Kals

“oh my god, stop staring at jeno like that.” ucap renjun seraya melempar handuk kecil yang digunakan oleh beberapa pemain basket sekolah mereka yang sedang sparring ke muka haechan.

jeno, buah mata di pelupuk haechan saat ini bergerumul dengan teman-temannya membentuk strategi, memakai jersey authentic tanpa kaos dalaman lagi. memamerkan gemilang keringat hasil panas bermain dan ruangan.

“what? now i can't staring at my boyfriend?” balas haechan kesal yang melempar kain pengering kembali ke teman yang badannya lebih kecil darinya.

“ya tapi di lap dulu itu iler lo, terus ngeliatinnya jangan gitu ah”

terdengar decitan sepatu bergesek dengan lantai dan seruan kode-kode untuk bola agar bisa dioper dari team ke team.

“jangan gitu gimana coba?”

terlihat jaemin dan jeno memberikan operan satu sama lain seakan cuma mereka berdua yang bermain di lapangan, lawan tidak diberikan kesempatan. sedangkan di dekat ring berdiri mark yang ditahan oleh junior meneriakan nama mereka untuk segera passing bola ke arah dia menargetkan sasaran.

“like you want to devour him or something”

“mau gue kasih tahu gak? pertama, iya gue pengen banget makan jeno sekarang, liat deh itu lengannya, ototnya, pelipisnya—wow” lidah haechan berkilat dibibir bawahnya membuat renjun memberi pandangan jijik dengan sukarela.

“kedua, bukan salah gue kalo lo gak bisa milih antara kak mark atau jaemin, jadi jangan. lampiasin. amarah. lo. ke. gue” kalimat tersebut ditekankan haechan dengan sabetan handuk ke arah renjun di setiap titiknya. tapi di akhir sabet, renjun menangkap ujung tuala itu lalu terjadilah ajang tarik menarik bak lomba kemerdekaan.

tak lama terdengar bunyi sorakan dari tengah lapangan menandakan kemenangan salah satu tim. haechan ikut teriak riang karena sepertinya tim jeno yang berhasil menembak skor akhir.

menghentikan permainan bocah antara dirinya dan renjun, haechan segera berlari ke posisi pacarnya berpijak dan melemparkan badannya ke lengan terbuka jeno yang sudah melihat gerak geriknya dari kejauhan.

( “by, ke lokernya nanti aja pas akhir-akhir”

“tapi aku bau chan”

“udah nanti aja”

“emang kenapa?”

“nanti aku temenin ke lokernya”

)

Dear Huang Renjun,

Ketika gulungan lintas surya tak lagi berputar pada mentari, ada satu hal yang kutahu pasti.

Matahari terbenam di kedua bola matamu.

Pikirku alot untuk sekedar mengetahui seluk beluk mu, tapi sedikit demi sedikit bisa ku retakan.

puji sukur ku sembahkan karena dirimu yang bersedia menyercahkan secuil sinar harapan.

bagai yang dikutip dari novel yang sudah di teaterkan, “karena hati tidak perlu memilih, ia selalu tahu kemana harus berlabuh”.

dari, kapal yang ingin singgah.

Dear Huang Renjun,

Ketika gulungan lintas surya tak lagi berputar pada mentari, ada satu hal yang kutahu pasti.

Matahari terbenam di kedua bola matamu.

Pikirku alot untuk sekedar mengetahui seluk beluk mu, tapi sedikit demi sedikit bisa ku retakan.

puji sukur ku sembahkan karena dirimu yang bersedia menyercahkan secuil sinar harapan.

bagai yang dikutip dari novel yang sudah di teaterkan, “karena hati tidak perlu memilih, ia selalu tahu kemana harus berlabuh”.

dari, kapal yang ingin singgah.

Dear Huang Renjun,

Ikan di langit ku. Bintang di samudera ku. Suatu hal yang mustahil untuk ku dapatkan.

Lebih dari mengharapkan rembulan dari hatimu, aku lebih ingin berapresiasi terhadap tuhan yang telah menciptakanmu.

Terimakasih telah menyihirku, mengunci jiwa dan pikiranku, menyekap hembus nafas dan membelokan kewarasanku hanya untuk bisa memujamu dalam diam.

Tapi aku ingin goyah, ku ingin kau lihat terang dari ruang gundah gulana ini.

Jadi, maukah kau? membawa lentera itu dan menyalakannya untuk ku?

Them

hari itu mereka berdua melakukannya.

bercinta sambil marah.

gak ada alasan yang jelas mengapa berkobar rasa amuk didalam hati mereka, namun raga fana serasa terbakar kira membayangkan seharian bagaimana rasa tubuh tanpa helai benang dengan nafsu tak terkontrol terbuai oleh emosi.

yang penting saat ini donghyuck sudah tidak tahan akan jeno yang bernapas dibelakang lehernya, dan jeno yang juga sudah tidak tahan akan donghyuck yang mengkuliti daging hingga rangsang mengalir di darahnya.

tangan donghyuck memijat lembut kedua buah zakar pasangannya, menanti reaksi dibalik manik polos yang dibuat-buat. jeno gemetar dan mendesis rendah.

melempar kepalanya ke belakang, jeno memejamkan mata, tidak mau terlalu cepat mencapai lampu hijau.

“ck, gengsi mu terlalu tinggi” donghyuck bergumam dan langsung menutup bibirnya dengan mengulum daging empuk di tangannya dengan lahap bak babi tidak pernah diberi makan. dengan hafal memasukannya lebih dalam sebagaimana jeno lemah terhadapnya.

jeno mencengkram beberapa helai rambut yang lebih muda dibawahnya. mengarahkan kepala mengikuti gerakan pinggul tanda tak puas dengan yang diberi oleh lawannya. tak suka di atur, donghyuck membalas dengan goresan gigi atas mengundang rintihan jeno.

“setidaknya.. aku tidak menjadi rendahan.. dengan menggoda pria lain” jeno mengucap sambil terbata akibat ulahnya sendiri yang mencari kenikmatan.

donghyuck berhenti ditengah gerakan maju-mundur kepalanya hanya untuk sekedar berdengus, udaranya menerpa bulu kemaluan sehingga memberi efek seluruh hormon jeno menyatu diujung tanduk.

sekali hisapan, donghyuck melepas bibirnya mengganti dengan jilatan-jilatan kucing ketika dirasa jeno sudah semakin dekat. mensejajarkan dirinya, donghyuck mendekatkan wajah dan menarik paksa tekuk yang lebih tua, menabrakan kedua belah bibir sehingga tercipta suara cipakan nyaring disekitar ruangan.

“kamu mau digoda juga, 'bos?'”

jeno menggeram lalu memegang dengan kuat pinggang donghyuck untuk ditarik bersatu ke badannya. memastikan harus ada bekas yang dapat dongyuck ingat besok paginya bahwa dia milik siapa, untuk siapa, dan dari siapa.

jeno berniat sungguh agar membuat donghyuck lupa akan namanya, ketika,

“kalau mau monolog dipikiranmu itu menjadi nyata harusnya kamu segera melakukannya sebelum aku bosan”

jeno menyunggingkan bibirnya, “tak pernah aku lihat kamu dapat bosan bermain dengan milikku”

jeno menarik milik donghyuck, membuat empunya tersentak kaget lalu mencengkram pundak pucat jeno yang gampang memperlihatkan warna merahnya. lalu dengan kilat membalikan badan donghyuck agar si coklat dapat memampangkan bokong sehalus bayinya.

dengan kasar namun tidak berbahaya, jeno menepuk pantat itu tiga kali diiringi desahan yang makin meninggi dari yang menerima tepukan tersebut.

namun tanda itu tidak membuat pikiran donghyuck kehabisan akal untuk menyerocos tanpa saringan, “mungkin setelah tiga bulan yang lalu aku telah berubah, kamu berubah, kita berubah. tamparanmu tidak menggairahkanku seperti dulu”

jeno tahu itu omong kosong, karena keterbalikan dari ucapannya, sekujur bulu kuduk badan donghyuck berdiri kegirangan akan ministrasi jeno lakukan tadi.

tapi jeno mudah tersulut, dan yang jeno lakukan selanjutnya seperti reflek dituntun oleh setan. dua jari hanya dengan mani awal milik yang lebih muda hasil mengocok sebentar dia masukan dengan cepat ke anal merah muda yang kencang itu.

“tiga bulan dan masih sempit”

“itu karena, ah— gak pakai, euh- pelumas bodoh!”

“sakit?”

“jangan, euh, ditanya tolol” donghyuck mengeratkan tangannya di meja marmer di depannya. badan terus memundur mengejar guntingan jemari jeno di dalamnya.

“apa sesakit diriku yang ditinggal tanpa kata-kata tiga bulan lalu?” kata jeno rendah, tapi tanpa amarah, tanpa murka, tanpa garang.

donghyuck menggelengkan kepalanya, menjernihkan pikiran untuk tidak ikut berduka jika masih begini akhirnya cara mereka berbagi hasrat.

“persetan” donghyuck dengan paksa melepas bokongnya dari pergelangan tangan jeno lalu membalik badannya menghadap penuh ke si taurus.

“pindah ke sofa”

jeno memiringkan kepalanya.

“aku bilang kita pindah ke sofa”

jeno menghela nafas mendengar rajuk donghyuck lalu membuka lacinya untuk mengambil pengaman untuk berganti tempat ke sofa tamu yang ada diruang kantornya.

“kenapa pakai pengaman?” tanya donghyuck melihat jijik ke benda karet dibungkus persegi biru itu.

