nelpages


.

hening, kedua orang yang berada dalam satu mobil itu belum ada yang berbicara sedari tadi. sesekali pram memperhatikan ken yang melamun memandang keluar jendela tak seperti biasanya. hal itu membuat pram memutuskan bertanya untuk menarik perhatian lelaki disampingnya itu.

“lo nggak mau nyoba ngampus aja ken?”

ken menggeleng sebelum menjawabnya, “nggak sampe gue tau siapa yang ngerekam dan nyebarin video itu di grup angkatan.”

ken melirik pram saat ia berbicara, memperhatikan raut wajah lelaki itu yang nampaknya tak terganggu dengan jawabannya.

“tapi kalo lo tetep gatau? lo bakal beneran ambil cuti? lo mau ngulang matkul lagi semester depan?”

ken mengernyit tak setuju, “lo kok gak semangatin gue sih, malah ngomong kayak gitu!”

mendengar nada ketus dalam jawabannya, membuat pram buru-buru menambahkan agar ken tak salah paham.

“maksud gue bukan gitu ken, gue cuman gamau lo terlalu lama gak ngampus, gosip-gosip itu juga perlahan pasti reda, kalopun ada yang nyerang lo gue pasti pasang body.”

jawaban yang terdengar manis, dapat dipastikan ken terharu mendengarnya jika saja ia tak mengetahui fakta lain beberapa jam yang lalu.

keduanya terdiam sampai kendaraan roda empat itu terhenti di depan sebuah rumah, tempat tinggal milik ken. ken keluar lebih dahulu, dan diikuti pram di belakangnya, maniknya tak menangkap eksistensi mobil jian sama sekali, yang berarti lelaki itu menuruti permintaannya.

ia hanya tak tau, lelaki yang dipikirkannya tadi sedang menahan emosi saat melihat ken yang berjalan memasuki rumah diikuti pram dari bawah pohon yang berada sedikit jauh dari rumah lelaki manis itu.

“lo bakal dapet balesannya pram, tunggu aja.”

***

“jangan diberantakin.”

ken dari arah dapur datang membawa sekaleng cemilan dan dua buah cola menuju ruang tamu, saat maniknya menangkap pram sedang mengecek kotak puzzle miliknya.

“mau main ini, ken.”

“minum dulu.”

keduanya membuka soda masing-masing secara bersamaan. ken hanya memandangi saat pram meminum cola itu dengan cepat hingga kini isinya telah tandas masuk ke dalam perutnya.

“udah kan? gue main ini ya, ken?”

ken hanya mengangguk saat pram memasang raut wajah memelas, jika keadaannya tak seperti saat ini mungkin ia akan memukul kepala pram main-main karena demi apa wajah itu sangat menggelikan.

namun kali ini suasana hati ken berbeda, dan pram masih belum menyadarinya.

ken memutuskan menghadap televisi di depannya yang disetel dengan volume rendah hanya untuk mengisi kesunyian di ruang tamu ini. dalam kepalanya terputar berbagai pertanyaan yang berbaris acak meminta terlebih dahulu dikeluarkan dari bibir mungilnya.

ia menatap sekali lagi pram yang masih asik dengan puzzlenya, kemudian beralih pada ponsel pram yang tergeletak di sofa sampingnya, hingga akhirnya menyuarakan keingintahuannya.

“pram, lo kenal dion?”

pergerakan tangan lelaki yang sedang menata puzzle itu seketika berhenti, kemudian menolehkan kepalanya agar bisa menatap ken yang kini duduk di atas sofa.

“tau, dia kan temen seangkatan kita di manajemen.”

hanya jawaban pendek yang pram beri, membuat ken tidak puas dan akhirnya bertanya lagi, “kenal gitu doang?”

“iya, emang kenapa deh? cakep ya? mau gue kenalin?”

ken menatap aneh pram yang memberi jawaban tak terpikirkan olehnya itu, ia kini bahkan tak bisa membedakan kala mana pram berbohong atau jujur padanya, semua terdengar sama.

namun terlintas dalam pikirannya, untuk mengikuti sandiwara ini dengan perlahan.

“bisa emang?”

pram mengangguk antusias, “bisa, gue sempet ke rumahnya waktu ini jadi udah lumayan akrab, lah.”

“serius? bisa dong lo ajak gue kesana biar sekalian pdkt sama mama papanya.”

pram terkekeh kecil saat mendengarnya, “mama papanya gak di rumah, orang sibuk mereka.”

“yah, padahal gue niat sekalian ambil hati keluarganya gitu, biar langsung disetujuin,” ken merengut karena masih belum puas dengan jawaban itu.

hingga akhirnya pram yang sedari tadi hanya menjawab, memasang raut wajah penasaran yang begitu kentara, “lo sesuka itu sama dion?”

meskipun awalnya ragu, ken memilih mengangguk mantap agar pram percaya. melihatnya, membuat pram akhirnya memberi solusi lain.

“dia ada adek cewek, lo bisa deketin adeknya juga kok selain ortunya.”

ken mengerjap mendengar itu, sepertinya yang pram maksud adalah karin yang baru ia temui tadi pagi menjelang siang.

“lo ada foto adeknya gak? mau liat dong.”

pram merogoh ponselnya, kemudian membuka galeri dan menunjukkan foto seorang perempuan, tepat seperti perkiraan ken.

“wahh cakep banget, mirip sama dion juga. pasti keluarganya bibit unggul semua nih!”

pram mengangguk antusias mendengarnya, “namanya karin, anaknya ramah kok baik juga, dia suka boba, suka jalan-jalan apalagi ke pantai, dia suka liat sunset, dia orangnya sensitif jadinya gampang nangis, semut keinjek aja dia nangis seharian, ahahaha!”

ken menatap pram dengan raut wajah tak terbaca, pram tampak begitu mengenal karin, hingga dengan semangat menjelaskan mengenai perempuan itu padanya. lelaki itu masih tertawa geli mengingat kenangan lucunya dengan karin, tak memperhatikan pandangan kosong yang ken tujukan kini padanya.

“lo kenal banget ya sama karin, kalian keliatannya deket.”

pram masih tak sadar nada suara ken yang berbeda dari sebelumnya, ia tersenyum lebar sembari menjawab, “iya, kita cepet klop jadi mustahil gue gak suka sama dia.”

“suka?”

pram terdiam, nampaknya baru menyadari apa yang ia katakan sedari tadi. ia pun seketika memandang ken yang kini memandangnya intens dan nampak sedikit, kesal?

“kayaknya gue mulai ngerti dikit deh.”

pram terlihat bingung mendengar perkataan ken itu.

“lo kenal dion, lo suka karin, dari deskripsi lo tadi keliatannya lo sama dion bukan sekedar temen angkatan, lo kenal dia dari lama kan, pram?”

pram baru saja akan menjawab saat ken kembali menyatakan fakta yang ia ketahui.

“dion sama karin adek kak adnan kan? oh ya, karin dulu mantannya kak adnan juga kalo gak salah. lo cemburu sama mereka, pram?”

lelaki yang ditanyainya masih bungkam. begini, sebenarnya apa yang ken katakan tadi hanya perkiraannya saja, namun sepertinya ia 100% benar, karena pram nampak tak bisa menjawab pertanyaannya sama sekali.

“jadi gue bener? lo cemburu sama kak adnan karena karin dulu lebih milih dia daripada lo?”

“lo tau darimana?” pram membalik pertanyaan yang ditujukan padanya itu.

“dari karin, tadi pagi gue ketemu dia di cafe dan ya, dia cerita banyak.”

pram bertanya was-was, “apa aja yang dia bilang ke lo?”

“lo suka dia, lo kenal sama dia dan dion dari lama. pram, padahal gue berharap lo jujur aja ke gue tentang ini semua.”

“kenapa lo tiba-tiba mau tau tentang hubungan gue sama karin? lo seriusan suka sama gue, ken? lo ada niat jauhin gue sama karin?”

kem mendengus tak percaya mendengar tuduhan tak masuk akal yang pram tujukan padanya.

“lo terlalu percaya diri, pram. gue nganggap lo temen bahkan sahabat gue, gak lebih.”

anehnya pram menghela nafas lega, ia mendekat untuk menggenggam tangan ken yang kini masih menatap tak seramah biasanya.

“lo suka sama dion kan? gue bantu lo pdkt sama dion, gue sama karin, nanti pasti seru kalau kita double date, ya kan ken?”

ken mendecih kesal, “kenapa gue harus suka sama orang yang ngejebak gue masuk ke dalam acara balas dendamnya?”

keterkejutan itu nampak jelas pada wajah pram, “lo ngomong apa sih ken?”

“lo ikut andil ngerekam video gue sama kak adnan itu kan, pram? lo yang nyebarin video itu di grup angkatan kan?”

“lo kok tiba-tiba nuduh gue gitu sih?!”

kem menghempaskan tangan pram yang sempat menggenggam kedua tangannya, ia berdiri menjauh dari pram yang kini mencoba terus menariknya mendekat.

ken terus menolak setiap pergerakannya, manik yang menatapnya kecewa itu membuat pram makin gusar, seharusnya bukan seperti ini, maunya juga bukan seperti ini. ia panik, melihat kemarahan ken di hadapannya membuat pram sedikit banyak takut, ia menyayangi ken namun keadaan memaksanya melakukan ini.

tidak ada jalan lain kali ini, untuk meredakan kemarahan ken tidak ada jalan selain ia menjelaskan alasannya melakukan semua ini.

“gue suka sama karin..”

ken yang awalnya tak acuh kini menatap pram yang menunduk sembari bibirnya terus menjelaskan.

“gue lebih dulu kenal dia, bukan adnan. tapi kenapa dia yang karin pilih? dunia gak adil sama gue, ken!”

“gue udah biarin dia bahagia dua tahun bareng karin. sekarang, dia harus rasain gimana sakitnya gue dulu, dia kehilangan karin, dan status asdosnya terancam diganti, dia pantes buat dapet itu!”

tak menyangka pram akan membenarkan tuduhannya membuat hati ken sakit, teman yang ia percaya melakukan hal di luar nalarnya, bahkan ikut menyakiti ia yang tak ada sangkut pautnya sama sekali.

“tapi kenapa harus gue pram? lo gak sadar lo ikut ngejebak gue dalam rencana lo ini? selama ini, lo anggep gue temen lo nggak?!”

sadar ken nampak masih di puncak amarahnya, pram kembali mencoba menjelaskan, “gue gak tau adnan ada hubungan apa sama lo, dan waktu pesta itu kebetulan dia ada bareng lo, gue kaget liat dia cium lo tiba-tiba, gue sempet ragu, tapi gue harus rekam itu buat hancurin adnan, dan dengan itu rencana kita bisa berhasil..”

“kita?”

“gue sama dion, dion juga ada dendam sama adnan, papa mereka terlalu sayang sama adnan dan gapernah merhatiin dion, itu yang buat kita akhirnya buat rencana hancurin adnan.”

tak terasa pipinya telah basah, mendengar semua penjelasan pram semakin membuat ia sakit hati, ia kesal karena sebegitunya mempercayai pram, bahkan mengatakan hal menyakitkan pada jian tempo hari saat ingin menjelaskan semua padanya.

ken menatap pram dengan matanya yang sedikit sembab, “dan lo ngorbanin gue, pram..gue yang gatau apa-apa lo korbanin disini..lo berlaku baik sama gue bahkan setelah lo nyakitin gue seakan sebelumnya gak terjadi apa-apa, dan bodohnya, gue bilang gue lebih percaya lo daripada jian yang gue tau gak sebusuk lo kayak gini, pram!”

pram kembali mencoba mendekat, tujuannya sekarang hanya memeluk ken dan menenangkannya, namun sepertinya itu sulit, karena ken tetap menatapnya sarat akan kekecewaan.

“gue minta maaf ken, please, niat gue bukan kayak gini, gue juga gak niat libatin lo tapi situasinya gak mendukung. lo mau maafin gue kan ken?”

ken masih terdiam, matanya menatap ke arah lain asalkan tidak pada pram yang masih merengek padanya meminta maaf. pram nampak tak gentar, walaupun ken berkali-kali mendorongnya namun tetap saja kekuatannya tak sebanding dengan milik pram.

hingga akhirnya ia mengalah, membalas tatapan pram yang memelas itu dengan tatapan sendunya.

“oke.”

jawaban pendek itu membuat pram kaget setengah mati, “lo maafin gue? serius??”

ken mengangguk kecil sebagai balasan. melihatnya, membuat pram yang semula muram dan hampir menangis, seketika menghambur pada ken dan memeluknya erat. ia menenggelamkan ken dalam dekapannya sembari bergumam terima kasih berkali-kali.

ken hanya diam tak berniat membalas pelukan itu. kepalanya sedikit pusing karena kejadian tiba-tiba ini. dagunya yang bertumpu di bahu pram kini sedikit memiring. membuat pandangannya menatap ponsel pram yang tergeletak di atas bantal sofa akibat ulahnya—

—ponsel yang layarnya menampilkan laman live instagram akun milik pram yang sedang berjalan dengan jumlah penonton hampir seribu, sejak awal pertengkaran mereka sore tadi.


maniknya masih asik menatap layar ponsel saat ia menangkap ketukan kecil jemari lentik seseorang di meja di hadapannya.

“ken, bukan? masih inget gue gak?”

ken menatap perempuan di hadapannya, berpikir dimana ia sempat bertemu dengan perempuan ini. matanya seketika membola saat ia mengingat pertemuan mereka pertama kali di sebuah kedai makan.

“karin?”

“iya, gue karin! wah, gak nyangka lo masih inget gue padahal waktu itu ketemu bentaran doang.”

