archeselene

”... Masuk dulu, Mas?” Tawar Reksa ketika mendapati pria yang dirindukannya berdiri menjulang di depan pagar dengan kendaraan beroda empat miliknya terpakir rapi di tempat yang tak menghalangi orang berlalu-lalang.

Nares menggeleng. “Gak perlu. Katanya kamu sedang sibuk? Saya bicara di sini aja.”

Ah. Reksa rasanya ingin mengubur diri saja. Ia melirik pakaian tidur dan segelas bubble tea di tangan kirinya. Dari sudut pandang mana pun ia tak terlihat seperti “orang yang sedang sibuk”.

“Eng-engga kok. Ke dalam dulu aja, Mas. Udah mulai gerimis, jangan berdiri di luar. Gak enak juga kalau kelihatan tetangga.” Reksa membuka pagar dan mempersilahkan laki-laki berkemeja putih itu masuk. Ia menarik ujung kemeja Nares sambil berjalan ke dalam rumah, seolah-olah takut pria itu menghilang jika saja ia lepaskan.

Nares menundukkan kepalanya, memandangi tangan kecil Reksa yang menjamah ujung kemejanya. Ia tersenyum simpul, telapak tangannya mengambil alih tangan Reksa yang memegang erat kemejanya itu. Reksa yang sadar tangannya ditangkup oleh telapak yang lebih besar darinya itu langsung terlonjak dan refleks menarik tangannya. Kehangatan yang dirasakan keduanya lenyap dalam sedetik.

Nares menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Ah, maaf.”

Reksa hanya menatapnya datar, menahan keinginan untuk berteriak, “Dasar b-u-a-y-a!”

“Duduk di sofa aja, Mas.” Ujarnya, menunjuk sofa kecil di ruang tamu. “Mau minum apa?”

Nares menurut dan langsung meletakkan pantatnya di sofa yang tak terlalu empuk itu. “Bebas. Air mineral saja.” Ia mengusap-usap kedua telapak tangan pada lututnya guna mengurangi rasa gugup.

Reksa mengangguk dan lantas pergi ke dapur. Sementara itu, Nares memandangi punggung kecil yang semakin menjauh. Keresahan kembali memenuhi akalnya, membuatnya bimbang untuk merealisasikan keputusan yang telah ia buat.

Nalarnya terus menegaskan agar ia berhenti. Agar dirinya jangan kembali menyinggung perihal perasaan dan membuat semuanya menjadi semakin rumit. Seperti kata Fanya, apa gunanya? Apa gunanya Reksa tahu perasaannya jika ujungnya mereka tak bisa bersama? Jangan-jangan, ia malah akan menorehkan luka yang lebih dalam lagi bagi orang yang disayanginya itu. Ia pun sadar sesadar-sadarnya bahwa mengutarakan isi hatinya tak akan bisa mengubah apa-apa. Tapi di sisi lain, suara hatinya berteriak bahwa Reksa berhak tahu. Pemuda itu berhak tahu bahwa dia tidak jatuh sendirian, bahwa dia dicintai dan disayangi. Reksa berhak tahu segalanya. Semuanya. Tanpa kecuali.

Pikirannya masih bergelut kala Reksa kembali dengan dua gelas teh hangat. Ia meletakkan salah satunya di depan Nares dan mengambil tempat duduk di hadapan pria itu.

“Mas, mau bicara apa sampai repot-repot datang ke sini?”

“Ah, itu...” Nares meneguk ludahnya.

Sel-sel saraf pada otaknya masih berperang dan membuat kepalanya pening. “Mas?” Reksa melambaikan lengannya di depan wajah Nares. “Ada apa?” Kini rautnya berubah menjadi khawatir. “Ada sesuatu yang salah?”

Nares sontak menggeleng cepat, tapi keringat yang mengalir dari pelipisnya mengatakan sebaliknya.

“Saya mau jujur tentang satu hal...”

Reksa mengangguk. “Go ahead.

“Ini tentang kita.” Nares menatap Reksa tepat pada maniknya. “Sebenarnya, saya jug-”

“Eh, sebentar, Mas.”

Suara Nares langsung terhenti ringtone handphone menginterupsi pengakuannya. Ia menghela napas entah karena lega atau kesal, sementara Reksa menjawab panggilan itu.

“Halo? Kak Lucas, kenapa?”

Kedua alis Nares membentuk kerutan di keningnya kala mendengar nama yang tak asing itu.

Alisnya semakin tertekuk saat melihat pemuda di depannya ini menunggingkan senyum manis sambil mendengar suara pria lain di ujung telepon.

“Pesan? Ah, Kak Lucas ngirim pesan? Maaf, belum aku lihat.”

Senyuman itu kian detik semakin melebar, membuat Nares terpana sekaligus tersakiti di saat yang bersamaan.

“Hah? Kakak mau ke sini? Emangnya tentang apa sih, sepenting itu?”

”...”

“Besok aja, Kak. Kan nanti juga ketemu di cafe.”

”...”

“Udah deket? Ya... ya udah deh, terserah. Aku lagi di rumah, kok. Cuma ini lagi ada tamu.” Reksa melirik Nares tanpa sadar dirinya mengucapkan kata yang lagi-lagi membuat pria berkemeja itu terpaku di tempatnya.

Tamu.

Ah, benar juga, ia kini hanya seorang tamu.

“Ya udah, nanti aku bukain pintunya. Bawa payung, kan? Langitnya mendung. Naik apa? Mobil?”

”...”

“Oke, Kak! Aku tutup ya.”

Reksa menutup panggilan itu dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya. Ketika ia mendongak, senyumnya perlahan luntur melihat Nares lagi-lagi menatapnya dengan pandangan yang tak bisa ia artikan.

Tahan, tahan. Jangan baper. Fokus. Batinnya.

“Mas, tadi sampai mana? Maaf, tadi Boss aku tiba-tiba telepon.”

“Atasan di tempat kamu bekerja?” Tanya Nares.

Reksa mengangguk mengiyakan. “Iya, pemiliknya.”

“Kalian dekat?”

“Hah?”

“Eh, enggak... maaf, lupakan.” Nares merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ia takut Reksa kembali kesal karena dirinya kembali mencampuri urusan anak itu.

“Lumayan sih... Dia friendly, aku juga dekat sama pekerja-pekerja lain di sana.”

“Bagus, deh.” Nares tersenyum.

“Mas tadi mau bilang apa? Maaf jadi kepotong.”

“Ah... Sebenarnya...” Ia mengacak rambutnya. “Aduh, saya bingung harus memulai dari mana...” Nares tertawa, memecah kecanggungan yang sebenarnya hanya dirasakan oleh dirinya sendiri.

Reksa ikut tertawa kecil mendengarnya. “Ya udah, santai aja. Nanti aja ngomongnya. Eh, gak mendesak, kan?”

“Mendesak!” Sanggah Nares. “Eh... enggak juga sih...” Bantahnya sendiri. “Maksud saya... saya takut kalau gak bilang sekarang, saya gak akan berani lagi...”

Pria dengan setelan tidur yang duduk di depannya itu kini mengerutkan dahi karena penasaran. “Apa, sih? Gak biasanya Mas Nares bertele-tele. Nolak aku aja waktu itu gak pake basa-basi dulu.”

Jleb.

“M-maaf...”

Reksa terbahak. Hatinya puas. Sudah lama sekali sejak ia menggoda pria di hadapannya ini. Ya, meskipun rasa puasnya bercampur dengan perih... hanya sedikit, kok! Ia kan sudah merelakan, hehe, hehe... iya, kan?

Nares berdeham. “Saya gak tahu apakah kamu masih peduli atau tidak,” Ia menjilat bibirnya yang kering karena gugup. “Tapi, saya rasa kamu berhak tahu dan marah sama saya.” Ia menunduk. “Maaf, Reksa. Saya...”

Ting!

Suara bel rumah yang dibunyikan.

Kedua orang itu kini bertatapan. “Ah... ha... ha... Kayaknya itu Kak Lucas, deh. Tadi dia bilang mau mampir bentar.” Jelas Reksa.

“Oh...”

“Aku... pergi dulu... bukain pintunya?” Reksa memasang senyum canggung. Tak enak karena lagi-lagi ucapan Nares terpotong.

Pria yang lebih tua itu mengangguk dan menyesap teh hangatnya.

Beberapa saat kemudian, Reksa kembali hadir bersama sosok yang lebih tinggi di belakangnya. Nares berdiri dan sedikit membungkukan tubuhnya pada Lucas untuk mengucap salam, pria itu pun melakukan hal yang sama padanya sebelum menepuk pundak Reksa. “Sa, gue mau minjem toilet boleh, gak?”

“Pfft! Iya, itu pintunya yang di sebelah dapur.”

Thanks!” Ucap Lucas sebelum berlari kecil.

Reksa mengalihkan pandangannya pada Nares yang kini sudah kembali duduk.

Pria itu meneguk habis teh di gelasnya. “Dia kelihatan baik.”

Reksa mengangguk. “Haha, emang baik kok, cuma agak tengil aja.” Jelasnya. “Tapi dia baik banget ke aku, sering nemenin aku di cafe sampai larut malam juga waktu aku ngerjain skripsi.”

“Reksa, kamu sekarang bahagia?”

“Eh?” Tiba-tiba sekali?

Reksa mengerjapkan matanya sebelum mengangguk patah-patah. “Tentu.”

“Lebih bahagia dari dulu?”

Reksa memandang Nares heran. Dulu? Dulu itu kapan? Tapi ia tetap menganggukan kepalanya meski dengan ragu-ragu.

Senyum kecil sontak terbit di belahan bibir laki-laki yang lebih tua. Nares beranjak dari sofa kecil tempatnya duduk dan menghampiri pria pujaannya itu. Tangan kanannya terulur, menepuk pelan puncak kepala Reksa yang sejengkal lebih pendek darinya.