“karena sebego-begonya aku, se sok kuatnya kamu, se seneng-senengnya kita, aku gak mau kalau kita gak aman. gak ada jaminan—”

“tapi aku aman.” cicit donghyuck mengecil. menunduk malu mengakui hal tersebut. terlihat seperti bocah daripada lelaki umur 25 tahun yang akan digagahi.

“tetap aja hyuck” kecap jeno sambil menyekar rambut hitam pekatnya. lalu mengambil botol pelumas kecil yang masih terpakai sedikit dari laci yang sama.

“sana ke sofa”

donghyuck berdecak kesal dan mengambil lancang botol putih tersebut. membuka tutup dan mengoleskan beberapa cairan tersebut ke jari telunjuk, tengah dan manisnya. sambil berjalan menuju sofa, dan merebahkan punggung, donghyuck menyiapkan dirinya sendiri.

“nunggu kamu lama”

“kalau nunggu yang lain, cepet ya”

'hnggg' donghyuck melenguh seperti komputer pentium yang baru dinyalakan ketika merasakan jemari nya sendiri memanjakan titik kurnianya.

jeno memperhatikan pertunjukan di depannya dengan seksama sambil mengurut kepemilikannya yang senang, berbeda dengan otak yang berkalut mengingat kata donghyuck sebelumnya bahwa dia, dirinya sendiri, mereka berdua, telah berubah.

tiga bulan waktu yang tidak sebentar untuk membenahkan hati yang berantakan akan perlakuan sahabatmu yang kau cintai dalam diam selama bertahun-tahun. tiga bulan bukan waktu yang sebentar untuk merapihkan nalar yang hancur akan pengakuan sahabat yang kau cintai diam-diam juga mencintaimu kembali tapi belum dapat membalasmu saat itu juga. tiga bulan juga bukan waktu yang sebentar untuk dapat menghentikan rasa yang sudah terlanjur terjaring dan tidak dapat digunting untuk melepaskannya.

dan ketika sahabatmu itu kembali dalam wujud sebagai bawahan barumu, siapa jeno yang tidak mempergunakan kartu kekuasan untuk memutar balik keadaan agar tidak tersakiti lagi.

tapi lihatlah si jeno yang terlalu baik hati, kendali yang dia pegang kini diserahkan secara percuma kemudinya kepada lelaki disebrang yang sedang mengatur tempo untuk orgasme.

“kalau aku main sendiri begini, mending aku pulang”

dan itu adalah petunjuk selanjutnya untuk jeno bergabung.

ditekuknya kedua lutut donghyuck agar terkangkang bebas menampilkan lubang anal merah muda donghyuck dengan percaya diri menarik perhatian penis jeno yang kini sudah berselimut karet tipis bernama kondom.

dimasukan sekali lagi tiga jemari dari jeno ke liang itu memastikan agar dia dapat leluasa tidak membuat suatu penyesalan di saat nanti.

“tuh kan bener lama, cepet masukin”

tapi jeno kali ini membantah, menyerukan mukanya ke muara tersebut, menjilat dan mengecup basah membuat donghyuck yang bergantian bergetar.

“sialan”

“kamu lupa siapa atasanmu?”

“lee jeno cepatlah”

“memohonlah”

donghyuck mengerang frustasi, ujungnya mengeras akan segera lepas, dindingnya menegang tidak sabar mencengkram sesuatu.

“tolong—”

“apa?”

“jamah aku, pe— pegang aku. sentuh seluruh. aku mau disentuh”

“hanya disentuh?” dan benar, jeno hanya merabakan telapak tangannya halus disekitaran pinggul, dada, dan noktah hitamnya.

“lee jeno, masuklah, cepat, kumohon”

jeno berdengus, “seperti tidak ikhlas”

donghyuck naik pitam, menggengam muka kotak jeno dan mencumbu mulutnya ganas. melumat dan memasukan paksa lidahnya yang dengan cepat didominasi kembali oleh jeno.

dengan distraksi, jeno memasukan miliknya ke donghyuck, menghapus garis batas yang jeno dan dongyuck coba tarik ulur dari meeting sehabis makan siang hari ini.

donghyuck sudah tidak memikirkan apapun selain pecapaiannya maka kakinya otomatis menyilang di belakang punggung yang lebih tua sementara panggul mereka bergerak dalam ritme pendek-pendek. tubuh bosnya berat dan hangat di atasnya, kulitnya lembap oleh selapis tipis keringat. Bibir donghyuck basah mendesahkan namanya berulang-ulang seolah kecanduan.

“apa— apa mereka bisa membuat kamu seperti ini? mendesah seperti ini? membuat kamu nikmat seperti ini?”

donghyuck menggeleng cepat mengalahkan pacu diantara bawahan mereka. mengerang kecil memasukan kepalanya di ceruk leher jeno.

“gak- gak ada yang lain. cuma kamu”

jeno ingin sekali percaya, dia akan percaya.

“kamu harus percaya jeno. gak ada yang lain. aku akan lakukan semua buat kamu” racau donghyuck bersamaan dengan hilangnya arah kecepatan yang jeno atur.

mencopot tanpa aba-aba dan memasukan kembali secara menyamping, jeno menghimpit miliknya dibawah selangkang dan analnya donghyuck.

“kamu lakuin apapun buat aku?” kata jeno dengan tergesa, mengambil nafas asal.

“apapun”

“yang terburuk”

“lebih dari itu”

jeno berhenti sejenak dan kini membuat donghyuck benar-benar menunggingkan dirinya. memasukan miliknya dan satu jari ke pantat donghyuck agar dimajukan bersamaan. menghasilkan pekikan nyaring yang jika saja ruangan jeno tidak kedap suara dapat terdengar oleh penjaga kantor yang terkadang berkeliling.

“bisa kamu tahan ini? sebentar”

donghyuck melihat bintang, air liurnya keluar disudut bibirnya, namun dia masih sempatkan membalas demi tidak-tahu-apa-yang-dia-demikan dengan anggukan.

jeno tidak tahu khilaf mana yang hinggap dipucuk kepalanya, tapi jeno ingin, dan jeno harus.

“kalau sakit banget—”

“enggak, gak sakit. te— terusin aja”

dan lagi jeno menggerakan mereka, penis dan jarinya. Menggelitik. Memantik. Membuat gila.

“ah! jeno ah!”

“enak?”

donghyuck memutar kedua bola matanya. ia memutarnya bagaikan orang sakau, bagaikan mereka yang kesurupan. pahanya bergetar hebat. lalu seketika donghyuck melihat putih.

jeno merasa orgasme donghyuck tercapai, melepas jari dan kemaluannya kembali untuk mengangkat badan donghyuck agar memangkunya.

terlalu stimulasi membuat donghyuck mengerang lemah namun tetap menuruti jeno bagai diuntai tali boneka kain.

tanpa memasuki, jeno melepas karet pengaman yang terasa sesak lalu menggesekan miliknya dan donghyuck yang kini hidup kembali atas intrusinya.

kulit dengan kulit, seperti yang donghyuck harap dari awal.

dengan menangkup pipi jeno, diusapnya lembut sekitaran tulang zygomaticus itu. menatap sayu ke kulit langsat di hadapannya, donghyuck mengecup sayang ke semua permukaan lapisan kulit kepala jeno.

jeno menggoyakan pinggul tanpa henti hingga gesekan tersebut sampai jengah untuk dirasa. sampai asa itu terus ada disana. Sampai limitnya. Sampai kedua dari mereka meracau hebat.

Dan akhirnya mereka memuncratkan isian keluar. untuk kasusnya donghyuck, keluar kembali.


(mereka akhirnya meringkuk berhadapan di sofa tamu setelah beberapa ronde selanjutnya. menyelami iris mata masing-masing pihak.

“asal kamu tahu aku gak ada godain mereka”

“hm”

“aku gak ada sama sekali niat buat narik perhatian mereka”

“hm”

“ya kalaupun mereka tertarik bukan salah aku yang gak bisa ngatur pikiran mereka”

“hm” jeno mengeratkan pelukannya ke donghyuck. menghembuskan nafas hangat sebagai terpaan ke papar wajah donghyuck yang menerima sukarela.

“aku sayang kamu”

jeno tersenyum, akhirnya dapat menanyakan kembali pertanyaan yang tak bisa terjawab sebelumnya.

“sekarang apa sudah bisa nerima aku?”

doghyuck mengangguk, lalu memasukan lengannya ke bawah ketiak jeno. membuat dirinya lebih mengecil dengan menenggelamkan kepalanya di dada jeno. mengecup kecil kulit yang disuguhkan.

“milikku?”

“milikmu. kamu milikku?”

“milikmu. selalu”)

“Sungchan, kamu di telpon tante. Ke kamar gih” Kata pujaan hati gue saat dia menyampari adeknya dan gue yang lagi kesulitan baca soal sekolah yang tiba-tiba disuguhin ke muka.

“Iya kak” Sungchan, adeknya Haechan yang tingginya melebihi parabola indihome itu pergi sambil melirik judes ke gue sekilas.

Niat ingin mengakrabkan diri musnah sudah sama gue yang dengan tampang cengo liatin kertas gak berdosa itu.

Bukannya gak ngerti sih, dulu gue anak IPA juga, cuma kan ya heran aja gitu ngapa tiba-tiba udah kaya olimpiade dadakan padahal acaranya mau ngapel plus nembak bunga tidur gue.

Pas adeknya udah pergi, giliran posisi duduk bekas Sungchan terganti sama Haechan.

“Maaf ya Jen, aku lama tadi di kamar”

“Ya, gak apa-apa. Kan aku ditemenin adek kamu tadi”

Doi cuma menggangguk. Gak lama kemudian, kita cuma lihat-lihatan aja. Gue ngerasa suasana mulai mendukung, jadi gue mau melancarkan rencana meresmikan hubungan secara mainstream.

