JeJeJJ

Mfm

Newwie menunggu Awan di kolam yang memiliki kedalaman enam meter dengan wajah yang agak memanas karena guratan merah itu perlahan merambat di pipinya.

Ia tak menyangka kalau pemandangan tadilah yang akan ia lihat dan saksikan, selama ini memang Awan lah yang sangat mencolok sering menggodanya dan lebih sering berinteraksi dengannya dari awal ia menjadi pelatih.

COOOAACCHHHHH

“HUAAAAAAA”

Newwie benar-benar kaget dan hampir saja ia tercebur ke kolam renang.

“Awaaannnn, kamu kenapa sih? Suka bikin saya jengkel?”

Suasana kolam yang sepi dan hanya menyisakan mereka berdua membuat suara Newwie semakin nyaring.

“Yaelah, gausah marah-marah lah coach, masih pagi banget loh ini”

Ucap Awan dengan tangan bersedekap setelah memposisikan dirinya di depan Newwie yang lagi-lagi membuat mata sang coach tak fokus dengan jendolan penis Awan yang jelas tercetak miring ke arah kanan, terlihat menggembung dan besar selali.

push up

“hah? Apaan coach?”

push up limapuluh kali, sekarang”

Awan langsung mengeluh, ia tak menyangka kalau Newwie akan menghukumnya sedemikian rupa.

Tanpa ba bi bu, ia langsung mengambil posisi push up dan mulai mengayunkan badannya keatas dan kebawah, membuat otot bisep, trisep, dada dan abs nya berkontraksi dan membesar seketika.

Newwie baru sadar kalau proporsi badan Awan sangatlah ideal, dengan otot yang membuat darahnya berdesir, juga warna kulit awan yang berwarna tan (coklat), cukup membuatnya berpikir kotor dengan anak didiknya ini.

coach

Panggil Awan di tengah-tengah hitungannya yang sampai angka duapuluh-an, namun sepertinya Newwie tak mendengar kalau ia memanggilnya karena terlalu sibuk memperhatikan otot lengan Awan yang mampu membuatnya menelan ludah.

coahhhh

Panggilnya lebih keras.

“ha? Iya? Kenapa?”

Tanya Newwie begitu sadar dari lamunannya, ia terlalu asik membayangkan hal kotor dengan Awan sampai tak sadar kalau Awan tengah memanggilnya.

“Mau gabung gak?”

“hah? Apaan?”

“Sini gabung dibawahku ahahahahha”

Candanya yang direspon Newwie dengan memutar matanya, jika saja tak ingat dengan dunia, Newwie mau saja memposisikan dirinya dibawah kungkungan Awan yang sibuk naik turun untuk push up dan mungkin memberikan beberapa kecupan sebagai penyemangat, ahhh nyatanya hal itu hanya hidup di imajinasi Newwie, lebih tepatnya hidup di imajinasi mereka berdua menunggu waktu sampai imajinasi itu bisa dibawa ke dunia nyata.

Setelah Awan selesai melakukan hukumannya denhan push up limapuluh kali, ia berdiri dengan otot lengan dada dan abs yang mengembang besar, justru ini seperti senjata makan tuan, dimana Newwie ingin memberikan Awan pelajaran namun malah berakhir dengan dirinya yang salah fokus dengan tonjolan otot yang semakin membesar dan tonjolan penis yang tak kalah mencuri perhatian matanya.

“Udah nih pak, sekarang mau ngapain?”

“M-masuk ke kolam, itu tonjolan kamu bikin salah fokus, di lemesin dulu di dalem kolam cepetan” Ujarnya dengan muka yang ia buang entah ke arah manapun yang penting tak ke arah selangkangan Awan.

“alaaahhhh coach aja yang matanya jelalatan kan? Ahahahha”

BYURRRR

Awan menceburkan diri kedalam kolam sedangkan Newwie terlihat mukanya di tekuk jengkel karena kenakalan anak didiknya itu.

“kita evaluasi hari ini”

Newwie mulai mengeluarkan kertas catatannya dimana didalamnya terdapat catatan waktu dan ranking anak-anak didiknya.

“biasanya kamu selalu dapet rangking pertama, hari ini kenapa malah anjlok ke rangking pertama dari bawah huh?”

Tanyanya dipinggir kolam, terlihat Awan yang hanya kepalanya saja muncul dari kolam sedalam enam meter itu.

“Kalau performa kamu kayak gini gimana bisa kamu ikut turnamen?”

Newwie mulai dengan aksen yang seolah di galak-galakkan, padahal dimata Awan justru itu terlihat sangat imut dan menggemaskan.

Jadilah selama limabelas menit Awan mendengar ceramah dan ocehan Newwie dari dalam kolam, sesekali ia menepi karena kakinya pegal mengayuh di dalam air untuk menjaga agar dirinya tak tenggelam di dalam kolam.

“Gak capek apa? Kapok gak?”

“iya Coach capek”

Jawab Awan yang menepi ke pinggiran kolam.

“Kalau di kasih saran di denger gak?”

“Iya couch

Jawabnya lagi.

Newwie yang melihat Awan dengan muka di tekuk menjadi iba sendiri, mungkin ia terlalu keras pada Awan pagi ini, ada sedikit rasa bersalah di lubuk hatinya.

