redtear

tw // major character death , loss of a lover , angst


Shoyo, apa kabar?

Terakhir kudengar adalah semangat dan ambisimu tentang medan perang di olimpiade. Ketika itu, meski sebatas suara, kudapat lihat parasmu, bagai sabit di antara cerahnya sinar baskara. Berkobar-kobar, kau menjanjikan menang. Aku percaya sebab kesungguhanmu berapi garang. Kau tak ada dua.

Namun, hari itu kau tak lagi emas, perak, atau perunggu. Belum sempat bertempur, belum sempat pula menggenggam jaya. Hari itu kau tak jadi yang pertama atau kedua. Kau tiada.

Jangan khawatir, teman-temanmu hebat. Mereka selalu menepati janji 'tukmu, mendengarkan katamu, dan mewujudkan citamu. Isak mereka menyatu dalam dua sebab; antara menang di pundak atau duka di lubuk.

'Ku di sini pula, tak ingin kalah hebatnya. 'Ku juga ingin kau banggakan. Jadi, pena hitam di antara ruas jemari tak lelah kuguratkan pada halaman putih—yang nantinya kuisi frasa dan klausa tentang rasa, asa, juga Shoyo Hinata.

Kuingat pintamu satu: tuliskan tentangku dalam kitab kecilmu. Kalau kuturuti, habis sudah tak bersisa seratus lembar ini. Diisi penuh dengan pelbagai hal, dari yang paling berkesan hingga hal remeh tak berarti—ah, tetapi segalanya tentangmu selalu bernilai.

Lalu, pintamu kedua: menulislah sambil mengingatku, meski isinya bukan diriku. 'Ku bingung. Bukankah nanti jadi tak fokus karena telanjur penuh denganmu? Kau terbahak atas ungkapanku. Benar, bisa-bisa kukekehkan tawa kala menulis bait luka karena kelakarmu teringat di kepala. Bisa-bisa kulengkungkan bibir saat kutulis cerita gembira karena sedihmu mengingatkanku pada juangmu yang tak berujung.

Santai, Keiji. Menulis dengan hati, tak perlu pusing-pusing, apalagi sampai pijit kening.

Padahal, terkadang yang rumit justru kau. Mampir tak tahu waktu dan tempat ke dalam benak, mengusik konsentrasiku seenak-enak. Namun, karena demikian, artinya kau tetap bersarang di tempatku. Kau 'kan berkemah di otakku, melempar bisik-bisik lembut atau nyanyian parau; kubiarkan kau menetap di dalamnya.

Sembari menunggu detak pada detikku habis, 'kan kuhabiskan tinta hitam ini dengan sebaik-baiknya; 'kan kudekap erat buku-buku cinta yang kucipta.

Agar kelak ketika menjumpamu, kupunya banyak yang bisa dibagi bersamamu. 'Kan kuutarakan aksara tak bersuara sepanjang hari, di atas permadani biru—sampai kau mengerang jemu.

Meski kau tak lagi terlihat; tak lagi nyata, kau tetap ada. Kau ada, Shoyo. Kau hidup. Dalam kalbu tiap-tiap orang yang masih memiliki kasih untukmu; yang masih dilanda rindu akan eksistensimu. Aku salah satunya.

Pula, aku yang akan menghidupimu lewat susunan fonem monokrom yang kuuntai satu-satu karena tangisku pun perlu cerita, kenestapaan ini perlu warna.

Meski kau tak terlihat lagi, tetapi menangmu tak berhenti, semangatmu tak mati, dan cintamu 'kan abadi.

— Keiji, di hari ke-500 mengenangmu.

— hinata shouyou/akaashi keiji

warnings & tags: fluff, nsfw, make out session, dirty talks, keiji's birthday edition


Desember menjadi bulan yang dinanti sebagian orang. Natal, salju, tahun baru. Kota Tokyo yang sudah ramai lampu makin bercahaya ketika Desember datang. Kerlap-kerlip pancarona juga bulan yang terang benderang. Beberapa orang sudah merencanakan pesta natal di rumahnya, mencari resep kue, atau membeli baju hangat di musim dingin. Namun, tak banyak juga dari warga Tokyo yang masih mengembuskan napas lelah. Desember atau bulan yang lain sama saja, pekerjaan yang menumpuk juga lembur. Hal ini dialami oleh Akaashi Keiji juga.

Dulu, Keiji merasa Desember adalah bulan paling istimewa di setiap tahunnya. Membuat boneka salju, makan makanan enak, menunggu santa datang, bahkan merayakan ulang tahunnya yang jatuh di bulan Desember juga. Tanggal lima. Euforia dalam dadanya tak pernah redup sebulan penuh karena Desember selalu diisi dengan kejutan. Kejutan yang menyenangkan.

Sangat berbeda 180 derajat dengan kejutan yang ia dapati di usia kepala duanya. Kado dari santa, pohon natal, atau melihat pemandangan Tokyo hanya menjadi sebuah keberuntungannya saja.

Besok hari ulang tahunnya. Sebentar lagi pergantian hari, tetapi Keiji belum menemukan tanda-tanda pekerjaannya selesai. Bokongnya masih menempel pada kursi putar sejak sampai di apartemen pukul enam. Mata yang dibingkai kacamata masih berkutat pada layar laptop juga kertas berlembar-lembar di atas mejanya. Keiji ingin istirahat, tetapi tubuhnya menolak berhenti. Nanggung.

Beberapa waktu kemudian, tangan Keiji berhenti bergerak dan punggungnya ia sandarkan pada kursi putar. Bola matanya mengerling pada jam dinding yang menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Lalu, kepalanya memutar ke sekitar. Keiji masih sendiri, Shouyou belum pulang.

“Dia workout sampe jam berapa, sih?” batin Keiji.

Memang sudah rutinitas Shouyou yang menyempatkan diri untuk workout setelah practice. Tidak begitu sering, hanya satu atau dua kali dalam seminggu. Keiji selalu merasa badan kekasihnya itu makin besar setiap mereka bertemu. Keiji setengah bergidik membayangkannya—setengahnya lagi merasa haus.

Kembali pada perihal ulang tahun, hari Keiji bukan lagi sesuatu yang spesial dan harus dimewah-mewahkan di beberapa tahun terakhir. Semenjak menjalin hubungan dengan Shouyou dan memutuskan tinggal bersama, Keiji sudah tahu bahwa keduanya akan disibukkan dengan masing-masing pekerjaan. Keiji dengan lembaran naskah dan Shouyou dengan bola voli. Jadi, malam ini Keiji tidak berharap banyak. Kejutan, kue ulang tahun, atau kado. Semuanya bisa ditunda sampai mereka punya waktu.

Keiji mengeluarkan erangan ketika otot-ototnya direnggangkan. Kemudian, ia menguap kecil. Pekerjaannya selesai, akhirnya. Ah, Keiji ingin langsung tidur saja. Namun, ia ingat Shouyou yang belum juga pulang. Keiji meraih ponsel di meja—berniat untuk menanyakan keberadaan Shouyou.

Belum sempat pesannya terkirim, suara pintu terbuka terdengar dan sebuah sahutan memanggil namanya.

“Keiji! I'm home!

Buru-buru, Keiji segera beranjak untuk menyambut kesayangannya. Benar saja, Shouyou terlihat berdiri di depan pintu masuk. Rambut oranyenya terlihat lepek dan keringat di wajahnya sudah mengering karena udara dingin. Namun, yang menarik perhatian Keiji adalah kedua tangan Shouyou yang menjinjing paper bag.

Sadar Keiji fokus dengan barang yang dibawanya, Shouyou mengangkat paper bag tersebut sambil memberikan cengiran.

Keiji mendekati Shouyou dengan raut wajah heran sekaligus penasaran. “Ih, apa ini?”

Tanpa memedulikan lengket dan bau badannya, Shouyou mendekat dan mengecup sekilas bibir Keiji yang membuat si empu bibir sedikit terkesiap. “Buat Keiji.”

Keiji tersipu. Pasti ada hubungannya dengan ulang tahun Keiji. Shouyou tidak pernah lupa, tetapi Keiji tidak punya pikiran Shouyou akan pulang membawa sesuatu untuknya.

“Apa?” tanya Keiji sambil berusaha menyembunyikan rasa penasarannya.

“Kue.”

“Kamu mampir dulu gitu beli ini? Emang jam segini masih ada yang buka tokonya?”

“Ya, aku cari yang 24 jam dong.”

Keiji melengkungkan bibirnya. “Ngapain, sih. 'Kan bisa besok aja, Shou. Daripada repot nyari kue buat aku doang. Ulang tahunnya juga belum.”

Mendengar hal tersebut, Shouyou mengernyitkan kening. “Buat kamu nggak doang, ya. Lagian, Aku cuma beli kue, Sayang. Tokyo juga jam segini masih rame. Tenang aja.”

“Iya, sih ...,” Keiji menghela napas pasrah, tetapi tetap menggumamkan terima kasih sembari mengambil paper bag tersebut dari tangan Shouyou. “Kamu mandi dulu sana.”

Shouyou mengacungkan jempol dan sekali lagi mencuri kecup dari Keiji, kali ini di keningnya. “Tunggu, ya, Sayang.”

Keiji hanya menggumam sebagai respons walau dadanya berdetak keras ketika mendapati perlakuan manis dari Shouyou. Ia memegangi pipi kanannya yang terasa panas. Shouyou selalu membuatnya merasa tidak sehat.

Selagi menunggu Shouyou bersih-bersih badan, Keiji mulai menata meja makan dan membuka cake box yang membungkus kue ulang tahunnya. Hanya kue tar biasa, tetapi Keiji tersenyum karena itu rasa red velvet, kesukaannya. Di atasnya terdapat tulisan Happy Birthday Keiji dengan hiasan whipped cream dan beberapa batang cokelat.

Tak lama, Shouyou keluar kamar mandi sembari mengusakkan rambutnya yang masih sedikit basah, membuat helai-helainya yang turun menjadi berantakan. Shouyou menarik salah satu kursi dan duduk tepat di seberang Keiji.

Senyum Keiji tak berhenti mengembang. Kedua pipinya membentuk bulatan lucu sampai mengangkat sedikit kacamatanya. Shouyou gemas bukan main.

'Kan bisa besok aja, Shou. Tapi, liat sekarang. Mukamu kayak anak kecil mau dapet hadiah natal,” kata Shouyou setengah mencibir.

Keiji hanya terkekeh. “Abisan mana tau bakal dirayain malem ini. Biasanya juga besoknya atau beberapa hari setelahnya.”

“Pernah juga nggak, sih, pas bulan depan? Pas udah taun baru?”

“Iya, pernah. Sedih banget.”