Sebagai permulaan, gue berdeham.

“Chan, kita kan udah saling kenal lama—”

“Eh iya, setahun, dua bulan, 5 hari, 11 jam, tiga detik ya”

“Iya, segitu. Nah makanya, gue mau tanya. Gue boleh kenal lu lebih lama lagi gak dari ini”

“Maksudnya?” Doi ngeliatin gue sih sambil ngulum senyum, ya pasti sebenarnya sih udah tau menjurus kemana obrolan ini. Tapi gak apa-apalah, mungkin dia mau hilangin sedikit kegugupan gue.

“Gue boleh gak jadi—”

“Kak Haechan” Seru Sungchan tiba-tiba dateng lagi ke sofa tempat gue dan abangnya bersemayam.

“Iya?”

“Tadi gue iseng-iseng otak atik foto muka lo sama abang ini dari facebook. Terus gue gabungin. Nih hasil penggabungannya. Mungkin bisa jadi pertimbangan lo kalau nanti nikah sama punya anak”

Pengen gue ketawa sebenarnya karena kan abangnya dia sama gue berdua laki. Cuma ngomongnya dia serius banget.

Sumpah suara dia songong. Gue gak tahu apa karena gue ada disini atau emang bawaan dari sana. Cuma gue harap sih nada dia jangan kaya gini lah sama abang kandungnya juga. Gak enak aja gitu dengernya.

Pas di kasih kertas foto yang gue asumsikan hasil photoshop otodidak adeknya, Haechan mangap sambil membelalakan matanya kaget.

Terus ditinggalkanlah gue sama Haechan yang masih mandang takjub kertas ajaib itu oleh Sungchan. Sementara itu abangnya yang di ambang emang dia gak nganggep serius atau gak percaya sama otak adeknya, gue gak tahu deh.

Yang penting abis itu dia kasih kertas itu ke gue.

Dan, gue hampir pingsan.

Gak bisa di rangkai dengan kata-kata itu gambar se abstrak apa.

Padahal, gue gak jelek.

Iya, kan?

TTKG ½.

“Loh jadi kamu gak pacaran sama Chenle?”

“Bang Jeno sehat?”

“Eh, ini beneran nanya, Jisung. Abang kira kalian udah nikah kali dari kamu yang bolak – balik ke rumah Chenle mulu”

“Kagakkk abangggg”

“Bohong, kemarin cipokan di depan gang”

Sumpah, pengen gue timpuk kepala Kak Haechan, tapi nanti gue malah balik di geplak sama Bang Jeno, secara mereka pacaran. Lagian demen banget nyebar hoax, mulut romannya gak pernah baca ta'awudz.

Oh ya, kenalin gue Jisung. Anak kedua dari bapak Haji Sidiq, ketua erte merangkap pemilik sate yang selalu rame pas malam minggu. Gue juga adeknya Bang Jeno, yang lagi ngejar S2 di Australia sambil LDR sama pacarnya dari esde. Kalau gue mah masih sekolah menengah, ngejar nilai UN yang bikin gue berpikir setiap hari kapan terakhir kali gue dapat tertidur tenang. Tapi karena tinggi gue di atas rata-rata banyak yang nyangka gue maba MU alias mahasiswa banyak yang mau. Apasih.

Ngomongin abang gue yang menimba ilmu sampe ke tetangga sebelah, sekarang dia baru balik nih. Judulnya sih liburan musim panas, tapi eksekusinya nargetin gue sebagai bahan jahilan. Mungkin buat nutupin dirinya yang gak mau bilang kangen kali ya sama gue.

Entah kesambet apa saat nyebrang perbatasan maritim, tiba – tiba nanyain Chenle ke gue, kenapa dia gak di ajak nyambit alias nyambut intim kepulangan sementara abang semata wayang gue ini.

Raut muka gue sudah menjawab dengan pertanyaan balik, 'Buat apa?'

Dia jatuhin bom dong, “Ya kan pacar, masa gak dikenalin ke keluarga”

Nyebut gue. Istighfar dari hati yang paling terdalam.

Ya orang belum jadi pacar gue. Malah pengen gue sematin judul jadi 'musuh' gue.

Chenle itu temen dari SMP, cuma sekarang udah beda sekolah. Kata dia males ketemu sama gue lagi, tapi alasan resminya sih ortu dia pengen dia sekolah di tempat sama kaya para leluhurnya. Itu sekolah etnis Cina udah kaya turun temurun khusus buat keluarga Chenle doang gue rasa. Yang lain numpang nama jadi murid. Walaupun begitu, kita masih deket. 'Bestie' dah kalau sebutan tren sekarang.

Chenle ini orangnya baik, imut, gemesin, lucu nya gak dibuat-buat. Tapi dulu.

Sekarang mah masih, tapi gak sama gue. Gue juga gatau kenapa dia tiba-tiba berubah. Apa karena gue yang makin ganteng, dia jadi risih. Asumsi doang sih itu, gak pernah gue bilang ke dia juga. Takut ditimpuk.

Berubahnya juga gak kentara, gak kaya Ultraman yang tiba-tiba gede terus nginjek-nginjek apartemen di Sudirman. Enggak. Berubahnya dia tuh jadi sok sun- stun- eh apasih. Oh, tsundere. Sok gak peduli, kalem, cuek padahal aslinya blangsak.

Pernah gue gak bisa ngerjain tugas sekolah saking puyeng karena hidung mampet sebelah, dia ke rumah mau dengan sukarela buatin padahal dia belom ada di ajarin materi itu di sekolahnya. Biasalah, Swasta yang timpang dengan Negeri. Cuma sambil ngerjain, dia ada bumbu-bumbu ngomel gak jelas yang gue gak dengerin dan malah berakhir gue yang ngajarin dia.

Abis itu, gue depak dia saking kesel dan menyerah atas teriakan kesakitan di dalam kepala gue yang buat kuping gue pengang.

“Yeu, malah bengong sekarang bocahnya. Beneran ini mah fix lagi pacaran di ambang mau putus ya?”

Kak Haechan nih kalau gak seumuran sama abang gue pengen gue sumpel mulutnya pakai sempak bekas. Sayang aja mah gue inget tata krama.

“Enggak elah kak, pacar gue bukan Chenle” Gue melengos, pengen cepet-cepet ke kamar rasanya daripada ladenin dua sejoli ini. Cuma lagi betah makanin jeruk hasil oleh-oleh bang Jeno. Heran juga, ke Australia yang dibawa pulang malah jeruk, bukan Kangguru.

“Terus siapa pacarnya? Oh, cewek ya? Si Yuna atau Yuni itu?” Bang Jeno ngobrol di telen dulu kek itu jeruknya, kan jadi salah nebak nama orang.

“Bukan. Ada dah yang laen”

“Eciee ada yang lain. Siapa tuh?” Kata kak Haechan ngeledek sambil ngupasin jeruk ke tiga dia siang ini. Semoga aja di sisain buat gue.

“Ya ada dah mokoknya”

Terus ponsel gue bunyi tanda pesan sekaligus menyala untuk menampakan tulisan pemberitahuan, yang bodohnya gue letakin sembarang di atas meja makan dan bisa dilihat jelas oleh semuanya terpampang muka siapa yang gue jadiin layar kunci rahasia gue.

Kak Haechan jatuhin jeruknya ke lantai, gelinding ke ujung dunia. Sedangkan abang gue cuma melongo.

“Kamu suka Kak Renjun?”

- Malemnya gue mengisah ke sahabat yang dikira pacar sama abang gue.

“Sumpah malu banget guee anjing anjing anjing”

“Hahaha lagian gue udah bilang, kalau mau di jadiin lockscreen tuh hati-hati pas buka di tempat umum”

Gue menghela nafas, mendengar tawa puas Chenle dari sebrang sana. Pasti kulit muka nya merah dari banyaknya luapan nafas yang dia keluarkan atas derita gue yang baru di curahin tadi.

“Yaudah jadiin background wallpaper WA aja coba biar gak ketahuan orang-orang lagi”

“Dih, terus pas gue SS percakapan lo yang malu-maluin nanti ketahuan dong”

Chenle meredakan tawanya, “buat apaan lo SS chat'an gue sama lo?”

“Blackmail dong bro, atau gak konten tiktok”

“Millenial dasar”

“Lo juga ye”

Chenle masih cekikik di ujung sinyal. Gue memanyunkan bibir gue, seketika teringat ucapan abang gue siang tadi.

“Tapi, Gue udah gak mau pakai foto Kak Renjun buat background apa-apa lagi ah, soalnya udah punya orang lain”

“Ooh, dia sama bang Jaemin ya?”

“KOK LO TAU?”

“Ya lo sendiri apa sih yang lo tau”

Sekali lagi, gue buang nafas. Merebahkan diri untuk badan yang sudah lelah akan patah hati sedunia ini. Gak sedunia deng, gue doang.

Gue udah demen sama Kak Renjun nih satu tahun, orang yang teritung lumayan baru masuk ke lingkaran temen Bang Jeno sama Kak Haechan.

Orangnya kalau di ajak ngobrol nyambung, pinter gitu ngolah kata. Tiap senyum nongol gingsul dikit, gemas melebihi di atas kata gemas itu sendiri. Badannya mungil, pas untuk disimpan dalam kantung saku dan dibawa ke mana-mana. Pengen gue unyel kalau sepantaran gue. Idaman gue banget.

Cuma yang gue kira selama ini kalau dia gabung main bareng sama Bang Jeno tuh karena ya udah, orang baru saja gitu. Ternyata dia kenalan plus gebetan Bang Jaemin, kawan dari orok Bang Jeno sama gue, tetangga sebelah, anaknya bude Cici penjual sayur terlaris sekomplek ini sampai gak ada abang sayur yang lewat pake gerobak saking mindernya. Kalah telak lah gue, percuma lari dari garis start kalau ternyata dia gak nunggu di garis finish.