“Teknik kamu tadi juga ada yang salah”

Newwie langsung membuka jaket parkanya yang secara tak langsung menarik sedikit kaos yang ia kenakan dan memamerkan sebagian kulit perut hingga dadanya yang mengintip itu di lirik oleh Awan, ia seperti bersemangat ketika tahu kalau ia akan mendapat tutor secara eksklusif dengan coach yang selama ini ia taksir.

“Minggiran dikit”

Newwie membuka kaosnya dan celananya, hanya menyisakan celana dalam saja.

Awan sampai melongo dibuatnya, ia melihat tubuh Newwie yang selama ini tak pernah ia lihat, kulit putih susunya yang sangat menggoda, juga dua puting

diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja.

Aku berlari menuju rumah sakit dengan air mataku yang sudah tak kupedulikan lagi, apa yang Bian lakukan hingga ia harus dilarikan kerumah sakit?

Di depan ruangan aku bisa melihat tante Ika ada di dalam sana, perlahan aku masuk dan seolah paham, tante ika meninggalkanku berdua dengan Bian didalam ruangan yang berbau obat ini.

“Bian, apa yang kamu lakukan? Kenapa Bii? Kenapa?”

Aku duduk di tepi ranjang melihat tangan kirinya yang sudah diperban, ia mencoba melukai dirinya sendiri ternyata.

“Ara, aku ngerasa gak berguna di dunia ini Ra, aku ngelukai orang-orang yang aku sayang, maafin aku Ra”

Aku menggeleng, dan mendekat padanya.

“apa yang kamu lakukan Bii? Gak ada? Jadi tolong jangan lakukan ini, aku mohon”

“kamu putus dengan Awan kan? Gara-gara aku Ra, aku tahu itu”

“gak Bii, kamu salah, kamu salah”

Aku menangis sejadi-jadinya, di detik ini perkataan Awan ada benarnya, kalau diniaku sudah berputar pada Bian, bahwa tatapan dan perhatianku sudah berpindah pada lelaki ini, apa aku yang terlalu naïf sehingga tak bisa membedakannya antara sayang dan menunaikan pekerjaan?

“dia selingkuh Bii, dia jahat gunain kamu sebagai alasanku untuk putus, padahal dia sendiri yang melakukannya Bii…hiks”

Aku tahu, meski ia ingin menghapus air mataku, namun ia tak bisa, tangannya masih terluka dan terlalu sakit untuk di gerakkan.

“apa aku terlalu naïf Bii? Kalau semua duniaku sudah berputar padamu? Jika iya, aku akan mengatakannya sekarang, Bian Langit Angkasa aku telah jatuh cinta padamu sejak hari pertama kita bertemu, sejak burung kertas itu yang tak bisa terbang di teras rumah, aku mengatakannya Bian, aku mengatakannya”

Aku menjatuhkan wajahku diatas ranjang dan menangis sejadi-jadinya saat ini.

“jangan berbohong Ra, aku tak suka di kasihani seperti ini”

“gak Bii, aku gak bohong, coba lihat mataku” Aku menatapnya dengan air mata yang berlinang.

“apa kamu tak malu menyukai lelaki yang hanya punya satu tangan?” Aku menggeleng.

“apa kamu tak malu dicintai oleh lelaki dengan tangan yang bunt…”

“diam Bii, aku gak suka kamu berbicara sepeti itu”

Aku memeluknya, tak peduli kalau bobotku bisa mengintimidasinya.

“aku mencintaimu Bii, mencintai ketidaksempurnaanmu dengan ketidaksempurnaan yang aku miliki”

“Winara Cahaya langit, terimakasih Raa, namun kamu tak perlu melakukan ini kalau hanya atas dasar kasihan, aku berterimakasih karena kamu membawa cahaya baru dalam hidupku”

Aku menggeleng di pelukannya.

“apakah perasaanku tak sepenting itu Bii? Sampai kamu kira aku berbohong? Aku mencintaimu Bii, tidakkah kau sadar?” Ia tersenyum dan terkekeh.

“kalau begitu, peluk aku sekali lagi dan yakinkan aku kalau ini bukan mimpi”

Aku memeluknya erat, setelahnya aku mengecup dahi, pipi dan bibirnya singkat untuk meyakinkan kalau ini bukanlah sebuah mimpi.

diambil dari ingatan Langit dan Senja yang bersaksi.

Diantara langit dan senja disana ada garis katulistiwa, setelah melewati musim demi musim berdua, dengan semua canda dan tawa yang mereka berbagi berdua selama beberapa musim terkahir, hari ini mereka melihat senja berdua.

Antara Winara dan Bian adalah tentang memberi dan menerima, juga bagaimana kamu mengartikan cinta yang sebenarnya, mereka membuktikan di tengah ketidaksempurnaan yang kita miliki, masih ada sisi lain yang bisa kita cintai, dan belajar mencintai ketidaksempurnaan itu dengan cara yang sempurna adalah hal yang dilakukan Bian dan Winara selama ini.

ingatan Winara Cahaya Senja.

Kesempurnaan, bagiku adalah Bian.

Aku mencintai ketidaksempurnaan dengan segala ketidaksempurnaan yang aku miliki.

Aku mencintainya dengan cara yang sempurna.

