Cloudysun

cw // mention of bloods, miscarriage.

Sabtu pagi. Entah kenapa, hari yang seharusnya menjadi hari liburnya hari ini mengharuskan Akbar untuk berangkat ke kantor karena ada urusan yang tidak bisa ditunda.

Berat rasanya, ditambah harus meninggalkan perempuan yang makin kesini makin bertambah lucu karena pipi gembulnya tersebut sendirian.

Apalagi mengenai perkataannya semalam, entah kenapa, Akbar semakin tidak ingin berpisah dengan Naura hari ini.

“Ngga apa-apa, pergi aja, sebentar doang kan? nanti pasti pulang terus sama-sama aku disini.” Ucapnya manis, setelah melihat wajah murung Akbar terpampang jelas memperhatikannya.

“Ah, aku ngga usah berangkat aja ya? Toh masih bisa dikerjain senin.” Akbar menolak, dan kembali duduk diatas kasur.

Naura menggeleng, “Pergi aja, aku gapapa, dirumah juga ada mba, jangan terlalu panik lah, kamu mah gitu.”

“Tapi janji ya jangan gerak berlebihan, jangan terlalu capek, kalo ada apa-apa, minta tolong ke mba aja.”

Hanya anggukan dan serta satu ciuman di pipi yang diberikan oleh Naura untuk mengiyakan perintah Akbar tersebut.

———

Tidak butuh lama di perjalanan hari ini, untungnya tidak terlalu padat seperti hari biasanya. Sapaan selamat pagi oleh beberapa orang yang nasibnya sama dengan Akbar ikut menyambut kedatangannya.

Tentu membuat mood sedikit berangsur membaik dari kenyataan yang sebenarnya menyakitkan, jujur masih tidak terima kenapa selalu ada kendala jika ingin menghabiskan waktu dengan Naura di weekend ini.

Namun, dikesampingkan pikiran tersebut jika tidak ingin menganggu pekerjaannya, toh jika kerjaan cepat selesai, dirinya akan cepat berkumpul kembali bersama Naura.

Satu jam Dua jam Waktu cukup terasa bagi Akbar sejujurnya. Namun, dirinya tetap berhasil menyelesaikan pekerjaan kantornya tersebut.

Bertepatan dengan selesainya pekerjaan, baru saja dirinya berdiri dan hendak berpamitan dengan yang lain, secara tiba-tiba Akbar mendapati notifikasi pesan di ponselnya.

”Akbar.” ”Jangan panik.” ”Lo ke tempat ini yang gue shareloc sekarang.” ”Jangan ngebut.” ”Naura disini, tenang ya bar, hati-hati bawa mobilnya”

Seketika tubuhnya lemas, tidak tahu konteksnya apa, tapi jantungnya berdegup lebih kencang saat melihat tempat tujuan yang tertera di lokasi tersebut.

”Rumah Sakit”

Tanpa basa-basi, Akbar langsung berlari menuju basement, mengendarai mobilnya dengan laju yang cepat, tidak peduli kalau hal tersebut mungkin dapat membahayakan dirinya atau tidak. Yang terpenting, diri ya bisa memastikan, kalau apa yang berada di dalam pikirannya saat ini, tak terjadi.

Langkah gontainya berlari menuju ke ruangan yang mungkin tak pernah terfikirkan untuk didatangi secepat ini.

“Naura mana? Istri gue mana? Anak gue mana?” Hanya kata-kata itu yang mampu Akbar keluarkan dari mulutnya, Akbar hanya ingin melihat Naura, dalam keadaan baik-baik saja.

“Tenang dulu, tarik nafas, Akbar..”

Namun kata-kata penenang tersebut tidak cukup membuat dirinya bisa berhenti meneriakkan nama Naura disana.

“Naura mana..gue cuma mau liat Naura..”

“Naura di dalem, tadi dia jatuh, dia pendarahan, makanya kita semua disini, jadi sekarang lo tenang, berdoa, semoga semuanya baik-baik aja..”

Tuhan, rasanya kakinya langsung melemas seperti tidak ada tulang yang menopang, ternyata, perasaannya untuk tidak berangkat hari ini, membawa sebuah pertanda, pertanda yang tidak pernah dia harapkan sebelumnya

——————————————

Ternyata benar, kejadian ini mengharuskan keduanya merelakan sesuatu yang paling berharga dan ditunggu dalam keluarga kecil mereka.

Setelah tindakan dokter yang mau tidak mau harus dilakukan demi keselamatan, Akbar berusaha tegar, walaupun jujur, otaknya sedang bekerja keras untuk memikirkan bagaimana menyampaikan hal pahit kepada Naura, perempuan yang saat ini sedang terbaring lemah di ranjang berwarna putih tersebut.

Tangisnya tidak bisa tertahan, Akbar yang dikenal sebagai laki-laki terkuat, jatuh juga. Genggaman erat tidak lepas dari jari-jari perempuannya, dielusnya surai hitam perempuan tersebut, serta dibisikkannya beribu kata maaf disana.

“Sayang, maaf..”

“Maaf, maaf dan maaf..”

Akbar merasa gagal, gagal sebagai pendamping dan gagal sebagai calon ayah yang harusnya bisa menjaga

Mungkin, suara permintaan maafnya tersebut terlalu berisik, sehingga secara mendadak, Naura membalas genggamannya, membuat Akbar sedikit terbangun dan melihat ke arah perempuannya.

Kalimat yang dilontarkan pertama kali setelah perempuan itu membuka mata adalah

“Akbar? Dia pergi ya?”

Tuhan, rasanya Akbar tidak sanggup melihat perempuan ini, kehilangan untuk kesekian kalinya.

“Nau..”

Suara isakan sedikit terdengar, namun kembali hilang, yang ada hanya suara bergetar dari pertanyaan yang dilontarkan.

“Akbar, kenapa ya? Semua orang di dunia, bahkan yang kali ini belum bertemu secara langsung di dunia, udah pergi tanpa berkenalan..”

Akbar hanya bisa menggigit bibirnya pelan, Tuhan, jika Akbar bisa meminta, hanya satu permintaan yang dia inginkan, jangan pernah membuat wanitanya bersedih, untuk seterusnya.

“Akbar…”

“Ya sayang? Udah kamu istirahat dulu, gapapa ya? Ikhlas ya?”

Akbar menghela nafasnya pelan, terpaksa & harus dipaksa untuk ikhlas walau sejujurnya berat rasanya.

“Bener ya berarti yang aku tanyain kemaren? Dia pergi apa karena dia ngga bahagia? Karena dia tau aku jadi ibunya? Apa karena dia ngerasa bakalan lebih baik sama yang Kuasa daripada berkenalan dengan kita yang ada di dunia?”

Dunia harus tau, sakitnya cinta tidak terbalaskan zaman dulu bukan apa-apa dibandingkan mendengar kalimat yang dilontarkan Naura barusan.

“Naura….”

Bahkan, untuk menjawab saja Akbar tak sanggup.

If the baby leave me, kamu bakalan pergi juga ngga?” Ucapnya dengan nada parau, Akbar tau, saat ini Naura pasti sangat amat ingin menumpahkan seluruh tangisnya, tapi tertahan.

“Nau, if you want to cry, go ahead. I’m here, semua ini, bukan salah kamu. Dia pergi, bukan karena kamu, bukan juga dengan alasan ngga bahagia karena tahu kalau kita orang tuanya. God has plan, kita cuma manusia yang hanya bisa berserah diri, sayang.”

Tanpa sadar, air mata mengalir jelas di kedua pelupuk mata perempuannya.

Akbar rapuh, melihat Naura menumpahkan seluruh tangisannya disana, dengan mata terpejam, Akbar mengeratkan genggamannya.

Dengan sigap, Akbar memeluk Naura dengan erat, membisikkan kata-kata penyemangat, yang dirinya sendiri tahu kalau itu semua sama sekali tidak berarti sekarang.

Tegar bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan saat ini, tapi hal tersebut tetap berusaha Akbar lakukan demi Naura

”Nau, if you wondering i’ll leave you alone, the answers is “never”. From this moment, i promise to never leave you again, even for one centimenters. Ini duka kita, kamu punya aku, kamu ngga boleh nanggung semuanya sendiri.”

Naura masih diam dalam tangisnya, walaupun tak lama kemudian, dia hanya dapat mengangguk lemah tanpa daya.

“Akbar…maaf kalo aku ngga bisa jagain dia.”

“Nau..ngga, ngga ada yang salah disini.” Jawab Akbar

“Naura, like i said before, Dia pergi bukan karena ngga bangga sama kenyataan kalau kita orang tuanya, dia pergi bukan salah kamu, bukan salah kita, bukan salah semua orang. Kalo kita ikhlas, dia bakalan nunggu kita, kita bakalan ketemu lagi sama baby, Nau..”

Naura kembali mengangguk pelan, membuka kedua kelopak matanya yang sudah membengkak dan merah, sambil menatap lurus kearah mata Akbar.

”Then, Akbar, boleh ngga aku nitip pesan, sampaiin salam ku ke baby ya, bilang “see you soon, our puzzle piece. Mama will loves you, even we haven’t met before..”

Akbar kembali mengangguk dan memeluk wanitanya, tanpa sadar, bulir air mata yang sedari tadi dia tahan, terjatuh juga.

“Iya..aku bakalan sampein, aku bakalan bisikin ke baby-nya ya, Nau..aku bakalan bilang, kalo mama papanya sayang banget sama dia, walaupun kita bertiga, belum saling bertatap muka..”

Tak disangka, pertemuan tadi pagi, adalah pertemuan Akbar dan Naura dengan buah hati mereka.

Manusia memang berencana, tapi Tuhan yang punya kehendak. Perpisahan memang menyakitkan, namun selama Akbar bisa berikhtiar, perpisahan tidak akan kembali ke kehidupan mereka satu tahun, ataupun seribu tahun yang akan datang.

See you soon, our puzzle piece.

cw // mention of bloods, miscarriage.

Sabtu pagi. Entah kenapa, hari yang seharusnya menjadi hari liburnya hari ini mengharuskan Akbar untuk berangkat ke kantor karena ada urusan yang tidak bisa ditunda.

Berat rasanya, ditambah harus meninggalkan perempuan yang makin kesini makin bertambah lucu karena pipi gembulnya tersebut sendirian.

Apalagi mengenai perkataannya semalam, entah kenapa, Akbar semakin tidak ingin berpisah dengan Naura hari ini.

“Ngga apa-apa, pergi aja, sebentar doang kan? nanti pasti pulang terus sama-sama aku disini.” Ucapnya manis, setelah melihat wajah murung Akbar terpampang jelas memperhatikannya.

“Ah, aku ngga usah berangkat aja ya? Toh masih bisa dikerjain senin.” Akbar menolak, dan kembali duduk diatas kasur.

Naura menggeleng, “Pergi aja, aku gapapa, dirumah juga ada mba, jangan terlalu panik lah, kamu mah gitu.”

“Tapi janji ya jangan gerak berlebihan, jangan terlalu capek, kalo ada apa-apa, minta tolong ke mba aja.”

Hanya anggukan dan serta satu ciuman di pipi yang diberikan oleh Naura untuk mengiyakan perintah Akbar tersebut.

———

Tidak butuh lama di perjalanan hari ini, untungnya tidak terlalu padat seperti hari biasanya. Sapaan selamat pagi oleh beberapa orang yang nasibnya sama dengan Akbar ikut menyambut kedatangannya.

Tentu membuat mood sedikit berangsur membaik dari kenyataan yang sebenarnya menyakitkan, jujur masih tidak terima kenapa selalu ada kendala jika ingin menghabiskan waktu dengan Naura di weekend ini.

Namun, dikesampingkan pikiran tersebut jika tidak ingin menganggu pekerjaannya, toh jika kerjaan cepat selesai, dirinya akan cepat berkumpul kembali bersama Naura.

