nelpages


tags : fluff, little bit angst

.

kaki-kaki jenjangnya melangkah menuju salah satu bangku yang ada di bagian pinggir alun-alun. jarum jam tangannya masih menunjuk angka setengah tujuh. bukan, bukan karena ia terlalu bersemangat. hanya saja, ia tipe orang yang disiplin dan tepat waktu.

ia sedikit merapikan pakaian yang dikenakan akibat angin yang berhembus lumayan kencang tadi. omong-omong, pilihan akhirnya jatuh pada sweater berwarna biru tua, memilih warna aman namun tak terlalu gelap untuk malam hari ini.

lelaki itu bersenandung pelan setelah sempat mengirimkan pesan pada seorang yang akan menemani malam akhir tahunnya. kalau ia pikir ulang, ini termasuk tindakan nekat. jujur, ia tak punya banyak teman, itu pun bisa dihitung dengan jari satu telapak tangan.

menyetujui saran jihoon memang salah satu hal di luar nalarnya, namun ia pikir tak ada salahnya. toh, ia sudah sejauh ini untuk mengurungkan niat semula.

dari kejauhan nampak seorang lelaki jangkung berlari kecil. dengan kemeja flanel sebagai luaran kaus putih yang melekat pas di tubuhnya, bawahan jeans hitam, itu merupakan perpaduan yang luar biasa. lelaki itu sungguh tampan, bahkan dari jarak yang jauh.

namun sepersekian detik sebuah kenangan berputar dalam otaknya. kepalanya sedikit pusing, efek apa ini?

semakin lelaki itu mendekat, pusing yang menderanya semakin menjadi. sekuat tenaga ia mencoba menjaga keseimbangan, memperhatikan dengan baik seorang yang kini menghampirinya.

tunggu, bukankah itu travis?

tapi siapa travis? kenapa tiba-tiba dalam kepalanya terpikirkan nama itu?

***

“ini diminum dulu. siapa tau bisa lebih enakan.”

sekaleng cincau hitam itu kemudian berpindah tangan, permukaannya yang dingin membuat minuman itu tampak makin menggiurkan.

tadi, junkyu benar-benar hampir terjatuh. namun refleks yang dimiliki lelaki di sampingnya memang patut diacungi dua jempol. rerumputan di bawah sana tak jadi menerima bobot tubuhnya.

keduanya duduk bersisian, satunya masih asik dengan kaleng minuman di tangan, satunya lagi memilih memperhatikan orang lalu lalang. semakin petang, alun-alun tampak semakin ramai.

menyadari isi kalengnya telah tandas, junkyu menolehkan kepalanya ke samping kiri pada lawan bicaranya,

“kita belum kenalan langsung, gue junkyu,” ucapnya sembari mengulurkan tangan.

uluran tangan itu disambut dengan baik oleh lelaki satunya, “gue haruto.”

jabatan itu terlepas otomatis, kemudian hening kembali. keduanya nampak berlomba mencari topik yang cocok, namun masih terputar dalam kepala masing-masing.

sorry kalau gue lancang nanya, tapi apa lo kenal travis?”

sekejap, haruto sempat membulatkan matanya terkejut. pertanyaan itu bahkan tak sempat terpikirkan akan tertuju padanya. namun raut wajahnya kembali seperti biasa.

“nggak, kenapa?”

“entah, tiba-tiba gue kepikiran nama itu. sorry ya.”

“gak apa, santai aja sama gue.”

percakapan keduanya terjeda, dimana kini pandangan junkyu fokus pada stand arum manis yang berada tak jauh dari tempat keduanya. haruto yang menyadari itu kemudian berdiri, berpamitan seadanya.

tak sampai lima menit, lelaki itu telah berdiri di hadapan junkyu, menyodorkan satu bungkus arum manis berwarna biru.

“nih, siapa tau bikin mood lo jadi lebih baik.”

mendapat makanan gratis tentu membuat junkyu sumringah, senyum lebar kini terpasang pada wajah manisnya. namun lain daripada itu, jantungnya kini berdetak ribut, tak siap diperlakukan semanis ini oleh orang yang bahkan baru satu jam lalu ia lihat wujud nyatanya.

keduanya kembali duduk di bangku yang sama, dengan junkyu yang asik memakan arum manisnya, dan haruto yang kini lebih memilih memfokuskan diri pada lelaki manis di sampingnya.

“mau?”

haruto menggelengkan kepala, mempersilahkan junkyu melanjutkan kegiatan makannya itu.

“kenapa lo jadi dateng kesini? kayaknya lo tadi masih ragu-ragu,” tanyanya menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya.

junkyu menoleh sebentar, lalu kembali menghadap ke depan,

“gue juga mau ngabisin akhir tahun di luar. jajan sesuka gue, ketemu orang lain, buat mood gue jadi baik. harusnya gue bisa pergi sama temen, tapi temen gue lebih milih pergi bareng pacarnya, huh!”

melihat junkyu yang sebal mengerucutkan bibirnya, membuat lelaki di sampingnya menahan gemas. namun sesungguhnya haruto bukanlah orang yang kuat, karena kini satu tangannya telah lancang mengacak surai coklat lembut milik si lelaki manis.

“e-eh sorry..”

buru-buru tangan itu ia turunkan, kini wajahnya dipalingkan akibat malu sekaligus kaget dengan refleks miliknya. namun setelahnya ia dibuat lebih kaget saat junkyu berujar pelan,

“gak apa, refleks lo bagus. gue jadi berasa punya pacar, hehe.”

***

tangan keduanya bertautan, saling menggenggam dan berbagi kehangatan di malam akhir tahun ini. tujuan mereka adalah bagian tengah alun-alun, tempat pertunjukan sekumpulan orang berlangsung.

penonton penampilan itu tak hanya mereka, ada banyak sekali orang ikut berdesakan berlomba untuk menyaksikan paling depan. berkali-kali tubuh kecilnya terdorong, berulang kali pula ia hampir terjatuh.

hal itu membuat lelaki yang awalnya hanya menggandeng tangannya, memilih memposisikan diri di belakang, memeluk tubuhnya agar lebih aman. bohong jika junkyu bilang ia baik-baik saja, perutnya mulas, namun ia menyukai ini. menyukai setiap reaksi pada dirinya atas perilaku manis yang bertubi-tubi diberikan oleh lelaki bernama haruto itu.

“mau duduk aja?”

kepala junkyu yang bersender pada dada bidangnya menggeleng kecil, masih terfokus pada penampilan di depan sana. sepertinya lelaki manis itu merasa nyaman pada posisinya, bahkan saat haruto menumpu dagunya pada pucuk kepala atau bahu lebarnya, junkyu tak menolak.

karena bukan hanya junkyu yang merasa nyaman, haruto pun begitu.

***

“seneng gak?”

“senengggg bangettttt!!”

haruto terkekeh kecil melihat ekspresi junkyu yang jauh lebih menggemaskan saat merasa senang. ah, rasanya ia ingin melihat raut bahagia ini seterusnya, jika ia mampu.

sebentar lagi pergantian tahun, dan kini keduanya telah berdiri di bagian kanan alun-alun, mencari posisi tepat untuk menyaksikan pertunjukan kembang api.

senyum junkyu masih sama lebar, tak luntur bahkan tampak lebih bahagia saat menoleh padanya,

“tahun-tahun yang gue laluin selalu ngebosenin, bahkan tahun ini gue pikir gitu. tapi gue bersyukur, hari ini gue bisa kenal lo.”

senyum itu begitu tulus, begitu manis, rasanya haruto bisa tenggelam dalam binar indah yang terpancar pada kedua manik bulat milik junkyu jika ia terus memfokuskan pandangannya pada lelaki itu.

namun nyatanya ia memang sulit mengalihkan fokus, dalam kepalanya bahkan telah terpikirkan kiat untuk membuat senyum junkyu selebar ini dengan ia sebagai alasannya.

hingga sebuah pengumuman akan dimulainya pertunjukan kembang api menyadarkan keduanya, haruto terlebih dahulu mengalihkan pandangan.