“Makanya, taun ini aku usahain biar ngerayainnya malem. Untung aku bisa pulang di bawah jam dua belas, jadi bisa tepat waktu.”

Keiji menancapkan dua lilin berbentuk angka 2 dan 5 berwarna merah, lalu meraih korek di sampingnya dan menyalakan kedua lilin tersebut. Shouyou beranjak untuk mematikan lampu sebagai pendukung suasana. Keduanya sama-sama menatap jam di layar ponsel, tak ingin melewatkan menit-menit terakhir sebelum pukul 00:00.

Tiga ...

Dua ...

Satu ...

00:00 AM

“Happy birthday!” Keduanya bersorak dan bertepuk tangan dengan meriah.

“Ayo, make a wish.

Lalu, Keiji menurut. Kedua tangannya ditautkan dan matanya terpejam, dalam hati merapal doa serta harap yang semoga diaminkan oleh semesta atau Dewa atau siapa pun yang mendengarnya. Selesai membuat permohonan, Keiji meniup dua lilin yang menyala itu dengan sekali embus. Mereka berdua bertepuk tangan sekali lagi.

Shouyou kembali menghidupi lampu dan bertanya, “Tadi apa wish-nya?”

Keiji terlihat berpikir. “Hmm ... kasih tau nggak, ya?”

“Kasih tau, dong. Biar aku ikut ngabulin.”

“Nggak ada yang istimewa, sih, Shou. Cuma berharap kebaikan dan keajaiban datang ke hidup aku. Bisa dikelilingi sama orang yang aku sayang, kamu contohnya. Dan ... semoga semuanya berjalan lancar. Pekerjaan aku, pekerjaan kamu, hubungan kita juga.”

Mendengarnya, tentu saja hati Shouyou menghangat. Senyumnya mengembang seiring tangannya menjumpai punggung tangan Keiji, lalu mengelusnya pelan. “Permohonan kamu pasti terkabul, 'kok.”

Sudut bibir Keiji terangkat. Shouyou malam ini super manis, super romantis. Jantung Keiji berdetak tak karuan. Satu permohonan yang tidak bisa Keiji katakan, semoga Shouyou tidak mendengar debaran jantungnya.

“Tapi, doa kamu kurang jelas, Keiji. Dewa pasti bingung.”

Keiji mengernyitkan kening. “Maksud kamu?”

“Doamu kurang spesifik, harusnya lebih detail.”

“Contohnya?”

“Contohnya?” Shouyou balik bertanya. “Misal, semoga hubungan aku dan Shouyou berjalan lancar sampai altar. Tahun depan udah ganti marga. Amin.”

Benar-benar tepat sasaran.

Tepat mengenai hati Keiji yang paling dalam. Keiji menunduk malu, merah sudah menyebar ke seluruh permukaan wajahnya.

Bisa-bisanya, Shouyou.

Shouyou terbahak melihat reaksi Keiji. “Apa, sih? Serius aku! Emang nggak mau?”

“Ya, mau!” jawab Keiji kilat. “Ya ... nanti pas ke kuil, kita doa kayak gitu.”

“Hahaha, oke!”

“Yang ganti marga aku atau kamu?”

“Maunya?”

“Mana aja.”

“Oke, itu gampang. Yang penting jodoh dulu.”

Gelak tawa menghidupi apartemen kecil mereka. Hati Keiji senang bukan kepalang karena ulang tahunnya tahun ini sedikit lebih istimewa. Malah sangat istimewa. Baginya, perayaan kecil seperti ini bersama Shouyou sudah mengobati segala jenuhnya.

Mereka mulai memotong kue tar yang Shouyou beli setelah kedua lilin disingkirkan. Suap-suapan ala pasangan romantis atau colek-mencolek krim ke masing-masing wajah. Shouyou mengerang sebal ketika Keiji berhasil mengotori wajahnya dengan whipped cream, padahal ia baru saja mandi. Keiji tertawa puas sekali karena Shouyou sudah pasrah didandani dengan krim putih.

“Udah ah, Keiji.” Shouyou menahan pergelangan tangan Keiji yang hendak mendaratkan benda putih di pipinya.

Keiji masih tertawa sambil berusaha melepaskan cengkeraman Shouyou. “Hahaha ... Shou—”

Keiji hampir kehilangan keseimbangan ketika Shouyou menarik tangannya dan mengecup bibir Keiji, membuatnya terhuyung ke depan. “Cium, nih.”

Keiji diam sesaat, lalu terkekeh. “Cium aja, wle.”

Kali ini, Shouyou yang dibuat terkejut karena Keiji baru saja menjilat krim yang ada di dekat bibirnya. Krim yang sengaja Keiji torehkan.

“Keiji ....”

“Apa? Nggak suka, 'kan, ada krim? Sini aku bersihin.” Bibir Keiji mendarat di tulang pipi Shouyou dan memakan krim putih yang terasa sedikit asin, lalu menjilatnya.

Napas Shouyou tercekat ketika Keiji menaruh jemarinya tepat di bibirnya. Jemari itu penuh krim kue ulang tahun. Keiji menyeringai atas reaksi Shouyou. “Bantu aku bersihin krimnya, Shou.”

“Keiji, are you—

Perkataan Shouyou terpotong karena begitu mulutnya terbuka, Keiji dengan sigap memasukkan tiga jari penuh whipped cream miliknya ke dalam mulut Shouyou.

“Bantuin.”

Shouyou mendeguk salivanya gugup. Keiji serius. Namun, Shouyou pada akhirnya menurut. Ia mulai membersihkan setiap ruas Keiji dengan gerakan pelan dan telaten. Lidahnya menjilati benda putih itu dan mengemutnya. Seiring memandangi Keiji yang sedang memindainya, seolah ingin menerjang Shouyou kapan saja. Shouyou tampak begitu pandai membersihkan tangan kotornya menjadi lebih kotor, membuat Keiji tak tahan akan gerak tubuh yang begitu persuasif. Keiji naik ke pangkuan Shouyou yang membawanya lebih dekat.

Shouyou mengeluarkan telunjuk Keiji perlahan dari mulutnya. Matanya memandang Keiji, sudut bibirnya terangkat. Shouyou mengambil krim yang tersisa di wajahnya, kemudian dengan sengaja mengoleskannya pada bibir Keiji.

“Oh, Keiji. Krimnya masih ada di bibir kamu, should I help clean it, too?

Keiji menggumam tidak jelas. Fokusnya sudah buyar dan yang menjadi perhatiannya saat ini adalah laki-laki di depannya. Tanpa menunggu, Shouyou membawa tengkuk Keiji ke dalam pagutan mereka. Bibir Shouyou dengan lihai mengelap sisa-sisa krim di kedua labium Keiji sebelum membasahinya dengan lidah. Keiji kewalahan. Shouyou menciuminya agresif tanpa membiarkan selarik udara membuat jarak di bibir mereka.

“Shou ....”

Napasnya kini kesusahan, tetapi alih-alih melepaskannya, Keiji justru meremas surai oranye itu dan memperdalam ciuman mereka.

Tangan Shouyou tak hanya diam. Pelan-pelan berpindah dari tengkuk ke lengan Keiji dan mengelusnya perlahan, lalu turun ke pinggang ramping Keiji. Shouyou memijatnya perlahan, membuat Keiji melenguh kecil. Turun lagi ke paha yang masih dibaluti celana panjang, tetapi cukup membuat bulu kuduknya meremang ketika fabrik menggesek kulitnya halus.

Dengan mudahnya, Shouyou mengangkat tubuh Keiji yang memeluknya di depan, membawa ke kamar dan menjatuhkannya di atas kasur. Ciuman mereka terlepas dan Keiji sedang menatap Shouyou dari bawah. Kilatnya takjub. Meskipun perbedaan jelas menunjukkan Keiji punya postur tubuh lebih tinggi, tetapi Keiji selalu merasa kecil jika bersama Shouyou. Shouyou besar. Begitu besar sampai Keiji merasa sesak hanya karena dikungkung oleh kedua lengan Shouyou.

Tangan kanannya memegang lengan kiri Shouyou. Keiji menahan napas. Demi Tuhan, bahkan ia belum melakukan apa pun. Namun, hanya dengan menyentuh lengan kekar Shouyou, Keiji dapat membayangkan hal kotor dan membuatnya mendesah.

Shouyou meraih kacamata Keiji dan melepaskannya pelan. Keiji bahkan tidak sadar ia masih memakai kacamata. Matanya sudah tenggelam oleh nafsu dan ia tidak lagi peduli oleh apa pun selain Shouyou. Maka, ia mengambil alih pergerakan dengan membuat jepitan di antara dua labium yang sudah basah dan membengkak.

Dua pasang tangan itu tak berhenti pada sentuhan seduktif di atas kulit dingin mereka. Shouyou berhasil menyelusupkan tangan kasarnya ke dalam sweater tebal milik Keiji, meraba kulit dadanya yang terasa membakar. Keiji terpontang-panting. Kesadarannya lenyap begitu saja dan akal sehatnya sudah berceceran di seluruh ruangan tatkala Shouyou menempatkan jarinya di atas puting Keiji. Desahan tak tertahankan dan nama Shouyou berhasil lolos dari bibir Keiji, membuat Shouyou semakin menggebu.

Keiji ... since it's your birthday, I want to give you a present. What do you want me to do?” ujar Shouyou. Bibirnya menjamah setiap titik sensitif Keiji. Mengecup, menggigit, dan meninggalkan bekas merah keunguan.

I don't know ... I don't know. Just do something.” Bicara Keiji susah payah mengejar oksigen yang tersisa di kamar mereka.

“Hmm ... Nggak bisa. Bilang ke aku, mau apa? I'm up for anything. I promise.

“Shou ... I need you inside me. Now. Please.

“Sekarang? Serius? Tapi, kamu nggak capek seharian kerja? Kamu nggak ngantuk?”

Shut up, Shouyou, shut up! Just fuck me already.

Detik selanjutnya, Shouyou mengangguk mantap setelah mendengar erangan frustasi Keiji. Shouyou seolah menutup telinga untuk memenuhi permintaan Keiji. Tidak ada tombol putar balik.

Lelaki yang berada di bawahnya pasrah. Memasrahkan seluruh tubuh dan kewarasannya pada lelaki bersurai jingga itu. Pikirannya kosong. Letih yang menumpuk di pundaknya seakan menguap begitu saja. Keiji tidak peduli apa pun selain Shouyou. Keiji menggila pada cara Shouyou menghirup aroma tubuhnya; menggila pada cara Shouyou memuji keelokan Keiji dengan nada seduktif—bagaikan Keiji yang terindah di dunia.