Satu jam Dua jam Waktu cukup terasa bagi Akbar sejujurnya. Namun, dirinya tetap berhasil menyelesaikan pekerjaan kantornya tersebut.

Bertepatan dengan selesainya pekerjaan, baru saja dirinya berdiri dan hendak berpamitan dengan yang lain, secara tiba-tiba Akbar mendapati notifikasi pesan di ponselnya.

”Akbar.” ”Jangan panik.” ”Lo ke tempat ini yang gue shareloc sekarang.” ”Jangan ngebut.” ”Naura disini, tenang ya bar, hati-hati bawa mobilnya”

Seketika tubuhnya lemas, tidak tahu konteksnya apa, tapi jantungnya berdegup lebih kencang saat melihat tempat tujuan yang tertera di lokasi tersebut.

”Rumah Sakit”

Tanpa basa-basi, Akbar langsung berlari menuju basement, mengendarai mobilnya dengan laju yang cepat, tidak peduli kalau hal tersebut mungkin dapat membahayakan dirinya atau tidak. Yang terpenting, diri ya bisa memastikan, kalau apa yang berada di dalam pikirannya saat ini, tak terjadi.

Langkah gontainya berlari menuju ke ruangan yang mungkin tak pernah terfikirkan untuk didatangi secepat ini.

“Naura mana? Istri gue mana? Anak gue mana?” Hanya kata-kata itu yang mampu Akbar keluarkan dari mulutnya, Akbar hanya ingin melihat Naura, dalam keadaan baik-baik saja.

“Tenang dulu, tarik nafas, Akbar..”

Namun kata-kata penenang tersebut tidak cukup membuat dirinya bisa berhenti meneriakkan nama Naura disana.

“Naura mana..gue cuma mau liat Naura..”

“Naura di dalem, tadi dia jatuh, dia pendarahan, makanya kita semua disini, jadi sekarang lo tenang, berdoa, semoga semuanya baik-baik aja..”

Tuhan, rasanya kakinya langsung melemas seperti tidak ada tulang yang menopang, ternyata, perasaannya untuk tidak berangkat hari ini, membawa sebuah pertanda, pertanda yang tidak pernah dia harapkan sebelumnya

——————————————-

Setelah tindakan dokter yang mau tidak mau harus dilakukan demi keselamatan, Akbar berusaha tegar, walaupun jujur, otaknya sedang bekerja keras untuk memikirkan bagaimana menyampaikan hal pahit kepada Naura, perempuan yang saat ini sedang terbaring lemah di ranjang berwarna putih tersebut.

Tangisnya tidak bisa tertahan, Akbar yang dikenal sebagai laki-laki terkuat, jatuh juga. Genggaman erat tidak lepas dari jari-jarinya, dielusnya surai hitam perempuan tersebut, serta dibisikkannya beribu kata maaf disana.

“Sayang, maaf..”

“Maaf, maaf dan maaf..”

Mungkin, suara permintaan maafnya tersebut terlalu berisik, sehingga secara sadar, Naura tiba-tiba membalas genggamannya, membuat Akbar sedikit terbangun dan melihat ke arah perempuannya.

“Akbar? Dia pergi ya?”

“Nau..”

“Kenapa ya? Semua orang di dunia, bahkan yang kali ini belum bertemu secara langsung di dunia, udah pergi tanpa berkenalan..”

Akbar hanya bisa menggigit bibirnya pelan, Tuhan, jika Akbar bisa meminta, hanya satu permintaan yang dia inginkan, jangan pernah membuat wanitanya bersedih, untuk seterusnya.

“Akbar…”

“Ya sayang?”

“Bener ya berarti yang aku tanyain kemaren? Dia pergi apa karena dia ngga bahagia? Karena dia tau aku jadi ibunya? Apa karena dia ngerasa bakalan lebih baik sama yang kuasa daripada berkenalan dengan kita yang ada di dunia?”

Dunia harus tau, sakitnya cinta tidak terbalaskan zaman dulu bukan apa-apa dibandingkan mendengar kalimat yang dilontarkan Naura barusan.

Bahkan, untuk menjawab saja Akbar tak sanggup.

If the baby leave me, kamu bakalan pergi juga ngga?” Ucapnya dengan nada parau, Akbar tau, saat ini Naura menahan tangisnya, tapi tertahan.

“Nau, if you want to cry, go ahead. I’m here, semua ini, bukan salah kamu. Dia pergi, bukan karena kamu, bukan juga dengan alasan ngga bahagia karena tahu kalau kita orang tuanya. God has plan, kita cuma manusia yang hanya bisa berserah diri, sayang.”

Tanpa sadar, keduanya sama-sama menjatuhkan air mata kesedihan masing-masing, tegar bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan saat ini.

Dengan sigap, Akbar memeluk Naura dengan erat, membisikkan kata-kata penyemangat, yang dirinya sendiri tahu kalau itu semu sama sekali tidak berarti sekarang.

”Nau, if you wondering i’ll leave you alone, the answers is “never”. From this moment, i promise to never leave you again, even for one centimenters. Ini duka kita, kamu punya aku, janji ya jangan ditanggung sendiri?”

Hanya anggukan yang bisa dibalas oleh Naura.

”Then, see you soon, our puzzle piece. Mama will loves you, even we haven’t met before..”

Tak disangka, pertemuan tadi pagi, adalah pertemuan Akbar dan Naura dengan buah hati mereka.

Manusia memang berencana, tapi Tuhan yang punya kehendak. Perpisahan memang menyakitkan, namun selama Akbar bisa berikhtiar, perpisahan tidak akan kembali ke kehidupan mereka satu tahun, ataupun seribu tahun yang akan datang.

Sesuai dengan apa yang dikatakan Naura di emailnya tepat jam 12 malam walaupun sedikit terlewat.

Saat ini Akbar sedang bersiap untuk menjemput pujaan hati menuju ke tempat yang Naura katakan.

Akbar sebenarnya tidak terlalu mengharapkan surprise ataupun sebuah kejutan di hari ulang tahunnya, karena menurutnya hari ulang tahun itu berarti berkurangnya umurnya di dunia, bukan bertambah.

Tapi, demi merayakan sukacita Akbar tetap menerima undangan dari Naura yang ntah telah disiapkan dari kapan.

Mesin mobil sengaja dimatikan, laki-laki dengan pakaian berwarna putih itu keluar dari Mobilnya menuju ke beberapa orang yang sudah menyambutnua didepan pintu ruma Naura.

“Selamat ulang tahun ya, sayang.” Mama Naura memberikan ucapan penuh kasih sayang kepada Akbar, karena Akbar sendiri sudah dianggap sebagai anaknya juga.

“Makasih ya tante.”

“Yaudah ayo kita pergi?” Naura memotong pembicaraan Akbar dengan beberapa sanak keluarganya yang terus mengucapkan selamat.

Naura dan Akbar memasuki mobil dan menuju ke tempat yang akan mereka tuju.

Untungnya, perjalanan mereka tidak terjebak oleh kemacetan ibukota malam itu. Mereka hanya perlu menempuh waktu dua puluh menit untuk tiba di salah satu restoran yang terkenal dengan fine dining di rooftop tersebut.

“Kamu nyiapin ini? Kok repot-repot.”

“Gapapa sekalian kita fine dining ya, selama kita pacaran kita belum pernah ya begi..”

Tangan Naura yang sedaru tadi berada di samping kananya langsung di genggam erat oleh Akbar. “Yaudah ayo kita sering-sering fine dining habis ini, mumpung masih bisa ketemu, mumpung belum ldr lagi, oke?”

Naura tersenyuk mengangguk, Akbar benar-benar laki-laki yang selalu peke terhadap keadaan. Tidak seperti dirinya.

Setelah pesanan mereka datang, keduanya langsung menyantap dengan khidmat sambil sesekali mengobrol tentang hubungan mereka.

Vibes mengobrol langsung dengan virtual tentu saja berbeda, maka dari itu mereka benar-benar memanfaatkan waktu mereka yang bisa dibilang singkat.

Karena mereka berdua hanya mendapat cuti selama satu minggu saja—sesingkat itu.

“Kamu mau hadiah apa?”

“Ngapain ngasih hadiah lagi?”

Naura mencibir. “Ditanya kok malah balik nanya.”

“Ini juga udah hadiah.”

“Apaan ini mah makan-makan…” Naura terus menjawab, tidak mau kalah.

“Nau—“

Naura mengeluarkan beberapa hadiah yang sengaja disimpan dibawah meja agar tidak repot untuk membawa lagi.

“Ini hadiah pertama, kata kak Raka kemarin kamu nanyain soal sepatu, kamu belum beli kan?” Tanya Naura sambil menyodorkan satu paperbag besar berisi sepatu.

“Nau ini mahal mending uangnya ditabung…”

“Jangan nolak kalau ngga—“

Akbar kemudian menutup mulutnya, dengan tanda bahwa dirinya tidak akan berbicara lagi.

“Terus hadiah kedua—ngga ada, itu aja hadiahnya.”

Akbar kemudian menghela nafasnya lega, karena menurutnya, lebih baik untuk menabung daripada harus digunakan untuk membeli barang-barang untuknya.

“Bener kan cuma ini aja?” Akbar bertanya berkali-kali untuk memastikan. Hal tersebut tentunya mendapat anggukan dari Naura.

Akbar kemudian berdiri menghampiri Naura. Kemudian memeluk erat tubuh perempuan yang ada didepannya.

Hadiah yang diberikan bukan berupa hal yang besar, tapi kehadiran Naura lah yang merupakan kado terindah bagi dirinya diumur 25 tahun ini.

“Nau—“

“Akbar makasih ya udah selalu sabar, beneran deh gue ngga ngerti kalau dulu kita ngga ketemu, dan ngga temenan apakah mungkin gue ketemu orang kaya lo.”

Naura sengaja menggunakan bahasa pertemanannya karena dia merasa omongan menggunakan panggilan pertemanan akan lebih terasa artinya untuk saat ini.

“Makasih udah selalu ada buat gue di suka dan duka ya, Bar..”

“Gue ngga tau kalo lo nyerah waktu itu, gue bakalan sama siapa ya sekarang, ada orang yang bakalan sesabar lo ngga ya…”

“Walaupun i’m not worthy at all to stand behind you, but—“

“Nau, 5 years ago, i fell in love with you. Setiap kali gue berusaha keras buat jauh, berkali kali gue bilang gue ngga bisa. Jangan selalu bilang makasih dan maaf. Lo dan gue, kita, semuanya itu udah punya garis takdirnya masing-masing.”

Akbar memotong pembicaraan Naura, mereka berdua masih saling berpelukan satu sama lain. Akbar kemudian menepuk dan mengelus pelan punggung perempuannya tersebut.

“Jangan pernah berfikiran kalau lo ngga ada gue lo ngga bakal hidup, jangan pernah. Apalagi kalau kamu ngerasa kamu itu ngga worth sama sekali untuk seseorang, berkali kali aku bilang kalau itu salah.” Lanjutnya.

Akbar menghela nafas panjang. Kemudian melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Naura dalam rengkuhan tangannya.

“Nau, gue benci lo yang selalu nyalahin diri lo, yang selalu ngga yakin sama kualitas diri lo, kalo lo ngga worth buat gue—kita ngga bakalan berdiri disini. Berdua—fine dining bareng-bareng. Ngga bakal.”

Naura dengan mata sayunya menatap lekat kedua bola mata hitam Akbar yang tepat didepannya.

“Gue ngga bisa ngerubah lo, gue disini bukan untuk ngerubah lo. Nau, yang bisa merubah sifat dan watak manusia itu ya diri dia sendiri. Selama-lamanya gue sama lo, selama-lamanya kita barengan berdua pun ngga bakal bisa merubah semuanya.”

Naura mengangguk paham, padahal berkali-kali dirinya selalu di nasehati oleh Akbar, tapi tetap saja balik lagi dan lagi.

