JeJeJJ

Diambil dari ingatan Bian Langit Angkasa.

Dunia ini lucu sekali, aku sering mendengar kalau dunia ini berputar, bahwa tak selamanya kita ada diatas dan tak selamanya kita ada dibawah, namun dari kasusku sepertinya dunia itu tak lagi berputar namun dibanting hingga hancur menjadi berkeping-keping.

Tiga tahun berlalu, namun aku masih tak bisa menerima diriku yang sekarang ini, sejak insiden hari itu aku kehilangan tangan kananku, iya, kalian boleh memanggilku sebagai bocah cacat dan aku tidak akan mengelaknya, karena begitulah kenyataannya, yang bahkan masih belum bisa aku terima.

Aku masih ingat bagaimana mengejar gadis-gadis pujaanku, aku juga masih ingat bagaimana serunya dunia malam dan menghabiskan banyak waktu dengan teman-teman, lebih dari segalanya aku masih ingat bagaimana rasanya mengerjakan sesuatu dengan kedua tanganku, rasanya sangat aneh sekali disaat kamu terbiasa mengerjakan apapaun dengan kedua tanganmu, kini hanya tersisa satu.

Sejujurnya aku lebih kasihan pada mama, aku adalah anak lelaki satu-satunya yang ia punya setelah kepergian mendiang ayah, aku merasa tak berguna dan merasa tidak bisa apa-apa, jangankan untuk datang ke kantor perusahaan mama, untuk keluar rumah saja aku takut, aku tahu dunia ini kejam, aku tak mau mama malu melihat anaknya yang hanya bertangan satu menjadi konsumsi publik untuk mengais pundi-pundi uang, selain itu aku juga tak suka dikasihani.

Penderitaanku tak berhenti disitu saja, ketika Cinta mengembalikan cincin yang aku berikan padanya, aku sudah paham dan mencoba melepaskannya, pasti ia malu dan tak ingin punya suami yang cacat sepertiku. Sejujurnya aku lebih mengasihani mama daripada diriku sendiri, rasanya begitu asing ketika dunia yang kamu tapaki berbeda 180 derajat dengan kehidupanmu yang sempurna beberapa tahun lalu, dan sekarang aku hanyalah seorang lelaki tak berharga yang selalu mengurung diri di kamar dan menangis ketika malam.

Aku masih berharap kalau ini adalah sebuah mimpi buruk belaka yang ketika aku terbangun semuanya akan hilang, namun aku berkali-kali terbangun di tengah malam dan menyadari kalau ini adalah kenyataan yang harus aku terima, kenyataan pahit yang selalu menghantui hari-hariku.

Seperti pagi ini, mama menyempatkan untuk mengambil cuti dari kantor karena seseorang yang membantuku menghabiskan waktu dirumah ketahuan mencuri uang mama, sudah tak terhitung hal ini terulang bahkan aku pernah bilang ke mama kalau aku tidak apa-apa tinggal dirumah sendirian, namun mama menolaknya, dan seperti inilah sekarang, aku di kamar, mama di ruang tamu dengan beberapa orang yang mendaftar untuk menjadi babu seorang pemuda cacat dan menunggu dipecat mama karena tahuan mencuri, begitulah siklusnya, tidak ada yang benar-benar tulus untuk bekerja disini apalagi berteman denganku, yang mereka inginkan hanyalah uang, uang dan uang.

ingatan Bian Langit Angkasa

Selamanya, aku benci sebuah penolakan.

Aku membencinya sebanyak Sri Rama membenci Rahwana, sedengki Siti Nurbaya kepada Datok Maringgi.

Hidup di keluarga yang merampas semua kebebasan yang ku punya, bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kali aku memilih pilihanku sendiri.

dulu, ketika aku duduk dibangku sekolah, aku berpikir kalau hanya angka dan huruf yang bisa membantuku mendapatkan nilai-nilai terbaik dan membanggakan orang tua, namun perlahan keyakinanku mulai pudar. Mereka tak puas hanya mendapatkan angka-angka itu, bahkan saat ini kebebasanku yang aku miliki sejak tiga tahun lalu, sejak aku memilih pergi ke Semarang, kembali dirampas.

aku tahu, langit tak selamanya biru, terkadang ia kelabu sebagai pertanda kalau badai akan datang.

dan aku tersadar, kalau kebebasan yang aku miliki, hanyalah kebebasan semu yang suatu saat bisa mereka ambil dan mereka hancurkan di depan kakiku sendiri.


Waduk Sempor, Wonosobo. 16:30 Pm

Aku berangkat dari Semarang ketika matahari sedang ada di puncak atas kepala, jadi saat ini aku sudah sampai di Wonosobo.

Hanya terpaut beberapa jam saja nyatanya matahari sudah bersembunyi dibalik awan yang tak juga menurunkan hujannya.

Aku dan mas Bright sampai disini, di Waduk Sempor yang beberapa bulan lalu aku kunjungi dengan mama. Aku sangat exited untuk menunjukkan beberapa tempat yang fotogenik pada mas Bright, namun aku lebih exited untuk menghabiskan waktu bersamanya sore ini.

Aku mengeluarkan ponselku dan mulai merekam video untuk aku simpan sendiri.

“wahhhh, sampai dimana nih mas? Tahu gak tahu gak tahu gakkk? Hahahaha”

Aku merekam mas Bright yang melepas seat belt nya dan menatapku dengan terkekeh.

“tau lahhh, kan diajak kesini sama pacar sendiri, iyakan?”

Ia menaik-naikkan alisnya, ahhh mengapa ia sangat tampan, bahkan saat melakukannya bisa membuatku jatuh cinta berkali – kali lagi.

“ahahahaha mamas doyan jagung bakar sama bandrek gak? beli yuk?”

Aku menggenggam tangannya, padahal aku tahu kalau kami keluar dari mobil dari arah berlawanan, entah... Aku hanya ingin bermanja sedikit dengannya saat ini.

“doyan kok, yuk turun sayang”

Aku mematikan kamera dan menyimpan ponselku, mungkin nanti aku akan mengambil beberapa foto untuk mengabadikan moment berdua.

Dia menggenggam tanganku dan berjalan menuju sebuah gerobak yang menjajakan jagung bakar dan bandrek disana.

“pak jagung bakar dan bandreknya masing-masing dua ya pak, pacar saya udah kelaparan sepertinya”

Ia terkekeh ketika mengatakannya, entah, aku sudah lama tak merasakan bahagia yang seperti ini, ketika rasanya ada jutaan kupu-kupu yang merambat dan terbang di perutmu karena hanya dengan hal sesederhana di akui menjadi seorang kekasih di depan penjual bandrek, secara tak langsung ia merasa beruntung dan ingin mengatakan pada dunia bahwa aku memang miliknya dan sudah menjadi bagian dari lika-liku perjalanan hidupnya.

“siap mas, ditunggu aja ya”

Penjual bandrek itu terlihat ramah dan rasanya ia juga mengenaliku sebanyak aku berkunjung kemari ketika remaja dulu.


Matahari sudah ada di peraduan sana, segelas bandrek hangat dan jagung bakar di tangan cukup ampuh menghilangkan rasa dingin yang menusuk di kota kelahiranku ini.

Kini aku dan dia berdiri berdekatan melihat sang surya perlahan tertelan air di ufuk barat sana, cahaya senja itu menyapu wajah tampannya dan aku memperhatikannya.

“kenapa lihatin mas segitunya hmm?”