Keiji, you're so pretty ....

Keiji, oh ... it feels good. It's good.

Your lips taste sweet like a cream.

Malam terus berlanjut, begitu pun dengan mereka. Tak peduli dengan salju pertama yang turun, tak peduli dengan suara lalu-lalang kendaraan yang masih ramai, tak peduli dengan kewajiban bekerja di pagi hari nanti. Malam ini, Keiji hanya ingin Shouyou dan Shouyou ingin Keiji bahagia di harinya.

Mungkin Keiji tak perlu pesta ulang tahun yang besar dan mewah. Mungkin juga ia tak perlu banyak orang yang memberikan kotak hadiah untuknya. Di malam Desember tanggal lima, Keiji hanya ingin hal-hal terbaik. Dimanja, diperlakukan manis, dicium, semuanya terbaik. Keiji menginginkan yang seperti ini pula di malam-malam lainnya. Malam natal, malam tahun baru, atau malam musim panas saat Shouyou berganti usia. Perasaan ini, suasana ini, desiran hatinya, Keiji akan mengingatnya lekat-lekat di dalam memori kepalanya.

Suara kecupan basah terdengar berulang kali, membuat jembatan saliva tipis ketika mereka saling menarik diri. Dua pasang netra itu bersirobok, memandang lamat-lamat bola matanya. Kemudian, senyuman penuh cinta terbit membentuk sabit.

Happy birthday, Keiji.

Hinata berjanji akan menemuinya hari ini. Katanya, ingin memberikan jawaban atas pengakuan cinta Akaashi kemarin. Akaashi sendiri tidak berharap banyak karena ia benar-benar tidak yakin kalau Hinata memiliki perasaan yang sama. Bisa jadi Hinata memang menyukainya, tetapi hanya sebatas hubungan senior-junior atau teman dekat—Akaashi bahkan tidak menganggap dirinya adalah teman dekat Hinata. Walaupun Bokuto, senior sekaligus sahabatnya, sudah berkali-kali ngotot bilang kalau Hinata juga menyukainya, tetapi yang namanya Akaashi, tidak mudah percaya sebelum ada bukti nyata.

Semalam, Akaashi sudah bilang ia akan menjemputnya di stasiun esok pagi agar Hinata tidak perlu repot pakai transportasi umum lagi. Lima belas menit berlalu, Akaashi masih menunggu kedatangan kereta dari Sendai. Selama itu, entah sudah berapa kali Akaashi melakukan hal-hal konyol: menampar dan mencubit pipinya, mengecek kolom percakapannya dengan Hinata, untuk memastikan bahwa semuanya nyata, bukan mimpi semata.

Pada kenyataannya, ia sedang menunggu Hinata, sosok yang selama dua tahun terakhir memenuhi benaknya. Kedua telapaknya sibuk digesek-gesekkan agar mengurangi rasa gugup, tetapi tidak banyak membantu juga. Ia berulang kali menarik napas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Wajahnya berusaha terlihat tenang, meskipun kepanikan masih nampak dari air mukanya.

Akaashi akan bertemu Hinata. Hinata akan bermalam di rumahnya. Seorang Hinata Shouyo rela jauh-jauh dari Miyagi ke Tokyo hanya untuk menemui dirinya. Hati Akaashi tak kunjung tenang, otaknya tak dapat berjalan untuk sekadar memikirkan bagaimana cara ia menyapa si rambut oranye itu. Sampai sebuah suara menyahuti namanya dari kejauhan. Akaashi sedikit tersentak. Ia dapat mengenal suara itu dengan baik karena semalam baru saja mengucapkan selamat tidur untuknya.

Hinata berlari kecil ke arahnya sambil menyeret koper dan barang bawaan lainnya. Wajahnya tidak berubah dari semenjak ia pertama kali melihatnya, dua tahun yang lalu, masih sama berseri dengan senyuman lebarnya yang manis. Hanya saja, rambut oranye tersebut sedikit lebih panjang.

Pemuda itu melemparkan cengiran khasnya kepada Akaashi sambil menyapanya riang. “Kak Akaashi!”

Akaashi membalasnya dengan senyuman kaku sambil melambaikan tangannya pelan. Rasanya, seperti dirinya yang disambut oleh Hinata, bukan sebaliknya. Tawanya seketika langsung terputar secara konstan di dalam otak Akaashi, bahkan sampai mereka memasuki mobil dan siap untuk melaju menuju rumah Akaashi.

Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Tidak ada yang berbicara, hanya request song dari radio yang mengalun rendah. Pemuda berkacamata yang memegang kemudi tak mengalihkan pandangan barang sedetik pun—masih, gelak Hinata masih berdengung seraya wajah berserinya ikut muncul dalam bayang Akaashi. Namun, matanya terlihat fokus ke jalanan sedangkan akalnya terlalu kacau untuk menghadapi kenyataan bahwa Hinata berada di dalam mobil yang sama dengannya. Ia tahu ia tak pandai dalam membuat konversasi mengasyikkan, terlebih dengan orang seperti Hinata. Namun, setidaknya, Akaashi ingin mengobrol sepatah dua patah kata.

Hinata hampir menyemburkan tawa melihat wajah Akaashi yang terlalu kaku itu. Pikirnya, Akaashi tidak berubah sama sekali sejak dua tahun yang lalu, kecuali kacamata yang bertengger di batang hidungnya.

Kemudian, Hinata berdeham. “Kita udah lama nggak ketemu, ya, Kak.”

Pemuda yang lebih tua itu terlihat sedikit terkejut, tetapi cepat-cepat menormalkan kembali ekspresinya. “Oh, ya ... hahaha. Terakhir waktu perayaan kelulusan saya dan Kozume, 'kan? Kamu juga dateng.”

Hinata mengangguk pelan. “Udah lama juga, ya.” gumamnya.

“Udah lama nggak ke Tokyo, tapi sekarang cuma punya waktu dikit di sini. Ah, aku kangen Tokyo banget.” celoteh Hinata seraya mata cokelatnya menatap pemandangan dari balik jendela. “Kangen Kak Akaashi juga.”

Kalau bukan karena Akaashi yang sejak awal fokus menyetir, entahlah, mungkin kemudinya sudah oleng.

“Gimana?” Akaashi harap ia tidak salah dengar.

Hinata tidak menjawabnya melainkan membuang mukanya ke jendela. Namun, pipi bulatnya tak kuasa menahan merah yang menyeruak dari dalam permukaan serta garis bulan sabit yang naik melengkung.


“Maaf, Kak, aku ngerepotin banget sampe minta nginep.” ucap Hinata sambil menurunkan koper dan backpack-nya dari mobil.

Akaashi yang melihat itu langsung menawarkan bantuan kepada Hinata. “Eh, biar saya aja.”

Hinata tidak dapat menolak dan hanya berterima kasih. Keduanya lalu berjalan beriringan memasuki rumah.

“Nggak 'kok, sama sekali nggak ngerepotin. Malah saya kaget kamu bilangnya ke saya. Saya yang khawatir, sih, kamu jadi nggak punya waktu buat keluarga sampe besok. Padahal, kamu beneran nggak perlu ke sini cuma buat nemuin saya.”

”'Kan aku udah bilang berkali-kali, nggak apa-apa. Aku udah bilang juga ke orangtuaku soal ini. Aku mau ketemu Kak Akaashi. Kalau nggak sekarang, kapan lagi?”

Akaashi berpikir sejenak, tetapi ia langsung menyingkirkan pengandaian yang ada di kepalanya tentang Hinata. “Kalau sama saya seharian bakal bosen, loh, kamunya.”

Hinata menghentikan langkahnya. “Ya, emang aku niatnya mau seharian sama Kakak.”

Pergerakan Akaashi yang hendak membuka gagang pintu terhenti. Ia menoleh pada pemuda yang lebih muda di belakangnya—yang memandanginya dengan tatapan yang sulit dimengerti.

“Apa ada yang salah?” lanjut Hinata.

Pemuda yang dua tahun lebih tua dari Hinata itu tergemap. Akaashi lalu hanya menggeleng pelan sambil mengulum senyum tipis. “Nggak salah sama sekali.”

Melihat tanggapan yang Akaashi berikan, Hinata mengernyitkan keningnya—terlihat tidak begitu puas dengan jawabannya. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa dan hanya mengekori Akaashi ke dalam kamar yang sepertinya dikhususkan untuk tamu.

Usai menaruh semua barang milik Hinata, Akaashi hendak beranjak dari kamar dan berniat memberikan Hinata waktu, tetapi Hinata menahan lengannya.

“Mau ke mana, Kak?”

“Eh? Saya kira kamu mau sendiri dulu.”

“Temenin aku di sini.”

Akaashi mengangguk mengiyakan. “Ah, ibu dan ayah saya kayaknya lagi di luar, deh, makanya sepi.”

Si tamu hanya manggut-manggut.

“Terus, mau ngapain?” tanya Akaashi.

Mata Hinata seketika berbinar. “Jalan-jalan!”


Seumur hidup besar di kota Tokyo, pengalaman Akaashi bertamasya ke tempat hiburan bisa dihitung jari. Akaashi tidak terlalu tertarik dengan spot ramai yang dipenuhi manusia setiap harinya. Namun, bukan berarti Akaashi membenci tempat ramai dan keberisikan, sih. Akaashi cuma tidak betah saja.

Akan tetapi, hari ini—khusus hari ini—ia rela diajak keliling kota dan naik wahana sampai larut malam jika yang bersamanya adalah Hinata Shouyo. Matahari semakin di puncaknya, tetapi semangat membara Hinata belum juga surut. Padahal, mereka sampai beberapa kali berteduh dari terik yang terlalu menyengat.

“Hinata, kamu masih mau main lagi?” tanya Akaashi di napasnya yang tersengal-sengal. Ah, kalau bukan karena Hinata, Akaashi seratus persen akan menolak mentah-mentah pada roller coaster.

Tak disangka, Hinata masih dapat menganggukkan kepalanya lucu. Akaashi menghela napas panjang. Sebenarnya, mereka sedang apa, sih? Bagaimana dengan pengakuan cintanya kemarin? Apa Hinata sudah lupa?

Ah, baiklah. Apa ini namanya kencan—sebelum ada status jelas?

Ia tidak habis pikir, Hinata masih bisa menyempatkan diri ke taman hiburan sehari sebelum berangkat ke Brazil.

“Hinata, kamu sendiri, deh. Saya mau istirahat.”

“Ah, 'kok gitu!” Hinata menarik tangan Akaashi agar segera bangun dari duduk. “Kali ini cuma bianglala! Beneran, deh!”

Akaashi menurut. Bianglala? Sama sekali tidak menakutkan.