Ya, tapi gue juga sadar diri sih. Kalaupun gak ada rintangan bernama Bang Jaemin, Kak Renjun juga termasuk ke liga yang jauh tak terbatas dan melampauinya. Mana mau dia sama bocah ingusan belum ada penghasilan sendiri.

Gue pengen nanang ismail, tapi nanti hilang kerennya gue.

Chenle mengecap-ngecapkan lidahnya, membuat suara menjijikan untuk otak gue yang rada aneh.

“Bisa berhenti gak? Berisik”

Chenle berdengus, suara hembusan udara dari hidungnya membuat tambah riuh berbanding terbalik dari apa yang gue minta tadi.

“Besok siang mumpung minggu, gue samper ya?”

“Ngapain?”

“Sebagai sobat yang baik, sudah tugas gue menghibur lo”

“Emang lo badut?”

“Badutnya Jisung. Hehe”

Sepersekian detik gue gak tahu harus ngomong apa. Otak gue blank.

Oke, ini aneh. Biasanya gak begini.

Heran gue sama diri sendiri. Sejak kapan di 'hehe' in orang malah bikin gue gak bisa berkata apa-apa.

“Ya- ya uda- ah. Terserah lo” Itu tadi gue sambil nelen ludah karena tenggorokan gue kering, bukan grogi.

Dan Chenle pun matiin teleponnya dengan suara grasak-grusuk yang bikin gue resah.

-

Kata dia sih mau menghibur, tapi ini apa? Apa?

“Lo kalau cuma mau numpang makan bakso disini mending tadi dibungkus terus pulang deh”

Chenle tetap membelah baso isi dagingnya dan gak peduliin gue yang ngelapin kuah dia yang berceprotan kemana-mana di lantai keramik kamar gue. Pengen gue tempeleng, tapi gue masih sibuk nyari kotak sampah gue buat buang tisu. Niat gue ditunda dulu.

“Abang tukang bakso di rumah lo tuh enak sih. Coba lo rasain sendiri”

Gak udah, makasih. Gak terlalu penggemar bakso gue. Gatau kenapa. Makanan favorit cuma sate buatan Babah.

Gak lama, abang gue 'kebetulan' buka pintu kamar gak pake ngetok. Tenang, gue gak kesel, soalnya gue juga sering masuk kamar dia pas udah malam buat minjem alias ngambil gak bakal gue balikin barang-barangnya dia, nyalain lampu, terus keluar gak gue matiin lagi lampunya. Pengertian kan gue, takut mata abang gue rusak.

“Sung, charger lo mana. Charger abang di bawa ayang- eh ada Chenle”

“WaSsup bang” Lirik Chenle bentar, terus lanjut ngunyah lagi. Kaki dia yang sedang selonjoran di goyang-goyangkan.

Abang gue senyum iseng ke gue. Lihat Chenle pake kolor kesayangan gue, karena emang udah kebiasaan main kesini berasa di rumah nenek. Tapi mah gue tahu pikiran bang Jeno yang udah kena racun dari pacarnya yang kaya iblis, pasti melalang buana entah kemana. Dulu abang gue kayanya gak begini amat dah.

Langsung aja gue ambil charger setipe yang dibutuhin, terus dorong badan berat dia keluar kamar. Takut ngomong hal yang gak gue pengenin.

Ini gue kena karma apa sih, bisa dapet orang-orang yang nyusahin gue begini.

Balik lagi ke Chenle, ini anak sudah selesai makannya langsung rapihin mangkok terus dipojokin deket pintu kamar, kebiasaan kalau mau keluar aja dia bawa sekalian alih-alih langsung di bawa ke wastafel dapur. Kan jadi banyak semut.

Setelah diem-dieman gak jelas gue di atas kasur, dia masih bersila di alas karpet, akhirnya gue berdeham.

“Ini masih niat mau ngehibur gue?”

“Loh, kedatangan gue gak nge buat lo terhibur toh?”

Mau muntah dengernya, jadi gue pura-pura pengen ngelempar bantal ke muka dia. Tapi yang diancam, malah ketawa ngejek. Pengen gue cubit. Lambungnya.

“Keluar lo. Dari hidup gue”

“Beneran? Nanti lo kangen lagi sama gue”

“Kagak bakal” Bohong deng. Pasti rindu sih.

Dipikir-pikir, gue kayanya emang belum pernah ngangenin Chenle. Mungkin, karena dari pertama kita tukeran guyonan, gue sama dia sudah lengket kaya biji (maksudnya apa Jisung?) jadi udah sering sama-sama merusak kegiatan masing-masing. Kata orang beli satu gratis satu, dapetnya dua. Sepaket gitu. Kalau orang ngomong sama Chenle, pasti ada saja bahasan nyebut nama gue. Tau gue, sering di ceritain Ayen, sohib Chenle di sekolahnya.

Begitupun sebaliknya, kata Bang Jeno juga gue kalau gak inget Chenle kayaknya gak bisa nafas.

Nah, bisa jadi ini alasan banyak orang ngira gue pacaran sama doi. Yang sebelumnya ide itu gak tertanam, entah kenapa disiram sama Bang Jeno kemarin tuh bikin gue penasaran sendiri.

“Le, pernah kepikiran gak di otak lo—”

“Kagak”

“Belum selesai ngomong gue”

“Makanya cepetan ngomongnya”

“Sekitar 2,5 kata per detik adalah jumlah yang harus ucapkan jika presentasi dalam Bahasa Indonesia, atau 3,5 kata per detik jika presentasi dalam Bahasa Inggris untuk dapat dimengerti oleh seseorang, itu gue ngutip dari mbah google. Jadi kalau lebih cepat dari—”

“Gue pulang nih”

“Gidah”

“Gak jadi deng, serius, tadi mau ngomong apa?”

“Apa ya duh lupa”

Chenle majuin bibirnya lagi udah kaya bebek. Ih, pengen gue comot bibirnya. Pake tangan.

“Tadi lo nanya gue tuh pernah kepikiran apaan?”

“Oooh iya, lo pernah kepikiran gak pacaran sama gue”

Chenle gak tersedak, gak batuk, muka nya gak merah merona, gak nunduk malu-malu juga seperti apa yang gue sempat bayangkan kaya di drama remaja di sinetron jam tujuh malam yang sering Umi stel.

Dia juga gak mukul berkedok bercanda ke gue sebagaimana mestinya dia biasa bertindak kalau ngerasa di isengin.

Tapi dia cuma mandang gue aneh, matanya gak ngedip, tapi pupilnya panik, mencar ke kanan dan ke kiri. Mencari sesuatu di wajah gue.

Pas kaya dapat apa yang dia analisa gitu dari kepala gede gue, dia hela nafasnya.

“Pernah”

Singkat, padat, gak jelas. Bikin gue kaget.

“Hah? Pernah?”

Chenle cuma ngangguk, seakan ini pertanyaan enteng. Ya emang enteng, gue nya aja aneh. Orang cuma di sampaikan melalui lidah dan otak orang patah hati.

“Lo suka sama gue?” Gue spontan nanya.

Nah, Chenle balik. Mukanya garang, melotot kaya gue bodoh banget gitu udah nanya begitu. terus nyubit kecil paha gue. Anjir, cekat-cekit walaupun cuma bentar.

“Enggaklah. Gue cuma pernah kepikiran kita pacaran bukan berarti gue suka. Kaya gimana ya, Sung? Kaya ngebayangin aja gitu. Itupun juga gak gue pikirin seharian. Kaya ya, sekelebat gitu”

“Oooh” Ngangguk aja gue. Jujur, gak ngerti. Kalau ngebayangin pacaran sama orang yang gak kita suka tuh emang bisa ya?

“Eh, timezone yuk, daripada lo makin menjadi-jadi galaunya mending dibawa main” Tiba-tiba Chenle bangkit, ngambil celana jeansnya yang tergeletak tak dilipat di kursi belajar gue.

“Lo gamau belajar buat try out senin? Katanya sekolah lo mulai duluan”

“Gue tanya, emang lo sendiri belajar kalau ada try out?”

“Gak sih, tapi kalau disuruh Umi ya belajar”

“Lah yaudah? Mau nolak? Gue bayarin tiketnya”

Oh, siapa hambanya yang menolak rejeki cuma-cuma.

“Gas lah”

Sugar Rush – Nohyuck


From ; 3355 <KREDIT Rp.5.250.000,00 pada rek 1 TB xxx429 tgl. 03/05/2021, jam 18:02:52

-

From ; Donghyuck Udah masuk belum? Beli jaket baru gih, tadi ngeliat belel banget Udah mana pake celana training buat dinner Tapi tetep gemush sih ><

Jeno menatap nanar layar ponsel pintarnya. Mengernyitkan dahi dan memajukan bibirnya. Bingung harus membalas apa untuk tingkah royal Donghyuck.

Masalahnya hal ini tidak terjadi satu atau dua kali. Membelikan barang primer dengan harga tidak biasa, mentraktirnya di restoran mewah, mentransfer seperti tadi tanpa ada yang meminta. Jeno tidak bisa menolong dirinya sendiri untuk tidak berpikir sampai dititik ini dia sudah menjadi bayi gulanya Donghyuck, walaupun tanpa bersetubuh. Dan berbagai syarat dan ketentuan lainnya.

Donghyuck memang kastanya agak berada dari teman-teman Jeno yang lain.

Sebenarnya, 'agak' adalah kata yang salah, Donghyuck itu sangatlah kaya. Anak bungsu dari pemilik perusahaan barang mewah ternama nomer tiga di negara mereka. Menghamburkan uang memang sudah menjadi hobi senggangnya.