Jika fisik sebagai ukuran dan takaran kita mencintai, lalu bagaimana kalian mencintai tuhan yang bahkan tidak memiliki wujud fisik?

Di titik ini aku bersyukur memiliki Bian disisiku, dia memang bukan seekor burung yang terbang bebas dilangit yang membelah angkasa. Namun ia adalah burung kertas indah yang memberiku sumber kebahagiaan, dia lebih dari cukup untuk membuatku terus bertahan.

Bian Langit Angkasa, I’ll be with you forever more

ingatan Bian Langit Angkasa.

Tuhan terlalu baik padaku, ia memberiku kesempatan kedua untuk menjalani hidupku yang sebelumnya hanya sunyi dan gelap.

Ia mengirimkan Winara sebagai pelita baru dalam hidupku, ia memberikan uluran tangan untuk kupegang dan berjalan beriringan. Dia mengajariku bahasa rahasia yang tak akan pernah aku bicarakan pada orang lain, hal itu dinamakan oleh cinta.

Dia memperlihatkanku warna baru yang tak pernah aku lihat sebelumnya pada orang lain, hal itu adalah keikhlasan untuk menerima.

Disore ini aku melihat senja bersamanya, sudah tak terhitung seberapa banyak aku melihat senja dengannya nyatanya akan selalu menghangatkan hatiku sekali dan berkali-kali lagi.

Winara Cahaya Senja i'll stay with you forever more.

diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja.

Aku melihatnya, ia ada di sebrang sana dengan seorang lelaki, ternyata ini alasan sebenarnya? Ia sudah menemukan penggantiku dan membuat Bian menjadi alasannya bisa putus denganku? Tahukah kalian bagaimana sakitnya? Sakit sekali.

Aku berjalan menuju ke arahnya.

“ini alasannya?” aku melihat ke lelaki yang duduk di sebelanya, bahkan aku melihatnya berciuman beberapa kali sebelum aku sampai kemari.

“Ara? Kamu ngapain kesini?”

“ini Wan? Kamu begini?”

Ia hanya diam, lelaki itu juga hanya terlihat bingung melihat ke arahku dank e arah Awan bergantian.

“mengapa kamu gak bilang saja kalau kamu sudah nemu yang baru? Mengapa kamu pakai Bian sebagai alasan untuk putus? Dan lihatlah? Siapa yang mendua? Siapa yang selingkuh? Adakah aku disana Wan? Enggak kan? Kamu yang mendua Wan, kamuu”

Aku menangis mendapati fakta perih ini, bahwa semua tuduhannya padaku adalah hal yang ia lakuka sendiri di belakangku.

“maaf Ra, tapi aku sudah tak bisa lagi”

“akupun sama Wan…..” potongku cepat.

“aku gak mau pacaran sama pembohong sepertimu Wan, aku kecewa sama kamu”

“maaf Ra”

“tak apa, aku doakan semoga kalian bahagia selalu”

Aku mulai melangkah menjauh dari pandangan mereka, menyeka air mataku yang tak mau berhenti mengalir, perihya sampai ke ulu hati.

diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja

diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja.

Disinilah kami berkumpul merayakan ulang tahunku, tak mewah memang, hanya sebuah makan malam sederhana bersama orang-orang terdekatku, bahkan aku mengajak Bian untuk bergabung denganku di malam yang spesial ini.

Satu persatu dari adik, ibu bahkan Awan memberikan kado padaku, tak terkecuali juga Bian yang mengeluarkan sebuah kado yang dibungkus cantik dengan pita yang mengikat diatasnya.

“selamat ulang tahun Ara, terimakasih untuk semuanya yang sudah kamu lakukan padaku, aku hanya punya ini sebagai hadiah ulang tahunmu”

Ia memberikannya padaku, dan aku membukanya.

“astaga Biannnnn, kamu membelikanku ini? Terimakasih banyakkk” Aku memeluknya erat-erat, berterimaksih untuk kado kecil yang sangat berarti padaku ini.

“ehemmmm” Awan berdehem, aku paham apa maksudnya dan langsung melepaskan pelukanku.

“terimkasih sekali lagi Bian”

“iya Ara, aku juga berterimakasih sudah diundang di acara makan malam yang sangat hangat disini, terimakasih ibu”

Ia berterimakasih pada ibuku, sungguh Bian, kamu sudah berubah dan menjadi pribadi yang hangat saat ini.

“aku rasa makan dengan tangan kiri bukanlah budaya yang baik, bukankah begitu?”

Ini Awan, aku bahkan tak percaya kalau kalimat itu keluar dari mulutnya.

“maksud kamu apa Wan?”

Tanyaku menatapnya tajam, mengapa ia kasar dan tak sopan sekali dengan mengatakannya di depan Bian.

“bukan apa-apa, hanya saja kamu perlu memegang garpu dan pisau dengan kedua tanganmu untuk makan steak ini”

Aku melotot padanya, sungguh aku tak percaya dengan apa yang ia ucapkan.

“kamu kenapa sih Wan? show him a little respect

“Ara, gapapa Ra, lagi pula dia benar kalau tanganku memang hanya tinggal satu kan?” Bian tertawa getir dan menunduk.