Mereka sudah memasuki salah satu kabin dan bianglala mulai berputar perlahan. Hinata dengan kameranya bersiap untuk memotret pemandangan dari atas. Tentu, senyumnya belum luntur. Akaashi terheran, seolah hari ini adalah hari terbaik bagi Hinata.

Apa karena hari ini Hinata bersama dirinya?

Halu.

“Kak!”

Akaashi dikejutkan oleh suara jepretan kamera yang tiba-tiba mengarah ke dirinya.

“Hinata ...,” keluh Akaashi. “'kok, saya difoto?”

“Cakep 'kok, Kak.” Hinata terkekeh.

Ini sama sekali tidak bagus untuk kesehatan jantung Akaashi.

“Pasti hasilnya nggak bener.”

Hinata merengut. “Bener. Bagus! 'Kan aku yang moto.”

“Ya udah, foto saya lagi.”

“Foto bareng mau?”

“Mau, 'kok.”

Sang Raja Siang bertapak di puncak tertinggi kekuasaannya, memancarkan terang benderang yang bisa membakar kulit. Begitu juga kabin yang ditumpangi Akaashi dan Hinata. Saat ini, kabinnya sudah melayang di tempat tertinggi sehingga hamparan laut biru dari arah barat laut tertangkap penglihatan—seolah menjadi peredam sengatan panas di siang bolong seperti ini.

Akaashi membenarkan letak topi Hinata yang sedikit kendur. Hinata yang sedari tadi sibuk dengan view menakjubkan di bawah sana, terkesiap.

“Eh, thanks, Kak.”

Pemuda bermata empat itu tersenyum. “Terus gimana, Hinata?”

“Hm?” Hinata memasang raut bingungnya. “Gimana apanya, Kak?”

Ada jeda di antaranya sebelum Akaashi melontarkan, “Kamu dan saya. Kayak gimana jadinya? Katanya kamu mau kasih jawaban setelah kita ketemu.”

Setelahnya, raut wajah Akaashi terlihat tidak percaya dengan omongannya sendiri. Ia malu.

Ia mengatakannya, akhirnya.

Hinata mengerjapkan matanya sebelum terkekeh manis. “Oh, emang belum jadi, ya?”

Kalau bisa, Akaashi ingin teriak sekencang mungkin. Ia ingin menutupi wajahnya dengan apa pun sekarang juga. Namun, kata-kata Bokuto terus berputar di dalam kepalanya: “Confess ulang, tembak langsung.”

Akaashi harus gentle.

Jadi aja. Tapi, kamu belum bilang itu balik ke saya.”

“Oh—”

“Saya ulangin boleh nggak? Lebih serius sekarang.”

“Boleh, haha. Boleh banget, Kak.” Hinata bisa tertawa haha-hihi di luar, dalamnya jantung sedang bersenandung ria sembari berdansa salsa.

Akaashi menggigit bibirnya, gugup. Ia meraih kedua tangan Hinata dan menggamitnya. Sumpah, ia tidak pernah melakukan hal seperti ini! Aneh tidak, sih?

“Hinata.”

Yang digamit tangannya hanya bisa menampakkan senyum lebarnya. Hinata tidak tahu ia berdebar karena ia akan ditembak oleh Akaashi atau paras serta dua netra Akaashi yang menatapnya dengan sungguh. Hinata sudah tenggelam dalam pesonanya, kalau ditanya mau jadi pacar atau tidak, tinggal jawab “mau”.

Namun, ekspektasinya akan kisah cinta romantik harus ia buang jauh-jauh detik ini juga.

“Hinata, cara nembak orang gimana?”

Demi Tuhan.

Sedetik kemudian, terdengar tawa menggelegar sampai membuat kabin kincir ria bergoyang sedikit. Itu Hinata, yang setelah tiga detik langsung menyemburkan tawa. Akaashi merutuki dirinya sendiri dalam hati.

“Kak, udah lah! Nggak usah tembak-tembakan, emang apaan aku ditembak. Pokoknya aku suka sama Kakak, ngerti, 'kan? Sekarang kita pacaran aja, deh.” ucap Hinata di sela-sela tawanya. Ia hampir menangis melihat keluguan Akaashi.

Akaashi terlihat berpikir sejenak. “Tapi, Hinata— Kata Kak Bokuto, saya harus nembak kamu.”

Hinata terkekeh lagi. “Nggak usah! Ribet!”

“Tapi—”

“Kak ...,” Hinata menangkup kedua pipi Akaashi yang setelahnya bersemu merah. Ia mendengus geli sebelum mengatakan, “aku suka sama Kakak. Jadi pacar aku, ya?”

Demi Tuhan, lagi.

Tidak berkutik. Akaashi mematung. Pipinya masih ditangkup oleh kedua tangan Hinata. Ia tersipu. Niatnya mengajak Hinata agar jadi pacarnya, tetapi kalah cepat dari si empu yang mau diajak pacaran. Lalu bodohnya, di saat-saat seperti ini, ia malah teringat Bokuto yang mencemoohnya soal punya Hinata lebih besar daripada dirinya.

Apa benar?

“Kak! 'Kok diem?” Hinata menepuk pelan pipi kanan Akaashi, membuat Akaashi tersadar kembali dari lamunan gilanya.

“Hah? Eh—”

“Mau, ya? Ayo pacaran, Kak!”

“Memangnya ada pilihan lagi selain jawab 'iya'?” Jemari panjang Akaashi bergerak menyusuri surai oranye milik Hinata. Kemudian, jempol dan telunjuknya usil menjawil pipi Hinata. “Iya, saya sama kamu pacaran sekarang.”

Tubuh Hinata lantas menghambur ke dekapan Akaashi, kemudian tertawa senang.

Ia menengadahkan kepalanya, tiba-tiba cemberut. “Tapi, nanti kita jauhan. Jauh banget. Gimana dong?”

“Nggak masalah.” Akaashi mengusap rambutnya lembut.

“Yang bener?”

“Iya.”

Berikutnya, Hinata kembali memberikan sunggingan lebar, menunjukan deret giginya yang rapi sebelum bibirnya mendarat dengan kilat di pipi Akaashi.

“H-hei—”

“Cium banyak sebelum aku berangkat.” Telunjuknya menunjuk-nunjuk pipi kanannya, menggoda Akaashi agar membubuhi ciuman di sana. “Kak, cepet—”

Cup.

“Udah.”

Sekarang wajah Hinata yang tersipu, mirip kepiting rebus. Barusan bukan pipinya yang Akaashi kasih kecup, melainkan dua belah bibir yang kini mengatup rapat. Akaashi tersenyum lalu kembali mencium bibirnya, sekali lagi, kali ini lebih lama.

“Kak,” lirih Hinata. “manis.”

Akaashi tertawa. “Tadi 'kan makan permen stroberi.”

Kemudian, mereka menikmati sisa putaran bianglala dengan jemari-jemari yang terikat erat satu sama lain. Hari ini cuaca terlalu panas, tetapi dekat-dekat pacar baru sama sekali tidak apa-apa—walaupun gerah. Sambil curi-curi kecup juga bisa.

“Oh, abis ini temenin aku potong rambut, ya, Kak.”

“Makan dulu, ya?”

“Oke!”

Memiliki Shouyo sebagai pacar adalah salah satu hal terbaik dalam hidup Keiji. Pacarnya itu menggemaskan dengan rambut oranye yang sedikit panjang, pipi bulatnya seperti bakpao, dan suara khas yang nyaring tidak pernah membuat Keiji bosan. Shouyo selalu memiliki sisi periang yang tak pernah absen di kesehariannya. Senyumnya manis saat mendongeng panjang lebar dengan sifat manjanya yang sudah melekat pada diri Shouyo.

Keiji hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali Shouyo mulai merengek manja atau bergelayut di lengannya, seperti ketika sedang berkencan di salah satu taman hiburan. Tiba-tiba di tengah jalan pacarnya minta digendong di punggung, padahal Shouyo terlihat baik-baik saja. Keiji sampai menolak dua kali karena malu, tetapi Shouyo malah merajuk. Lain waktu saat Shouyo merengek meminta Keiji datang ke rumahnya, padahal ia sedang menyiapkan bahan presentasinya besok. Ujung-ujungnya, Keiji mengalah dan terpaksa melanjutkan pekerjaannya di rumah Shouyo. Keiji adalah manusia yang paling tunduk pada Shouyo, pacarnya.

Persis dengan yang terjadi saat ini di flat Keiji. Namun, kali ini Keiji memilih untuk tidak luluh. Ia seharusnya tidak mengajak Shouyo untuk mampir hari ini kalau ia tahu pacarnya akan ia anggurkan selama hampir dua jam. Tanpa melihat wajahnya pun Keiji sudah tahu Shouyo sedang menatapnya sengit sambil melipat kedua tangan di dada. Namun, kali ini ia tidak bisa untuk sekadar diajak bicara oleh pacarnya.

“Kak Keiji.”

Entah sudah ke-berapa kalinya panggilan tersebut diucapkan, tetapi Keiji masih bergeming. Ayolah, tugas di hadapannya saat ini jauh lebih penting. Sialnya lagi, tenggat lomba esai yang Keiji ikuti adalah lusa dan ia belum mengerjakan setengahnya. Keiji tidak ingin menumpuk kewajibannya, jadi ia ingin cepat-cepat menyelesaikannya, sedangkan kepalanya akan pecah sebentar lagi.

“Kak, kerjain tugasnya bisa nanti, 'kan?”

Nggak.

“Kak ....”

Keiji menghela napas. Tanpa mau repot menengok, Keiji membalas, “Nanti. Ini nggak bisa ditunda.”

Shouyo makin kesal mendengarnya. “Tapi, aku?”

Laki-laki berkacamata itu kembali tidak menggubrisnya. Dengan begitu, Shouyo memulai aksinya dengan menarik-narik ujung kaus Keiji dan merengek agar konsentrasi pacarnya buyar. Keiji mengerti Shouyo sudah bosan karena selama dua jam ia sudah melakukan banyak hal: membaca komik yang ada di rak buku, menonton televisi, mengunyah camilan yang ia ambil dari kulkas, sampai berleha-leha di kasur. Akan tetapi, prioritasnya sekarang bukan Shouyo.

“Shouyo, kalau udah selesai, nanti aku ladenin kamu.”

“Udah dua jam! Lama banget, Kak!”

Keiji hanya bergumam seolah tidak peduli lagi dengan apa pun yang Shouyo katakan. Ia gagal membuyarkan fokus pacarnya itu. Shouyo berdecak dan tanpa berpikir seribu kali, ia menutup laptop yang sedang Keiji gunakan.