Ia membalas tatapanku kali ini.

“apa ada sisa jagung bakar di mulut mas?”

Ia mencoha membersihkan bibirnya dengan tissue dan meminum beberapa teguk air mineral yang selalu ia bawa kemana-mana. Aku asik melihat jakun itu naik turun seiring ia meminum air mineral itu.

“gak kok, ga ada apa – apa mas, cuma rasanya kayak.... Masih gak percaya kita bisa ada di tahap ini ya mas, setelah semua kekacauan di belakang sana, aku bersyukur punya mas disini”

Aku tersenyum dan aku merasakan panas di pipiku, entah... Apakah aku tersipu malu mengatakannya?

Mas Bright langsung memelukku dan mengecup puncak kepalaku.

“mas juga bersyukur sayang, teruslah kembali ke mas ya?”

Aku mengangguk dan berkata.

“dan teruslah mencoba mengingatku mas”

Aku membalas pekukannya erat, menikmati senja bersama dia disini adalah sebuah moment yang akan terus aku ingat sampai ingatanku memudar dan mungkin tak sanggup lagi berjalan.


Dari catatan Winata Mulya Sandjaya.

Ternyata tuhan sangatlah baik, takdirku dengan takdirnya bersilangan sekali lagi, dan kali ini kami berjalan beriringan bukan lagi saling berlawanan.

Setelah hanya bisa berangan dan setelah begitu banyaknya aku menggantung harapan, akhirnya kami bisa bersama lagi.

Kini ia bukan lagi insan tak bernama, karena namanya sudah kupahat secara gaib di dalam hatiku. Kini aku bisa menemuinya karena keberadaannya juga sudah bukan lagi misteri, ia berada di tempat yang kuketahui untuk kutuju

Bagiku manusia tak ada yang sempurna, justru dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnannya aku bisa belajar untuk mencintai lagi setelah kehilangan yang mengoyak duniaku.

Aku menemukan definisi sempurna untuk diriku sendiri, dia sempurna dimataku dengan segala ketidaksempurnannya. Dan aku akan selalu memakai definisi yang aku punya untuk melihat dunia dari kacamata sang pecinta.


Rumah Winata 08:10 Pm

Mereka semua duduk di meja makan, ada Bright dan Winata, seluruh anggota keluarga dan juga ada seseorang yang juga diundang dalam makan malam ini, namanya Awan.

Usianya terpaut 7 tahun diatas Winata, dan sebaya dengan Bright. Ia adalah putra dari sahabat papa Winata sejak merintis usaha kecil hingga sudah menjadi perusahaan besar seperti sekarang.

Awan bisa dikatakan seorang pribadi yang tenang, baik dan sangat peduli pada Winata, saat masih kanak-kanak dulu antara Winata dan Awan sering menghabiskan waktu bersama, hanya awan yang Winata punya sebelum ia mengenal Mix dan kepergian Awan ke New York untuk melanjutkan pendidikannya.

Sejujurnya antara Winata dan Awan tidaklah beda, mereka berdua hanyalah seorang anak yang seluruh hidupnya sudah dipertimbangkan oleh orang tua, Awan tak pernah mau belajar bisnis karena ia memiliki jiwa seni yang tumbuh di dalam dirinya, namun orang tuanya membunuh potensi yang ia punya dengan dalih meneruskan usaha yang orang tuanya miliki.

Tak jauh berbeda dengan Awan, Winata pun sama, hanya saja Winata lebih beruntung karena bisa memilih untuk kuliah di bidang yang ia suka dan menentukan sendiri dimana ia akan berkuah, namun nampaknya kebebasan itu tak lama lagi.

“jadi kakak pulang kerumah bawa teman?”

Kakak, adalah cara sang papa memamggil anaknya ketika ada sesuatu yang salah dan ada yang harus dibicarakan dibelakang.

Winata yang merasa kalau sang ayah berbicara padanya langsung melihat ke arah sang ayah dan baru saja akan membuka suara namun sang ayah nampaknya tak mau disela.

“siapa namanya?”

“saya Bright pak, saya dosennya Winata” Ujar Bright berterus terang.

“ohhh, ini kenalkan, namanya Awan.... Dia calonnya Winata”

Seperti disiram air dingin, Winata dan Bright menggigil detik itu juga, Winata yang tak percaya dengan apa yang dikatakan sang ayah, juga Bright yang terkejut kalau Win ternyata sudah memiliki calon, mengapa ia tak diberi tahu?

Winata melihat wajah Mesa dan sang Mama yang menunduk, mereka semua tak memberikan penjelasan apapun, ia bingung bukan main, jika ini kiamat maka benar kalau langit telah runtuh tepat di atas kepala Winata.

“m-maksudnya pa?”

“papa rasa setelah kamu lulus S1, papa akan kuliahkan kamu ke New York. Disana kamu sama Awan bisa tinggal satu rumah jadi papa gak khawatir lagi”

Jelas sang ayah.

“om, jangan terlalu buru-buru, saya takut Winata masih terkejut dengan hal ini”

Awan menatap Winata dengan tatapan tenang, memang sedari dulu Awan adalah salah satu orang yang Winata kagumi namun sebagai seorang kakak, bukan sebagai pasangan.

“pa... Ini bukan perjodohan kan? Gak pa, Winata gak mau, Win mau kuliah di london, Win mau jadi psikolog paa, Win gak mau kuliah bisnis”

Ujar Winata dengan nada amarah disana, untuk pertama kalinya Winata berani bersikap seperti ini demi kebebasan yang ia punya.

“kak, bahkan dulu papa gak berniat untuk menguliahkan kamu, bukankan langsung menikah dengan kak Awan adalah pilihan yang bagus? Kalian bisa mengembangkan perusahaan bersama”

“PAAAAA” Win menjerit dan menggebrak meja namun Bright langsung menggenggam tangannya, memberinya isyarat untuk tenang.

“apa ini? Kamu kuliah di Semarang hanya mau jadi pembangkang? Ini yang dosenmu ajarkan ke kamu? IYAAA?!”

bentak sang ayah, sembari menatap Winata dan Bright bergantian.

“Win kira papa udah berubah, Win kira sejak papa ngasih izin Win buat nentuin pilihan sendiri adalah tanda kalau papa sudah berubah.... Ternyata tidak!”

“papa ngelakuin ini demi kebaikan kamu, jangan berani menolak perintah papa kali ini”!

Sungguh, rasanya Bright menyuarakan ketidaksetujuannya, namun ia paham kalau ayahnya Winata adalah tipe yang alot, akan memakan waktu lama untuk menyadarkannya dan bukan sekarang tepatnya.

“kebaikan apa pahh, ini semua hanya untuk bisnis papa kan? Iyakann?”

Ia sudah berairmata, hatinya terasa sakit, ia tak mau merasakan neraka yang menyiksanya dari seolah dasar hingga sekolah menengah, sebelum ia merasakan yang namanya kebebasan semu semasa kuliahnya.

Sang papa berdiri dan akan menampar Winata namun Awan mencegahnya dengan memegang tangan sahabat papanya itu.

“om...om its okay, gapapa kalau Winata gak mau om, jangan sakiti dia ya?”

Tawan melihat Winata dengan tatapan yang tak pernah berubah sejak dulu, tatapannya selalu membuat Winata tenang.

“om malu sama papa kamu, om gagal didik Winata sampai membangkang kaya gini”

“ayo mas, kita pulang, aku gak mau ada disini”

Winata berdiri dan menarik tangan Bright.