“gak Bii, aku yang akan jadi tanganmu sekarang, mari aku akan menyuapimu”

“gak perlu Ara, aku bisa sendiri” ia masih mencoba untuk menolak. “tak ada penolakan, ini kan hari spesialku jadi kamu harus nurut ya?”

Aku memotongkan steak itu dan aku suapkan padanya.

BRUKKK

Awan membanting garpu dan pisaunya diatas meja.

“Awan kenapa sih? Kaget tau”

“*I’m done, kamu pacaran saja sama lelaki buntung ini”

PLAKKKKK

Aku menamparnya, ia sangat tak sopan mengatakan hal itu di depa Bian, aku tak terima dengan caranya merendahkan Bian dengan menghina kekurangannya, sungguh cara manusia dengan otak dangkal yang melakukannya.

how dare you Wan berani-beraninya kamu bilang kaya gitu?”

Ia tak menjawab dan berjalan menuju pintu keluar.

we are done kita selesai”

Ada 365 hari dalam satu tahun dan ia memilih untuk menghancurkannya di hari ulang tahunku, terimakasih Awan.

diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja

diambil dari ingatan Davika (ika)

Dua minggu sudah, seorang anak muda bernama Ara itu bekerja disini, ia mampu mengubah putraku yang semula hanya diam di dalam kamar kini mulai aktif dan terkadang membantuku di dapur menyiapkan sarapan ketika pagi menjelang, juga memberinya semangat yang mungkin aku sudah tak merasakannya tiga tahun terakhir.

Putraku, Bian Langit Angkasa menemukan hidupnya lagi, aku tak tahu harus berterimakasih dengan cara apa pada Ara, ini sudah melampaui ekspektasiku yang hanya berharap ia mau berteman dengan Bian, bahkan saat ini mereka sangat dekat dan menghabiskan waktu berdua.

Terkadang aku melihat mereka tertawa tergelak-gelak di kamar sebelum aku berangkat kerja, juga ketika kau pulang kerumah mendapati mereka berdua sedang tertidur di ruangan audio visual dengan film yang masih terputar dilayar sana.

Cukup seperti ini saja sudah membuatku bahagia, jika saja suatu hari nanti sumber bahagia Bian adalah Winara maka aku akan menyetujuinya, bagiku kebahagiaan Bian adalah segalanya.

Aku pernah menawarkan Winara untuk menginap namun aku mengerti kalau ia tak bisa karena ia punya keluarga tak jauh dari sini, tak apa aku mengerti, seperti ini saja sudah cukup bagiku, mendengar gelak tawa Bian kembali lagi menghiasi rumah ini adalah suatu keajaiban yang aku mau membayarnya semahal apapun harganya.

Dua minggu belakangan juga Winara lah yang selalu Bian bicarakan bahkan ketika aku dengannya sedang menonton tv ia banyak menuturkan dan bercerita tentang apa-apa saja yang mereka lakukan berdua hari ini, juga apa saja yang Winara ajarkan padanya.

Bian menceritakan padaku kalau hari ini Winara mengajarinya untuk membuat kue, ia terlihat sangat bahagia dan senyum itu tterus terukir ketika menceritakannya, selain itu ia juga meminta izin padaku untuk pergi, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, Bian meminta izin padaku sebagai mamanya untuk pergi keluar rumah.

“ma, aku boleh minta izin?”

“iya sayang? Mau minta izin apa?”

“Bian mau pergi keluar boleh?”

“keluar? Kemana nak? Sama siapa?”

“Ara mengundangku untuk makan malam di rumahnya, katanya besok dia berulang tahun ma”

“iyakah? Wahhh boleh, tentu mama mengizinkan sayang”

“ma?”

“iya?”

“Bian boleh minta di temani?”

“kemana sayang?”

“Bian harus mencari kado untuk Ara, apa mama mau manemaniku keluar mencari kado untuknya?”

Aku menangis, tentu saja, lagi-lagi untuk pertama kalinya putraku mengajakku untuk keluar, walau hanya mencari sebuah kado ulang tahun tentu ini adalah moment yang sudah lama tak aku rasakan lagi.

“tentu sayang, mama mau, ayo kita bersiap keluar” Aku memeluknya erat dan mengecup puncak kepalanya.

“mengapa mama menangis? Apa aku mereportkan mama lagi? Maafin Bian ma” Aku menggeleng keras.

“enggak sayang, enggak sama sekali, mama bahagia akhirnya kamu kembali, anak mama, Bian Langit Angkasa”

Ia tersenyum dan melihatku

“apa mama gak malu punya anak yang tangannya buntung? Aku takut kalau mama malu dengan persepsi orang karena aku ma” Lagi-lagi aku menggeleng keras.

“enggak sayang, mama gak perlu mendengar apa perkataan orang lain ketika dunia mama sudah berpusat ke kamu, kamu dunia mama, mama bangga sama kamu, tetaplah bersama mama Bii”

Aku memeluknya lagi, sudah tak terhitung aku dibuat menangis karen perubahan Bian yang luar biasa pesat membuatku menangis bahagia, lelaki muda bernama Winara Cahaya Senja nampaknya memang membawa cahaya baru di kehidupan putraku.

Terimakasih Winara, kamu telah mengembalikan senyum dan tawa Bian, anakku satu-satunya yang aku sayang dan alasanku bertahan di dunia yang kejam ini.