“Baguslah. Saya harap kamu selalu bahagia.” Ucapnya tulus. “Kalau begitu... saya pulang saja, ya?”

Reksa mengernyitkan dahinya. “Pulang? Bukannya Mas Nares pengen bilang sesuatu...” Keheranannya itu ia telan bulat-bulat saat melihat gelengan pria di depannya.

“Enggak. Saya pikir-pikir lagi, sebenarnya yang ingin saya bicarakan bukan sesuatu yang penting. Sudah tidak ada gunanya bilang tentang hal itu ke kamu.” Ia menundukkan kepalanya sambil terkekeh.

Reksa menggigit bibir bawahnya. Apa yang dimaksud dengan “itu”? Apa Nares ingin mengaku tentang hubungannya dengan Fanya?

Laki-laki itu tersenyum lirih. Kalau tentang hal itu, memang ada baiknya Nares tak perlu memberi tahunya lagi. Ia mungkin tak akan kaget karena telah memergoki keduanya di cafe sore tadi, tapi ia pun tak mau rasa sakit yang sudah bertubi-tubi ini ditimpa lagi dengan luka yang baru.

“Ya, sudah.” Ia mengepalkan tangannya. “Mari, aku antar ke depan.”

Reksa mengantar Nares hingga keduanya berada di depan pagar. “Kalau begitu, sampai jumpa.” Nares menggaruk tengkuknya sambil menahan tawa. Ia ingin menertawakan dirinya yang terlambat, menertawakan identitasnya yang beralih menjadi “tamu” bagi Reksa, menertawakan keduanya yang kini canggung layaknya orang asing.

Bukan lagi keluarga.

Bukan lagi siapa-siapa.

Tak berani menatap kedua netra milik Reksa, Nares membalikkan badannya, hendak bersembunyi di mobilnya sebelum pertahanannya runtuh. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. Nares menunduk, menatap tangannya yang dicegat oleh Reksa.

“Mas...”

”... Iya?”

“Aku juga berharap Mas Nares selalu bahagia.”

Nares mengangguk kecil. Ia melanjutkan langkahnya dan masuk ke dalam mobil, membawa dirinya kabur menjauhi perumahan itu, menjauhi laki-laki yang masih berdiri dan menatapnya di depan pagar.

Nares pernah dengar, ada hal-hal yang lebih baik tidak perlu diutarakan.

Some things are better left unsaid.

Mungkin, perasaannya adalah salah satu dari hal-hal itu. Iya, kan?

Reksa bahagia, dan itu sudah cukup baginya.

Ia sudah menjadi bajingan. Ia tak pantas disebut manusia jika lagi-lagi merusak kebahagiaan Reksa dan membawa orang yang disayanginya itu masuk kembali ke situasi yang sulit.

Sekarang... keadaan seperti ini, memang sudah yang terbaik untuk mereka, bukan?

tw , cw // airplane crash , death , one sided love

main character: Huang Renjun (30) , Na Jaemin

based on “Practice Love”, a song released by JJ Lin in 2013 (which is also based on his own story)

25 Agustus 2030

“Rapat selesai.”

Satu persatu orang dengan setelan pakaian formal mulai meninggalkan ruangan itu, menyisakan dua orang pria dewasa yang tetap duduk di tempat mereka.

Lee Haechan, manajer dari Huang Renjun, menatap teman baik sekaligus rekan kerjanya itu dengan bingung. Kakinya gatal, ia ingin segera melepaskan dirinya dari kursi yang sudah didudukinya sejak satu jam yang lalu itu dan beranjak makan siang di restoran. Namun, temannya yang satu ini sedari tadi tidak juga menunjukkan tanda-tanda ingin keluar dari ruangan. Sebaliknya, Renjun tampak hanyut dalam pikirannya sendiri.

“Jun?” Haechan menepuk pundak temannya itu. “Lo gak apa-apa, kan?”

Orang yang bahunya ditepuk itu sontak melonjak kaget. Ia diam beberapa detik, lalu menggeleng pelan. “Gak, gak apa-apa.”

“Mikirin apa, sih?” Dahi Haechan mengkerut.

“Lagu.”

“Lagu?”

“Iya, lagu. Kak Mark bilang, untuk album kali ini, gue boleh compose lagu-lagunya sendiri. Hadiah untuk ngerayain sepuluh tahun dari gue debut.”

“Ya udah, ini kan bukan pertama kalinya lo bikin lagu sendiri. Bingungin apa? Jadwal? Takut gak ada waktu? Itu mah tugasnya gue buat ngatur kali.”

Renjun menggeleng sambil tertawa kecil. “Bukan itu.” Ia menunduk, meraba saku celana kainnya dan mengeluarkan dompet miliknya dari sana. “Gue bingung sama temanya, Kenangan Rahasia.”

“Hmm, lo gak kepikiran mau nulis tentang apa?”

Pria kecil berumur tiga puluh tahun itu kembali menggeleng. “Udah, cuma gue gak yakin apa gue bisa bikin kenangan ini jadi sebuah lagu...”

“Kapan sih lo pernah gagal.” Haechan tergelak. “Emangnya lo mau tulis tentang kenangan apa?”

“Tentang foto ini.” Renjun mengeluarkan foto miliknya dari dompet usang yang baru saja ia buka. Wajah Haechan tampak semakin linglung. “Ini? Ini elo, kan? Foto lo waktu... hmm, remaja?”

Sang artis mengangguk. “Mau tau gak, kenapa gue selalu ngelarang lo sembarangan buka dompet gue?”

Pertanyaan itu disambut dengan anggukan antusias dari Haechan. Ia memang selalu penasaran dengan hal ini. Pasalnya, mereka sudah saling mengenal lebih dari sepuluh tahun, tapi Renjun tak pernah membiarkan Haechan menyentuh dompet miliknya. Pernah sekali Haechan iseng menyembunyikan dompet temannya itu, namun reaksi Renjun malah di luar dugaannya. Artis naungannya itu menangis kencang di back stage begitu sadar dirinya kehilangan dompet. Haechan sampai bertanya-tanya, apa di dalamnya ada cek seharga satu triliun?

Renjun menunduk, ia memandangi dirinya yang tersenyum manis di foto hitam putih itu. “Ini bukan hanya tentang gue, tapi tentang pemilik dari foto ini.”


25 Juni 2016

Di belakang taman sekolah, tampak dua orang remaja sedang berjongkok. Raut wajah keduanya gelisah, namun dengan alasan yang berbeda.

“Na, ngapain, sih? Aku takut ketahuan sama guru! Jam istirahat kan udah beres.”

Remaja yang satunya terengah-engah, “Bentar, Jun. Kasih aku lima menit aja, please. Ini penting banget!”

“Ya udah, kamu mau ngomong apa?” Renjun cemberut. “Cepetan, aku pegel jongkok terus, mana harus sembunyi di sini lagi.”

“Eung...” Wajah Jaemin yang memang sudah merona karena sinar matahari semakin memerah. “Aku... suka sama kamu... Injun.”

“Hah?” Kontras dengan Jaemin, wajah Renjun justru memutih pendengar pernyataan itu. Ia meneguk ludahnya gugup. “M-maksudnya?”

“Aku suka sama kamu, lebih dari temen.”

”...” Renjun menggigit bibirnya. Ia tak berani menatap Jaemin. “Tapi... kamu tahu, kan? Aku sukanya sama Kak Jaehyun...”

Jaemin terdiam sejenak sebelum mengangguk. Mata remaja berusia enam belas tahun itu spontan meredup. “Aku tau...”

“Maaf...” Renjun menunduk. Kedua maniknya mulai berair. Melihat itu, Jaemin langsung merangkak maju sambil memeluk tubuh temannya. “Kok kamu yang nangis?!”

“Aku sedih... Pasti habis ini kamu ngejauhin aku. Kita gak bisa jadi temen lagi.”

Jaemin terkekeh. “Kata siapa? Aku gak akan pernah ninggalin kamu. Tenang aja.” Ia mengusap kedua pipi Renjun yang berlinang air mata. “Jangan cengeng, nanti jadi jelek.”

“T-tapi gak apa-apa, kan? Kalau aku suka Kak Jaehyun.”

Jaemin mengangguk. “Gak apa-apa. Kakak aku hari ini ada latihan basket sama Kak Jaehyun, mau nonton nggak?”

Mendengar itu, netra yang lebih tua langsung berbinar. Ia mengangguk antusias. “Mau! Tapi Nana bakal temenin aku, kan?”

Jaemin diam sebentar. Ia memandang binar Renjun yang menatapnya penuh harap. Pemuda itu lalu menyunggingkan senyumannya, “Pasti!” Ia menggenggam tangan Renjun. “Tapi kamunya gak boleh nangis lagi.”

Deal!


10 Februari 2017

“Injun, besok kan hari Sabtu. Sibuk, nggak? Kerjain PR bareng, yuk!”

Renjun lantas membalas suara yang keluar dari handphone-nya itu. “Ayo!”

Ia tersenyum kala jawabannya itu disambut dengan kekehan rendah khas sahabatnya, Na Jaemin.

“Eh iya, empat hari lagi Kak Jaehyun ulang tahun. Sorenya boleh temenin aku cari kado, nggak, Na?”

Hening.

Renjun berdeham canggung. “Kalau misalnya kamu sibuk gak usah juga ga-”

“Gak sibuk, kok! Ayo! Berarti besok aku bawa helm dua, ya.”

Senyum Renjun semakin mengembang. “Yeay! Nana emang baik banget! Sayang Nana banyak-banyak!”

“Nana juga sayang Injun.”


22 Juni 2017

Renjun menghentak-hentakkan kakinya kesal sambil mengerucutkan bibirnya. “Aku juga mau liburan!” Ia menggoyang-goyangkan lengan Jaemin. “Mau ke Singapura juga! Aaargh!”