“nanti tepat jam 12, mau make a wish?”

anggukan semangat ia dapat sebagai jawabannya. kini junkyu sedikit bergeser mendekat, mungkin karena angin malam yang berhembus sedikit kuat. berulang kali ia menggosokkan kedua telapak tangannya, hingga menarik perhatian lelaki satunya.

sudah mengerti kan refleks haruto bagaimana?

dengan cekatan ia menarik kedua telapak tangan mungil itu, menangkupnya dan sedikit meniup agar menjadi lebih hangat.

hitungan mundur itu dimulai, sorak sorai pun ikut terdengar memenuhi tempat itu. semuanya tak luput ikut menghitung mundur, merasakan euforia pergantian akhir tahun yang menyenangkan sekaligus mendebarkan.

junkyu kini bersiap menangkupkan kedua tangannya di depan dada, tak sabar untuk membuat harapan.

hingga hitungan satu terdengar menggema, begitu diiringi ledakan warna warni di atas sana, ia memejamkan matanya,

“tuhan, semoga di tahun depan aku bisa lebih bahagia, dan jika boleh, bahagiaku itu bersama haruto.”

cup

kaget, tentu saja. namun matanya masih betah memejam. kecupan kilat itu mendarat pada pipi kirinya, begitu lembut dan membuatnya merona.

namun saat kedua kelopak mata itu memilih untuk terbuka, ia merasakan ada yang aneh. perlahan, ia sadari ia seorang diri. tubuhnya memutar, mencari keberadaan seseorang yang beberapa jam ini menemani akhir tahunnya.

nihil, ia tak menemukan seorang pun. ia bingung apa yang kini ia rasakan, semua berlalu begitu cepat. kecupan itu, bahkan masih jelas terasa.

jantungnya berdegup kencang, bak orang linglung ia masih mencoba mencari keberadaan haruto. tanpa sadar kumpulan likuid bening itu mulai menyamarkan pandangannya. dadanya sesak, tubuhnya meluruh seketika. pada akhirnya, rerumputan alun-alun pun menerima bobot tubuhnya dengan tangan terbuka.

***

dari kejauhan, seorang lelaki dengan raut wajah datar itu fokus memandang ke depan, tepatnya pada seorang yang kini terduduk di rerumputan.

lelaki itu, si tokoh utama, lelaki yang membuat kita jatuh pada tingkah lakunya yang manis. lelaki yang tiba-tiba menampakkan tabiat aslinya.

tatapannya kosong, namun ia sedikit lega. memang beginilah seharusnya.

“lo harus bahagia, kyu. harapan lo bakal terwujud, walaupun tanpa gue.”

”..tapi kalau takdir mihak ke kita, gue bakal lari dan berdiri di hadapan lo tanpa ragu.”

ingatannya kembali ke beberapa tahun lalu, saat seorang dengan wajah persis mirip dengannya, terbaring lemah tak berdaya, bahkan untuk mengucapkan pesan yang kini ia jalankan pun terbata-bata.

“trav, tugas gue udah selesai. lo pasti bahagia tau dia nyebut nama lo walaupun dia gak inget lo sama sekali. gue harap, sekarang lo tenang di atas sana.”

sebelum berbalik meninggalkan alun-alun, yang kini menjadi saksi kenangan manis akhir tahun keduanya, tangannya mengambil ponsel dan menekan nomor seseorang yang sudah lama dikenalnya,

“ji, jemput junkyu sekarang.”

.

.

fin.

Confession


pagi yang lumayan terik di hari senin ini telah menghasilkan banyak keluhan yang keluar dari siswa-siswi yang kala itu telah berbaris rapi membentuk huruf U memenuhi lapangan.

setelah sepuluh menit telah terlewati, kini tahapan upacara bendera itu telah sampai pada bagian pengarahan dari kepala sekolah. dan hal ini, lagi-lagi menghasilkan decakan dan bisik-bisik ribut di bagian belakang barisan.

penyebabnya tak lain ialah waktu mereka akan dihabiskan dengan mendengarkan arahan—garis miring cerita pribadi—si kepala sekolah, yang biasanya memakan waktu melebihi lima belas menit.

namun sepertinya siswa-siswi hari ini bisa bernapas lega, karena arahan dari kepala sekolah itu diwakili oleh salah satu guru, yang kemudian menyerahkan sebagian waktu pengarahan untuk memberikan apresiasi pada salah satu murid berprestasinya. yang tak lain ialah, haruto.

kaki jenjangnya menyusuri pinggiran lapangan, menuju podium depan, kemudian menempatkan dirinya di belakang stand mic yang telah disediakan.

kehadiran salah satu siswa berprestasi di atas podium tengah lapangan, dengan wajah yang luar biasa tampan itu, kemudian berhasil menghipnotis hampir seluruh peserta upacara, untuk memfokuskan pandangan padanya. benar-benar kharisma yang luar biasa.

tentu saja, dengan wajah tampan dan tinggi semampai, seragam yang melekat pas pada tubuh jangkung itu, rambutnya yang hari ini ditata lebih rapi, tidak ada yang sudi menyia-nyiakan pemandangan sebegitu menarik, bahkan para guru sekalipun.

hening dua menit ia gunakan untuk menyiapkan suaranya, menyiapkan pidatonya, menyiapkan dirinya dengan semua rencana yang telah tersusun rapi dalam kepala.

dan begitu jari-jari panjangnya meraih mic berwarna hitam itu, ia berdeham kecil mengusir keheningan di sekitar.

“sebelumnya selamat pagi untuk guru-guru, dan juga teman-teman yang ada di hadapan saya. terima kasih atas waktu yang diberikan, dan di kesempatan kali ini, saya ingin mengucapkan terima kasih atas dukungan kalian, sehingga saya bisa mewujudkan harapan dan keinginan saya untuk memenangkan lomba fotografi UYG tempo hari.”

senyumnya semakin lebar melihat tatapan yang teman-temannya berikan, tatapan bangga yang diberikan padanya itu membuatnya bahagia.

“terimakasih pada kepala sekolah dan guru-guru yang mendukung saya, terutama bu lilis yang telah melatih hingga saya sampai di titik ini. teman-teman yang memberi dukungan moral, saya sangat bersyukur dan berharap bisa membalasnya di lain kesempatan.”

kini manik tajamnya mengarah pada seorang pemuda jangkung di belakang barisan pojok kanan, “tidak lupa untuk sunghoon, yang telah menjadi partner dan lawan saya, semoga lain kali kita ada kesempatan lain untuk saling bertukar ilmu dan pengalaman lagi, terima kasih atas bantuan dan juga dukungannya.”

senyum tipis menjadi balasan atas ucapannya itu, membuat dirinya entah mengapa menjadi lebih lega.

“terakhir, saya ingin mengucapkan terima kasih khusus untuk seorang yang berpengaruh besar atas kemenangan saya kemarin, kim junkyu.”

tak sulit untuk menemukan lelaki manis itu, ia berada di bagian tengah barisan, yang kini seketika terbuka, membuatnya menjadi pusat perhatian.

“pemuda manis yang selalu menemani saya latihan, memberi saya support secara langsung, memberi perhatian yang tak ada habisnya,” haruto menjeda sebentar ucapannya, kini ia menatap junkyu dengan binar bahagia, tak lupa satu kedipan lolos untuk pemuda manis itu begitu ia melanjutkan sambutannya, “..hingga memberi penyemangat khusus di hari lomba berlangsung.”

mengingat apa yang terjadi hari itu lantas membuat wajah junkyu memerah, malu namun tak bisa bohong ia juga sama bahagianya. bahkan hanya dengan mengingat hari itu saja rasanya mampu menerbangkan kupu-kupu dalam perutnya.

kini keduanya bertatapan, mengabaikan seluruh peserta upacara lainnya, seakan hanya ada keduanya di lapangan pagi itu. berniat mengakhiri sambutannya, haruto memfokuskan pandangan hanya untuk pemuda manis di seberang, berharap apa yang akan ia ucapkan setelah ini bisa menjadi bukti keseriusan perasaannya.