Keiji terbelalak dan siap melayangkan protes kepada Shouyo. Namun, Shouyo lebih cepat menjabarkan alasannya.

“Kita ngobrol nggak nyampe sepuluh menit, terus tiba-tiba Kak Keiji buka laptop ... terus aku mulai dicuekin. Emangnya aku nggak bosen? Aku ajak ngobrol juga Kakak diem aja.”

“Ugh,” Keiji memijat batang hidungnya. Kepalanya pening, dalam hati memohon Shouyo agar mengalah sekali saja. “Aku tadi baru inget kalo masih ada yang harus aku kerjain. Aku nggak mau nunda-nunda, jadi—”

“Terus akunya dicuekin? Nggak bisa gitu sambil ngobrol atau apa? Baru kali ini Kakak nyuekin aku.”

Apa?

Keiji gemas sekali mendengarnya sampai ingin berteriak. “Ya, nanti kalau—”

“Kalau gitu, Kakak nggak usah ajak aku ke sini!”

“Ya sudah, lebih baik kamu pulang kalau kamu nggak bisa sekali aja ngalah!”

Fatal. Keiji meledak. Shouyo tidak berkutik.

'Kay. Mending aku pulang daripada ganggu.”


Lelaki berkacamata itu nyaris terjaga semalaman mengerjakan semua tugas dan esai yang belum selesai dengan usaha menyingkirkan pikiran negatifnya mati-matian. Setelahnya, ia tetap tidak bisa memejamkan mata. Keiji memikirkan bagaimana cara untuk mengajak bicara Shouyo—setidaknya, meminta maaf. Keiji kalut. Mereka jarang bertengkar karena selama ini Keiji berusaha memenuhi permintaan Shouyo; karena selama ini Keiji pikir asalkan Shouyo merasa senang. Ia yakin ia tidak sepenuhnya salah di sini, tetapi tidak seharusnya ia berbicara seperti itu. Kejadian kemarin tidak dapat dihindarkan, itu di luar kendalinya.

Bahkan sampai esok pagi dan sampai kelas Keiji berakhir di sore hari, Shouyo belum memberi kabar. Pun Keiji tidak berusaha bertanya. Dengan perasaan yang masih gundah, ia berjalan ke depan gerbang beriringan dengan beberapa temannya.

Tiba-tiba, salah satu temannya menyikutnya. “Pst, Akaashi.”

Keiji hanya memberikan tatapan ada-apa tanpa suara.

“Ada yang nyariin kamu kayaknya.” Temannya itu mengedikkan dagu pada seseorang yang terlihat menatap ke arah mereka—atau lebih tepatnya, memandangi Keiji.

Shouyo?

“O-oh. Kalau gitu aku duluan, ya.” Keiji segera pamit dan menghampiri Shouyo yang berdiri tak jauh dari tempat Keiji dan teman-temannya melihat tadi.

Ia mendapati Shouyo berpakaian rapi—sudah ganti seragam—dengan tas selempang yang disandangkan di bahu. Keiji mengernyitkan keningnya.

Tunggu, hari apa ini? Rabu?

Keiji baru teringat. Kemarin lusa ia janji akan menemani Shouyo beli sepatu voli yang baru. Ia pikir Shouyo akan membatalkannya lantaran mereka sedang perang dingin. Diam-diam merasa gugup harus membuka konversasi seperti apa setelah bercekcok kemarin.

“Kakak nggak lupa kita ada janji hari ini, 'kan?” Tidak disangka Shouyo memulai pembicaraan dengan santainya seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka.

Keiji hanya menggeleng kecil, masih bingung dengan sikap Shouyo.

Di tengah perjalanan, Shouyo menyeletuk, “Kak.”

“Ya?”

“Tadi yang bareng sama Kakak itu temen-temen Kakak?”

“Oh, iya.”

“Mereka ... tau aku? Tau kita?”

Keiji terdiam sebentar. “Mmm ... nggak, sih.”

“Kakak nggak ngasih tau mereka?”

“Soal?”

“Soal 'kita'.”

Keiji merasa ambigu. “Soal ... kemaren?”

“Bukan. Maksudku, hubungan kita. Aku sama Kak Keiji, pacaran. Kakak nggak ngasih tau temen-temen Kakak?”

Keiji semakin bingung dibuatnya, tetapi ia berusaha tetap menjawab pertanyaan Shouyo. “Nggak ... Mereka nggak tau.”

Hening.

“Kenapa?”

Kenapa apanya?

“Kenapa nggak ngasih tau?” lanjut Shouyo.

Ada apa sebenarnya dengan anak ini?

”... Ya, nggak ada alasan. Mereka nggak perlu tau juga. Toh, hubungan kita nggak diketahui banyak orang selama ini.”

Memang benar. Selama setahun berpacaran, hanya ada sebagian kecil saja yang tahu perihal ini. Keiji pun merasa tidak perlu mengumbar-umbar hubungannya dengan Shouyo.

“Ada apa, Shou? Kenapa kamu tiba-tiba nanya gini?”

Shouyo mengangguk cepat sambil menyunggingkan senyum tipis. “Nggak apa-apa, Kak.”

Bohong kalau Keiji tidak merasa sedikit lega ketika Shouyo berbicara “normal” dengannya hari ini. Meskipun terdapat perbedaan yang kentara darinya: jauh lebih diam dan tidak berisik. Sejujurnya Keiji tidak pernah tahu apa yang ada di dalam pikiran Shouyo, terlebih dengan sikapnya yang seperti ini. Ia tidak tahu apa yang Shouyo rasakan terhadap dirinya.

Keiji akui ia pengecut. Ia ragu untuk sekadar mengucap kata maaf padahal tadi ia menyungging “soal kemarin”.

“Shouyo, abis beli sepatu mau mampir?”

Pacarnya itu menoleh cepat dan menatap Keiji yang lebih tinggi darinya.

Keiji tersenyum simpul, “Kali ini kita ngobrol banyak, 'kok.”


Shouyo sudah duduk dengan mug berisi teh hangat di tangannya. Mereka sampai di flat Keiji lima belas menit yang lalu dan sampai sekarang mereka belum berani angkat bicara.

Keiji menarik napas dalam. Ia tidak bisa diam saja walaupun mungkin masalah kemarin terdengar sepele.

“Shouyo.”

“Kak.”

Berbarengan.

“Kamu dulu, Shou.”

Rupanya Shouyo tidak mau membuang kesempatan ini. “Kak, maaf.”

Si kakak sedikit terkejut dengan pernyataan Shouyo. Maaf? Bukankah dirinya yang seharusnya berkata seperti itu?

“Maaf— untuk kemaren dan kemarennya lagi. Maaf untuk semuanya dan selama ini.”

Keiji memotong perkataannya cepat sebelum Shouyo bicara lebih membingungkan dari ini. “Bentar, bentar. Maaf ... apa, Shou? Kenapa kamu minta maaf? Yang kemaren salah itu ... aku, 'kan?”

“Kakak selalu bilang sayang aku, aku juga sayang Kakak. Tapi, aku ternyata nggak bisa jadi pacar yang baik, ya, Kak? Aku ... mungkin terlalu ngerepotin Kakak dan nggak bisa diandalkan.” ucapnya. “Kata-kata Kakak kemaren, aku kepikiran terus. Emang bener aku nggak pernah ngalah, manja, egois. Aku nggak pernah mikirin posisi Kakak. Maaf. Kakak pasti capek, pasti malu ... pacaran sama aku yang masih anak SMA dan kekanak-kanakan ini.”

Shouyo mendudukkan kepalanya sambil menggenggam erat gagang mug. Kemudian, tidak ada suara lagi setelah Shouyo.

Keiji? Tentu saja kaget bukan kepalang. Ia tidak menduga hal ini: satu kalimat yang ia tak sengaja utarakan kemarin berdampak sebegini besar untuk Shouyo. Matanya masih terpaku pada pacar di sebelahnya yang masih tertunduk. Dari mana pikiran-pikiran gila itu datang pada Shouyo? Lelah? Malu?

“Shouyo ....”

Tidak menjawab.

“Shouyo, angkat kepalamu. Sini liat aku.”

Perlahan si rambut oranye itu mendongakkan kepalanya dan menatap Keiji dengan tatapan sendu.

Tangan Keiji menangkup kedua pipi pacarnya yang seperti bakpao menurut Keiji. “Shouyo?”

“Ya?”

Lelaki yang lebih tua tiga tahun itu tersenyum seraya menempelkan kedua dahi mereka. “Jangan bilang kayak gitu lagi.”

Shouyo menundukkan pandangannya. “Tapi bener, 'kan ....”

“Asumsi dari mana kalau aku capek pacaran sama kamu? Kenapa kamu mikir aku malu pacarnya anak SMA? Emang nggak boleh? Lucu gini.”

”....”

“Shouyo,” panggil Keiji dengan lembut. “Aku minta maaf kemaren udah ngomong kayak gitu. Jujur, aku pun sama kepikirannya kayak kamu. Aku takut kamu makin marah, tapi aku bingung harus minta maaf kayak gimana karena aku juga kesel. Kamu nggak dengerin aku, tapi mungkin itu karena aku nggak terlalu acuhin kamu.

“Terlepas dari semua itu, aku seneng kamu udah introspeksi diri dan mikir penyebab aku sampe marah ke kamu. Kamu manja? Iya, banget, haha. Egois? Aku nggak bisa bilang gitu karena aku kadang sama egoisnya. Ini juga salah aku yang nggak bisa terus terang sama kamu sebelumnya. Aku belum sempet ngomong ke kamu, tapi kita udah berantem duluan. Maaf.

“Tapi—lagi—aku nggak pernah ngerasa malu sama sekali pacaran sama kamu. Kenapa, sih? Gara-gara kamu masih SMA terus aku udah kuliah? 'Kan kamu juga tahun depan kuliah. Aku nggak mempublikasi hubungan kita ke temen-temen aku itu bukan berarti aku malu pacaran sama berondong. Menurutku, itu bukan suatu kewajiban orang-orang tau kehidupan aku. Lagi pula, mereka nggak begitu deket sama aku. Kalau suatu saat nanti mereka tau atau mereka tanya statusku, ya aku nggak masalah buat bilang.

“Shouyo, kekanak-kanakan itu sifat yang bisa diubah kalau ada kemauan untuk berbenah diri. Kamu itu masih dalam fase remaja menuju dewasa, nggak bisa kamu langsung menyamakan semuanya kayak aku. Pelan-pelan. Toh, rasanya aku juga belum sepenuhnya dewasa. Kamu tau kalau aku sayang kamu, 'kan? Berarti kamu harusnya tau aku nggak pernah keberatan ngejalanin hubungan sama kamu. Aku nggak capek. Jadi, jangan khawatir.”