Mendegar ocehan sahabatnya, Jaemin tertawa sambil mengusap rambut Renjun lembut. “Hei, aku ke sana bukan buat liburan, tapi buat nengok Papa sama Mama. Kamu kan orang tuanya ada di sini, ngapain mau jauh-jauh ke Singapura?”

Renjun menunduk. “Tapi kamunya gak ada di sini!”

Jaemin semakin tergelak. Ia membawa pria yang lebih kecil masuk ke dalam pelukannya. “Aku cuma pergi selama seminggu, Renjun.”

“Seminggu itu lama!”

“Tujuh hari lama dari mananya?” Jaemin menyentil kening Renjun pelan. “Udahlah, di sini juga ada Kak Jaehyun, kan? Habisin waktu kamu sama dia aja.”

“Maunya sama Nanaaaaa!” Renjun melepas pelukan Jaemin dan kembali menggoyangkan lengan temannya.

“Sampai di sana pun aku pasti rutin kabarin kamu, kok. Gimana? Tujuh hari gak akan kerasa selama itu.”

“Hng!” Renjun melipat kedua tangannya di dada. “Terserah, ah!”


29 Juni 2017

tw // homophobic behaviour

Dengan heran, Fanya memandangi Nares yang kini tengah menunduk sembari menyesap Americano yang dipesannya beberapa saat lalu. Perempuan itu sedikit memiringkan kepalanya, berusaha mengintip ekspresi dari pria yang duduk di hadapannya.

“Nares, kamu ngajak aku ke sini mau bicara apa?”

Orang yang ditanyanya itu menaruh cangkirnya di atas meja. Kepalanya ia angkat, netranya menatap lurus pada Fanya. “Saya mau meluruskan satu hal.”

“Tentang?”

“Tentang apa yang Ayah saya katakan kemarin malam.”

Mendengar itu, senyum Fanya perlahan memudar. “Maksud kamu... tentang perjodohan kita?”

Tentu saja ia paham dengan maksud Nares. Memorinya tentang perbincangan antara keluarganya dengan keluarga Nares masih tersimpan rapi, mengingat hal itu baru berlangsung kurang dari satu hari yang lalu. Ia pun ingat jelas bagaimana ayah dari orang di depannya ini menawarkan perjodohan untuk mereka, dan penawaran itu langsung disambut hangat oleh kedua orang tuanya.

“Apa yang perlu diluruskan?” Ia kembali bertanya.

Kedua maniknya menilik tangan Nares yang kini mencengkeram cangkir minumannya erat. Sementara pria yang diberi bertubi-tubi pertanyaan itu kini menggigit bibir dalamnya pelan, ragu akan kata-kata yang ingin diucapkannya.

“Kamu gak setuju?” Tak kunjung mendapat jawaban, Fanya mulai tak sabar. Selang beberapa detik, orang di depannya mengangguk kaku.

“Kenapa?”

”... Saya punya perasaan untuk orang lain.”

Jawaban itu tentu tak memuaskan bagi Fanya. “Yang benar aja, Res? Gara-gara itu?”

Nares kembali mengangguk.

Fanya meneguk Latte-nya dengan anggun sebelum kembali bersitatap dengan Nares. “Cuma karena itu? Kamu pasti bercanda.” Gadis itu mendengus. “Omong-omong aku juga gak suka kamu ya, jangan geer,” ujarnya sebelum ia mendekatkan wajah eloknya pada Nares yang masih diam di tempat. “Tapi coba kamu pikirin benefit yang bakal kita dapat dari perjodohan ini. Ini mutualisme, Res! Yakin, kamu nggak akan nyesel kalau nolak ini cuma gara-gara perasaan bodoh yang bisa hilang kapan aja?”

“Memangnya kamu nggak masalah, kalau terikat dengan saya yang gak punya perasaan sama kamu?” Nares tak mengerti.

Di luar dugaannya, Fanya terbahak mendengar pertanyaan itu. “Res, ini kan udah biasa. Orang tua kamu, orang tua aku semuanya hasil perjodohan dan gak suka satu sama lain, tapi buktinya mereka bisa oke-oke aja tuh sampai sekarang.” Perempuan itu kembali meneguk minumannya. “Kalau misalnya kamu pengen pacaran setelah kita menikah, aku juga gak akan ngelarang, kok. Santai aja.”

Dahi Nares berkerut mendengar penuturan calonnya ini. “Kamu gak keberatan, saya yang keberatan. Maaf. Saya gak bisa menjalankan hubungan ini.”

“Memang orang yang kamu suka kayak gimana, sih?” Fanya tak paham. “Lebih cantik dari aku? Lebih kaya? Lebih bawa banyak keuntungan buat kamu? Perempuan mana? Coba, kalau kamu punya jawaban yang bisa bikin aku puas, aku rela lepasin perjodohan ini.”

”... Dia bukan perempuan.”

Fanya merasa rahangnya jatuh. Perempuan itu buru-buru memperbaiki raut wajahnya setelah menyadari ekspresinya yang memalukan. “Apa-Bentar, Ini gak seperti yang aku pikir, kan?” Ia menatap pria di depannya beberapa detik, tapi yang ditatap hanya balik memandangnya tanpa mengucap sepatah kata. “Kamu bercanda? Gak lucu, Nareswara.”

Nares menggeleng. “Orang yang saya suka tidak lebih cantik dari kamu, dia tampan dan manis. Dia juga belum punya penghasilan atau keuntungan yang sifatnya material untuk saya, di sisi lain banyak hal baik yang saya rasakan hanya dari dirinya... dan dia seorang laki-laki.”

“Seorang Nareswara? Suka laki-laki? Wah... orang tua kamu tahu?” Fanya bertanya. Tanpa menunggu jawaban Nares, gadis itu menjawab dirinya sendiri lebih dulu. “Gak mungkin lah, kalau tau pasti nasib kamu udah kayak... duh, siapa sih namanya? Yang diusir keluarganya?” Perempuan itu tampak berpikir keras. “... Mahesa? Dengar-dengar, dia juga suka laki-laki.”

Nares mengeraskan rahangnya mendengar itu. “Iya, keluarga saya belum tahu.”

Fanya mengetukkan jari-jari lentiknya di meja, matanya menatap Nares dengan jahil. “Hmm... ya udah deh, perjodohannya batalin aja. Nanti biar aku yang bilang ke Papa.” Perempuan itu mendengus. “Enak aja kamu yang bilang, seolah-olah aku yang ada kekurangan.”

Beban Nares seolah lepas begitu mendengar jawaban dari Fanya. “Terima kasih.”

“Harusnya kamu khawatir. Kalau pun gak ada aku, kamu selamanya tetap akan terkurung. Kalian tetap gak akan bisa bersama.”

”... Saya tahu.”

“Terus kenapa masih bersikeras berjuang untuk sesuatu yang pasti berujung sia-sia?”

Tanpa menunggu jawaban Nares, Fanya kembali membuka mulutnya. “Gak takut orang yang kamu suka itu malah menderita? Kamu tahu sendiri orang tua kita seperti apa.”

Nares tersenyum lirih. “Saya paham. Saya gak berniat untuk mengajak dia bersama. Saya cuma gak sanggup menikah dengan kamu di saat hati saya masih ada dengan dia.” Nares menatap lekat Fanya. “Itu gak adil, Fanya. Buat kamu, buat saya, buat dia.”

“Gak paham.” Fanya menggeleng-geleng, “Ya udahlah, gak peduli juga. Lagipula aku iya-in permintaan kamu cuma karena penasaran aja.” Perempuan itu menopang dagunya. “Pengen lihat apa yang akan terjadi kedepannya. Aku bakal tertawa paling keras kalau kamu bertingkah bodoh dengan mengaku di depan keluarga dan berakhir kehilangan segalanya. Tapi aku juga akan tertawa misal kamu ujung-ujungnya tetap menikah sama perempuan lain.” Ia mengulas senyum manisnya. “Yang pasti, kamu akan menyesal dengan keputusan kamu hari ini.”

Gadis itu mengambil tas yang ia taruh di kursi sebelah dan berdiri. “Udah, kan? Itu doang?”

Nares mengangguk. Ia ikut beranjak dari tempatnya duduk. “Terima kasih. Untuk perbincangan hari ini, boleh saya minta kamu untuk jangan bilang pada siapa-siapa?”

“Siap, dokter.”

Nares tersenyum. “Kita tetap rekan kerja, kan? Di luar semua kekacauan ini... kamu teman yang baik.”

“Tenang aja, iya kok. Aku gak akan minta Papiku berhentiin pekerjaan kamu.” Fanya tertawa. Gadis itu menggerakan kakinya beberapa langkah sebelum ia menoleh, memandang Nares.

Nares yang masih berdiri di tempatnya menatap Fanya heran. “Kenapa? Ada yang tertinggal?”

Fanya menggeleng. “Good luck! Aku tunggu dramanya! Jangan ngecewain, ya!”

Langit sudah mulai gelap, sementara itu Reksa baru saja selesai membersihkan rumahnya yang penuh dengan debu karena ditinggalkan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Memang sih, dia masih lemas karena baru saja sembuh, tapi lebih baik melawan rasa malas dan lemas ini daripada harus tidur ditemani kotoran dan debu di malam hari.


Pemuda yang baru saja menyelesaikan semua pekerjaan rumah itu keluar dari rumahnya untuk duduk di teras sambil membaca novel. Kebiasaan yang agak aneh bagi banyak orang, tapi untuk Reksa sendiri ini adalah kegiatan favorit yang selalu dilakukannya dulu. Dia jauh lebih senang menghabiskan waktu di teras rumah, tempat di mana banyak manusia dan kendaraan berlalu-lalang. Setidaknya, Reksa tak akan merasa sesendirian itu. Hanya saja, semenjak pindah ke apartemen Nares, kebiasaan ini ditinggalkannya karena... dia tak merasa kesepian di sana.