“Jadi, mulai sekarang terakhir ngatain diri kamu itu ngga worth buat aku.” Akbar kembali menunjukkan karakter lembutnya didepan Naura.

Akbar menghapus sisa air mata yang tadi sempat mengucur dari kelopak mata perempuan itu.

“Janji ya? Janji terakhir.”

“Kamu mau kemana? Kenapa janji terakhir?” Tanya Naura.

“Aku ngga kemana-mana, harus dibilang janji terakhir supaya kamu stop berfikiran kaya gitu terus menerus.”

Naura kembali memeluk tubuh Akbar kedalam rengkuhannya. “Iya..aku janji, tapi kamu juga janji jangan kemana-mana. Kita disini sama-sama, jangan saling meninggalkan atau ngga aku bakalan—“

Belum selesai Naura menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba beberapa orang yang dirinya kenal muncul dari balik pintu ruangan tersebut.

Ada mama, papa, kak Raka, Ezra, Kayla, Jovi serta beberapa keluarga besarnya berada disamping kanan, saat dirinya melirik ke samping kiri, terdapat Oma & Opa serta beberapa keluarga Akbar yang tersenyum menatap keduanya.

Naura kemudian melepas pelukannya, dan melihat kearah Akbar, raut wajahnya jelas menggambarkan kebingungan disana.

“Akbar, kok ada—“

“Nau aku ngga pinter nguatarain perasaan, kalau aku pinter, pasti aku cuma butuh 1 tahun aja buat bilang kalo aku suka sama kamu waktu itu. Tapi nau, sebagai temen, sahabat, sekaligus pacar saat ini. Aku ngga mau kehilangan momen ini. Sebenernya sengaja aku kumpulin semua orang. Kamu harusnya sih udah tau, karena tau kan aku ngga pinter nutupin sesuatu—“

Naura berusaha menahan nafasnya, masih berusaha mencerna semuanya.

“Lama deh bang Akbar.” Tiba-tiba oji yang berdiri dibarisan keluarga Naura menyeletuk kepada Akbar, membuat seisi ruangan tertawa mendengar ocehan oji tersebut.

“Sabar dong ji, gue ngga bisa nih sosweet begini, apalagi sama Naura yang gue udah tau kebobrokannya—“ Bukannya melanjutkan Akbar malah menjawab celetukan dari anak laki-laki tersebut.

“Ini? Jadi..kamu mau ngomong sama aku atau sama oji?” Tanya Naura memotong pembicaraan mereka berdua.

“Oke lanjut-lanjut, jadi Nau, aku tuh aduh ngga bisa kaya ala-ala gitu, tapi nikah sama aku dong? Aku mau ngubah status lagi dari temen sepermainan, jadi temen hidup, mau ya? Kalo ngga mau ya paling akunya nangis…”

Semua orang tertawa mendengar omongan akbar yang tidak ada kata romantis sedikitpun.

“Ini? Kamu ngajak aku nikah apa ngajak aku main perosotan sih?” Cibir Naura, kali ini bukan haru biru, tetapi satu ruangan penuh kekehan dari orang-orang melihat momen diantara mereka berdua.

“Yah, tapi bar..” Naura mengucap dengan hati-hati, membuat beberapa audience disana ikut merasakan ketegangan dari kata ‘tapi’ tersebut.

“Lo telat..”

Mata Akbar langsung terbebelak, Akbar tidak paham maksud dari perkataan Naura. “Hah? Lo udah dilamar? Tapi kata papa lo belum ada yang ketemu selain gue……”

“Lo udah ketemu papa? Kapan? Kok ngga bilang?”

“Yah bukan surprise dong namanya kalo bilang-bilang sayang..” celetuk salah satu tante Naura.

“Ih iya maksudnya tuh iya telat, kenapasih ngga dari dulu? Aku kan udah ngode walaupun diujung becanda. Soalnya orang kantor aku ngecengin mulu kalo ldr ngga pernah berhasil, apalagi ldrnya sama pacar yang dulu itu temen sendiri. Godaannya banyak. Tadinya aku mau putusin kamu—tapi karena dilamar ngga jadi deh, eh ini beneran dilamar kan?” Candanya, kembali memecah tawa di ruangan tersebut.

Suasana pertemanan masih erat terasa diantara mereka, sebisa mungkin walaupun status mereka sudah dapay dikatakan naik level, tetapi keduanya masih terus membawa vibes pertemanan agar tidak ada perbedaan dari sebelumnya.

“Jadi diterima apa ngga neh? Oji laper—katanya bang Akbar mau traktirin steak.” Oji kembali membuka suaranya walaupun setelah itu mulutnya ditutup rapat menggunakan tangannya.

“Iya aduh gimana nih kak Nau? Diterima atau ngga?” Tanya Akbar jahil.

“Dih? Cincinnya mana?”

Menyadari hal tersebut, Akbar kemudian menepuk jidatnya. Bisa bisanya dirinya melupakan satu benda penting yang menjadi sebuah simbol dalam acara ini.

“Jadi Naura, mau nikah ngga sama gue?” Tanya Akbar dengan nada penuh harap.

Naura yang berdiri dihadapannya, kemudian tersenyum dan menjulurkan tangannya kearah Akbar.

“Iyadeh, kasian kalau ngga diterima—ENGGA NGGA BERCANDA. Iya aku terima, tapi kalau udah nikah aku mau liat kamu—“

Belum selesai Naura berbicara, Akbar kemudian langsung memeluk erat kekasihnya bahkan sebelum mengaitkan cincin pada jari manis perempuan tersebut.

Disini, malam ini ditemani dengan keluarga besar keduanya. Akbar dan Naura kembali menunjukkan kuasa dari pertemanan dan hubungan mereka.

Keduanya membuktikan, tidak ada yang tidak mungkin terjadi di dunia. Sepahit apapun orang menilai dan memberikan tanggapan mereka, jika keduanya sudah sama-sama saling di takdirkan, tidak akan bisa dipatahkan oleh opini belaka.

Karena dalam suatu hubungan mereka berdua percaya bahwa yang dibutuhkan hanyalah perjuangan bersama. Karena sejatinya perjuangan yang telah dilalui bersama-sama pasti tidak akan mengkhianati hasilnya pula, karena yang mengerti akan seluk beluk hubungan adalah diri sendiri, bukan orang lain.

Kali ini, bukan hanya disaksikan oleh saksi bisu, tetapi hari ini persatuan keduanya disaksisan oleh saksi hidup yang selalu mendukung hubungan mereka untuk serius melanjut ke jenjang berikutnya.

Untuk yang terakhir kali, terimakasih Akbar dan Naura. Terimakasih atas perjuangan sejak pertemanan hingga saat ini menuju dihalalkan<3

— Sequel From 0% Interest, End (16 December 2021)

Sesuai dengan apa yang dikatakan Naura di emailnya tepat jam 12 malam walaupun sedikit terlewat.

Saat ini Akbar sedang bersiap untuk menjemput pujaan hati menuju ke tempat yang Naura katakan.

Akbar sebenarnya tidak terlalu mengharapkan surprise ataupun sebuah kejutan di hari ulang tahunnya, karena menurutnya hari ulang tahun itu berarti berkurangnya umurnya di dunia, bukan bertambah.

Tapi, demi merayakan sukacita Akbar tetap menerima undangan dari Naura yang ntah telah disiapkan dari kapan.

Mesin mobil sengaja dimatikan, laki-laki dengan pakaian berwarna putih itu keluar dari Mobilnya menuju ke beberapa orang yang sudah menyambutnua didepan pintu ruma Naura.

“Selamat ulang tahun ya, sayang.” Mama Naura memberikan ucapan penuh kasih sayang kepada Akbar, karena Akbar sendiri sudah dianggap sebagai anaknya juga.

“Makasih ya tante.”

“Yaudah ayo kita pergi?” Naura memotong pembicaraan Akbar dengan beberapa sanak keluarganya yang terus mengucapkan selamat.

Naura dan Akbar memasuki mobil dan menuju ke tempat yang akan mereka tuju.

Untungnya, perjalanan mereka tidak terjebak oleh kemacetan ibukota malam itu. Mereka hanya perlu menempuh waktu dua puluh menit untuk tiba di salah satu restoran yang terkenal dengan fine dining di rooftop tersebut.

“Kamu nyiapin ini? Kok repot-repot.”

“Gapapa sekalian kita fine dining ya, selama kita pacaran kita belum pernah ya begi..”

Tangan Naura yang sedaru tadi berada di samping kananya langsung di genggam erat oleh Akbar. “Yaudah ayo kita sering-sering fine dining habis ini, mumpung masih bisa ketemu, mumpung belum ldr lagi, oke?”

Naura tersenyuk mengangguk, Akbar benar-benar laki-laki yang selalu peke terhadap keadaan. Tidak seperti dirinya.

Setelah pesanan mereka datang, keduanya langsung menyantap dengan khidmat sambil sesekali mengobrol tentang hubungan mereka.

Vibes mengobrol langsung dengan virtual tentu saja berbeda, maka dari itu mereka benar-benar memanfaatkan waktu mereka yang bisa dibilang singkat.

Karena mereka berdua hanya mendapat cuti selama satu minggu saja—sesingkat itu.

“Kamu mau hadiah apa?”

“Ngapain ngasih hadiah lagi?”

Naura mencibir. “Ditanya kok malah balik nanya.”

“Ini juga udah hadiah.”

“Apaan ini mah makan-makan…” Naura terus menjawab, tidak mau kalah.

“Nau—“

Naura mengeluarkan beberapa hadiah yang sengaja disimpan dibawah meja agar tidak repot untuk membawa lagi.

“Ini hadiah pertama, kata kak Raka kemarin kamu nanyain soal sepatu, kamu belum beli kan?” Tanya Naura sambil menyodorkan satu paperbag besar berisi sepatu.

“Nau ini mahal mending uangnya ditabung…”

“Jangan nolak kalau ngga—“

Akbar kemudian menutup mulutnya, dengan tanda bahwa dirinya tidak akan berbicara lagi.

“Terus hadiah kedua—ngga ada, itu aja hadiahnya.”

Akbar kemudian menghela nafasnya lega, karena menurutnya, lebih baik untuk menabung daripada harus digunakan untuk membeli barang-barang untuknya.

“Bener kan cuma ini aja?” Akbar bertanya berkali-kali untuk memastikan. Hal tersebut tentunya mendapat anggukan dari Naura.

Akbar kemudian berdiri menghampiri Naura. Kemudian memeluk erat tubuh perempuan yang ada didepannya.

Hadiah yang diberikan bukan berupa hal yang besar, tapi kehadiran Naura lah yang merupakan kado terindah bagi dirinya diumur 25 tahun ini.

“Nau—“

“Akbar makasih ya udah selalu sabar, beneran deh gue ngga ngerti kalau dulu kita ngga ketemu, dan ngga temenan apakah mungkin gue ketemu orang kaya lo.”

Naura sengaja menggunakan bahasa pertemanannya karena dia merasa omongan menggunakan panggilan pertemanan akan lebih terasa artinya untuk saat ini.

“Makasih udah selalu ada buat gue di suka dan duka ya, Bar..”

“Gue ngga tau kalo lo nyerah waktu itu, gue bakalan sama siapa ya sekarang, ada orang yang bakalan sesabar lo ngga ya…”

“Walaupun i’m not worthy at all to stand behind you, but—“

“Nau, 5 years ago, i fell in love with you. Setiap kali gue berusaha keras buat jauh, berkali kali gue bilang gue ngga bisa. Jangan selalu bilang makasih dan maaf. Lo dan gue, kita, semuanya itu udah punya garis takdirnya masing-masing.”

Akbar memotong pembicaraan Naura, mereka berdua masih saling berpelukan satu sama lain. Akbar kemudian menepuk dan mengelus pelan punggung perempuannya tersebut.