Keiji mengecup kedua pipi Shouyo yang basah kemudian terkekeh. “Kenapa nangis?”

Shouyo menggeleng kecil lalu membenamkan wajah merahnya di lekuk leher Keiji. Pacarnya itu kemudian mengelus-elus surai halusnya sambil membisikkan kata-kata “tidak apa-apa”.

Waktu kemudian berlalu, Shouyo tidak bersuara sejak ia menangis sampai kelelahan dan terlelap di pelukan Keiji. Dengan hati-hati, ia membawa tubuh Shouyou dan membaringkannya ke atas ranjang.

Manik hijau Keiji memandangi paras Shouyo yang terlihat damai. Kalau seperti ini, rasanya tidak percaya kalau Shouyo adalah orang yang berisik dan manja. Jemarinya menyentuh helai jingganya kemudian memainkan bulu mata panjang Shouyo yang indah, sampai ke bibir ranum yang sedikit terbuka.

Keiji ingin mengecupnya.

Namun, ia takut membangunkan si empu. Padahal jarak yang tersisa hanya sejengkal saja.

“Kak, cepet atau aku aja yang cium?”

Keiji hampir melonjak mendengar Shouyo tiba-tiba bersuara.

“Kamu nggak tidur?!”

Shouyo membuka kedua matanya perlahan lalu memamerkan cengirannya. “Tadi bangun pas Kak Keiji ngangkat aku. Tapi, aku pura-pura masih bobo.”

“Astaga.” Keiji spontan mencubit pipinya gemas.

“Sini, Kak. Ikut bobo.” Shouyo menarik lengan Keiji hingga Keiji tersungkur di atas kasur. Mereka tertawa.

“Hm, iya aku ikut bobo sama bayi gede ini.”

“Siapa yang bayi gede?”

“Kamu lah, Shouyo. Emang ada orang lagi di sini?”

“Aku bukan bayi gede.”

“Ya, udah, bayi aja.”

Shouyo terdiam sejenak. “Emang nggak apa-apa kalau aku kayak bayi? Manja dong.”

Mendengar perkataan si pacar, Keiji terbahak. “Shouyo, kamu mau sampe kakek-kakek juga tetep aja manja, 'kan, kalau ke aku.”

Shouyo mengerucutkan bibirnya, tetapi tidak mengelak juga. Badannya beringsut agar lebih dekat dengan Keiji. “Maaf.”

Helaan napas terdengar. “Udahan minta maafnya, nggak capek?”

“Iya ... maaf.”

”'Kan.” Keiji tertawa. “Kamu kenapa lucu banget, Shou?”

Shouyo mendongakkan kepalanya untuk melihat Keiji. Sudut bibirnya terangkat. “Karena aku pacar Kakak?”

Kemudian Keiji membalas tatapan si pacar. “Bisa jadi.”

Mungkin ini kali pertama bagi Keiji berterus-terang seperti ini ke Shouyo. Keiji tersadar ia harus bisa menjadi sosok yang lebih untuk Shouyo—bukan sekadar sebagai kekasih, melainkan juga kakak yang siap membantunya selangkah lebih dewasa. Ia tidak menyangka, percekcokan kemarin membuat mereka sama-sama belajar dan memperbaiki diri, untuk diri masing-masing pula. Kedepannya, ia tidak akan memanjakan Shouyo terlalu sering. Walaupun sebenarnya itu terlihat menggemaskan di mata Keiji—sungguh, kemarin adalah kesalahan.

Kebahagiaan Shouyo masih menjadi prioritas Keiji, tetapi kalau Keiji sedang tidak baik-baik saja, ia tidak akan bungkam lagi.

“Kak, mana ciumnya?”


Tokyo, 6 Juli 2020

“Keiji!” Hinata menyerukan namanya seraya berlari kecil menuju tempat Akaashi berdiri.

Akaashi mendengar teriakan tersebut di antara keramaian bandara. Ia melambaikan tangannya kepada Hinata.

Dilihatnya Hinata menyunggingkan senyum selebar bulan sabit kemudian tanpa memberi jeda, tubuh yang sudah tidak terlihat mungil itu langsung menghambur ke dalam dekapan Akaashi.

“Keiji,” Hinata mengeratkan pelukan mereka. “Kangen banget.”

Wah, Shouyo makin besar badannya. Beratnya juga nambah, batin Akaashi.

Akaashi mengulum senyum lembut. Ia mengusap puncak kepala pemuda yang lebih muda darinya itu. “Aku juga.”

Hinata melepaskan pelukannya lalu tersadar bahwa saat ini bukan hanya Akaashi—kekasihnya—yang ada di sini. Matanya mengerjap lucu begitu mendapati kedua orangtuanya serta adik perempuannya sedang menatap mereka berdua. “Papa? Mama? Natsu?”

“Aduh, 'kok bukan mamanya dulu yang dipeluk pertama.” Mama Hinata menyindir dengan jenaka.

“Maaf,” Hinata mengerucutkan bibirnya sambil merengkuh satu-satu anggota keluarganya. Ia sedikit memberikan kecupan kecil di kening dan pipi mereka. “Aku pulang.”


Saat ini, mereka berlima sudah memasuki mobil yang dikemudikan oleh Akaashi dan Papa Hinata di sebelahnya. (Inginnya, sih, Hinata yang jok depan menemani Akaashi). Setelahnya, pembicaraan mereka mengalir begitu saja dengan kalimat “bagaimana dengan Brazil?” sebagai permulaan.

Tiba di kediaman Hinata, Akaashi dengan sigap menurunkan barang bawaan milik kekasihnya dari bagasi mobil sedangkan yang lain sudah memasuki rumah.

“Hei,” sahut Hinata yang tiba-tiba menghampirinya. Tanpa berkata apa pun, Hinata langsung membantu Akaashi.

Akaashi yang melihatnya langsung tersenyum. “Oh. Hei, Shouyo. Nggak masuk aja? Ini biar aku yang bawa.”

Hinata menggeleng pelan. “Sengaja aku bantuin kamu.”

Akaashi menghentikan pergerakannya. “Kenapa?”

“Ya ... nggak apa-apa,” jawab Hinata, matanya mengerling pada Akaashi yang hanya mengangguk tanda mengerti lalu melanjutkan pekerjaannya lagi. Hinata mengerutkan kedua alisnya. “Kamu nggak mau ngomong apa gitu?”

“Hm? Ngomong apa?”

Hinata menghela napas. “Ah, Keiji! Kita udah nggak ketemu dua— tiga tahun, tau? Kamu sambutannya peluk aku doang? Mana pas di mobil tadi diem aja. Payah.”

Kali ini, Akaashi berkacak pinggang. “Terus mau gimana?”

Hinata tidak menjawab melainkan berdecak lalu berbalik badan meninggalkan Akaashi sambil menggeret koper miliknya.

“Ditanya 'kok malah merajuk.”


“Keiji,” panggil Mama Hinata dengan senampan kudapan beserta secangkir teh hangat. “Tolong antar ke kamar Shouyo, ya. Tadi dia langsung masuk ke kamar. Kasihan, capek banget pasti.”

Akaashi langsung mengambil alih nampan dari tangan Mama Hinata. Ia berjalan hati-hati menuju kamar Hinata yang berada di lantai atas.

“Shouyo,” sahut Akaashi dari depan pintu dan Hinata hanya meresponsnya dengan gumaman tidak jelas. “Aku masuk, ya.” Akaashi langsung masuk saja tanpa menunggu persetujuan dari Hinata.

Hinata terlihat sedang berbaring di atas kasur yang sudah lama ia tidak tempati dan langsung mendudukkan badannya begitu Akaashi memasuki kamarnya. “Keiji ... aku ngantuk.”

Setelah menaruh nampan di atas meja, Akaashi langsung menghampiri kekasihnya tersebut dan sisi ranjang. Ia mengusak surai jingga yang sedikit lebih pendek dari yang terakhir ia lihat. “Capek banget, ya?”

Hinata mengangguk dua kali. Ia menarik lengan Akaashi kemudian mengusakkan kepalanya manja. “Kelonin aku bobo ....”

Pemuda yang lebih tua hanya bisa menuruti permintaan yang lebih muda. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Hinata kemudian menaruh kepala Hinata di atas dadanya.

“Mau langsung bobo banget?” Akaashi bertanya.

Hinata yang sudah memejamkan matanya, membuka kelopaknya lagi. “Hm?”

“Nggak ngobrol apa dulu gitu sama aku?”

Hinata menggerakkan tangannya untuk memeluk tubuh Akaashi sambil menggerutu, “Tadi aku udah protes, kamu diem aja. Ya udah, mending aku tidur.”

“Siapa yang diem aja?” Akaashi balik bertanya, nadanya seperti tidak terima. Namun, Hinata tidak menjawabnya melainkan kembali memejamkan matanya sambil bersemayam nyaman di dekapan Akaashi.

Akaashi terdiam. Diam-diam memperhatikan figur kekasihnya yang jauh berbeda dengan tiga tahun lalu: lebih pendek dan lebih kurus. Sekarang, tingginya bertambah banyak dan badannya lebih berisi dan kokoh. Lekukan otot bisepsnya tercetak jelas dari balik kaus. Kulitnya pun sedikit lebih cokelat, mungkin Hinata memang sesering itu terjemur di bawah terik matahari saat di Brazil.

Tiga tahun berlalu, tetapi Hinata yang manja masih belum hilang. Meskipun sudah tidak terlalu pecicilan dan berisik seperti anak kecil dahulu. Tanpa disadari, senyum Akaashi mengembang. Ah, Shouyo-nya sudah banyak tumbuh menjadi lebih dewasa. Namun, senyumnya luntur seketika saat ia dikejutkan dengan Hinata yang tiba-tiba mendongakkan kepala.

“Keiji, kok diam saja?”

“Loh? Aku kira kamu beneran tidur.”

Hinata menjauhkan badannya dari Akaashi. “Katanya mau ngobrol!”

Belum sempat mengatakan apa pun, Hinata kembali membuka suara. “Ah! Baru ingat!”

Ia terbangun dan beranjak menuju ransel yang ia gunakan selama perjalanannya ke Jepang.

Katanya ngantuk.

Tak lama, Hinata mengeluarkan sebuah buku dari dalam ranselnya dan langsung mengangkat tinggi-tinggi buku tersebut.

“Lihat buku apa ini!”

Akaashi yang tidak memakai kacamata menyipitkan matanya sedikit, kemudian tercengung. “Oh— itu buku ... aku?”

Hinata langsung kembali menghamburkan diri ke atas kasur. “Betul! Novel pertamamu!”