Duh, kenapa jadi membahas Nares lagi?

Reksa menggerutu kala sadar si pria yang membuatnya patah hati kembali hadir dalam pikirannya. Dua puluh satu tahun hidup tanpa seorang Nareswara dia baik-baik saja, masa hanya dalam jangka setengah tahun Reksa jadi tak bisa lepas dari pria itu? Memangnya handphone, bikin kecanduan?

“Eh, Nak Reksa akhirnya balik ke sini!”

Mendengar dirinya dipanggil, Reksa menoleh ke sumber suara. Senyumnya mengembang kala melihat tetangga lamanya. Ia langsung berdiri dan menghampiri perempuan berusia menengah yang berdiri di sana. “Bu Endah, apa kabar?”

“Baik, cuma kangen aja sama kamu. Udah lama gak lihat Nak Reksa, Ibu sampe nyariin ke mana-mana.”

Reksa menggaruk tengkuknya tak enak, “Iya nih Bu, ada enam bulan mah gak kesini. Omong-omong Ibu sampe nyariin aku emangnya ada sesuatu?”

Bu Endah langsung berdecak. “Itu, si Ibu téh dititipin paket sama keluarga kamu. Tapi pas mau ngasih kamunya gak ada mulu, sampé Ibu bingung ini paket mau dikemanain. Mana nomor kamu juga Ibu gak punya.”

“Hah?” Kening Reksa berkerut. “Keluarga... aku? Kapan, Bu?”

“Aduh, udah lama pisan! Enam bulan mah ada, sebelum kamu pindah! Cuma keluarga kamu maunya Ibu simpenin ini dulu, mintanya Ibu ngasih ke kamu beberapa minggu lagi tapi pas Ibu nyariin kamu buat ngasih kamunya geus pergi.”

“Keluarga aku yang mana dah, Bu?”

“Itu lah, yang mana lagi. Yang tiap Sabtu sering mampir ke sini nengokin kamu! Yang dari Jakarta. Siapa sih namanya... Ibu lupa. Pokoknya senyumnya manis pisan.”

Deg.

Betul juga, yang mana lagi? Sejak dulu keluarganya hanya ada Mama dan Om Jevan. Kemudian Mama pergi, dia ditinggalkan dengan Om Jevan. Sekarang, tinggal sisa dia sendirian.

“Maksud Bu Endah tuh, Om Jevan?” Tanya Reksa.

“Nah iya, éta!”

Reksa meneguk air liur dan sedikit menengadahkan kepala, berusaha mencegah indra penglihatannya kembali memproduksi air mata. Laki-laki itu mengepalkan tangannya yang sedikit gemetar. “Paketnya boleh saya ambil sekarang, Bu? Masih ada, kan?”

Tetangganya itu langsung menyahut antusias. “Masih atuh, Kang Kasép! Ibu nyimpenin buat kamu mah. Bentar Ibu ambil dulu ke rumah, aman masih disegel, gak dibuka-buka.”

“Nuhun, Bu...”

Tubuhnya melemas setelah sosok Bu Endah mulai menghilang dari pandangannya. Ia meremat pagar untuk menopang dirinya tetap berdiri tegak.

Apa isi paketnya? Kenapa Om Jevan meminta Bu Endah untuk menyimpannya berminggu-minggu dulu sebelum memberikan itu padanya?

Apa surat wasiat...?

Jadi, sudah berapa lama Om Jevan berencana untuk bunuh diri?

Ya Tuhan.

Rematan Reksa pada pagar rumahnya semakin kencang. Kepalanya menunduk, membiarkan air mata yang tak lagi dapat ia tahan menetes membasahi tempatnya berpijak.

Reksa tak sadar sudah berapa lama ia bertahan pada posisi itu, hingga akhirnya sang tetangga kembali membawa paket yang ia maksud. Hanya sebuah kotak kecil. Reksa menatap kotak itu lekat-lekat.

“Loh, Nak Reksa nangis? Itu matanya kenapa?” Bu Endah menatapnya heran. Reksa menggeleng kecil dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. “Gak apa-apa, Bu.”

Tetangganya itu memandangnya bingung, namun tetap menyerahkan kotak yang ia bawa ke tangan pemiliknya. “Kamu lagi ada masalah? Kalo mau cerita ke sebelah aja, ke rumah Ibu, ada anak Ibu juga si Taufik lagi balik dari Malang, kalian seumuran bisa ngobrol-ngobrol. Lamun aya masalah ulah dipendem sendiri (Kalau lagi ada masalah jangan dipendam sendiri).”

“Lain kali aja, Bu. Aku mau masuk dulu.” Ia memeluk kotak itu dalam dekapannya.

Setelah membungkuk dan merapalkan terima kasih, Reksa pun masuk ke dalam rumahnya.

“Masih ada barang bawaan lagi, gak, Sa?” Tanya Mahesa, supir pribadi hari ini, kepada Reksa.

Laki-laki yang lebih pendek beberapa centi darinya itu menggeleng. “Segini aja, Kak. Maaf ngerepotin, hehe.”

“Santai, Sa.” Mahesa tersenyum sambil menenteng tas terakhir dengan satu tangan. “Kalau gitu, apa kita berangkat sekarang aja? Biar lo juga cepet nyampe cepet istirahat.”

Reksa mengangguk. Ia menolehkan kepalanya ke belakang sekali lagi, menatap tempat yang ditinggalinya beberapa bulan ini untuk terakhir kalinya.

Tempat yang penuh dengan bayangan Nares di setiap sudut dan sisinya.

Kalau dia pergi dari sini, pasti rasa itu perlahan akan hilang, kan?

Semoga.


“Chan, kenapa?” Tanya Mahesa, menyadari aura kekasihnya langsung berubah begitu Reksa masuk ke dalam rumahnya.

Pertanyaannya itu hanya dijawab dengan gelengan kecil dan bibir yang semakin melengkung ke bawah.

Sambil mulai menginjak gas, Mahesa kembali mencuri pandang lewat kaca spion di mobilnya. “Duh, siapa ini yang bikin matahari punya Kakak meredup?”

“Gak usah gombal. Lagi gak mood.” Ketus yang ditanya.

Bukannya marah, Mahesa malah menarik kedua ujung bibirnya.

Gemas. Kok bisa, lagi kesal saja segemas ini?

“Kenapa, sih? Keinget skripsi?”

“IIH BUKAAN!” Erang Chandra semakin sebal. “Malah diingetin!”

“Terus kenapa, hm? Kan aku gak tau, kamunya juga gak mau kasih tau.”

“Aku tuh...” Chandra mengembuskan napasnya. “Aku tuh kesel banget sama temen kamu yang satu itu! Kok jahat banget, sih!”

“Siapa?” Mahesa mengerutkan keningnya.

“Siapa lagi? Ya Kak Nares, lah.”

Dahi Mahesa semakin mengkerut mendengar itu. “Emangnya dia ngapain kamu, yang?”

“Bukan ke aku, tapi ke Reksa. Kakak tadi liat gak, itu mata dia udah kayak bola tenis! Ditutupin pake apa pun juga tetep keliatan mukanya kusut banget. Terus tiba-tiba ngotot mau balik ke rumahnya yang dulu padahal jarak dari sini ke kampus jauh. Pasti lagi ada apa-apa dan pelakunya pasti temen kamu! Jangan-jangan dia udah bilang yang jahat ke Reksa.”

“Ya... kita di sini orang luar, Chan. Gak tau apa yang sebenarnya terjadi.” Mahesa memelankan laju mobilnya. “Bisa aja kejadiannya gak sesimpel yang kamu kira. Nares gak brengsek, kok. Dia teman aku, berarti teman kamu juga, dong. Kamu juga pernah ngobrol sama dia, kan? Dia bukan orang jahat, kok.”

“Ngaco, temen lo ya temen lo, temen gue ya temen gue. Temen lo nyakitin temen gue, masa gue gak boleh kesel sama dia?” Chandra memelotori si pengemudi dengan garang lewat kaca spion.

“Traktir aku kopi.” Ucap Mahesa setelah diam beberapa saat.

“Hah? Tiba-tiba banget? Kok ganti topik?”

“Sanksi. Barusan kamu bilang 'lo-gue' lagi.”

Chandra melotot. “GAK BISA GITU DONG? GU-AKU KAN LAGI EMOSI.”

“Bodo amat. Traktir. Kemarin-kemarin udah sepakat kan, kalau yang kelepasan make 'lo-gue' harus dapet sanksi? Apa kamu mau sanksi lain? Cium?”

“GAK, YA UDAH IYA AKU TRAKTIR, DASAR GURU BANGKE!”

Venti.”

“NGELUNJAK, YA!”

“Ssst, Reksa, bangun...”

”... Eung?”

“Sarapan dulu, terus minum obat.”

Laki-laki yang baru saja bangun itu pun dibenarkan posisi duduknya oleh Nares. Reksa menatap pria di depannya dengan perasaan campur aduk. “Mas Nares gak kerja?”

“Ngaco! Gimana caranya saya bisa kerja kalau kamu masih belum sehat?” Dumel Nares. Punggung tangannya menyentuh kening Reksa, “Sudah gak panas... tapi minum saja obatnya untuk jaga-jaga, ya?”

“Hm...” Gumam Reksa.

Nares mengambil semangkuk bubur dari atas nakas. “Buka mulutnya.”

Sedetik... dua detik... tiga detik... Reksa masih mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

“Reksa?” Nares memandang pria yang masih sakit itu. “Kamu harus makan dulu sebelum minum obat demam.” Jelasnya.

“Harus disuapin, emangnya?”

”... Kamu sudah gak lemas, memangnya?” Balas Nares. “Kamu masih sakit, sayang.”

“Gak usah panggil sayang-sayang, emangnya sayang beneran?”

