archeselene

AU baru yay Tokoh: Manggala Birendra (Mark) – happy virus, baik ke semua orang Nanda Candrakusuma (Haechan) – malu” sama orang baru tapi kadang heboh sendiri

So singkatnya Candra pagi-pagi tuh dateng mepet jadi lari-lari dan nubruk orang tapi aman. Abis itu Candra nunggu di lift, eh akhirnya malah ketemu orang itu lagi. Terus Candra nyapa biar ga canggung, “Pagi Kak”. Kebetulan dia emang udah tau orangnya karena orang itu pernah kasih materi waktu osjur. Siangnya, waktu lagi wawancara kakak NIM (Arya) terus Gala kakak NIM nya Arya mampir. Nah, Candra pas natep Gala tuh langsung kayak kekunci matanya, dan anehnya Gala juga gak malingin pandangan, jadinya mereka saling tatep 10 detikan, Arya ga ngerasa aneh soalnya lagi ngobrol sama orang yang dateng bareng Gala, Dhira. Terus Candra nyambat deh di akun kosongannya.

Nah, besoknya Arya ngajak makan bareng sekalian ngerjain tugas wawancara angkatan 20 bareng Gala. Akhirnya Candra ngeiyain, tapi waktu itu dia entah kenapa emang ngerasa salting aja tiap ketemu Gala, gugup. Terus waktu makan Candra ga abis gara-gara prosinya banyak banget, tapi Gala malah nawarin ngabisin makanannya. Pas makan itu mereka wawan panjang lebar (nama, alamat, umur) pake format gitu terus beres wawancara udah jam 10 malem, Candra nawarin nganter Gala ke kosannya pake mobil. Di mobil lanjut ngobrol. Terus udah deh Candra balik ke rumahnya.

  • Waktu Candra magang kadivnya Gala, pas onboarding tidur sebelahan, Gala ngasih sleeping bagnya
  • Candra suka ngamatin Gala dari belakang aja
  • Kakeknya Candra meninggal, Gala nyetirin dari Lembang ke Bumi Baru
  • Ngangkut konsumsi bareng-bareng
  • Candra nunggu di lift terus Gala masuk pas masa UAS

Gala lulus, Candra udah galaaauuuuuu banget. Udah baper maksimal tapi emang Gala baik sama semua orang tapi gak rela Gala lulus tapi seneng juga Gala lulus tepat waktu. Akhirnya pas lulus Candra beraniin ngasih bunga Happy Graduation tapi cepet-cepet ngacir soalnya dia gakenal sama temen-temennya yang lain.

Tapi abis rangkaian acara wisuda beres, Gala nyariin Candra nelpon ada di mana, masih di kampus ga, ada yang mau diomongin. Candra yang lagi makan malem di deket kampus langsung nyetir balik ke kampus dan tau-tau Gala confess. — ganti tokoh — Jaemin: Nagala Pramudya Gantari Renjun: Raka Candrakusuma

“Bala-balanya lima, Bu! Dibungkus.”

“Make cengek teu?”

“Boleh deh, Bu.” Raka merogoh sakunya dan memberikan selembar sepuluh ribuan kepada wanita paruh baya di depannya.

“Haturnuhun, nya.” Penjual bala-bala itu berseri-seri sambil memberikan kertas bekas berisi bala-bala kepada Raka. “Tong poho mampir deui!”

Laki-laki berusia 19 tahun itu hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kikuk. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kantin dengan terburu-buru. Tangan kanannya menggenggam erat bala-bala yang baru saja dibeli, sementara tangan kirinya menenteng kantung plastik berisi dua teh poci dingin. Peluh bercucuran dari keningnya meskipun cuaca tidak lagi seterik tadi siang. Mulutnya bergumam dengan suara yang tidak terdengar orang lain, “Tiga menit lagi, keburu... harus keburu!”

Raka rasa ia tidak pernah berjalan secepat ini sebelumnya. Ia baru bisa menghembuskan nafas lega begitu melihat gedung perpustakaan yang tinggal berjarak beberapa meter darinya. Namun, matanya sontak membulat begitu melihat sosok berkemeja kotak-kotak duduk santai di kursi taman depan perpustakaan. Setengah berlari, ia menghampiri orang itu.

“Bang Hara! Ma... maaf,” Raka meletakkan bala-bala dan teh poci permintaan Hara di meja batu taman, “Saya tadi beli ini dulu, jadinya agak lama.”

“Gapapa, emang gue yang datengnya kecepetan kok. Btw, thanks ya,” ucap Hara sambil mengambil bala-bala. “Gue belom sempet makan dari tadi siang gara-gara ngerjain tugas, beuh, emang dasar dosen si... eh, duduk-duduk. Gausah gugup.” Hara menepuk tempat kosong di sampingnya. “Jadi, lo Raka, adek NIM gue?”

“Iya, Bang.”

“Lo perkenalan diri dulu deh, sebelum kita ngobrol lebih jauh. Pake format biasa aja. Nama, asal daerah, hobi, makanan kesukaan, MBTI, hmm, naon deui, nya?”

“Kalau di format tugasnya itu aja sih Bang, sama keunikan diri.”

“Oh, ya udah, sok, gue sambil makan ya.” Hara menyomot satu bala-bala lagi tanpa sungkan.

“Anu, nama saya...”

“Pake lo-gue aja dong,” potong Hara, “atau aku-kamu, apa kek. Jangan kayak ngomong sama dosen.”

Raka menggaruk rambutnya malu. “Oke, Bang. Kenalin, nama gue Raka Chandrakusuma, biasa dipanggil Raka, dari jurusan—sama kayak abang—Teknik Industri, NIM-nya juga sama kayak abang. Asal daerah dari Bekasi, makanan kesukaan yang pedes-pedes, MBTI-nya INTJ, keunikan, hmm, apa ya? Gak suka kacang-kacangan termasuk ngga?”

“Boleh, deh.” Hara mengangguk puas. “Gue Hara, TI angkatan 24, asli Bandung.”

  • Ketemu
  • Haris fall in love at the first sight tapi ngira Jihan cewe

Pukul 15.00

Reksa sudah terduduk manis dengan pakaian terbaiknya di atas kasur. Untuk kesekian kalinya, ia melirik jam dinding.

Ah, masih pukul tiga sore.

“Dua jam lagi.” Gumamnya sambil menggosok-gosok kedua tangan dengan gelisah. “Berangkat sekarang aja, gitu?”

Sedetik kemudian, Reksa langsung menggeleng-geleng sendiri. “Ih, kayak apa aja. Berasa desperate banget aku…”

Pemuda itu berdiri dari kasur, sekali lagi menatap ke cermin kecil di atas lemari, menatap wajahnya yang merona. “Nanti gimana cara tanyanya… Ah?” Matanya menangkap kardus kecil yang tergeletak asal di ujung ruangan dari pantulan cermin.

Paket dari Jevan. Reksa ingat. Berbulan-bulan lalu, ia tidak jadi membukanya karena terlalu takut dan menaruh barang-barang pemberian pamannya itu ke dalam kardus.

Waktu itu, dia berniat akan membukanya kalau sudah siap dengan segala konsekuensi—siap menerima dan membaca apa pun yang merupakan isi dari paket itu.

Reksa membalikkan badannya, melangkah mendekati kotak itu. Sekarang, rasanya ia tak punya alasan untuk takut lagi. Kepalanya tak lagi dipenuhi dengan skripsi maupun tugas-tugas yang menguras hati dan tenaga, sementara itu hubungannya dengan Nares… ah, Reksa belum tahu. Tapi, firasatnya bilang, semua akan berjalan ke arah yang baik.

Semoga saja.

Reksa kembali melirik ke arah dinding jam. Sudah lewat sepuluh menit, artinya masih ada satu jam lima puluh menit lagi sebelum ia bisa berbincang dengan Nares.

Ia berjongkok di depan kardus itu dan membukanya, mengambil barang-barang yang ada di sana satu demi satu. Buku, dua amplop, dan boneka Moomin kesenangannya. Sepertinya, membuka ini tak akan memakan waktu terlalu lama, kan?

Reksa mau buka sekarang.

Satu jam lima puluh menit, lebih dari cukup.


Begitu Reksa membuka mata, ia mendapati dirinya sudah terbaring sendirian di sofa. Tak ada sosok Nares yang ia kira akan ada di sampingnya begitu ia bangun. Reksa tersenyum lirih. Apa yang ia harapkan?

Ia terduduk, mengumpulkan kesadarannya. Serpihan demi serpihan memori mulai memenuhi kepala. Reksa melihat keadaan di sekelilingnya, dan raut mukanya langsung berubah kala menyadari ruangan tempatnya berada kini sudah bersih seperti sedia kala. Kaleng beer yang kemarin ia buang asal di seluruh jengkal ruangan ini menghilang. Wajahnya semakin memucat kala menyadari ada selembar sticky note di meja.