“jangan berani-beraninya kamu keluar dari rumah ini Winata!”

Namun Winata tak bergeming, ia terus berjalan menuju pintu keluar dengan Bright yang tangannya ia genggam erat-erat.

Acara makan malam yang seharusnya menjadi ajang pengenalan Bright pada keluarganya malah menjadi ajang perjodohan antara dirinya dan Awan.

“WINATAAAA, KEMBALI”

bentak ayahnya keras sekali.

“Taa, mas aja yang pulang gapapa, kamu disini ya?” bisik Bright pelan

Winata menggeleng menanggapi pertanyaan Bright sambil menangis.

Ia tak mau kebebasannya di rampas lagi, dan kali ini dua kebebasan sekaligus yang coba sang papa rampas dan ambil kembali dari dirinya.

Mereka berdua meninggalkan rumah dengan keadaan kacau. Mungkin benar kalau langit tak selamanya biru, mungkin juga akan kelabu sebagai tanda kalau awan gelap yang membawa hujan dari penghujung samudera dan menjadi badai pada dunia mereka, antara Bright dan Winata.

“h-hai, masuk dulu yuk Bright”

Ujar First agak canggung, ia tahu kalau Bright pasti terkejut mengapa Winata ada disini, sungguh semuanya sudah berlalu dibelakang untuk First maupun untuk Winata, namun sepertinya tidak untuk Bright.

Bright yang terkejut hanya mematung dan memasang ekspresi yang masam, belum lagi kedua tangannya yang mengepal seolah siap memberikan tinju mentah pada First, semua yang pernah terjadi di Encycoffedia diputar ulang di kepalanya, bagaimana Winata yang menangis meninggalkannya hari itu, dan dimana semua kebusukannya terbongkar di depan rekan-rekannya, kepala Bright terasa berdenyut sakit menyadarinya.

“Win mana? Kenapa ada disini? Kenapa dia mau berteman lagi sama kamu?”

Bright memberondong First dengan banyak pertanyaan.

“masuk aja, Win ada di kamar nomer dua”

Jawab Afi untuk semua tanya yang diberikan Bright, tak mau susah-susah menjawab satu persatu pertanyaan itu.

Tanpa mau memperpanjang pembicaraan mereka, Bright masuk dan melewati First dengan menyenggol pundaknya yang membuat First terhuyung ke tembok dan terus berjalan menuju kamar yang di ia cari-cari.

Ketika sampai didepan pintu, lagi-lagi debaran itu terasa, ia mengumpulkan semua keberaniannya untuk memutar kenop pintu ini.

CKLEKK

dan ketika kenop pintu diputar dan ia membuka pintu, matanya bisa menangkap Winata yang sedang memandang keluar jendela, melihat cahaya senja dan lalu lalang mobil-mobil yang terlihat kecil dari jarak setinggi ini.

“belom dateng ya fi? Yaudah deh aku pulang aja”

Ucap Winata yang mengira kalau yang membuka pintu adalah Afi.

Bright masuk dan menutup kembali pintunya, tak lupa ia mengunci pintu dari dalam.

“kayaknya juga mau ujan nih Fi, aku pulang aja deh....mau anterin aku bentar gak? Atau aku pesan ojek aja ya?”

Lagi, tak mau menoleh kebelakang dan melihat siapa yang masuk dan sudah ada tepat di belakangnya.

“kenapa kok naik ojek hmm? Mas udah ada disini”

Ujar Bright sembari memeluk Winata dari belakang, memeluk erat pinggang Winata dan mengecup puncak kepalanya.

“eh... M-mas udah ada disini? Sejak kapan?”

Winata gugup sendiri, ia kira Bright tak akan datang.

“kenapa kamu bikin mas khawatir Taa? Jangan gini lagi ya?”

cupp

Bright mengecup pipi Winata dari samping, pipi itu langsung merah merona dibuatnya.

“lepasin dulu, aku mau ngomong mas”

Winata mencoba melepaskan pelukan kedua tangan Bright di pinggang dan perutnya, namun semakin ia berontak, pelukan itu semakin erat.

Bright juga masih asik mencium dan menghidup wangi yang ia rindukan. Ia asik mengulet di bagian leher dan terkadang mengecup puncak kepala Winata.

“aku mau minta maaf mas”

Ucap Win lirih yang membuat Bright berhenti dari aktivitas menguletnya dan melepaskan pelukan di pinggang kekasihnya.

Bright membuat mereka dalam posisi berhadap-hadapan, meski Win sedang duduk dan ia berdiri yang berarti Winata harus mendongak untuk membalas tatapan matanya.

“maaf untuk? Mas juga mau minta maaf mengenai beberapa hal Taa”

Ujarnya dengan menatap Winata dalam-dalam, namun Win sepertinya terlalu gugup untuk membalas tatapan mata Bright sekarang.

look at my eyes Taa”

Namun Winata malah menunduk.

Right here babe

Bright menangkup kedua pipi Winata dan membuatnya mendongak untuk membalas tatapan matanya.

Debaran itu masih terasa, debaran itu masih ada untuk keduanya.

“aku.... Aku mau minta maaf mas...”

“untuk?”

“entah, rasanya seperti ada yang salah mas, tau gak? Kalau akhir-akhir ini kita sibuk dengan kegiatan kita masing-masing?”

Bright mengangguk menanggapi tanya si manis yang ada di tangkupan tangannya.

“dan meski aku mencoba mencari kesibukan lain dengan orang lain dengan orang baru... Rasanya seperti berkhianat diam – diam di belakang kamu mas...tentang Luke juga, mas berhak cemburu untuk hal itu”

Win tak lagi mampu membalas tatapan Bright, kerlingan mata itu bercampur dengan air mata yang menumpuk di pelupuk mata.

“enggak sayang, mas gak masalah kamu mau berteman dengan siapapun, meski orang baru sekalipun mas gak mau membatasi ruang gerakmu Taa, tapi itu bukan berarti mas gak cemburu, i did, tapi mas lebih baik diam bukan? Disaat komunikasi kita yang semakin minim akhir-akhir ini mas rasa kurang tepat untuk membahas tentang Luke.... “

Bright mengambil nafasnya dalam-dalam.

“mas juga sadar kalau mas jarang ada buat kamu akhir-akhir ini, mas jarang ngasih kamu kabar, dan saat itu yang ada buat kamu si Luke kan? Mas bisa mengerti Taa, mas bisa”

Bright menghapus air mata Winata yang jatuh begitu saja dan kembali membuat Win menatap tepat di matanya.

“hanya saja Taa, ada sesuatu yang mungkin saja tak terasa benar tentang Luke.... Bahkan Day yang dulunya menentang hubungan kita, sekarang dia mendukung dan malah bantuin mas buat jagain kamu di Encycoffedia hari itu”

Jelas Bright mengeluarkan semuanya, semua yang ada di pikirannya.

“mas juga mau minta maaf, mas minta maaf gak selalu ada buat kamu, mas minta maaf sering cancel planning kita tiba-tiba, pasti berat ya akhir-akhir ini buat kamu sayang?”

Tanya sedikit menunduk, mensejajarkan wajah mereka sedekat mungkin dan memangkas jarak hingga hidung mereka bersentuhan.

“pasti capek ya UAS dan masih persiapan untuk sidang? Mas tahu Taa, pasti rasanya gak enak ya ketika kamu butuh orang untuk bercerita tapi orang di sekitar kamu juga sibuk dengan urusannya masing-masing?”