“gue lebih gak nyangka kita bisa ketemu lagi.”

perempuan itu tertawa kecil menanggapi. menurut ken, perempuan dihadapannya ini memiliki paras cantik yang tidak membosankan. kepalanya mengangguk saat karin meminta ijin duduk di kursi seberangnya. setelahnya diantara keduanya terdiam, menciptakan suasana canggung yang membuat ken sedikit tidak nyaman.

“ehm, lo kesini sendirian ken?”

ken mengangguk kecil, “iya, emang niatnya me time sih.”

“eh terus gue ganggu dong?”

ken buru-buru menggelengkan kepalanya tak enak, “nggak kok, malah gue seneng sekarang ada temen ngobrol.”

wajah karin yang semula merasa bersalah perlahan menampilkan senyum manisnya kembali. ia melambaikan tangan pada seorang waitress kemudian menyampaikan pesanannya. dan sembari menunggu minumannya datang, ia kembali membuka pembicaraan.

“gue nyesel waktu itu gak minta kontak lo, ken.”

ken mengernyit bingung, “kenapa nyesel?”

“gue ngerasa aja kita bisa jadi temen sewaktu gue jemput abang gue waktu itu. lo keliatannya asik.”

“ah, lo berlebihan, gue gak seasik itu kok.” ken menunduk menyembunyikan wajahnya yang merona akibat pujian kecil itu.

pembicaraan berlanjut hingga keduanya mengetahui bahwa satu sama lain hanya terpaut umur satu tahun. dulu ken murid percepatan, itu yang membuat ia lebih dahulu satu tahun mengenyam bangku perkuliahan dibanding karin.

“lo anak manajemen UYG kan, abang gue yang lo tolong waktu itu juga mahasiswa sana, terus jadi asdos juga, lo tau?”

jelas tau, bahkan beberapa hari lalu mereka sempat bertemu dan menghabiskan waktu berdua. bahkan keduanya pun sedang terlibat sebuah skandal, yang membuat ken kini bingung menjawab pertanyaan karin itu.

dan berakhir ken menjawab ragu-ragu, “iya, gue tau.”

“lo kenal?”

“abang lo ngajar di kelas gue juga.”

karin terlihat mengetuk-ngetuk meja depannya saat kembali melempar pertanyaan, “lo kenal sejauh apa sama abang gue?”

hampir saja ken menyemburkan es kopinya saat pertanyaan itu ditujukan padanya oleh karin, beruntung ia masih bisa mengontrol diri dan mempertahankan raut wajahnya agar tak panik.

belum sempat ken menjawab, seorang waitress datang membawa pesanan karin. ken diam-diam menarik nafas lega, sembari mempersiapkan jawaban yang akan ia beri pada adik dari asdosnya itu.

sepeninggal waitress tadi, suasana antara keduanya kembali canggung. namun karin lebih dulu menatap ken sembari mengaduk milkshakenya, meminta jawaban.

“ya cuma sebatas mahasiwa sama asdos yang gantiin dosen di kelasnya, kebetulan dosen gue cuti jadi abang lo ngajarnya full. dia juga kating gue, ya sekedar kenal gitu aja tau namanya cuman gak sering ketemu.”

“abang gue udah lama gak balik pulang.”

ken menaikkan satu alisnya, menunggu karin yang terlihat masih ingin berbicara.

“gue denger dia ada skandal di kampus, lo tau itu?”

sekarang ken harus menjawab apa? tak mungkin ia tak tau karena ia lah orang yang juga terdapat dalam video itu. tapi ada ragu dalam hatinya untuk mengungkapkan yang sebenarnya pada karin, terlebih raut wajah perempuan itu nampak tak seramah sebelumnya.

sorry kayaknya lo gak nyaman ya sama pertanyaan-pertanyaan gue?”

melihat karin memasang wajah bersalah kembali membuatnya tak enak lalu menggeleng pelan, “enggak kok, cuman agak kaget doang, hehe.”

kekehan kecil yang keluar dari bibir ken ia maksudkan untuk mencairkan suasana, terbukti dari karin yang kini kembali terlihat lebih bersahabat, seakan melupakan pertanyaannya tadi.

oh, atau tidak.

“jadi gimana, lo tau?”

ken pikir tak ada jalan lain untuk ia mengelak, terlebih sepertinya karin mengetahui beberapa hal, dan bertanya padanya hanya untuk mencocokkan kenyataan.

“sebenernya gue orang yang ada dalam video itu.”

sesuai perkiraan ken, karin tidak terkejut, perempuan itu sudah mengetahuinya. kini ia sedikit was-was, apa lagi pertanyaan yang akan perempuan itu lemparkan padanya.

“gue sempet denger itu dari dion. dia anak manajemen juga seangkatan sama lo, jadi dia juga tau soal video itu. gue juga sempet liat videonya, gue agak kaget.”

ken sebenarnya ingin bertanya siapa dion, terlebih ia tidak banyak tau teman seangkatannya. dalam mulutnya seakan telah tersiapkan banyak pembelaan, begitu mendengar apa yang karin ucapkan, ia tak mau dianggap lelaki murahan, atau sebagainya. namun sayang, bibirnya terkatup rapat, tak berbicara apapun sesuai dengan keinginannya sedari tadi.

dan nampaknya karin menyadari itu, membuat ia memilih menjelaskan kata-katanya sebelum ken salah paham.

“gue gak maksud nganggep lo ngegoda abang gue. gue tau abang gue dengan baik. sebenernya dia dulu pacar gue, sebelum akhirnya mama milih nikah sama papanya adnan dan buat gue sama dion berakhir jadi adek tirinya adnan.”

ken terkejut mendengar penjelasan itu, ternyata dugaannya dulu yang sempat mengira perempuan itu pacar adnan jelas benar. ia menyadari tatapan perempuan itu saat menjemput adnan di kali pertama pertemuan mereka.

sempat beberapa menit terdiam, ken seakan dikejutkan kembali dengan ingatannya bahwa perempuan di hadapannya inilah yang malam itu ditangisi adnan, saat pertama kali mereka bertemu, saat adnan menangis dipelukannya dan meminta ditenangkan.

pertemuan yang kemudian membuahkan pertemuan-pertemuan lain dengan kondisi dan tokoh yang sama.

“adnan emang kadang suka mabuk, mungkin akhir-akhir ini sering apalagi banyak pikiran. gue sempet kaget waktu dia nempel ke lo waktu mabuk hari itu, sebenernya dia tipe yang lebih suka mabuk sendiri, gak ditemenin. gue baru tau dia bisa manja sama orang yang notabene gak dia kenal waktu dia mabuk.”

informasi baru lagi yang ken dapatkan tentang adnan. sejak terakhir di rumah pram, setiap bertemu dengannya beberapa hari terakhir adnan tidak ia perbolehkan mabuk sekali pun, dan lelaki itu juga menurutinya dengan suka rela.

ia jadi bingung, apa adnan tidak banyak pikiran sepertinya? di saat dirinya sangat ingin kembali kuliah seperti biasa dan membersihkan namanya, apa adnan tak menginginkan hal yang sama?

melihat ken yang masih terdiam, karin memutuskan kembali bertanya, “lo selama ini tetep kuliah? lo baik-baik aja, ken?”

karin bertanya dengan lembut, sudah lama rasanya ken tidak pernah ditanyai keadaannya oleh siapapun bahkan temannya, hal itu membuat manik hitam ken berkaca-kaca.

“gue ijin lebih dari seminggu, orang kampus serem-serem rin, gue gak kuat buat ngadepin semua kata-kata buruk mereka buat gue. walaupun gue jelasin itu bukan mau gue pun, gue bakal dianggap salah dan murahan karena udah ngegoda dosen.”

mendengarnya, membuat karin merasa iba. rasa kesalnya pasa adnan makin besar, kakaknya itu secara tak sadar telah mengorbankan kehidupan perkuliahan ken yang seharusnya nyaman dan baik-baik saja, menjadi berbalik 180 derajat dari seharusnya. ia berjanji akan mewakilkan ken untuk memukuli kakaknya itu sebagai hukuman.

tak ada yang bisa ia lakukan selain mengelus punggung tangan ken dengan lembut, mencoba memberi dukungan pada ken yang kini tertunduk sembari menghapus bulir bening yang tak sengaja jatuh dari sudut matanya.

ken kembali menatap karin, ia telah melewati setengah tahap untuk jujur, ia pikir tak ada salahnya ia bercerita mengenai keluh kesahnya pada perempuan yang kini masih menggenggam tangan kanannya itu.

“gue pikir gue dijebak rin, gamungkin itu video ada dan kesebar kalo gaada yang rencanain ini sebelumnya kan? waktu itu kebetulan gue lagi nyari pram ke atas, terus liat abang lo duduk di sofa, maunya gue samperin suruh pulang doang, tapi apa yang terjadi setelah itu bahkan gapernah gue pikirin sebelumnya...”

karin yang mendengar itu semula sempat terkejut, namun cepat-cepat ia kembalikan raut wajahnya menjadi semula, masih menjadi pendengar yang baik bagi ken.

karin kemudian mengelus bahu ken pelan, “gue harap semua hal buruk yang nimpa lo ini bisa cepet berlalu, ken. gue yakin lo orang baik, semua orang bakal sadar kalo apa yang mereka lakuin ke lo itu salah, dan semua bakal kembali baik kayak semula, lo yang sabar ya.”

ken mengangguk mengiyakan, dalam hati berucap doa yang sama agar setidaknya ia bisa membuktikan ia bukan seperti yang anak-anak kampus katakan.

karin yang semula ingin menanyakan hubungan ken dan adnan pun menjadi urung, itu bukan pertanyaan yang tepat untuk ia tanyakan pada lelaki di seberangnya ini. cukup dengan ia yang telah yakin bahwa ken adalah orang yang baik, tidak seperti pikirannya pertama kali, semua rasa penasarannya bisa ia bendung pelan-pelan.

ia mencoba membawa topik santai, menanyakan kesukaan ken, begitupun dengan hobi dan kebiasaannya, bahkan mereka sempat bertukar nomer ponsel dan berjanji akan bertemu lagi saat senggang.

senyum ken kembali muncul, kini ia lebih rileks berkat karin yang mengerti suasana. ia tak menyesal bertemu dengan perempuan cantik di hadapannya itu, dalam kepalanya terpikirkan jelas saja adnan menangis sebegitunya saat hubungan keduanya berakhir.

namun topik santai yang mereka bicarakan nampaknya tak bisa menutup rasa penasaran ken, terlebih ketika ia menyadari foto profil karin setelah mereka bertukar nomer, sama dengan foto profil yang ia lihat di ponsel seseorang beberapa hari yang lalu.

ken tak bisa menahan rasa ingin taunya, membuat ia tiba-tiba bertanya pada karin dengan hati-hati.

“rin, kalo boleh tau, lo ada hubungan apa sama pram? lo waktu itu dateng ke pesta pram kan yang malem minggu?”

karin sempat terdiam, seperti memilih kata yang tepat untuk mendeskripsikan hubungan keduanya.

“pram temen gue dulu dari awal smp, sebenernya dia temen deket dion dan akhirnya deket sama gue juga. kita deket lebih dari temen yang seharusnya, sampe waktu itu pram nembak gue dan gue tolak karena gue gak punya perasaan yang sama.”

ah, bahkan fakta ini membuktikan dengan jelas alasan nama kontak karin sepanjang itu pada ponsel pram.

namun ken masih mencoba menggali info lebih dalam, ia pun bertanya kembali.

“tapi lo masih temenan sama dia?”

“setelah waktu itu gue pacaran sama adnan, dia tiba-tiba ngilang. gue juga ngerasa gak nyaman sih, tapi gue gak kepikiran kita bakal sejarang itu ketemunya. gue ketemu dia paling kalo dia lagi main ke rumah nyari dion, tapi seringnya mereka main keluar.”

“pram sedeket itu sama dion?”

“hmm setau gue sih iya, kenapa? lo kenal mereka?”

belum sempat ken menjawab, karin menyela terlebih dahulu, “ah kayaknya pertanyaan gue bodo banget, kan kalian satu angkatan di kampus ya? masak gakenal sih ahahaha!”

karin menertawakan pertanyaan bodohnya, mengabaikan raut wajah ken yang kini berubah kusut memikirkan hubungan dari semua info yang ia dapatkan hari ini.

pesta pram, teman dekat yang dipercaya pram, orang yang menggendong ken ke kamar, semua dugaan adnan yang disampaikannya beberapa hari lalu kini terus berputar dalam pikirannya.

hingga ponsel karin berdering nyaring, menyadarkan keduanya dari kegiatan masing-masing.

“halo”

”...”

“udah di depan? tunggu gue.”

sambungan telepon terputus, karin pun membereskan diri dan berdiri lebih dulu.

“ken, abang gue udah di depan jemput, gue balik duluan gaapa ya, see you next time!”

karin melambai ke arahnya, yang ia balas lambaian juga. pandangannya mengikuti arah karin berjalan, seperti penasaran kakak yang mana yang katanya menjemputnya.

hingga pandangannya menangkap seorang lelaki tinggi dengan kemeja putih lengkap dengan kacamata, tangannya mengusak rambut karin sembari tersenyum yang kemudian dibalas pukulan—ralat, tinjuan keras di bahu kanannya membuat si empu mengaduh sakit namun masih tertawa.

lelaki itu, lelaki yang sama yang menemaninya beberapa hari yang lalu, adnan.

pandangan mereka bertemu, ken memasang senyum kaku, namun yang tak ia sangka, adnan membuang wajahnya dan bergegas masuk ke mobil, meninggalkan ken yang terperangah dengan raut wajah kecewa, perasaan asing tak mengenakkan yang tadi sempat timbul saat ken berpikir betapa berharganya karin bagi adnan, kembali menyeruak ke permukaan.