Reksa, saya harus kembali ke rumah sakit karena ada panggilan darurat. Kali ini, saya janji, saya tidak akan kabur.

Dengan panik, Reksa berjalan ke kamarnya tertatih-tatih. Kepalanya masih pusing karena efek alkohol. Ia mendesahkan napas lega begitu melihat kamarnya masih dalam keadaan berantakan yang sama.

Untung saja.

Nares tak masuk.

Reksa mengingat kejadian semalam. Ia memegang dada kirinya, letak jantungnya berada. Sakit lagi.

Kemarin, keinginannya terwujud. Semuanya terasa sempurna. Kemarin, Reksa sudah egois. Tak mempedulikan orang lain, termasuk Jevan.

Reksa menunduk, membiarkan air matanya jatuh lagi membasahi lantai.

Waktunya untuk egois sudah habis. Kini, mari jalankan yang seharusnya ia lakukan.

Ia kembali menatap sticky note yang sudah remuk karena ia remas dengan kepalan tangannya.

“Maaf.”


Nares melirik arloji yang dipakainya. Sudah pukul empat sore lagi. Pria itu bergegas naik ke mobilnya dan pergi ke rumah Reksa… eh, tunggu. Mengingat sesuatu yang fatal, Nares membalikkan arah setirnya menuju apartemen miliknya.

Ya, betul! Dia belum mandi sejak kemarin sore!

Nares telah lama tak pernah merasa sejorok ini, terakhir kali dia tak mandi dalam sehari itu sudah beberapa tahun yang lalu, ketika ia masih menjadi dokter koas.

Kalau dia ke rumah Reksa dengan keadaan menjijikan seperti ini, bisa-bisa yang menyambutnya adalah gelakan Reksa yang menertawakan dirinya atau malah-malah, kalau anak itu sedang dalam situasi yang buruk, bisa-bisa dia diomeli panjang lebar.

Maka dari itu, opsi terbaik adalah membersihkan diri dulu sebelum mencari Reksa.

Omong-omong, hari ini Reksa belum mengiriminya pesan apa-apa lagi. Apa anak itu malu karena kejadian, ehem, kemarin?

Jujur, Nares pun gugup. Tapi, ia bahagia. Rasanya, semua beban yang menumpuk di pundaknya menghilang seiring dengan pilihannya untuk jujur.

Yah, tidak semua, sih. Mungkin sehabis ini Nares harus menghadapi banyak sekali masalah baru. Misal, cara menghadapi keluarganya…

Baru dipikir saja sudah cape sekali.

Tapi tak apa, asal ada Reksa bersamanya, Nares tahu ia sanggup.


Aneh. Itulah yang dipikirkan Nares kala ia sampai di depan rumah Reksa. Pria itu membuka pagar dan pintu rumah dengan kunci serep yang diambilnya kemarin malam dari laci depan. Tapi, tak ada tanda-tanda keberadaan Reksa di sana. Pria itu melirik arlojinya lagi.

Sudah pukul enam sore, kok. Tak seharusnya Reksa masih bekerja di café.

Apa lampunya mati karena Reksa tertidur?

Masih dengan seribu pertanyaan di benaknya, Nares melangkah masuk ke dalam.

“Reksa?” Panggilnya.

Tentu, tak ada jawaban yang diharapkan. Pria itu mulai melangkah, menjelajahi rumah langkah demi langkah. Nihil. Tak ada siapa-siapa. Ia lalu menatap pintu kamar Reksa dengan sangsi.

Apa boleh dia masuk ke sana?

Tok… Tok…

“Reksa, kamu ada di dalam?” Panggilnya agak keras dari luar kamar.

Masih tak mendapat sahutan, pelan-pelan Nares menggenggam ganggang pintu dan membukanya.

Tak ada orang.

Apa Reksa sedang bermain bersama teman-temannya sampai lupa waktu?

Sebenarnya tak apa, hanya saja Nares khawatir kalau-kalau Reksa-nya lupa makan malam.

Nares membuka ruang obrolannya dengan Chandra, mencoba memastikan keadaan Reksa.

Mas Nares, ingat gak? Beberapa waktu lalu, ketika aku demam, Mas janji akan nurut sama semua permintaan aku asalkan aku minum obat.

Aku udah minum obatnya, pun udah sembut dan sehat. Maka, aku harap Mas jangan ingkar janji.

Dan permintaannya adalah… eits, tenang, gampang, kok!

Aku cuma minta Mas jangan pernah cari aku. Jangan cari tahu aku ada di mana, jangan datangi aku.

Aduh, kesannya kayak aku yakin bakal dicariin aja, ahaha. Pede banget.

Tapi pede pun gak apa-apa, soalnya sekarang aku tahu Mas Nares juga cinta sama aku.

Mas Nares mungkin kesel dan bingung. Giliran ditolak, nempel terus kayak lintah. Giliran Mas Nares mengaku suka, aku malah pergi.

Maaf, ya? Aku dulu sering ngeluh kalau Mas Nares jahat. Nyatanya, aku juga sama aja. I left you.

Mas Nares lihat amplop tebal di atas meja, nggak? Persis di sebelah surat ini. Coba buka!

Hehe, kaget nggak? itu hasil dari kerja part time-ku selama ini dan sisanya dari Om Jevan. Aku udah hitung jumlahnya baik-baik, dan itu semua untuk balikkin uang yang pernah Mas Nares kasih ke aku selama setahun ini. Ya, walaupun Mas Nares ngotot jangan dibalikkin, tapi… rasanya gak bisa. Anyway, sekarang, hutangku udah lunas, ya? Berarti Mas Nares udah gak ada alasan lagi buat cari aku /masih dengan kepedean 100%/.

Ah, iya, yang terpentingnya aku malah lupa. Mas Nares coba lihat lagi, di bawah amplop uang ada buku kecil. Familiar, gak? Mungkin Mas Nares pernah lihat itu dulu di rumah Om Jevan, atau… well, gak tau deh.

You can open it.

Aku rasa buku itu sudah cukup menjelaskan kenapa aku… pergi, dan aku harap Mas bisa mengerti.

Aku tahu Mas Nares juga akan melakukan hal yang sama.

Aku gak tahu apa keputusan aku yang pergi ini bisa membuatku disebut sebagai pengecut, atau disebut lari dari masalah. Tapi… aku rasa, untuk sekarang, ini satu-satunya jalan keluar yang bisa aku pikirkan.

Aku jatuh cinta sama Mas. Karena perasaan itu, banyak hal terjadi, dan yang mendominasinya rasa sakit, salah paham, dan emosi negatif lainnya.

Lalu ternyata, turns out kalau semuanya memang sudah jadi kesalahan sejak awal. Mas Nares benar. Gak seharusnya aku melewati batas, gak seharusnya aku mempersulit keadaan.

Di sisi lain, perasaan ini terus tumbuh lebih dalam dan dalam setiap harinya, dan aku gak bisa kontrol, aku gak tahu cara menghentikannya.

…Aku gak tahu harus apa lagi selain pergi.

Aku takut. Kalau aku tetap di sini, aku gak bisa menahan diri sendiri, dan ujung-ujungnya balik lagi cari Mas Nares.

Aku gak mau sakiti Om Jevan…

Mungkin…

We’re just… not meant for each other, I guess.

I think this is the only decision I can choose at the moment. Maybe someday, when I’m ready… no, when both of us ready, we can sit together again on the same table.

But not now.

Hopefully, we can meet again. Soon.

Nares berjalan mondar-mandir di depan pagar rumah milik Reksa dengan panik. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, sudah lebih dari tiga puluh menit ia berdiri di tempatnya, pun sudah belasan panggilan yang ia lakukan pada nomor anak itu. Bahkan, beberapa remaja yang menongkrong di pos ronda ujung perumahan mulai menatapnya penuh selidik.

Nares mengusap wajahnya yang basah karena peluh dengan frustasi. Sekali lagi, ia menekan tombol dengan tulisan call di samping nomor Reksa.

Satu detik… dua, tiga…

Pria berkemeja itu menajamkan telinganya. Dari sini, ia bisa mendengar ringtone khas handphone Reksa dari dalam rumah. Tak salah lagi, orang yang dicarinya berada di dalam sana. Nares menghela napasnya kesal sekaligus khawatir.

Kenapa masih tidak diangkat???

Ia menekan tombol itu sekali lagi.

Satu detik, dua, tiga, empat, lima, enam…

Diterima.

Deg.

Nares langsung menempelkan handphone itu pada telinga kirinya. “Reksa? Kamu bisa dengar saya?”

“…”

“Saya ada di depan rumahmu. Ayo bertemu. Katanya kamu mau bicara.”

“…”

Nares mengerutkan dahinya bingung karena tak kunjung mendapatkan jawaban. “… Reksa?” Panggilnya hati-hati.