“junkyu, terima kasih karena sudah hadir saat aku ingin menyerah. meyakinkan kemampuan yang aku miliki, terutama untuk lomba yang mungkin terakhir kali akan aku ikuti mengingat telah berada di kelas akhir. sekarang, di depan semua warga sekolah, guru-guru dan juga teman-teman yang ada di sini, aku akan jujur. junkyu, i love you so much. i love you and i really do. would you be my boyfriend?”

entah siapa yang memulai, gemuruh suara itu mulai saling bersaut-sautan, menyerukan satu kata dengan lantang, memaksa junkyu yang sebelumnya masih mengira ini semua mimpi, mengangkat kedua telapak tangan guna menutup wajahnya malu,

“terima! terima! terima!!”

ia mencoba mengintip di balik cela jari-jarinya, melihat ke depan sana tempat haruto kini berdiri dengan gagahnya, tak lupa senyum itu masih sama lebarnya dengan tadi.

melihat itu membuat junkyu sadar, apa yang ia harapkan telah ada di hadapannya. dan tak ada lagi alasan junkyu menolak itu semua, hingga berakhir menyesali keputusannya.

bibir tipis itu tidak mengeluarkan suara, jujur ia amat malu, namun senyum yang ia lemparkan kini bisa menandingi lebar senyum yang terpasang pada wajah haruto. telapak tangan yang semula menutupi wajahnya telah diturunkan, kepalanya kini mengangguk kecil sebagai jawaban atas pertanyaan yang diberi haruto.

barisan siswa-siswi itu kini berseru riang, ikut bergembira atas kabar bahagia yang mereka dapatkan pagi ini. walaupun diantara mereka ada saja kata tak setuju, namun tak apa, lambat laun kontra itu akan tak bersisa.

guru-guru bahkan kepala sekolah menggeleng tak habis pikir memandang kejadian di depan sana, namun tak ada diantara mereka yang berniat menghancurkan euforia itu.

menyadari waktu untuk sambutannya telah habis, dan karena sudah kepalang malu namun ia bangga dengan apa yang ia lakukan, haruto menyempatkan diri memberikan flying kiss untuk pemuda manis yang kini menjadi kekasihnya di tengah barisan sana, yang kembali mendapat sorakan meriah dari siswa-siswi lainnya.

ah, doakan saja semoga haruto selamat dari pukulan maut junkyu setelah ini karena aksi nekatnya itu.

Free Coupon


cw // kiss

.

lelaki dengan paras tampan itu kini tengah berdiri di depan sebuah kamar. ia menunduk, menetralkan napasnya yang terengah akibat berlarian dari ruang tengah rumah milik kekasihnya ini.

lima belas menit lalu, saat ia sampai, setelah menyapa pak lee yang sedang memangkas daun pohon bonsai berukuran sedang milik keluarga kim, pun membungkukkan sedikit tubuhnya guna menyapa bibi park yang sedang mengelap meja kaca di depan sofa, ia diintili makhluk kecil menggemaskan.

bubu, anjing jenis maltese dengan bulu putih panjang dan wajah kecil itu, entah mengapa sangat suka mengikutinya. namun di luar dugaan, saat tadi ia ajak bermain, anjing itu menggigit gemas ujung celananya. kaget tentu saja, menbuatnya memilih berlari menuju lantai dua, tempatnya berdiri kali ini.

terakhir kali ia kemari, di depan pintu itu masih ada gantungan boneka kecil berbentuk koala. namun sepertinya benda itu telah disingkirkan pemiliknya, tergantikan sebuah dreamcatcher berwarna putih tulang berukuran sedang. cantik, seperti kekasihnya.

tangan kanannya mengetuk pintu kayu itu tiga kali. karena hanya sunyi yang menyapanya, ia putuskan membuka langsung pintu itu, yang beruntungnya tak terkunci.

keadaan dalam kamar kekasihnya juga masih sama saat terakhir kali ia datang, hanya saja, kali ini terdapat buntalan selimut ditengah sebuah kasur empuk, nampak membelakangi tubuhnya.

dengan perlahan ia berjalan, bahkan sedikit berjinjit agar langkahnya tak menimbulkan suara.

dan begitu dirinya berada tepat di samping kiri kasur, buntalan selimut itu berbalik. menampakkan wajah sembab seorang lelaki manis, yang tak lain adalah kekasih kecilnya, junkyu.

raut wajahnya yang semula datar kini berubah sedikit panik. ia mengambil posisi duduk di ujung kasur, satu tangannya menangkup wajah si manis.

“kenapa nangis, hm?”

si manis merengut, memalingkan sedikit wajahnya, “dilarang sentuh, aku lagi ngambek.”

hal itu tak lantas membuat si tampan takut, kini jari telunjuknya menusuk main-main pipi gembil milik junkyu.

“gitu aja nangis, wuu!”

melihat tingkah haruto yang semakin menjadi, junkyu seketika duduk, menyingkirkan selimut yang sedari tadi melingkupi hampir seluruh tubuhnya, menyisakan surai coklat miliknya yang jauh dari kata rapi,

“haruto jelek! haruto anak anjing!”

takk

“huweee kok bibir aku disentil sih!!”

bibir bagian bawahnya terasa perih, memancing air mata yang sedari tadi ia tahan mulai membasahi pipi gembilnya. si manis menangis tersedu-sedu.

puas menjahili kekasihnya itu, haruto menggeser duduknya lebih ke tengah, menarik tubuh si manis yang bergetar ke dalam dekapan hangatnya. tangisan nyaring tadi kini sedikit teredam.

“kecil kok nangis, laper ya?”

“ruto jelek!”

“aku cakep, hari ini banyak cewek yang taruh hadiah di lokerku.”

“huwaaaa..”

nah kan, tangisan junkyu kini bertambah nyaring lagi.

menyadari kini kekasihnya itu kesulitan bernapas, haruto meregangkan sedikit pelukannya, beralih menangkup pipi junkyu dengan kedua telapak tangannya yang lebar,

“sayang, dengerin aku.”

tangis junkyu masih tersisa, napasnya pun tersendat beberapa kali. melihat mata si manis yang makin sembab akibat ulahnya, membuat haruto merasa bersalah.

sembari mengelus pipi itu lembut, haruto kembali berbicara,

“maaf, maaf karena selama ini aku kurang perhatian ke kamu. kurang luangin waktu, aku juga gak romantis. maaf karena udah bikin kamu nangis. maaf karena pacarmu itu aku.”

kini hening menghampiri keduanya, tak ada yang mau bersuara. mereka memilih menatap manik satu sama lain, berbicara dari hati ke hati, mencoba meyakinkan perasaan masing-masing bahwa hanya nama satu sama lain yang menjadi pemilik hati.

elusan di pipinya itu membuat si manis nyaman, pun beberapa kali memejamkan matanya mengantuk.

dan kesempatan itu tak mungkin disia-siakan haruto.

cup

kecupan pelan mendarat di kedua kelopak matanya, begitu lembut hingga mampu membuat pipi junkyu kembali merona.

“jangan nangis lagi, aku gak suka.”

junkyu hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, maniknya yang terpejam masih enggan terbuka.

cup

kecupan kedua singgah di keningnya, sedikit lebih lama, namun junkyu menyukainya.

begitu pula kecupan selanjutnya pada kedua pipi gembilnya. diluar sifat cuek dan jahil, haruto selalu memperlakukannya dengan lembut. selalu mampu menerbangkan kupu-kupu dalam perutnya, menciptakan euforia yang manis.

lama ia memejam, tak ada pergerakan dari kekasihnya. membuat ia memutuskan membuka mata, dan dihadiahi kecupan cepat di bibir.