“kayaknya bener kata jian, gue emang terlalu gampang buat dibodohin.”


setelah mengambil beberapa bukunya yang tertinggal di loker, junkyu memutuskan untuk pulang. tas sekolahnya kini tersampir di bahu kanan, dengan tangan yang sibuk mengecek ponsel yang sempat terjatuh tadi. beruntung saja layarnya tak retak, namun baru ia sadari baterai ponselnya telah kehabisan daya.

kakinya berjalan menyusuri lorong kelas 12 dengan cukup cepat. di hari jumat, biasanya banyak ekskul yang masih berkegiatan di pukul enam sore seperti saat ini termasuk ekskul yang ia ikuti, namun sepertinya hari ini adalah pengecualian.

sekolah dengan kelas-kelas dan ruangan ekskul yang kosong itu nampak dua kali lipat lebih menakutkan, terlebih dengan langit mendung yang membawa angin berhembus cukup kencang dengannya. dan lagi-lagi, junkyu bergedik ngeri dan mempercepat laju jalannya.

omong-omong soal mendung, junkyu jadi teringat sesuatu. payungnya yang selalu ia bawa tiap sekolah, kini tidak berada di tangannya. jihoon yang sempat meminjamnya tadi tidak memberi kabar lagi, dan ia juga tak bisa menanyakan perihal payungnya dengan kondisi ponsel yang mati.

junkyu menggerutu kecil saat angin yang berhembus menerbangkan beberapa daun menerpa wajah manisnya.

“aish, mata gue perih kan jadinya!”

tangannya mengucek mata kanan perlahan, sambil kakinya terus melangkah keluar gerbang sekolah dan menuju halte bus di ujung jalan.

hingga sampainya ia di halte tujuan, tak ada seorang pun duduk disana. wajar saja mengingat tadi di dalam sekolah juga nampak sudah sepi. junkyu pun memilih duduk di bagian tengah, menyadari rintik-rintik hujan mulai muncul sedikit demi sedikit.

junkyu melepas tasnya guna membawa tas itu di pangkuan. tangannya memeluk tas sekolah itu erat, seakan berbagi kehangatan. sayang sekali tadi pagi ia menolak jaket yang diserahkan mamanya, berkata buku dalam tasnya terlalu penuh. namun sepertinya insting mamanya tak bisa diragukan, ia jadi menyesal sekarang.

“perasaan masih jam setengah tujuh deh, bus-bus pada kemana sih?”

benar, bus yang biasanya beroperasi tiap tiga puluh menit itu tidak menunjukkan eksistensinya. padahal harusnya, begitu junkyu sampai halte tadi adalah waktu bus tiba. lagi-lagi hal itu membuat junkyu menggerutu kesal.

namun sekejap gerutuannya itu terhenti, akibat menyadari seseorang lelaki tinggi kini duduk di kursi yang sama dengannya, dengan jarak sekitar lima jengkal.

lelaki itu berseragam sama dengannya, dengan telinga yang tersumpal earphone, tangan kanan kirinya dimasukkan ke saku.

wah, ganteng banget, batinnya.

matanya kemudian mengerjap cepat, sial, lelaki itu tiba-tiba menoleh kearahnya memergoki ia yang sedang asik memerhatikan—ralat, mengagumi lelaki itu dalam diam.

buru-buru junkyu mengalihkan pandangannya, kini ia fokus menghadap jalan depan. ia baru ingat orang di sampingnya itu. lelaki itu haruto si ketua pmr yang lusa lalu membuatkannya teh di uks saat pingsan. mengingatnya membuat junkyu malu, terlebih saat itu ia sempat tersedak obat di hadapan haruto. junkyu jadi refleks menjauhkan duduknya dari lelaki disampingnya itu.

seiring berjalannya waktu, gerimis tadi berubah menjadi hujan yang lebih deras. volume air yang jatuh dari atap halte makin banyak, beberapa kali terciprat mengenai junkyu yang kini sedikit meringkuk di kursi halte. duduknya kembali bergeser lebih ke tengah, namun tetap membuat jarak dengan haruto yang kini membentangkan sebuah payung besar berwarna hitam untuk melindungi dirinya sendiri.

ah, payung gue, sesal junkyu melihat haruto yang aman dengan payungnya.

haruto tidak menoleh kembali padanya, lelaki itu masih asik dengan lagu yang ia dengarkan lewat earphone miliknya. bahkan sampai tubuh junkyu bergetar kecil, lelaki itu masih diam tak menyadarinya.

“b-bus kemana sih elah, g-gue mau cepet pulang..”

akibat cuaca yang semakin dingin bersamaan dengan hujan deras itu, bibir junkyu kini ikut bergetar kedinginan, giginya pun ikut bergemeletuk dengan mata yang mulai memejam sayu.

“g-gue mau p-pulang..”

kursi disampingnya berderit, tak disangka haruto mendekatkan duduknya, dengan payung yang kini berada di atas kepala keduanya. haruto masih bungkam, tidak berkata apapun.

junkyu yang merasakan seseorang duduk di dekatnya mendongak setelah sebelumnya menunduk akibat menggigil. ia hanya menoleh sekilas ke arah haruto yang masih fokus menatap jalan, kemudian kembali menundukkan wajahnya.

“your lips look very cold.”

suara berat haruto terdengar masuk ke telinganya, membuat junkyu menoleh dan merespon dengan anggukan singkat. bibirnya kini bahkan berubah pucat.

“want me to warm them up for you?”

junkyu mendengar tawaran itu samar-samar. akibat kedinginan, otaknya berpikir lebih lambat dari biasanya. ia mencoba menerka maksud haruto, namun tanpa ia sadari refleksnya bergerak terlebih dahulu dengan mengangguk kembali.

merasa mendapat persetujuan, haruto memajukan duduknya, payung yang awalnya digenggam tangan kanannya berbalik ke tangan kiri. dengan tangan kanannya yang bebas, haruto menangkup sebelah pipi junkyu yang nampak pucat, mengelusnya perlahan sebelum akhirnya mengikis jarak antara mereka berdua.

bibirnya kini bersentuhan dengan bibir pucat milik junkyu, benar, lelaki itu sepertinya sangat kedinginan. dengan lembut ia menggerakkan bibirnya, melumat bibir bawah junkyu perlahan bergantian dengan bibir atasnya.

berbeda dengan haruto yang telah memejamkan matanya, junkyu masih dikuasai keterkejutan. namun lembut perlakuan haruto padanya membuat ia mulai terhanyut, ikut membalas lumatan lelaki dihadapannya itu.

haruto tersenyum lebar, hatinya bersorak saat junkyu tak menolak apa yang ia lakukan. payung yang ia pegang sedikit ia turunkan, menyembunyikan kegiatan mereka dari orang yang lalu lalang.

ia harus berterimakasih nanti pada jaehyuk yang akhirnya membelikan payung hitam cukup besar itu untuknya, walaupun sebelumnya ia sempat membatin payung itu mirip payung berkabung tak sesuai dengan payung warna-warni yang diperlihatkan jaehyuk tadi.

junkyu menepuk bahu haruto terlebih dahulu, membuat haruto menjauhkan wajahnya tak rela. junkyu menarik nafas rakus, saat sedang fokus tiba-tiba ibu jari haruto mengelus bibir bawahnya yang masih tampak mengilap akibat ciuman tadi,

“cantik.”

***

“siniin tangan lo.”

junkyu menyerahkan kedua tangannya sukarela, yang langsung disambut dengan tangkupan tangan haruto yang jauh lebih besar. sesekali tangkupan tangan itu ditiup, membawa hangat pada kedua tangan mungilnya yang kini tak gemetaran lagi.

duduk mereka masih bersisian. setelah ciuman tiba-tiba yang haruto berikan padanya tadi, junkyu menutup wajahnya dengan jaket haruto yang kini telah terpasang di tubuhnya. haruto terkekeh geli dibuatnya, tak ia sangka seseorang yang ia sukai bisa jadi sangat menggemaskan seperti ini.

“ayo pacara—”

jam tangan yang melingkar di tangan haruto saat itu menunjukkan pukul delapan, saat tiba-tiba sebuah bus berhenti di hadapan mereka berdua, memutus ucapannya tadi.

junkyu nampaknya tak mendengar, kini ia sedang menghembuskan nafas lega, karena sebenarnya ia masih malu dengan apa yang terjadi tadi. tapi tak bohong, jantung junkyu berdegup tak santai, pipinya pun masih merona menggantikan pucatnya akibat sempat kedinginan.

pintu bus terbuka, junkyu terlebih dahulu bangun dan berniat melepas jaket haruto yang dipakainya sebelum haruto menghentikannya lebih dulu.

“lo pake aja, pasti masih dingin. ini payung juga bisa lo bawa pulang, buat jaga-jaga kalau nanti hujan lagi.”

junkyu mengernyit bingung, “terus lo gimana? gak ikut balik naik bus ini?”

“rumah gue deket sini kok, sebentar lagi dijemput temen.”

junkyu masih terdiam, nampak berpikir keras entah untuk apa. namun haruto cukup peka dengan apa yang dipikirkan lelaki manis itu, yang akhirnya memberi jawaban atas kebingungannya.

“jaket sama payungnya balikin besok bisa, ke kelas ipa 1 aja cari yang namanya haruto. cuman gue doang kok.”

mendengarnya membuat junkyu akhirnya mengangguk, mulai menyampirkan tasnya ke punggung, dan merapikan payung yang dipinjamkan haruto.

kakinya melangkah memasuki bus dan berjalan mencari tempat duduk di samping jendela sebelah kanan. matanya masih menangkap eksistensi haruto di halte tadi, yang kini tengah tersenyum lebar padanya.

“see u besok, junkyu!”

junkyu menangkap gerakan bibir haruto tadi, tangan junkyu kini melambai kecil, membalas senyum haruto tadi tak kalah lebar sampai-sampai lesung pipinya kelihatan.

hingga bus mulai melaju, junkyu masih tersenyum, menyentuh kembali bibirnya yang kini lebih hangat, pipinya kembali memerah membayangkan apa yang terjadi tadi.

tak berbeda dengan haruto yang masih melambai walau bus junkyu sudah tak terlihat. senyumnya mengembang tak seperti biasanya, perlahan menyentuh dadanya yang masih berdegup nyaring akibat tindakan nekatnya tadi.

dering nyaring ponselnya yang kemudian menyadarkan ia dari lamunan, terpampang nama kakaknya yang sepertinya siap mengomel setelah ini.

“lo kemana sih sampe malem dek? mobilnya mau gue pake ini!”

ah akibat terburu-buru menghampiri junkyu tadi haruto sampai lupa, bahwa sejak sore tadi mobil kakaknya masih terparkir rapi di parkiran sekolah.

bukannya menjawab pertanyaan kakaknya, haruto yang masih tersenyum mengingat hal tadi malah menjawab dengan semangat,

“kak, barusan gue abis cium crush gue!”

.

.

.

fin.


setelah perdebatan tak penting antara dirinya dan jian terhenti, ken kembali memperhatikan kemasan susu bubuk di hadapannya itu. sebenarnya ia sedikit tergoda, apalagi jian membelikan dengan rasa kesukaannya.

dengan ragu ia membuka kemasan hingga setelahnya memilih menyeduh susu bubuk itu. tidak buruk, rasanya mirip susu kemasan biasa. bahkan cenderung cocok dengan lidahnya.

setelah mencuci gelas dan mengecek jam yang terpasang di dinding dapurnya, ia bergegas bersiap menuju rumah pram sesuai janjinya tadi pada temannya itu.

tepat saat ia membuka pintu pagar rumahnya dan hendak menutup kembali, maniknya menangkap sebuah mobil hitam yang tampak tak asing. belum sempat mengira-ngira pemilik mobil itu, seorang lelaki tinggi keluar kemudian melambai kecil ke arahnya.

“hai, kita ketemu lagi.”

ken mengerjapkan matanya tak santai, kenapa orang yang ingin ia hindari ini bisa ada tepat dihadapannya?

“lo mau kemana? mau gue temenin aja?”

lagi-lagi ken tak menyahut, pandangannya kosong bahkan ia juga bingung harus menjawab seperti apa.

hal itu membuat lelaki di hadapannya mengambil inisiatif menarik pelan pergelangan tangan kanan ken, mengarahkan lelaki itu untuk masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang disampingnya.

begitu keduanya berada dalam mobil, melihat ken yang masih juga tak bereaksi membuat lelaki itu mendekatkan dirinya, menarik seatbelt yang ada di belakang ken hingga kini terpasang benar melindungi tubuhnya.

ken sempat terkejut, apalagi saat hangat nafas lelaki dihadapannya itu menerpa lembut wajahnya. ia bahkan menahan nafas, saat lelaki itu memilih mendekatkan kembali wajahnya, hanya untuk merapikan poni depan miliknya yang sedikit berantakan.

“nafas dong, nanti lo bisa mati.”

ken mendengus kesal, ini reaksi pertama yang ia berikan sejak tadi sebelum memasuki mobil. lelaki di sampingnya hanya terkekeh kecil mendengarnya.

sorry gue tiba-tiba nyamperin lo ke rumah, lo juga gak bales chat gue beberapa hari lalu.”

ken memilih membuang pandangannya, mengarahkan kepalanya ke jendela samping.

“kita muter-muter bentar gaapa ya? mumpung libur juga.”

ajakan itu kemudian menarik perhatian ken yang kini memasang raut wajah kesal, “gak bisa, gue mau ke rumah temen sekarang, lo gak bisa seenaknya nyulik gue gini, kak!”