Winata mengangguk lagi.

“dan apa itu alasan kamu untuk ada disini? Maksud mas... Mungkin saat ini yang ada buat kamu hanya si First? Karena jujur aja Taa, mas masih belum bisa memaafkan diri mas sendiri tentang hari itu, rasanya masih canggung untuk bertemu dengan dia lagi hari ini”

Kini giliran Winata yang memegang pipi Bright dan menangkupnya.

“mas.... Win tahu memaafkan orang lain itu gak mudah, tapi mas ada hal yang sangat sulit daripada itu, yaitu memaafkan diri sendiri....”

Winata mengambil jeda untuk mengecup bibir Bright pelan, kecupan singkat yang mengabalikan semua memori mereka dan mengingatkan bahwa beginilah harusnya mereka.

“dan aku sudah melakukan itu, aku juga sadar kalau manusia tak ada yang sempurna bukan? Selama ia mau belajar untuk lebih baik lagi dan mau berubah, rasa-rasanya ia pantas diberikan kesempatan kedua, sama seperti aku memberi mas kesempatan lagi, win juga memberikan kesempatan itu untuk Afi mas, bagaimanapun dia salah satu orang yang selalu ada buat aku”

Entah rasa apa yang ada di dada Bright, ia merasa bangga dan bahagia memiliki kekasih seperti Winata yang dewasa dan pandai menyikapi masalah, meski terkadang emosinya yang tak stabil itu sering membuat Bright ketar-ketir namum kembali lagi kalau tidak ada manusia yang sempurna, tidak ada manusia yang bisa terus-terusan untuk mengalah dan bersikap dewasa, pasti ada satu titik yang akan membuatnya meledak dan jenuh.

“rasa-rasanya tak adil untuk menghakimi orang lain hanya karena satu kesalahannya dan melupakan semua hal-hak baik yang pernah dia lakukan kan mas?”

Winata mengingat kembali tentang kejadian di hero cafe hari itu, Afi lah yang ada untuknya, juga beberapa kali Afi yang selalu siap ia repotkan.

Lagi-lagi Bright mangangguk, ia belajar banyak dari Winata hari ini, sangat banyak, tentang mengasihi dan memberi, juga tentang maaf dan memaafkan.

“jadi?”

Tanya Bright tiba-tiba yang membuat Winata bingung.

“jadi? Apa?”

“jadi, bisakah kita pulang dan kembali menjadi sepasang kekasih seperti seharusnya?”

Tanya Bright dengan senyum mengembang.

“enggak, gak mau” Jawab Winata dengan ekspresi yang serius.

Perlahan senyum Bright hilang, ia kira Winata bersungguh-sungguh mengatakannya.

“gak mau kalau gak di kasih cium dulu di sini, sini, sama sini”

Winata menunjuk dahi, hidung dan bibirnya sembari tersenyum lebar-lebar yang langsung menular pada yang lebih tua.

Kamar Winata 09:30 Pm

Setengah sepuluh malam tepat, Bright masuk kedalam kamar yang familiar, kamar kekasihnya.

Langsung dari kampus, masih mengenakan kemeja, celana hitam kain dan juga pantofelnya.

“malam sayang”

Bright mencopot sepatunya dan melangkah mendekati Winata yang duduk di ujung ranjang. Ia memeluknya erat-erat, menghirup wangi shampo di puncak kepala Winata dan mengecupnya, juga wangi sabun yang wanginya memenuhi paru – paru Bright saat ini, ia sungguh rindu pada Winatanya.

Tak menjawab ucapan selamat malam dari Bright, yang dilakukan Winata adalah membalas pelukan Bright sama eratnya, ia tak bisa bohong kalau saat ini ia juga sangat merindukan Mas Bright nya.

“maafin mas ya? Akhir-akhir ini sibuk, gak ada waktu sama kamu, maafin mas sayang”

Lagi-lagi Bright mengecup puncak kepala Winata.

“Win kangen mas..... Hiks... Win kangen”

Tak Bright sangka, ternyata Winata tengah berairmata di pelukannya, hal itu menjelaskan mengapa ia merasa kemejanya basah, ternyata Winata menangis dalam diam.

“stttt iya taa, iya sayang”

CUPPP

Bright berkali kali memberikan kecupan singkat.

“kenapa sih mas.... Hiks kenapa mas sibuk banget? buat ngabarin Win aja gak bisa ya mas?”

“sshhhh....iya taa iya, mas udah ada disini, okay? Gausah nangis, gak ada yang perlu di tangisin kan?”

Bright menangkup wajah Meta dengan kedua tangannya, matanya merah, hidungnya juga, bibirnya cemberut seperti ingin dikuncir, nampak sangat menggemaskan.

“aku mau ngambek pokoknya”

Winata mencoba melerai tangan Bright yang memegang wajahnya, namun yang dilakukan Bright adalah memangkas jarak dan mendekatkan wajahnya.

Bright mencium bibir merah muda itu pelan, penuh rasa dan kasih sayang, sangat perlahan hingga rasanya butuh berhari-hari untuk melerai ciuman itu dan Winata berairmata disana, menyadari betapa rindunya ia dengan sosok didepannya.

“will your mouth still remember the taste of my love?”

Ujar Bright setelah melerai ciuman penuh cinta itu.

Winata menggeleng dan membuka matanya.

“kalau cuma segitu aja sih gak inget mas, gimme more” Ia tersenyum untuk pertama kalinya pada Bright.

“mau pake permen mint?” Tanya Bright yang mengeluarkan sebuah permen dari saku kemejanya.

“udah paham huh? Bukain”

Dan ketika permen itu sudah ada dalam mulut Bright dan akan ia bagi bersama Winata.

CKLEKK

“Win pinjem hair dryer dong.... Eh”

Mereka bertiga melongo. Bright, Winata dan Mix disaat yang sama.

Encycoffedia.

Mereka berdua sudah sampai, baik Luke dan Win langsung turun dari motor.

“yuk masuk, aku udah pesan meja nomor 7”

“okay, mana sini lepas dulu helmnya”

Luke langsung mendekat dan mencoba melepaskan helm yang dikenakan Win, tangannya sesekali menyentuh pipi Winata, entah disengaja atau tidak.

“ummm... Luke? Aku bisa sendiri”

its okay, let me help you Win lagi pula tanganmu bawa tas sama buku kan?”

Tanyanya dengan wajah yang semakin mendekat, Win reflek memundurkan wajahnya.

“sorry kalau harus maju-maju gini, agak susah nih pengaitnya”

KLEKK

“nah udah”

Luke mangambil helm dan ia letakkan di motornya.

“yuk”

Ujarnya memberikan tangan kanannya.

“he? Apa?”

Win bingung dengan apa yang dimaksud oleh Luke dengan memberikan tangan kanannya.

“gak mau pegangan?”

“ahahahaha gak lah, yuk masuk”

Winata berjalan duluan meninggalkan Luke yang mendengus kesal karena usahanya gagal, ia berniat memamerkan Win pada Day juga pada Earth di dalam sana.


“Win kesana yuk, aku kenalin ke temenku”

Ajak Luke yang langsung menggandeng Winata ke meja ujung nomor 12, disana mata Winata langsung membundar melihat Day dan juga Earth yang asik mengobrol, belum sadar akan keberadaannya.

“woy bro.... Udah lama?”

Sapa Luke yang langsung menyalami Earth juga Day, setelahnya mereka berdua juga heran kenapa Luke datang kemari dengan Winata.