Tak lama kemudian, suara tangisanlah yang menjawabnya. Hanya isakan kecil, tapi cukup untuk membuat Nares merasa pilu.

“Reksa? Kamu di sana?” Napasnya tercekat kala mendengar suara isakan dari ujung telepon mulai mengeras. “Kamu kenapa?” Tanyanya semakin cemas. “Kamu sakit?”

“S-sakit…”

Satu kata itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Nares kalang kabut. “Sakit di mana? Reksa, jangan putus teleponnya. Kamu bisa berjalan? Bisa buka pintu?”

Lea-leave me… alone.

“Bagaimana bisa?” Ia mengeratkan kepalan tangannya pada besi pagar. “Reksa, tolong, sekali ini saja dengarkan saya. Jangan keras kepala.” Nares memejamkan matanya lelah. “Buka pintunya. Saya mohon.”

Tak ada jawaban.

Nares berdiri pasrah di depan pagar. Entah berapa lama ia menunggu hingga akhirnya mendengar suara pintu yang dibuka. Sontak, pria itu melepas pegangannya pada pagar dan menegakkan tubuhnya. Dilihatnya laki-laki pujaannya itu mendekat dengan setelan rapi seperti hendak keluar. Indah.

Nares menaikkan pandangannya, matanya bersitatap dengan binar Reksa. Kedua netra anak itu sembab, bibirnya ia gigit agar tak ada isakan yang lolos dari sana. Sedetik kemudian, Reksa memutus tatapan mereka dan menunduk sedalam-dalamnya, menghindari pandangan Nares. Ia mendekat, bersusah payah membuka gembok pagar dengan tangannya yang bergetar.

Nares terdiam. Hatinya tercabik-cabik melihat pria di depannya hancur.

Siapa yang membuat Reksa-nya seperti ini?

Klek. Gembok berhasil dibuka.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Nares langsung membuka pagar itu dan masuk ke dalam, menghilangkan jarak antara mereka berdua. Alisnya sedikit tertekuk begitu mengendus bau alkohol dari tubuh Reksa, namun Nares langsung menghapus segala asumsi dalam otaknya. Ia menggenggam tangan Reksa khawatir. “Reksa, ada apa? Yang mana yang sakit? Bagian mana?”

Reksa mengangkat kepalanya dan menatap Nares dengan air mata yang tak berhenti mengalir di wajahnya. “Semua. Semuanya sakit, sakit lagi.” Adunya sambil menepuk dada kirinya. “Di sini, sakit, jauh lebih sakit.” Isakannya mengeras, menggema di malam yang sunyi itu. Tapi Reksa tak peduli. “Lebih perih dari yang dulu! Mas, tolong!” Ia kalut.

Nares terperangah. Ia mengangkat tubuh ringan itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Reksa menangis keras, mencengkeram kemeja Nares, menenggelamkan wajahnya di sela-sela leher pria itu, berhasil membuat kemeja putih yang dikenakan Nares basah dan kusut.

“Hei, hei…” Nares mendudukkan tubuhnya di sofa dengan Reksa di atas pangkuannya. “Reksa, tenang… Lihat saya.” Perintahnya. Pria itu menangkup wajah Reksa, menengadahkan kepalanya. “Semuanya akan baik-baik saja. Kamu ada saya. Jangan takut.”

Ah, begitu kata-kata itu keluar dari bibirnya, Nares merasa déjà vu. Hari itu, di hari kematian Jevan, ia juga mengatakan hal yang serupa pada orang di depannya.

Bedanya, kali ini Reksa menggeleng histeris, berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Nares. “Gak, gak bisa… Gak bisa…” Ia menangis lagi, menyayat jantung Nares selapis demi selapis. “Gak bisa… gak akan baik-baik aja… hiks…”

“Ada apa?” Tanya Nares tak tahan. Ia tak tahu hal apa yang terjadi pada orang di pangkuannya, ia tak paham dengan apa yang terjadi hingga membuat Reksa-nya hancur lebur.

Namun lagi-lagi, yang menjawab hanyalah gelengan kepala dan isakan yang semakin kencang. Nares akhirnya memutuskan untuk kembali membawa Reksa ke dalam pelukannya, membiarkan laki-laki itu menangis bebas di pundaknya.

Matanya menelusuri ruangan itu.

Berantakan sekali. Nares baru sadar, meja di depannya penuh dengan kaleng beer. Perhatiannya terpacu pada Reksa dan hanya Reksa sehingga ia tidak menyadari apa-apa sampai detik ini. Ia menggigit bibirnya tak mengerti sembari melirik orang di dalam pelukannya.

Sebenarnya ada apa? Apa masalah percintaan? Apa Lucas menyakiti kesayangannya ini?

Nares mempererat dekapannya pada Reksa yang tak kunjung berhenti menangis. Pria itu menemani Reksa dalam diam, hingga akhirnya isakan itu perlahan menghilang.

“Reksa?” Bisiknya. Nares perlahan melonggarkan pelukannya. Rupanya, anak itu tertidur, entah karena pengaruh alkohol yang mulai bekerja atau karena energinya yang terkuras sehabis menangis. Sementara satu tangan menopang tubuh Reksa agar tetap tidak terjatuh dari pangkuannya, satu tangan yang lain ia lepaskan untuk mengusap wajah Reksa. Jari-jari Nares menelusuri paras manis itu, menghapus jejak-jejak air mata dari pipi yang memerah. Setelahnya, ia kembali mendekap Reksa erat-erat. Tubuhnya ia senderkan pada sofa, matanya terpejam.

Semesta, tolong biarkan dua insan ini beristirahat. Sebentar saja. Sebentar saja sudah cukup.


Nares terbangun kala merasakan pergerakan di atas tubuhnya. Ia sontak membuka mata, dan maniknya langsung bertubrukan dengan milik Reksa yang masih sembab. Reksa tampak kaget dengan mulut terbuka sebelum pria itu kembali diam. Tanpa ia sadari, lagi-lagi air matanya terjatuh membasahi pipi, membuat hati Nares kembali terkena imbasnya.

Pria itu kembali mengusap air mata yang menghiasi paras orang di pangkuannya. “Kenapa menangis lagi? Apa masih sakit?” Tanyanya dengan suara serak akibat baru bangun. Reksa mengangguk. “Sakit. Sakit banget.”

“Apa Lucas?” Tanya Nares hati-hati, tak ingin menyinggung laki-laki di depannya. Reksa mengerutkan keningnya sembari menggeleng, “K-kenapa menyinggung Kak Lucas?”

Nares sontak tergagap. “Eh… Tidak, bukan… saya kira masalah percintaan… kalian pacaran… jadi… ah, maaf…” Ia menggigit bibirnya. “Kalau begitu, siapa? Siapa yang buat Reksa sedih?”

Reksa menatap ke dalam mata Nares dalam hingga yang ditatapnya itu tersentak. “A-apa?”

Apa saya? Nares bertanya dalam hati, tapi tak berani menyuarakannya.

Seperti yang dilakukan Nares padanya tadi, Reksa mengusap wajah Nares. Ia mengelus pipi hingga bibir itu, membuat orang yang diusapnya membelalakan mata karena bingung.

Reksa menggigit bibirnya. “Mas, benar-benar, sekali pun… gak pernah jatuh cinta sama aku?”

Genggaman Nares pada pinggang dan wajah Reksa langsung terlepas karena terperanjat. “Reksa, apa kamu mabuk karena alkohol?”

Masih dengan air mata yang mengalir, Reksa terkekeh. “Alihin pembicaraan lagi.”

“…”

“Cium aku.”

Nares meneguk air liurnya. “…Apa? Nggak bisa, Reksa.”

“Kenapa?”

“Kamu… punya pacar.”

“… Aku gak punya. Kak Lucas bukan pacarku.” Bantah Reksa, sedikit kesal. Mendengar fakta itu, Nares kembali terkejut.

Tak peduli dengan kekagetan orang di depannya, Reksa kembali menyuarakan keinginannya. “Mau cium.”

“… Tetap gak bisa. Kamu tadi minum alkohol. Sekarang, kamu gak sadar dan besok kamu pasti akan menyesal.” Tutur Nares.

Ia bingung. Mengapa Reksa tiba-tiba jadi seperti ini?

Di tengah tangisannya, kini Reksa malah tertawa. “Tahu darimana? Mas, stop buat asumsi sendiri.”

Nares mengacak rambutnya frustasi. “Reksa, apa yang salah sama kamu? Kita sudah pernah bicara… tentang ini, bukan?”

“Yang itu gak lagi berlaku.”

“Maksudnya?”

“Gak berlaku lagi, karena yang kamu bilang ke aku semuanya bohong.”

Nares tersentak. “A-apa?”