“akhirnya lo ngomong juga.”

adnan, lelaki yang ken anggap menyuliknya pagi ini tak menggubris tolakan dari ken, malah sekarang ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang sambil mencoba menghidupkan radio untuk sedikit mengusir kecanggungan antara keduanya.

“gue gak suka denger lagu pagi-pagi.”

tangan kirinya terhenti mendadak, ia memilih mengurungkan niat dan menuruti perkataan ken tadi.

“lo udah makan belum?”

pertanyaan adnan lagi-lagi tak ia jawab, membuat adnan menyimpulkan bahwa lelaki di sampingnya itu memang belum sarapan sama sekali.

kendaraan roda empat itu kemudian terhenti di jalanan cukup sepi, tepat di seberang sungai besar yang tampak jernih dan sedikit memantulkan sinar matahari pagi.

setelah mematikan mesin dan membuka sedikit jendela bagian kanan dan kiri, adnan melepas seatbeltnya, kemudian mengarahkan tangannya ke jok belakang, mengambil sebuah totebag kertas yang didalamnya terdapat kotak makan berwarna biru tua.

adnan menyerahkan kotak makan yang telah ia buka tutupnya itu perlahan pada lelaki disampingnya, yang dibalas tatapan heran oleh ken,

“ini nasi goreng buatan gue, ada daging ayam sama telurnya. itu juga udah ada sayur supaya lo sehat, ayo sekarang dimakan.”

ken berniat menolak, namun aroma nasi goreng itu benar-benar menggodanya. hingga saat adnan menyodorkan sebuah sendok makan, ia pun menerimanya dengan semangat.

“enak banget ya, sampai lo lahap gini makannya?”

kekehan kecil keluar dari bilah bibir adnan, dengan ibu jarinya yang kini membersihkan sisa nasi di sudut bibir ken. tangannya yang lain juga ikut membersihkan beberapa remahan daging di sekitar baju yang ken kenakan akibat sempat tersedak tadi.

ken tak menolak, ia masih fokus dengan makanannya. ini tak bohong, makanan buatan adnan sangat enak dan sesuai dengan selera ken yang tergolong pemilih dalam makanan. bahkan ia sempat bersendawa kecil setelah makanan dalam kotak itu tandas masuk ke dalam perutnya.

“makasih.”

adnan yang sedang merapikan kotak makan itu menoleh saat ken berbicara pendek, yang ia balas dengan tepukan kecil di pucuk kepala lelaki itu sebagai penghargaan telah menghabiskan makanan buatannya.

ken tertegun, namun tak berani menatap ke arah adnan yang ia yakini masih melihat ke arahnya. jari-jarinya kini bertautan akibat gugup, ia bingung harus melakukan apa sekarang.

“santai aja, maksud gue buat ketemu lo sebenernya cuman buat ngilangin kangen, kok.”

kangen? kangen katanya? bahkan mereka baru bertemu tiga kali, dan tidak pernah berkenalan dengan benar bagaimana bisa lelaki itu mengatakan alasan tadi? ken menggeleng tak percaya dibuatnya.

menyadarinya membuat adnan berkata lagi,

“mungkin ini kedengeran aneh, tapi gue beneran pengen banget ketemu lo lagi setelah yang terakhir kali. kalo lo lupa, gue yang waktu itu lo tenangin di restoran abis putus—”

iya, ken ingat sekarang. lelaki disampingnya ini adalah lelaki yang sama yang menangis dalam pelukannya setelah putus cinta.

“—kedua waktu di kedai makan, ketiga waktu lo anter pulang, dan terakhir waktu di rumah pram.”

kini ken mengingat jelas semua pertemuan mereka, yang walaupun didominasi dengan keadaan adnan yang mabuk, tapi ken dibuat takjub lelaki itu dapat mengingat semua pertemuan mereka.

“waktu di rumah pram, itu bener lo kan?”

meskipun ragu, ken tetap mengangguk kecil mengiyakan.

“lo pasti tau soal video yang beredar di kampus, gue mau minta maaf karena bawa lo ke dalam masalah kayak gini. gue pastiin bakal nemu siapa dalang yang nyebarin video itu, dan lo bisa balik kuliah dengan aman kayak sebelumnya.”

ken membalas tatapan adnan setelah sebelumnya memilih menunduk mendengarkan, “gue bakal bantu lo kak, kita cari orang yang nyebarin video itu sama-sama.”

sebenarnya ini bukan salah adnan, ken sadar itu. ciuman itu tak disengaja, dan video itu ada layaknya jebakan untuk keduanya. itulah yang membuat ken juga bertekad untuk menemukan siapa dalang dibalik ini semua.

adnan tersenyum lebar, mendengar ken yang ingin membantu membuat beban yang ditanggungnya terangkat sedikit demi sedikit. tangannya refleks menggenggam tangan mungil milik ken, menyampaikan rasa senangnya yang tak terhingga hanya karena ucapan ken tadi.

ken merespon seadanya, ia hanya membalas senyum yang diberi adnan, sebenarnya ia masih tak percaya akan bertemu kembali bahkan berbincang dalam keadaan sepenuhnya sadar dengan orang dihadapannya itu.

hingga sebuah pertanyaan dari adnan menyadarkannya dari lamunan,

“gue boleh peluk lo?”

tidak menunggu persetujuan ken, adnan langsung menarik lelaki yang lebih kecil darinya itu ke dalam pelukan. aroma strawberry yang manis menguar dari perpotongan leher ken, begitu membuat adnan terlena hingga tak ingin rasanya melepas pelukannya itu.

ia merasakan sepasang tangan melingkar di pinggangnya, menyadari ken membalas pelukannya itu, semakin membuat adnan gembira. ia pikir ini akan jadi permulaan yang bagus untuk hubungan keduanya.

karena merasa sedikit sesak, ken akhirnya berdeham untuk menyadarkan adnan, dan nampaknya lelaki itu mengerti, karena setelahnya ia menguraikan pelukan itu walau sedikit tidak rela. namun senyum di wajahnya tak luntur saat ia kembali berbicara,

“makasih udah mau ketemu sama gue hari ini.”

ken mengangkat bahunya acuh, “lo nyulik gue ya kak, gue nolak juga gak mungkin bisa.”

adnan tertawa puas mendengarnya. setelah beberapa hari ini hanya dihiasi oleh wajahnya yang muram dan penat akibat memikirkan masalahnya, hari ini ia bisa sedikit bebas. berkat lelaki manis di sampingnya ini, ia bisa kembali tertawa.

saat ia bersiap memasang seatbeltnya, begitupun dengan ken, adnan tiba-tiba teringat dengan percakapannya dengan karin tempo hari. ia seketika menghentikan kegiatannya, mengarahkan tubuhnya menghadap kesamping tepat pada ken yang kini terkaget karena pergerakannya yang tiba-tiba.

“kenapa?”

belum usai dari keterkejutannya barusan, ken kembali tersentak saat adnan membawa tangan kanannya mengelus lembut perut ken yang kini tertutup kemeja berwarna biru muda.

bukannya menampik atau mendorong tangan itu, ken memilih diam. entah mengapa ia merasa nyaman, pipinya terasa memanas akibat perlakuan lembut adnan yang tiba-tiba padanya.

masih dengan tangannya yang mengelus perut ken perlahan, adnan menatap ken penuh arti dengan senyum lebar melekat di bibirnya,

“lo inget jaga kesehatan ya, banyak-banyak makan sayur. kurangin makan junkfoodnya, kalau ada apa-apa lo bisa telpon gue langsung ok? gue usahain ada 24/7 buat lo.”

ken hanya mengangguk, ia memilih menunduk menyembunyikan rona di wajahnya. namun terlambat, adnan telah lebih dulu menyadari itu, membuat lelaki itu terkikik geli, tak bisa menahan gemas hingga akhirnya mencubit kecil kedua pipi tembam itu.

ken merengut kesal, ia mendorong main-main bahu adnan agar menjauh untuk menyembunyikan salah tingkahnya. masih dengan senyum tampannya, adnan memilih mengalah. tangannya mengelus rambut ken dengan sayang sebelum akhirnya mengemudikan mobilnya menuju arah rumah ken, menghiraukan ken yang masih merengut dan kini bergumam kecil,

“haish, bikin ribet hati gue aja ni orang satu!”


bukannya bergegas pulang setelah memutus pesannya dengan dion, adnan memilih melanjutkan tujuannya. kini lelaki itu telah duduk rapi di salah satu sisi sebuah restoran yang cukup besar.

seperti yang ia katakan pada karin tentang ia yang berkeliling untuk melepas penat, itu benar. namun berkeliling yang dimaksud adalah menemukan lokasi restoran yang memiliki kenangan kurang baik untuknya ini.

tempat ini merupakan saksi kandasnya hubungan antara ia dan karin, tepat sebulan lalu. ia masih ingat dengan jelas meja di bagian pojok dekat pintu keluar yang keduanya tempati, sekitar sepuluh langkah dari mejanya kali ini.

bukan tanpa alasan ia kembali ke restoran ini. ia merasa, bahwa dari sinilah awal mula ia bertemu dengan seorang lelaki manis bernama ken itu.

walau sudah diberi pesan dion untuk melupakannya, begitupun karin, namun pikirannya memaksa untuk kembali mencari tau perihal ini. jujur saja, kali terakhir saat ken mengantarnya pulang, ia dalam kondisi setengah sadar. tubuhnya tiba-tiba saja terbawa menghampiri seorang lelaki manis yang sedang asik memakan pesanannya, dan seketika saja ia menyadari dirinya telah bergelung nyaman dalam pelukan lelaki itu.

begitupun dengan kemarin malam di rumah pram, ia yakin sekali sempat bertemu dengan lelaki yang sebelumnya telah ia kirimkan motor ninja pengganti motornya yang hilang.

adnan pikir, pasti ada alasan dibalik pertemuan mereka, dan kali ini ia bertekad kembali mengingat kepingan kejadian yang menjadi awal semua ini.

***

“haishh sebenernya apa yang udah gue lupain sih?!”

adnan mengaduk pastanya tak berselera, niat awalnya mencari kepingan kejadian awal itu belum membuahkan hasil.

ia malah mendapati dirinya menangis, akibat mengingat kembali saat karin memutuskan hubungan mereka yang telah terjalin 2 tahun lamanya.

***

“ayo putus.”

perempuan itu berucap pelan, namun kata-kata itu mampu merubuhkan sisa pertahanan yang ia bangun. tepat sekitar dua minggu lalu, ia mendapati fakta bahwa ayahnya akan menikahi seorang perempuan, yang sialnya adalah ibu dari kekasihnya.

“apa gaada cara lain? kita masih bisa perjuangin hubungan kita, rin, aku yakin kalo kita ngomong baik-baik sama papa dan mama kita pasti dapet jalan lain..”

dengan menahan tangisnya, adnan berupaya memberi saran lain. ia tak sudi melepaskan karin begitu saja, apalagi setelah ia berencana membawa hubungan keduanya ke jenjang lebih lanjut.

tapi apa daya, kenyataan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya datang telak menghancurkan segala rencana yang telah ia bangun.

“aku sayang banget sama mama, nan. aku gak mungkin ngehancurin kebahagiaan mama, kamu ngerti itu kan?”

ia mengerti, amat sangat mengerti. namun egonya masih mencoba mempertahankan karin agar tidak menyerah pada hubungan keduanya itu.

“tapi kamu relain kebahagiaan kamu? relain kebahagiaan aku juga?”

“kalo itu demi mama, aku gak apa. please nan, jangan buat ini makin sulit.”

ah, bahkan baginya melepas karin memang amat sangat sulit. membayangkan nanti mereka akan tinggal dalam rumah yang sama, namun dengan status sebagai kakak adik itu benar-benar menyesakkan dadanya.

“kalau kamu gamau nyoba, biar aku sendiri yang jelasin ke papa soal hubungan kita. papa pasti ngerti dan bakal pertimbangin pernika—”

“mamaku bahagia ketemu sama papa kamu nan, kamu tega ngerusak kebahagiaan mamaku?? aku bakal benci kamu kalo sampai mama nangis-nangis lagi kayak dulu, aku gak suka!”

ini rumit. ia sadar kalau karin memang mencintainya, namun karin juga menyayangi mamanya lebih dari apapun. dan mengambil risiko dibenci oleh perempuan itu menjadi pilihan terakhir adnan karena ia bahkan tak sanggup untuk membayangkannya.

“kita harus berdamai sama kenyataan nan, mungkin emang takdir kita gak bisa bareng-bareng. aku yakin kita bakal nemu kebahagiaan masing-masing nanti, kamu harus yakin kalau kita pasti dapet jalan yang terbaik untuk lewatin cobaan ini.”

adnan menggeleng kecil, kristal bening telah berkumpul di pelupuk matanya, bersiap untuk terjun membasahi pipi tegas milik lelaki itu.

“tapi aku gak bisa tanpa kamu, rin, gabisa..”

biarlah ia dikata cengeng, namun ia memang tak sanggup lagi untuk berpura-pura kuat, matanya kini telah memerah, dengan kedua pipi basah dan tatapan sendunya pada perempuan yang masih duduk dihadapannya itu.

keadaan karin tidak jauh berbeda, ia juga menangis. keduanya sama-sama tak rela untuk memutuskan hubungan, namun mereka harus. setelah ini mereka masih bisa bertemu lagi, walaupun dengan status yang berbeda, namun karin yakin inilah yang terbaik.