“Jangan pernah berfikiran kalau lo ngga ada gue lo ngga bakal hidup, jangan pernah. Apalagi kalau kamu ngerasa kamu itu ngga worth sama sekali untuk seseorang, berkali kali aku bilang kalau itu salah.” Lanjutnya.

Akbar menghela nafas panjang. Kemudian melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Naura dalam rengkuhan tangannya.

“Nau, gue benci lo yang selalu nyalahin diri lo, yang selalu ngga yakin sama kualitas diri lo, kalo lo ngga worth buat gue—kita ngga bakalan berdiri disini. Berdua—fine dining bareng-bareng. Ngga bakal.”

Naura dengan mata sayunya menatap lekat kedua bola mata hitam Akbar yang tepat didepannya.

“Gue ngga bisa ngerubah lo, gue disini bukan untuk ngerubah lo. Nau, yang bisa merubah sifat dan watak manusia itu ya diri dia sendiri. Selama-lamanya gue sama lo, selama-lamanya kita barengan berdua pun ngga bakal bisa merubah semuanya.”

Naura mengangguk paham, padahal berkali-kali dirinya selalu di nasehati oleh Akbar, tapi tetap saja balik lagi dan lagi.

“Jadi, mulai sekarang terakhir ngatain diri kamu itu ngga worth buat aku.” Akbar kembali menunjukkan karakter lembutnya didepan Naura.

Akbar menghapus sisa air mata yang tadi sempat mengucur dari kelopak mata perempuan itu.

“Janji ya? Janji terakhir.”

“Kamu mau kemana? Kenapa janji terakhir?” Tanya Naura.

“Aku ngga kemana-mana, harus dibilang janji terakhir supaya kamu stop berfikiran kaya gitu terus menerus.”

Naura kembali memeluk tubuh Akbar kedalam rengkuhannya. “Iya..aku janji, tapi kamu juga janji jangan kemana-mana. Kita disini sama-sama, jangan saling meninggalkan atau ngga aku bakalan—“

Belum selesai Naura menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba beberapa orang yang dirinya kenal muncul dari balik pintu ruangan tersebut.

Ada mama, papa, kak Raka, Ezra, Kayla, Jovi serta beberapa keluarga besarnya berada disamping kanan, saat dirinya melirik ke samping kiri, terdapat Oma & Opa serta beberapa keluarga Akbar yang tersenyum menatap keduanya.

Naura kemudian melepas pelukannya, dan melihat kearah Akbar, raut wajahnya jelas menggambarkan kebingungan disana.

“Akbar, kok ada—“

“Nau aku ngga pinter nguatarain perasaan, kalau aku pinter, pasti aku cuma butuh 1 tahun aja buat bilang kalo aku suka sama kamu waktu itu. Tapi nau, sebagai temen, sahabat, sekaligus pacar saat ini. Aku ngga mau kehilangan momen ini. Sebenernya sengaja aku kumpulin semua orang. Kamu harusnya sih udah tau, karena tau kan aku ngga pinter nutupin sesuatu—“

Naura berusaha menahan nafasnya, masih berusaha mencerna semuanya.

“Lama deh bang Akbar.” Tiba-tiba oji yang berdiri dibarisan keluarga Naura menyeletuk kepada Akbar, membuat seisi ruangan tertawa mendengar ocehan oji tersebut.

“Sabar dong ji, gue ngga bisa nih sosweet begini, apalagi sama Naura yang gue udah tau kebobrokannya—“ Bukannya melanjutkan Akbar malah menjawab celetukan dari anak laki-laki tersebut.

“Ini? Jadi..kamu mau ngomong sama aku atau sama oji?” Tanya Naura memotong pembicaraan mereka berdua.

“Oke lanjut-lanjut, jadi Nau, aku tuh aduh ngga bisa kaya ala-ala gitu, tapi nikah sama aku dong? Aku mau ngubah status lagi dari temen sepermainan, jadi temen hidup, mau ya? Kalo ngga mau ya paling akunya nangis…”

Semua orang tertawa mendengar omongan akbar yang tidak ada kata romantis sedikitpun.

“Ini? Kamu ngajak aku nikah apa ngajak aku main perosotan sih?” Cibir Naura, kali ini bukan haru biru, tetapi satu ruangan penuh kekehan dari orang-orang melihat momen diantara mereka berdua.

“Yah, tapi bar..” Naura mengucap dengan hati-hati, membuat beberapa audience disana ikut merasakan ketegangan dari kata ‘tapi’ tersebut.

“Lo telat..”

Mata Akbar langsung terbebelak, Akbar tidak paham maksud dari perkataan Naura. “Hah? Lo udah dilamar? Tapi kata papa lo belum ada yang ketemu selain gue……”

“Lo udah ketemu papa? Kapan? Kok ngga bilang?”

“Yah bukan surprise dong namanya kalo bilang-bilang sayang..” celetuk salah satu tante Naura.

“Ih iya maksudnya tuh iya telat, kenapasih ngga dari dulu? Aku kan udah ngode walaupun diujung becanda. Soalnya orang kantor aku ngecengin mulu kalo ldr ngga pernah berhasil, apalagi ldrnya sama pacar yang dulu itu temen sendiri. Godaannya banyak. Tadinya aku mau putusin kamu—tapi karena dilamar ngga jadi deh, eh ini beneran dilamar kan?” Candanya, kembali memecah tawa di ruangan tersebut.

Suasana pertemanan masih erat terasa diantara mereka, sebisa mungkin walaupun status mereka sudah dapay dikatakan naik level, tetapi keduanya masih terus membawa vibes pertemanan agar tidak ada perbedaan dari sebelumnya.

“Jadi diterima apa ngga neh? Oji laper—katanya bang Akbar mau traktirin steak.” Oji kembali membuka suaranya walaupun setelah itu mulutnya ditutup rapat menggunakan tangannya.

“Iya aduh gimana nih kak Nau? Diterima atau ngga?” Tanya Akbar jahil.

“Dih? Cincinnya mana?”

Menyadari hal tersebut, Akbar kemudian menepuk jidatnya. Bisa bisanya dirinya melupakan satu benda penting yang menjadi sebuah simbol dalam acara ini.

“Jadi Naura, mau nikah ngga sama gue?” Tanya Akbar dengan nada penuh harap.

Naura yang berdiri dihadapannya, kemudian tersenyum dan menjulurkan tangannya kearah Akbar.

“Iyadeh, kasian kalau ngga diterima—ENGGA NGGA BERCANDA. Iya aku terima, tapi kalau udah nikah aku mau liat kamu—“

Belum selesai Naura berbicara, Akbar kemudian langsung memeluk erat kekasihnya bahkan sebelum mengaitkan cincin pada jari manis perempuan tersebut.

Disini, malam ini ditemani dengan keluarga besar keduanya. Akbar dan Naura kembali menunjukkan kuasa dari pertemanan dan hubungan mereka.

Keduanya membuktikan, tidak ada yang tidak mungkin terjadi di dunia. Sepahit apapun orang menilai dan memberikan tanggapan mereka, jika keduanya sudah sama-sama saling di takdirkan, tidak akan bisa dipatahkan oleh opini belaka.

Karena dalam suatu hubungan mereka berdua percaya bahwa yang dibutuhkan hanyalah perjuangan bersama. Karena sejatinya perjuangan yang telah dilalui bersama-sama pasti tidak akan mengkhianati hasilnya pula, karena yang mengerti akan seluk beluk hubungan adalah diri sendiri, bukan orang lain.

Kali ini, bukan hanya disaksikan oleh saksi bisu, tetapi hari ini persatuan keduanya disaksisan oleh saksi hidup yang selalu mendukung hubungan mereka untuk serius melanjut ke jenjang berikutnya.

Untuk yang terakhir kali, terimakasih Akbar dan Naura. Terimakasih atas perjuangan sejak pertemanan hingga saat ini menuju dihalalkan<3

— Sequel From 0% Interest, End (16 December 2021)

Naura bangun dengan kabar yang kurang mengenakkan. Pasalnya, tadi pukul 05 pagi, di hari bahagianya dalam perkuliahan. Dirinya harus mendengar kabar buruk bahwa Akbar tidak bisa menemaninya.

Mendadak, Akbar menelfon Naura dan mengabarkan kalau opa atau kakeknya masuk rumah sakit. Membuat dirinya terpaksa harus menuju ke tempat opanya saat itu juga.

Sedih memang, tapi Naura lebih mengkhwatirkan keadaan dari Opanya Akbar tersebut.

Pagi tadi, saat mendengar suara Akbar, Naura sudah memastikan bahwa laki-laki itu panik bukan main. Naura paham dia panik karena opa Omar adalah orang yang telah dia anggap sebagai orang tuanya sendiri selama dia hidup.

Ibaratnya, sudah seperti separuh hidupnya.

“Maaf aku ngga bisa nemenin kamu ya, Nau?” Ucapnya meminta maaf dengan sedikit suara isakan yang terdengar.

“No, ngga ngga, ngga perlu minta maaf. Kamu malah harus kesana, opa kamu itu prioritas pertama, bukan aku.”

“Aku janji bakalan balik secepatnya, setidaknha sampe opa aku pulih, nanti aku temuin kamu lagi ya?”

Naura mendengar itu seperti merasa bersalah kepada Akbar. Tak seharusnya Akbar meminta maaf kepada Naura karena menomor sekiankan kepentingan Naura hari ini.

“Akbar, hei, tenang dulu, kamu udah beli tiket kan? Go ahead, aku gapapa disini masih banyak yang lainnya. Kita bisa berhubungan juga lewat facetime atau yang lainnya, zaman udah canggih kok. Kamu kabarin aku nanti kalo misalnya udah mau flight atau udah tiba disana ya?” Ucap Naura, setidaknya mencoba untuk menenangkan.

“Kamu ngga berhak merasa bersalah sama aku, yang harusnya malah aku yang minta maaf karena buat kamu masih mikirin aku padahal masih ada prioritas yang lebih penting daripada aku.”

Akbar terdiam dibalik sambungan telfon, tidak ada pembicaraan apapun lagi yang terdengar disana.

“Sekarang, bangunin ezra atau mau aku telfonin Kayla minta tolong anterin kamu ke bandara? Jangan nyetir ya please, kamu lagi panik, aku malah takut kamu kenapa-kenapa.”

“Aku naik taxi aja, Nau—Aku ngga enak kalo gangguin mereka.”

Salah satu yang Naura benci terhadap Akbar adalah sifat tidak enakannya, dia terlalu mementingkan orang lain, padahal disatu sisi dirinya juga butuh bantuan. Tapi Naura tidak ingin membahasnya karena keadaan tidak memungkinkan.

“Yaudah hati-hati, kabarin kalo udah boarding dan nyampe disana ya? Aku tunggu kabarnya.”

“Iya, kamu juga kabarin kalo kamu udah mau mulai sidang ataupun hasilnya gimana ya, Nau.” Ucapnya.”Goodluck, sayang.”

Jadwal sidang Naura hari ini dilaksanakn pada pukul 10.00 pagi. Saat ini, Naura sudah berada dikampus ditemani oleh Kayla, dan juga beberapa temannya.

“Udah rileks aja, gue yakin lo bisa ngadepin segala macam pertanyaan dosen penguji.” Ucao Kayla

Naura hanya mengangguk, berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau dia bisa. Sesuai yang Akbar katakan sebelum pergi tadi. “Naura bisa, Naura harus yakin pasti bisa.”

Setelah waktu menunjukkan pukul 09.45, Naura diminta masuk untuk menunggu para jajaran dosen pembimbing dan dosen penguji skripsinya.

Diluar teman-temannya yang sudah berkumpul pun sibuk memberikan semangat.

Naura menjalankan sidangnya dengan lancar jaya, dirinya bisa mengatasi segala macam pertanyaan yang diberikan oleh penguji. Saat ini, Naura sudah berada di tempat terpisah sambil menunggu hasil dari ujiannya.