Ini pertama kalinya Reksa memanggilnya tanpa formalitas.

Tanpa embel-embel Mas.

Di sini, saat ini, hanya ada dua insan yang saling berbicara dari hati ke hati, tanpa mempedulikan status, tanpa memerhatikan gender.

Bukan lagi Mas Nares dan Reksa keponakan Jevan.

Hanya Nareswara dengan Antareksa. Reksa menatap bibir Nares, ia semakin merapatkan tubuh mereka berdua yang tadinya sudah tak berjarak.

Nares tentunya sadar dengan apa yang akan Reksa lakukan.

“ANTAREKSA!” Bentaknya, hingga orang di pangkuannya tersentak kaget. Nares menangkup kedua pipi orang di depannya, “Sebenarnya, ada apa? Kamu kenapa?”

“… Aku cape. Kamu bohong terus.” Reksa menunduk, membiarkan air matanya jatuh membasahi tangan Nares. “Karena kamu bohong, aku sakit. Karena kamu bohong, aku seperti orang bodoh berbulan-bulan dan baru tahu sekarang. Seharusnya semua permasalahan beres. Tapi, belum ada dua jam sejak aku senang… hancur. Ternyata sama saja. Gak bisa. Gak akan bisa. Ternyata, dari awal semuanya udah salah.” Reksa menahan isakannya, “Tapi untuk hari ini… untuk detik ini, aku ingin egois.”

“Apa maksud kamu?” Nares benar-benar merasa bodoh. “Saya gak ngerti apa yang kamu bicarakan.” Nares dapat merasakan tubuhnya menegang seiring dengan wajah Reksa yang semakin mendekat.

“Aku cuma mau egois sekarang. Tolong jangan ada kebohongan lagi.” Reksa mulai terisak lagi. Dengan panik, Nares menghapus air mata yang mengalir di pipi Reksa. Mengambil kesempatan, Reksa dengan sigap menangkap lengan milik Nares, “Tolong jawab aku jujur. Kamu suka, kan, sama aku?”

“… Saya pergi. Kita bicara beso—” Nares mendorong Reksa resah.

“Pengecut. Aku benci kamu.”

“…Apa?” Nares terpaku. Ia menatap pria itu tak percaya. “Kamu bilang apa?”

“Kamu pengecut. Pecundang. Aku benci kamu. Antareksa benci Arsa Nareswa—Umh…”

Tak membiarkan Reksa berkata lebih lanjut, Nares menyatukan bibirnya pada milik Reksa. Ia melumat bibir Reksa lembut. “Jangan bilang itu. Jangan, jangan benci saya lagi.” Tegasnya di tengah perpagutan mereka.

Nares menyerah. Pernah ia berpikir, tak apa jika ia jadi pengecut. Tak apa ia dibenci, asal Reksa aman dan bahagia. Nyatanya, sekarang Nares malah menjilat ludahnya sendiri. Ia tak mampu. Nares tak sanggup mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Reksa, dan ia rela melakukan apa saja agar jantungnya berhenti berdenyut nyeri.

Maka, ia turuti keinginan Reksa.

Neuron-neuron pada otaknya berteriak padanya agar ia segera berhenti, tapi kali ini, Nares enggan jadi penurut. Ia patuhi instingnya, ikuti kata hatinya.

Nares mengaku kalah telak.

You love me, don’t you?” Reksa masih tak menyerah. Di tengah cumbuan mereka, ia kembali bertanya.

Nares tidak langsung menjawab, ia menggigit bibir bawah Reksa pelan, membuat laki-laki itu mengerang. Hingga akhirnya, Reksa mendengar bisikan itu.

Kata-kata yang ia nantikan.

“Iya. Saya cinta kamu.”

Reksa menangis, dan Nares pun dapat merasakan air matanya mendesak keluar. Ia memejamkan matanya erat sambil tetap memagut orang di depannya.

“Lagi.”

“Apa?”

“B-bilang lagi.”

“Saya cinta kamu, Reksa.”

Norma, aturan, ajaran keluarga, Nares ingkari semuanya. Biar ia jadi orang durhaka, biar dia jadi manusia hina. Tak apa, dosanya ia tanggung sendiri.

Melawan dunia?

Nares akan mencoba untuk berani.

Untuk dirinya, demi Reksa-nya.

Di lobby rumah sakit.

“Nares, residen cewek yang tadi kayaknya naksir sama lo.”

Nares melirik perempuan yang tengah berbicara kepadanya. “Ya sudah, urusannya apa sama saya?”

“Ya… ngasih tau aja, siapa tahu lo nya gak peka. Tapi peka juga percuma sih, ckck. Kasihan dia, gak tahu kalau lo sukanya sama cowok.” Fanya tertawa sembari menepuk bahu Nares. “Tapi, Res, asli deh, kata gue lo menyerah aja. Masa udah lima tahun belum move on? Cupu banget!”

“Daripada waktu kamu habis buat ngejek saya, mending kamu cepat-cepat pulang dan urus anak kamu yang masih TK.”

“Ah, anjir, gak seru!” Gerutu Fanya. “Niat gue kan baik. Lo gak cape apa, tiap pertemuan keluarga atau kolega disindir terus? Udah dikenalin ke ratusan cewek, satu aja gak ada yang nyantol.”

Nares mengedikkan bahunya. “Saya gak peduli. Terserah mereka mau bilang apa. Tapi ini hidup saya, mereka gak bisa atur kapan saya menikah.”

Wow, you change a lot.

“Kamu bukan orang pertama yang bilang begitu.”

Fanya melunturkan senyumnya. Perempuan dengan jas khas dokter itu menepuk bahu rekan kerjanya. “I hope the best for you. Semoga lo bahagia, entah dengan “dia”, atau orang lain.”

Nares mengangguk. “Soon.

“Gue balik dulu, ya. Ini bocah gue udah rewel.” Ucap Fanya sambil menunjukkan foto anak sulungnya. “Lo juga jangan pulang kemaleman!”

“Iyaaa!”

Begitu sosok Fanya lenyap dari pandangannya, handphone Nares berdering. Tak perlu waktu lama, Nares menjawab panggilan itu.

”Res, gue ke rumah lo, ya!”

“Kali ini apa lagi?” Tanya Nares sambil membereskan barang-barangnya untuk bersiap pulang.

*”Ck, biasa. Masalah adopsi anak. Gue gak ngerti kenapa Chandra tiba-tiba dapet begini. Lo kalau jadi gue juga pasti bingung. Udah biasa hidup berdua dan baik-baik aja kena—”

“Stop.” Potong Nares. “Saya masih di rumah sakit, curhatnya nanti aja. Kalau kamu bicara di telepon semuanya yang ada saya harus dengerin dan gak bisa pulang sampai nanti subuh.”

”Ah, ya udah! Buru! Gue juga on the way sekarang!”

“Sampai jumpa.” Nares mematikan panggilan. Pria itu berjalan menuju mobilnya yang terpakir rapi di halaman rumah sakit dan masuk ke dalamnya. Begitu duduk, seperti biasa dokter spesialis anak itu menatap pigura kecil yang terpajang rapi di atas dashboard mobil sebelum menjalankan kendaraannya itu.

“Cantik.” Gumamnya tanpa sadar. “Reksa, apa kabar?”

Halo, Reksa… apa kabar?

Om harap kamu baik-baik saja dan selalu bahagia. Reksa, sebelum baca ini, kalau kamu ada waktu, boleh baca buku yang ada di paket ini juga? Meskipun ada beberapa hal yang menurut Om tak perlu kamu ketahui, tapi ada hal lain yang Om rasa kamu berhak, dan harus tahu.

Pertama, kamu harus tahu kalau Om sayang sama kamu. Pertemuan pertama kita memang tidak diawali dengan hal yang baik, tapi, seperti yang Om tulis di dalam sana, kamu menjadi alasan terakhir buat Om untuk mencoba bertahan.

Iya, mencoba, meski akhirnya Om tetap gagal.

Kedua, Om harap kamu tahu kalau Om gak pernah berniat meninggalkan kamu sekali pun. Om gak mau membiarkan kamu sendirian. Maka, Om mengirimkan seorang malaikat buat kamu. Om harap, kamu gak keberatan, ya?

Gimana? Apa kalian sudah bertemu? Apa Om Nares baik sama kamu?

Om rasa iya. Dia orang yang baik dengan empati tinggi. Dia juga selalu antusias saat Om cerita tentang kamu. Om tebak, pasti kalian sekarang sudah jadi teman dekat. Bersepeda bersama, makan bubur bersama…

Ah, Om Jevan jadi iri.

Ketiga, Reksa, jujur, Om takut sekali. Om takut kalau suatu hari nanti kamu harus bertemu dengan keluarga kita, tanpa adanya Om yang bisa lindungi kamu. Om takut mereka mengatakan hal yang menyakitkan tentang mamamu dan kamu. Satu hal yang pasti, kalau hal itu terjadi, tolong ingat baik-baik, Antareksa. Semua hal negatif yang mereka bilang itu salah. Semuanya salah besar.