Dipusat perbelanjaan untuk kado-kado ulang tahun, Bian sibuk berputar-putar kesana kemari, bahkan aku terkejut ketika ia tak lagi takut dengan tatapan orang-orang yang melihatnya dengan tatapan heran, aku bangga kepercayaan dirinya telah kembali.

“ma, kayanya Bian mau ambil ini aja deh, Ara pernah bilang dia pengen punya benda yang kayak ginian”

Aku melihat sebuah bola yang isinya manusia salju, sebuah snow globe ternyata.

“iya sayang, udah itu aja? Mau apa lagi?”

“udah ma, yuk ke kasir”

Bian menggandeng tanganku, dengan satu-satunya tangan yang ia punya, aku yakin ia bisa menggenggam dunianya sendiri.

diambil dari ingatan Davika

diambil dari ingatan Bian Langit Angkasa.

Winara Cahaya Senja, bisa aku katakan kalau ia berbeda dengan beberapa orang yang pernah bersinggungan denganku sebelumnya, aku bisa merasakan kalau ia tak hanya sekedar ingin tahu saja, aku bisa merasakannya ketika ia menyisir rambutku, ketika ia mendengarkan penuturanku dan cerita hidupku, aku juga bisa merasakannya ketika ia menceritakan latar belakang hidupnya yang ternyata jauh dibawah beruntung.

Ia berkata kalau ia sangat bersyukur mendapatkan pekerjaan ini yang bahkan aku saja mengutuk semua orang sebelum kedatangannya yang hanya menginginkan uang dan uang.

Bebanku sedikit lega dan berkurang ketika bercerita dengannya, pikiran tentang Cinta pun sudah tak lagi membuatku sesedih tadi, undangan pernikahan itu langsung aku buang ke tong sampah, aku tak mau melihatnya lagi.

“ma, aku boleh pakai ponsel lagi gak?”

Tanyaku pada mama yang sedang asik menonton tv, aku tahu kalau mama pasti lelah setelah bekerja seharian.

“boleh sayang, ada apa nih kok tiba-tiba kamu mau pakai ponsel lagi?” Aku duduk di sebelahnya dan menyandarkan kepalaku di pangkuannya.

“ma, Bian nyusahin mama ya? Maafin Bian yang gak berguna ini ma”

“Bian, kamu ngomomg apa sayang? Enggak sayang enggak, mama bahagia kamu ada disini, selama mama punya kamu, mama punya tujuan untuk hidup sayang, jangan pernah bilang kayak gitu lagi ya?”

Aku menangis di pangkuannya, hal yang tak pernah aku sadari selama tiga tahun terakhir ternyata benar, apa yang dikatakan Ara tentang burung kertas meski tak sempurna namun bisa memberi kebahagiaan untuk orang disekitarnya ternyata benar.

“maafin Bian ma, maafin karena selama ini Bian gak pernah sadar kalau Bian masih punya mama yang sayang sama Bian….”

Mama memelukku erat, tangisnya semakin lama semakin keras dan aku bisa mendengarnya dengan jelas.

“Bian Angkasa Langit, anak kesayangannya mama….selamanya kamu akan selalu jadi anak kesayangannya mama, gak peduli kekurangan yang kamu punya, kamu alasan mama untuk terus bertahan sayang, teruslah bertahan untuk mama ya?”

Aku mengangguk di pelukannya, akupun juga menangis, suatu hal sederhana yang baru aku sadari ternyata terucap dari mulut yang tak aku sangka.

Winara Cahaya Senja telah membuka mataku untuk melihat lebih jelas tentang dunia yang sudah lama tak aku kenali ini.

Kalimat sederhana Winara terus terngiang di kepalaku, ucapannaya seperti dipantulkan dari dinding-dinding ruangan ini yang mengatakan kalau semua ini bukanlah sebuah akhir bagiku.

diambil dari ingatan Bian Langit Angasa

Diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja

Hari ini seperti biasanya aku akan menyiapkan sarapan, membersihkan kamarnya yang berantakan, dia juga masih belum mau berbicara denganku, yang dia lakukan hanyalah berdiam diatas ranjang dan melihat tv, kadang bermain PS, lalu tertidur.

Aku bosan, sangatlah bosan, bekerja melihat orang tidur memangnya apa yang bisa aku lakukan? Aku memutuskan untuk melihat-lihat lebih jeli lagi apa saja yang ada di kamarnya.

Diatas nakas sana ada fotonya dengan sebuah gadis yang ada di pelukannya, bukan hanya satu foto namun ada lima foto dengan lima figura yang dengan ukuran yang berbeda-beda, aku baru sadar kalau ia sangatlah tampan dengan rambut yang pendek dan wajah yang terawat, aku tak bilang sekarang ia jelek, bukan, bukan seperti itu, hanya saja rambutnya yang gondrong tak terawat, juga jenggot dan janggut yang membuat wajahnya lebih tua dari lelaki seusianya.

“apa yang kamu lihat-lihat? Tidakkah kamu harus tahu kalau aku punya privasi?”

oh, here we go again dia terbangun rupanya dan mendapatiku sedang melihat beberapa foto diatas nakasnya.

“gak kok, hanya lihat-lihat saja”

Dia menatapku tajam diatas ranjang dan aku membalas tatapannya.