“aku pulang bareng dion, dia udah jemput di depan. kamu jangan kelamaan disini, nanti pulang minta jemput pak sopir aja ya, jangan maksain.”

melihat karin berdiri dan bersiap untuk pergi, adnan menggenggam tangan kirinya mencoba menghentikan pergerakan perempuan itu, “rin..”

karin memaksakan senyumnya, membawa satu tangannya mengelus perlahan rambut adnan yang terakhir kali ia mainkan kemarin sore. ia mencoba menenangkan mantan kekasihnya itu, ia tak boleh goyah karena keputusan ini bahkan telah ia pikirkan matang-matang jauh hari.

jika biasanya adnan akan memejam menikmati elusan itu, kini air matanya malah turun semakin deras, menyadari bahwa elusan ini akan menjadi terakhir yang ia dapatkan dari kekasih yang beberapa hari lagi akan berganti status menjadi adiknya itu.

karin menurunkan tangannya, perlaha melepaskan genggaman adnan yang menahannya sedari tadi. ia melempar senyum terakhir, kemudian berbalik menuju pintu keluar sesegera mungkin. ia tak tega melihat tatapan sendu adnan, ia tak menyukai tatapan putus asa itu.

sepuluh menit lelaki itu melamun, berpikir ini semua hanya mimpi buruk yang mencoba mengganggu tidur malamnya. namun kemudian ia menyadari ini semua nyata, hubungan dua tahunnya baru saja berakhir, menyisakan banyak luka di hatinya.

dalam suasana hati yang buruk, dengan gusar ia memesan minuman beralkohol yang dipikirnya mampu mengurangi sesak di dada.

hampir habis empat gelas tinggi, kesadarannya pun mulai menipis. biasanya ia tak akan ambruk secepat ini, ia sudah terbiasa dengan cairan yang diminumnya. namun kondisi kali ini masuk pengecualian, tubuhnya tak mampu menahan kesadaran yang hilang sedikit demi sedikit.

ia bahkan tak menyadari saat seseorang menduduki kursi di hadapannya, memandangnya dengan raut wajah bertanya,

“hei, lo baik-baik aja?”

suara lembut itu mampu membuat matanya mengerjap, mirip suara karin saat bertanya padanya ingin dimasakkan apa. kenangan tiba-tiba itu membuat kristal bening kembali jatuh, adnan kembali menangis tersedu-sedu.

hal itu membuat lelaki di hadapannya kaget dan panik, seketika berganti tempat menjadi tepat di sampingnya.

lelaki itu menepuk punggung adnan pelan, mencoba menenangkannya yang kini masih sesenggukan. tangannya beralih membawa kepala adnan untuk bersandar pada bahunya, sedikit merangkul untuk mencoba meredakan tangis yang terdengar memilukan itu.

“lo ada masalah apa? mau cerita?”

adnan menggeleng kecil, namun bibirnya terbuka untuk menjawab walau tersendat, “g-gue ab-bis p-putus..”

lelaki yang merangkulnya itu mengangguk mengerti.

“apa sesakit itu?”

adnan tak menjawab namun mengangguk dengan rusuh, ini memang sakit sekali.

lelaki itu tersenyum miris, tak terlihat oleh adnan namun ucapannya terdengar pelan, “gue barusan abis bertengkar sama pacar aja udah sedih, mungkin nanti kalo putus bakal kayak lo juga deh.”

adnan masih mendengarkan lelaki itu yang nampak masih ingin berbicara.

“tapi lo gak boleh berlarut-larut, lo bisa sedih dan nangis sekarang, sepuasnya. tapi besok, lo harus coba bangkit. pasti dibalik ini semua, ada rencana tuhan yang terbaik buat lo.”

adnan mencoba meresapi nasehat lelaki asing yang menemaninya ini, namun sebelumnya ia mendongak, bertanya kembali dengan wajah sembabnya dan tatapan bak anak kecil yang ingin meminta permen,

“sekarang boleh nangis sepuasnya?”

lelaki disampingnya mengangguk, “huumm. gue temenin.”

mendengarnya membuat adnan menyamankan diri dalam rangkulan lelaki asing itu, melingkarkan kedua lengannya pada pinggang kecil lelaki disampingnya, hingga kini ia tampak memeluk lelaki itu dari samping dengan wajah yang terbenam pada bahu si lelaki asing.

lelaki itu tak melarang, bahkan ikut menyamankan posisi adnan dalam pelukannya. mengelus belakang kepalanya pelan, bergantian mengelus punggungnya hingga tangisnya mereda.

masih dengan posisi itu, adnan berucap lirih, “makasih.”

lelaki yang mendekapnya itu mengangguk, bahkan sempat terkekeh pelan saat terasa kecupan kecil mendarat di bahunya yang tertutup kain sweater.

keduanya kembali diam, adnan memperhatikan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, pukul 11.11, baru menyadari ia telah menangis selama itu. sebelum memutuskan menghubungi supirnya, ia memilih kembali mengajak berbicara si lelaki asing,

“nama lo siapa?”

lelaki itu terdiam sejenak, kemudian sedikit menunduk, hingga bibirnya tepat berada di samping telinga adnan sambil berbisik kecil,

“ken, panggil gue ken.”

***

adnan menggelengkan kepalanya pelan, tak menyangka setelah hampir dua jam ia melamun akhirnya ia mengingat kejadian malam itu.

ia ingat nama lelaki itu, nama itu bahkan sama manisnya dengan wajah pemilik namanya. sayang memang, beberapa kali bertemu ia tak bisa mengingat lelaki itu dengan baik.

kejadian malam itu kemungkinan menjadi alasan mengapa ia kembali bertemu ken di malam-malam berikutnya dalam kondisi yang sama.

semakin ia pikirkan, rasa penasarannya membumbung makin tinggi. ia ingin mencari tau tentang ken lebih jauh, ingin berbincang lagi dengan lelaki itu dalam keadaan lebih baik.

saat ia memikirkan alasan dari rasa penasarannya itu, ia pikir ini bukan perasaan suka ataupun cinta, tidak secepat itu perasaannya pada karin dapat memudar. mungkin saja rasa penasaran ini timbul karena ia ingin berterimakasih padanya, yang telah mendengarkan dan menemaninya di malamnya yang buruk itu.

iya, pasti itu alasannya.

ken, gue pastiin kita bakal ketemu lagi nanti.


tw // toxic relationship

.

sebuah kamar dengan dominasi warna biru langit itu tampak lengang. seorang lelaki dengan paras manis memilih duduk merenung di atas kasur empuk di tengah ruangan.

pikirannya mengelana, sedang mencari alasan apa yang akan ia sampaikan saat kekasihnya sampai nanti. ini sebenarnya bukan salahnya, bukan juga salah temannya yang tiba-tiba memeluknya dari samping, ini semua murni ketidaksengajaan.

namun otak pintarnya tak bisa diajak kompromi, sesuatu yang harusnya dapat ia selesaikan secara sederhana kini membuatnya melamun hampir tiga puluh menit lamanya. bahkan ia tak menyadari, sosok lelaki yang ia tunggu telah memutar knop pintu kamarnya seraya mendudukkan diri tepat di samping kirinya.

“sayang, kok ngelamun sih?”

panggilan dengan suara berat khas milik kekasihnya itu masuk ke indra pendengarnya, membuat kesadarannya kembali ke permukaan.

“loh kamu udah lama sampainya?”

pertanyaannya dijawab dengan gelengan kecil, kini jemarinya telah tertaut erat dengan jemari milik kekasihnya. samar-samar terdengar hembusan nafasnya yang berat, memancing kekasihnya untuk bertanya.

“kenapa? ada masalah?”

junkyu menoleh menatap lelaki di samping kirinya, “haru, soal tadi itu—”

raut wajah lelaki berparas tampan yang sudah lima bulan belakangan ini menjadi kekasihnya itu seketika berubah. awalnya masih dapat ia temukan senyum kecil di bibir tebalnya, namun perlahan senyum itu lenyap tergantikan raut wajahnya yang kini mengeras.

“kamu gak tepatin janji kamu..”

tidak ada nada tinggi sedikitpun dalam bicaranya, namun junkyu sangat tidak menyukai atmosfer ini. setiap kata yang keluar dari bibir kekasihnya itu membuatnya bergidik ngeri. bahkan saat jari telunjuk lelaki itu menyusuri wajah manisnya, junkyu memejam ketakutan.

“sayang, itu gak sengaja—”

belum selesai ia berbicara, kedua belah pipinya dicengkram dengan keras, membuat ia berjengit kesakitan. tanpa sengaja ia menggigit lidahnya akibat kaget, membuat anyir darah tercecap oleh indra perasanya.

“kamu cuma punya aku junkyu, aku gak suka orang lain nyentuh punya aku, ngerti kan?”

tidak satu dua kali ia mendengar peringatan ini, junkyu bahkan telah berada di tahap terbiasa. ia terbiasa memahami sifat haruto, tidak melawan sama sekali dan dalam sekejap kemarahan kekasihnya akan mereda.

namun terkadang ia juga ingin membela dirinya, ini bahkan bukan kemauannya, ini hanya ketidaksengajaan yang harusnya haruto juga dapat memahaminya.

“tapi ini bukan mau aku haru, jae juga bukannya niat meluk aku, dia kedorong sama jeongwoo dan aku tepat di depannya. aku bahkan gapernah berpikir buat deket sama cowok lain selain kamu!”

“oh, siapa yang ajarin kamu ngelawan kayak gini? jihoon? jae jae itu, iya?”

junkyu menggeleng ribut, bibirnya bahkan hampir mengeluarkan kalimat pembelaan lagi namun tepat sebelum itu telapak tangan haruto telah melayang telak menampar pipi kanannya.

tak hanya itu, cengkraman tangan haruto di pergelangan tangannya kini menguat, mungkin kulitnya nanti bisa saja membiru. tapi ringisan yang keluar dari bibirnya tak mampu menyurutkan amarah haruto yang terlanjur berkobar.

bukan, bukan ini yang ia mau. ini bahkan kali pertama ia membela diri, namun sambutan yang haruto beri jauh dari perkiraannya. ini adalah kali pertama ia mendapat tamparan, bahkan cengkraman di tangannya itu hampir membuat ia mati rasa.

“h-haru..s-sakitt..”

haruto menggeleng, “ini hukuman karena kamu berani-berani deket sama cowok lain.”

tatapan nyalang itu masih sama, tak meredup sama sekali. haruto dihadapannya ini seperti bukan kekasihnya, amat jauh berbeda. haruto kekasihnya itu adalah orang yang penyayang, sangat menghindari untuk melakukan kekerasan fisik, seperti yang ia lakukan hari ini. kekasihnya yang ia kenal begitu perhatian, dengan kata-kata manis yang mampu membuat wajahnya merona tiap waktu. haruto yang kini di hadapannya amat jauh berbeda, ia bahkan tak mengenalinya.

hampir lima belas menit menahan sakit yang ia rasakan, haruto mulai mengendurkan cengkramannya. ia menunduk sekejap, kemudian menghempaskan pergelangan tangan junkyu, tanpa mengeceknya sama sekali.

junkyu mengerjap, pandangannya kini mengarah pada warna biru di sekitar pergelangan tangannya akibat ulah haruto, namun saat ia mengharapkan kekasihnya itu meminta maaf, haruto telah meninggalkan ia di kamarnya seorang diri.

***

“maaf..”

kata itu lolos begitu saja dari bibirnya, dengan kepala menunduk serta tangannya yang kini bergerak mengompres pergelangan tangan kekasihnya yang telah membiru.

junkyu masih meringis kesakitan beberapa kali, pipi kanannya juga mulai berubah warna akibat tamparan tiba-tiba yang ia dapatkan dari kekasihnya.

junkyu yang tak tahan dengan suasana hening ini memutuskan untuk menarik perhatian kekasihnya.

“haru, lihat aku.”

haruto masih saja betah menunduk, “gak, aku gak bisa lihat pipi kamu membiru gara-gara aku sayang, maaf..”

junkyu mengarahkan satu tangannya untuk menangkup wajah kekasihnya, membuat pandangan haruto kini menatap tepat pada manik hitam milik kekasihnya yang sedikit berembun akibat menangis tadi. dan hal itu jelas membuat haruto menyadari keadaan pipi junkyu yang tidak baik-baik saja.

“sayang, pipi kamu..”

haruto kini memilih untuk mengompres pipi kanan junkyu perlahan, dengan pandangan junkyu yang terus mengikuti pergerakannya. tangan junkyu bahkan ikut menangkup tangannya, bersamaan mengompres pipi kanannya itu.

“aku tau kamu gak sengaja, sayang.”

manik haruto ikut berkaca-kaca, merasa bersalah telah membuat kekasihnya kesakitan akibat emosinya yang tiba-tiba menuncak tak bisa ia kendalikan.

“sayang, aku mau jujur, boleh?”

junkyu hanya mengangguk menunggu haruto melanjutkan kalimatnya.

“sebenernya aku punya alter ego, aku kadang gak bisa ngendaliinnya. tadi, pasti diri aku yang satunya yang ngambil alih,”

jari haruto beralih mengelus perlahan bagian pipi junkyu yang menjadi sasaran tamparannya tadi, “dia bahkan udah buat kamu kesakitan kayak gini.”

haruto lagi-lagi menunduk, bahkan ia rasa tak sanggup untuk menatap balik junkyu seperti biasanya, ia benar-benar merasa bersalah.

junkyu kaget, ia bahkan tak menyadari kekasihnya ini memiliki satu lagi kepribadian yang jauh berbeda dari biasanya. tapi ia menyadari kekasihnya itu merasa bersalah, ini bahkan bukan kehendaknya pula, membuat rasa kesal yang tadi ada dalam hatinya seketika menguap, tergantikan rasa iba.

“aku ada disini buat kamu, haru.”

haruto mengangkat wajahnya cepat, tadinya ia sempat berpikir bahwa setelah ini junkyu akan memilih meninggalkannya, tak mau berurusan lagi dengan orang sepertinya.