“gak juga....”

Day melirik seseorang yang digandeng oleh Luke, lebih tepatnya melirik gandengan tangan mereka.

Winata yang sadar kalau ditatap sedemikian oleh Day langsung melerai gandengan tangannya dengan Luke.

'plis, jangan salah faham, aku sama Luke gak ada apa-apa'

Batin Win dalam hati.

“kesini sama Win nih?”

“loh? Kalian udah saling kenal?”

Kini Luke yang dibuat bingung.

“iyalah kenal, Win itu dulunya mantan awwwww”

Earth menjerit ketika kakinya di injak tiba-tiba oleh Day.

“hah? Win mantanmu Day?”

“gakkk....enggak kok, dia dulu tuh mantan tetangga gw, gak nyangka bisa ketemu disini”

“ohhh”

“kalian udah pesen? Pesen aja gih”

“bener?”

Day mengangguk.

“kamu mau apa Win? Beer mau gak?”

Tawar Luke seraya memegang pundak Winata.

“Win gak bisa minum kayak gituan, dia sukanya milkshake kalau nongkrong disini”

Ini Day, ia masih ingat betul apa-apa saja jika mengenai Winata.

“iya kah?”

Win mengangguk saja, tak mau susah-susah mendebatnya.

“Luke... boleh gw pinjem Win bentar? Ada sesuatu yang harus gw omongin nih”

Day melihat Winata lekat-lekat.

Sedangkan Luke melihat ke arah Winata, memberinya pengertian apakah tak apa? Dan Win lagi-lagi mengangguk.

“oke, jangan lama-lama”

Luke langsung duduk dan bergabung dengan Luke, sedangkan Day langsung berdiri dan membawa Winata ke area outdoor, disana sepi tak ada orang karena memang area ini akan ramai hanya pada malam hari.

“mau ngomong apa?”

Win tak mau basa-basi kali ini.

“aku harap kamu gak lupa kalau kamu punya Bright kan?”

my godd, Day... I'm not a cheater dan kalaupun ada cheater disini bukankah sebaiknya kamu melihat dirimu sendiri?”

Win membalikkan keadaan sekaligus, memutarnya pada Day yang melakukan penghianatan pada dirinya beberapa tahun silam.

i know aku memang salah Win, tapi kalau kamu punya dendam denganku... Sebaiknya jangan bawa Bright dalam hal ini”

“kamu ini ngomongin apa sih? Dendam apa? Mas Bright? Aku gak pernah mikir buat ninggalin dia Day, gak pernah sedetikpun... Plis jangan rusak mood belajar gw disini”

“itu? Luke?”

“Dayy... Aku berani bersumpah dia gak ada apa-apa denganku, dan aku rasa dia baik kok..... Jadi, jangan suka mikir negatif tentang aku juga tenyang Luke”

Win mulai meninggikan suaranya, pertanda ia kesal di curigai.

“bukan.... Bukan gitu Win maksudku.... Hanya saja, aku gak suka kamu dekat dengan dia, bisa jadi dia bukan orang baik, tau kan dia disini pun belum ada sebulan, kamu belum kenal dia sebaik kamu kenal Bright”

Day mengatakannya, bukan untuk menjelekkan Luke di hadapan Win, namun ia tahu persis orang-orang yang bekerja di beberapa lembaganya saat ini, juga tempo hari soal perkataan Luke tentang Gebetan juga orang berseragam sudah bisa membuat darah Day mendidih ketika tahu orang itu adalah Winata.

“plisss jangan bandingkan Luke dengan mas Bright, memangnya kenapa sih? Mau aku main sama Luke mau sama siapapun itu bukan urusan kamu Day, bukann”

Win menunjuk nunjuk dada Day dengan telunjuknya, ia kesal sekali dengan semua asumsi Day yang mengarah pada bibit-bibit penghianatannya pada Bright.

Day terlihat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Win sesaat tadi.

“oke... Terserah kamu aja Win, udah aku peringatkan, udah aku kasih tahu.... Mungkin aku bukan saudara terbaik yang pantas di elu-elukan, tapi kalau sampai entah itu Luke ataupun kamu sendiri yang nyakitin Bright.... Kamu terima sendiri balasannya”

“udah aku bilang berapa kali? Aku gak akan ninggalin mas Bright, dan Luke? Dia cuma temen Day.... Cuma temen”

“okayy.... Udah... Jangan diperpanjang, aku cuma mau kamu tahu batasannya, aku juga yakin kamu udah dewasa kan? Tahu mana baik mana buruk dan juga batasan dalam berteman”

“gak perlu dikasih tau, thanks”

Win langsung meninggalkan Day di ruang outdoor dan Langsung menuju barista untuk memesan minum juga camilannya sendiri.

Day hanya terdiam, ia merenungkan apa yang barusan ia katakan pada Winata, namun ia harus jujur pada hati kecilnya, bahwa ia tak suka Winata berteman dekat dengan Luke, juga firasat buruknya tentang hal ini.

#FN2

Encycoffedia.

Mereka berdua sudah sampai, baik Luke dan Win langsung turun dari motor.

“yuk masuk, aku udah pesan meja nomor 7”

“okay, mana sini lepas dulu helmnya”

Luke langsung mendekat dan mencoba melepaskan helm yang dikenakan Win, tangannya sesekali menyentuh pipi Winata, entah disengaja atau tidak.

“ummm... Luke? Aku bisa sendiri”

its okay, let me help you Win lagi pula tanganmu bawa tas sama buku kan?”

Tanyanya dengan wajah yang semakin mendekat, Win reflek memundurkan wajahnya.

“sorry kalau harus maju-maju gini, agak susah nih pengaitnya”

KLEKK

“nah udah”

Luke mangambil helm dan ia letakkan di motornya.

“yuk”

Ujarnya memberikan tangan kanannya.

“he? Apa?”

Win bingung dengan apa yang dimaksud oleh Luke dengan memberikan tangan kanannya.

“gak mau pegangan?”

“ahahahaha gak lah, yuk masuk”

Winata berjalan duluan meninggalkan Luke yang mendengus kesal karena usahanya gagal, ia berniat memamerkan Win pada Day juga pada Earth di dalam sana.


“Win kesana yuk, aku kenalin ke temenku”

Ajak Luke yang langsung menggandeng Winata ke meja ujung nomor 12, disana mata Winata langsung membundar melihat Day dan juga Earth yang asik mengobrol, belum sadar akan keberadaannya.

“woy bro.... Udah lama?”

Sapa Luke yang langsung menyalami Earth juga Day, setelahnya mereka berdua juga heran kenapa Luke datang kemari dengan Winata.

“gak juga....”

Day melirik seseorang yang digandeng oleh Luke, lebih tepatnya melirik gandengan tangan mereka.

Winata yang sadar kalau ditatap sedemikian oleh Day langsung melerai gandengan tangannya dengan Luke.

'plis, jangan salah faham, aku sama Luke gak ada apa-apa'

Batin Win dalam hati.

“kesini sama Win nih?”

“loh? Kalian udah saling kenal?”

Kini Luke yang dibuat bingung.

“iyalah kenal, Win itu dulunya mantan awwwww”

Earth menjerit ketika kakinya di injak tiba-tiba oleh Day.

“hah? Win mantanmu Day?”

“gakkk....enggak kok, dia dulu tuh mantan tetangga gw, gak nyangka bisa ketemu disini”

“ohhh”

“kalian udah pesen? Pesen aja gih”

“bener?”