Nares terdiam. “Maaf, saya gak bermaksud...”

Reksa lalu merebut mangkuk itu dan langsung menghabiskan isinya dengan lahap. Dalam beberapa kejapan mata, semangkuk kecil bubur itu langsung ludas.

“Nih!” Reksa menyerahkan kembali bubur itu, sementara Nares masih mengerjapkan matanya tak percaya. Senyumnya mengembang, “Kenapa tiba-tiba jadi berenergi lagi?”

Reksa membalas senyuman itu. “Iya, harus nurut sama Pak Dokter biar cepat sembuh. Abis sembuh bisa pergi dari sini.” Ia menundukkan kepala dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya, berusaha menyembunyikan netra yang sialnya mulai berkaca-kaca lagi.

”...Apa harus?” Nares terperangah, senyumannya lenyap dalam sekejap. Pria itu kini mengepalkan kedua tangannya.

Reksa mengangguk kecil. “Iya, harus. Aku mau benar-benar sembuh, dan pasti akan sulit kalau aku masih tinggal di sini. Mas Nares, tolong mengerti, ya?” Reksa terdiam sejenak. “Mas juga pasti risih tinggal serumah sama aku setelah tau semuanya.”

”... Jangan pindah.” Pinta Nares. “Kalau kamu gak mau lihat saya, biar saya yang pindah.”

Reksa mendongakkan kepalanya, “Mas pengen bikin aku tambah ngerasa gak tahu diri?”

Nares membelalakan matanya dan spontan menggeleng. “Bukan begi-”

“Lagipula Mas Nares udah kasih aku izin kemarin, ucapannya gak boleh ditarik lagi. Jangan rusak kepercayaan aku, ya?”

Pria yang lebih tua terpaku sesaat sebelum akhirnya mengangguk kaku. “Saya ambil obatnya dulu, ada di luar.” Ucapnya sekilas sebelum pergi meninggalkan Reksa.

Reksa memandang punggung yang menjauh itu sedih.

Memorinya kembali pada hari pertama dimana ia mengenal seorang Arsa Nareswara. Salah satu hari terburuk di dalam hidupnya.

Keduanya terpuruk, tapi yang lebih tua terus berlagak kuat demi menjaganya. Sampai-sampai ia kira Nares memang setangguh itu jika saja malam yang sunyi tidak memperdengarkan isakan pilu pria itu.

Pria ini, pria yang membuat hatinya tercabik-cabik ini adalah orang pertama yang menggenggam tangannya kala ia gemetar karena takut. Nares adalah yang pertama menyodorkan punggung demi melindunginya dari caci maki dan pukulan keluarganya. Padahal kala itu mereka hanya orang asing yang tak mengenal satu sama lain, tapi Nares rela memeluknya saat ia terkena serangan panik. Pria asing ini pula yang menawarkan diri untuk menjaganya tanpa membuatnya merasa rendah.

Bagaimana bisa ia tidak jatuh?

Reksa merasa dihargai, disayangi, dicintai.

Ia terlena hingga lupa bahwa semua ini terjadi hanya karena sepucuk surat permintaan dari pamannya yang baik.

... Iya, kan?

Pukul 18.43

Kedua mata Nares langsung membulat begitu melihat pesan yang dikirim Chandra. Ia spontan meminta izin untuk pulang lebih dulu dari rumah sakit dan menyetir pulang.

Sesampainya di rumah, yang menyambutnya pulang hanyalah kegelapan. Tak ada sapaan riang yang biasa didengarnya begitu pintu dibuka, tak ada pula omelan karena keteledorannya lupa mencuci piring di pagi hari.

Hening, sepi.

Ia menelan air liurnya susah payah, berusaha mengeluarkan nama itu dari tenggorokannya. “... Reksa?”

Tak ada balasan.

Pria itu melangkahkan kakinya di tengah kegelapan sambil mencari-cari letak kamar orang yang dicarinya. Tak begitu sulit, sebab matanya sudah beradaptasi dengan cahaya yang minim dan ia sudah hapal letak ruang di unit apartemennya.

Helaan napas lega keluar dari belahan bibirya kala ia menemukan ruangan yang dicarinya. Dilihatnya samar seorang laki-laki tidur menelungkup dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Kelegaan Nares yang singkat seketika tertutupi kembali dengan rasa cemasnya. Ia menghampiri sosok itu, menyentuh kening yang penuh peluh dengan punggung tangannya.

Panas.

Tanpa basa-basi, Nares bergegas mencari-cari termometer, yang langsung ditemukannya di nakas kecil di samping ranjang.

38,6 derajat.

“Reksa...” bisik Nares sambil menepuk bahu pria itu pelan. Sebagai hasilnya, yang dipanggil menggeliat tak nyaman dengan kening semakin berkerut.

“Kamu sudah minum obat?” Tanya Nares begitu Reksa membuka sedikit kelopak matanya. Pria yang sedang sakit itu menggumam kecil mengiyakan.

“Sudah lewat berapa jam? Obat yang ada di kotak P3K, bukan?”

Lagi-lagi gumaman asal yang menjawab pertanyaannya. Nares menggigit bibir bingung, sebelum memutuskan untuk mengambil handuk kecil dan sebaskom air hangat.


Pukul 20.46

Lengket. Pusing. Lemas. Tak nyaman. Kata-kata itulah yang ada di pikiran Reksa kala kesadaran mulai menghampiri. Susah payah, pemuda itu membuka setengah kelopak matanya, hanya untuk mendapati sosok yang tak dilihatnya dari kemarin tengah menatapnya juga.

Jika di hari-hari biasa, pasti Reksa merasa canggung dan langsung melenggang kabur.

Tapi kini tubuhnya masih terlalu lemas untuk itu, bereaksi pun sudah cukup memakan energinya.

Sementara itu, pria yang lebih tua sontak lebih mendekat pada oknum yang baru bangun itu. Dengan hati-hati, ia bertanya, “Reksa, ada yang sakit?”

Reksa mengangguk kecil sebelum kembali memejamkan matanya, enggan menatap orang di depannya lebih lama lagi.

“Di mana yang sakit?”

”... Semua...” Jujur Reksa. Setiap sel dalam tubuhnya mengerang kesakitan. Matanya masih bengkak, hidungnya sakit, kepalanya pusing akibat terlalu banyak menangis, seluruh tulang dan sendinya lemas, organ pencernaannya meraung karena belum diisi apa-apa hari ini. Yang terberat, jantungnya masih terasa tercabik-cabik, dan perihnya semakin terasa ketika ia dapat merasakan presensi Nares di dekatnya. Reksa tak pernah tahu bahwa seseorang dapat sesakit ini.

Nares yang mendengarnya langsung panik, “Kita ke rumah sakit, ya?”

Tapi ajakannya itu dibalas dengan gelengan lemah. “Mas... pergi aja...”

Seolah tak mendengar apa-apa, Nares tetap setia duduk di samping kasur. Mengangkat handuk yang sudah tak lagi dingin dari kening Reksa dan menggantinya dengan handuk yang baru.

”... Kenapa balik lagi?” Tanya Reksa.

Nares mengambil termometer digital dan mendekatkannya pada dahi Reksa.

37,9 derajat.

Sudah jauh lebih baik. Pria itu lagi-lagi menghembuskan napasnya lega sebelum mengelap peluh di keningnya sendiri dengan tangan.

“Reksa, kaki dan tangannya pegal ya, pasti? Mas pijit, ya?” Tawarnya.

“Mas beneran... mau anggap yang kemarin itu gak pernah terjadi, ya?” Reksa terus berucap. Kedua adam itu sama-sama tak mengindahkan pertanyaan yang dilontarkan satu sama lain.

Ruangan itu sesaat kembali hening, sebelum Nares memegang kaki Reksa yang dibalut celana piyama dan memijitnya pelan. Tak munafik, yang lebih muda merasa nyaman. Rasa sakit fisik yang menderanya berkurang sedikit, tapi dadanya semakin sesak. Kedua matanya seolah tak pernah lelah memproduksi air mata, karena sekarang miliknya sudah berair lagi.

“Mas Nares... Tapi aku gak bisa lupa...” Isak Reksa dengan suara yang masih parau. Tak lama kemudian, dirasakannya sepasang tangan yang lebih kasar dari miliknya mengusap kelopak matanya.

Reksa membuka netranya, lagi-lagi bersitatap dengan milik pria yang menyakitinya itu. Ia menunggu lontaran yang keluar dari mulut itu, tapi Nares hanya tersenyum kecut. “Reksa, baju kamu mau diganti? Takutnya sudah gak nya-”

Reksa mendorong tangan laki-laki itu, memotong ucapannya. Tak berguna, karena dirinya tak memiliki tenaga sama sekali saat ini. “Pergi aja.”

”...Apa?”

“Tolong pergi...” Reksa ingin berteriak, tapi suara seraknya tak dapat diajak berkompromi. Bulir-bulir air mata kembali menghiasi pipinya. “Tolong...”

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, enggan menatap Nares. Maka ia tidak tahu bahwa orang yang dipunggunginya kini tengah mengusap air matanya kasar sambil membekap mulutnya untuk menahan suara keluar dari sana.

Keduanya hancur.


Pukul 02.36

Reksa kembali terbangun, kali ini dia menemukan pakaiannya sudah diganti dengan yang baru. Ia menoleh, mencari keberadaan orang yang ia sendiri tak tahu apakah ia harapkan masih berada di sini. Tak perlu effort lebih, karena begitu ia memutar balikkan tubuhnya ia langsung melihat Nares, masih dengan pakaian yang sama seperti hari sebelumnya, tengah menatapnya juga.

Dengan pandangan yang masih belum bisa Reksa artikan.