“kamu serius? kamu gak takut sama aku?”

junkyu menggeleng kecil, melemparkan senyum manis seperti biasanya guna menenangkan kekasihnya itu. ia menerima haruto apa adanya, dan bertekad untuk membantu kekasihnya agar perlahan terbebas dari alter egonya itu.

“i love you just the way you are, haru. i'll always be here for you. kita jalanin semuanya sama-sama ya, kamu jangan khawatir.”

jawaban junkyu itu benar-benar memenuhi harapannya, haruto amat senang mendengar junkyu memilih untuk tetap disampingnya dan menerimanya apa adanya.

hingga saat junkyu membuka kedua lengannya, mempersilahkan ia untuk menenggelamkan diri pada pelukan kekasihnya itu, ia segera menyambutnya. kekasihnya itu memang sesuai yang haruto harapkan. ia tak akan melepaskan kekasihnya ini apapun yang terjadi nanti.

ia mendongakkan kepalanya sedikit, membubuhkan kecupan-kecupan kecil di kening junkyu yang mampu membuat kekasihnya itu tertawa kecil.

wajahnya kini bersandar nyaman pada bahu lebar milik junkyu, raut wajah bahagianya bahkan terpantul jelas dari sisi cermin rias di pojok kanan kamar kekasihnya, hal ini mampu membuatnya membatin bahagia,

kamu memang terlalu polos untuk aku bohongi, kucing kecil.

.

fin.


ia berjalan santai menghampiri rumah berlantai dua di seberangnya berdiri. setelah lebih dari lima kali ia mendatangi rumah milik pram ini, ia sudah hapal kebiasaan si tuan rumah yang gemar tidak menutup pintu pagarnya rapat-rapat.

namun kali ini sepertinya sedikit berbeda. musik tersetel dengan volume cukup keras, sampai di indra pendengarnya. lampu warna-warni juga tambah menyemarakkan suasana malam, membuat ia bertanya-tanya acara apa yang sedang diadakan temannya itu.

begitu mencapai halaman yang tak begitu luas namun rindang oleh beberapa pepohonan, ia menyadari sesuatu.

“sial, gue salah kostum!”

kedua telapak tangan refleks menutupi wajah manisnya, menghindarkan ia dari tatapan-tatapan bingung yang orang layangkan padanya. ah, pasti dalam pikiran masing-masing orang itu ia nampak seperti anak sekolah dasar yang tersasar.

“pram sialan, awas aja lu!”

kakinya menghentak sebal, ia memilih memutari halaman melewati jalan setapak kecil yang menghubungkan dirinya pada pintu belakang. ia pikir, sepertinya akan lebih aman jika ia masuk lewat pintu itu.

tak sampai lima menit, pintu belakang pun sudah nampak di hadapan, namun lagi-lagi keberuntungan tak memihaknya. keadaan di pintu depan bahkan tak seramai disini. moodnya yang sedari tadi buruk, makin bertambah buruk akibat kesialannya ini.

“duh sekarang gue mesti lewat mana dah, gak mungkin juga pulang, gojek tadi pasti udah balik.”

tenggelam dalam pikirannya, ken berjalan tak tentu arah. hingga tanpa terasa ia mencapai ruang tamu yang sejak tadi menjadi tujuannya.

“oke, kayaknya gue gak sial-sial banget sih ini.”

bagian dalam rumah juga cukup ramai, sepertinya pesta yang diadakan pram bukanlah pesta kecil-kecilan seperti yang ada dalam benaknya.

berbekal rasa kesal karena dikerjai oleh temannya itu, ken memilih melangkah menuju lantai dua, tepatnya dimana kamar pram berada. ia bahkan tak terpikirkan untuk menghubungi atau sekedar mengirim pesan menanyakan keberadaan lelaki itu, dan lebih memilih mengikuti instingnya.

lantai dua cukup sepi, baguslah. ken tidak perlu berjalan pelan atau tiba-tiba bersembunyi akibat salah kostumnya. sambil berjalan menuju dimana kamar pram berada, dalam pikirannya telah terancang pukulan gaya apa yang akan ia berikan untuk menghukum temannya yang jahil itu.

tangannya hampir saja mencapai knop pintu, tepat sebelum pergelangan tangan kanannya ditarik secara tiba-tiba membuat ia hampir kehilangan keseimbangan.

nampak seorang lelaki jangkung menarik, bukan, setengah menyeretnya hingga kini keduanya duduk di sebuah sofa yang berada di pojok lantai dua.

ken yang masih belum menyadari apa yang terjadi, kembali dikagetkan saat seorang yang menariknya itu memeluk lengannya erat, dengan kepala yang menyender nyaman di bahu kirinya.

“kita ketemu lagi, hehe..” samar-samar suara lelaki itu terdengar, membuat kesadaran ken kembali ke permukaan.

“lah, lo si asdos itu kan??”

percuma, pertanyaannya tidak ditanggapi apalagi diberi jawaban. karena lelaki yang tadinya hanya bersandar itu, memilih untuk memeluknya erat dari samping.

“kenapa kita selalu ketemu waktu lo mabok gini sih?”

ken heran, tentu saja. bahkan ini pertemuan mereka ketiga kalinya dan dalam keadaan adnan yang sama, dalam pengaruh alkohol. hal ini membuat ken bertanya-tanya, permasalahan apa yang lelaki itu hadapi sehingga membuatnya selalu meminum cairan beralkohol itu.

dan lagi, apa hubungan yang membuat keduanya selalu bertemu dalam keadaan seperti ini.

“kak, lo masih sadar atau udah mati?”

oke, sepertinya ken juga sudah mirip seperti orang yang setengah mabuk.

“engap banget anjir, ni orang gak maen-maen emang kalo meluk gue.”

ken membenarkan sedikit posisinya, menyandarkan kepalanya pada punggung sofa dengan tangannya yang kini terangkat naik mengelus belakang kepala milik asdosnya itu.

“apa jangan-jangan gue mirip mantannya ya? ni orang keliatannya kayak habis patah hati deh.”

akibat elusan di belakang kepalanya yang membuat ia makin nyaman, wajah adnan makin tenggelam dalam ceruk leher ken yang lagi-lagi terkekeh kecil akibat hembusan nafas hangat milik asdosnya itu yang mengenai permukaan kulit lehernya.

dan nampaknya ken makin menikmati suasana nyaman yang tak sengaja ia ciptakan, kini bahkan ia membalas pelukan hangat yang adnan bagi padanya.

“masak secepet ini sih gue move on, perasaan gue bulol banget deh sama mas mantan..”

sibuk dengan pikirannya membuat ken terkaget saat adnan tiba-tiba mengigau kecil,

“gue b-bakal tanggung jawab..”

“hahh?”

“g-gue sayang banget sama lo, g-gue bakal tanggung jawab..”

“ni orang ngomong apa sih? tanggung jawab apaan?”

ken yang awalnya ingin menarik adnan untuk menjauh dari tubuhnya menjadi urung akibat lelaki itu semakin mengeratkan kaitan tangannya pada pinggang sempit milik ken. tak kehabisan akal, ken mencoba menangkup wajah milik lelaki yang kini bergelung nyaman dalam pelukannya, mencoba mengecek apakah adnan masih dalam pengaruh alkoholnya atau tidak.

namun sepertinya ken menyesali keputusannya itu, karena saat wajah tegas milik adnan telah mendongak menatap tepat di wajahnya, lelaki itu malah mengikis jarak keduanya dan mendaratkan bibirnya pada bibir tipis milik ken.

cup

“lah?”

masih dikuasai keterkejutannya membuat ken tak siap saat adnan memilih mengecupnya kembali, membawanya ke dalam lumatan-lumatan kecil yang membuat kesadarannya semakin timbul tenggelam.

terlarut dalam kegiatan membuat mereka tak menyadari sebuah ponsel yang diarahkan untuk merekam keduanya jauh sejak awal dua lelaki itu mendudukkan diri di sofa ujung lantai dua.

“asikk dapet bahan gosip baru!”


setelah hampir berkeliling tiga jam mencari jalan pulang, akhirnya ken menyerah. ia berhenti di suatu tempat makan yang tak cukup besar, namun tak kecil juga, lalu masuk ke dalamnya. cacing-cacing dalam perutnya telah berdemo besar, meminta untuk diberi makanan segera.

suasana tempat makan itu cukup hening, wajar saja, ini sudah hampir pukul sebelas malam. tak banyak kursi dan meja yang terisi, jika dihitung mungkin ada sekitar enam orang termasuk dirinya.

ia memilih mengabaikan ponselnya, kemudian memakan pesanannya dengan fokus tinggi.

hingga ia tak menyadari, kursi di bagian depannya terisi oleh seseorang yang kini memandangnya dengan tatapan sayu.

“anjing!”

tangannya refleks menepuk mulut akibat barusan berkata kasar. namun orang lain pun akan bereaksi sama dengannya di situasi macam ini.

“lo siapa dah tiba-tiba duduk disini?”

lelaki di hadapannya hanya memandang kosong ke arahnya, membuat ken merasa bingung harus apa.

namun beberapa waktu kemudian, ia menyadari mengapa wajah orang di hadapannya ini tampak sedikit tak asing,

“lo tokek yang nempelin gue kemaren kan??”

sial memang, lagi-lagi ia bertemu lelaki mabuk yang menempelinya semalaman kemarin. dan nampaknya, kali ini lelaki itu dalam kondisi yang sama, hanya saja nampak setengah sadar.

“jangan nempelin gue lagi lo, mending pulang dah sana!”

lelaki dihadapannya menggeleng pelan, seakan menjawab tidak mau pulang. namun ken tentu tak kehabisan akal.

“ponsel lo mana? gue telponin adek lo dah biar dijemput.”

bibir lelaki itu sedikit terbuka, nampak akan berbicara sesuatu membuat ken menunggunya dengan sabar.

“aku hik.. bisa membuatmu hik.. jatuh cinta kepadaku hik.. meski kau tak cinta..”

ken melongo, tak menyangka lelaki yang kalau tak salah bernama adnan ini malah bernyanyi bukannya menjawab pertanyaannya sebelumnya. tenang, ken masih punya stok kesabaran.

“ishh lo jangan ngamen disini, mending pulang sekarang, gue juga mau pulang.”

ketika ken memilih beranjak dari kursi yang ia duduki, lelaki di hadapannya itu menarik pergelangan tangan kirinya, membuat langkahnya terhenti.

“gue mau bayar makanan gue dulu, bentar kesini lagi.”

ajaibnya, genggaman pada pergelangan tangannya terlepas namun tergantikan dirinya yang kini lagi-lagi dipandangi dengan tatapan sayu dari mata tajam milik lelaki tadi.

seusai menyelesaikan pembayarannya, ia menepati janji dengan kembali ke kursi yang tadi ia duduki. matanya menoleh pada adnan yang kini mengerjap ngantuk beberapa kali.

“nama lo adnan kan? gatau kenapa dari kemaren gue bisa ketemu lo dalam keadaan lo mabuk gini, tapi lo mau pulang gimana? mau gue pesenin taksi?”

awalnya ia ingin menghubungi karin, adik dari lelaki di hadapannya itu langsung agar segera dijemput dibawa pulang, namun setelah ia mencoba mencari, sepertinya lelaki itu tak membawa ponselnya.

adnan bangun dari duduknya tiba-tiba, sedikit terhuyung membuat tubuhnya condong ke depan ke arah ken. ken yang saat itu menatapnya was-was segera menangkap tubuh jangkung yang hampir jatuh itu, yang kini malah melingkarkan tangan erat pada pinggangnya.

“e-eh lo ngapain?”

“bentar..”

adnan menjawab pendek, kepalanya bersandar nyaman di bahu lebar milik ken. ken diam-diam menghembuskan nafasnya pelan, merasa sedikit tidak nyaman dengan posisi mereka saat ini.

“anter gue pulang, please..”

kepalanya menoleh ke kiri, hingga kini maniknya menangkap pandangan sayu milik adnan yang masih menatapnya sedari tadi.

“gue bawa motor, nanti lo jatuh kalo boncengan sama gue dalam kondisi begini.”

lingkaran tangan pada pinggangnya masih erat, adnan bahkan sempat mengusak wajahnya beberapa kali pada ceruk leher ken yang membuatnya mengaduh geli.

“keluar, gue bawa mobil.”

mungkin karena kondisi tubuhnya yang cukup lelah akibat tersasar tadi, dan ingin pulang secepatnya membuat ia mengangguk dan menuruti perkataan lelaki yang bahkan ia tak kenal itu.

mereka baru bertemu dua kali, dalam keadaan lelaki satunya yang mabuk, mereka bahkan tak ada berkenalan dan kemungkinan lelaki yang kini sedang ken papah menuju mobil hitam di parkiran sana tak tau namanya.

tapi itu bukan masalah, lagipula ia tak berharap mereka akan bertemu lagi setelah ini. katakan cukup untuk kesialannya setelah putus cinta, besok ia akan melalukan ritual buang sial bersama sahabatnya, jian.

***

ken mengendarai mobil hitam itu dengan kecepatan sedang. beruntung ia bisa mengemudikannya, dan sebelum lelaki pemilik kendaraan roda empat itu memejamkan matanya akibat pusing, ia sempat memberikan arah jalan rumahnya yang ternyata berada di sekitar perumahan milik pram.

dan beruntungnya lagi, ia tak tersasar. seakan jalan yang sekarang ia lewati berbeda dengan tempatnya berputar-putar hingga tersasar sejak sore tadi.

lima belas menit hingga keduanya telah sampai di depan sebuah rumah berlantai tiga dengan pagar mewah yang menjulang tinggi. ken bahkan sempat menduga-duga halaman rumah itu akan seluas apa dan fasilitas apa saja yang ada di dalamnya.

namun ia tak punya banyak waktu, kelopak matanya juga semakin memberat akibat menahan kantuk. ia memilih menepuk pelan lengan atas milik lelaki yang tertidur disampingnya, yang kini menggeliat pelan.