Akaashi merebutnya dari Hinata. Matanya memindai betul-betul, memastikan apakah itu buku asli atau tidak. Itu benar-benar novelnya yang terbit dua bulan yang lalu. “Kamu kapan belinya?”

Hinata menjulurkan lidahnya. “Rahasia!”

“Dasar.” Akaashi memukul kepalanya pelan menggunakan buku tersebut.

“Minta tanda tangannya dong!” Hinata beranjak lagi untuk mengambil sebuah bolpoin yang tersedia di atas meja kemudian menyerahkannya kepada Akaashi.

Akaashi terkekeh. “Kayak apa aja. Aku bisa ngasih seribu tanda tangan buat kamu kalo kamu mau. Malah, selain tanda tangan juga bisa.”

“Contohnya?”

“Ya ... apa saja. Tanda yang lain, aku juga bisa kasih.”

Hinata segera mencubit lengan Akaashi begitu menyadari arah pembicaraan ini. “Ngarang!”

“Loh, nggak ngarang.” Akaashi menyerahkan bolpoin beserta buku yang sudah dibubuhi tanda tangannya tersebut kepada Hinata. Ia menyengir ketika ia mendengar Hinata mengeluh “terserah kamu aja, deh”.

“Selamat, ya. Aku udah baca ceritanya. Bagus banget, Keiji! Aku udah bilang dari dulu, 'kan? Tulisanmu nggak pernah mengecewakan.”

Akaashi mengecup bibir Hinata singkat. “Terima kasih, Shouyo.”

Entah karena sudah lama atau memang selalu sebesar ini dampaknya, wajah Hinata merah total hanya karena Akaashi menciumnya. Hinata menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. “B-bilang-bilang dong kalo mau cium!”

Kedua tangan Akaashi menyingkirkan kedua telapak Hinata yang masih menutupi wajahnya lalu menangkup kedua pipi Hinata. Makin tembam, pikir Akaashi.

“Ya, kalau begitu, sekarang aku mau cium!” dan langsung menghujani Hinata dengan ciuman di seluruh permukaan wajahnya.

“Aduh, Keiji!”

—end.

Ketemuan

Sesuai rencana Kageyama tempo lalu, Atsumu dan Hinata akan bertemu di satu tempat. Untungnya, Hinata mengiyakan ajakan Kageyama tanpa bertanya lebih lanjut. Jadi, Kageyama bisa beralibi mau beli sepatu baru dan sebelum bertemu Atsumu, mereka berdua mengunjungi toko-toko sepatu. Biar nggak curiga-curiga banget keliatannya, kata Kageyama.

“Kageyama, lo niat nyari sepatu nggak, sih?” tanya Hinata gusar. Ia sebal melihat Kageyama yang hanya melihat-lihat deretan sepatu tanpa menyentuh apalagi mencobanya.

“Ya, bawel.”

Hinata berdecak. Tidak biasanya Kageyama meminta untuk menemaninya di akhir pekan jikalau bukan Hinata yang mengajak pergi. Hinata sudah mencium bau-bau mencurigakan yang disembunyikan oleh Kageyama, tetapi Hinata lebih memilih tak acuh.

Walaupun ujung-ujungnya Kageyama tidak membeli sepatunya dan Hinata kembali mengomelinya.

Cari sepatu setengah jam, setelahnya Kageyama langsung mengajak Hinata ke kafe (tempat nongkrong andalan anak muda kalau bikin janji). Hinata mengekori Kageyama yang masuk ke dalam kafe. Di dalam kafe, sudah ada Atsumu yang duduk di meja nomor sebelas. Penglihatan Kageyama langsung menangkap sosok bersurai kuning tersebut lalu berjalan ke arahnya; diikuti oleh Hinata.

“Yo,” sapa Atsumu singkat, ala cowok gaul begitu. Kageyama membalasnya dengan anggukan singkat.

Posisinya begini: Kageyama duduk di sebelah Hinata; Hinata duduk di depan Atsumu.

Atsumu melambaikan tangan kepada Hinata. “Hai!”

Hinata mengerjapkan matanya, bingung. Namun, tak ayal membalas lambaian tersebut. “H-hai ....”

“Pst, ini siapa?” bisik Hinata setelah menyikut lengan Kageyama. Yang ditanya diam saja.

“Em, jadi—”

“Hai, gue Miya Atsumu. Gue katingnya Kageyama.” Atsumu tiba-tiba memotong ucapan Kageyama dan mengulurkan tangannya ke depan Hinata. “Sori ya, lo pasti bingung kenapa gue ada di sini bareng kalian.”

“E-eh, nggak apa-apa, sih, sebenernya ...,” jawab Hinata kikuk, membalas uluran tangan Atsumu.

Kageyama diam-diam mengacungkan jempol untuk Atsumu yang langsung disadari oleh si empu. Atsumu tersenyum lebar. Mungkin artinya, permulaan yang bagus, Kak.

“Bentar deh,” Hinata menyeletuk. “Kak Miya tuh yang follow Twitter gue kemaren, ya?”

Atsumu sedikit terkejut mendengarnya. Ah, iya, mana mungkin Hinata lupa dengan wajahnya yang terpampang jelas di profil. “Betul, haha.”

“Kok Kak Miya nggak bales DM gue?”

“Oh, itu—” Atsumu melirik Kageyama, seperti mengode. Dengan sepersekian detik, Kageyama mengangguk.

Sudah punya ilmu telepati mereka berdua itu.

“Kayaknya, lebih enak kenalan langsung, sih, Hinata. Betul, 'kan? Kak Miya?”

Atsumu langsung mengangguk, diikuti oleh “oh” dari Hinata.

Sebenarnya dari tadi Hinata sibuk bertanya-tanya dalam hati, apa maksud dan tujuan Kageyama mengajaknya kemari dan tiba-tiba dipertemukan dengan seniornya. Mau geer, malu. Tapi, curiga juga. Apalagi yang dapat mengubah pemikiran Hinata saat ini? Ia ... dicomblangkan?

Ada apa gerangan? Kenapa tiba-tiba banget?

Hinata pusing. Akhirnya, Hinata masa bodoh juga, yang penting bisa makan enak. Kali ini es krimnya ditraktir Kageyama.

Setelah berbasa-basi, akhirnya Kageyama punya kesempatan untuk meninggalkan mereka berdua dengan dalih kebelet pipis. Atsumu dan Hinata masih sibuk berbincang. Seperti yang Kageyama perkirakan, mereka berdua akan nyambung satu sama lain. Sekarang saja, mereka sedang membahas siapa yang lebih dulu ada: ayam atau telur.

“Kageyama lama banget,” gumam Hinata yang dapat didengar oleh Atsumu.

“Mungkin, bukan kebelet pipis. Tapi, itu.”

Hinata terbahak mendengarnya. “Bisa jadi, sih. TMI aja, Kageyama emang suka diare tiba-tiba.”

Akhirnya mereka berdua tertawa bersama. Menyebalkan sekali, Kageyama niatnya mau jadi matchmaker, malah jadi bahan lelucon mereka berdua.

Tiba-tiba, ponsel Hinata berdering dan layarnya menunjukkan nama kontak Kageyama. Hinata mengernyitkan keningnya, namun tetap mengangkat panggilan tersebut setelah ia izin sebentar ke Atsumu.

“Hinata—”

“Woi, lo di mana, anjir?” Hinata sebisa mungkin tidak bersuara keras.

“Hehe, gue ... ada urusan. Jadi—”

“Tai, tai, tai. Lo mau ninggalin gue di sini?!”

“Hmm ... ada Kak Miya.”

Hinata menahan napas, mengontrol emosinya. “Ih, apa banget sih lo. Masa gue berdua doang? Gila. Ini aja baru kenalan? Maksudnya apaan?!”

“Berisik banget lo. Padahal tadi asik-asik aja ngobrolnya.”

“Ya 'kan, tapinya— Ah, tau, deh! Males gue sama lo.”

“Nanti gue minta Kak Miya anterin lo pulang.”

“Nggak usah! Gue pulang sendiri aja.”

Hinata langsung memutuskan sambungan secara sepihak. Ia menghela napas panjang. Ini bohong, 'kan? Yang bener aja, gue kemaren santai-santai, kenapa sekarang malah di ... dicomblangin gini? Ini lagi nge-date 'kan, namanya?! Kageyama kampret, batin Hinata sudah berkecamuk. Ingin marah dengan Kageyama, tetapi si empunya tidak ada.

Terpaksa, Hinata menjalankan kencan buta ini. Dalam hati Hinata menilai Atsumu,

Cakep sih, walau kayaknya rada aneh gitu orangnya. Ya, gue juga aneh, sih. Tapi tetep aja tiba-tiba banget! Kageyama ...! Awkward begini!

Atsumu juga sesuai dugaan Hinata, menawarinya tumpangan pulang. Namun, Hinata menolaknya sampai dua kali. Berkata bahwa ia tidak apa-apa dan akan naik kendaraan umum saja. Atsumu sedikit kecewa, tetapi mau bagaimana lagi. Ia tidak mungkin memaksa orang yang baru saja dikenalkan kepadanya.

Toh, Atsumu sudah senang karena bisa bertemu Hinata. Terima kasih kepada Kageyama.


Sepanjang perjalanan pulang, Hinata terus menyumpahi Kageyama. Ia masih merasa kesal karena tanpa ada persetujuan dengannya, Kageyama melalukan hal konyol ini. Namun, bayang-bayang Atsumu juga tidak bisa hilang dari kepala Hinata. Impresi pertamanya terhadap Atsumu tidak pula buruk, ia memperlakukan Hinata dengan baik, dan seru diajak bicara. Well, kalau memang orangnya baik, sih, patut saja dicoba.

08.00 AM

tobio terbangun dari tidur lelapnya. tirai jendela masih tertutup rapat, tetapi sedikit cahaya matahari berhasil menerobos masuk melalui celah-celah. ia mendudukkan diri dan melamun sebelum matanya menangkap sosok berbalut selimut terbaring di sampingnya.

itu shouyo, yang kemarin baru saja resmi menjadi pasangan sahnya. tangannya bergerak menuju pucuk kepala shouyo kemudian menepuknya pelan. sudut bibirnya terangkat sedikit kala melihat shouyo menggeliat dalam tidurnya.

tobio mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. ia hampir lupa kalau ia sedang menempati kamar khusus yang disiapkan kedua orangtua shouyo. dipikir-pikir, semua ini masih terasa tidak nyata. benaknya kembali mengingat pada momen ketika ia masih berpacaran dengan shouyo dan mengiming-imingi cincin juga janji suci. pun tobio tidak pernah menyangka bahwa impiannya—impian shouyou pula—benar-benar terkabul. lalu, malam setelah seluruh rangkaian acara telah selesai dan saatnya mereka beristirahat. tanpa sadar, tobio terkekeh sendiri mengingat tingkah shouyo yang konyol.

sambil bergelung di bawah selimut, mereka berhadap-hadapan. tidak ada yang menutup matanya. sibuk memandangi wajah masing-masing.