Walaupun dirinya yakin, tapi banyak ketakutan yang ada dalam dirinya.

Jantungnya seakan-akan hendak lepas saat salah satu dosen memanggil dirinya untuk kembali masuk. Dengan muka yang super serius, para dosen menjelaskan revisian-revisian yang harus dikerjakan.

“Ini kalo banyak revisi ini gimana nih pak? Bu?” Ucap salah satu dosen penguji.

Naura hanya bisa diam, dan menatap kosong kearah depan. Tidak merespon apapun, hanya pasrah menerima apapun hasilnya.

Pintu ruangan terbuka, menampilkan Naura keluar dengan deraian air mata. Kayla yang berada didepan sana langsung menyambut Naura dan memeluknya.

“Nau—“ Bisiknya.

“Gue—gue…gue lulus huhu”

Suara sorakan terdengar jelas dari lingkaran mereka. Semua teman yang mengenal Naura berkumpul untuk memberikan selamat karena telah berhasil menyelesaikan tahap terakhir di perkuliahan.

“Nau, ini sini dulu deh.”

“Ih apasih gue lagi nang—“ Naura menghentikan omongannya saat melihat seseorang disalah satu layar ipad menampilkan senyum termanis yang dirinya punya.

“Nau, jangan nangis dong, aduh coba aku disana aku pasti bisa melukin kamu terus disana. Nau, congratulation for you achievement ya? Naura keren banget? Pacarku keren banget, pacarku hebat banget! I’m really proud of you—“

Naura kembali menangis mendengar kata-kata tersebut. Membuat yang lainnya langsung mengolok-ngolok Akbar karena telah membuat Naura menangis kembali.

Naura menangis bukan karena sedih, tapi dirinya seperti merasa menjadi manusia paling beruntung saat ini, karena dikelilingi orang yang baik, yang sayang dengan dirinya. Ternyata segala kejadian buruk yang menimpa Naura di masa lalu sekarang telah digantikan oleh kebahagiaan yang melimpah ruah. Rasanya, Naura seperti tidak berhak untuk mendapatkan ini semua.

Am i deserve all of this?

Ezra yang sedaritadi hanya memperhatikan kemudian langsung menghampiri Naura yang masih berbicara dengan Akbar.

“Nau, daripada nangis mulu, lo kesinian deh.” Naura pun mengikuti arahan Ezra.

Ezra kemudian memberikan 1 bucket bunga besar, 1 paper bag dan 1 kotak yang dibungkus dengan kertas kado. “Dari lo?”

“Ya ngga lah, noh dari pacar lo.”

Naua langsung kembali menatap layar ipad yang masih menampilkan Akbar disana.

“Akbar???? Kan udah janji buat ngga im—“

“Iya ini aku janji ngga bakal implusif lagi, yaampun Nau ini satu kali seumur hidup kamu lulus kuliah sarjana, masa aku ngga kasih apa-apasih, please oke jangan ditolak pokoknya harus diterima. Once again, Congratulation love, i love youuuuu—“

02 November 2021.

Sesuai dengan pesan kedua terakhir yang tertulis dalam google form. Mata Naura sudah tertutup bahkan sebelum masuk kedalam mobil. Tentu saja dengan bantuan beberapa temannya yang telah Akbar ajak kerjasama.

Beragam pertanyaan dilemparkan Naura kepada Akbar, namun Akbar hanya menjawab dengan tertawa, dan kalimat

“Wait and see, tapi maaf kalau misalnya pilihannya ngga sesuai sama apa yang kamu pilih ya? Bahkan aku juga belum liat apa yang kamu pilih. Aku pake insting aja.”

“Tapi aku juga milihnya pake insting.”

“Yaudah berarti kalo sama dan sesuai kita jodoh.” Akbar menjawab dengan singkat, padat dan jelas. Pernyataan itu cukup membuat Naura yang tertutup matanya tersipu malu.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, Naura dan Akbar tiba di tempat yang telah disiapkan.

Tentu saja, Naura berjalan hati-hati keluar dari mobil karena posisi matanya masih tertutup kain. Tubuhnya di papah menuju tempat yang sebenernya.

“Nau, awas ada parit.”

“AHHH MANA.” Naura menghentikan langkahnya dan berusaha melompat kecil, membuat Akbar rasa rasanya hendak menggigit sangking gemasnya.

“Boongan.”

Naura mendecih, “Nyebelin banget sih, ini kapan sih dibukanya?!”

Bertepatan dengan omelan tersebut, tubuh Naura diberhentikan di satu posisi. Tidak ada suara apapun selain deruan nafasnya yang sedikit terengah-engah.

“Kok sepi sih?” “Aku ngga pilih fine dining loh.” “Lagian apa banget masa fine dining bajunya kemeja gini, astaga.”

Akbar hanya tertawa kecil, sambil tangannya berusaha membuka kaitan yang menutupi mata Naura.

“Udah liat nanti aja, kalau fine dining juga gapapa, biar out of style fine dining pake kemeja sama vest.”

“Udah siap belom liat fine diningnya?” Akbar kembali menjahili Naura.

“Buruan, kepo.”

Dalam hitungan 1, 2, 3. Kaitan yang menutupi mata Naura terbuka, diikuti teriakan ramai yang ada di depannya.

“HAPPY BIRTHDAAAAY NAURAAAA!!!!”

Naura sedikit menerjapkan matanya, dan berusaha menetralkan pandangannya. Setelah berhasil, Naura benar benar terkejut melihat semua teman-temannya berkumpul.

Acara picnic party sesuai dengan apa yang dia pilih tertata rapi, memang beberapa hari yang lalu Naura sempat berkata kalau dia ingin picnic di taman dan benar-benar direalisasikan oleh Akbar.

Diantara teman-temannya yang datang juga terdapat jovi yang hadir, laki-laki yang sudah jarang dia temui itu tersenyum sambil mengacungkan jempolnya disana.

“Bar?” Naura menoleh ke belakang tempat Akbar berdiri, dia tidak boleh lupa akan siapa yang menyiapkan semua hal ini.

Akbar dengan outfit kemeja putih dan short pants hitam benar-benar terlihat sangat cocok. Hal itu lagi-lagi sesuai dengan apa yang dipilih Naura, yaitu outfit pilihannya di tanggal 28 Oktober alias outfit yang Naura bilang sangat cocok digunakan oleh Akbar.

Akbar berdiri tegap sambil tersenyum manis, membuat Naura tak bisa menahan malu dan membuat pipinya semakin merah.

“Kenapa mukanya merah? Hahaha.”

Iringan lagu Fallin for you- The 1975 juga mengalun mengikuti acara tersebut, memang tidak cocok sebenarnya, tapi karena ini adalah lagi terfavorite dari Naura, mau tidak mau Akbar meminta tetap memutarkan lagu tersebut.

“Lagunya HAHAHHA.”

“Kamu bilang kamu suka lagu ini? Yaudah aku puterin aja.”

“Kamu nyatet semua apa yang aku bilang ya?”

“Lebih tepatnya aku pancing supaya kamu bilang.” Ucap Akbar.

“Dan itu.” Akbar menunjuk salah satu tempat, beberapa kado tertumpuk terpampang jelas disana.

“Banyak banget??”

“Dari 10 keranjang shopee teratas kamu, aku beliin.”

“Akbar..”

“Jangan nolak, itu bukan utang, itu pemberian, hadiah, ngga baik tau pemberian hadiah di tolak.”

Naura semakin tersipu malu dibuat oleh Akbar, dirinya kini merasa menjadi ratu sehari.

“Kamu tuh mau apasih sampe niat begini? Sumpah ya kenapasih ngga daridulu kita temenan dikasih begini tiap aku ulang tahun? Kan aku bisa makmur?”

Bukan dapat pelukan atau apa, Naura malah mendapat sentilan pelan ditangannya dari Akbar,

“Tekor aku kalau 3 tahun ngasih ginian mulu, syukur syukur kalo ujung-ujungnya diterima kalau misalnya kemaren ngga diterima gimana? Biayain jodoh orang dong aku?”

“Ya tapi kan nyatanya diterima?”

“Ya kan aku bukan cenayang?” Akbar kembali menjawab pertanyaan Naura dengan pertanyaan lagi.

Semua teman-teman mereka yang ada disana hanya diam memandangi dua sejoli yang meributkan hal yang seharusnya tidak diributkan.

“Kalau pacaran sama temen sendiri tuh gitu yah? Masa suka ngungkit masa lalu pas masih jadi temen? ngapain pacaran dah kalian kalau suka ngungkit ngungkit soal pertemanan? Mending temenan aja ngga sih lama lama daripada pacaran??” Ucap Jovi yang sudah tidak tahan dengan adegan drama yang ditunjukkan oleh dua sejoli ini.

“GAMAAAAAUUUUUU” Ucap Akbar dan Naura secara serentak. Hal tersebut sontak membuat semuanya yang ada disana tertawa karena keduanya seakan-akan tidak mau saling kehilangan

“Berarti waktu dia nyamperin gue pagi-pagi itu dia lagi demam? Ih kenapasih itu anak!”

Naura dengan bergegas langsung membereskan barang-barangnya yang berserakan di meja gazebo setelah mendengar kabar kalau Akbar sakit sejak semalam dari Ezra.

Pantas saja, biasanya Akbar selalu menelfon untuk sekedar mengucapkan “Selamat malam, mimpi indah.”

Namun untuk semalam, dirinya tidak melakukan hal tersebut. Naura awalnya tidak mau ambil pusing karena dia pikir kalau pacarnya tersebut hanya sedang ketiduran, apalagi tidak membalas pesannya sejak jam 8 Malam.

Dan ternyata, sore hari ini dia baru tahu kalau Akbar demam tinggi. Itupun setelah dirinya memaksa Ezra untuk memberi tahukan keadaan Akbar, karena setaunya, terakhir mereka berkomunikasi Akbar bilang akan melakukan bimbingan bersama Ezra di hari ini.

Walaupun Ezra dengan susah payah tidak memberitahu Naura karena suruhan Akbar, Ezra akhirnya mengaku kalah dan memberikan informasi terkait Akbar yang sedang sakit saat ini, membuat raut wajah wanita itu langsung berubah seketika dan langsung meminta Ezra untuk mengantarkan ke kosan Akbar yang juga kost dari Ezra.

Setelah sampai, Naura dengan tergesa-gesa menaiki tangga kosan tersebut, dia datang tanpa memberitahukan Akbar sebelumnya.

Marah? Tentu saja. Dia bahkan seperti tidak dianggap oleh Akbar dalam keadaan seperti ini.

“Nau, pelan-pelan anjir nanti kalau lo jatoh gue yang dimarahin Akbar, hadeh.” Ezra berusaha menghentikan langkah Naura yang terkesan sangat buru-buru.

Naura memberhentikan langkahnya, “Zra, dia udah demam dari semalem, terus ngga kasih tau gue? Gue khawatir lo paham ngga sih?”

“Iya gue tau.” “Tapi Akbar ngga sakit parah, Nau.”

“Lo ngga ngerti.” Naura memotong

“Dia selalu berusaha selalu ada buat gue, tapi gue? Bahkan dia sakit aja gue ngga tau.” Lanjutnya.

Ezra langsung menghentikan niatnya untuk menjawab Naura, berdasarkan pengalamannya cewe kalau udah ngomel, jangan dijawab lagi, diemin aja nanti cape sendiri.

“Iya oke, tapi hati-hati, gue males diomelin Akbar kalo lo jatoh pokoknya.”

“Gue omelin balik dia kalo berani ngomelin lo.”

- Setelah menaiki anak tangga yang super banyak, sampailah Naura didepan kamar berpintu warna abu-abu ini.

Naura kemudian langsung mengetuk pintu tersebut, terdengar suara deheman dari dalam ruangan tersebut.