“hei, bangun. udah sampai di rumah lo.”

adnan mengerjap pelan, menyesuaikan pandangannya setelah sempat terlelap sebentar tadi. ia masih menatap intens lelaki manis yang berada di belakang kemudi mobilnya, membuat lelaki yang ditatap bergerak salah tingkah.

“lo kenapa dah? ayo keluar cepet, gue gak enak mencet bel rumah lo jam segini.”

tangan kanannya telah bersiap membuka pintu sebelum langkahnya kembali tertahan akibat adnan yang tiba-tiba menggenggam tangannya lembut.

“makasih, seneng bisa ketemu lo. gue harap kita bisa ketemu lagi lain kali.”

ken bahkan belum sempat menggeleng dan menyuarakan ketidaksetujuannya pada perkataan itu saat menyadari adnan telah keluar terlebih dahulu, kemudian dihampiri oleh satpam rumahnya.

ia yang saat itu telah bersiap menghubungi pram untuk ijin menginap di rumahnya menjadi urung, saat seorang lelaki tua yang kemudian ia ketahui sopir pribadi milik adnan menawarinya untuk mengantar pulang. ah, lebih tepatnya memaksa untuk mengantarnya pulang.

perjalanannya pulang diisi oleb keheningan, setelah menyampaikan alamat rumahnya secara rinci pada sopir yang mengantarnya pulang, ken lebih memilih mengarahkan pandangannya pada jendela, mengamati jalanan sepi di luar sana.

ken masih tak bersuara saat dirinya turun dari mobil hingga kini telah berada di depan pagar rumahnya, dalam kepalanya masih terngiang ucapan adnan tadi yang seakan melekat dan berputar terus dalam pikirannya,

ketemu lagi lain kali, ya?


kaki-kaki jenjangnya melangkah pelan memasuki gedung megah itu. sejauh matanya memandang, hiasan bunga berwarna putih, dekorasi-dekorasi klasik nan elegan memenuhi tiap sudut bangunan.

tak ketinggalan orang berlalu lalang dengan pakaian formal terbaik mereka, membicarakan begitu megahnya bangunan dan pesta yang diadakan dalam gedung ini.

jujur saja, melangkahkan kaki mendatangi tempat ini merupakan pilihan terakhir yang ada dalam benaknya. semuanya tampak seperti mimpi, bahkan huruf membentuk kata yang sama terdapat pada undangan yang ia baca tempo hari lalu bertebaran di sekelilingnya.

mari kita mundur pada kejadian beberapa waktu yang lalu.

entah dorongan dari mana, ia tiba-tiba mengirim pesan pada jihoon, menyetujui untuk tetap ikut menghadiri pesta ini. tak perlu waktu lama pula untuknya mengabari haru, seseorang yang tempo hari lalu ia janjikan untuk diajak sebagai teman pendamping pestanya.

ia sempat bingung saat sebuah kotak bingkisan sampai di depan rumahnya. berkat rasa penasaran yang tinggi, ia menemukan note berisi pesan bahwa ia harus menggunakan pakaian yang terdapat dalam kotak itu.

tak buruk, bahkan ini jauh dari kata buruk, pakaian ini sungguh luar biasa. tuxedo putih gading dengan celana kain warna senada, sangat pas melekat di tubuhnya. ini seperti pakaian itu memang ditujukan untuknya.

sesuai perkiraan, ia berangkat bersama jihoon ditemani kekasihnya, hyunsuk. kini keduanya telah melangkah memisahkan diri, menuju ke tengah gedung. tentu, junkyu tak mengikutinya. ia memilih menyamping, menempatkan diri di bagian pojok. tangan kirinya kini aktif mengirim pesan mengabari haru yang kemungkinan telah menunggunya dari beberapa menit yang lalu.

maniknya masih memandang ke sekeliling, ini masih terasa seperti mimpi. cukup buruk, dimana ia selama lima tahun belakangan ini memang masih berharap bertemu dengan lelaki itu lagi.

lelaki yang hari ini menjadi tokoh utama pesta yang ia datangi.

***

dua orang lelaki dengan wajah hampir serupa itu berlarian, saling mengejar satu sama lain dengan tawa yang bergema saling bersahutan. seorang lelaki manis yang duduk di bangku tak jauh dari keduanya ikut tertawa, namun tak mengalihkan fokusnya dari es krim yang sedikit meleleh mengenai ujung kemeja putihnya.

hampir tiap hari, ketiganya selalu bersama. menghabiskan waktu entah bermain, membaca, tidur, ataupun bercerita tak tentu arah. mereka bahagia, hanya dengan bersama mereka berpikir akan selalu bahagia.

hingga suatu waktu, setitik kenyataan membawa perubahan diantara ketiganya.

salah satu dari lelaki dengan wajah serupa itu mengutarakan perasaan padanya. sayang, ia benar-benar tak bisa membalas perasaan itu. dan tak mungkin pula ia memaksakan jika nanti berakhir dengan perasaan keduanya yang terluka.

dan sejak saat itu ketiganya tak bersama lagi. hingga suatu pagi ia mendengar kabar yang begitu menyakiti perasaannya.

lelaki itu telah pergi, sangat jauh dan tak bisa ia gapai lagi.

ada bagian dalam hatinya terasa kosong, bukan, ia tahu ini bukanlah perasaan menjurus pada hal romantis. kekosongan ini terasa akibat satu temannya telah pergi. dan kekosongan itu semakin menjadi, saat salah satunya juga ikut menjauh, dan meninggalkan ia kembali seorang diri.

***

matanya mengerjap beberapa kali. ah, sudah berapa lama ia melamun, pikirnya. kepingan kenangan yang baru beberapa tahun belakangan ini ia ingat itu lagi-lagi menghampiri pikirannya, membuat suasana hatinya semakin kelabu.

ia mencoba mengalihkan fokusnya pada bagian tengah sana, dimana lampu sorot berebut menyinari tokoh utama pesta ini. tampak seorang perempuan dengan wajah oriental, tubuh semampainya tampak semakin anggun dibaluti gaun berwarna biru muda yang begitu cantik.

karin memang luar biasa, dulu bahkan ia sempat menyukai perempuan itu. namun tak lama setelahnya, mereka memilih menjadi teman akrab. sayangnya, mereka tak seakrab itu untuk membuat ia mengetahui bahwa karin adalah calon istri dari lelaki yang lima tahun ini ia tunggu kehadirannya.

derap langkah pantofel dari ujung seberang sana terdengar menggema. kedua kakinya bergetar, menjadi reaksi pertama yang tubuhnya berikan. sungguh ia tak sanggup, rasanya ia ingin melarikan diri dari tempat ini namun tak bisa.

pikirannya berkecamuk, beberapa kali ujung kukunya ia gigiti akibat gugup. haru, seseorang yang mungkin saja bisa mengalihkan perhatiannya itu pun hingga kini tak juga menampakkan batang hidungnya. hati kecilnya gelisah, kini tubuhnya ikut bergetar tak bisa ia kendalikan.

seorang lelaki bertubuh jangkung, dengan tuxedo biru langit senada dengan gaun perempuan disampingnya kini telah berada tepat di tengah gedung. keduanya kini bersisian, dengan lengan ramping si perempuan mengait manis di lengan tegap lelakinya.

namun sebelum junkyu dapat melihat jelas pemandangan kedua orang tokoh utama pesta ini, sepasang telapak tangan menutupi pandangannya.

kristal bening yang tadinya telah terkumpul disudut matanya tak sengaja tumpah, ia merasa deja vu. rasanya ingin mengulang lima tahun lalu, saat ia bersama haruto, saat ia mengucapkan permintaannya untuk bisa bahagia bersama lelaki itu.

karena menyadari seseorang di depannya kini tengah terisak pelan, pemilik sepasang telapak tangan itu menurunkan lengannya, berubah membalikkan tubuh kecil yang kini setengah didekapnya,

“hei, kenapa nangis?”

suara itu, mampu membuat junkyu yang awalnya menunduk mengangkat wajahnya, mata sembapnya kini terbelalak kaget, “haruto?”

lelaki itu tersenyum teduh saat membalas tatapannya,

“iya sayang, aku disini.”

tak ada yang dapat ia lakukan selain menarik tubuh jangkung dihadapannya itu, pun memeluknya erat seakan takut ini hanyalah mimpi.

namun tidak, lelaki di hadapannya ini nyata. aroma tubuhnya pun masih sama saat terakhir kali mereka bertemu.

ia bertanya-tanya, apakah kini permintaannya lima tahun lalu telah menjadi nyata?

***

keduanya kini tengah duduk bersisian di bangku sudut gedung. di tempat ini tak banyak orang, cukup untuk keduanya dapat berbicara dengan tenang.

kedua tangan mereka masih saling menggenggam, saling berbagi kenyamanan. isakan junkyu berangsur hilang, kini maniknya mengarah pada lelaki yang berada di samping kirinya itu.

“k-kok kamu bisa disini? t-terus pestanya, gimana pestanya?”

satu tangan haruto terangkat guna merapikan surai depan junkyu yang sedikit berantakan, “ya pestanya lanjut, karin nikah sama pacarnya.”

jawaban bernada tenang itu keluar dari bilah bibir haruto, namun tak bisa menjawab berbagai kebingungan yang memenuhi kepala junkyu.

“t-tapi kan? di undangannya, n-nama kamu..”

haruto terkekeh kecil mengamati raut bingung di wajah lelaki manis dihadapannya yang tampak menggemaskan. membuat ia tak tahan untuk mencubit kecil pipi yang kemerahan akibat menangis hebat tadi.

“kemarin aku kalah suit sama karin, karena dia menang jadi hari ini dia yang duluan nikah. harusnya sih aku sama kamu yang ada di tengah pesta tadi, dan sekarang lagi pemberkatan.”

jawaban tak jelas itu semakin membuat junkyu bingung, bahkan rasanya masih seperti mimpi ia bisa bertemu dan berbicara berdua dengan lelaki di sampingnya itu.

melihat lelaki manis disampingnya yang terlihat tenggelam dalam pikirannya sendiri membuat haruto dengan jahil menjawil hidung mungilnya, membawa fokus junkyu kembali padanya.

“udah gak usah dipikirin, sekarang aku ada di hadapan kamu. aku gak bakal pergi lagi.”

junkyu menatap ragu, “serius? gak pergi lagi?”

haruto mengangguk mantap dengan kedua tangannya yang kini menggenggam erat kedua tangan mungil milik si manis,

“maaf karena aku udah nyakitin kamu dulu, pergi begitu aja. aku udah bikin kamu kecewa, aku tau kyu. tapi hari ini, aku mau kita ulang dari awal. aku bakal usahain buat kamu selalu bahagia. sekarang kita buka lembaran baru yang lebih baik, dengan aku dan kamu yang jadi tokoh utamanya. dengan hubungan kita yang lebih baik, dengan perasaan yang sama besarnya. kamu mau?”

manik coklat itu kembali berkaca-kaca, sungguh, ini seperti permintaannya lima tahun lalu terkabulkan, bahkan dengan cara yang tak pernah terpikirkan olehnya.

tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain mengangguk mantap. iya, ia siap untuk membuka lembaran baru yang lebih baik bersama lelaki di hadapannya itu.

keduanya melempar senyum sama lebar, detak jantung mereka bagai saling bersahutan, menandakan perasaan keduanya yang kini sama-sama bahagia.

junkyu melingkarkan lengannya pada leher haruto dan dengan kilat mengecup bibir tebal itu akibat terlalu senang. membuat sekejap kemudian ia menunduk malu akibat ulah nekatnya itu.

tawa dengan suara berat terdengar mengalun merdu di kedua telinganya, pun saat haruto kembali mendekatkan wajah keduanya, mengecup lama kening junkyu dengan penuh perasaan.

“i really love you, kim junkyu.”

keduanya sama-sama tersenyum, dalam hati mengucap banyak syukur bisa dipertemukan kembali.

ini awal yang mereka nantikan sejak lama.

awal baru yang akan keduanya jalani, dengan harapan bahagia selalu menyertai.

***

cookies:

“sebenernya, tadi aku janjian sama orang lain buat nemenin disini..”

“itu aku.”

“hahh?”

“haru itu aku, aku yang kamu ajak janjian buat dateng ke 'pestaku' ini.”

” jadi ini rencana kamu?”

haruto hanya mengangguk kecil sembari memangku kepalanya dengan satu tangan, dengan pandangan fokus pada wajah manis milik junkyu yang tengah merengut kesal.

“tuxedonya ternyata pas di kamu, cocok.”

“lohh ini dari kamu?”

“huum, besok nikah aku pesenin yang kayak gini aja mau?”

“nikahnya besok banget?”

“lebih cepet lebih baik, atau mau sekarang?”

pukulan main-main mendarat di lengan atas haruto, dari siapa lagi kalau bukan junkyu.

haruto hanya tertawa kecil, pukulan itu bahkan tak terasa menyakitkan sama sekali. jauh lebih menyakitkan saat ia terpisah dari junkyu lima tahun lamanya.

memikirkannya membuat haruto tiba-tiba mendekat, dengan bibirnya yang kini sejajar dengan telinga junkyu sembari berbisik kecil,

“kayaknya kamu lebih setuju kalau mulai hari ini kita tinggal bareng serumah, ya kan?”

ucapkan selamat pada haruto yang kini dahinya berdenyut nyeri akibat pukulan maut yang menjadi hadiah kecil dari pacar kecilnya itu. ah bukan, lebih tepatnya calon suaminya, hihi.