“kemana gadis itu? Aku yakin dia pacarmu kan? Sudah dua hari aku tak melihatnya berkunjung kemari”

Tanyaku santai duduk diatas kursi.

“kamu tak berhak tahu, lakukan saja tugasmu disini, kamu tak perlu tahu apa-apa tentangku”

Dingin, itulah dia, aku hanya ingin mencari topik pembicaraan untuk mencairkan suasana saja.

“maaf”

Aku berdiri dan bersiap untuk keluar kamar untuk ke dapur dan mempersiapkan makan siangnya.

“oh iya Bian….” Aku kembali berbalik dan melihat ke arahnya.

“apa aku boleh makan siang diluar? Gak lama kok, aku janji jam satu sudah sampai disini”

Dia hanya diam dan aku sudah menduganya, memangnya ia peduli? Rasanya jika aku pulang ke rumah pun dia tidak akan peduli, sungguh menyebalkan.


“dia sangat menyebalkan Wan, aku hanya ingin mengajaknya ngobrol dan jawaban seperti itu yang aku dapatkan”

“ssshhh, iya-iya. Yang sabar ya? Aku yakin suatu hari nanti dia pasti mau berteman sama kamu kok Ra”

“tetap saja menyebalkan”

Aku mengunyah roti yang aku beli dengan Awan begitu sampai di taman ini, tidak jauh dari rumah Bian memang ada taman yang cantik, Awan sampai mengorbankan jam makan siangnya untuk menjemputku dan mendengarkan keluh kesahku.

“ayo semangat lagi, aku abis ini mau balik ke kantor, maaf gak bisa jemput kamu pulang soalnya aku ada lembur”

“ah tak apa Wan, aku bisa jalan kaki”

“beneran?”

“iya, beneran mungkin aku akan mulai terbiasa beberapa hari kedepan”


Hari ke tiga, empat dan ke lima masih sama, ia masih membisu dan hanya berbicara seperlunya saja, bahkan aku sangsi dengan tante ika ketika jam pulang tiba ia akan bertanya apakah sudah ada kemajuan? Aku hanya berkata sejujurnya yang memang tidak banyak.

Yang sangat mengejutkanku adalah hari ke enam, ketika aku sampai disana aku berpapasan dengan seorang perempuan yang wajahnya seperti aku kenal, ia keluar dari rumah Bian dengan seorang laki-laki yang memakai jas, aku yakin mereka akn berangkat ke kantor.

Aku langsung menuju kamar Bright, suara kaca-kaca yang dibanting ke lantai langsung kudengar.

“Bians stop, jangan diambil nanti tangan kamu kena kaca”

“aakkkhhhh” Terjadi sudah, jarinya tergores oleh pecahan kaca figura yang ia banting di lantai.

“kan aku udah bilang, sini” aku memapahnya untuk berdiri dan duduk ditepi ranjang, meninggalkan pecahan-pecahan kaca itu.

Aku segera berlari menuju dapur dimana kotak p3k berada dan membawanya ke kamar.

“aaahhhh, perih”

Dia menarik jarinya ketika aku mencoba membersihkan lukanya dengan cairan alkohol.

“tahanlah sebentar, aku akan menutupnya dengan perban dan plester setelah ini”

Aku menarik kembali tangannya dan segera membuntal jari yang terluka itu dengan perban dan plester, setelahnya aku mencoba memunguti pecahan kaca di lantai dengan hati-hati.

Ketika aku melihat foto itu, aku baru ingat kalau perempuan yang berpapasan denganku tadi adalah perempuan di foto ini, namun aku tak tahu lelali yang datang dengannya.

“apa kamu mau menyimpan foto ini?”

“buanglah saja, bakar kalau perlu”

Aku terhenyak di tempatku. Apa yang terjadi hingga ia membanting semua foto-foto ini? Bukankah ia sangat sayang dengan perempuan itu sampai fotonya saja memenuhi kamar Bian? Lalu mengapa aku harus membuangnya.

“aku akan menyimpannya di laci”

“sudah aku bilangkan? Buang saja!”

“baiklah”

Setelah aku membereskan pecahan kaca di lantai, aku kembali ke kamar Bian.

Aku melihatnya, aku menyaksikannya bagaimana lelaki dewasa seperti Bian menangis, ia nampak sangat tertekan dengan keadaan.

“kamu bisa bercerita padaku, ya…kalau saja kamu ingin, aku dengan senang hati akan mendengarkannya”

Aku duduk di tepi ranjang, menemaninya yang duduk di sebelahku.

“apakah aku ini hanya beban saja? Lalu mengapa aku hidup? Bukankah lebih baik kalau aku mati saja?”

“hey, apa yang kamu bicarakan, ceritalah kalau ada yang kamu bagi padaku”

“harusnya aku yang menikah Ra, harusnya akuuu, bukan dia” Lirihnya, keputus asaan sangat tergambar jelas disana.

“jadi dia mau menikah? Dengan lelaki yang tadi itu?”

Ia mengangguk.

“kemarilah dulu, aku akan menyisir rambutmu, setelah ini sebaiknya kita keluar dan berbicara di taman, bukankah lebih asik?”