“Masuk aja zra, ngga gue kunci, biasanya lo main asal masuk aja.”

Mendengar suara yang parau dan lemah tersebut, Naura langsung memutar knop pintu dan membuka perlahan pintu tersebut.

“Udah selesai lo—Eh? Nau?”

“Akbar….” Naura dengan suara lemahnya pula berdiri didepan pintu, menatap laki-laki yang sedang berbaring dengan kompresan bye bye fever di jidatnya.

Akbar melihat hal tersebut, langsung dengan cepat berdiri menghampiri Naura yang dalam hitungan ke- 1 2 3, menangis.

“Naaaaau, kenapa nangis? Ngga ngga aku ngga apa apa, liat aku sehat. NAAAU, aduh ezra lo tuh—“ Akbar berusaha menenangkan Naura, namun tetap hendak mengomeli Ezra yang bocor informasi.

Hiks, kenapa ngga bilang…”

Akbar langsung memeluk tubuh yang lebih kecil dari dirinya, berusaha menenangkan perempuan yang terlihat sangat khawatir, dia kemudian melihat smartwatch yang ada di tangannya, untuk melihat tanggal hari ini.

Pantas saja, wanita yang ada dalam dekapannya yang dapat dibilang jarang banget nangis ini sedang fase merah, maka dari itu saat pertama kali melihat Akbar terbaring lemah di kasurnya, dia tiba-tiba sensitif dan menangis karena sedih.

“Hei, stop, jangan nangis. Liat aku ngga apa-apa.”

“Tapi itu ada bye bye fever di kepala kamu, kamu apa-apa kalo kaya gitu.”

“Demam doang.”

“DEMAM DOANG?????? DOANG KAMU BILANG?” Naura membelalakkan matanya, membuat dua laki-laki yang ada disekitarnya mundur satu langkah karena ketakutan.

“Kamu tadi pagi kekosan aku berarti dengan keadaan demam doang kamu bilang? Kamu tuh kenapasih bar ngga mau bilang?”

“Kenapa coba? Paham ngga kalau orang khawatir? Did you know that Akbar Yasha Omarro?”

Akbar hanya diam, tidak merespon apapun.

“Kenapa kamu ngga pernah ngasih aku kesempatan buat ngasih perhatian? Kenapa kamu selalu egois dan selalu mau merhatiin aku? Kamu ngga boleh gitu, kita berdua, bukan sendiri sendiri, aku selalu ngeluh kalo aku ada apa-apa sama kamu, tapi kamu ngga pernah ngasih tau aku setiap kamu yang ada apa-apa, aku tuh ap—“

Cup

Satu kecupan mendarat di pipi mulus Naura, kecupan pipi pertama yang berani Akbar berikan kepada Naura semenjak mereka berteman atau berpacaran.

Membuat Naura langsung menatap manik mata Akbar yang berada tepat didepan dirinya.

“I’m so sorry, maaf kalau aku ngga bilang, maaf kalau bikin kamu khawatir, aku cuma ngga mau jadi beban pikiran kamu aja nau, apalagi tadi aku tau kalo kamu abis dimarahin dosen..”

“Sekarang, kalau aku punya masalah orang yang paling pertama harus tau itu kamu. Okay? I promise, Nau.”

“Udah ya? Jangan nangis lagi? Pipinya merah tuh, abis nangis apa karena abis dicium?”

Ezra yang masih berdiri sana seakan-akan transparan dimata mereka berdua.

“Sorry, ini gue izin ke kamar gue dulu boleh? Ngga ngerti banget gue masih patah hati udah sun sun depan gue aja. Jangan berduaan dikamar lu berdua, yang ketiganya setan.”

“Eh?”

“YA LO BERARTI KAN ZRA? HAHAHAH.” Ucap keduanya serentak.

“Dih apaan dah lu kok ngikutin gue mulu.” Ucap Ezra yang berjalan tepat didepan Akbar saat hendak keluar dari kosan mereka.

“Lah gue cuma mau minta hak deal-dealan kita kemarin, apaan lo udah ngajak deal-dealan tapi ngga nepatin janji.”

Suara teriakan Akbar dan Ezra terdengar dari dalam mobil yang saat ini ditempati Naura.

Didalam sana, Naura tidak berhenti menggeleng-gelengkan kepalanya karena melihat tingkah teman-temannya itu bagaikan kucing dan anjing setiap kali bertemu.

“Gajelas lu zra, kemaren lo fotoin saldo juga pamer aja kan pasti, sialan.” Keluh Akbar.

Ezra mendecih, “Yaa sekalian sih.”

Emang sifat tengil keduanya itu ngga pernah bisa diilangin.

Naura yang sedari tadi memperhatikan keduanya, kemudian mulai membuka kaca mobil dan memperlihatkan wajahnya disana.

“Udah kali, jangan ribut mulu.” Teriak Naura.

Ezra dan Akbar langsung menoleh ke sumber suara, “Lah, ngapain lo disana nau?”

“Ya kenapa? Emang ngga boleh?” Tanya Naura kepada Ezra yang terlihat kebingungan.

“Ya boleh ajasih, nah mending lo seret nih sobat karib lo, enak aja minta-minta gue bayarin bensin sama makan siang selama 1 bulan.”

Naura hanya tertawa mendengar pernyataan daru Ezra, sungguh polos.

Naura pun memilih untuk keluar dan menghampiri dua laki-laki yang sedang berdiri disana.

“Lah emang lo ngapain kok bisa Akbar minta bayarin bensin sama makan siang 1 bulan?” Tanya Naura yang pura-pura tidak tahu.

“Nah ini nih nau, kemaren dia ngaku-ngaku kalo lo itu pacarnya gitu, ya ngga mungkin kan lah ya? Lo kan ngga pengen pacaran sama temen sendiri kan ya nau? Setau gue gitu sih akbar cerita sama gue sambil seseguk—“

“Sial, gue dipermaluin, bukan gitu ya konteksnya, zra!” Ucap Akbar memotong perkataan Ezra.

Ezra masih bisa tertawa. “Ya intinya gue deal-dealan aja kalo emang beneran pacaran ya gue tawarin mau traktir bensin + lunch sebulan, karena gue tau ngga bakal kejadian kan?”

”Gue kasian sama ezra sejujurnya kalo gue jujur disini pasti dia auto miskin ngga sih?” Batin Naura

“Nah mumpung ada lo, sekarang pembuktian aja, gue cuma mau bukti, kalo emang lo pacaran, cium kek atau apa kek naura bar, baru percaya gue.” Ucap Ezra dengan asal.

Akbar langsung menepuk bahu Ezra kuat, “ngomong jangan sembarangan lo, cium cium aja.”

Ezra mendecih, “Bilang aja lo takut kan? Sekarang deal-dealannya ditambah, kalo lo boong, lo yang ngelakuin itu ke gue, gimana?”

“Lo butuh pembuktian apa lagi sih? Emang se-ngga mungkin itu gue pacaran sama Naura?” Tanya Akbar.

Ezra hanya memutar bola matanya saat mendengar pertanyaan Akbar, “Ya, git—“

Cup

Naura secara spontan mendaratkan satu ciuman ke pipi laki-laki bernama Akbar tersebut, sontak membuat Akbar dan Ezra mematung.

“Udah cukup bukti belom kalo gue sama Akbar beneran pacaran, zra?”

“Akbar, kenapa keluar mobil?”

Naura terdiam saat melihat Akbar telah berdiri didepan mobilnya menunggu Naura keluar dari kost-nya hari itu.

“Gue minta maaf.” Ucapnya pelan.

“Ngga seharusnya ya gue baca, tapi sumpah nau gue baru baca sampe lo ceritain pas gue tau kak Raka itu abang kandung lo selebih—“

Naura tertawa, “hahaha iya udah ngga apa-apa, salah gue juga teledor, udah yuk jalan? nanti kesorean kan?”

Hari ini, memang sudah direncanakan keduanya jauh-jauh hari untuk sekedar saling bertukar cerita. Niatnya mereka ingin bersenang-senang sambil bersenandung saat perjalanan.

Namun, karena tragedi journal Naura tersebut, malah membuat keduanya terlihat canggung dalam perjalanan.

Ntah apa yang membuat mereka canggung, apa Naura yang terlalu memikirkan bagaimana menyampaikan apa yang tertulis di beberapa halaman terakhir journalnya, ataukah Akbar yang terlalu overthinking akan apa yang akan Naura sampaikan hari itu.

Yang jelas kali ini, suasana di dalam mobil hanya diisi oleh lagu dari “Keenan Te-Dependent” yang bersenandung dari balik speaker mobil tersebut.

I'll be honest We're better off as friends I told myself I would never fall again But I can feel myself falling now

Lantunan lagu tersebut membuat Naura merenung seketika, mengalihkan pandangannya menuju arah jendela mobil. dia merasa kalau potongan lirik tersebut menggambarkan dirinya, apakah selama ini dia hanya terlalu bergantung pada Akbar?

The one thing I know is I'm scared to love again I need you now more than I needed you then I guess I'm too dependent Depend—

“Nau, udah sampe-“ ucapan Akbar membuat Naura kembali tersadar dari lamunannya yang bahkan membuat dirinya tidak sadar kalau mereka sudah sampai ditempat tujuan.

Mereka berdua sama-sama turun dari mobil, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, seperti orang yang baru pertama kali bertemu.

Hal itu tentunya membuat pikiran negatif selalu berdatangan kedalam otak dan perasaan Akbar kali ini.

Mengenai apa yang ada di lembaran terakhir journal Naura& mengenai apa yang akan disampaikan Naura kepada Akbar.

Pikiran itu terus menerus menghantui Akbar saat ini.

“Bar—haloo?” “Kenapa ngelamun bar?” Ucap Naura yang melambai lambaikan tangannya tepat didepan Akbar.

“Ah—sorry, ngga ngga kenapa napa, ayo gue tau tempat yang bagus disini—“ Ucap Akbar kemudian berjalan lurus kearah depan mendahului Naura.

“Bar—“ Panggil Naura.

Akbar menoleh, “Iya?”

“Bukunya lo taruh dimana?”

“Buat apa? Nanti aja pas pulang nau diambil, di taro di mobil aja ngga sih?” Tanya Akbar.

“Gue bukannya udah bilang kalo gue bakal bilang mengenai halaman terakhir yang ada di journal gue?” ucap Naura dengan suara pelan.

Akbar kali ini terdiam, perasaannya campur aduk, terdapat banyak ketakutan dan penasaran dibalik perasaannya kali ini. Akbar pikir omongan Naura soal dia akan memberitahukan mengenai isi halaman terakhir journal diary nya itu hanya omong kosong belakang.

“Bar? ini gue kaya ngomong sama tembok? mana? sini kuncinha biar gue ambil.”

“Ah iya astaga, sorry, ini, ada di tas gue di jok belakang, ambil aja.”

“Lo beneran belom baca kan?” Ucap Naura sambil memasang tatapan mengancam.

“Nau, astaga, gue udah baca…”

Naura langsung kembali membalikkan badannya, “TADI KATANYA BELOM BACA!!!!!!”

“Kan udah baca, halaman terakhir yang belom gue baca, gimana sih—“ jawab Akbar.

“Oh iya—“

“Makanya jangan marah-marah mulu, berkali kali dibilang kalau marah makin lucu—“ ucap Akbar berusaha mencairkan suasana canggung diantara mereka.

“Sempat-sempatnya dia gombal.” Bisik Naura sambil berjalan kearah mobil untuk mengambil harta paling berharga dihidupnya selain keluarga.


Sore itu, mereka berdua sama-sama berusaha menikmati waktu healing berdua dari segala perasaan takut, resah, gelisah, galau mengenai hidup mereka.

“Tempatnya bagus banget deh, kok lo tau tau sih tempat begini?”

“Ada yang lebih bagus lagi, tapi emang agak diatas gedung gitu.” Jawab Akbar

“Astaga ini masih belom ada apa apanya?”