Yang Jeno tahu, dulu saat menengah pertama Donghyuck termasuk anak borjuis yang bergaul hanya dengan kalangan elite dan para influencer giveaway. Tapi saat memilih perguruan tinggi, Donghyuck yang sudah paham kemampuan otaknya di atas rata-rata menjadikannya ambisius dan masuk ke sekolah negeri. Disitulah pergaulannya berubah dan masuk ke lingkaran pertemanan yang ada Jeno nya.

Dan karena itu awalnya Jeno memaklumi tingkah Donghyuck yang suka membeli atau memberi hadiah seharga diluar akal sehat. Mungkin karena lingkupnya yang sekarang membuat hedonnya terbatasi, maka Donghyuck 'membuang' ke orang terdekatnya.

Tapi, akhir-akhir ini persepsi Jeno berubah semenjak dia tahu bahwa pembuangan ke dirinya itu lebih di 'khususkan'.

-

From ; Jeno 'Picture attachment' Donghyuck beliin gw jam

From ; Jaemin Anjing, itu rollex terbaru Kalo dari dia bukan kawe itu Kok gw sama Renjun gak pernah dibeliin yak Paling mentok gantungan kunci dari Singapore ajah

From; Renjun Wkwkwk ya gak bakal dibeliin lah Udah Jen, nikahin aja tuh Kayanya bucin banget Lu minta beliin kontrakan juga dikasih

Jeno menghela nafasnya, memijat kening yang tidak pusing akibat percakapan ngaco dari grup yang tidak ada Donghyuck nya. Sengaja dibuat Renjun dan Jaemin untuk menjahili Jeno.

Kalau saja memang menikah itu mudah. Dia saja belum mengirim judul skripsi yang harus direvisi akhir minggu ini. Bahkan dia dan Donghyuck juga tidak lebih dari kata 'teman'.

-

Jeno memutar sedotan di strawberry milkshake yang seharga ongkos makan seminggunya, sesekali mencuri lirik ke orang yang menyita pikirannya seminggu belakangan ini. Sedangkan yang ditatap sedang sibuk mengetik dan menggulir sesuatu di iPhone 12 pro maxnya sambil menyisip es teh lemonnya.

Selesai menggulir twitternya sampai ke cuitan paling terbaru, Donghyuck baru meletakkan benda pipih itu dan menopang dagunya dengan sebelah tangan, menatap lurus ke arah Jeno.

“Tadi katanya ada yang mau lo omongin Jen, sekarang malah diem saja. Jangan bilang mau nembak gue ya” Cengir Donghyuck sambil menggoda. Yang digoda malah memberikan senyum kecut.

Tangan Jeno yang berkeringat kecil di gosokkannya ke paha. Mulutnya entah kenapa terasa kering padahal dia baru saja menyesap minumnya. Di kepalanya terus berputar, Setidaknya harus ada konfrontasi kan?

“Hyuck, alasan lo beliin jam kemarin minggu itu buat apa ya?”

“Kan katanya jam lo rusak”

“Ya gue gak minta dibeliin?” Donghyuck hanya mengedikan bahunya sebagai jawaban. Jeno menarik nafasnya.

“Ini jam nya gue balikin ya? Sekalian minta nomer rekening—”

“Dih gausah, buat apa?”

“Ya di gue juga buat apa?”

“Dih itu kado Jeno, buat elo”

“Lah gue gak ultah?”

Ini Jeno ngerasa bego banget. Pertanyaan tadi itu tidak retoris, tapi ada rasa implikasi yang harusnya Jeno sendiri sudah tahu. Dan itu dia masalahnya, Jeno itu pengecut untuk orang yang suka menebak-nebak isi kulit kacang. Tapi ini Donghyuck yang ada di depannya, yang memberi barang ber merk tanpa pikir dua kali ke dirinya yang memakai celana training dan jaket kulit compang-camping yang harusnya terlihat tren tapi malah seperti gembel. Kalaupun ditumpahkan sekarang, tidak akan basah kan?

“Ini lo lagi gak ada usaha buat deketin gue kan ya?”

Donghyuck tersedak, hampir saja memuncratkan cairan manis itu ke mukanya. Jeno sepertinya salah, dia akan basah.

“Haha enggak lah haha, pikiran dari mana lo begitu?”

Tawa yang dikeluarkan Donghyuck agak canggung dan Jeno terlalu banyak menonton drama korea hasil dicekok Jaemin untuk menyadari adegan ini seperti di adaptasi dari salah satu bagian tersebut.

“Ya terus kenapa lo sering ngasih barang yang gue gak minta?”

“Karena kita temen.”

“Renjun sama Jaemin bilang mereka gak pernah dibeliin yang kaya gue kalaupun mereka minta sama lo”

“Err, sebenarnya tuh—”

Ok, Jeno ingat alasan yang dijelaskan oleh Donghyuck. Dulu memang ada dia membantu Donghyuck saat hampir kejambretan di stasiun Pasar Minggu hasil nyasar ingin ke kebun binatang Ragunan. Dulu memang ada dia memberikan jus jeruknya saat Donghyuck tersedak di tukang bakso depan kampus. Dulu memang ada dia saat Donghyuck tidak bisa ke mobil yang sudah menjemputnya karena hujan dan Jeno merelakan satu-satunya payung miliknya ke Donghyuck sedangkan dia memakai tas nya saja untuk berlindung sekedar menyebrang ke gedung fakultasnya.

Tapi menurut Jeno, harusnya alasan-alasan ini tidak menjadikannya dia spesial dengan karet dua karena menolong sesama manusia itu termasuk norma menjadi masyarakat yang baik. Dan Jeno orang baik. Tapi dia 'hanya' orang baik biasa, bukan reinkarnasi jenderal yang memandu perang paling terdepan untuk membela negara.

“Gue sebenarnya masih gak ngerti kenapa lo harus membelikan barang-barang mahal ini ke gue sih. Tapi ya makasih atas apresiasinya. Cuma mungkin sampai sini aja ya Hyuck—”

“Lo gak suka sama barangnya? Bukan merk kesukaan lu? Apa mau custom aja? Temen gue ada—”

“Bukan gitu. Cuma gue nya sendiri udah ngerasa cukup kok sama-” Jeno menunjuk Donghyuck “– lo yang udah mau jadi temen gue sama bocah-bocah yang lain. Kalau merasa lo perlu balas budi, inget saja udah lunas dari pas lo mau gabung makan di emperan sama kita-kita”

Dengan begitu, Jeno mengeluarkan senyum khas andalannya. Membuat Donghyuck salah tingkah langsung menenggak minumnya tanpa sedotan. Jeno tergelak.

“Eh, tapi jujur nih ya, gue kalau di deketin orang lebih suka nya sama yang sederhana. Hehe tau lah gue anaknya minderan”

Donghyuck menganggukan kepalanya tapi sedetik kemudian menunggingkan bibirnya setengah.

“Tapi, gak nanya sih gue”

Jeno hanya tersenyum tipis, menepuk dahinya dalam hati karena memang buat apa dia memberi tahu Donghyuck. Seperti yang muda perlu tahu saja.

-

Hari ini hari Rabu bulan Maret, waktunya motor Jeno di servis minggu ini pada bulan ini. Jadi Jeno tidak naik motor ke kampus dan memilih bis sebagai sarana transportasi lainnya.

Sebenarnya tadi sempat ada chat dari Donghyuck menawarkan tumpangan mobil, tapi Jeno agak ngeri dengan cara menyupir Donghyuck yang baru mendapatkan SIM nya bulan lalu karena selama ini dia di supirkan. Jadi Jeno menolak.

Selain dia yang menaik fasilitas umum ke tempat dia menggali ilmu, tidak ada yang berubah pada alur hidupnya.

Mendengar, mencatat, bertanya, mengerjakan kuis, kumpulkan ke dosen, review, ke selasar, bergurau dengan beberapa kawan sejurusan.

Semua berjalan seperti biasa, itu yang tadinya dipikirkan Jeno. Makanya saat pulang, dia terkejut mendapati di salah satu kursi penumpang angkutan umum ini ada Donghyuck yang sedang memegang erat tas balenciaga-nya, menatap sekitarnya dengan curiga.

Berdiri kembali dari tempat duduk yang baru dia singgahi, dia menyampar Donghyuck dan menaruhkan bokong di kursi sebelahnya.

“Hey” Bisik Jeno mendekat ke kuping kanan Donghyuck. Yang dibisik, menengok panik sebelum akhirnya menghela lega melihat orang yang dikenal yang berada disisinya.

“Ih sumpah gue kira lo gak bakal naik bis nomer ini tahu gak? Rencana gue di halte depan pengen turun aja. Takut, panas banget lagi”

Jeno menggelengkan kepalanya, melihat bingung ke Donghyuck.

“Ya lagian lo kenapa naik bis? Kan bawa mobil?”

“Enggak, gue minta di anter”

“Terus gak minta jemput?”

Kali ini Donghyuck yang menggeleng.

“Lagi iseng pengen naik kendaraan umum. Penasaran”

Jeno memajukan daun bibir bawahnya, menggangguk sambil mencoba menerima alasan Donghyuck.

“Gue turun dua halte lagi” Info Jeno sambil menunjuk arah yang dimaksud.

“Gue ikut”

“Iya. Kita ke bengkel dulu, gue ambil motor. Nanti abis itu gue anter lo balik”

“Siapa yang minta anterin?”

“Ya terus kalau gak nganter, gimana lo balik? Arah rumah lo kan gak kesini, Hyuck”

Donghyuck menunduk malu, lalu mengangguk kecil pertanda setuju. Jeno sedikit demi sedikit sepertinya mulai bisa mengupas teman yang terhitung barunya ini.