“kuponnya pakai sekarang aja ya, nanggung.”

dan setelahnya haruto menempelkan bibir tebalnya pada bibir milik si manis, mulai mengecap satu persatu bilah bibir milik kekasihnya.

bibir itu manis, selalu menjadi favoritnya. bibir itu manis, selalu membuat ia jatuh cinta. bibir itu manis, bibir milik junkyu, kekasihnya.

waktu berjalan singkat ketika keduanya begitu menikmati lumatan satu sama lain. hingga si manis yang terlebih dulu menepuk bahu lebar milik kekasihnya, membuat haruto dengan enggan memutus tautan keduanya.

“kamu mau bunuh aku ya?”

haruto terkekeh kecil, lalu mengusakkan ujung hidung bangirnya pada pucuk hidung milik junkyu.

“manis sih, tadi mah kurang.”

pukulan kecil di lengan berototnya menjadi balasan dari si manis akibat jawaban terlalu jujur itu.

dan walaupun junkyu kini kembali mengerucutkan bibirnya, dapat ia sadari kekasihnya salah tingkah.

sehingga membuat haruto, yang keduanya tangannya masih menangkup pipi si manis itu berucap pelan,

“karena kuponnya gak bisa expired, mau lagi gak?”

Support System


kakinya berayun teratur, kadang sedikit terantuk kursi kayu yang ia duduki, namun tak menghentikan kegiatannya. beberapa kali pula ujung sepatunya mengetuk lantai keramik yang dingin, menimbulkan alunan nada yang mampu menenangkan pikiran.

lima belas menit, ia datang sengaja lebih cepat. mengambil posisi paling pojok depan, kini pandangannya lurus ke depan menangkap banyaknya orang berlalu lalang yang tampak makin bertambah volumenya.

tadi pagi sebelum sampai ke lokasi perlombaan ini, ia menyempatkan diri mengecek ponselnya. nihil. tidak ada pesan masuk, tidak ada semangat yang ditujukan personal padanya.

helaan napasnya terdengar lebih berat, jika boleh jujur, kini ia merasa sangat gugup. jejeran piala yang berjarak kurang lebih tiga meter di serong kanannya itu seakan mencemoohnya.

tempo lalu, saat ini ia pasti tengah asik mengarahkan kamera polaroidnya membidik jejeran benda berlapis kaca itu. ia akan mengikuti lomba dengan santai, mengerahkan hanya sepertiga dari kemampuannya, dan voilà, piala kemenangan itu menjadi miliknya.

namun berbeda jauh dengan kondisi hari ini. detak jantungnya dapat ia dengar akibat bertalu cukup keras. wajar saja, ini kali pertama ia berlomba dengan jujur.

manik tajamnya memilih untuk memejam sekejap, mencoba mengumpulkan ketenangan yang telah berhamburan tak tentu arah. ia sedang mencari cara lain; menarik napas perlahan, menahan, kemudian menghembuskannya pelan. begitu terus berulang-ulang.

hingga saat ia memilih mengakhiri aktivitasnya itu, maniknya menangkap bayangan dua orang yang sesungguhnya ia hindari hari ini. kedua orang itu, keduanya laki-laki, sedang bercengkrama dengan riang. satunya memasang senyum lebar yang manis, satunya lagi memasang wajah kalem yang menenangkan.

ia iri, jujur saja. ia ingin merasakan itu semua. merasakan bagaimana ditemani, disemangati, diberikan kata penenang, pun didoakan agar menang.

namun sepertinya ia harus mengubur keinginan itu dalam-dalam. percuma, hal itu tak mungkin menjadi kejadian dalam sekejap mata.

sesungguhnya ia hanya tak tahu, bahwa kerja takdir itu tak bisa diprediksi sama sekali.

saat ia ingin menuju kamar kecil, jari-jemari halus melingkari pergelangan tangan kirinya. membuat ia menoleh, dan mendapati seorang lelaki yang sejak tadi memenuhi pikirannya kini berdiri di hadapannya. dan tak lupa, senyum yang sama lebar itu terpasang apik, seperti saat tadi ia perhatikan.

“mau kemana?”

“bukan urusan lo, junkyu.”

lelaki bernama junkyu itu mengerutkan kening bingung, “lomba bakal dimulai setengah jam lagi, kalo lo lupa.”

haruto, lelaki dengan langkah tertahan itu memasang raut wajah kecut, “makanya sekarang jangan tahan gue, gue cuma mau ke kamar kecil doang, gak kabur.”

senyum junkyu kini makin lebar, gigi rapinya terlihat akibat ia terkekeh kecil, malu dengan yang barusan ia lakukan.

“oke sorry sorry. dah sana, gue tungguin di depan sini.”

begitu genggaman pada pergelangan tangannya terlepas, haruto langsung menuju kamar kecil tanpa menoleh lagi pada lelaki manis yang sempat menahannya. pikirnya, begitu ia keluar nanti lelaki itu pasti sudah pergi, meninggalkan ia dan harapannya yang telah timbul kecil-kecil dalam hati.

namun sayang, lelaki manis itu ternyata tepat janji tak sesuai dalam pikirannya.

“kok cepet?”

“gue gak mesti jawab pertanyaan konyol lo ini kan?”

junkyu kembali menampilkan gigi rapinya, sepertinya lelaki itu tidak lelah sama sekali tersenyum lebar sejak kedatangannya tadi.

pergelangan tangan kirinya kembali ditarik, membuat keduanya kini berjalan beriringan.

“lo udah makan belum?”

“udah.”

“doanya udah?”

“udah.”

“kamera lo, perlengkapan lainnya, udah lengkap kan?”

“udah, junkyu.”

“kalo yakin menang nanti, udah belum?”

”...”

junkyu menghentikan langkahnya, menoleh ke samping kanan guna menatap wajah haruto yang kini menunduk menatap lantai.

“haru?”

“hm?”

hanya dehaman singkat yang ia dapatkan, haruto masih asik memandangi lantai keramik di bawahnya, ah, ingatkan junkyu agar tidak cemburu dengan keramik itu karena kalah menarik di mata haruto.

jari-jari lentiknya yang semula menggenggam ringan pergelangan tangan kokoh itu, kini mengeratkan tautan jarinya, menarik haruto ke balik bilah tembok yang cukup tersembunyi dari lokasi utama lomba berlangsung.

“lo ngapain sih narik gue kesini?”

“mau gue kasih semangat gak?”

“hah?”

kesal melihat lelaki tampan di hadapannya yang tak memberikan reaksi sesuai harapan, membuat junkyu tiba-tiba memajukan wajahnya,

cup

kecupan cepat itu mendarat mulus pada salah satu pipi tirus milik haruto, membuat lelaki itu membulatkan matanya kaget.

“b-barusan, lo ngapain?”

sial, kenapa disaat seperti ini ia kembali gugup dan tak tau harus berbuat apa?

menyadari kegugupan haruto, yang nampak menggemaskan di matanya, membuat junkyu terkekeh kecil.

“sekarang udah semangat belum? udah yakin menang belum?”

haruto kembali menutup mulutnya rapat, nampaknya kini tengah terjadi perang sengit antara pikiran dan hati kecilnya.

melihat itu, junkyu mencoba menggoyangkan lengan yang masih berada di lingkaran jari-jarinya, mengumpulkan kesadaran milik lelaki di hadapannya ini.

“haru?”

manik tajam itu mengerjap beberapa kali, kini sedikit menunduk, menatap lekat manik indah milik si manis yang akhir-akhir ini selalu membayangi pikirannya,

“kyu, sekarang gue janji bakal menangin lomba ini. buat gue, buat lo, buat kita. tapi sebelum itu, apa gue boleh minta sesuatu?”

junkyu mengangguk mengiyakan, balas menatap lekat manik milik haruto yang seakan menariknya masuk, tenggelam dalam pesona tak terbatas milik lelaki tampan itu,

can i kiss your lips?”

dan yang tak ia sangka, lelaki manis itu menyanggupi permintaannya.