“Belom, lo ah kurang jauh mainnya.”

Naura diam dan seketika menghentikan langkahnya. membuat Akbar ikut berhenti juga, “Kenapa? Capek?”

“Lumayan, istirahat dulu ya?”

“Yaudah, nih minum dulu.”

Naura mengernyitkan dahinya, “Kapan lo beli?”

“Tadi.”

“Perasaan lo ngga bawa apa apa deh pas jalan?” Tanya Naura

“Perasaan lo aja kali nau, perasaan tuh kadang emang suka mempermainkan apa yang sebenarnya terjadi.”

Naura terdiam. Kalimat yang dilontarkan Akbar kembali membuat kedaan diantara mereka kembali canggung.

Setelah menghabiskan waktu sekitar 15 menit untuk sekedar beristirahat dan menghabiskan beberapa cemilan yang ada di kantong ajaib Akbar (yang ntah dimana dia sembunyikan)

Akhirnya Akbar mengajak Naura untuk kembali berjalan ke tempat lanjutannya.

“Nau, yuk? Dikit lagi sih ini.”

“Beneran bagus ngga?”

“Bagus.”

“Kalo ngga bagus tanggung jawab ya?”

“Lo mau gue tanggung jawab apa?”

Naura mendelik, kemudian langsung mendorong Akbar dari belakang, “udah udah ayo sana jalan.”

Setelah tiba ditempatnya, dengan nafas yang terengah engah Naura kemudian menghentikan langkahnya sedangkan Akbar masih berjalan menaiki anak tangga untuk mencapai puncaknya tempat yang mereka datangi.

“Nau, liat anjir ini bagus bange—“

“AKBAR.” teriak Naura.

Mendengar teriakan itu membuat Akbar langsung menoleh dan hendak turun menghampiri Naura. “NAU, KENAPA?”

“Jangan turun, disitu aja.”

Akbar makin bingung sama tindakan Naura, hal apa yang mau dia lakukan.

“Gue bilang gue bakal kasih tau lo halaman terakhir di journal berkedok diary gue kan?”

Akbar tidak menjawab.

Naura mengambil nafas dalam-dalam dari tempat ia berdiri sekaang.

“Naura, are u okay?” Teriak Akbar.

“Tahun 2021–“

Naura kemudian mulai membaca inti diarynya tersebut—

Naura membaca isi diary journalnya tentang pertama kali ia sadar ada yang tidak beres diantara hubungan persahabatan mereka terkhusus sejak pertanyaan saat di paralayang dan lampiran beberapa chat Akbar yang mulai menyiratkan perasaannya

Mengenai dirinya yang mulai menyadari arti Akbar sebenarnya, tapi masih belum paham apakah ini tandanya dia menyayangi Akbar hanya sebatas teman atau lebih dari itu

Mengenai dirinya yang terus mencari tau mengenai apa arti perasaannya saat ini, dan menemukan satu balasan dari seseorang yang berkata: ”so you can either prepare for him to try and convinance you why it would be a good idea to get with him or prepare for him to slowly dissapear from your life”. Kata kata yang membuat Naura kembali takut dengan yang namanya kehilangan tapi takut kembali menyebabkan perpisahan.

Mengenai bagaimana dirinya berusaha survive untuk mengatasi segala trauma yang pernah dia punya dan tentang bagaimana Naura dituntut untuk bisa jujur kepada dirinya sendiri mengenai perasaan yang sedang dia rasakan saat ini.

Naura tiba-tiba menghentikan perkataannya, sambil menatap lurus ke Akbar dengan tatapan sendu.

Tatapan itu kembali membuat Akbar takut akan apa yang disampaikan Naura mengenai halaman terakhir yang ada di journal diarynya itu.

“Akbar—maaf..” ucap Naura dengan suara bergetar.

Kata maaf kembali terucap dari mulut gadis yang sedang berdiri di anak tangga pertama tersebut.

Ntah apa, tapi kali ini Akbar kembali merasakan kesedihan yang sungguh hebat menghantam hatinya, ntah apa, tapi dia tidak sanggup untuk mendengar isi dari halaman terakhir tersebut.

“Nau, ngga usah dilanjutin..”

Naura menggeleng, “lo harus tau, udah waktunya bar.”

“Nau gue ngga sanggup dengernya—“ Ucap Akbar.

Ntahlah, bagaimana menggambarkan situasinya saat ini.

“Di agustus 2021, tepat beberapa hari yang lalu, gue tulis halaman terakhir yang ada di journal gue.” Lanjut Naura.

Akbar kali ini menunduk, dia benar-benar tidak siap, walaupun kemarin dia bilang ke Raka kalau dia ikhlas perjuangannya tidak dibalaskan, tapi sejatinya Akbar juga manusia yang tak luput dari rasa kecewa.

“—gue mulai nyadar kalo apa yang gue lakuin salah, setelah gue dapat wejangan dari ibu hanna selaku psikolog gue saat ini, yang ngebantuin gue buat nyembuhin luka lama yang gue tanggung, gue menyadari sesuatu yang sepenuhnya ngga pernah gue bayangin selama kita berdua temenan, bar.”

“Dan ntah apa yang ngedorong gue saat itu, tiba-tiba gue nyari artikel mengenai tanda tanda kalau yang dirasakan kalau lo bener-bener suka sama seseorang.”

Akbar kemudian kembali mengangkat kepalanya saat mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut Naura.

“Dan, semuanya menggambarkan perasaan gue sekarang ke lo bar. Lo selalu berusaha ngasih gue motivasi atau ngehibur gue disaat gue jatuh dan salah satu yang paling nampar gue saat gue baca adalah ketika ada kalimat ”his happiness means the world to you, if he’s miserable, you’re genuinely messed up as well.”, dan semuanya beneran bar, gue ngerasain itu—“

“Nau—ra..” “Kalo lo ngerasain itu kenapa lo harus minta maaf sama gue nau?”

“gue gatau harus ngomong apa lagi, tapi gue seneng karena udah bisa jujur sama perasaan gue sendiri—“

Akbar hanya diam, mendengarkan segala perkataan yang keluar dari balik mulut perempuan tersebut sambil menatap lekat manik mata perempuan tersebut dari jauh.

“—gue ikhlas kalo misalnya lo mau pergi dari gue, gue ikhlas karena lo ngga pantes sama orang kaya gue, gue terlalu munafik, gue selalu denial soal perasaan, dan yang terakhir, gue selalu nyakitin lo dan ngga pernah bisa menghargai perasaan lo.” Sesal Naura.

“Semuanya gue lakuin karena gue ngga mau kalo suatu saat kalo kita emang bener-bener ditakdirkan buat sama-sama, gue nerima lo cuma karena kasihan, gue ngga mau, jadi selama ini gue bener-bener harus meyakinkan diri gue, tapi yang ada gue cuma nyakitin lo dari hari ke hari.”

Akbar mengangguk, “gue udah boleh nanggapin?”

Naura menghembuskan nafas panjang, “boleh, tapi bar, gue ngomong ini bukan mau ngebawa lo buat ngambil keputusan baru karena gue tau lo udah terlalu capek sama drama yang gue buat, gue cuma mau lo tau kalo sebenernya gue udah 100% interest ke lo, itu a—“

“Siapa yang bilang kalau gue nyerah?” Potong Akbar, membuat Naura yang tadinya menunduk kembali mendongakkan kepalanya untuk menatap laki-laki yang ada disebrang sana.

“Tapi lo bilang kalo lo capek kan bar?”

“Capek belum tentu nyerah kan, nau?

Naura benar-benar terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Akbar, pasalnya setelah ucapan Akbar waktu itu kalau dia lelah dengan semuanya adalah akhir karma atas segala tindakannya.

“Sebelum gue nanggepin semuanya, gue mau ucapin terima kasih sama lo, makasih ya nau udah berhasil jujur sama diri sendiri, walaupun gue ngga tau apakah lo udah sepenuhnya sembuh atau belum. Tapi gue bangga, Naura yang gue kenal adalah perempuan yang paling hebat ke 3 setelah ibu dan nenek gue.”

Kali ini Naura yang dibuat tertegun dengan kata-kata Akbar. Selama ini selain ayah dan kakaknya, Akbar juga termasuk laki-laki yang selalu berhasil bikin Naura tersenyum berkali-kali lipatnya dengan segala kalimat yang terucap dari mulutnya.

“He praised me a lot.” Batin Naura

“Nau, percaya ngga selama hampir 4 tahun gue kenal sama lo, dan selama hampir 3 tahun gue nyimpen rasa sama lo, udah banyak orang yang selalu nyuruh gue mundur dengan berbagai alasan.”

“Gue pernah goyah? pernah.” “Gue pernah berusaha buat mundur? sangat amat pernah.”

Naura kembali membuka suaranya, “terus kenapa lo bertahan?”

Kali ini Akbar tersenyum lebar, “Emang bertahan untuk sesuatu yang patut dipertahankan butuh alasan, Nau?”

Naura kembali tertampar dengan kalimat yang dilontarkan Akbar kala itu. Nyatanya ketakutannya akan sebuah kehilangan benar-benar menutup mata dan hati Naura, sehingga ia sama sekali tidak menyadari kalau Akbar adalah laki-laki yang tulus dan tidak pernah menuntut apapun dari dirinya.

“Nau, lo pernah baca ngga sih kutipan yang bilang kalau “What is meant to be will always finds its way.”?”

“Sekarang gue percaya sama kutipan itu, gue percaya kalau selamanya yang menjadi milik kita, sejauh apapun hal itu berusaha menjauh, pasti akan kembali, apapun alasannya.”

Naura kembali mengutarakan senyumnya sore itu, senyum termanis yang pernah terukir di mulut perempuan yang sudah berhasil mengobati segala traumanya.

Tanpa Akbar, Naura mungkin sama sekali tidak bisa melewati masa-masa sulitnya akan sebuah kehilangan. Nasib yang sama-sama diterima mereka berdua perihal kehilangan bukan berarti membuat mereka akan ikut merasakannya juga.

“Thankyou for everything, Akbar.”

Akbar mengangguk sambil memasang senyum termanisnya pula, “Gue yang harusnya makasih karena lo udah ada di titik buat nerima semuanya, nau. Terima kasih sudah bertahan ya, dan terima kasih sudah jujur ya, Naura?”

“Jadi?” Tanya Naura sambil tertawa.

Akbar pun membalas dengan tertawa kemudian merentangkan tangannya, berharap Naura yang masih ada disana berlari kedalam pelukannya.

“Jadi, kalo kita end up sebagai temen aja gapapa, kan? yang penting udah jujur sama perasaan masing-masing kan?”

Akbar langsung terkejut, “for everything we've been through?”

Naura kemudian berlari menaiki anak tangga, dan langsung memeluk laki-laki terhebat ketiga didalam hidupnya. “JANGAN NANGIS GUE BECANDA HAHAHA.”

“Naura, gue udah hampir mau nangis sambil lompat nih-” Ucap Akbar dengan suara yang sedikit bergetar karena shock mendengar kalimat yang tidak dia inginkan keluar dari mulut Naura.

“Gue becanda HAHAHAHA.”

“Jadi?”

“Jadi?” Ucap mereka secara bersamaan, kemudian diikuti tawa oleh dua orang yang masih dalam posisi berpelukan.

“Pacaran ya kita?” Tanya Akbar balik

Naura tiba-tiba melepaskan pelukannya, “Dih, apaan kok ngga ada romantis-romantisnya sih?”

Akbar langsung kembali memeluk perempuan yang ada didepannya.

“Yaudah, Naura Janira Reswara, AYO KITA PACARAN, NGGA NERIMA PENOLAKAN!!!” Teriak Akbar.

“HAHAHA CURANG TAPI AKBAR YASHA OMARRO, GUE TERIMA TAWARANNYA!” Jawab Naura dengan teriakan pula.