“aku tak pernah keluar rumah selama ini, aku tak mau dunia tau kalau aku buntung”

“sstt, kamu ngomong apa sih. Baiklah kita akan keluar ke teras saja dan menemaniku menyiram tanaman disana”

Aku mengambil sisir diatas nakas dan mulai menyisir rambutnya.

“aku bisa sendiri”

Ah, lagi-lagi seolah ia tak membutuhkan bantuan.

“bagaimana kamu akan menyisir? Jarimu terluka seperti itu, biarkan aku yang melakukan tugasku, diamlah sebentar”

Aku mulai menyisir rambutnya yang sudah bervolume ini, sangat berantakan.

“apa kamu tak berniat untuk memangkas rambutmu? Kamu nampak tampan dan fresh jika saja rambut gondrong ini hilang dari batok kepalamu”

Aku terkekeh mengucapkannya.

“apa kamu mau dipecat hari ini juga?”

Aku langsung terdiam mendengar responnya.


“jadi kenapa namamu Bian Langit Angkasa?”

Aku membuka pembicaraan setelah kami sampai di teras, ia mengakui kalau ini pertama kalinya ia duduk di teras selama beberapa tahun terakhir karena ia takut dan malu dengan keadaan dirinya, padahal menurutku tak akan ada yang mempermasalahkannya, bukannya tidak ada manusia yang sempurna kan?

“mendiang ayahku yang memberi nama….”

Akhirnya, ia mau bercerita dan membagi kisahnya denganku.

“ayahku berharap kalau suatu hari nanti aku akan menjadi seorang pilot yang hidupnya akan terbang ke langit dan membelah angkasa, namun lihatlah aku sekarang? Aku terjebak disini, jangankan menjadi pilot, untuk menyetir mobil saja aku tak bisa”

I’m so sorry to hear that tapi aku yakin ini bukan akhir dari segalanya bukan?”

Aku menyelesaikan beberapa origami burung yang aku buat diatas meja.

“cantik kan burungnya?”

“cantik memang, namun selamanya ia hanyalah burung kertas, ia palsu, ia imitasi, hidupnya sama sepertiku yang hanya diam dan tak bergerak, ia tak bisa terbang ke langit dan membelah angkasa bukan?”

Damn, dia sangat serius dengan ucapannya.

“tapi setidaknya dia bisa memberkan kebahagiaan pada orang-orang sekitar, bukankah begitu Bian? Aku bahagia bisa membuat burung kertas ini, begitupun denganmu, tanpa kamu sadari kalau kehadiranmu disini saja sudah bisa membuat orang bahagia, sebutlah tante Ika, bukankah ia bahagia bisa memilikimu? Iyakan?”

Ia hanya diam dan tersenyum getir.

“lalu mengapa namamu Winara Cahaya Senja?” Begitu rupanya, ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

“ibuku menyukai senja, sebanyak aku melihatnya ketika masa kecilku dulu, senja akan selalu indah untuk ditatap bukan? sama dengan langit yang selalu akan senja ketika sore hari”

“aku sudah lama tak melihat senja” Ia menerawang kearah langit biru diatas sana.

“iyakah? Kalau begitu kita harus mengagendakan untuk melihat senja, mungkin saja kalau kamu mau”

Kami berbicara banyak sekali, Bian bukanlah lelaki yang sedingin yang aku kira, aku bercerita tentang pekerjaanku sebelumnya, keluargaku, kedua adikku yang kadang diselingi dengan tawanya yang renyah, ia juga mulai terbuka dan menceritakan bagaimana kecelakaan tiga tahun lalu itu merenggut tangan kanannya, ia juga menceritakan saat perempuan yang bernama Cinta itu memutuskan untuk meninggalkannya dan mengembalikan cincin tunangan yang sudah mereka tukar di jari masing-masing.

Hari ini menjadi hari dimana aku mengenal sosok Bian Langit Angkasa lebih jauh lagi.

diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja

diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja.

Pagi ini aku sudah ada ditempat yang sama seperti kemarin, di lobi dengan Tante Ika yang sudah siap berangkat menuju kantor, ia sangat cantik dan terlihat modis sekali.

“Winara ya? Sini duduk dulu, tante mau bicara sama kamu”

“iya tante”

“ini ada buku, semuanya yang kamu butuhkan ada disini, mulai beberapa hari kedepan saya akan sangat sibuk dengan urusan kantor, itu sebabnya ada kamu disini untuk menemani Bian”

Ahhh, jadi namanya Bian. Aku menerima buku itu, seperti buku panduan yang didalamnya ada biodata bahkan mungkin ada hal yang disuka dan yang tidak disukai oleh Bian.

“saya harap kamu tak sekedar bekerja disini, tapi saya harap kamu bisa jadi temannya Bian, bisa kan?”

Aku mengangguk mengiyakan permintaannya, aku akan mencobanya. Tentu saja dengan gaji yang besar aku harus menurut dengan perintah yang diberikan padaku.

“ini” Ia menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat, entah apa isinya.

“itu gaji awalmu, saya sudah membaca riwayat hidupmu tahu dimana kamu tinggal, kamu bisa gunakan gaji itu dulu untuk keperluan keluargamu”

“eh? Tante saya kan baru kerja disini, apa tante gak takut kalau tiba-tiba besok saja gak masuk kerja karena tante sudah memberikan gaji pada saya?”