Pengganti Janji


memanfaatkan jam kosong yang kali ini kelasnya dapatkan, junkyu segera melangkahkan kakinya menuju ruang guru. ruang guru yang asli maksudnya, bukan aplikasi.

jalannya sedikit tergesa, padahal tidak ada yang mengejarnya sama sekali. waktu yang ia miliki juga banyak, namun hal itu tak mampu sedikitpun mengurangi kecepatan lari junkyu kali ini.

berkat kecepatannya, jarak antara kelasnya dengan ruang guru yang sialnya harus melewati lapangan basket outdoor itu dapat ditempuh dalam waktu lima menit. tepuk tangan dulu untuk pencapaian junkyu kali ini.

kepalanya muncul diantara daun pintu, menoleh ke kanan kiri untuk memastikan ruang guru aman untuk ia masuki. untung sebelumnya ia sudah memastikan dimana letak pasti meja dari bu lilis.

iya, jadi rencana junkyu kali ini adalah membicarakan mengenai perlombaan itu langsung dengan bu lilis. semoga saja bu lilis tidak bertanya apa alasan ia ikut campur masalah ini.

dari jauh terlihat ibu guru muda yang sedang merapikan berkasnya di meja pojok kanan dengan lemari piala. sepertinya, guru itu belum menyadari kehadiran junkyu disini. hingga kemudian langkahnya terhenti di hadapan meja yang menjadi tujuannya, junkyu mengetuk meja kaca itu dua kali.

“permisi, bu.”

“eh, ibu kira guru lain. duduk dulu, ada keperluan apa nak?”

junkyu mendudukkan dirinya di hadapan bu lilis. sedikit menggaruk tengkuknya yang tak gatal, gugup kini tengah melandanya. membuat ia menarik napas perlahan guna menenangkan diri.

“begini bu, saya ingin membicarakan mengenai lomba fotografi yang diadakan tiga hari mendatang.”

mendengarnya, bu lilis pun memfokuskan diri pada murid lelaki yang kini menjelaskan beberapa hal mengenai perlombaan itu; tentang perwakilan, tentang dua orang murid yang salah satu kiranya akan terpilih.

awalnya ia bingung mengapa siswa di hadapannya ini datang menghampirinya. terlebih lagi, ia bukan salah satu murid ekskul yang ia bina.

dan setelah mendengar serangkaian penjelasan tadi, ada banyak pertimbangan yang kini terputar dalam pikirannya.

“bagaimana bu, apakah ibu bisa mengusahakan permintaan saya ini?”

bu lilis mengangguk tak yakin, “sebentar coba ibu hubungi pihak panitianya, dan bicarakan dengan pihak sekolah ya, nak junkyu. semoga bisa segera mendapat kabar baik.”

senyum lebar kini menghiasi wajah manisnya, sepertinya usaha yang ia lakukan telah menimbulkan sedikit hasil.

ia mengangguk semangat, “terima kasih bu, terima kasih telah membantu untuk mempertimbangkan saran saya ini.”

guru muda itu pun ikut tersenyum melihat tingkah murid manis dihadapannya. beberapa menit keduanya berbincang, tiba-tiba salah satunya teringat janji yang dimiliki setelah ini.

“oh iya, setelah ini nak haruto akan bertemu ibu. kamu mau menemani ibu disini?”

hal itu lantas membuat junkyu panik dan menggeleng rusuh. buru-buru ia bangkit dari kursinya, menunduk memberi salam untuk pamit segera dari hadapan bu lilis.

semua tingkahnya itu tak luput dari pandangan si guru muda. wajah panik junkyu tadi membuatnya tertawa kecil. ah, sepertinya kebingungannya mengenai alasan junkyu datang kemari dan repot menjelaskan hal tadi panjang lebar telah mendapat jawaban,

“langgeng ya sama pacarnya, nak junkyu. kalau sedang ada masalah, jangan lupa cepat berbaikan.”

hah?

pacar?

sial, junkyu lupa. bu lilis pasti mengira dirinya pacar haruto setelah melihat dirinya menemani lelaki itu latihan tempo hari.

dan sekarang, junkyu jadi malu setengah mati.

seseorang, tolong sembunyikan junkyu sekarang juga :(

Rencana Akhir


berbekalkan nasi goreng yang telah dipaket sedemikian rupa dan tak lupa membawa kamera polaroid yang selama lebih dari satu minggu berada padanya, junkyu bergegas menuju aula lantai 1 tempat haruto latihan saat ini.

hatinya berdegup cukup kencang, bukan, bukan karena berlari, hanya saja semua rencananya tiba-tiba membuat ia takut; takut jika rencananya tidak berhasil, takut jika rencananya tak sesuai harapan.

pintu aula kini sudah ada dihadapannya, sebelum menekan knop berwarna perak itu, ia menarik napasnya dalam-dalam. meyakinkan kembali hatinya, jika apa yang akan ia lakukan setelah ini adalah pilihan terbaik.

jika boleh jujur, sejak kemarin malam hal ini terus berputar di kepalanya. memenuhi pikiran, membuat junkyu sulit tidur. ia tak mengerti perasaannya sendiri, ada setitik rasa tak rela yang timbul saat memikirkan jika setelah ini ia tak mendapat perhatian dan kasih sayang itu lagi.

dan meskipun itu junkyu sadari, ia memilih untuk mengabaikannya. ia telah bertekat tak goyah, dan ikut lepas dari pengaruh kamera aneh itu.

begitu masuk, udara segar nan dingin menerpa wajahnya. jarang sekali ia ke tempat ini, terlebih tak memiliki keperluan. mungkin lain kali ia akan meminta sunghoon menemaninya ke aula lagi.

dari jarak cukup jauh lambaian tangan itu menyapanya, sosok yang tampan, ah, bahkan sangat tampan jika harus ia akui. senyumnya amat lebar, junkyu sampai bingung harus berekspresi apa untuk membalasnya. membuat senyum yang tersemat di bibirnya kini menjadi canggung.

sosok tampan itu berlari menghampirinya, “cepet banget, kamu beneran lari ya?”

ditatap begitu intens, membuat junkyu salah tingkah, “enggak, kan lo bilang tadi jangan lari.”

“nurut banget sih.”

satu tangan haruto terangkat mengusak surai coklat milik junkyu, membuat semburat merah muda malu-malu timbul di kedua pipinya.

“ish jangan berantakin rambut gue, haru!”

“ahaha sorry sorry, yuk duduk di sana.”

kini keduanya duduk di bangku bagian pojok aula. haruto mengambil posisi duduk di samping kanan junkyu, tanpa aba-aba menyandarkan kepalanya pada bahu lebar milik si manis.

junkyu memilih untuk tak menolak semua itu, entah, padahal dalam otaknya telah terserukan untuk mendorong kepala itu menjauh, namun hatinya berkata lain. tak bohong, ia menikmati setiap perlakuan lembut dari pacarnya itu.

“latihannya udah selese?”

“belum, tadi bu lilis bilang boleh istirahat makan.”

satu tangan junkyu kini sibuk mencari kotak bekal yang ia bawa sejak tadi dalam totebagnya.

“nih makanan buat lo.”

kotak bekal berwarna biru muda itu berpindah tangan pada haruto, membuat si penerima tersenyum lebar, “kamu yang buat?”

anggukan junkyu menjadi jawaban atas pertanyaan itu. wajah haruto kini bahkan jauh lebih bahagia dibanding sebelumnya.