Mendapati orang yang dijagainya telah bangun, Nares langsung beranjak meninggalkan kamar. Reksa sempat mengerutkan keningnya bingung, namun pertanyaan di benaknya langsung hilang begitu Nares kembali dengan semangkuk kecil bubur yang... Reksa akui wangi, tapi dia tak berselera.

“Reksa, makan dulu sedikit, ya?” Sahut Nares sambil membenarkan posisi Reksa agar duduk bersandar di kasurnya. “Supaya bisa minum obat.”

Reksa menggeleng enggan.

“Sedikit saja... beberapa suap, ya?”

”,,, Kalau aku nurut...” Reksa memandang Nares, “Mas bakal turutin permintaan aku?”

“Reksa-”

“Gak akan aneh-aneh. Gak bakal minta Mas Nares suka balik sama aku.” Reksa tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. “Aku masih tau diri.”

“Jangan bicara seperti itu.” Nares menggigit gusinya keras guna menahan rasa perih yang menjalar di dadanya. “Saya janji, turutin permintaan kamu asal kamu sembuh.” Sambil berkata begitu, ia mulai menyendokkan bubur dan membawa mangkuknya mendekati bibir Reksa.

Baru beberapa suap, yang lebih muda sudah tak mau lagi membuka mulutnya. “Udah, Mas. Mual.”

Nares mengangguk mengerti sambil melirik jam dinding. “Lima belas menit lagi minum obat. Sekarang mau lanjut tidur dulu?”

Reksa menggeleng. “Udah gak ngantuk...”

Nares kembali menempelkan punggung tangannya di dahi pasiennya ini. “Sudah gak begitu panas.” Gumamnya. “Masih ada yang sakit?”

“Di sini...” Reksa menuntun tangan Nares yang satunya lagi ke dadanya. “Pak Dokter, di sini dari kemarin sakit banget. Gimana ngobatinnya, ya?” Reksa tertawa lagi, kali ini lagi-lagi matanya yang cengeng mulai berair. Nares di depannya diam beberapa saat sebelum berucap pelan. “Reksa, maaf.”

Tak ada jawaban. Mereka diam di posisi itu seakan-akan jam berhenti berdetak. Hingga akhirnya Nares menarik tangannya kembali. “Sudah waktunya minum obat.” Ia berdiri, “Saya ambilkan minum dan obatnya dulu.” Dalihnya untuk pergi.

Reksa menatap punggung itu nanar. Dalam hatinya ia berhitung, sudah berapa kali ia melihat punggung Nares yang meninggalkannya?

Beberapa menit setelahnya, Nares kembali. Reksa pun meminum obatnya dengan patuh, menjalankan janji yang telah disepakatinya dengan yang lebih tua. Di malam ini, untuk pertama kalinya Nares tersenyum tulus, lega melihat Reksa sudah lebih berenergi. “Sekarang lanjut tidur, ya? Jangan takut. Saya tetap di sini.”

“Oke... Tapi Mas...” Reksa menunduk.

“Iya?”

“Nanti aku boleh pulang, ya? Ke rumah Mama. Aku mau tinggal sendiri aja.”

Nares tercekat. “Reksa, kita bicarakan ini nanti, ya? Kamu sembuh du-”

“Mau pulang, mau ke rumah Mama.” Ucap Reksa susah payah dengan suara bergetar. “Gak mau di sini lagi... Mas, tolong...”

”... Boleh.” Balas Nares pada akhirnya. “Boleh, sayang. Sekarang istirahat, ya?” Bisiknya sembari mengelus rambut Reksa yang sudah basah karena peluh. “Cepat sembuh, supaya Reksa nanti bisa lekas pulang.”

Setelah memastikan kedua mata Reksa sudah terpejam rapat, pria itu mengambil termometer untuk terakhir kalinya, memastikan bahwa suhu tubuh Reksa benar-benar sudah turun.

37,6 derajat. Ia menghela napas lega untuk kesekian kalinya, sebelum melenggangkan kakinya menjauhi kasur. Begitu hampir membuka kenop pintu, Nares teringat janjinya untuk tetap berada di sini, janjinya menjaga Reksa kala pemuda itu tidur. Akhirnya, ia memilih untuk duduk di ujung ruangan, pada permukaan lantai yang dingin dengan punggung bersandar pada dinding. Tangisnya perlahan terpecah seiring dengan suara dengkuran Reksa.

Ia bersalah, ia pendosa. Ia menyalahi norma, juga menyeret Reksa hingga keduanya sama-sama jatuh.

Nares berani bersumpah, sekali pun tidak pernah terlintas di benaknya untuk menyakiti Reksa, tapi dia tak sanggup melihat kesayangannya itu disakiti lebih dalam oleh orang lain, oleh ancaman dari orang-orang di sekitarnya.

Cukup satu orang yang ambil peran jahat dalam kisah ini, jangan ayahnya, jangan orang lain.

Biar ia yang dibenci oleh kesayangannya itu, asal bukan Reksa yang menjadi target kebencian dari keluarganya.

Reksa keluar dari kamar mandi setelah membersihkan tubuh dan mengenakan piyamanya. Dilihatnya Nares masih terduduk di sofa dengan mata terpaku pada handphone yang dipegangnya. Pipi Reksa memunculkan semburat merah muda kala mengingat pelukan Nares tadi.

Maksudnya apa peluk-peluk?

Kalau Reksa baper, yang salah siapa?

“Ehem.” Reksa berdeham, mengambil tempat duduk di samping yang lebih tua. Yang membuatnya lagi-lagi kebingungan, Nares langsung bergeser menjauhinya.

Bentar-bentar, ini kenapa lagi? Tadi nempel-nempel, sekarang jauh-jauh.

Reksa menyipitkan kedua matanya sebal. “Ngapain geser? Emangnya aku hama?”

Tak ada jawaban. Oke, Reksa tambah kesal. “Aku ada salah sama Mas? Kapan? Aku ngapain?”

Masih tak ada jawaban. Laki-laki yang diajaknya berbicara itu bahkan tak sudi menengok ke arahnya. Reksa tertawa miris. “Silent treatment lagi?”

Mendengar itu, akhirnya Nares menoleh. Reksa menatap wajah lesu itu lekat-lekat sambil bertanya-tanya dalam hati, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.

”... Maaf, Reksa. Bisa biarkan saya sendiri dulu?”

Tidak. Bukan ini jawaban yang diinginkan Reksa.

“Gak bisa. Mas Nares kenapa? Aku bikin salah apa lagi?”

“Bukan salah kamu, saya hanya sedang lelah.”

“Bohong.” Reksa mendengus. “Apa karena aku pulang malam?” Tanyanya. “Karena handphone aku mati? Kenapa? Chandra bilang Mas Nares khawatir banget. Tadi juga meluk a-”

“Reksa.” Potong Nares. “Saya mohon, yang tadi jangan dibahas kembali.”

“Kenapa gak boleh?” Reksa mencoba menggenggam lengan Nares, tapi langsung ditepis oleh pria itu. “Mas Nares bikin bingung tau, gak? Tadi pagi cuekin aku, terus waktu aku pulang... meluk, dan sekarang jadi aneh lagi.”

”... Maaf. Lain kali saya gak akan begitu lagi.” Ujar Nares.

“Begitu apa?”

“Peluk kamu sembarangan. Saya minta maaf.”

Reksa berdecak. “Mas ngerti gak sih, aku bukan kesel gara-gara itu? Aku gak keberata-”

“Saya yang keberatan.”

“Apa?” Reksa memandangnya tak percaya, sementara oknum yang ia pandang mengusap wajahnya frustasi.

“Saya yang keberatan, Reksa. Ini salah.”

“Apa yang salah?”

“Semuanya salah, Reksa. Salah saya.”

“Aku nggak ngerti Mas ngomong apa...”

Nares menghela napas kasar. “Reksa, maaf.”

“Mas kenapa, sih?!” Tanpa sadar, Reksa meninggikan suaranya. “Aku nggak ngerti Mas Nares kenapa minta maaf terus.” Ia mencengkeram lengan Nares, “Ada apa?” Tanyanya.

Yang dicengkeram langsung berusaha melepaskan lengannya dari genggaman pria di sebelahnya, namun percuma. Kedua tangan Reksa menggenggam lengannya erat.

Nares baru akan protes, namun napasnya sontak tertahan ketika sadar bahwa jarak antara dirinya dan Reksa kini sangat rapat, dengan muka laki-laki yang lebih muda mendongak ke arahnya. Mata mereka bersitatap, dan yang lebih tua mengaku kalah. Nares memiringkan kepalanya, menghindari tatapan intens dari kedua netra milik Reksa. “Reksa, lepas. Jangan begini.”

“Gak mau.”

“Reksa, ini... gak seharusnya.”

“Apa yang gak seharusnya, Mas?!” Reksa ikut frustasi. “Tolong bilang dengan jelas!”

“Kita, Reksa, kita yang gak seharusnya!”

Kalimat itu berhasil membuat Reksa membatu di tempat. “... Apa?”

Nares tergagap. “M-maksud saya...” Ia mengepalkan tangannya. Sudahlah, kepalang tanggung. Pria itu dengan lihai meloloskan dirinya dari genggaman Reksa, dan kali ini berhasil karena si penggenggam masih terpaku. “Ini. Pelukan. Rangkulan. Genggaman.” Ujarnya. “Tolong dikurangi. Ini gak wajar, Reksa, gak seharusnya. Orang lain bisa salah paham.”

“Bukannya dari dulu kita begini?” Reksa menggigit bagian dalam dari pipinya guna mengurangi rasa ngilu di dalam hatinya. “Lagipula, siapa yang salah paham?” Tanyanya sembari menilik netra Nares sedalam mungkin, seolah-olah ia akan mendapat jawabannya dari kedua manik yang terus menghindar itu. “... Kak Fanya?”

Nares membelalak, ia kembali beralih memandang Reksa dengan mata yang membola. Reksa terkekeh, “Benar, ya?” Ia mendekati teman pamannya itu. “Salah paham apa, emangnya, Mas?”