Day mengangguk.

“kamu mau apa Win? Beer mau gak?”

Tawar Luke seraya memegang pundak Winata.

“Win gak bisa minum kayak gituan, dia sukanya milkshake kalau nongkrong disini”

Ini Day, ia masih ingat betul apa-apa saja jika mengenai Winata.

“iya kah?”

Win mengangguk saja, tak mau susah-susah mendebatnya.

“Luke... boleh gw pinjem Win bentar? Ada sesuatu yang harus gw omongin nih”

Day melihat Winata lekat-lekat.

Sedangkan Luke melihat ke arah Winata, memberinya pengertian apakah tak apa? Dan Win lagi-lagi mengangguk.

“oke, jangan lama-lama”

Luke langsung duduk dan bergabung dengan Luke, sedangkan Day langsung berdiri dan membawa Winata ke area outdoor, disana sepi tak ada orang karena memang area ini akan ramai hanya pada malam hari.

“mau ngomong apa?”

Win tak mau basa-basi kali ini.

“aku harap kamu gak lupa kalau kamu punya Bright kan?”

my godd, Day... I'm not a cheater dan kalaupun ada cheater disini bukankah sebaiknya kamu melihat dirimu sendiri?”

Win membalikkan keadaan sekaligus, memutarnya pada Day yang melakukan penghianatan pada dirinya beberapa tahun silam.

i know aku memang salah Win, tapi kalau kamu punya dendam denganku... Sebaiknya jangan bawa Bright dalam hal ini”

“kamu ini ngomongin apa sih? Dendam apa? Mas Bright? Aku gak pernah mikir buat ninggalin dia Day, gak pernah sedetikpun... Plis jangan rusak mood belajar gw disini”

“itu? Luke?”

“Dayy... Aku berani bersumpah dia gak ada apa-apa denganku, dan aku rasa dia baik kok..... Jadi, jangan suka mikir negatif tentang aku juga tenyang Luke”

Win mulai meninggikan suaranya, pertanda ia kesal di curigai.

“bukan.... Bukan gitu Win maksudku.... Hanya saja, aku gak suka kamu dekat dengan dia, bisa jadi dia bukan orang baik, tau kan dia disini pun belum ada sebulan, kamu belum kenal dia sebaik kamu kenal Bright”

Day mengatakannya, bukan untuk menjelekkan Luke di hadapan Win, namun ia tahu persis orang-orang yang bekerja di beberapa lembaganya saat ini, juga tempo hari soal perkataan Luke tentang Gebetan juga orang berseragam sudah bisa membuat darah Day mendidih ketika tahu orang itu adalah Winata.

“plisss jangan bandingkan Luke dengan mas Bright, memangnya kenapa sih? Mau aku main sama Luke mau sama siapapun itu bukan urusan kamu Day, bukann”

Win menunjuk nunjuk dada Day dengan telunjuknya, ia kesal sekali dengan semua asumsi Day yang mengarah pada bibit-bibit penghianatannya pada Bright.

Day terlihat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Win sesaat tadi.

“oke... Terserah kamu aja Win, udah aku peringatkan, udah aku kasih tahu.... Mungkin aku bukan saudara terbaik yang pantas di elu-elukan, tapi kalau sampai entah itu Luke ataupun kamu sendiri yang nyakitin Bright.... Kamu terima sendiri balasannya”

“udah aku bilang berapa kali? Aku gak akan ninggalin mas Bright, dan Luke? Dia cuma temen Day.... Cuma temen”

“okayy.... Udah... Jangan diperpanjang, aku cuma mau kamu tahu batasannya, aku juga yakin kamu udah dewasa kan? Tahu mana baik mana buruk dan juga batasan dalam berteman”

“gak perlu dikasih tau, thanks”

Win langsung meninggalkan Day di ruang outdoor dan Langsung menuju barista untuk memesan minum juga camilannya sendiri.

Day hanya terdiam, ia merenungkan apa yang barusan ia katakan pada Winata, namun ia harus jujur pada hati kecilnya, bahwa ia tak suka Winata berteman dekat dengan Luke, juga firasat buruknya tentang hal ini.

Pelataran Graha Estetika 10:30 Am

Setelah memesan meja di Encycoffedia, Winata segera menuju pelataran Graha Estetika dimana Luke sudah menunggunya disana.

Dari kejauhan Winata bisa melihat Luke yang sudah menunggu disana dengan sebuah motor gede, ia kira Luke akan menjemputnya dengan mobil, bukan, bukan apa-apa, hanya diluar ekspektasi Winata saja.

Pun dengan Luke yang senyumnya tak memudar dari pertama kali matanya manangkap sosok Winata dari kejauhan, ia mengakui kalau Winata nampak semakin manis tiap harinya.

“udah lama?”

Winata sudah sampai di hadapannya.

“gak juga Win, cakep bener hari ini”

Win hanya memutar matanya menanggapi perkataan Luke, baginya ada satu sisi Luke yang baru ia tahu, bahwa Luke suka memuji.

“pakai motor? Gak takut kehujanan? Semarang lagi gak tentu cuacanya loh”

Ucap Winata seraya memegang menerima helm yang diberikan Luke padanya.

“gapapa kan? Ya sebenarnya tadi pengennya pakai mobil sih, tapi kayaknya lebih asik motoran kan?”

'sebenernya pengen ngerasain di pegangin sama kamu dari belakang sih Win, sengaja pakai motor' batin Luke dalam hati.

“ya.. Gapapa sih Luke, yuk”

“Eiittsss... Bentar dong, ini helmnya di pake dulu, mau aku pakein gak?”

Luke siap merebut Helm yang sudah ada di tangan Winata, ia berniat memakaikan helm itu langsung ke kapala Winata dengan hadap wajah mereka saling berdekatan dan mata mereka saling pandang satu sama lain.

“gak usah, aku bisa sendiri kok”

Winata menepis tangan Luke dan langsung memakai helmnya sendiri, setelahnya ia langsung naik ke keatas motor, tepat di belakang Luke.

“o-okay”

Brumbumbumbum

Suara motor yang keras dan memekakkan telinga khas motor gede langsung terdengar.

“siap Win?”

“siap, udah nih”

“gak mau pegangan nih?”

“ha? Apa? Gak denger Luke” Jawab Winata yang memang terhalangi suara motor yang memekakkan telinganya.

Tak menjawab apa yang di katakan Winata, Luke langsung memasukkan satu gigi dan mengegasnya.

BRUMMMM

“AAAAAA”

Winata kaget dan reflek memegang pinggang Luke erat-erat.

'nah, ini yang aku tunggu-tunggu' batin Luke.

Tangan kirinya nenggenggam kedua tangan Winata yang yang memegang pinggangnya erat sekali.

“Pegangan yang erat ya Win, bukan apa-apa, takut aja kalau kamu jatuh kan”

Ucapnya dengan santai, sangat kontras dengan Winata yang baru saja senam jantung. Tak mau mendebat apa yang dikatakan Luke, Winata menempatkan tangannya semakin erat di pinggang Luke yang semakin mengebut dan menggila di jalanan.

#FN1

Pelataran Graha Estetika 10:30 Am

Setelah memesan meja di Encycoffedia, Winata segera menuju pelataran Graha Estetika dimana Luke sudah menunggunya disana.

Dari kejauhan Winata bisa melihat Luke yang sudah menunggu disana dengan sebuah motor gede, ia kira Luke akan menjemputnya dengan mobil, bukan, bukan apa-apa, hanya diluar ekspektasi Winata saja.