Hari ini, tempat yang mereka kunjungi hari itu menjadi salah satu saksi bisu akan perjuangan dan pertahanan yang dilalui oleh kedua insan manusia yang sudah menemukan kebahagiaannya satu sama lain.

Terimakasih Akbar atas perjuangannya & Terimakasih Naura sudah bertahan.

—From 0% Interest, End. (30 Agustus 2021)

“Akbar, kenapa keluar mobil?”

Naura terdiam saat melihat Akbar telah berdiri didepan mobilnya menunggu Naura keluar dari kost-nya hari itu.

“Gue minta maaf.” Ucapnya pelan.

“Ngga seharusnya ya gue baca, tapi sumpah nau gue baru baca sampe lo ceritain pas gue tau kak Raka itu abang kandung lo selebih—“

Naura tertawa, “hahaha iya udah ngga apa-apa, salah gue juga teledor, udah yuk jalan? nanti kesorean kan?”

Hari ini, memang sudah direncanakan keduanya jauh-jauh hari untuk sekedar saling bertukar cerita. Niatnya mereka ingin bersenang-senang sambil bersenandung saat perjalanan.

Namun, karena tragedi journal Naura tersebut, malah membuat keduanya terlihat canggung dalam perjalanan.

Ntah apa yang membuat mereka canggung, apa Naura yang terlalu memikirkan bagaimana menyampaikan apa yang tertulis di beberapa halaman terakhir journalnya, ataukah Akbar yang terlalu overthinking akan apa yang akan Naura sampaikan hari itu.

Yang jelas kali ini, suasana di dalam mobil hanya diisi oleh lagu yang bersenandung dari balik speaker mobil tersebut.

I'll be honest We're better off as friends I told myself I would never fall again But I can feel myself falling now

Lantunan lagu tersebut membuat Naura merenung seketika, mengalihkan pandangannua menujur arah jendela mobil.

The one thing I know is I'm scared to love again I need you now more than I needed you then I guess I'm too dependent Depend—

“Nau, udah sampe-“ ucapan Akbar membuat Naura kembali tersadar dari lamunannya yang bahkan membuat dirinya tidak sadar kalau mereka sudah sampai ditempat tujuan.

Mereka berdua sama-sama turun dari mobil, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, seperti orang yang baru pertama kali bertemu.

Hal itu tentunya membuat pikiran negatif selalu berdatangan kedalam otak dan perasaan Akbar kali ini.

Mengenai apa yang ada di lembaran terakhir journal Naura& mengenai apa yang akan disampaikan Naura kepada Akbar.

Pikiran itu terus menerus menghantui Akbar saat ini.

“Bar—haloo?” “Kenapa ngelamun bar?” Ucap Naura yang melambai lambaikan tangannya tepat didepan Akbar.

“Ah—sorry, ngga ngga kenapa napa, ayo gue tau tempat yang bagus disini—“ Ucap Akbar kemudian berjalan lurus kearah depan mendahului Naura.

“Bar—“ Panggil Naura.

Akbar menoleh, “Iya?”

“Bukunya lo taruh dimana?”

“Buat apa? Nanti aja pas pulang nau diambil, di taro di mobil aja ngga sih?” Tanya Akbar.

“Gue bukannya udah bilang kalo gue bakal bilang mengenai halaman terakhir yang ada di journal gue?” ucap Naura dengan suara pelan.

Akbar kali ini terdiam, perasaannya campur aduk, terdapat banyak ketakutan dan penasaran dibalik perasaannya kali ini. Akbar pikir omongan Naura soal dia akan memberitahukan mengenai isi halaman terakhir journal diary nya itu hanya omong kosong belakang.

“Bar? ini gue kaya ngomong sama tembok? mana? sini kuncinha biar gue ambil.”

“Ah iya astaga, sorry, ini, ada di tas gue di jok belakang, ambil aja.”

“Lo beneran belom baca kan?” Ucap Naura sambil memasang tatapan mengancam.

“Nau, astaga, gue udah baca…”

Naura langsung kembali membalikkan badannya, “TADI KATANYA BELOM BACA!!!!!!”

“Kan udah baca, halaman terakhir yang belom gue baca, gimana sih—“ jawab Akbar.

“Oh iya—“

“Makanya jangan marah-marah mulu, berkali kali dibilang kalau marah makin lucu—“ ucap Akbar berusaha mencairkan suasana canggung diantara mereka.

“Sempat-sempatnya dia gombal.” Bisik Naura sambil berjalan kearah mobil untuk mengambil harta paling berharga dihidupnya selain keluarga.


Sore itu, mereka berdua sama-sama berusaha menikmati waktu healing berdua dari segala perasaan takut, resah, gelisah, galau mengenai hidup mereka.

“Tempatnya bagus banget deh, kok lo tau tau sih tempat begini?”

“Ada yang lebih bagus lagi, tapi emang agak diatas gedung gitu.”

“Astaga ini masih belom ada apa apanya?”

“Belom—“

Naura diem. “Kenapa? Capek?”

“Lumayan, istirahat dulu ya?”

“Yaudah, nih minum dulu.”

“Kapan lo beli?”

“Tadi.”

“Perasaan lo ngga bawa apa apa deh pas jalan?”

“Perasaan lo aja kali nau, perasaan tuh kadang emang suka mempermainkan apa yang sebenarnya terjadi.”

Naura terdiam. Mereka canggung lagi.

Setelah menghabiskan waktu sekitar 15 menit untuk sekedar beristirahat dan menghabiskan beberapa cemilan yang ada di kantong ajaib Akbar (yang ntah dimana dia sembunyikan)

Akhirnya Akbar mengajak Naura untuk kembali berjalan ke tempat lanjutannya.

“Nau, yuk? Dikit lagi sih ini.”

“Beneran bagus ngga?”

“Bagus.”

“Kalo ngga bagus tanggung jawab ya?”

“Lo mau gue tanggung jawab apa?”

Naura mendelik, kemudian langsung mendorong Akbar dari belakang, “udah udah ayo sana jalan.”

Setelah tiba ditempatnya, dengan nafas yang terengah engah Naura kemudian menghentikan langkahnya sedangkan Akbar masih berjalan menaiki anak tangga untuk mencapai puncaknya tempat yang mereka datangi.

“Nau, liat anjir ini bagus bange—“

“AKBAR.” teriak Naura.

Mendengar teriakan itu membuat Akbar langsung menoleh dan hendak turun menghampiri Naura. “NAU, KENAPA?”

“Jangan turun, disitu aja.”

Akbar makin bingung sama tindakan Naura, hal apa yang mau dia lakukan.

“Gue bilang gue bakal kasih tau lo halaman terakhir di journal berkedok diary gue kan?”

Akbar tidak menjawab.

Naura mengambil nafas dalam-dalam dari tempat ia berdiri sekaang.

“Naura, are u okay?” Teriak Akbar.

“Tahun 2021–“

Naura kemudian mulai membaca inti diarynya tersebut—

tentang pertama kali pembahasan mereka saat di paralayang sampai beberapa chat Akbar yang mulai menyiratkan perasaannya

tentang dirinya yang mulai menyadari arti Akbar sebenarnya, tapi masih belum paham apakah ini tandanya dia menyayangi Akbar hanya sebatas teman atau lebih dari itu

tentang bagaimana Naura terus mencari tau mengenai apa arti perasaannya saat ini, dan menemukan satu balasan dari seseorang yang berkata *”so you can either prepare for him to try and convinance you why it would be a good idea to get with him or prepare for him to slowly dissapear from your life”. Kata kata yang membuat Naura kembali takut dengan yang namanya kehilangan tapi takut kembali menyebabkan perpisahan.

Tentang bagaimana dia survive untuk mengatasi segala trauma yang pernah dia punya dan tidak kembali menyakiti hati seseorang lagi, tentang bagaimana dia bisa jujur kepada dirinya sendiri mengenai perasaan yang sedang dia rasakan saat ini.

Naura tiba-tiba menghentikan perkataannya, sambil menatap lurus ke Akbar dengan tatapan sendu.

Tatapan itu kembali membuat Akbar takut akan apa yang disampaikan Naura mengenai halaman terakhir yang ada di journal diarynya itu.

“Akbar—maaf..” ucap Naura dengan suara bergetar.

Kata maaf kembali terucap dari mulut gadis yang sedang berdiri di anak tangga pertama tersebut.

Ntah apa, tapi kali ini Akbar kembali merasakan kesedihan yang sungguh hebat menghantam hatinya, ntah apa, tapi dia tidak sanggup untuk mendengar isi dari halaman terakhir tersebut.

“Nau, ngga usah dilanjutin..”

Naura menggeleng, “lo harus tau, udah waktunya bar.”

“Nau gue ngga sanggup dengernya—“ Ucap Akbar.

Ntahlah, memang kisah mereka sepenuhnya terlalu drama untuk dikisahkan.

“Di agustus 2021, tepat beberapa hari yang lalu, gue tulis halaman terakhir yang ada di journal gue.” Lanjut Naura.

Akbar kali ini menunduk, dia benar-benar tidak siap, walaupun kemarin dia bilang ke Raka kalau dia ikhlas perjuangannya tidak dibalaskan, tapi sejatinya Akbar juga manusia yang tak luput dari rasa kecewa.

“—gue mulai nyadar kalo apa yang gue lakuin salah, setelah gue dapat wejangan dari ibu hanna selaku psikolog gue saat ini, yang ngebantuin gue buat nyembuhin luka lama yang gue tanggung, gue menyadari sesuatu yang sepenuhnya ngga pernah gue bayangin selama kita berdua temenan, bar.”

“Gue mulai nyari mengenai artikel yang mengatakan kalau ”You’re truly in love with him.””

Akbar kemudian kembali mengangkat kepalanya saat mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut Naura.

“Dan, semuanya menggambarkan perasaan gue sekarang ke lo bar. Lo selalu berusaha ngasih gue motivasi atau ngehibur gue disaat gue jatuh dan salah satu yang paling nampar gue saat gue baca adalah ketika artikel itu bilang ”his happiness means the world to you, if he’s miserable, you’re genuinely messed up as well.”, dan semuanya beneran bar, gue ngerasain itu—“

“Nau—ra..” “Kalo lo ngerasain itu kenapa lo harus minta maaf sama gue nau?”

“gue gatau harus ngomong apa lagi, tapi gue seneng karena udah bisa jujur sama perasaan gue sendiri—“

Akbar hanya diam, mendengarkan segala perkataan yang keluar dari balik mulut perempuan tersebut sambil menatap lekat manik mata perempuan tersebut dari jauh.

“—gue ikhlas kalo misalnya lo mau pergi dari gue, gue ikhlas karena lo ngga deserves orang kaya gue, gue terlalu munafik, gue selalu denial soal perasaan, dan yang terakhir, gue selalu nyakitin lo dan ngga pernah bisa menghargai perasaan lo.” Lanjut Naua.

“Semuanya gue lakuin karena gue ngga mau kalo suatu saat kalo kita emang bener-bener ditakdirkan buat sama-sama, gue nerima lo cuma karena kasihan, gue ngga mau, jadi selama ini gue bener-bener harus meyakinkan diri gue, tapi yang ada gue cuma nyakitin lo dari hari ke hari.”

Akbar mengangguk, “boleh gue bicara sebentar?”

Naura menghembuskan nafas panjang, “boleh, tapi bar, gue ngomong ini bukan mau ngebawa lo buat ngambil keputusan baru karena gue tau lo udah terlalu capek sama drama yang gue buat, gue cuma mau lo tau kalo sebenernya gue udah 100% interest ke lo, itu a—“

“Siapa yang bilang kalau gue nyerah?” Potong Akbar, membuat Naura yang tadinya menunduk kembali mendongakkan kepalanya untuk menatap laki-laki yang ada disebrang sana.

“—tapi lo bilang kalo lo capek kan bar?”