“Rek-”

“Salah paham kalau kita... pasangan?”

Nares langsung berdiri dari tempatnya duduk. “REKSA!”

Reksa mendongak ke atas, melihat pria itu. “Apa? Aku kan cuma nanya?”

Nares memijit dahinya. “Reksa, gak usah bicara lagi. Pikiran kamu sudah melantur ke mana-mana.”

“Tapi benar, kan? Itu yang Mas takuti? Takut kita dikira pacaran?”

Hening. Reksa kembali tertawa. Pria berusia dua puluh satu tahun itu dapat merasakan hatinya kini luka, teriris-iris setiap kali dirinya membuka mulut. “Gak salah, kok. Kita memang kadang kelihatannya kayak pasangan.” Lanjutnya lagi. Matanya masih setia menatap Nares yang raut mukanya kini tak dapat Reksa baca.

Reksa menertawakan dirinya dalam hati. Otaknya terus memberi sinyal agar ia segera menghentikan pembicaraan ini dan kembali bersikap layaknya keponakan yang baik.

Tapi, memangnya masih keburu?

... Sudah terlanjur, rasanya sudah telat untuk kembali mundur. Lagipula, Reksa pun mulai letih menikmati kebahagiaan yang semu ini.

“Mas Nares, yang waktu itu bukan dare.” Ungkap Reksa dengan lantang setelah menarik napas dalam-dalam. Tangannya yang berkeringat mengepal keras, namun ia berusaha setengah mati agar suaranya tidak bergetar.

”... Apa?” Nares terkejut. Ia menatap Reksa tak percaya... dan takut.

“Aku beneran jatuh, benar-benar suka sama Mas Na-”

“Ya Tuhan...” Nares menutupi wajahnya dengan kedua tangan, “Reksa, stop. Jangan dilanjutkan lagi.”

“Aku suka sama Mas Nares!” Reksa kini ikut berdiri. “Kenapa aku gak boleh bilang suka?”

“Reksa, tolong lihat baik-baik siapa saya.” Nares mengangkat dagu Reksa.

”... Mas Nares.”

“LIHAT BAIK-BAIK!”

Mata Reksa mulai berair. “Aku tahu... aku tahu. Yang di depan aku Mas Nares, Nareswara... temannya Om Jevan.”

“Saya sudah pernah bilang, bukan? Saya hanya pengganti Jevan. Menggantikan dia sebagai orang tua kamu.” Rasanya Nares juga ingin menangis. “Reksa, tolong jangan buat semuanya menjadi semakin sulit.”

Satu butir air mata berhasil lolos menuruni pipi laki-laki yang lebih muda. “Sulit? Aku cuma suka sama Mas Nares, kenapa aku bikin semuanya sulit? Bukannya suka itu wajar?”

“Gak mungkin, Reksa. Kamu pasti salah paham. Kamu cuma... kekurangan kasih seorang Ayah, kamu cuma salah mengarti-”

PLAK!

Reksa tak pernah menyangka suatu hari dirinya akan menampar pria di depannya. Seorang Arsa Nareswara yang ia elukan selama ini.

Saat ini, kedua pipinya sudah penuh dengan bekas cairan yang meleleh dari ujung kedua matanya. “Kamu siapa?” Reksa tertawa, suaranya pecah. “Kamu siapa, lebih tau tentang perasaanku dari pada aku sendiri.” Ia menekan telunjuknya di dada kiri Nares yang kini terperangah. “Mas Nares, silahkan merasa marah dan jijik, tapi jangan sok tahu. Pun gak perlu panik dan repot., toh, aku gak pernah berharap apa-apa. Mas Nares sendiri sudah bilang kalau kita itu gak mungkin.” Reksa terdiam. “Ah, sejak kapan ada 'kita'?”

Sakit. Sepersekian detik, Reksa melihat sakit dalam manik Nares. Namun semuanya hilang dalam sekejap. Nares menundukkan kepalanya. “Reksa, sudah larut malam. Kamu gak bisa berpikir jernih. Saya akan anggap pembicaraan malam ini gak pernah terjadi.” Ujar Nares final sebelum ia melangkah meninggalkan Reksa sendirian di unit apartemen sementara dirinya... lagi-lagi memilih kabur.

Begitu sosok Nares lenyap bersamaan dengan suara pintu yang ditutup, Reksa lantas ambruk, terduduk lemas di lantai.

Matanya kosong, pikirannya berkecamuk.

Reksa sadar, ia bertindak impulsif, lagi.

Tapi untuk kali ini, Reksa tidak menyesal. Cepat atau lambat, hari ini memang sudah ditakdirkan akan datang, bukan?

Tak ada rasa sesal, tapi air matanya terus mengalir deras. Pemuda itu menenggelamkan wajah sembabnya di antara kedua lutut, berharap dapat menyembunyikan isakan tangisnya yang tak dapat berhenti.

Reksa mengerang kesal sambil mematikan alarm yang berbunyi tak begitu nyaring namun berhasil mengganggu tidur nyenyaknya. Ia melirik angka yang terpampang di ujung kanan layar ponselnya... masih pukul setengah tujuh. Kelas pagi benar-benar menyebalkan!

Masih menggunakan piyama garis-garis, Reksa keluar dari kamarnya, berencana untuk segera bergegas mandi. Namun, gerakannya terhenti kala sadar ada sosok lain yang berdiri di ruang tamu, tampak sedang merapikan pakaiannya. Reksa mengerutkan dahinya bingung.

”... Mas Nares? Jam segini udah mau berangkat?”

Aneh. Biasanya jam segini masnya itu masih terlelap di ruangannya.

Orang yang dipanggilnya itu menoleh, dan sekali lagi berhasil mengejutkan Reksa.

Sebelum Nares sempat berbicara, pria yang lebih muda itu sudah lebih dulu melangkah maju sambil tetap mengikat tatapannya dengan Nares.

“Yang bener aja, Mas mau berangkat kayak gini?” Reksa menarik pelan jubah putih yang dikenakan Nares dengan tangan kanannya. “Ini udah disetrika belom? Nah loh ketahuan, itu kemejanya juga masih kusut, ih!”

Lagi-lagi tak menunggu jawaban keluar dari belahan bibir pria yang ia tanya, Reksa sudah berjinjit, tangannya yang lain menyentuh rambut Nares. “Ini... gak disisir?” Reksa melotot. “Jangan bilang Mas Nares belum cuci muka juga? Tumben jorok!”

Satu detik... dua detik... Reksa meneguk ludahnya. Tatapan Nares melekat pada dirinya, tapi pria itu masih bungkam. Perlahan, Reksa melangkah mundur, ingin bersembunyi dari tatapan intens yang diberikan oleh Nares. “Kenapa Mas, buru-buru sampai kayak gini? Ada sesuatu di rumah sakit?” Sambil bertanya, ia memalingkan kepalanya ke arah jam dinding.

Bener kok, masih jam setengah tujuh... Biasanya juga berangkat paling pagi jam delapan...

Kala Reksa masih berpikir, akhirnya Nares mengeluarkan suara.

“Benar... aneh, ini salah. Gak seharusnya begini...” Gumam Nares dengan kedua maniknya masih tak terlepas dari laki-laki di depannya.

“Hah? Apa? Gimana?”

Nares menggeleng. “Saya pergi dulu.” Ia melepaskan tangan Reksa yang masih menggenggam ujung jubahnya.

“Eh, lho, Mas udah sarapan, belum?” Reksa ingin memastikan. Namun, yang menyahuti pertanyaannya hanyalah suara pintu ditutup.

Nares sudah pergi.


Nares masih setia menunggu di depan pintu unit apartemen miliknya. Matanya menatap lekat benda berbentuk segi empat yang ia genggam erat, berharap segera mendapat kabar tentang orang yang kini tengah ia nantikan.

Jarum jam bergeser, tanggal pun sudah berganti, Nares masih setia berdiri di sana, menunggu kehadiran Reksa. Kantung matanya semakin hitam, tapi jelas ia tak berselera untuk tidur.

Entah pada pukul berapa, suara langkah kaki terdengar. Pelan, tapi cukup jelas di lorong yang hening pada dini hari. Nares menengadahkan kepalanya. Tanpa ia sadari, napas lega dihembuskannya kala melihat sosok yang sedari tadi dikhawatirkannya. Tadinya Nares sudah berniat marah, tapi semua emosinya lenyap, terbang dibawa angin malam. Dilihatnya Reksa berjalan menghampirinya sambil membawa tas ransel yang cukup besar. Tidak, tidak. Pria kecil itu berjalan terlalu lama. Nares tak sanggup menunggu lebih lama lagi.

Seolah bergerak refleks, Nares menggerakan kaki jenjangnya dengan cepat. Begitu berhasil mempersempit jaraknya dengan Reksa, ia segera memeluk tubuh kecil itu erat-erat, melampiaskan kecemasan yang sudah dipendamnya sejak beberapa jam lalu.

“Eum?” Reksa yang tenggelam dalam pelukan itu menggeliat kebingungan. “Mas Nares belum tidur?”

Tadi pagi ngehindar, kenapa sekarang nempel kayak lem... Gerutu Reksa dalam hati.

“Lepas dulu coba. Aku kotor nih dari luar, belum mandi...” Reksa mendorong pelan tubuh di depannya. “...Eh?” Ia terkejut begitu Nares tiba-tiba langsung menurut, melepaskannya dan menjauh dengan ekspresi yang tak bisa dia artikan.

Ya iya, dia memang minta dilepaskan, tapi bukan berarti dijauhi seperti virus yang berbahaya.

“Mas Nares?” Reksa melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajah Nares yang memucat.

”... Kamu kenapa pulang telat?” Akhirnya Nares membuka mulut. Reksa langsung lega mendengarnya. Ia sempat mengira sosok di depannya itu makhluk halus!