Pun dengan Luke yang senyumnya tak memudar dari pertama kali matanya manangkap sosok Winata dari kejauhan, ia mengakui kalau Winata nampak semakin manis tiap harinya.

“udah lama?”

Winata sudah sampai di hadapannya.

“gak juga Win, cakep bener hari ini”

Win hanya memutar matanya menanggapi perkataan Luke, baginya ada satu sisi Luke yang baru ia tahu, bahwa Luke suka memuji.

“pakai motor? Gak takut kehujanan? Semarang lagi gak tentu cuacanya loh”

Ucap Winata seraya memegang menerima helm yang diberikan Luke padanya.

“gapapa kan? Ya sebenarnya tadi pengennya pakai mobil sih, tapi kayaknya lebih asik motoran kan?”

'sebenernya pengen ngerasain di pegangin sama kamu dari belakang sih Win, sengaja pakai motor' batin Luke dalam hati.

“ya.. Gapapa sih Luke, yuk”

“Eiittsss... Bentar dong, ini helmnya di pake dulu, mau aku pakein gak?”

Luke siap merebut Helm yang sudah ada di tangan Winata, ia berniat memakaikan helm itu langsung ke kapala Winata dengan hadap wajah mereka saling berdekatan dan mata mereka saling pandang satu sama lain.

“gak usah, aku bisa sendiri kok”

Winata menepis tangan Luke dan langsung memakai helmnya sendiri, setelahnya ia langsung naik ke keatas motor, tepat di belakang Luke.

“o-okay”

Brumbumbumbum

Suara motor yang keras dan memekakkan telinga khas motor gede langsung terdengar.

“siap Win?”

“siap, udah nih”

“gak mau pegangan nih?”

“ha? Apa? Gak denger Luke” Jawab Winata yang memang terhalangi suara motor yang memekakkan telinganya.

Tak menjawab apa yang di katakan Winata, Luke langsung memasukkan satu gigi dan mengegasnya.

BRUMMMM

“AAAAAA”

Winata kaget dan reflek memegang pinggang Luke erat-erat.

'nah, ini yang aku tunggu-tunggu' batin Luke.

Tangan kirinya nenggenggam kedua tangan Winata yang yang memegang pinggangnya erat sekali.

“Pegangan yang erat ya Win, bukan apa-apa, takut aja kalau kamu jatuh kan”

Ucapnya dengan santai, sangat kontras dengan Winata yang baru saja senam jantung. Tak mau mendebat apa yang dikatakan Luke, Winata menempatkan tangannya semakin erat di pinggang Luke yang semakin mengebut dan menggila di jalanan.

NYARI APA SAYANG?


Di dunia ini ada dua jenis laki-laki tampan, yaitu lelaki yang bisa kau miliki dan lelaki yang hanya bisa kau kagumi, namun bagiku…..Bright adalah lelaki tampan yang bisa aku miliki dan aku kagumi, aku membiarkan diriku dimilikinya tanpa paksaan, aku juga memiliki dan mencintainya dengan segenap hati dan perasaan, tanpa modus, tanpa keberatan dan tanpa tendensi apapun.

aku mencintai dan mengaguminya di saat yang sama, bagaimana bisa aku mencintainya? Ah kalian tak perlu tahu, mungkin jika JeJe berbaik hati ia akan menceritakan sedikit tentang kisah kami pada kalian, kita loncat ke bagian mengapa aku bisa mengaguminya saja boleh kan? Rasanya 10 ribu kata diantara ketikan keyboard tak akan cukup menjelaskannya, dan aku rasa kalian sudah tahu bukan? ia baik, pekerja keras, ia adalah seorang family man, ia sangat sayang dengan keluarga, ia hangat (kalau cemburunya gak kumat), dan ia adalah orang pertama yang mempercayaiku disaat dunia meragukanku, saat diriku sendiri ragu untuk melangkah ia memberikan uluran tangan dan arahan tentang bagaimana bertahan dari kejamnya dunia depan layar, apa masih kurang? Ah teman, sangat banyak alasan-alasan mengapa aku mencintai dan mengagumi seorang Bright Vachirawit meski dari belakang layar.

Seperti yang terjadi setelah pesta semalam selesai, ia mengajakku menginap di kediamannya, hanya aku dan dia saja, abaikan video Dj yang kalian lihat semalam, karena jujur saja, pria itu tak terlihat di mata JeJe ketika menulis cerita ini, jadi kawan semoga kalian menikmati ketika membacanya sama ketika JeJe menikmati ketika menulisnya.


Condo Bright-22:55 Pm

Alunan musik, remangnya cahaya dan aroma parfum semerbak di ruangan ini, setelah mandi dan membersihkan diri, aku dan Bright memilih untuk bermalas-malasan diatas sofa yang bisa digunakan sebagai tempat tidur sekaligus, menonton acara tv yang sudah tak lagi menarik perhatianku, juga bagi Bright yang sudah terlihat bosan.

“kak, udah ngantuk?”

“gimana bisa ngantuk kalau ada kamu di sebelahku hmm?” Ucapnya dengan bergerak mendekat ke arahku.

“kak bosan nih” Ia menarik pinggangku untuk terus mendekat ke arahnya.

“aku ada ide biar gak bosan” Ia berdiri dan melihat ke arahku.

“baringan Win”

“hah?”

“kamu baringan di atas sofa cepetan”

“mau ngapain sih kak”

“udah cepetan, janji gak aneh-aneh kok”

“beneran ya?”

“iya”

“gak aneh-aneh kan?”

“enggak”

“janji ya?”

“janjiiii, udah cepetan”

Aku merebahkan diriku diatas sofa dengan kaki lurus dan rapat, setelahnya ia mulai bergerak naik diatasku dengan kedua tangan yang di tumpukan di kanan kiri pundakku dan kakinya yang membuka lebar sehingga seperti memberiku ruang di tengah-tengah tubuhnya, ia dalam posisi push up saat ini.

“mau ngapain sih kak?”

“kakak cuma mau ngelakuin ini, entah penasaran sama rasanya mungkin? Karena di ruang publik pun kita tak pernah bisa melakukannya bukan? jadi…..”

“jadi?”

“mari kita cari tahu sama-sama rasanya”

Ia mulai bergerak rendah, menggunakan kedua tangannya sebagai tumpuan bobot tubuhnya, hingga wajahnya benar-benar mendekat ke wajahku hingga aku memejamkan mataku sendiri.

CUPPPP

Satu kecupan singkat itu rasanya mengejutkan, ternyata ini yang mau ia praktekkan? Benar saja kalau di tempat umum antara aku dengannya tak akan bisa mempratikkannya secara langsung.

Aku membuka mataku perlahan, hal pertama yang aku lihat adalah ia yang tersenyum ke arahku, matanya melihat tepat ke mataku, indah? Iya, tampan? Tentu lelakiku ini selalu terlihat tampan.

“bagaimana rasanya?”

“seperti ada kupu-kupu di perutku kak ahahahaha”

“iyakah? Mari kita ulangi berkali-kali lagi”

Belum sempat aku berkata, dia sudah memangkas jarak lagi dan mengecup bibirku lagi, lagi dan lagi dan membuatku reflek memejamkan mataku. Hingga entah tak terhitung berapa kali melakukan push up diatasku, aku memilih untuk membuka mata.

