu bahagia! Siapa yang nolongin keluargamu yang hampir bangkrut? Dia atau mas? SIAPA WINATA? MAS TANYA SAMA KAMU!!”

“Mas, please jangan” Win tak mau mendebat, semalam ia bertengkar hebat dengan Awan dan berakhir memar-memar di sepanjang pahanya.

Maka kali ini ia langsung bersimpuh di kaki Awan memohon untuk cincin itu dikembalikan.

“Bediri...” Lirih Awan sambil membuang nafasnya.

“Mas gak akan ngembalikan cincin ini, mas bisa belikan kamu cincin yang jauh lebih mahal daripada cincin murahan seperti ini” ejeknya sambil memasukkan cincin itu ke dalam saku celananya.

Win hampa mendengarnya, air mata yang membasahi pipinya seakan tak ada harganya, ia putus asa.

“Sekarang kamu mandi, bersihin diri kamu... Mas udah beliin salep untuk luka memarmu itu”

Awan melangkah menjauh, meninggalkan Winata yang masih menangis di belakang pintu, ia kosong, ia hampa, ia putus asa, dan sekarang? Ia terluka tentang bagaimana Awan memperlakukan dirinya.

Gun POV

Aku ada disini, udaranya menyejukkan, beberapa daun berguguran diatas nisannya lalu ada bocah manis yang membersihkan dedaunan kering diatas nisannya, aku mengantar bocah itu kemari, bocah dari sektor enam yang kemarin senang sekali aku bawa kemari sekarang ia menangis di depan sebuah nisan.

Nisan seseorang yang pernah menyiksa fisik dan batinnya, bahkan rasa-rasanya dulu aku sering mengumpat dan menyumpahimu untuk mati... Haha, lihatlah sekarang kamu Tay... Kamu tak ubahnya hanya seonggok tengkorak busuk dari badan bajingan yang hilang termakan belatung.

Namun bagaiamana lagi, aku juga menghargai pengorbananmu untuk Win saat itu, aku rasa impas Tay.... Kamu pernah mempertaruhkan nyawa Win bukan? Ahhh atau itu hanya alibimu untuk menebus semua dosa-dosamu? Pengecut kamu Tay, dengan seenaknya kamu meninggalkan dunia dan melimpahkan semua beban kepada dua pundak anak muda, kamu gak kasihan sama Newwie? Brian? Gue? Keparat kamu Tay!