Ia tersenyum dan menggeleng.

“kabari tante saja ya kalau butuh sesuatu atau kalau ada apa-apa, tante harus berangkat sekarang, saya titip Bian ya Ara?”

“i-iya tante, terimakasih sekali lagi”

Setelahnya tante ika pamit dan pergi untuk menuju kantor, aku masih gemetaran dengan amplop yang aku pegang di tanganku, aku tak percaya kalau tante ika memberikan gaji bahkan sebelum aku bekerja disini.

“senang huh? Itu kan yang kamu mau? Hanya uang dan uang”

Aku terkejut, ternyata Bian yang melihatku dari lantai dua, dan baru aku sadari kalau ia hanya memiliki tangan sebelah kiri saja. Sungguh first impression yang buruk, aku dicap mata duitan hanya karena tersenyum senang mendapatkan amplop coklat ini.


Hari pertama sungguh buruk, Bian adalah lelaki dingin yang sama sekali tak mau berbicara denganku, yang dia lakukan hanyalah mengurung diri di kamar, aku tak melihatnya bermain dengan ponsel, apa ia tak memilikinya?

Yang aku lakukan seharian hanyalah membuatkannya makan siang, membereskan kamarnya dan duduk di sofa, sungguh pekerjaan yang mudah.

Ia masih menolak untuk berbicara denganku, ah mungkin besok aku akan mencobanya lagi, jadi sebelum sore ini aku pulang ke rumah, yang aku lakukan adalah mempersiapkan perlengkapan mandinya, seperti pakaian dan lain-lain yang aku yakin kalian tahu apa itu.

“apa yang mau kamu lakukan?” Ia bertanya untuk yang pertamakalinya padaku.

“mau ngambilin pakaian kamu, kamu mandi gih, aku ambilin semua yang kamu butuhkan”

“gausah, aku bisa sendiri, tanganku hanya buntung gak berarti aku tak bisa melakukannya sendiri, enyahlah”

Bian mendorongku kebelakang dan aku membiarkannya mengambil kaos dalam, kaos hingga celana dari dalam lemarinya.

“baiklah”

Dia membuka mulutnya untuk pertama dan kalimat itu yang keluar? Sungguh aku tak menyangkanya, aku hanya mencoba untuk membantunya, memangnya apa salahnya? Perkatannya masih memantul-mantul di otakku dan tak bisa aku lupakan, terdengar seperti ia meruntuki dirinya sendiri atas ketidaksempurnaan fisik yang ia punya.

Tak berselang lama tante Ika pulang dan aku segera berpamitan, sepertinya beliau paham dengan apa yang aku alami, ia berkata kalau beberapa orang terdahulu juga seperti ini, namun kembali ia berharap padaku untuk bisa berteman dengan Bian.

Diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja

diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja.

Disinilah aku sekarang, sejak aku melihat tawaran dengan gaji yang luar biasa besar aku langsung membuat surat lamaran kerja dan mengirimkannya ke kantor pos, puncaknya ketika semalam aku ditelfon oleh seorang perempuan yang bernama ibu ika, tahukah kalian apa pekerjaan yang ditawarkan? Apa ya sebutannya, kalau untuk anak-anak mungkin namanya babysitter, bedanya kali ini yang aku urus adalah seolah lelaki dewasa yang umurnya terpaut lima tahun diatasku.

Aku sudah merundingkan ini dengan Awan, dia adalah pacarku yang mendukungku untuk mengambil pekerjaan ini setelah aku kehilangan pekerjaan sebagai penjaga toko bakery karena bangkrut dan harus gulung tikar.

Ada tiga orang yang menunggu bersamaku disini, di ruang tamu dengan bu ika sebagai pusatnya, kamu di wawancara secara bergantian, yang aku suka bu ika tidak menanyakan hal yang sama antara orang satu dengan yang lainnya.

“pernah bekerja dimana?” Tanyanya melihatku.

“di toko bakery Tante”

“ada riwayat kejahatan? Criminal? Pencurian? Tatoo?”

Aku menggeleng, terlalu banyak pertanyaan yang harus aku jawab.

Beliau adalah tipe observer yang hanya bertanya dan berucap untuk mengonfirmasi informasi yang ia dapat, beliau juga memperhatikan sikap dan gerak-gerik kami semua ketika wawancara.

“baiklah terimakasih, tunggu saja panggilan dari saya kalau kalian diterima”

Hanya begitu? Baiklah sepertinya aku tidak boleh berharap banyak dengan pekerjaan ini, itu adalah kata-kata untuk menolak lamaran kerja seseorang.

Aku pulang dengan perasaan yang campur aduk, aku harus cepat menemukan pekerjaan karena aku adalah anak pertama di keluargaku yang harus menjadi tulang punggung, mama hanyalah seorang penjahit, gajinya hanya bisa untuk memenuhi kebutuha rumah, sedangkan untuk menyekolahkan kedua adikku? Akulah yang bertanggung jawab.

Biar aku pikirkan sambil berjalan menuju rumah, aku tak naik angkot karena taka ada kepingan rupiah yang tersisa di dompet maupun di saku celanaku, bahkan aku lupa kalau aku belum mengunyah apapun sejak pagi karena memang tak ada makanan dirumah.

ingatan Winara Cahaya Senja