“ternyata gini rasanya, lebih asik olah raga gini ya Win”

Aku tak menjawab, aku asik memperhatikannya yang masih berada diatasku, melihat jakunnya yang naik turun, matanya yang memantulkan cahaya remang lampu.

hidung mancungnya, dan bibir indahnya yang tak pernah berhenti mengecupku sesaat tadi.

“otot bisepnya gede ya kak” Aku mengalihkan perhatianku ke otot bisepnya yang ada di kanan diri tubuhku.

“kamu suka?” Tanyanya setelah itu ia membelai rambutku pelan.

“aku suka kak”

“peganglah kalau suka”

Aku memegang otot bisepnya yang padat dan keras itu, memijatnya perlahan untuk mengagumi pahatan otot yang ia bangun selama berbulan-bulan. Setelahnya ia membuka kakiku dengan kakinya, membuat kakiku saling berjauhan untuk memberinya ruang, akupun dengan reflek mengalungkan kakiku di pinggangnya.

“kak….” Panggilku

“iya kenapa hmm?”

“ini…..ini punya kak Bri ngeganjal ya? Kerasa banget di perut Win nih”

“ssttttt”

Aku pernah berciuman sebelumnya, namun caranya menciumku kali ini benar-benar berbeda, rasanya hidup, panas, liar dan membara disaat yang sama, aku lumer dibuatnya.

Rasanya aku meledak saat ini juga, rasanya seperti ada jutaan kupu-kupu yang terbang di perut hinga ke paru-paruku, mulut Bright benar-benar menciumku tanpa celah hingga aku tak bisa mengambil nafas, ia mengecup, mencium, melumat dan menyesapi setiap jengkal mulutku, bahkan ia menyebrangkan lidahnya untuk menemukan lidahku dan saling bergumul disana membuat suasana semakin panas, rasanya oksigen menjauh dari ruangan ini, aku kesulitan bernafas, tanganku menggapai-gapai udara tanpa arah, seperti seseorang yang tenggelam dalam kolam.

Seakan sadar kalau kedua tanganku menggapai-gapai udara tanpa tujuan, Bright menggenggam dan mengarahkan kedua tangaku untuk melingkar di lehernya ketika kakiku melingkar di pinggangnya, aku seperti seekor koala yang sedang bergelayutan di pohon saat ini.

Setelahnya Bright kembali mencumbuku dengan cumbuan yang semakin intens dan panas, cumbuannya seperti seorang musafir yang kepanasan terbakar matahari dan menemukan oasis di tengah panasnya gurun, tak akan pernah merasa cukup dan terasa sangat nikmat memabukkan, efek alkohol yang tak seberapa di pesta tadi nyatanya juga ikut andil dalam permainan ini, meski aku sedang memejamkan mataku tapi aku yakin kalau wajahku memerah, begitu pula dengannya.

Sesuatu yang keras dan panas itu semakin terasa menyesakkan, ia semakin membesar dan terasa berdenyut-denyut di perutku, dan itu adalah miliknya.

Aku memukul dadanya pelan sebagai pertanda kalau aku sudah kehabisan nafas dan tak kuat lagi. Ketika Bright melerai cumannya padaku, aku membuka mata dan melihatnya juga tersenyum ke arahku.

“kak…ahh…yang tadi itu…luar biasa”

“benarkah? Kau menyukainya kan?” Aku mengangguk pelan.

“kalau begitu, apa kamu tak mau mencari tahu apa yang sedang terasa keras dan berdenyut-denyut di perutmu?”

Ia mengarahkan tangaku ke bagian tengah tubuhnya dan menggenggamkannya di tanganku, rasanya panas, besar dan….hidup. saat aku menggenggamnya dan menggerakkan tanganku keatas dan kebawah ia meleguh karenanya.

“aahhhh…do it again

Aku menggeleng.

“kalau begitu…..”

Ia langsung mengubah posisi dimana aku langsung berada diatas dan sedang menduduki penisnya.

“bergeraklah diatasku sayang”

Aku tersenyum dan mulai menggerakkan pinggulku keatas, kebawah, kekanan dan kekiri untuk memberikan friksi nikmat padanya meski tak ada penyatuan yang terjadi.

Semakin lama semakin panas, ia juga bergerak menyentakkan dan menghentakkan pinggulnya keatas dengan keras, mengubah rasa inginku menjadi sebuah rasa gugup, dan aku tak tahu kenapa itu bisa terjadi. Sungguh semua yang ada pada Bright sangat indah hingga aku merasa tak layak memilikinya, dan rasa gugup itu kini berubah menjadi rasa keengganan, enggan untuk melakukannya.

Dengan posisi kejantanan Bright yang sudah mengeras dan saling bertindihan dengan kejantananku, dengan kulit kami yang saling bersentuhan membuatku tak paham mengapa ada rasa gugup dan keengganan dalam melakukannya.

“kak….”

“bergeraklah lagi sayang, ughhhh”

“kak Bri” Sadar kalau aku terlihat gelisah, ia menghentikan gerakannya.

“kenapa?”

“aku….ummmm…..aku…anu…..itu kak”

Ia tersenyum tulus dan mengangguk seakan paham dengan apa yang aku maksud.

“iya sayang…..iya, kakak paham kok, its okay”

Ia bangkit dan menggeser tubuhku hingga sama-sama berbaring di sebelahnya, aku langsung bergerak mendekatinya dan memeluknya dari samping.

“maaf kak….maafin Win”

Ia membalas pelukanku dan membawaku semakin mendekat dengannya, aku kira ia akan ngambek atau malah marah dengan mengusirku ke sisi lain sofa ini, namun Bright terlalu baik untuk melakukan itu.

“its okay Win, kakak gak akan maksa kamu untuk ngelakuin itu kalau kamu sendiri gak siap”

CUPPPP

Ia mengecup kening dan kedua mataku secara bergantian, rasanya penuh afeksi dan kasih sayang, aku bisa merasakannya, Bright bukan orang semabarangan dan aku beruntung karena memilikinya, ia dengan sabar menungguku hingga benar-benar siap bahkan ditengah nafsunya yang menuntut pelepasan, ia dengan sabar memberiku pengertian dan waktu, bagaimana bisa aku tak jatuh cinta dengannya?

“ingat gak aku pernah bilang kalau aku gak akan bercinta denganmu sampai kamu yang memintanya sediri bukan?”

Aku mengangguk di dadanya.

“dan tanpa bercinta pun, aku tetap mencintaimu dengan segenap hatiku Win, tak pernah berkurang sedikitpun”

Aku mengangguk lagi. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang berangsur normal.

“tapi yang tadi itu udah hebat baget Win, kapan-kapan kita coba lagi boleh?”

Aku mengangguk berkali-kali lagi di dadanya.

“sepertinya setelah ini kita harus membaca buku kamasutra kak hahahaha”

Aku tertawa kecil di pelukannya.

“sampai saatnya datang nanti, aku akan buktikan kalau kamu akan ketagihan dengan aksi ranjangku”

Ucapnya percaya diri.

“tidurlah Win, hari ini sangat melelahkan, aku akan tetap ada disini”

CUPPPP

“good night sayang”

I love you to the moon and never back

I love you countlessly Win Metawin

Aku tersenyum dalam peluknya dan perlahan kantuk itu aku bagi bersama dengannya hingga mengantarku ke gerbang mimpi terindah dan sebagai salah satu moment terindah dalam hidupku, yaitu bisa memiliki dan mengaguminya secara bersamaan.