- Sangat lapar, perut Jeno bergemuruh. Saat ini keempat sekawan yang diisi oleh Jeno, Jaemin, Donghyuck, dan Renjun sedang fokus pada masing-masing tugas di laptop mereka di kost-an Jaemin alias markas tidak resmi mereka. Merasa tanggung dengan pekerjaan yang tidak kunjung usai, Jeno mengabaikan teriakan minta tolong dari lambungnya.

Tapi yang Jeno tidak tahu, Donghyuck juga ikut mendengarnya sehingga dia menjadi yang pertama mendeklarasikan kegiatan mereka harus disudahi dan secara halus menarik paksa Jeno kembali ke rumah masing-masing.

Donghyuck menumpang di jok belakang motor Jeno.

“Eh, bentar ke situ dulu” Teriak Donghyuck pada angin kencang menerpa wajahnya.

“Kemana?” Teriak balik Jeno.

“Soto iga situ”

“Lah kata lu gak suka soto?”

“Ngidam”

Jeno memberhentikan motornya di depan tenda lusuh milik Pak Zainudin tersebut. Jeno tahu nama pemiliknya karena terpampang jelas “Soto Iga Zainudin” pada print kain warung.

Setelah masing-masing sudah baca doa sebelum makan, Jeno penasaran dan bertanya “Ini bener lo lagi ngidam soto? Bukan karena gue bilang gue lebih suka makan di sini daripada di ajak ke resto seafood langganan lo kan?”

Donghyuck berdengus dan mendelikan matanya seperti bocah lima tahun.

“Enggak, pede banget sih lo”

“Ya, mungkin. Efek tingkah lo si”

“Gue kenapa”

“Gak apa-apa”

“Kebiasaan, kalimat gak di selesein”

Lalu mereka menikmati hidangan dengan khidmat.

Selesai makan, Jeno tidak berkomentar atas kuah yang masih penuh dengan tulang dan nasi yang tidak dihabiskan oleh Donghyuck.

-

Hujan makin deras, bersemangat sekali menjatuhkan diri di atas atap gedung kampus mereka sore ini.

Jeno yang berada di kantin sambil menyemil somai menjadi salah satu dari segelintir mahasiswa untuk menunggu air langit reda.

Dan bagai barang beli satu dapat dua, ada Donghyuck di hadapannya sedang fokus mencoba menaikan peringkat teratas di games yang sedang digandrungi oleh keduanya.

Ketika kalah, Donghyuck meletakan ponsel Samsung Galaxy -yang katanya adalah cadangan- dia dengan sembarang sambil membuang nafas kasar.

Jeno yang melihatnya hanya tersenyum gemas. Diusaknya anak rambut Donghyuck.

“Jen, menurut lo gue udah sederhana belum?”

“Sederhana lo dalam bentuk naik transportasi umum dan makan soto iga?”

Donghyuck menggigit bibir bawahnya lalu mengangguk. Jarinya terketuk-ketuk ke belakang ponselnya menghasilkan bunyi yang hanya bisa didengar oleh keduanya.

Jeno menaruh garpu dan sendoknya di piring. Mensejajarkan posisi keduanya. Matanya belum berani terangkat dan dia menegak ludahnya. Lalu dengan sangat pelan, tangannya menarik jemari Donghyuck, menyatukan celah keduanya seperti kepingan puzzle.

“Hyuck gue udah pernah bilang belum?”

“Bilang apa?”

“Udah ya kayanya”

“Ih, bilang apa?”

Jeno mengeratkan genggaman di kedua telapak tangannya.

“Kalau lo tuh 'cukup'. Gak berlebih dan gak mengurangkan, lo tuh cukup”

“Kata lo, lebih baik dideketin orang yang sederhana”

Kini kedua nya sama-sama saling tidak menatap. Dan Jeno pun berdiri lalu mengitari meja hanya untuk duduk di samping Donghyuck.

“Mau sederhana atau enggak, kalau udah deket sejengkal begini emang masih ada pentingnya?”

Donghyuck pun mengangkat wajahnya dan berseri. Seperti tidak memikirkan masa depan, Jeno memajukan dadanya, mengecup dahi Donghyuck. Membiarkan semilir angin dan tetesan hujan jadi saksinya.

Bahwa, mereka memang 'cukup'. Sangat berkecukupan.

-

From ; Renjun Gimana @Jeno udh minta kontrakan? Kan udh resmi jadian

From ; Jaemin Ecieeee dikirain cuma jadi sugar baby ajah SELAMAT JENOOO, TRAKTIRANNYA KE BALI YA MAS BRO

From ; Jeno Sialan

#Sugar Rush – Nohyuck


From ; 3355 <KREDIT Rp.5.250.000,00 pada rek 1 TB xxx429 tgl. 03/05/2021, jam 18:02:52

-

From ; Donghyuck Udah masuk belum? Beli jaket baru gih, tadi ngeliat belel banget Udah mana pake celana training buat dinner Tapi tetep gemush sih ><

Jeno menatap nanar layar ponsel pintarnya. Mengernyitkan dahi dan memajukan bibirnya. Bingung harus membalas apa untuk tingkah royal Donghyuck.

Masalahnya hal ini tidak terjadi satu atau dua kali. Membelikan barang primer dengan harga tidak biasa, mentraktirnya di restoran mewah, mentransfer seperti tadi tanpa ada yang meminta. Jeno tidak bisa menolong dirinya sendiri untuk tidak berpikir sampai dititik ini dia sudah menjadi bayi gulanya Donghyuck, walaupun tanpa bersetubuh. Dan berbagai syarat dan ketentuan lainnya.

Donghyuck memang kastanya agak berada dari teman-teman Jeno yang lain.

Sebenarnya, 'agak' adalah kata yang salah, Donghyuck itu sangatlah kaya. Anak bungsu dari pemilik perusahaan barang mewah ternama nomer tiga di negara mereka. Menghamburkan uang memang sudah menjadi hobi senggangnya.

Yang Jeno tahu, dulu saat menengah pertama Donghyuck termasuk anak borjuis yang bergaul hanya dengan kalangan elite dan para influencer giveaway. Tapi saat memilih perguruan tinggi, Donghyuck yang sudah paham kemampuan otaknya di atas rata-rata menjadikannya ambisius dan masuk ke sekolah negeri. Disitulah pergaulannya berubah dan masuk ke lingkaran pertemanan yang ada Jeno nya.

Dan karena itu awalnya Jeno memaklumi tingkah Donghyuck yang suka membeli atau memberi hadiah seharga diluar akal sehat. Mungkin karena lingkupnya yang sekarang membuat hedonnya terbatasi, maka Donghyuck 'membuang' ke orang terdekatnya.

Tapi, akhir-akhir ini persepsi Jeno berubah semenjak dia tahu bahwa pembuangan ke dirinya itu lebih di 'khususkan'.

-

From ; Jeno 'Picture attachment' Donghyuck beliin gw jam

From ; Jaemin Anjing, itu rollex terbaru Kalo dari dia bukan kawe itu Kok gw sama Renjun gak pernah dibeliin yak Paling mentok gantungan kunci dari Singapore ajah

From; Renjun Wkwkwk ya gak bakal dibeliin lah Udah Jen, nikahin aja tuh Kayanya bucin banget Lu minta beliin kontrakan juga dikasih

Jeno menghela nafasnya, memijat kening yang tidak pusing akibat percakapan ngaco dari grup yang tidak ada Donghyuck nya. Sengaja dibuat Renjun dan Jaemin untuk menjahili Jeno.

Kalau saja memang menikah itu mudah. Dia saja belum mengirim judul skripsi yang harus direvisi akhir minggu ini. Bahkan dia dan Donghyuck juga tidak lebih dari kata 'teman'.

-

Jeno memutar sedotan di strawberry milkshake yang seharga ongkos makan seminggunya, sesekali mencuri lirik ke orang yang menyita pikirannya seminggu belakangan ini. Sedangkan yang ditatap sedang sibuk mengetik dan menggulir sesuatu di iPhone 12 pro maxnya sambil menyisip es teh lemonnya.

Selesai menggulir twitternya sampai ke cuitan paling terbaru, Donghyuck baru meletakkan benda pipih itu dan menopang dagunya dengan sebelah tangan, menatap lurus ke arah Jeno.

“Tadi katanya ada yang mau lo omongin Jen, sekarang malah diem saja. Jangan bilang mau nembak gue ya” Cengir Donghyuck sambil menggoda. Yang digoda malah memberikan senyum kecut.

Tangan Jeno yang berkeringat kecil di gosokkannya ke paha. Mulutnya entah kenapa terasa kering padahal dia baru saja menyesap minumnya. Di kepalanya terus berputar, Setidaknya harus ada konfrontasi kan?

“Hyuck, alasan lo beliin jam kemarin minggu itu buat apa ya?”

“Kan katanya jam lo rusak”

“Ya gue gak minta dibeliin?” Donghyuck hanya mengedikan bahunya sebagai jawaban. Jeno menarik nafasnya.

“Ini jam nya gue balikin ya? Sekalian minta nomer rekening—”

“Dih gausah, buat apa?”

“Ya di gue juga buat apa?”

“Dih itu kado Jeno, buat elo”

“Lah gue gak ultah?”

Ini Jeno ngerasa bego banget. Pertanyaan tadi itu tidak retoris, tapi ada rasa implikasi yang harusnya Jeno sendiri sudah tahu. Dan itu dia masalahnya, Jeno itu pengecut untuk orang yang suka menebak-nebak isi kulit kacang. Tapi ini Donghyuck yang ada di depannya, yang memberi barang ber merk tanpa pikir dua kali ke dirinya yang memakai celana training dan jaket kulit compang-camping yang harusnya terlihat tren tapi malah seperti gembel. Kalaupun ditumpahkan sekarang, tidak akan basah kan?