“itu gak pedes kok, cabenya dikit. itu dimakan sayurnya biar sehat. telurnya agak setengah mateng, udah sesuai selera lo juga.”

karena sedari tadi ia menjelaskan tanpa menghadap wajah haruto, begitu tak mendapat jawaban membuat junkyu bingung. ia pun memutuskan untuk menoleh ke kanan, namun nampaknya itu pilihan yang salah. atau mungkin tidak?

cup

“makasih sayang!”

kecupan cepat itu mendarat di sudut kanan bibirnya, mampu membuat junkyu mematung. sedang ia mengumpulkan kesadaran, si pelaku kecupan itu kini telah disibukkan dengan kotak bekal yang berada di genggaman.

harusnya, junkyu memukul orang di sampingnya itu atas perlakuan tiba-tiba tadi. namun ia tak sanggup, tubuhnya tak bereaksi sesuai pikiran. yang ia dapati ialah wajahnya yang memerah sempurna, bahkan hingga telinganya. malu, namun lebih banyak senangnya. dalam kepalanya terpikirkan, ah, ternyata seperti ini rasanya pacaran.

junkyu memilih memalingkan wajah guna meredakan euforia yang tiba-tiba menguasai dirinya. pandangannya kini menangkap bu lilis yang sibuk dengan berkas di bagian pojok aula seberang tempatnya duduk.

hingga tak ia sadari, haruto sedari tadi memanggil namanya.

“sayang! junkyu!”

“e-eh iya? oh udah selese?”

haruto mengangguk dan menyerahkan kotak bekal yang telah kosong itu, “aku kesana dulu ya, biar cepet juga selesai latihannya, biar bisa langsung pulang sama kamu.”

“iya, sana gih ditunggu bu lilis tuh.”

haruto melambaikan tangannya setelah sempat mencubit kecil pipi gembil junkyu, membuat si empu terkaget untuk kesekian kalinya, namun tak marah.

“gue kenapa sih..”

.

.

menit-menit itu telah berganti jam. jika dihitung, hampir dua jam lamanya junkyu telah berdiam diri di tempatnya tadi. harusnya kini ia telah bergelung di bawah selimut tebal di atas kasurnya yang empuk. namun tak apa, hanya untuk hari ini saja, ia tak apa merelakan waktunya demi bebas dari si kamera aneh. ah, dan juga haruto.

dari kejauhan, nampak lelaki yang ditunggunya sedang merapikan kamera, pun dengan peralatan lain yang dibawa karena waktu latihannya telah habis.

junkyu pun sama, ikut menyiapkan diri, dengan kamera polaroid yang ia genggam erat di tangan kanan, bibirnya bergumam seakan merapalkan doa agar rencananya berjalan lancar.

langkah haruto yang terdengar bergema dari tengah aula yang mulai lebih lengang, menambah ribut debaran jantung si manis. berulang kali ia menarik-hembuskan napas agar lebih tenang.

dan kini adalah waktunya,

sebentar lagi ia akan bebas, ini semua akan selesai,

fyuhh,

sedikit lagi, tinggal beberapa waktu lagi,

ckrek

lensa kamera itu menangkap objeknya, sebuah kursi kayu yang berada tak jauh dari haruto.

haruto melihatnya, melihat aksinya, memperhatikan kamera yang ia bawa. kini pandangan itu seketika berbeda, tak ada binar penuh kasih sayang seperti yang lalu. kedua manik itu menyorot dirinya tajam, pun melemparkan pertanyaan yang ia tak tau harus menjawab apa,

“lo?? kenapa kamera gue ada di lo, junkyu?”

junkyu, bukan lagi sayang.

benar, sekarang semuanya sudah selesai.

Salah Target


Kakinya melangkah tergesa, begitu mendapat informasi mengenai seorang yang mungkin kini sedang membawa kamera polaroidnya, Haruto tidak menyiakan waktu lagi. Kamera itu harus segera ada ditangannya.

Di lain tempat, lelaki manis yang tidak tau apa yang akan terjadi padanya itu berkeliling membawa sebuah totebag. Di dalamnya berisikan buku yang akan ia kembalikan ke perpustakaan, dan tak lupa kamera polaroid yang ia temukan beberapa hari lalu.

“Hari ini mau foto apa lagi ya?”

Ia memutar otak, tujuannya untuk mendapat pacar secara instan ternyata tak bisa dipenuhi oleh kamera ini. Maka ia akan memikirkan hal lain yang lebih bermanfaat.

Sebenarnya ia juga bingung, apakah kertas film kamera itu masih tersisa banyak atau nyaris habis, sayangnya ia tak bisa mengeceknya. Ia juga terlalu malas bertanya, atau mencari tau.

Begitu menyelesaikan tugasnya di perpustakaan, pun menyapa hampir setengah penghuni tempat itu yang tidak lain adalah teman-teman dekatnya, akhirnya ia bisa melepaskan diri.

Sebelumnya ia memilih duduk di meja bundar dekat perpustakaan, tempat teduh yang menjadi pilihan tepat untuk bersantai.

Sembari meminum susu kotak yang ia bekalkan dari kantin, ia mengeluarkan kamera yang berada di tasnya itu.

“Tapi kenapa gue masih gak yakin kalo ini kamera gak mempan ke manusia ya? Pasti ada cara lain..”

Tangannya kini sibuk membolak-balikkan kamera di hadapannya, memperhatikan setiap detail bagian, siapa tau ia melewatkan sesuatu.

Namun nihil, bukan jawaban atas pertanyaan yang ia dapatkan, kini malah kepalanya yang menjadi pusing akibat berpikir terlalu keras.

Ia mencoba mengangkat kamera itu, mengarahkan lensanya pada sembarang arah. Namun sayangnya, kekagetan akibat munculnya seorang lelaki jangkung yang ia “benci” dari kejauhan, yang kini sedang berjalan tergesa ke arahnya, membuat ia panik.

Cekrek

“Sial!!”

Entahlah, jarinya tidak sengaja menekan tombol di bagian kanan, menyebabkan kertas film pun tercetak dengan menampilkan Haruto sebagai titik fokusnya.

Masih dikuasai kekagetannya, hingga ia tak menyadari kini lelaki yang difotonya tadi berada tepat di sampingnya.

Haruto melambaikan sebelah tangannya, mencoba mengembalikan kesadaran Junkyu. Kepalanya dimiringkan, berniat menarik perhatian si manis yang masih menatapnya dengan raut wajah tak terbaca. Sedikit aneh.

Karena tak kunjung dihiraukan, Haruto berinisiatif mengelus surai Junkyu dengan lembut, menangkup wajah si manis dengan kedua tangannya.

Perlakuan itu tentu membuat si manis kaget, belum lagi perkataan yang keluar dari bilah bibir Haruto selanjutnya, yang menbuat bola matanya membulat sempurna,

“Sayang, kamu ngapain disini?”

A Little Happiness


Tangannya gemetar, keringat terus menerus turun membasahi dahinya. Tidak biasanya ia seperti ini, mengingat sudah banyak sekali lomba yang ia ikuti.

Namun entah mengapa, kali ini ia gugup, jauh lebih gugup dari biasanya. Harusnya, ia bisa menjaga image dingin dan cuek yang ia miliki, terlebih di depan teman satu timnya, Haruto. Namun sayang, kenyataan tak seindah harapan.

Nampaknya, Haruto juga menyadari hal itu. Berada tepat di samping Junkyu sedari tadi, membuat ia merasakan kegelisahan yang terpancar dari sosok manis di sampingnya ini. Ah, sepertinya ia harus melakukan sesuatu.

Tangan kanannya terulur, menggapai telapak tangan kiri si manis. Jari-jarinya menelusup diantara jari mungil namun lentik milik Junkyu, menggenggamnya erat. Sesekali ibu jarinya mengusap lembut punggung tangan Junkyu, mencoba memberi ketenangan.

Dan sepertinya cara itu ampuh, Junkyu tak gemetaran lagi. Tubuhnya lebih rileks, nafasnya lebih teratur. Wajahnya tak sepucat tadi, bahkan kini timbul semburat merah muda yang tipis menghiasi pipi gembilnya. Cantik.