Ah, sekarang saja Om sudah bisa membayangkan apa yang akan mereka katakan padamu.

Reksa, kamu itu berharga. Kamu disayang banyak orang. Kak Thalia, Om Jevan, teman-temanmu, dan di kemudian hari, Om yakin kamu akan mengenal lebih banyak orang, dan orang-orang itu pun akan sayang sama Reksa.

Keempat, apa kamu sudah lihat amplop lain yang agak tebal? Iya, di dalamnya ada asuransi, informasi bank, dan… ah, pokoknya kamu bisa lihat sendiri. Itu semua milik kamu. Tolong selalu ingat untuk makan dengan benar, beli baju bagus, bermain bersama teman-teman, nikmati masa kuliahmu. Gak perlu terburu-buru mencari kerja. Kalau kamu bingung harus melakukan apa dengan dokumen-dokumen itu, tanyakan saja pada Nares. Dia akan mengurus semuanya.

Kelima… Reksa, saya tak tahu sudah berapa kali bilang ini, tapi Om harap kamu jangan benci sama Om.

Ah, tapi, kalau pun benci juga tak apa. Om mengerti, itu manusiawi. Om pun takut dan malu dengan diri sendiri. Yang terpenting, Reksa harus sehat-sehat selalu dan jalani hidup dengan baik, ya? Om tahu Reksa orang yang kuat, lebih kuat dari Om, dan dari siapa pun.

Terakhir, kalau kamu berkenan, boleh sampaikan salam Om pada Nares? Om Jevan pengecut hingga akhir. Meski begitu, ada rasa tak tahu diri yang berharap perasaan ini bisa tersampaikan. Rasanya tak akan apa-apa jika dia tahu. Tak apa-apa jika dia merasa jijik, toh Om tak akan rasakan sakitnya lagi.

Tapi kalau kamu malu, Om juga mengerti, kok! Kalau kamu enggan mengatakannya, kamu bisa serahkan diary-nya pada dia, biarkan dia mencerna sendiri kalau dia mau.

Both of you are so precious to me.

Om tahu kalian bertanya-tanya mengapa Om memilih pergi, dan kalian berdua berhak tahu. Maka dengan tidak tahu malunya Om meminta kalian baca buku itu, karena Om sendiri tak sanggup menceritakannya di sini.

Ah, menulis ini saja Om sudah merasa malu. Kata-kata Kak Hendra terngiang-ngiang di kepala, haha.

Reksa, if there’s reincarnation, I hope we can meet again. As friends, as family.

I love you, I really do.

“M-maaf, ini... Kak Fanya, kan?” Tanya Reksa ragu.

Perempuan bergaun merah itu mendongakkan kepalanya dari buku menu. Reksa spontan meneguk liurnya begitu melihat wajah manis yang familiar. Sang pembeli sedikit mengerutkan keningnya, tapi itu malah membuatnya terlihat lebih anggun dan berwibawa. “Iya. Ini... siapa, ya?”

Reksa meremat jari-jarinya karena gugup. “Aku... Reksa. Kita pernah bertemu di apartemennya Mas Nares. Eh, benar, bukan? Kakak pernah mampir ke rumah Mas Nares dulu.”

Mendengar itu, Fanya menarik ujung bibirnya tanpa sadar. “Oh? Keponakannya Nares, ya? Ingat, dong. Kamu satu-satunya cowok yang menolak berjabat tangan sama aku.”

“Eh?” Kedua pipi Reksa sontak bersemu merah mendengarnya. “Maaf, waktu itu a-aku gak sopan.”

Fanya mengalihkan pandangannya dari Reksa kepada laki-laki yang datang bersamanya. “Sayang, bisa nggak kamu tunggu di mobil dulu? Aku ada perlu sama orang ini.”

Begitu laki-laki itu menghilang dari pandangan mereka berdua, Fanya kembali memusatkan perhatiannya pada Reksa. “Duduk sini.”

Reksa menggeleng. “Aku masih kerja, Kak.”

“Gak bisa ngobrol sebentar doang?” Perempuan berambut panjang itu memajukan bibirnya, membuat muka Reksa semakin memerah.

Cantik banget, batinnya.

“S-sebentar, Kak.” Reksa berlari kecil ke arah Juan, meminta persetujuan untuk beristirahat karena Lucas sedang tidak ada di sana. Begitu mendapat anggukan dari Juan, Reksa kembali berlari dan mengambil tempat duduk di depan Fanya.

“Kamu kelihatannya gak suka sama aku, kenapa hari ini tiba-tiba nyapa duluan? Kirain, kalau pun kita ketemu kamu bakal pura-pura gak lihat.”

Reksa menggaruk tengkuknya karena malu. “Enggak kok, Kak.”

Bohong.

Sejak pertama kali melihat perempuan di depannya, ia sudah tidak suka. Saking tidak sukanya, Reksa ingin membuang sayur yang dibelikan Fanya untuk Nares ke tong sampah depan apartemen.

Tapi, itu kan dulu.

Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa kalau bukan karena Nares, Reksa pasti akan kabur ke belakang cafe untuk menghindari perempuan itu.

Bukan apa-apa, ia merasa canggung. Tak enak karena pernah berlaku tak sopan pada Fanya, tak nyaman karena perempuan di depannya ini sudah berganti status dari orang asing menjadi pacar Nares.

Fanya hanya tersenyum mendengarnya. “Kamu kayaknya pengen bicara sesuatu sama aku, ada apa?”

Reksa menggigit bibir bawahnya. “Anu, Kak, maaf, tapi yang tadi datang sama Kakak itu... teman Kakak, ya?”

Perempuan yang ditanyainya itu menggeleng. “Pacar.”

“E-eh?” Kedua mata Reksa membelalak karena kaget. “Kak Fanya udah putus sama Mas Nares?”

Sekarang, giliran Fanya yang bingung. “Hah? Apa?”

“Kak Fanya bukannya pacaran sama Mas Nares sejak... beberapa bulan yang lalu?”

“Siapa yang bilang begitu?”

“Mas Na-eh, bukan.” Reksa menggeleng. Nares memang pernah hampir memberitahunya, tapi pria itu berhenti sebelum kata-kata itu keluar dari bibirnya. Mungkin karena takut membuatnya sedih. “Aku pernah liat Kak Fanya dan Mas Nares kencan berdua, di cafe seberang.” Ujarnya. “Eh, tapi, gak sengaja, Kak.” Tambahnya, takut dikira penguntit.

Fanya tergelak. “Ah, itu.” Ia menyelidik pemuda di depannya. “Omong-omong, kamu kerja part time di sini?”

Reksa mengangguk.

“Buat apa? Keluarga kalian kan gak kekurangan.”

“Eh?” Reksa hening sejenak sebelum mengerti yang dimaksud oleh Fanya. “Ah, itu, aku bukan keluarganya Mas Nares.”

“Lah, terakhir kali aku ke rumahnya Nares, dia bilang kamu keponakannya.”

“Sebenarnya,” Reksa menjilat bibirnya karena gugup, “Aku keponakan temannya Mas Nares, dan beberapa saat lalu dititipin di rumahnya Mas Nares.”

“Oh...?” Fanya melebarkan senyumnya. Tubuhnya ia bungkukkan ke depan untuk mendekati Reksa. “Wah, jangan-jangan, kamu ya, orangnya?”

“A-apa?”

“Orang yang disukai Nares.”

Blank.

Kali ini, Reksa benar-benar nge-blank. “Hah?”

“Penasaran nggak, apa yang Mas Nares-mu itu bilang ke aku di cafe seberang?” Fanya tersenyum jahil sambil menunjuk cafe yang ia maksud lewat kaca jendela yang tembus pandang.

Reksa tidak menjawab karena bingung, tapi Fanya melanjutkan kata-katanya tanpa disuruh. “Dia nolak perjodohannya sama aku. Karena suka sama laki-laki.”

Reksa rasa, saat itu juga tubuhnya langsung kaku.

Perjodohan?

Suka laki-laki?

Bentar, dia tidak salah dengar, bukan?

Apa ini?

Informasi baru tersebut terngiang-ngiang di benaknya. Banyak yang ingin Reksa tanyakan pada orang di hadapannya, tapi tak ada yang bisa keluar dari mulutnya.