“Ini lo lagi gak ada usaha buat deketin gue kan ya?”

Donghyuck tersedak, hampir saja memuncratkan cairan manis itu ke mukanya. Jeno sepertinya salah, dia akan basah.

“Haha enggak lah haha, pikiran dari mana lo begitu?”

Tawa yang dikeluarkan Donghyuck agak canggung dan Jeno terlalu banyak menonton drama korea hasil dicekok Jaemin untuk menyadari adegan ini seperti di adaptasi dari salah satu bagian tersebut.

“Ya terus kenapa lo sering ngasih barang yang gue gak minta?”

“Karena kita temen.”

“Renjun sama Jaemin bilang mereka gak pernah dibeliin yang kaya gue kalaupun mereka minta sama lo”

“Err, sebenarnya tuh—”

Ok, Jeno ingat alasan yang dijelaskan oleh Donghyuck. Dulu memang ada dia membantu Donghyuck saat hampir kejambretan di stasiun Pasar Minggu hasil nyasar ingin ke kebun binatang Ragunan. Dulu memang ada dia memberikan jus jeruknya saat Donghyuck tersedak di tukang bakso depan kampus. Dulu memang ada dia saat Donghyuck tidak bisa ke mobil yang sudah menjemputnya karena hujan dan Jeno merelakan satu-satunya payung miliknya ke Donghyuck sedangkan dia memakai tas nya saja untuk berlindung sekedar menyebrang ke gedung fakultasnya.

Tapi menurut Jeno, harusnya alasan-alasan ini tidak menjadikannya dia spesial dengan karet dua karena menolong sesama manusia itu termasuk norma menjadi masyarakat yang baik. Dan Jeno orang baik. Tapi dia 'hanya' orang baik biasa, bukan reinkarnasi jenderal yang memandu perang paling terdepan untuk membela negara.

“Gue sebenarnya masih gak ngerti kenapa lo harus membelikan barang-barang mahal ini ke gue sih. Tapi ya makasih atas apresiasinya. Cuma mungkin sampai sini aja ya Hyuck—”

“Lo gak suka sama barangnya? Bukan merk kesukaan lu? Apa mau custom aja? Temen gue ada—”

“Bukan gitu. Cuma gue nya sendiri udah ngerasa cukup kok sama-” Jeno menunjuk Donghyuck “– lo yang udah mau jadi temen gue sama bocah-bocah yang lain. Kalau merasa lo perlu balas budi, inget saja udah lunas dari pas lo mau gabung makan di emperan sama kita-kita”

Dengan begitu, Jeno mengeluarkan senyum khas andalannya. Membuat Donghyuck salah tingkah langsung menenggak minumnya tanpa sedotan. Jeno tergelak.

“Eh, tapi jujur nih ya, gue kalau di deketin orang lebih suka nya sama yang sederhana. Hehe tau lah gue anaknya minderan”

Donghyuck menganggukan kepalanya tapi sedetik kemudian menunggingkan bibirnya setengah.

“Tapi, gak nanya sih gue”

Jeno hanya tersenyum tipis, menepuk dahinya dalam hati karena memang buat apa dia memberi tahu Donghyuck. Seperti yang muda perlu tahu saja.

-

Hari ini hari Rabu bulan Maret, waktunya motor Jeno di servis minggu ini pada bulan ini. Jadi Jeno tidak naik motor ke kampus dan memilih bis sebagai sarana transportasi lainnya.

Sebenarnya tadi sempat ada chat dari Donghyuck menawarkan tumpangan mobil, tapi Jeno agak ngeri dengan cara menyupir Donghyuck yang baru mendapatkan SIM nya bulan lalu karena selama ini dia di supirkan. Jadi Jeno menolak.

Selain dia yang menaik fasilitas umum ke tempat dia menggali ilmu, tidak ada yang berubah pada alur hidupnya.

Mendengar, mencatat, bertanya, mengerjakan kuis, kumpulkan ke dosen, review, ke selasar, bergurau dengan beberapa kawan sejurusan.

Semua berjalan seperti biasa, itu yang tadinya dipikirkan Jeno. Makanya saat pulang, dia terkejut mendapati di salah satu kursi penumpang angkutan umum ini ada Donghyuck yang sedang memegang erat tas balenciaga-nya, menatap sekitarnya dengan curiga.

Berdiri kembali dari tempat duduk yang baru dia singgahi, dia menyampar Donghyuck dan menaruhkan bokong di kursi sebelahnya.

“Hey” Bisik Jeno mendekat ke kuping kanan Donghyuck. Yang dibisik, menengok panik sebelum akhirnya menghela lega melihat orang yang dikenal yang berada disisinya.

“Ih sumpah gue kira lo gak bakal naik bis nomer ini tahu gak? Rencana gue di halte depan pengen turun aja. Takut, panas banget lagi”

Jeno menggelengkan kepalanya, melihat bingung ke Donghyuck.

“Ya lagian lo kenapa naik bis? Kan bawa mobil?”

“Enggak, gue minta di anter”

“Terus gak minta jemput?”

Kali ini Donghyuck yang menggeleng.

“Lagi iseng pengen naik kendaraan umum. Penasaran”

Jeno memajukan daun bibir bawahnya, menggangguk sambil mencoba menerima alasan Donghyuck.

“Gue turun dua halte lagi” Info Jeno sambil menunjuk arah yang dimaksud.

“Gue ikut”

“Iya. Kita ke bengkel dulu, gue ambil motor. Nanti abis itu gue anter lo balik”

“Siapa yang minta anterin?”

“Ya terus kalau gak nganter gimana lo balik?Arah rumah lo kan gak kesini, Hyuck”

Donghyuck menunduk malu, lalu mengangguk kecil pertanda setuju. Jeno sedikit demi sedikit sepertinya mulai bisa mengupas teman yang terhitung barunya ini.

- Sangat lapar, perut Jeno bergemuruh. Saat ini keempat sekawan yang diisi oleh Jeno, Jaemin, Donghyuck, dan Renjun sedang fokus pada masing-masing tugas di laptop mereka di kost-an Jaemin alias markas tidak resmi mereka. Merasa tanggung dengan pekerjaan yang tidak kunjung usai, Jeno mengabaikan teriakan minta tolong dari lambungnya.

Tapi yang Jeno tidak tahu, Donghyuck juga ikut mendengarnya sehingga dia menjadi yang pertama mendeklarasikan kegiatan mereka harus disudahi dan secara halus menarik paksa Jeno kembali ke rumah masing-masing.

Donghyuck menumpang di jok belakang motor Jeno.

“Eh, bentar ke situ dulu” Teriak Donghyuck pada angin kencang menerpa wajahnya.

“Kemana?” Teriak balik Jeno.

“Soto iga situ”

“Lah kata lu gak suka soto?”

“Ngidam”

Jeno memberhentikan motornya di depan tenda lusuh milik Pak Zainudin tersebut. Jeno tahu nama pemiliknya karena terpampang jelas “Soto Iga Zainudin” pada print kain warung.

Setelah masing-masing sudah baca doa sebelum makan, Jeno penasaran dan bertanya “Ini bener lo lagi ngidam soto? Bukan karena gue bilang gue lebih suka makan di sini daripada di ajak ke resto seafood langganan lo kan?”

Donghyuck berdengus dan mendelikan matanya seperti bocah lima tahun.

“Enggak, pede banget sih lo”

“Ya, mungkin. Efek tingkah lo si”

“Gue kenapa”

“Gak apa-apa”

“Kebiasaan, kalimat gak di selesein”

Lalu mereka menikmati hidangan dengan khidmat.

Selesai makan, Jeno tidak berkomentar atas kuah yang masih penuh dengan tulang dan nasi yang tidak dihabiskan oleh Donghyuck.

-

Hujan makin deras, bersemangat sekali menjatuhkan diri di atas atap gedung kampus mereka sore ini.

Jeno yang berada di kantin sambil menyemil somai menjadi salah satu dari segelintir mahasiswa untuk menunggu air langit reda.

Dan bagai barang beli satu dapat dua, ada Donghyuck di hadapannya sedang fokus mencoba menaikan peringkat teratas di games yang sedang digandrungi oleh keduanya.

Ketika kalah, Donghyuck meletakan ponsel Samsung Galaxy -yang katanya adalah cadangan- dia dengan sembarang sambil membuang nafas kasar.

Jeno yang melihatnya hanya tersenyum gemas. Diusaknya anak rambut Donghyuck.

“Jen, menurut lo gue udah sederhana belum?”

“Sederhana lo dalam bentuk naik transportasi umum dan makan soto iga?”

Donghyuck menggigit bibir bawahnya lalu mengangguk. Jarinya terketuk-ketuk ke belakang ponselnya menghasilkan bunyi yang hanya bisa didengar oleh keduanya.

Jeno menaruh garpu dan sendoknya di piring. Mensejajarkan posisi keduanya. Matanya belum berani terangkat dan dia menegak ludahnya. Lalu dengan sangat pelan, tangannya menarik jemari Donghyuck, menyatukan celah keduanya seperti kepingan puzzle.

“Hyuck gue udah pernah bilang belum?”

“Bilang apa?”

“Udah ya kayanya”

“Ih, bilang apa?”

Jeno mengeratkan genggaman di kedua telapak tangannya.

“Kalau lo tuh 'cukup'. Gak berlebih dan gak mengurangkan, lo tuh cukup”

“Kata lo, lebih baik dideketin orang yang sederhana”

Kini kedua nya sama-sama saling tidak menatap. Dan Jeno pun berdiri lalu mengitari meja hanya untuk duduk di samping Donghyuck.