Haruto menolehkan wajahnya, memperhatikan Junkyu,

“Udah lebih baik?”

Haruto selalu seperti itu, sedikit bertanya namun langsung bertindak nyata. Dan itu menjadi poin plus di mata si manis.

Junkyu mengangguk, kini senyum ikut tersemat di bibir tipisnya, jauh lebih baik daripada beberapa waktu lalu.

Merasa Junkyu sudah lebih tenang, hampir saja Haruto melepaskan genggaman tangan mereka, sebelum si manis terlebih dahulu mengeratkan kembali genggaman itu. Seakan menegaskan, ia menyukainya, menyukai genggaman tangan Haruto yang hangat, pun menyukai sensasi yang ikut timbul dalam hatinya sebagai efek samping.

Haruto mencoba menahan tawanya, yang berakhir terkekeh kecil akibat tingkah lucu Junkyu. Yang pula membuat si manis tertular tawa itu.

Masih dengan wajah menghadap si manis, Haruto memasang senyum misterius, “Lo tau, selain bisa jawab soal dengan cepet, tangan gue punya kekuatan lain..”

“Kekuatan apa emang?”

Haruto mendekatkan wajahnya, berbisik lembut di samping telinga Junkyu,

“Bisa bikin lo jatuh cinta.”

Library


Katakan saja ia nekat, namun nyatanya kini Haruto telah berdiri di depan kelas IPA 1 hanya untuk mengintip ke dalam, apakah proses pembelajaran yang diberi Pak Adnan sudah selesai atau belum.

Kalau saja bukan karena suruhan Bu Lilis, Haruto mungkin lebih memilih kabur, melarikan diri terlebih dahulu menuju perpustakaan.

Hampir 15 menit berdiam diri di pojok dekat jendela, murid di dalamnya berhamburan keluar mencapai pintu, berebut siapa yang keluar lebih dahulu.

Kini keadaan kelas semakin lengang, membuat Haruto dapat dengan mudah menemukan sosok manis—yang sayangnya juga menakutkan—di matanya. Sosok itu kini mulai menyampirkan tasnya ke punggung, bersiap untuk pulang.

Begitu kedua kaki itu mencapai pintu, langkahnya terhenti tiba-tiba. Matanya menyorot tajam seorang lelaki yang kini menghalangi jalannya.

“Mau apa?”

Sorry, karena lo block gue, jadi gue harus nyamperin lo kesini.”

Si manis mengernyit tak suka, “Gak usah basa-basi. Lo mau apa?”

Haruto menghela nafas pelan, meredakan emosi yang tiba-tiba tersulut dalam hatinya.

“Bu Lilis minta kita gantiin anak kelas 10 buat olimpiade biologi, dan hari ini jadwal belajar mandiri di perpus.”

Sebelum benar-benar melangkahkan kakinya meninggalkan depan kelas IPA 1 dan pergi menuju perpustakaan terlebih dahulu, terdengar helaan nafas berat dari lelaki manis itu. Namun ia tak ambil pusing, dan memilih meninggalkannya.

***

Perpustakaan siang itu cukup sepi, jelas, karena ini sudah waktunya pulang sekolah. Hanya siswa-siswa ambisius saja yang betah berlama-lama mendekam di tempat ini.

Haruto mengambil tempat di bagian ujung kanan dekat jendela, tempat favoritnya untuk belajar karena langsung menghadap kebun sekolah. Tempatnya sedikit tertutup rak, sehingga orang yang baru masuk mungkin tak benar-benar melihatnya.

Mengeluarkan buku yang ada dalam tasnya, misi belajar mandirinya pun dimulai. Maniknya terfokus pada tulisan-tulisan rapi dihadapannya, menghiraukan murid-murid yang berlalu lalang di sekitar.

Hampir dua jam tenggelam dalam bukunya, Haruto memilih menegakkan badan, menggerakkan tubuhnya agar tidak pegal. Pandangannya kini mengedar mencari seseorang, apa mungkin Junkyu lebih memilih pulang daripada mempercayai informasi darinya?

Kaki jenjangnya perlahan melangkah mengelilingi lorong yang terbentuk oleh rak-rak buku yang ada. Hingga ia sampai pada bagian pojok kiri yang juga sedikit tertutup rak tinggi, membuat pencahayaan disini lebih minim dibanding tempatnya belajar tadi.

Entah mendapat dorongan dari mana, tubuh jangkungnya memilih mengambil tempat tepat di samping sosok manis tadi. Memperhatikan dengan jelas wajah damai seorang Junkyu yang kini tengah tertidur menindih bukunya.

Melipat kedua tangannya di atas meja, Haruto ikut mengistirahatkan kepalanya di atas lipatan tangan itu, menghadap Junkyu.

Wajah itu manis, sangat amat manis, apalagi dalam jarak pandang sedekat ini.

Bohong jika Haruto tidak tertarik, di luar kenyataan bahwa mereka adalah rival satu sama lain, Junkyu memang telah menarik perhatian Haruto sejak hari pertama masuk sekolah.

Mendapat kesempatan sedekat ini dengan Junkyu tentu suatu kebahagiaan untuknya, membuat ia tak ingin menyiakan setiap waktu yang ada.

Satu tangannya terangkat, mengelus surai depan Junkyu yang agak panjang menutupi keningnya. Jari-jari panjangnya menari lembut di atas pipi gembil itu, ah, rasanya ia sangat ingin mencubitnya gemas. Tapi ia urungkan, ia masih sayang nyawa.

Melihat Junkyu yang tak terganggu sama sekali, membuat keinginan Haruto makin tinggi. Dirinya semakin berani untuk membawa wajahnya lebih dekat, hingga kini mungkin nafas hangatnya terasa menerpa wajah Junkyu.

Ia akui, Junkyu itu indah, cantik, membuat Haruto semakin jatuh hati. Berada sedekat ini membuat jantungnya berdebar tak karuan, pikirannya berkecamuk membuat ia salah tingkah. Hingga ia memberanikan diri memajukan wajahnya lagi untuk mengecup lembut pipi milik si manis, ia tersenyum lebar.

Bahkan dalam tidurnya, Junkyu pun tersenyum. Seakan merespon segala tindak yang ia lakukan.

Miracle


cw // kiss

. Begitu selesai berpamitan dengan kedua orang tua Junkyu, ah, atau bisa dibilang juga calon mertuanya, Haruto menuntun lelaki manis itu menuju mobil yang telah terparkir rapi di halaman.

Omong-omong, itu mobil milik Doyoung karena mobil Haruto masih perlu menginap beberapa hari lagi di bengkel akibat kerusakan saat kecelakaan beberapa hari lalu.

Hari ini rencananya mereka akan menjenguk Lena, sama seperti hari-hari biasanya, kedua orang itu tak pernah absen. Keduanya selalu membawa harapan yang sama, saat sampai nanti, mereka bisa melihat senyum cantik Lena dengan mata yang berbinar dan meminta peluk papa dan daddynya.

Yah, mungkin mereka masih perlu bersabar lebih banyak lagi. Karena tak mungkin, semua doa-doa yang telah mereka panjatkan tak ada jawaban. Suatu saat nanti, doa itu pasti akan menuai hasil.

Suasana dalam kendaraan yang dinaiki keduanya cukup tenang, percakapan yang terjalin pun nampak satu arah, hanya Haruto yang bertanya dan mencari topik. Junkyunya sedari tadi nampak murung, lebih banyak menghabiskan waktunya melihat jalanan luar.

Hingga akhirnya yang lebih tua menyadari jalan yang dilalui berbeda dari biasanya.

“Kita mau kemana?”

Ah, akhirnya si manis bersuara juga.

Refreshing sebentar ya, mau kan? Kamu keliatannya lagi banyak pikiran.”

Tak ada jawaban lagi, Junkyu hanya mengangguk mengiyakan kemudian kembali memperhatikan jalan, yang entah mengapa pagi ini lebih menarik daripada lelaki tampan di sampingnya itu.