Tak peduli dengan reaksi Reksa yang jelas-jelas syok, Fanya melanjutkan. “Iya. Katanya dia udah ada perasaan sama orang lain, makanya gak mau dijodohin. Aneh, kan? Tadinya aku gak terima, cuma dia bilang orang yang dia suka saat itu laki-laki. Makanya aku langsung iyain aja. Ngapain juga nyangkut sama orang yang jelas-jelas preferensinya bukan cewek kayak aku, itu mah sampai kapan pun gak akan kegapai.” Omelnya di depan Reksa yang masih terdiam. “Sebalnya, aku tunggu-tunggu sampai sekarang, masih belum ada kabar tentang dia atau cowok yang dia suka. Aku kira sepulang dari cafe waktu itu dia bakal langsung ngacir cari cowoknya, ngajak pacaran, kek, atau minimal confess. Kalau enggak, pengorbanan aku sia-sia, dong! Padahal aku pengen lihat dramanya mereka. Pasti seru, liat circle orang tua kami meledak gara-gara hal ini.”

Reksa hanya bisa menatap kosong wajah cantik yang masih asik bercerita padanya. Otaknya seolah memberikan sinyal merah karena kelabakan dalam mencerna semua hal ini.

“Bukan kamu orangnya?” Fanya mengernyitkan dahi. “Kayaknya kamu gak tau apa-apa, berarti bukan, ya? Aneh, gak kepikir lagi selera Nares kayak gimana. Waktu di rumahnya aku lihat dia lembut banget sama kamu, kirain kamu.”

“A-ah?” Reksa menggeleng. “Bu-bukan.”

Fanya menopang wajah manisnya dengan dagu. “Hmm, kalau begitu, menurut kamu siapa?” Tanyanya penasaran. Ia menikmati sekali raut muka Reksa yang berubah setiap detik. Kaget, panik, gelisah, bingung.

Reksa menggeleng tanpa suara.

Dia tidak tahu.

“Padahal di rumah sakit juga dia gak deket sama siapa-siapa.” Fanya menambah. “Kamu penasaran nggak, Sa, sama orangnya?”

Reksa ingin menjawab, tapi ia rasa lidahnya kaku.

“Aku jujur penasaran banget, pengen tahu seleranya Nares kayak gimana.”

“Kak, Kakak bicara ini ke aku, gak apa-apa?” Tanya Reksa akhirnya. Di balik semua kekagetannya, ia tak nyaman dengan bagaimana Fanya membeberkan rahasia Nares padanya. “Ini privasi Mas Nares...”

“Loh, tadinya kan aku kira kamu juga tau. Makanya ngajak ngobrol.” Fanya memasang raut tak bersalah pada mukanya. “Kalau pun nggak tahu, gak apa-apa, kan, aku kasih tau? Kamu gak akan bocorin ke siapa-siapa juga, kan? Lagian Nares percaya lah, sama kamu. Kalian kan dekat. Buat apa dia nutup-nutupin hal kayak gini sama kamu.” Fanya tertawa. “Yah, kecuali kalau kamu ternyata orang yang dia suka itu.”

...

“Bercanda, hehe. Mana mungkin, kan?” Lanjut Fanya. Ia menahan tawa kala melihat ekspresi orang yang digodanya itu. “Udah sih, aku cuma mau bilang itu aja. Intinya aku sama dia nggak pacaran. Waktu itu juga bukannya kencan. Dia ngajak keluar buat minta aku batalin perjodohan kami.” Perempuan berambut panjang itu menepuk pundak Reksa, “Jangan salah paham.” Tambahnya sebelum kembali tertawa. “Eh, by the way, aku mau pesan latte aja, ya. Udah gih, gak ganggu kamu kerja lebih lama lagi.”

“I-iya...” Reksa memaksakan dirinya untuk berdiri dan menyeret kakinya ke arah Juan. “K-kak Juan, maaf... aku boleh izin istirahat dulu di belakang?”

“Eh, kenapa?” Juan bingung. “Kamu kenapa kelihatannya lemas banget? Mukamu pucat, Sa.”

Reksa menggeleng.

Juan menatapnya dengan khawatir. “Kalau enggak enak badan, kamu pulang duluan aja, deh. Lagian cafe juga gak lagi rame, tinggal nunggu setengah jam terus tutup. Aku sendiri bisa, kok.”

“T-tapi...”

“Biar aku yang bilang ke Lucas. Udah sana.” Juan berinisiatif melepas celemek yang terlilit di tubuh Reksa.

“Pelanggan yang tadi pesan latte... Aku mau buat du-”

“Sama aku aja.” Potong Juan. “Sana ganti baju, pulang, istirahat.”

”... Makasih, Kak.”

Masih dengan linglung, Reksa berjalan ke ruang khusus para pelayan. Pemuda itu membuka lokernya dan mencari-cari handphone miliknya dengan panik.

Dia masih bingung. Begitu banyak adegan berputar di kepalanya. Begitu banyak kejadian yang dahulu tak ia mengerti, tapi dengan semua perkataan Fanya barusan, rasanya dia mulai paham.

Tentang tatapan Nares padanya yang tak pernah ia pahami sejak dulu.

Tentang semua perlakuan Nares yang selalu kontras dengan penolakan yang diucapkan pria itu.

Tentang Nares yang bersikeras datang ke rumahnya sore itu.

Tentang hal yang ingin Nares katakan padanya.

Jujur saja, Reksa tak mau berharap. Ia lelah. Bagaimana jika ternyata ini semua hanya bayang-bayangnya saja? Semua skenario yang ada di otaknya hanya cocoklogi yang ia ciptakan karena menginginkan Nares.

Kalau pun Fanya benar, bagaimana jika ternyata Nares menyukai orang lain? Orang yang lebih pantas, lebih dewasa, lebih segalanya dari dirinya.

Disuruh optimis? Reksa sudah tak mampu.

Tapi tak dapat dipungkiri, saat ini jantungnya berdetak begitu kencang, tak mau diajak berkompromi untuk diam.

Boleh, ya? Sekali lagi, Reksa ingin keras kepala.

Janji, ini terakhir kalinya.


Fanya tersenyum melihat sosok yang keluar dari cafe dengan terburu-buru. Perempuan itu menyesap latte-nya yang masih hangat. “Nareswara, lo hutang banyak sama gue.”

Buku Harian Jevan

22 September 2018 Hei, buku baru, izin coret-coret kamu, ya! Saya minta maaf dulu kalau kedepannya kamu jadi penuh dengan tinta hitam. Tapi jangan terlalu khawatir, tulisan saya gak begitu jelek, kok.

ps: Tolong jangan tertawakan saya yang sudah besar tapi masih tulis buku harian.

24 September 2018

Kayaknya Nares habis kesurupan. Pagi tadi, dia menelepon, ajak saya main keluar. ANEH BANGET KAN?! Setelah lulus SMA, setiap diajak nongkrong bareng yang lain anak itu pasti menolak. Alasannya ujian, ujian, ujian. Giliran sudah jadi sarjana, alasannya ganti jadi koas, koas, koas. Saya kira dia masih sedih karena gagal masuk sekolah memasak, ditambah stress karena materi kedokteran, yang rumornya, menyeramkan itu. Tapi sekarang, saya boleh asumsikan kalau dia sudah ikhlas, bukan?

28 September 2018

Di kantor tadi, ada yang menelepon. Waktu diangkat, yang terdengar hanya suara orang yang sedang menangis. Tadinya hampir saya matikan karena saya kira itu penipuan. Tapi dia menyebutkan namanya. Antareksa Gantari.

Dia bilang, mamanya jadi korban tabrak lari. Sekarang kondisinya kritis.

Ya Tuhan.

Sekarang, saya sedang berada di dalam bus menuju ke Bandung. Semoga Kak Thalia baik-baik saja.

30 September 2018

Kakak meninggal. Saya sudah beritahukan berita ini di grup keluarga, sayangnya tidak ada yang peduli. Bahkan Ibu sekalipun.

Pemakamannya sepi sekali, hanya ada saya, Reksa, dan beberapa orang temannya. Ah, Nares juga datang mampir sebentar, membawakan makan siang untuk kami berdua.

Sekarang, bagaimana nasib anak yang kini tengah tertidur karena kelelahan menangis ini?

1 Oktober 2018

Besok saya sudah harus kembali ke Jakarta karena jatah cuti sudah hampir habis, tapi Reksa masih ngotot tak mau ikut saya. Dia bilang, dia sudah jadi mahasiswa baru di salah satu universitas di sini. Dia bilang, dia sudah besar. Bisa urus diri sendiri.

Anak zaman sekarang memang keras kepala, ya?

2 Oktober 2018

Subuh tadi, saya masih berusaha mengajaknya untuk ikut saya. Bagaimana saya bisa tenang, membiarkan anak berumur delapan belas tahun tinggal seorang diri tanpa pengawasan siapa-siapa?

Reksa tetap menolak. Dia tanya, kalau saya bawa dia ke Jakarta, nanti dia tinggal di mana? Saya tentu jawab di rumah keluarga ibunya, di tempat tinggal saya. Reksa hanya menanggapinya dengan gelakan. Di detik itu, saya menyadari apa yang baru saja keluar dari mulut saya memang sebuah lelucon.