“Tadi kerkom rencananya cuma nyicil dikit-dikit, tapi ngerasa tanggung terus jadi aku bablas, terus...”

“Kenapa handphone kamu mati?”

Reksa membelalakan kedua netranya. Omongannya dipotong?! Seorang Nareswara?! Menyela orang yang sedang berbicara?!

Reksa menggigit bibir dalamnya pelan. “Tadi habis batre, aku lupa bawa...”

“Jangan diulangi lagi.” Ucap Nares dingin, sebelum membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam apartemen, meninggalkan Reksa yang masih mematung.

“Serius deh, perasaan gue kemarin gak salah apa-apa. Kenapa Mas Nares aneh banget hari ini.” Omel Reksa jengkel sambil mengejar Nares untuk ikut masuk ke dalam apartemen.

Saat itu pula Nares tersadar, betapa pentingnya peran Reksa dalam hidupnya. Dia sudah jatuh entah sejak kapan. Mungkin ketika Jevan menceritakan betapa menyenangkannya keponakannya yang tinggal di Bandung, mungkin ketika air mata Reksa menetes di rumah sakit, mungkin ketika Reksa menawarkannya bahu untuk beristirahat. Nares sendiri tak tahu pasti. Tapi... apa boleh begini?

“Reksa, sudah bangun?” Nares seketika berdiri begitu melihat pria mungil itu keluar dari dalam kamar. Sayangnya, perhatian Reksa hanya tertuju pada wanita yang duduk manis di sofa.

“Di dapur sudah ada makan malam, mungkin sudah agak dingin, sebentar, saya panaskan du...”

“Nares, ini siapa?” Wanita yang sedari tadi terduduk anggun akhirnya berdiri dan mendekati Reksa. Kedua maniknya bertubrukan dengan milik pria yang baru saja bangun itu. Perempuan itu menarik ujung-ujung bibirnya, membentuk senyuman yang, bagi Reksa, manis sekali.

“Oh... ini... keponakan saya.” Nares menggaruk tengkuknya.

“Oh, ya? Aku kira kamu tinggal sendirian. Ayah kamu gak bilang kamu tinggal berdua sama keponakan.” Perempuan dengan senyum menawan itu mengulurkan tangannya pada Reksa. “Salam kenal, saya Fanya.”

“Ini rekan kerja yang saya bilang akan datang hari ini, Reksa.” Tambah Nares sambil menatap Reksa.

Satu detik, dua detik, tiga detik.

Reksa hanya menatap tangan yang disuguhkan di depannya tanpa menyambut uluran itu, membuat hawa di antara mereka bertiga mendingin dalam sekejap.

Senyum manis Fanya pun perlahan memudar.

“Eh... sepertinya Reksa masih linglung karena baru bangun...” Nares terkekeh. “Reksa? Kamu mau makan dulu saja?”

Tak ada jawaban. Nares berdeham canggung dan mengalihkan tatapannya pada wanita yang masih berdiri kaku di sampingnya. “Emm... Fanya... terima kasih untuk kue dan sayurnya. Saya akan mulai kerja Senin besok. Sepertinya sekarang sudah cukup malam, gimana kalau...”

“Ah... oke!” Fanya kembali memamerkan gigi putihnya, menyahuti Nares. “Aku pulang dulu aja, ya? Kayaknya gak baik masih di sini sampai jam segini.” Ia mengambil tas jinjingnya dari sofa.

Nares mengangguk. “Mari saya antar ke depan.”

“Sampai jumpa lagi, Reksa!” Fanya melambaikan tangannya ramah sebelum mengikuti Nares ke pintu depan.

“I-iya...” Jawab Reksa pelan, sampai-sampai mungkin tak terdengar oleh Fanya, apalagi Nares.

Begitu kedua bayangan itu hilang dari jangkauannya, Reksa menghembuskan napasnya. Entah karena lega kedua orang itu akhirnya hilang dari pandangan, atau khawatir Nares akan marah ketika kembali nanti.

Sepertinya lebih karena kemungkinan kedua.

Tolong jangan salahkan Reksa, dia pun baru saja bangun, otaknya tak bisa mencerna semua ini dalam sekejap. Suara tertawa Nares, kehadiran Fanya...

Ah, tidak juga. Reksa sudah cukup dewasa untuk tahu bahwa apa pun alasannya, tak seharusnya ia bersikap tidak sopan seperti barusan.

Apalagi pada gadis dengan senyum indah seperti Fanya.

Apalagi dia bukan siapa-siapa.

Ya sudahlah, paling-paling Nares akan mengacuhkannya lagi seperti pagi tadi. Reksa menggeleng-geleng sambil tertawa. Baru saja berbaikan tadi siang, tapi dia sudah lupa diri lagi. Dia kan hanya menumpang, bisa-bisanya bertindak begitu pada tamu sang tuan rumah.

Tapi Reksa cemburu.

Tapi balik lagi, dia bukan siapa-siapa.

Reksa masih bergelut dengan pikirannya begitu suara langkah kaki kembali hadir. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya di dalam poni yang cukup panjang, berharap tak perlu berhadapan dengan Nares.

“Reksa, makanannya saya hangatkan dulu di microwave, ya?”

Reksa mendongakkan kepalanya cepat, menatap Nares yang sudah berlalu melewatinya menuju ke dapur.

Tak ada bentakan, bahkan dia tak dianggap angin lalu.

”... Atau kamu mau makan kue yang tadi dikirim Fanya?” Tanya Nares dari dapur.

Reksa spontan menolak. Ia menghampiri Nares dan mengambil piring berisi makan malam dari tangan pria itu. “Aku bisa sendiri.”

Nares menyenderkan punggungnya pada dinding, menyilangkan kedua lengannya di depan dada sambil mengamati Reksa yang tengah menunggu makanan dipanaskan di microwave.

Reksa tentu tahu dirinya sedang dipandangi, tapi dia berlagak seolah tak sadar.

“Kamu marah sama saya? Kenapa diam terus?” Tanya Nares setelah beberapa saat.

Reksa mengerutkan dahinya, kedua maniknya lebih memilih untuk menatap lantai daripada bersitatap dengan laki-laki yang mengajaknya bicara. “Aku kira Mas Nares yang seharusnya marah sama aku.”

“Kenapa saya harus marah sama kamu?”

“Aku tadi gak sopan...”

Nares menepuk rambut Reksa pelan, “Fanya gak mempermasalahkan, kok.”

Reksa menggigit lidahnya. Oke, jadi Nares tak marah karena Fanya yang berhati besar. Kalau begitu, sepertinya Reksa harus berterima kasih pada wanita itu, ya?

“Tapi kamu lain kali tidak boleh seperti itu, Reksa.” Lanjut Nares. “Kamu sendiri sadar itu bukan perbuatan sopan.”

Reksa menundukkan kepalanya semakin dalam, mengacuhkan tatapan Nares yang masih berpusat pada dirinya. “Maaf.”

“Gak apa-apa.” Nares menepuk-nepuk bahu Reksa pelan. “Kamu jangan nunduk terus, dong. Itu microwave-nya sudah bunyi. Keluarkan makanannya.”

Reksa mengangguk, mengikuti perintah Nares dan membawa makanan yang sudah hangat itu ke meja makan untuk ia santap. Seperti anak ayam mengikuti induknya, Nares mengekori Reksa, mengambil kursi di hadapan pria itu, dan tetap memandangi wajahnya ketika ia sibuk makan sampai Reksa tak tahan lagi. Dahinya mengkerut hingga kedua alisnya hampir membentuk satu garis. “Mas Nares jangan lihatin aku terus, dong! Gimana aku mau makan kalau dipandangin mulu!”

Pria yang duduk di depannya itu tergelak. “Akhirnya Reksa balik marah-marah lagi.”

”...” Reksa bingung harus menjawab apa, maka ia memilih kembali fokus menghabiskan masakan Nares daripada harus menanggapi pria di hadapannya.

“Saya benar-benar minta maaf untuk hari ini.” Nares membuka bibirnya lagi. Ia diam-diam menggosokan kedua tangannya di bawah meja untuk mengurangi rasa gugup. “Saya sudah buat kamu sedih dari pagi. Seharusnya juga saya gak mempersilahkan tamu seenaknya datang padahal salah satu penghuni rumah ini masih tidur.”

Reksa tersedak mendengarnya.

“Ini kan rumah Mas Nares, terserah Mas aja mau bawa siapa ke rumah.”

“Kamu juga tinggal di sini.”

“Aku cuma numpang...” Reksa menelan makanan yang tersisa di mulutnya. “Lagipula Mas Nares udah bilang tadi siang, akunya aja yang lupa. Terus nge-blank.”

“Intinya, kamu mau maafin saya?”

Reksa mengangkat bahunya. “Gak ada yang perlu dimaafin. Mas Nares gak salah apa-apa.”

“Berarti kita damai?” Nares memastikan.

“Sejak kapan kita gak damai?”

Nares memajukan bibirnya. “Kalau damai, kenapa kamu beda dari biasanya?”

“Beda gimana?”

“Ya... beda, gak banyak protes, gak banyak ngomel, gak banyak marah-marah...”

Reksa menyipitkan matanya sebal. “Kok yang disebut yang jelek-jelek? Kalo gitu harusnya Mas seneng, dong! Aku gak ngeselin kayak biasanya!”

“Harusnya sih, iya. Tapi kok saya malah rindu, ya...”

”...”

”...”

“AKU UDAH KENYANG! MAU LANJUT TIDUR DULU! DADAH!” Tanpa menghiraukan tatapan Nares, Reksa bergegas memasukkan sisa makanan ke dalam kulkas dan langsung melenggang pergi, meninggalkan Nares yang kebingungan sendirian.

“Saya salah bicara lagi...?”