Melihat si manis yang kembali murung, satu tangannya Haruto bawa mengelus pelan punggung tangan Junkyu, mencoba menenangkan. Ia tau Junkyu kini kembali takut, pikirannya pasti sedang didominasi Lena yang saat ini terbaring di rumah sakit.

Ia pun sama sedihnya, ia pun sering memikirkan kapan kiranya anak manisnya itu akan sadar. Namun, sebisa mungkin ia menutupi kesedihannya, ia harus kuat, menjadi sandaran bagi Junkyunya, yang semakin hari nampak semakin rapuh.

Tak lama genggaman tangannya berbalas, Junkyu mengeratkan tautan tangan mereka. Membuat Haruto tersenyum kecil sepanjang perjalanan.

***

Tempat itu nampak hijau asri, menenangkan, dengan angin sepoi-sepoi yang bertiup perlahan.

Tangan keduanya masih bertautan, yang lebih muda menuntun jalan kekasihnya menuju bagian tempat yang lebih teduh, keduanya memilih duduk di atas rerumputan.

Haruto mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tampak bunga-bunga daisy kecil tumbuh subur, cantik, seperti Junkyunya. Tempat ini sangat indah, sesuai harapan.

Semula tak ada yang memulai percakapan. Hingga 15 menit berlalu, dedaunan yang diterbangkan angin pagi itu hinggap di pucuk kepala si manis. Membuat Haruto mengalihkan pandangannya dari danau kecil di depan sana, menjadi fokus pada yang lebih tua. Jari-jari panjangnya menari di atas surai lembut itu, mengusir dedaunan tadi.

Junkyu masih tak terusik, membuat Haruto jengah, mulai mencairkan suasana,

“Sayang, lihat aku.”

Si manis menurut, kini pandangannya menghadap pada kekasihnya. Namun dapat Haruto sadari, tatapan itu sendu, bagai tak bernyawa.

Kini kedua tangannya menggenggam kedua tangan Junkyu, mengelus punggung tangannya secara konstan,

“Kamu percaya keajaiban gak?”

Yang lebih tua hanya mengangguk kecil, namun nampak ragu.

“Keajaiban itu, bisa berasal dari pikiran kita.” Perlahan Junkyu mulai tertarik, membuat Haruto melanjutkan perkataannya, “Kalau kamu berpikir bisa, maka akan bisa, jika pikiranmu positif, maka akan terjadi hal yang positif. Begitu pun dengan Lena, kalau kamu yakin Lena kuat dan bisa melewati fase ini dengan baik, maka akan terjadi seperti itu. Kamu papanya, kamu tau bagaimana Lena, kan? Lena anak yang kuat, ia pasti bisa melewati ini semua dan akan sadar secepatnya. Kamu mau itu, kan?

Junkyu mengangguk ribut, iya, yang ia harapkan kini hanya anaknya itu bisa segera sadar, Lena itu hidupnya, Lena itu semangat milik Junkyu.

“Jadi apa yang harus kamu lakuin sekarang?”

Si manis memiringkan sedikit wajahnya, menjawab dengan pelan, “Aku harus berpikir positif, Lena pasti segera sadar.”

Mendengarnya membuat senyum timbul di wajah Haruto, dengan satu jarinya yang kini merapikan surai depan Junkyu yang tertiup angin, ia menimpali,

“Betul, dan kita harus tetap berdoa. Aku yakin, kita pasti akan mendapat jawaban atas doa ini secepatnya.”

Kini raut wajah si manis nampak lebih hidup, maniknya nampak berbinar, yang walaupun samar, namun perasaannya kini lebih baik setelah mendengarkan perkataan Haruto.

“Kamu percaya sama aku gak, kyu?”

Mendapat pertanyaan tiba-tiba seperti itu membuat Junkyu memasang raut wajah bingung, bibirnya memilih bungkam.

“Aku udah percaya sepenuhnya sama kamu, jadi aku mau kamu juga percaya sama aku. Kalau ada sesuatu yang ganggu pikiranmu, cerita ke aku. Aku mau selalu liat senyum indah di wajah kamu, jadi jangan sedih-sedih. Lena pasti juga gak suka kalo papanya sedih.”

Ah, sepertinya sifat tertutup itu masih melekat padanya. Ia terbiasa memendam semua sendiri, hingga kini ia memiliki Haruto sebagai sandaran, tanpa sadar ia seperti membatasi dirinya. Bukan itu mau Junkyu, ia tak ingin Haruto salah paham.

“Aku juga percaya kamu, sepenuhnya, maaf ya kalau selama ini aku masih suka jarang cerita, aku bakal ubah kebiasaan aku, pelan-pelan ya, sayang?”

Kini keduanya melempar senyum lebar, tak ada kecanggungan seperti tadi. Walau angin pagi itu sedikit dingin, tak bisa mengalahkan kehangatan yang tersalurkan antara kedua lelaki yang sedang jatuh cinta itu. Perasaan keduanya sama-sama kuat, pun ingin selalu mengusahakan kebahagiaan bagi satu sama lain.

Dalam keheningan yang nampak lebih hangat, tangan kanan Haruto menggapai satu tangkai bunga daisy kecil paling dekat, memetiknya, kemudian menyelipkan di sela telinga kiri si manis,

“Cantik. Kamu cantik, indah, kamu cakep, lucu juga. Pantas gak sih aku bisa dapetin kamu yang sesempurna ini?”

Pipi Junkyu merona mendengar pujian yang diberikan kekasihnya. Jantungnya bertalu ribut, perutnya mulas bak dipenuhi kupu-kupu. Haruto selalu tau cara menyenangkan hatinya, bahkan dengan hal sesederhana ini.

Junkyu mengangguk mantap, mengeratkan kedua tautan tangan mereka, menatap Haruto penuh binar,

“Aku bisa sempurna karena ada kamu, kita saling menyempurnakan satu sama lain.”

Senyum Haruto nampak lebih lebar, hatinya seakan dipenuhi bunga-bunga.

Haruto memajukan wajahnya, mengikis jarak diantara keduanya hingga tak lebih dari sejengkal. Dari posisi ini, terlihat jelas pipi kemerahan milik si manis, cantik, ia bersumpah Junkyu satu-satunya lelaki paling indah yang pernah ia temui.

Nafas Haruto yang mengenai wajahnya membuat pemuda Kim itu makin merona, pun saat yang lebih muda mengecup keningnya perlahan, lembut, menyampaikan perasaan tulus yang dimiliki lelaki itu.

I love you, kyu.”

I love you too, haru.”

Haruto mempertemukan bibir keduanya, mengecup perlahan dan tak terburu-buru. Sesekali melumat bibir mungil itu, mengecap manis yang kini menjadi candunya. Junkyu memejamkan kedua matanya, menikmati setiap lumatan yang diberikan.

Semakin lama genggaman kedua tangannya semakin mengerat, hingga ia sadari sesuatu yang dingin kini melingkar di jari manisnya. Memutus ciuman itu, ia memundurkan wajahnya dan membawa pandangannya pada cincin yang kini melingkar apik jari manisnya.

“Ini...”

“Junkyu, will you marry me?”

Setetes air matanya turun tiba-tiba, ia bahagia, sangat sangat bahagia. Junkyu mengangguk semangat seraya menggumamkan “iya” berkali-kali. Kini ia pun menghambur ke dalam pelukan hangat yang lebih muda, tak bisa lagi menahan tangis bahagianya. Jika saja ada Lena disampingnya, ia pasti akan merasa jauh lebih bahagia lagi.

Kedua tangan Haruto menangkup wajah si manis, memberi kecupan-kecupan kecil berkali-kali pada bibir mungil itu. Kecupan itu hampir kembali menjadi lumatan, jika saja dering ponsel Junkyu tak berbunyi nyaring,

“Halo, kenapa dek?”

“Kak, Lena udah sadar.”