.

.

fin.


cw // kiss

.

pintu kayu itu terbuka lebar, menampilkan sosok lelaki jangkung yang kurang lebih empat tahun ini menemani harinya.

lelaki dengan umur tujuh tahun lebih muda, namun pembawaan dan pemikiran dewasanya selalu mampu membuat ia terpukau. membuatnya merasakan rasanya jatuh cinta berkali-kali, bahkan setiap hari. merasakan kasih sayang yang membuat hati kosongnya selalu merasa penuh. sungguh, ia bahagia.

lelaki itu melemparkan senyum teduh, seteduh lembayung senja di ufuk barat, seraya menghampiri ia yang sedang bersandar di atas kasur empuk keduanya,

“kenapa belum tidur? kan aku udah bilang biar aku aja yang tungguin lena pulang.”

“aku nunggu haru. gak bisa tidur kalo gak dipeluk, hungg.”

lelaki di seberangnya terkekeh kecil dengan tangan yang terulur mengusak surai lembutnya. membuat bibirnya semakin mengerucut sebal.

menyadari itu, haruto segera mengembalikan tatanan rambut kesayangannya, seraya mendudukkan diri di sisi kasur sebelah junkyu.

tangan yang lebih tua digenggam tak erat, hanya mengelus lembut, berusaha memancing senyum manis yang sebelumnya sempat terpasang di wajah awet muda itu. dan tak perlu waktu lama, usahanya itu pun membuahkan hasil.

“sekarang anak-anak udah tidur?”

haruto menjawab dengan anggukan sekali, masih memfokuskan pandangannya pada wajah manis kesayangannya.

“kenapa liatin aku terus sih? suka ya?”

lelaki yang diberi pertanyaan tersenyum lebar sebelum menjawabnya, “bukan cuma suka, tapi udah cinta segede dunia. emang aku kurang bucin ya sama kamu?”

pukulan kecil mendarat di dada bidangnya sebagai tanggapan. junkyu memilih memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah yang tercetak jelas di kedua pipi gembilnya.

“kamu vampir ya? kok bisa gak nambah tua sih, malah makin gemesin?”

“apasihh haruu!”

“kalo kamu vampir, gigit aku dong sayang. request tapi, di leher, dipenuhin aja gapapa aku kan kuat, hehe.”

“HARUUU DIEMM GAK!!”

tawa haruto menggema memenuhi kamar keduanya, jujur saja, salah satu kebiasaan yang tak bisa ditinggalkannya adalah menjahili junkyu tiap ada kesempatan. bahkan reaksi si manis pun ia sudah hapal, junkyu akan memukulinya dengan brutal, yang akan berhenti setelah ia peluk erat dan si manis tenggelam dalam dekapannya.

***

how's your day, love?”

junkyu yang berada dalam dekapan hangat yang lebih muda, yang kini berbaring tepat di sebelahnya, menengadahkan kepala, hingga pucuk hidungnya mengenai rahang tajam milik haruto. manik tajam itu menatap maniknya lekat, menunggu jawaban keluar dari bibir mungilnya.

“tadi di butik ada ibu-ibu nangis, awalnya dia masuk butik sama anaknya terus tiba-tiba hilang, jadi aku sama pegawai yang lain ikut bantu cari. tau gak anaknya dimana? ternyata anaknya sembunyi di ruang ganti paling pojok, lagi ngambek sama mamanya katanya.”

jari-jari haruto betah mengelus surai belakang kesayangannya sambil terus mendengarkan cerita itu,

“aku antara mau nangis sama ketawa. tapi sebenernya aku lebih ke khawatir, aku takut kalau aku ada di posisi ibu itu. aku pasti nangis kalau eunseo hilang, aku gak bisa bayangin itu, aku takut..”

melihat bibir yang semula melengkung ke atas itu mulai berubah arah, haruto buru-buru mengangkat dagu kesayangannya sebelum sepenuhnya menunduk, sorot matanya mencoba menenangkan sebelum ia memberi tanggapan,

“hei, kamu gak sendirian jaga eunseo, sayang. ada aku, ada lena, kita semua bakal jaga eunseo sama-sama. kita bakal selalu ada buat eunseo sampai dia dewasa dan ketemu sama cinta sejatinya nanti. aku udah janji sama kak yoshi juga keluarga dan temen-temen kamu buat selalu mastiin kamu aman, keluarga kita aman. jadi jangan khawatir lagi, ya?”

sepertinya kata-kata tadi mampu memberi sedikit pengaruh pada junkyu, terbukti kini sorot matanya tak sepanik sebelumnya.

kedua lengannya mengeratkan pelukan pada pinggang yang lebih muda, pun wajahnya yang kini terbenam sempurna pada dada bidang itu, hangat. aroma tubuh haruto pun selalu menjadi favoritnya.

“haru..”

“hmm?”

“makasih..”

“buat apa?”

“buat semuanya. makasih udah nerima aku dan selalu ada di samping aku sampai sekarang.”

beberapa kali junkyu mengusakkan wajahnya dalam dekapan hangat itu, membuat haruto terkikik geli akibat ujung surai si manis yang mengenai dagunya.

“begitupun aku. makasih karena kamu udah bertahan sama aku sampai sekarang. dan aku harap selamanya.”

junkyu mengangguk kecil, membuat haruto lagi-lagi kegelian namun tak sampai menguraikan pelukan keduanya.

karena mereka selalu merasa nyaman di sisi masing-masing, bahkan tak terhitung banyak ucapan syukur yang mereka panjatkan karena telah dipertemukan di saat yang tepat, pun dengan rasa yang sama besarnya.

***

“eunseo, jangan dicolek krimnya sayang..”

bisikan itu terdengar di lorong lantai 2, tepatnya di dinding samping kamar mandi yang kini berubah fungsi menjadi markas untuk keduanya bersiap-siap.

lena masih lengkap dengan piyama biru satinnya, begitu pula eunseo dengan piyama shinchannya yang lucu. beberapa menit yang lalu, mereka berpura-pura tidur, tepatnya saat sang ayah mengecek kamar keduanya.

kini berberkalkan korek api, lilin berbentuk angka empat, serta kue minimalis berwarna dasar biru dengan hiasan bunga daisy kecil berwarna putih, mereka bersiap memberi kejutan. tentunya untuk kedua orang tua yang kini suara percakapannya terdengar sayup-sayup di telinga.

lena berpindah posisi, ia berada tepat di depan pintu kamar milik papa dan daddynya. sambil menempelkan telinga untuk menguping, suara yang tadi terdengar perlahan mulai hilang. sepertinya kedua orang tuanya mulai terlelap, dan ini saat yang tepat untuk ia dan eunseo beraksi.

“eunseo, sini deketan.”

“ka yena, kue na enyak, ensoo mau mam banyak!”

ah, sepertinya gadis 17 tahun yang kini tengah bersiap menghidupkan korek itu sedikit menyesali keputusan memberikan tugas eunseo sebagai pembawa kue. namun tidak ada waktu lagi, sebelum kue itu benar-benar habis di tangan adik kecilnya, rencana surprise itu harus segera dijalankan.

“iya sebentar ya sayang, kita tiup lilin dulu.”

“tiyup yiyin?”

“iyah, wush wushh nanti sama papa sama daddy, eunseo mau?”

“mau mau mau ka yena mauu!”

beruntung adik kecilnya tetap berbisik walaupun sedang begitu gembira, ah, ingatkan ia nanti untuk mencubit pipi gembil itu setelah kejutan ini selesai. ia bersumpah, adiknya itu sangatt menggemaskan!!

setelah memutar knop pintu perlahan, keduanya berjalan mengendap-endap, dengan satu tangan eunseo menggenggam tangan lena dengan erat. di depan sana, pemandangan amat manis dan membuat jiwa jomblo lena meraung iri terpampang jelas, dimana daddy dan papanya saling mendekap satu sama lain dengan erat.

dan begitu berada di sisi kasur yang langsung bersampingan dengan papanya, lena siap menghitung mundur dari tiga, memberi aba-aba pada eunseo untuk bersiap pula.

“3...2...”

srekk

maniknya membola sempurna, pandangannya kini membalas tatapan kaget yang jenaka dari daddynya.

“mau ngapain?” bisik haruto yang kini telah sepenuhnya terbangun.

lena merengut malas, “mau kasih surprise, daddy gak asik ah, malah bangun duluan!”

“ahahaha, yaudah sekarang lanjut aja, kita kasih surprise buat papa, oke?”

ketiga orang beda usia itu bersiap, dengan haruto yang menghitung mundur dari 100. salah, maksudnya dari 3.

dan begitu hitungan mencapai satu, ketiganya berteriak bersamaan.

namun nihil, tak ada pergerakan sama sekali dari junkyu. ia masih nampak terlelap mengarungi mimpinya. bahkan beberapa kali ia bergumam tidak jelas, yang memancing tawa kecil dari ketiganya.

berujung haruto menyerah, memilih membangunkan junkyu dengan dengan menepuk pipinya pelan berulang kali.

“sayang, bangun..”

junkyu menggeliat di posisi awalnya, kelopak mata yang semula terpejam sempurna perlahan membuka, menampakkan manik coklat terang yang begitu cantik dipandang mata.

“uhh? ini kenapa hoammm..rame-rame?”

ketiganya masih menunggu hingga junkyu sadar sepenuhnya, dan begitu si tokoh utama menyadari kue dan lilin yang dipegang oleh eunseo dihadapannya, barulah ia teringat sesuatu,

happy 4th anniversary, sayang..”

happy 4th anniversary, papa!”

ucapan selamat itu seketika membuatnya terharu, dengan kesadaran yang sudah sepenuhnya kini air mata mulai menbasahi kedua pipinya. membuat tiga yang lain panik, dengan haruto yang sigap menyeka air matanya itu,

“hei, kenapa nangis?”

“aku seneng, seneng banget. mau peluk..”

nada manja yang terdengar memenuhi ruangan itu menciptakan senyum lebar pada bibir masing-masing, berakhir eunseo yang lebih dahulu merangsek maju mendekap tubuh papanya yang setengah tertutupi selimut. kemudian diikuti oleh lena dan haruto.

“nsoo cayang papa daddy!”

haruto dan junkyu mengangguk dalam pelukan itu sembari memberikan kecupan lembut bergantian di pipi si kecil. hal itu tak luput dari pandangan lena, yang kini merengut sebal karena merasa disisihkan,

“eunseo gak sayang kak lena?”

sadar telah melupakan kakak cantiknya, eunseo berbalik, balas mendekap lena yang kini terkikik geli karena adik kecilnya itu menyerangnya dengan kecupan bertubi-tubi. bahkan kini haruto bergabung menggelitiki telapak kaki lena, membuat tawanya menggema tak tertahan lagi.

junkyu memandang ketiganya dengan binar bahagia, tak pernah terpikir olehnya akan memiliki dua malaikat cantik dan seorang pangeran tampan negeri dongeng yang membuat hari-harinya makin berwarna. setelah sekian hal berat hadir dalam hidupnya, ia masih bisa bertahan. dan balasan atas semua perjuangannya dulu setimpal, bahkan lebih.

“hoammm”

bibir mungil eunseo menguap, binar matanya meredup, pun telah beberapa kali terkantuk-kantuk. jelas saja, jarum jam dinding kini tengah menunjuk angka satu dini hari.

melihat itu, haruto menuntun kedua anaknya agar segera pergi tidur, “nah kalian sekarang balik ke kamar dulu oke? kita lanjut perayaannya nanti pagi. inget, langsung tidur ya anak-anak?”

dengan enggan lena menuruti perkataan daddynya. ia kemudian menggandeng tangan mungil eunseo yang kini tengah melambai kecil pada papa dan daddynya.

***

keadaan kamar kembali hening. junkyunya masih menatap ke arah pintu kamar yang telah tertutup, entah apa yang dipikirkannya.

membuat haruto berinisiatif mencolek dagu si manis, mengembalikan perhatian junkyu padanya.

“eh?”

“mikirin apa sih?”

junkyu menunduk, “haru, sebenernya aku lupa hari ini kita anniv, aku belum siapin hadiah..”

jawaban yang diberikan suami manisnya itu lantas membuatnya terkekeh. walaupun sudah berumur, tingkah laku kesayangannya selalu saja menggemaskan di matanya. kadang terpikirkan olehnya ia nampak seperti seorang ayah yang mengasuh tiga anak kecil saat pergi menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya itu.

dengan hati-hati ibu jarinya mengangkat dagu si manis yang sejak tadi betah menunduk, mempertemukan pandangan keduanya yang kini saling menatap, tenggelam dalam pandangan masing-masing.

perlahan kedua telapak tangannya bergerak menangkup wajah mungil itu, mengusap lembut kedua belah pipinya yang lembut dengan ibu jari, sedikit demi sedikit mengikis jarak antara keduanya.

“gak usah khawatir, sayang. your presence here is enough for me.”

seusainya, haruto mulai mengecup bibir tipis milik junkyu, berulang kali berniat menggoda si manis untuk membalas perlakuannya. kedua lengan junkyu kini telah melingkar sempurna pada lehernya, membuat jarak antara mereka makin rapat.

keduanya saling memagut dengan pelan, mencecap manis bibir masing-masing yang telah menjadi candu. keduanya tenggelam dalam kenyamanan yang diberi satu sama lain, hingga junkyu yang pertama kali menepuk dada suaminya akibat kehabisan nafas.

ciuman itu terlepas, namun wajah keduanya tak lantas menjauh. haruto menempelkan keningnya pada kening junkyu, sesekali mengecup kecil bibir yang kini nampak lebih merah dari sebelumnya,

“my love, my sunshine. i love you, watanabe junkyu.”

.

.

fin.