“Om, emangnya aku diterima di sana?”

Rupanya anak ini tahu lebih banyak dari yang saya kira.

Saya mau cepat-cepat kumpulkan uang, beli rumah untuk Reksa.

5 Oktober 2018

Sudah tiga hari berlalu, dan Ibu masih mengungkit-ungkit masalah lama itu. Mengungkit Kak Thalia, mengungkit Reksa. Kakak bahkan sudah tiada, tapi masih diejek-ejek. Saya muak. Kak Hendra juga diam saja. Apa dia tidak muak, adik perempuannya dibicarakan layaknya sampah?

21 Oktober 2018

Hari ini minggu ketiga. Sudah tiga minggu saya bolak-balik Jakarta-Bandung setiap akhir pekan untuk menjenguk anak itu.

Lelah memang, tapi tidak apa. Semuanya hilang kala melihat senyum anak itu hadir begitu ia lihat saya berdiri di depan pagar rumahnya.

16 Desember 2018

Kalau dulu saya yang mencari-cari Nares, sekarang kebalikannya. Sudah kedua kali di bulan ini dia protes karena saya menolak diajak main.

Duh, bagaimana? Saya punya malaikat kecil yang perlu ditemani tiap weekend.

24 Desember 2018

Besok tanggal merah, saya ingin jenguk Reksa, tapi ditahan Ibu dengan dalih acara keluarga.

Saya semakin ingin kabur.

Apa senangnya ikut acara keluarga kalau keluarga itu sendiri lebih jahat dibanding orang asing.

6 Januari 2019

Hari ini Ibu memaksa saya berkenalan dengan gadis pilihannya. Namanya Aurel. Cantik memang, tapi membosankan. Nongkrong dengan Nares atau mengurus Reksa jauh lebih menyenangkan daripada terjebak di kencan buta yang canggung ini.

12 Februari 2019

Aneh. Ibu marah-marah, mengata-katai Reksa. Suruh saya tak usah urus anak itu lagi.

Kalau bukan saya yang urus, nasibnya bagaimana?

17 Februari 2019

Reksa akhir-akhir ini sibuk sekali, ya? Saya ajak main, menolak terus. Katanya ada kerja kelompok. Kalau begitu untuk apa saya datang ke sini, Reksa-nya saja pergi keluar.

10 Maret 2019

Untuk pertama kalinya, saya bertengkar dengan Reksa. Ternyata selama ini dia bukan kerja kelompok, tapi bekerja mencari uang.

Untuk apa? Bukannya dia punya saya? Butuh ini itu bilang saja, apa sesusah itu?

Sudah berbulan-bulan, apa saya masih dianggap orang asing?

23 Maret 2019

Hari ini hari ulang tahunnya.

31 Maret 2019

Ini minggu ketiga saya tidak pulang ke Bandung, tapi Reksa sepertinya tidak peduli. Ya sudah, untuk apa saya pikirkan nasibnya di sana?

Lebih baik terima ajakan Nares ke bar dekat kantor.

14 April 2019

Saya cerita banyak tentang Reksa pada Nares. Saya kira dia akan dukung saya, nyatanya malah berpihak pada anak itu.

Cih.

24 April 2019

Reksa tahu dari mana saya ulang tahun? Kemarin malam dia kirim pesan, tapi saya baru baca pagi ini. Balas sekarang, sudah telat, ya?

5 Mei 2019

Saya mengaku kalah. Saya hari ini pulang ke Bandung. Sudah hampir tiga bulan, gimana kabar anak itu?

27 Juli 2019

Nares hari ini menginap di rumah saya, sepertinya sedang ada masalah. Padahal besok seharusnya saya pergi ke Bandung.

Apa saya ajak dia saja, ya?

Ngaco kamu, untuk apa bawa Nares ketemu Antareksa? Haha.

6 Agustus 2019

Minggu depan Nares berulang tahun, kado apa yang cocok, ya?

11 Agustus 2019

Masih belum nemu hadiah yang pas, hufft. NARES, KAMU SUKANYA APA?

13 Agustus 2019

Untuk Nares: Happy Birthday, Nares. Tadi malu bilang waktu ketemu kamu, takutnya kamu malah tertawakan saya yang cringe. Tapi dari lubuk hati terdalam saya harap kamu selalu bahagia. Nares, kamu berhak bahagia. Semoga kamu suka bukunya, ya?

ps: Mukanya kesal banget waktu buka kado dari saya. Kumpulan buku cerita berisi dongeng anak-anak. Dia merenggut, mengira saya sengaja membelikannya barang itu untuk membuatnya naik pitam. Padahal, saya cuma berharap buku dongeng itu bisa membuatnya terlelap dengan nyenyak di malam hari. Insomnia itu melelahkan, saya tahu.

19 September 2019

Hari ini, saya dan Nares makan soto langganan kami di pinggir rumah sakit. Nares hampir menyemburkan sotonya saat saya bilang ingin beli rumah.

“Untuk Reksa?” Tanyanya dengan mulut penuh dan mata melotot.

Ya... bukan juga, sih. Sudah lama saya ingin keluar dari rumah Ibu, kabur dari tatapan menuntut Kakak-Kakak. Tapi dipikir-pikir lagi, rasanya menyenangkan kalau bisa bawa Reksa main ke Jakarta tanpa perlu risau dia harus menginap di mana.

20 September 2019

Nares janji temani saya pilih-pilih rumah di area dekat kantor, tau-taunya baru mau berangkat dia malah ditelepon rumah sakit. Yaah, gagal.

28 September 2019

Saya dan Reksa mengunjungi mamanya hari ini, ke pemakaman. Kali ini, dia sama sekali tidak menangis.

Rupanya, Reksa sudah tambah besar dan tegar, ya?

ps: Kenapa saya bicara seperti orang tua umur 50 tahun...

21 November 2019

Akhirnya, nemu rumah yang cocok. Kecil sih... tapi budget saya cuma bisa dapat yang seperti ini :“)

Beli jangan? Apa lebih baik menabung lagi?

22 November 2019

Galauuuuu, saya tanya ke Reksa dia malah ikut bingung.

24 November 2019

Oke, keputusan akhirnya adalah beli. Tinggal di gubuk juga lebih baik daripada tinggal di rumah Ibu.

25 Desember 2019

Hari ini saya ajak Reksa main ke Jakarta setelah misa natal bersama di Katedral. Katanya, ini kali pertama dia berkunjung ke ibukota. Anak itu senang sekali.

Tadinya saya mau ajak Nares, tapi dia memilih tidur.

Ckck, padahal kapan hari dia bilang ingin bertemu Reksa. Dasar labil.

26 Desember 2019

Kemarin malam, Reksa menginap di rumah kecil saya. Dia sempat protes sih, hahaha, karena kasurnya terlalu sempit. Akhirnya jadi dempet-dempetan.

Untung badan Reksa kecil, bisa dibayangkan kalau Nares yang menginap...

...

Kalau Nares yang menginap, sudah saya tendang duluan dia.

Hahaha.

1 Januari 2020

Pergantian tahun kali ini saya lalui bersama Nares. Tiba-tiba saja kemarin malam dia mampir membawa beer. Saya kira dia ingin minum karena sedang senang, nyatanya sebaliknya. Nareswara pintar sekali berbohong, senyumnya bisa menipu mata.

Tapi dia lupa kalau daya tahannya pada alkohol tidak begitu bagus, hahaha.

...

Nares, jadi dokter itu sulit, ya?

2 Januari 2020

Ibu marah-marah karena saya tidak ikut makan malam dengan keluarga kemarin.

Saya juga ingin marah.

Ibu ingat saya hanya kalau menyangkut acara keluarga, nama keluarga.

Saya ini anaknya atau bukan?

9 Februari 2020

Reksa kurus sekali, wajahnya juga lesu. Pasti kelelahan karena kuliah, ya?

Note: Besok pagi jangan lupa tanya Nares, vitamin apa yang perlu dikonsumsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

21 Maret 2020

Lusa Reksa berulang tahun. Ah, saya paling payah dalam memilih kado. Anak itu sedang butuh apa, ya?

23 Maret 2020

Lucu. Matanya membola kala melihat kado dari saya.

“Om... ini handphone?”

Ya menurut kamu saja apa...

25 Maret 2020

Reksa jadi sering mengirimi saya pesan setelah dibelikan handphone baru. Giat menanyakan fitur A sampai Z. Hahaha, bagus deh, berarti dia senang dengan hadiahnya, kan?

13 April 2020

Hari ini Reksa ajak saya jalan-jalan keliling perumahannya dengan sepeda. Ini pertama kalinya juga dia ajak saya makan bubur di depan komplek, yang ternyata, enak sekali.

Omong-omong, harganya hanya lima ribu. Benar-benar tidak masuk akal.