“Mau sederhana atau enggak, kalau udah deket sejengkal begini emang masih ada pentingnya?”

Donghyuck pun mengangkat wajahnya dan berseri. Seperti tidak memikirkan masa depan, Jeno memajukan dadanya, mengecup dahi Donghyuck. Membiarkan semilir angin dan tetesan hujan jadi saksinya.

Bahwa, mereka memang 'cukup'. Sangat berkecukupan.

-

From ; Renjun Gimana @Jeno udh minta kontrakan? Kan udh resmi jadian

From ; Jaemin Ecieeee dikirain cuma jadi sugar baby ajah SELAMAT JENOOO, TRAKTIRANNYA KE BALI YA MAS BRO

From ; Jeno Sialan

Pas

Up in the morning Tangled in sheets We play the moment on repeat, on repeat


Bunyi shutter kamera menjadi hal pertama yang didengar Renjun saat bangun.

Segera menyeruak masuk sinar matahari ke matanya ketika dia mengerjapkan kelopaknya menyesuaikan keadaan. Begitu sudah terbiasa, dirasakan hampa pada sisi kanannya memberikan sejenak kepanikan sebelum mendapatkan orang yang dicarinya berdiri disamping kasur sedang tersenyum pada hal apapun dari layar LCD DSLR nya.

Walaupun Renjun tahu apa itu 'hal apapun' yang dimaksud.

Menguap dan menggeliatkan badannya, Renjun akhirnya berbicara, “Kalau kamu jual gambar itu, akan ku tendang kamu keluar dari sini”

“Meskipun ini tempatku?” Cengir Jaemin.

“Meskipun ini tempatmu.” Renjun mendelik lalu sejenak kemudian diam, masih mengumpulkan nyawa.

“Tumben, sudah bangun duluan. Ada kerjaan?”

Jaemin menggeleng lalu meletakan kameranya di laci samping kasur. Kembali ke sisi kanan yang hampir dingin dia tinggalkan dan memeluk perut Renjun.

“Sedang ingin saja”

Renjun mengelus rambut berwarna merah muda pudar itu. Alunan suara Nadin Amizah menjadi latar belakang ketenangan domestik. Namun semenit kemudian rusak karena terganti dengan suara penyiar radio yang terlalu semangat untuk jam tujuh pagi di hari jumat.

Sebentar, jam tujuh pagi? Di hari jumat?

“Sial, aku ada meeting” Renjun langsung mengangkat kepala Jaemin dari dadanya, mengusir tidak halus untuk melepaskan diri lalu melesat ke kamar mandi sebelum kembali lagi mengambil pakaian nya yang berserakan.

Jaemin yang melihat teman dengan tambahannya yang kewalahan itu hanya memandang dengan menumpukan dagunya ke dua telapak tangannya. Tontonan gratis untuk bokong imut hanya memakai celana dalam hasil dari Renjun yang merangkak mengambil kacamata yang dilempar sembarang oleh Jaemin tadi malam ke bawah meja rias, sangat dinikmatinya.

Setelah semua barang-barangnya dia temukan, Renjun masuk kembali ke kamar mandi dengan membanting pintu.

Jaemin menghela nafas pada udara kosong.

-

Model yang ini agak ribet, pikir Jaemin. Banyak maunya, dan tidak bisa diajak berkorporasi.

Hal positifnya model itu tidak genit. Menurut Jaemin, cantiknya standar tapi menurut pedagangnya cocok sebagai perwakilan produknya. Tapi hal-hal yang dimintanya itu membuat Jaemin emosi. Seperti kentang goreng harus bumbu barbeque untuk istirahat, air putih harus merk yang ada manis-manisnya, lalu suhu udara jangan lebih dari suhu tubuh manusia. Bagaimana caranya Jaemin mengatur cuaca, mereka kan di luar ruangan.

Jaemin sabar, Jaemin dibayar.

From ; Renjun 'Picture attached' Makan siang hari ini. Enak tau, aku bikin sendiri Kamu mau?

From ; Jaemin Mau. Boleh sisain?

From ; Renjun Oh pasti Udah aku bungkus juga buat kamu sebelum kirim gambar ini, hehe

From ; Jaemin ❤

Biasanya Jaemin bisa membalas dengan satu paragraf puisi untuk mengutarakan betapa terimakasihnya dia bila Renjun sudah bertingkah seperti ini. Perhatian.

Tapi benar deh, model hari ini agak ribet.

-

No need to question next time we meet I know you're coming home with me

Renjun tersenyum miring sebagai bentuk sapaan ke Jaemin ketika menjemputnya sehabis jadwal siaran radio jam delapan malam itu. Jaemin membalasnya dengan lengkungan yang lebih lembut, khas spesial hanya untuknya.

Berpakaian santai dengan hoodie mint kesukaan dan jeans compang camping bak gembel, Renjun menggeleng sehabis memindai Jaemin dari atas ke bawah.

“Kemana perginya fashion mu itu, wahai 'Mr. Popular'” Ucap Renjun ketika Jaemin sudah mendekat.

Mereka saat ini berada di depan gedung penyiaran, semilir angin malam mulai merayap ditengkuk Renjun. Agak membuat merinding.

Fashion untuk apa? Aku hanya mengajak mu makan malam.” Kata Jaemin sambil menyerahkan helm motif kartun tiga beruang yang sedang tren ke pria yang lebih tua lima bulan darinya itu.

“Ck, tapi ini kan kencan” Manyun Renjun menerima helm itu ogah-ogahan. Jaemin tergelak lalu mengusak rambut coklat Renjun.

“Maaf, sudah lama aku tidak melakukan 'ini'.”

Berkencan. Sudah mulai agak asing kata itu sebenarnya untuk Jaemin, bahkan rasanya aneh di indra pengecap untuk sekedar menyebutkannya. Terakhir dia melakukan ini sepertinya saat dia masih sekolah. Lulus dari neraka tersebut, Jaemin lebih sibuk mengotak atik aplikasi adobe photoshop.

Lalu, dia bertemu Renjun. Dan entah karena magis apa, mereka cocok.

Pas, benar-benar seleranya.

Dan malam ini, Jaemin mau meresmikannya dengan Renjun. Mungkin memang benar, harusnya dia berpakaian lebih layak untuk rencana ini. Tapi, Jaemin tidak sabar. Ingin segera bertemu. Selesai sesi pemotretan dengan pelanggan terakhir yang harusnya bisa selesai pukul enam tapi harus terundur, dia langsung ke kantor Renjun.

Tidak apa-apa Jaemin tidak sabar. Dia tidak dibayar.

-

“Mekdi? Really?”

“Bentar, aku lagi ngidam prosperty-nya. Abis itu kita ke sate taichan langsung”

“Serius Na Jaemin? Kamu mau makan sate habis makan burger?”

Jaemin hanya mengacungkan jempolnya dan langsung turun dari motor yang sudah dia standar satu. Meninggalkan Renjun yang ingin memukul helm Jaemin.

-

Jaemin menerima saran Renjun untuk menempelkan stiker bintang yang dapat menyala dalam gelap di dinding dan langit-langit apartemennya sehingga saat ini keduanya dapat mencandai diri mereka berada di alam liar memandang cakrawala artifisial setelah kegiatan kencan pertama mereka tadi.

Empuknya kasur yang dia rindukan hampir saja membuat Jaemin tertidur.

“Jaem, kamu tahu gak kamu tuh manusia paling beruntung di dunia?”

Jaemin berdeham pertanda mendengarkan.

“Kenapa?”

“Karena sudah disukain sama aku”

Jaemin berdengus. Merasa semakin cinta dengan salah satu keturunan adam ini.

“Tapi bener deh, siapa di dunia ini yang masih mau nyepong orang yang ngasih kencan pertama ter-enggak romantis sepengalaman mereka. Kayanya cuma aku”

Renjun membalik badannya sehingga berposisi tengkurap, menantang Jaemin untuk berdiskusi. Sedangkan Jaemin masih asik memandang cahaya kecil yang mengitari ruangan.

“Jun, kita tuh sudah di fase aku yang hafal posisi tahi lalat di selangkangan kamu, kenapa kita masih permasalahin ini”

“Sshhht, biarkan aku mengeluh dengan tenang”

“Tapi tadi kamu—”

Ocehan Jaemin terbungkam bibir Renjun. Dan Jaemin merasakan dirinya sendiri di lidah pacarnya yang anehnya tidak membuat dia jijik.

Oh, dan apa itu manis bumbu taichan pada pangkal lidah Renjun?

-

Keduanya sedang dikamar mandi, mulut memagut satu sama lain didepan wastafel ketika Jaemin merasa ada perubahan pada perangkat mandinya. Tidak heran bila ada tambahan, karena sudah berpacaran otomatis barang-barang Renjun ada yang berpindah kesini. Tapi ini ada yang berganti, bukan berubah.

Jaemin baru ingat, mungkin hal ini yang dimaksud Renjun minggu lalu.

“Jaemin, sikat gigi kamu sudah jelek banget. Aku ganti ya.” Teriak Renjun dari dalam kamar mandi yang tertutup.

“Oh yaudah, ambil aja di buffet atas sayang” Sahut Jaemin kembali dari depan Televisi, masih seru menonton drama serial kesukaannya.

Merah muda, persis seperti rambutnya. Dan disampingnya terletak sikat gigi merk yang sama mirip dengan punyanya namun berbeda warna.

Coklat, persis seperti rambut Renjun.

Tidak terburu dan tidak berisik, Jaemin menutup matanya kembali menikmati erangan kecil yang dikeluarkan Renjun. Seperti kepingan puzzle, mereka menyatu.

Pas, benar-benar seleranya.