“kamu kenapa?” tanya tobio.

“kenapa apanya?”

“mukamu tegang banget. padahal nggak aku apa-apain.”

shouyo mencubit bagian perut tobio sebelum ia mendengar aduhan dari suaminya. “tau nggak ....”

“apa?”

“deg-degan.”

“kenapa?”

“deg-degan tidur bareng kamu.”

tobio nyaris menyemburkan tawa jika ia tidak ingat kalau hari sudah menunjukkan pukul satu. “apaan, sih? kayak baru pertama aja.”

“ya kan— baru nikah.”

“udah, kamu tidur sana. capek, 'kan? aku juga ngantuk.”

“jangan bobo dulu ...,” shouyo menarik ujung kaus tobio ketika tobio hendak membalikkan tubuhnya. “nggak bisa bobo.”

tobio bergerak mendekat ke shouyo dan mendekap tubuh mungilnya itu. “sini aku nina bobo-in.”

“ih ... belum mau bobo juga.”

“ya terus mau apa?”

“main voli, yuk?”

“jangan ngarang, ya, kamu.”

shouyo cemberut. “nonton film?”

tobio menghela napas. “aku ngantuk, mau tidur aja. dadah, 'met bobo, sayang.”

“tobioooooo ....”

tobio berbalik lagi untuk sekadar mengatakan, “kalo susah tidur, coba itung domba aja sampe ngantuk.”

dan shouyo benar-benar melakukan itu sampai ia terlelap.

tobio menggelengkan kepalanya. bagaimana bisa malam pertama mereka berlangsung seflat itu. tetapi, mau bagaimana lagi, semalam itu lelah dan mengantuk sekali. hal-hal yang ia bayangkan harus tersingkirkan sementara demi mendapatkan istirahat yang cukup.

setelah bebersih sebentar, tobio beranjak ke luar kamar dan disambut oleh mama hinata yang sedang membuat sarapan.

“eh, tobio! selamat pagi!”

tobio membalas dengan senyum sopan. “pagi, ma.”

ia jadi geli sendiri, sekarang bisa panggil mertua dengan sebutan mama-papa.

“shouyo pasti masih bobo. maaf ya, anaknya emang kebo banget.”

iya, tau. tiap ada kesempatan bobo bareng, paginya pasti tobio dulu yang bangun.

“nggak apa-apa, ma. masih cape kali. biarin aja.” ucap tobio kemudian melangkah mendekati mertuanya. “sini, ma. biar tobio bantuin bikin sarapan.”

mama hinata tersenyum. “terima kasih, menantu gantengku.”

mereka berdua kemudian membuat sarapan bersama sambil berbincang-bincang banyak hal: shouyo, hubungan tobio dan shouyo, sampai menggoda tobio perihal status pengantin baru.

tak lama setelah mereka menata meja untuk sarapan bersama, shouyo akhirnya keluar dari kamar dengan muka bantal dan rambut kusut.

“shouyo, astaga. cuci muka dan sikat gigi dulu, kenapa? malu sama suami nggak ada cantik-cantiknya!” mama hinata mengomel sedang shouyonya sendiri pun belum sepenuhnya sadar.

shouyo mengusak-usakkan matanya seraya berjalan ke arah meja makan. matanya melirik pada tobio yang sedang memperhatikannya dengan wajah geli.

satu detik. dua detik. tiga detik.

shouyo terkesiap dan matanya terbuka selebar-lebarnya. “KAGEYAMA?!”

baik tobio maupun mama hinata terkejut dengan teriakan shouyo.

“kamu ngapain pagi-pagi di rumah aku?!”

tobio mengerutkan keningnya bingung. “apa, sih?”

shouyo beralih pada mamanya yang juga menatapnya aneh. “mama?”

“amnesia, ya, kamu?”

“hah?”

tobio menyentil kening shouyo. “pagi-pagi di rumah kamu? ya iyalah, semalem 'kan tidur bareng. lagian wajar dong udah jadi suami.”

“hah?”

“satu lagi, ya. nggak usah manggil aku kageyama. kamu juga sekarang namanya kageyama, nanti bingung.”

kemudian tobio meninggalkan shouyo yang masih dilanda kebingungan bersama mama hinata yang tergelak melihat tingkah anaknya.

nikah belum sehari, udah lupa aja sama suami sendiri.

Seharusnya, aku abai.

Mungkin jam besar yang berdiri tegak di alun-alun kota sedang berdentang keras, memberi sinyal bahwa malam sudah menunjukkan pukul dua belas tepat. Suara mesin mobil dan motor yang berlalu lalang, kecantikan sang rembulan dan gemintang, terabaikan. Manusia-manusia di dalam sana hanya terfokus pada pesta, alkohol, dan musik kencang.

Mata kita bertemu di menit itu, ketika kau menyanyikan bagian chorus dari lagumu sambil terus memetik senar gitar. Aku tak curiga. Aku tak merasakan apa-apa—saat itu. Dan aku hanya cukup memalingkan wajah.

Dentingan gelas yang beradu dan kelap-kelip lampu yang remang tak membuat mata kita berpaling. Dengan mudahnya kau menemukan entitasku, dengan mudahnya aku menyadari radarmu. Entah untuk apa, entah apa yang dipikirkan, entah mengapa.

Dengan kau yang meneguk habis cocktail dan aku yang menatapmu dari kejauhan. Kita bertukar pandang beberapa kali.

Seharusnya, aku menolak.

Suara langkahmu bagai menggema di benakku, membuatku sedikit takut dan waspada. Kau menyunggingkan senyummu; aku tak merasakan apa-apa. Kau menggenggam salah satu tanganku dan mengajakku berkelana. Pun aku mengangguk.

Di antara angin malam dan sinar bulan, kita berjalan di atas jembatan. Kau masih menggendong gitar di punggungmu sambil menggamit jemariku erat. Mengapa? Entahlah. Salahkan aku dan kebodohanku.

Seharusnya, aku tak tinggal.

Ketika kita melewati gang sempit dan bertemu orang-orang bertubuh kekar. Sambil tertawa bodoh, kita berdua menghindar dari kejaran mereka. Di keheningan malam, suara kita menggaung di udara.

Berlari. Jemari kita masih bertaut—sukar untuk melepas. Aku tak merasakan apa-apa, tetapi entusias dalam diri menggebu. Entahlah, malam itu terasa menyenangkan.

Seharusnya, aku tutup telinga.

Kau bilang, ini tempat yang menyenangkan untuk menghabisi malam. Namun, yang kudapati hanyalah rooftop kecil dan aku tidak tahu ada di mana saat ini.

Jangan khawatir, katamu. Sebagaimana kita tak akan pernah tersesat meski ke ujung dunia sekali pun.

Kau terlihat begitu tenang. Mengalunkan sebuah lagu dan tak melupakan gitarmu. Membicarakan tentang kita yang tak pernah memiliki kecocokan. Berkata bahwa bintang di tengah malam adalah yang paling indah. Lalu, kita berdua mendongakkan kepala. Dari angkasa, dewa-dewi sedang menatap kita.

Entahlah, aku masih tak merasakan getaran. Namun, nyaman menyelisik.

Seharusnya, aku marah.

Kau menutup mataku dengan kedua telapakmu. Katamu, ini kejutan. Ah, aku tak pernah menyukai hal seperti itu. Namun, kita berada di ufuk barat. Menonton bulat merah besar yang menyembul perlahan dari horizon.

Pun segalanya berlalu secepat kilatan cahaya. Dilatarbelakangi mentari, kau menyengat bibirku dengan lancangnya. Itu pertama kaliku. Entahlah, aku tak marah melainkan berdebar.

Seharusnya, aku tak jatuh.

Kau masih setia menautkan jemarimu denganku. Satu kali, dua kali, kau mengusap lembut suraiku. Menaburkan kasih padaku yang sudah terbius.

Dan tatkala dunia menunjukkan cerahnya, kau berhenti. Berhenti menggenggam, berhenti mencumbu, hanya berhenti.

Begitu saja.

Asap rokok mengepul di udara membuatku sesak beberapa saat. Sesesak saat kau usai mengecek ponsel dan kembali tak mengacuhkanku.

“Aku harus pergi.”

Lalu semuanya, menguap bersama asap yang kau embuskan terakhir kali. Tak bersisa, tak berjejak, dan tak memberiku kesempatan untuk menyentuhnya.

Apa yang kau tawarkan? Cinta dan kesetiaan? Bahkan kita tak pernah tahu nama.

Bahkan kita tak pernah tahu apa itu cinta.

Kita yang tak kenal, beradu bibir dengan mesranya, berbagi tawa dengan ringannya. Kita yang tak kenal, saling memberi afeksi, saling memberi pujian. Kita yang tak kenal, dan hanya aku yang menggantungkan asa.

Harusnya, aku masih berdiri tegak di tempatku. Bukannya terjerembap dalam kungkunganmu. Ini bahkan baru enam jam berlalu. Betapa kejamnya dirimu.

Seiring kau berbalik arah dan melangkah pergi, aku statis. Aku tak merasakan apa-apa. Mengapa? Entahlah, mungkin ini memang tidak pernah nyata. Tidak pernah ada.

Kau menculikku dan tak pernah mengembalikanku. Kau mengurungku dalam labirinmu, tak membebaskanku atau pun melindungiku.

Setelah kauajak berkelana di duniamu, aku tak bisa pulang.

Seharusnya, aku memang tak pernah mengenalmu. Bagaimana segumpal rasa dan hatiku direnggut habis di sisa-sisa malam.

Seharusnya, aku memang tak pernah bertemu denganmu. Bertukar pandang, meneguk cinta, tanpa tahu apa yang sedang kuteguk.

Seharusnya, aku tidak sebodoh ini. Membiarkan jemari panjangmu memetik senar hatiku. Memainkan lagu di relung hatiku. Kemudian, berhenti sebelum nada terakhir berbunyi.

Seharusnya, aku tak jatuh cinta semudah ini. Setidaknya, biarkan aku memotret figurmu, merekam suaramu, dan menyimpannya baik-baik di dalam memori kepalaku. Setidaknya, namamu terucap sebelum matahari terbit. Setidaknya, aku tidak akan sesakit ini, dan dilanda kebingungan. Setidaknya.