23 April 2020

Hari ini hari ulang tahun saya, tapi rasanya sesak sekali. Ibu dan kakak-kakak menyanyikan lagu ulang tahun dan membeli kue besar, tapi kenapa tatapan mereka membuat saya merasa kecil?

Gosh, I need Nares.

16 Mei 2020

Sepertinya saya sakit...

19 Mei 2020

Reksa bilang wajah saya terlihat suram hari ini.

Ah, kelihatan, ya?

Reksa, saya takut. Saya harus bagaimana?

8 Juni 2020

Bukan sekedar sakit ringan lagi, sepertinya saya sudah gila. Tuhan, tolong.

12 Juni 2020

Saya pergi ke psikolog hari ini. Sialnya, bertemu Kak Hendra. Kenapa dia bisa ada di sana?

Omong-omong, psikolognya bilang ini bukan penyakit.

Lalu ini apa?

Kenapa harus saya?

15 Juni 2020

Hari ini saya pulang ke rumah Ibu. Tapi kenapa Kakak menatap saya seperti itu?

20 Juni 2020

Dia tahu. Dia tahu dari mana?

24 Juni 2020

Takut.

28 Juni 2020

Nares ajak saya kumpul bersama teman yang lain, tapi saya takut. Bagaimana jika ada yang sadar?

9 Juli 2020

Nares spam chat lagi. Dia bertanya apa ada yang salah dengannya.

Bukan.

Saya yang salah.

Saya harus jawab apa?

20 Juli 2020

Nares memaksa ingin datang ke rumah. Saya bilang saya ada di Bandung.

Reksa, maaf. Om pinjam nama kamu untuk berbohong. Maaf.

10 Agustus 2020

Ingin rasanya pindah ke Bandung. Setiap ada Reksa, rasanya semua ketakutan saya hilang.

Tapi, mana bisa?

13 Agustus 2020

Hari ini, Nares berulang tahun. Tapi nomornya masih saya block. Nares, maaf, saya takut.

21 Agustus 2020

Apa Kakak sebenci itu sama saya? Kenapa dia menerror saya? Kenapa dia terus-terusan mengancam akan memberitahukannya pada Ibu? Untuk apa?

18 September 2020

Kak Hendra bilang saya hina. Padahal tanpa perlu diberi tahu pun saya sudah sadar.

28 September 2020

Hari ini, dua tahun sejak kematian Kak Thalia.

Sama-sama Kakak, kenapa mereka berbeda? Kenapa Kak Hendra sebenci itu sama saya?

Saya harap bukan Kak Thalia yang dikubur di bawah sana, tapi dia.

4 Oktober 2020

Kemarin, Nares datang ke rumah. Rasanya bersalah sekali, melihat wajahnya yang kusut. Dia tetap bersikeras untuk bertanya kenapa saya menjauhinya.

Saya jawab saya hanya sibuk, dan dia tertawa.

Jawaban yang buruk, ya?

9 Oktober 2020

Saya datang ke bar.

Dengan Nares.

Ya Tuhan, sudah lama sekali, ya?

Kalau saya pendam rasa ini dalam-dalam, semuanya akan baik-baik saja, bukan?

Saya tidak mau kehilangan dia.

16 November 2020

Setiap kali Nares mengajak bertemu, saya tidak bisa menolak.

Dia sudah memikul banyak beban, saya tidak mau jadi salah satunya.

Tapi, saya takut.

20 November 2020

Sial. Pertemuan keluarga lagi. Kak Hendra dengan tatapan menghakiminya lagi.

Rasanya ingin mati saja.

3 Desember 2020

Reksa bertanya kapan saya mampir. Ah, sudah lewat beberapa minggu rupanya. Kok saya bisa sampai lupa dengannya?

Jevan, fokus.

19 Desember 2020

Padahal hanya berjalan-jalan dengan Reksa di mall, tapi rasanya seram sekali. Orang-orang asing itu menatap saya seolah saya ini hina.

Apa hanya perasaan saya saja?

Mereka tidak tahu. Kenapa saya harus takut?

29 Desember 2020

Nares lagi-lagi mengajak saya bertemu. Seperti biasa, saya bercerita tentang Reksa dan Reksa. Dia tampak tertarik.

Dia tidak sadar, kan?

Orang lain di bar ini tak ada yang sadar, bukan?

Ya Tuhan, sejak kapan saya jadi sepenakut ini?

2 Januari 2021

Hari ini saya dan Nares ke bar itu lagi. Sialnya, ada pasangan gay lewat. Entah apa yang merasuki saya hingga saya bertanya tentang pendapatnya.

Nares tidak bilang dia jijik. Dia hanya diam, berkata bahwa itu bukan urusannya.

Tapi saya yakin baginya itu menjijikan.

Saya sendiri merasa saya menjijikan.

9 Januari 2021

Apa Kak Hendra menyuruh orang mengikuti saya?

Darimana dia tahu kalau Nares orangnya?

Untuk apa? Kenapa dia sejahat ini?

23 Januari 2021

Semuanya sudah saya blokir. Nomor Kak Hendra, Ibu, Nares. Hanya tinggal nomor Reksa.

Saya rindu Reksa.

Tapi saya takut. Apa saya masih pantas menjenguknya?

Apa kata orang jika tahu dia memiliki paman yang sakit jiwa?

8 Februari 2021

Saya tidak sanggup melihat orang-orang itu di kantor. Pandangannya seolah-olah menghakimi saya dari ujung rambut hingga kaki.

Faresta Jevan, kamu memang sudah gila, ya?

Jelas-jelas mereka tidak tahu soal itu.

27 Februari 2021

Saya resign. Ini keputusan yang tepat, kan?

23 Maret 2021

Tadinya saya berencana ke Bandung hari ini, merayakan ulang tahun Reksa. Tapi Ibu dan Kak Hendra mampir.

Apa mau mereka?

Ini satu-satunya tempat di mana saya merasa aman. Dan sekarang mereka hadir.

Saya harus sembunyi di mana lagi?

Ibu bilang hidup saya tidak berguna.

Ibu, saya juga merasa begitu.

5 Mei 2021

Reksa bertanya, kapan saya pulang ke Bandung.

Tidak tahu.

Apa Bandung menyediakan tempat untuk orang gila seperti saya?

14 Mei 2021

Saya tidak sanggup lagi. Ucapan Kak Hendra terus terngiang-ngiang di kepala.

18 Mei 2021.

Reksa, maaf. Nares, maaf.

20 Mei 2021

Besok saya mampir ke Bandung. Tapi bukan untuk bertemu Reksa.

Untuk Reksa, kalau kamu membaca ini, saya minta maaf. Om Jevan minta maaf atas segalanya. Maaf saya ingkar janji, maaf saya meninggalkan kamu. Maaf karena saya sudah menjadi orang paling hina di muka bumi ini. Maaf.

Om menyerah.

Flashback Lucas (222)

Begitu Reksa masuk kembali ke dalam rumah, Lucas sudah duduk manis di sofa yang tadinya ditempati Nares.

“Kak, ada apa?” Tanya Reksa sembari duduk di hadapan Lucas. “Maaf, aku belum sempet baca pesannya. Penting, ya?”

Pemilik cafe tempatnya bekerja itu mengangguk. “Penting, tapi gak buru-buru, kok.”

“Tentang cafe?”

“Hmm... ya, bisa dibilang begitu.”

Reksa menaikkan sebelah alisnya. “Ada apa?”

“Gue gak basa-basi deh, ya. Gue kepengen buka cabang Dream's Cafe di Hongkong. Lo tertarik nggak, kalau gue ajak kerja di sana?” Tanya Lucas.

Pemuda yang mengenakan baju tidur itu spontan melongo. “Hah, eh, gimana, Kak?”

“Kerja lo di cafe selama ini memuaskan, ya walaupun cuma part time, sih. Tapi lo juga pekerja keras, gue bisa tau karena lo kelihatan banget serius kerjain skripsinya, gak kayak adek sepupu gue yang kerjaannya leha-leha.”

“Pfft, hati-hati aku aduin ke Eli.”

Lucas spontan memasang senyum tengil khasnya. “Kasih tau aja, cuma cecunguk kecil gitu mah gue gak takut.”

Reksa terbahak. Namun detik selanjutnya, ia kembali memasang wajah serius. “Ini beneran, Kak?”

Lucas mengangguk. “Seratus persen gak tipu-tipu. Denger-denger lo juga bisa mandarin, kan? Asli deh, Sa, lo udah perfect banget. Paham manajemen sama bisnis, ngerti tentang kopi dan pernah terjun ke lapangan, lancar inggris sama mandarin.” Pria itu mengacungkan jempolnya sambil memasang muka takjub yang dilebih-lebihkan.

“Boleh jelasin lebih detail, nggak?”